Bab 1: Tunggul yang Terlupakan
Di sebuah desa yang terlupakan, yang terletak jauh di tengah hutan lebat, terdapat sebuah pohon tua yang dikenal dengan nama Tunggul Pohon Berdarah. Orang-orang desa sering berbicara tentangnya dengan suara pelan, seakan takut kalau-kalau nama itu mengundang malapetaka. Pohon itu tak lagi tumbuh dengan subur seperti dulu; batangnya yang besar dan rapuh kini hanya menyisakan sisa-sisa kehidupan yang terperosok dalam sunyi. Namun, cerita tentangnya tak pernah benar-benar mati. Di malam hari, saat kabut tebal merayap di sepanjang tanah desa, orang-orang bisa merasakan hawa dingin yang menggigit, seolah sesuatu yang buruk sedang mengintai.
Arga, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa itu, merasa ada yang janggal dengan tempat yang ia sebut rumah sekarang. Tidak ada yang istimewa dari desa ini—sebuah desa kecil dengan rumah-rumah sederhana dan ladang-ladang yang subur. Namun, ada sesuatu yang terasa berat di udara, seolah desa ini menyimpan rahasia gelap yang terpendam lama.
Hari pertama di desa, Arga berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi, menuju ke rumah kecil yang telah disiapkan untuknya. Namun, matanya tak bisa mengalihkan pandangannya dari satu objek yang mencurigakan di kejauhan: sebuah pohon besar yang berdiri tegak di ujung hutan, dengan batang yang tampak hitam dan pecah-pecah. Seakan tidak pernah ada yang menyentuhnya selama bertahun-tahun.
“Ah, itu hanya pohon tua,” pikir Arga, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tetapi ada sesuatu dalam pandangan pertama itu yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Malam pertama, suara-suara aneh mulai terdengar dari arah hutan. Bukan suara binatang, melainkan suara yang lebih mirip seperti bisikan. Arga berbaring di tempat tidurnya, namun ketenangan itu terasa begitu rapuh. Suara itu datang lagi, kali ini lebih dekat, seperti langkah kaki yang berat di atas tanah basah. Namun ketika ia membuka jendela untuk memeriksa, hanya ada kabut tebal yang memenuhi pandangannya.
Esok harinya, Arga memutuskan untuk menjelajahi hutan yang menyelimuti desa. Dengan hati-hati, ia mengikuti jejak-jejak kecil yang membawanya semakin dekat ke pohon tersebut. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah tanah itu sendiri menahan langkahnya. Hingga akhirnya, ia berdiri di depan pohon besar itu. Keheningan seakan menyelubungi semua yang ada di sekitarnya. Arga merasakan angin berhembus kencang, menggerakkan ranting pohon yang telah mati, namun pohon itu tetap diam, seolah tak terpengaruh oleh apapun.
Dari dekat, Arga bisa melihat lebih jelas retakan-retakan yang menghiasi batang pohon. Di antara retakan itu, tampak seperti cairan berwarna merah yang menetes perlahan, membentuk lingkaran kecil di sekitar akar pohon. Arga terperangah, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Apakah ini… darah?” pikirnya, ngeri.
Saat ia hendak melangkah mundur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Arga menoleh cepat, namun tak ada seorang pun di sana. Hanya kabut yang semakin tebal, menutupi pandangannya.
Pagi itu, Arga pulang dengan perasaan gelisah. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah hutan itu menginginkannya tinggal lebih lama di dalamnya. Malam harinya, mimpi buruk pun datang. Dalam mimpinya, ia kembali ke pohon itu, tetapi kali ini, bukan hanya darah yang mengalir dari tubuh pohon, melainkan suara tangisan yang memilukan, memanggil namanya.
“Tunggul Pohon Berdarah…” suara itu berbisik, seakan menggema dalam pikirannya. Arga terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan yang tidak bisa ia jelaskan.
Pohon tua itu, dengan segala cerita yang mengelilinginya, bukan hanya sekadar objek di desa yang terlupakan. Ia menyimpan kekuatan yang lebih besar dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun. Sesuatu yang sangat tua dan sangat gelap, yang tak akan mudah dibiarkan pergi begitu saja.
Desa ini telah lama melupakan bahaya yang mengintai mereka. Tapi Arga, meskipun baru datang, telah menarik perhatian pohon itu—dan saat perhatian itu tercipta, tak ada yang bisa menghindari konsekuensinya.
Bab 2: Suara dari Hutan
Malam pertama di desa itu, Arga terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar, angin berhembus pelan, menyusup ke celah-celah jendela kayu yang sudah usang. Suara pepohonan yang berderak seperti saling berbisik menambah kesan sunyi yang kian mencekam. Namun, bukan angin atau suara alam yang membuatnya terjaga. Ada sesuatu yang lebih nyata, lebih dekat, yang membuatnya merinding.
Suara itu datang perlahan, hampir tak terdengar, seperti bisikan yang disertai dengan desah napas berat. Arga menoleh ke sekitar ruangan yang remang, berusaha mencari tahu dari mana suara itu berasal. Dalam keheningan malam yang pekat, hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar. Ia kembali terbaring, mencoba menenangkan pikirannya, namun suara itu terus berlanjut, kali ini lebih jelas dan lebih terasa.
Suara langkah kaki. Berat. Tertahan-tahan. Seperti seseorang yang berjalan perlahan di tanah basah.
“Tidak mungkin,” gumam Arga pelan. Di luar jendela, hanya ada kabut tebal yang menghalangi pandangannya. Hutan yang menjulang jauh di luar rumahnya tak terlihat sama sekali, hanya kegelapan yang menyelimuti segala.
Arga memutuskan untuk membuka jendela sedikit, berusaha mendengar lebih jelas. Ketika angin dingin menyeruak masuk, ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang asing. Suara itu semakin dekat, semakin jelas. Setiap langkahnya seperti menginjak tanah yang lembut, namun ada sesuatu yang tidak biasa—sesuatu yang memberi kesan bahwa langkah itu bukan milik manusia.
Ketegangan itu membuat Arga membeku di tempatnya. Apakah itu suara binatang? Namun, tidak ada binatang yang bergerak dengan begitu lambat, dengan ketegangan seperti itu. Arga merasakan sebuah dorongan untuk keluar, memeriksa, meskipun ada rasa takut yang menggerogoti batinnya.
Hati Arga berdebar kencang saat ia menginjakkan kaki di luar rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya. Hutan yang selalu tampak tenang kini terasa hidup dengan suara-suara aneh yang datang dari dalamnya. Bisikan itu semakin keras, seakan mengundangnya untuk masuk lebih dalam.
Namun, saat ia melangkah ke arah hutan, suara itu berhenti. Sepi. Tidak ada lagi langkah kaki yang terdengar, hanya deru angin yang menggulung dahan pohon. Arga berhenti, berdiri di ujung jalan setapak yang membelah hutan, merasa bingung dan cemas. Apa yang sebenarnya terjadi?
Malam itu, tidur Arga terganggu oleh perasaan yang tak bisa dijelaskan. Saat matanya terpejam, ia masih bisa mendengar suara itu, semakin dekat, semakin jelas, hingga seakan-akan suara itu ada di dalam kepalanya. Suara bisikan yang berulang-ulang, seperti memanggil namanya. Seperti sesuatu yang ingin menghubungkannya dengan masa lalu yang terlupakan.
“Arga…” Suara itu berbisik, sangat dekat, hingga Arga merasa seolah-olah ada yang berdiri di sampingnya.
Ia terbangun dengan kaget, napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya terbuka lebar, namun gelap menyelimuti. Hanya suara napasnya yang terdengar, diselingi dengan suara detak jantung yang semakin cepat.
Di luar, hutan tampak lebih sunyi dari sebelumnya. Tidak ada lagi suara langkah kaki. Tidak ada lagi bisikan. Hanya ada hening yang mendalam.
Namun, Arga tahu satu hal: suara itu belum berakhir. Itu baru saja dimulai.
Bab 3: Kegelapan yang Menjalar
Arga duduk terpaku di kursi kayu yang kasar, matanya terfokus pada api unggun yang menyala di tengah ruang tamu rumah yang gelap. Malam-malamnya semakin tidak tenang sejak pertemuannya dengan pohon itu. Mimpi buruk semakin sering datang, dan setiap kali ia membuka mata, rasa takut itu tidak pernah benar-benar hilang. Ada sesuatu yang semakin menjalar ke dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, namun terasa semakin kuat.
Sudah tiga hari sejak kejadian aneh itu, namun sepertinya ketenangan yang diharapkan tidak kunjung datang. Setiap langkahnya terasa seperti di bawah bayang-bayang sesuatu yang tak kasat mata, dan suara-suara bisikan itu tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
Malam itu, Arga memutuskan untuk mencari jawaban. Ia tidak bisa lagi hanya berdiam diri di rumah, berharap ketakutannya akan hilang dengan sendirinya. Ia harus tahu lebih banyak tentang pohon itu, tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa ini, dan mengapa kegelapan itu tampak semakin mendekat.
Dengan tekad yang sudah menguat, ia menemui Pak Jaya, seorang penduduk desa yang dikenal paling tua dan banyak tahu tentang sejarah desa. Pak Jaya duduk di beranda rumahnya, dikelilingi oleh cahaya temaram dari lampu minyak. Wajahnya keriput, matanya sayu, dan bibirnya selalu terlipat dalam ekspresi yang sulit dibaca.
“Pak Jaya,” Arga membuka percakapan dengan hati-hati, “Ada yang aneh di desa ini. Saya merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi saya, dan saya mendengar suara-suara dari hutan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Pak Jaya memandang Arga dengan tatapan tajam, seolah menilai apakah pemuda itu benar-benar siap untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan. Setelah beberapa saat, Pak Jaya akhirnya berbicara, suara beratnya mengisi udara malam yang sunyi.
“Desa ini punya sejarah yang kelam, Nak,” katanya perlahan. “Pohon itu, Tunggul Pohon Berdarah, bukan sekadar pohon biasa. Ia adalah pusat dari kutukan yang telah lama mengikat desa ini. Ada rahasia yang lebih dalam, lebih gelap, yang tidak banyak orang tahu. Dan suara-suara yang kamu dengar… itu adalah pertanda. Suara itu adalah bagian dari kegelapan yang mulai menjalar kembali.”
Arga merasa ketegangan merayapi tubuhnya. Ia mendekat, ingin tahu lebih banyak. “Apa yang sebenarnya terjadi pada pohon itu? Kenapa bisa ada kutukan?”
Pak Jaya menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk membuka tabir yang telah lama tersembunyi. “Dulu, di zaman nenek moyang kita, pohon itu digunakan untuk ritual. Ritual yang melibatkan darah. Tidak hanya satu, tapi banyak korban yang diberikan untuk menjaga keseimbangan kekuatan yang ada. Namun, sesuatu yang salah terjadi. Salah satu korban ternyata bukanlah bagian dari ritual yang sah. Itu adalah penghianatan, dan kutukan itu terlahir dari pengkhianatan tersebut.”
Pak Jaya menatap Arga dengan tatapan yang dalam dan penuh peringatan. “Pohon itu, Nak, tidak akan pernah membiarkan siapapun yang melupakan darah yang telah tertumpah. Dan suara-suara yang kamu dengar, itu adalah suara dari roh-roh yang terperangkap. Mereka mencari balas dendam, dan mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkannya.”
Malam itu, udara terasa semakin berat. Arga merasa seolah ada sesuatu yang semakin membebaninya. Kata-kata Pak Jaya seperti menempel erat di otaknya, menghantui setiap langkahnya. Semakin ia mencoba memahami, semakin banyak ketakutan yang terpendam.
Pulang dari pertemuan itu, Arga merasakan sebuah perubahan. Sesuatu di dalam dirinya mulai bergolak, seperti ada sesuatu yang mencoba bangkit. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kegelapan yang ia rasakan bukan hanya sekadar perasaan, tapi sebuah ancaman nyata.
Saat ia berjalan menuju rumahnya, sebuah suara tiba-tiba menginterupsi keheningan malam. Suara itu datang dari dalam hutan, lebih keras dari sebelumnya. Kali ini, suara itu bukan hanya bisikan, tetapi jeritan yang melengking, seakan memanggilnya.
Arga berhenti di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya tidak bisa lepas dari hutan yang gelap. Dalam kegelapan itu, seolah ada sesuatu yang bergerak—sesuatu yang menunggu, menunggu untuk menyapanya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan besar melintas di depan matanya, begitu cepat dan samar, hanya membuatnya terkejut sejenak. Seperti sebuah kilatan gelap yang tak sempat ia tangkap. Jeritan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih dekat, menggema dalam telinga Arga seperti suara dari dunia lain. Tanpa sadar, ia melangkah maju ke arah hutan.
Semakin dalam ia melangkah, semakin kuat perasaan yang tak terdefinisikan itu—sesuatu yang ingin menariknya lebih jauh, ke dalam kegelapan yang menanti. Dan ketika ia tiba di batas hutan, ia berhenti. Di depannya, berdiri pohon besar itu, dengan darah yang terus mengalir dari retakan di batangnya.
Arga tahu, apa yang ia hadapi malam ini bukanlah hal biasa. Kegelapan yang menjalar, yang mulai menggerogoti desa ini, telah menghubungkannya dengan nasib yang lebih besar. Dan dengan itu, tak ada lagi jalan mundur.
Bab 4: Jejak Darah di Tengah Hutan
Arga berdiri diam di tepian hutan, menatap pohon besar yang sudah menjadi pusat kekelaman desa ini. Angin malam berhembus kencang, memaksa dedaunan bergoyang dengan gemerisik yang menambah suasana mencekam. Cahaya rembulan yang temaram menyinari batang pohon yang retak, dengan darah yang masih menetes perlahan, membentuk jejak merah di tanah. Setiap tetesnya bagaikan darah yang menceritakan kisah panjang—kisah yang tertimbun dalam kegelapan hutan ini.
Pikiran Arga berkelana kembali pada percakapan dengan Pak Jaya. Tentang ritual-ritual kuno yang melibatkan darah, tentang kutukan yang tak akan pernah lepas dari pohon ini, dan tentang suara-suara aneh yang semakin mengganggu ketenangannya. Ia tahu bahwa malam ini, ia harus mencari lebih banyak jawaban. Tidak ada lagi jalan mundur. Pencarian ini sudah memasuki tahap yang tak bisa ditarik kembali.
Ia melangkah maju, kakinya menjejak tanah yang lembab. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti hutan ini menahan tubuhnya agar tidak melangkah lebih jauh. Hening, hanya suara langkahnya yang terdengar, namun ada sesuatu yang lebih gelap, lebih mengintimidasi, yang mengawasi setiap gerakannya.
Di depan Arga, jalan setapak di dalam hutan tampak memudar, tertutup oleh semak dan rerumputan yang tak terawat. Namun, sesuatu yang mencolok membuatnya berhenti sejenak. Di atas tanah, terdapat jejak-jejak darah yang baru saja mengering. Setiap jejak membentuk garis yang mengarah lebih dalam ke hutan, seperti ada sesuatu—atau seseorang—yang melintas dengan tergesa-gesa.
Arga merasa jantungnya berdegup kencang. Jejak darah itu, yang terus membekas di tanah, mengingatkannya pada kata-kata Pak Jaya tentang kutukan yang terlahir dari pengkhianatan. “Apa yang terjadi di sini?” pikirnya, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ketakutan yang sulit dijelaskan.
Ia mengikuti jejak itu dengan hati-hati, melewati rimbunan pohon yang semakin rapat. Udara di dalam hutan terasa lebih dingin, lebih lembap. Setiap kali ia menginjak tanah, seolah ada sesuatu yang hidup di bawahnya, bergerak mengikuti langkahnya. Namun, tak ada suara yang bisa ia dengar selain deru napasnya sendiri.
Semakin dalam ia melangkah, jejak darah itu semakin jelas terlihat, membentuk pola yang semakin mendekat ke pusat hutan. Rasa takut mulai merayap dalam dirinya. Kegelapan di sekitar terasa semakin menyesakkan, seakan hutan itu mengancamnya. Saat ia melangkah lebih jauh, sebuah bayangan besar melintas di depannya, begitu cepat dan samar, hanya meninggalkan rasa dingin yang tajam di udara.
Arga terhenti, tubuhnya kaku. Suara gesekan ranting pohon terdengar lebih keras, lalu sepi menyelimuti. Hutan ini seperti bernafas, bergetar dengan kekuatan yang tak bisa ia pahami. Lalu, di depan matanya, muncul sebuah pemandangan yang membuat darahnya membeku.
Di tengah hutan yang gelap, tepat di bawah sebuah pohon besar, sebuah tubuh tergeletak tak bergerak. Tubuh itu tampak mengenakan pakaian yang lusuh, seperti seseorang yang telah lama terlupakan. Darah mengalir dari tubuhnya, membentuk genangan di tanah yang semakin melebar.
Arga mendekat, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia menatap tubuh itu dengan cemas, merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres. Tubuh yang tergeletak itu, meskipun tidak bergerak, seperti menyimpan banyak rahasia. Lalu, matanya tertuju pada sesuatu yang lebih mengerikan.
Di dekat tubuh itu, terdapat sebuah benda kecil yang tergeletak, tersembunyi di balik daun-daun kering. Arga merunduk, mencoba untuk melihat lebih jelas. Itu adalah sebuah medali, berkilau samar di bawah cahaya rembulan. Medali itu memiliki lambang yang aneh, simbol yang sepertinya sudah tidak asing bagi Arga.
Ia teringat pada sesuatu yang pernah didengar di masa kecilnya—sebuah cerita tentang orang-orang yang menghilang di desa ini, dan tentang sebuah organisasi rahasia yang pernah berkuasa di sini. Apakah ini ada hubungannya dengan semua yang terjadi?
Sebelum ia bisa mengambil medali itu, sebuah suara keras tiba-tiba memecah kesunyian malam. Suara ranting patah, diikuti dengan langkah kaki yang berat, semakin mendekat. Arga merasa ada sesuatu yang mengintainya, sesuatu yang jauh lebih gelap dan lebih mengerikan daripada yang bisa ia bayangkan. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik tubuhnya mundur, berlari meninggalkan jejak darah yang kini semakin membingungkannya.
Namun, semakin ia berlari, semakin ia merasa sesuatu yang tak kasat mata mengikuti langkahnya. Seperti bayangan yang bergerak di belakangnya, menyusup di antara pepohonan, semakin dekat. Setiap langkah yang diambil Arga seolah semakin membawa dirinya ke dalam kegelapan yang lebih dalam, lebih mematikan. Dan di tengah semua itu, Arga sadar satu hal yang paling mengerikan: Hutan ini bukan hanya tempat yang penuh dengan rahasia, tetapi juga tempat di mana kegelapan itu menunggu untuk menelan siapa pun yang berani mengungkapnya.
Bab 5: Hantu yang Terbangun
Arga merasa tubuhnya lemas dan kepala penuh dengan bayangan-bayangan aneh yang terus berputar. Ia kembali ke rumah, namun rasa cemasnya tidak bisa ia hilangkan. Semakin lama ia merenung, semakin banyak hal yang tidak ia mengerti—terutama tentang pohon berdarah dan tubuh yang tergeletak di tengah hutan. Namun, ada satu hal yang kini lebih menakutkannya: perasaan bahwa sesuatu yang sangat gelap sedang mengikutinya, seperti hantu yang terbangun setelah berabad-abad terlelap.
Malam itu, Arga terbangun dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul dua pagi, dan suara angin yang berhembus di luar rumah tidak mampu menenangkan pikirannya. Ia merasakan sebuah keanehan di udara, sesuatu yang menekan dada, membuatnya sulit bernafas. Seakan ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya, sebuah kehadiran yang jauh lebih kuat dari sekadar ketakutan biasa.
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari luar jendela. Awalnya, Arga mengira itu hanya hewan malam yang sedang berkeliaran, namun suara itu semakin jelas dan terdengar seperti langkah kaki manusia. Langkah yang lambat, berat, dan tidak teratur. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya yang semula terbaring di atas ranjang, kini terasa kaku.
Ia bangkit perlahan, mencoba untuk mengintip dari balik tirai jendela. Di luar, malam begitu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari bulan yang terhalang oleh awan. Namun, di ujung halaman rumahnya, ada bayangan bergerak. Bayangan itu tidak tampak seperti orang hidup, melainkan seperti sosok yang terhuyung-huyung, hampir tak terlihat jelas oleh mata Arga.
Rasa takut mulai menyelimuti Arga, namun ia berusaha menenangkan diri. “Ini pasti hanya halusinasi,” pikirnya, berusaha memberi penjelasan pada pikirannya yang semakin kacau. Namun, instingnya berkata lain. Ada sesuatu yang nyata di luar sana, sesuatu yang mengancam.
Sosok itu semakin mendekat, dan Arga bisa merasakan hawa dingin yang semakin kuat. Tiba-tiba, bayangan itu berhenti tepat di depan jendela. Sebuah wajah pucat, dengan mata yang kosong dan tanpa kehidupan, menatapnya langsung. Wajah itu tidak tampak manusiawi, seperti sesuatu yang terbangun dari kubur, wajah yang dipenuhi luka dan darah yang mengering. Mulutnya terbuka perlahan, dan suara rendah yang mengerikan terdengar—sebuah bisikan yang memanggil namanya.
“Arga… datanglah… datanglah ke dalam hutan…”
Arga terperanjat, hampir terjatuh dari kursinya. Suara itu, meskipun lembut, mengandung ancaman yang jelas. Ia menutup mata, berusaha menghilangkan suara itu dari pikirannya. Namun, suara itu tetap ada, bergema dalam pikirannya, memanggilnya untuk datang.
Keinginan untuk lari, untuk melarikan diri, berperang dengan rasa ingin tahu yang kuat dalam dirinya. Apa yang terjadi pada sosok itu? Apa yang sedang dipanggilnya?
Ia berlari keluar dari kamar, membuka pintu depan, dan tanpa pikir panjang, melangkah keluar rumah. Angin malam yang dingin langsung menyapu wajahnya, namun rasa takut di dalam dirinya lebih kuat daripada dinginnya malam itu. Langkahnya cepat menuju hutan, seolah tubuhnya bergerak tanpa sepengetahuan pikirannya.
Setiap langkah yang ia ambil semakin membawa Arga jauh dari rumah, jauh dari kenyamanan yang sempat ia rasakan. Hutan yang begitu familiar kini tampak berbeda, gelap dan menakutkan. Suara angin yang berbisik di antara ranting pohon terdengar seperti bisikan yang mengintai.
Di dalam hutan, jejak darah yang ia temui malam sebelumnya masih ada, meskipun kini tampak lebih kabur, seakan terkikis oleh waktu. Namun, Arga tidak bisa berhenti. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ia dipanggil oleh suara itu.
Ketika akhirnya ia sampai di tengah hutan, ia melihat sesuatu yang mengejutkan—sebuah lingkaran besar yang terbuat dari batu-batu hitam, di tengahnya terdapat sebuah patung berbentuk manusia yang tampak seperti terperangkap dalam waktu. Patung itu memiliki ekspresi ketakutan yang mendalam, dan tangan serta kaki patung itu terikat dengan tali dari akar pohon yang menjalar ke bawah.
Arga mendekat, jantungnya berdegup semakin kencang. Di depan patung itu, ada sesuatu yang menetes ke tanah—darah, segar, baru saja menetes. Dalam sekejap, ia melihat sosok yang sama, wajah pucat yang tadi ia lihat di jendela rumahnya, kini berdiri di tengah lingkaran batu. Sosok itu menghadap ke Arga, menatapnya dengan mata kosong yang hanya dipenuhi kegelapan.
“Arga… kamu telah datang… akhirnya…”
Sosok itu berbicara dengan suara serak yang terdengar seperti berasal dari kedalaman kubur. Lalu, tanpa peringatan, sosok itu mulai bergerak, tubuhnya bergoyang dengan gerakan yang tidak wajar, seolah sedang menari di tengah kegelapan. Angin berhembus kencang, menggulung daun-daun kering, dan suara bisikan semakin jelas, mengisi udara sekitar.
Hantu yang terbangun itu kini bergerak ke arah Arga, dengan gerakan yang semakin cepat. Arga merasakan jantungnya berdetak kencang, tubuhnya bergetar ketakutan. Semua yang ada di hadapannya terasa sangat nyata, sangat mengerikan, dan ia tahu bahwa apa yang terjadi malam ini adalah awal dari sebuah pertempuran antara hidup dan mati.
Berikut adalah pengembangan Bab 6: Mata yang Mengintip dalam novel Tunggul Pohon Berdarah, dengan penulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bertujuan untuk menarik minat pembaca:
Bab 6: Mata yang Mengintip
Arga terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi tubuhnya, seolah mimpi buruk yang ia alami semalam bukan sekadar mimpi. Suara bisikan itu masih terngiang di telinganya, memanggilnya untuk datang ke dalam hutan, menuju tempat yang penuh dengan kegelapan dan misteri. Hantu yang terbangun, dengan mata kosong dan wajah yang tak bisa ia lupakan, masih menari-nari di pikirannya.
Namun, ketika ia membuka mata, semua yang ada di sekelilingnya tampak biasa saja. Cahaya matahari yang samar mulai menyusup melalui celah jendela, menandakan bahwa hari sudah pagi. Tetapi meski begitu, perasaan tidak nyaman itu tetap saja mengendap dalam dirinya.
Ia duduk di tepi ranjang, meremas wajahnya. Pikiran-pikiran itu berputar liar. Ia tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita hantu atau kutukan yang telah diceritakan oleh orang-orang tua di desa. Ada sesuatu yang sedang mengintainya, sesuatu yang telah lama terpendam, dan kini mulai bangkit, menggerogoti kehidupan di desa ini.
Langkahnya berat saat ia melangkah ke luar rumah. Suara langkah kaki yang tertinggal di tanah basah menjadi pengingat bahwa ia harus segera menemukan jawaban. Perasaan tidak tenang itu semakin mencekiknya. Seperti ada mata yang terus mengawasi dari balik bayang-bayang pohon yang tinggi.
Di luar, suasana pagi yang cerah tak mengurangi kegelisahan di dalam dada Arga. Udara segar seakan tak mampu menyegarkan pikirannya yang terbelenggu ketakutan. Ia menatap ke sekeliling, berharap menemukan tanda-tanda yang bisa memberinya petunjuk. Namun, yang ia temui hanya hutan yang tampak begitu biasa. Tidak ada yang berbeda—seakan-akan hutan itu menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya yang menipu.
Saat Arga berjalan lebih jauh, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Bayangan di sekelilingnya bergerak cepat, meski tidak ada angin yang berhembus. Sesuatu atau seseorang tampak mengikuti jejaknya, bergerak pelan dan hati-hati, seperti pemburu yang sedang mengincar mangsanya. Arga menoleh ke kiri dan kanan, namun tidak ada siapa pun di sana. Hanya pepohonan yang tinggi dan semak-semak yang tertutup daun-daun basah.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sesuatu yang aneh. Di balik sebuah pohon besar, ia melihat sepasang mata yang mengintip. Mata itu tampak bersinar di antara bayang-bayang, berkilau seperti mata kucing yang tajam, memandangnya dengan penuh perhatian. Arga merinding. Itu adalah mata yang tidak biasa, mata yang tampak penuh dengan rasa ingin tahu, namun juga penuh ancaman.
Mata itu bergerak perlahan, mengikuti gerak-gerik Arga. Semakin lama, semakin jelas bahwa mata itu bukan milik manusia, melainkan sesuatu yang lebih gelap, lebih mengerikan. Tanpa pikir panjang, Arga berlari mendekati pohon itu, berusaha untuk mencari tahu siapa yang ada di baliknya. Namun, saat ia tiba di pohon tersebut, tidak ada apa-apa. Pohon itu tampak kosong, hanya daun-daun kering yang berserakan di sekitarnya.
Arga menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya halusinasi, pikirnya. Namun, perasaan tidak enak itu tetap menggelayuti. Ia berbalik untuk melanjutkan perjalanan, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar suara gemerisik di belakangnya. Ia menoleh cepat, namun lagi-lagi, tak ada siapa pun.
Rasa takut semakin mencekam. Setiap langkah yang diambilnya seolah membawa Arga lebih dalam ke dalam kegelapan, semakin jauh dari kenyamanan yang pernah ia rasakan. Ia mencoba untuk melangkah dengan cepat, namun langkah kaki yang ia dengar semakin dekat. Seperti ada seseorang—atau sesuatu—yang mengikutinya dari belakang.
Saat ia menoleh untuk terakhir kalinya, mata yang mengintip itu kembali muncul, kali ini lebih jelas. Mata itu tidak lagi tersembunyi di balik pohon, melainkan menatap langsung ke arahnya. Sesuatu yang gelap, tidak bisa dijelaskan, menyelubungi mata itu. Ia merasa seolah-olah ditarik ke dalam kedalaman yang tak terjangkau oleh akal sehatnya.
Kakinya terhenti di tempat, tubuhnya kaku. Tak tahu harus berbuat apa, Arga hanya bisa menatap mata itu, yang perlahan semakin mendekat. Rasa ketakutan yang menyelusup ke dalam jiwanya semakin kuat, seperti ada tangan yang menariknya untuk menyatu dengan kegelapan itu.
Namun, sebelum semuanya terasa terlalu mencekam, suara keras tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. Terdengar suara keras seperti benda besar yang jatuh, disusul dengan deru angin yang sangat kencang. Arga tersentak, memalingkan kepala, dan seketika sosok yang mengintip dari balik pohon itu menghilang, seperti ditelan oleh kegelapan yang lebih dalam.
Hanya ada hening yang menggantung, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah detak jantungnya yang semakin cepat. Arga tidak tahu apa yang baru saja ia alami—apakah itu nyata atau hanya ilusi—namun satu hal yang ia yakini, mata itu bukanlah hal yang bisa ia abaikan. Sesuatu yang mengintip dari balik bayang-bayang, menunggu untuk mengungkapkan dirinya.
Bab 7: Menggali Masa Lalu
Suasana malam masih menggantung di langit saat Arga duduk di depan rumah tua peninggalan kakeknya. Dingin menyusup hingga ke tulang, tetapi bukan udara malam yang membuat tubuhnya menggigil—melainkan bayangan-bayangan dari kejadian yang baru saja ia alami di hutan. Mata itu, kehadiran yang mengintai, dan suara-suara yang tak pernah ada dalam logika, menghantui pikirannya tanpa henti.
Ia tahu, jawaban dari semua kengerian ini tidak akan ia temukan hanya dengan berlari menjauhi hutan. Sebaliknya, ia harus masuk lebih dalam—bukan hanya ke dalam hutan yang sunyi, tetapi juga ke dalam masa lalu keluarganya sendiri.
Dengan tekad yang mulai tumbuh dari ketakutannya, Arga melangkah masuk ke rumah tua itu. Lantainya berderit pelan di bawah kakinya, dan bau lembap bercampur debu menyambutnya seperti aroma dari masa silam yang tak terselesaikan. Di ruang tengah, ia menyalakan lampu minyak yang tergantung di langit-langit. Cahaya kuning redup menari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak perlahan seperti hantu-hantu kenangan.
Ia menuju lemari tua milik kakeknya, yang tak pernah dibuka sejak pemiliknya meninggal. Kuncinya telah lama berkarat, namun dengan sedikit usaha dan dorongan kuat, pintu lemari itu pun terbuka. Di dalamnya, Arga menemukan tumpukan map dan buku-buku tua, sebagian besar dipenuhi debu dan bercak jamur. Namun di antara semua itu, ada sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran aneh di permukaannya—sebuah lingkaran dengan pola pohon dan tetesan darah yang mengalir dari akarnya.
Tangan Arga gemetar saat ia membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat beberapa foto hitam-putih yang usang. Salah satunya menampilkan seorang pria muda yang berdiri di depan pohon besar—pohon yang sama dengan yang pernah ia lihat di tengah hutan. Namun yang membuat bulu kuduknya berdiri adalah mata si pria itu, yang menatap lurus ke arah kamera dengan pandangan kosong, seakan sedang melihat sesuatu yang jauh melampaui lensa.
Di bawah foto itu, tertulis dengan tulisan tangan yang nyaris pudar:
“Sumarno – 1965. Sebelum penggalian dilakukan.”
Penggalian? Arga memicingkan mata. Apa yang pernah digali di dekat pohon itu?
Ia menyisir isi kotak itu lebih dalam dan menemukan secarik surat, yang tampaknya ditulis oleh kakeknya sendiri. Surat itu ditujukan untuk seseorang bernama “Pak Lurah Wijaya” dan isinya membuat dada Arga semakin sesak.
“Pak Lurah yang terhormat,
Kami telah menemukan sesuatu yang tidak semestinya terkubur di sana. Mayat-mayat tanpa kepala. Dan suara-suara itu, Pak Lurah… suara-suara yang terus memanggil kami bahkan setelah kami meninggalkan tempat itu. Saya yakin ini bukan kuburan biasa. Saya mohon, tutup area itu. Jangan biarkan siapa pun menggali lebih dalam. Ini bukan hanya soal tanah dan akar, ini soal kutukan yang belum selesai.”
Arga menelan ludah. Mayat tanpa kepala? Kutukan? Apakah ini semua berhubungan dengan apa yang kini terjadi?
Kepalanya berdenyut. Ia mulai merasakan benang merah yang menghubungkan hantu yang mengintainya, suara dari hutan, dan sejarah kelam keluarganya. Mungkin pohon berdarah itu bukan sekadar simbol kutukan, melainkan tempat dikuburnya sebuah dosa lama—dosa yang melibatkan para leluhur desa ini.
Tiba-tiba, suara pintu kayu berderit pelan di belakangnya. Arga menoleh cepat, namun tidak ada siapa pun. Hanya suara angin yang menyusup dari celah-celah dinding. Tapi, seperti sebelumnya, ia merasa tidak sendirian. Seolah-olah masa lalu yang baru saja ia gali, kini menggali balik dirinya.
Dan di saat itulah, ia sadar. Untuk menyelamatkan diri, ia harus mengetahui seluruh kebenaran. Tidak cukup hanya menggali fakta; ia harus menggali luka, rahasia, dan mungkin, kutukan yang selama ini dikubur bersama para korban tak bersuara di dalam hutan.
Ia meraih surat itu, foto-foto, dan kotak kayu, lalu menyimpannya di dalam tas kecil. Besok pagi, ia akan menemui satu-satunya orang yang mungkin tahu kebenaran sepenuhnya—Pak Lurah Wijaya. Jika ia masih hidup, maka ia adalah saksi hidup dari dosa yang pernah ditanam di akar pohon itu.
Dan malam itu, saat Arga mencoba untuk tidur, ia mendengar bisikan lain di luar jendela.
“Jangan berhenti, Arga. Terus gali… sampai kau tahu siapa yang sebenarnya dikubur di sana.”
Bab 8: Kegelapan dalam Diri
Mentari pagi hanya mampu menembus tipis kabut yang menggantung di atas desa. Langit masih kelabu, seolah menyimpan amarah yang tak sempat ditumpahkan semalam. Arga berdiri di depan cermin tua di kamarnya, menatap wajahnya yang pucat dan mata yang tampak semakin dalam. Di balik tatapan itu, tersimpan sesuatu yang mulai asing baginya—sesuatu yang menyeramkan.
Sejak menemukan surat dan foto-foto peninggalan kakeknya, Arga merasa ada bagian dalam dirinya yang perlahan berubah. Ia menjadi mudah gelisah, cepat marah, dan kerap mendengar bisikan yang tak terdengar oleh orang lain. Ia tak tahu apakah itu akibat tekanan dari rahasia masa lalu, atau karena ada sesuatu yang kini mengendap di dalam jiwanya—seperti kegelapan yang menyusup tanpa izin.
Di tengah renungannya, suara ketukan terdengar dari luar rumah. Arga membuka pintu dan mendapati Rina, sahabat lamanya yang kini menjadi guru di desa itu, berdiri dengan wajah cemas.
“Aku dengar kau menggali lemari tua itu, Arga,” ucap Rina hati-hati.
Arga mengangguk. “Aku menemukan surat… tentang penggalian. Tentang mayat tanpa kepala. Dan… kutukan.”
Rina menunduk, tampak ragu sejenak. “Dulu, aku pernah membaca catatan tua di perpustakaan desa. Ada legenda yang disembunyikan… tentang pohon keramat yang tumbuh dari darah pengkhianatan. Banyak yang menganggap itu hanya mitos, tapi… sepertinya kau sudah menyentuh sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”
Perkataan Rina membuat jantung Arga berdegup lebih kencang. Ia merasakan kepanikan, tapi juga dorongan aneh dalam dirinya—dorongan untuk terus mencari, walau itu berarti menghancurkan kewarasan.
Malam harinya, saat hujan turun dengan deras, Arga duduk sendiri di ruang tengah. Lampu minyak berkelap-kelip, menciptakan bayangan-bayangan bergerak di dinding. Dari sudut matanya, ia melihat sosok bayangan berdiri di ambang pintu—tinggi, kurus, dan matanya merah menyala.
Namun saat ia menoleh, sosok itu lenyap.
Arga menarik napas dalam-dalam. “Itu hanya halusinasi,” bisiknya.
Tapi saat ia menunduk, tangannya penuh lumpur. Jemarinya—yang tak sadar ia gerakkan—ternyata menggenggam segenggam tanah basah. Dari mana datangnya tanah itu?
Dengan tubuh gemetar, ia berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat membasuh wajahnya, air keruh mengalir dari keran. Ia menatap cermin—dan mendapati pantulan dirinya bukan hanya dirinya. Di balik bayangannya sendiri, ada sosok yang tersenyum—senyum menyeringai penuh kebencian. Sosok itu menyerupai dirinya… tapi dengan mata gelap seperti arang terbakar.
“Aku adalah kau… bagian yang telah lama kau kubur.”
Cermin itu retak. Arga mundur dengan napas terengah. Kini ia sadar, kegelapan bukan hanya datang dari pohon berdarah itu. Kegelapan itu telah masuk, menyelinap ke dalam dirinya. Mungkin sejak malam pertama ia memasuki hutan. Atau bahkan… sejak ia lahir.
Karena darah yang mengalir dalam dirinya… adalah darah dari mereka yang pernah menanam kutukan.
Ia menatap tangannya sendiri. Apakah ia masih manusia… atau sudah menjadi bagian dari kegelapan yang selama ini ia cari?
Malam itu, Arga tidak tidur. Ia duduk dalam diam, dikelilingi bisikan yang makin keras dan suara langkah-langkah samar dari loteng. Dalam benaknya, satu kalimat terngiang berulang kali:
“Untuk melawan kegelapan… kau harus mengenalinya lebih dahulu.”
Dan Arga tahu, babak pencarian ini belum selesai. Tapi pertanyaan paling menakutkan kini adalah:
“Apakah yang selama ini ia cari… ternyata adalah dirinya sendiri?”
Bab 9: Teror yang Semakin Dekat
Suasana desa berubah. Warga mulai menutup jendela lebih awal, mengurung diri sebelum senja benar-benar tenggelam. Bisik-bisik tentang suara tangisan di hutan, bayangan hitam di ladang, dan hewan-hewan ternak yang ditemukan mati dengan luka aneh menyebar seperti kabut. Desa yang dulu tenang kini dirundung ketakutan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Arga merasakannya lebih dulu daripada siapa pun.
Sejak malam itu—malam ketika ia melihat pantulan dirinya yang bukan dirinya—hidupnya tidak pernah sama. Ia tak bisa membedakan mana mimpi, mana kenyataan. Di setiap sudut rumah, ia merasa diawasi. Di setiap suara ranting patah atau desir angin, ia mendengar sesuatu yang lain: langkah, bisikan, kadang jeritan. Semuanya terdengar dekat. Terlalu dekat.
Ia mencatat semua kejadian dalam buku kecil yang selalu ia simpan di saku:
Senin malam: suara kuku mencakar jendela. Tidak ada jejak saat diperiksa pagi harinya.
Selasa: sosok hitam berdiri di depan rumah jam dua pagi. Menghilang dalam hitungan detik.
Rabu: mendengar Rina memanggil dari luar rumah. Padahal Rina mengaku sedang tidur di rumah ibunya, jauh di ujung desa.
Ketika Rina datang keesokan harinya, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Ia memeluk Arga dengan cemas.
“Arga… aku juga melihatnya. Sosok tinggi dengan leher panjang dan mata putih. Ia berdiri di dekat tunggul pohon itu. Dan… dia menyebut namamu,” bisiknya.
Arga membeku. “Menyebut namaku?”
Rina mengangguk pelan. “Seperti… memanggilmu untuk kembali.”
Hari demi hari, gangguan itu semakin nyata. Bukan hanya pada mereka, tapi juga pada warga desa. Seorang anak kecil ditemukan pingsan di pinggir sungai dengan tubuh penuh lumpur, bergumam lirih, “Mereka bangun… mereka marah…” Seorang petani tua ditemukan tewas di sawah dengan wajah membiru, matanya melotot ketakutan seolah melihat kematian sebelum datang.
Pak Lurah akhirnya memanggil Arga ke rumahnya.
“Sudah waktunya kau tahu semuanya, Nak,” ucapnya lirih. “Pohon berdarah itu bukan pohon biasa. Itu tumbuh dari tanah yang meminum darah manusia—dari pembantaian yang disembunyikan puluhan tahun lalu. Dan kakekmu… salah satu pelakunya.”
Arga tertegun. Napasnya tercekat.
“Dulu, ada para pemberontak yang disembunyikan di sana. Mereka dihukum tanpa pengadilan, dikubur hidup-hidup, dan ditanamkan tunggul sebagai penanda. Tak ada doa. Tak ada ampun. Sejak itu, pohon itu tumbuh—dan arwah mereka tidak pernah tenang.”
Arga merasakan kepalanya berputar. Segalanya mulai masuk akal. Kengerian ini adalah akibat dari luka lama yang dibungkam terlalu lama. Dan darah keluarganya… adalah bagian dari luka itu.
Malamnya, teror datang tak lagi lewat bayangan—melainkan lewat wujud.
Langkah kaki berderap dari loteng. Tangisan perempuan menggema dari kamar mandi. Dan di tengah malam yang pekat, sosok itu berdiri di ambang pintu kamarnya—tinggi, tak berkepala, darah menetes dari lehernya, dan jari-jari panjangnya terulur pelan.
“Waktumu hampir habis, pewaris dosa…”
Jerit Arga menggema, tapi tidak ada yang mendengar.
Di luar rumah, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Di kejauhan, dari arah hutan, tunggul pohon itu terlihat seperti tubuh yang setengah bangkit dari tanah—menyambut sesuatu, atau mungkin… menuntut sesuatu.
Dan teror itu kini tak sekadar menghantui malam.
Ia telah datang.
Bab 10: Darah yang Mengalir Kembali
Kabut pagi menutupi desa seperti selimut muram yang menahan cahaya. Pohon-pohon di pinggir hutan tampak lebih gelap dari biasanya, seolah menyembunyikan rahasia yang tak ingin dibuka. Arga berdiri di tepi halaman rumahnya, memandangi hutan yang perlahan seperti mendekat. Angin yang berembus membawa aroma tanah basah bercampur bau anyir—bau darah yang ia kenali sejak malam terkutuk itu.
Ia tahu, waktu hampir habis.
Beberapa malam terakhir, suara dari tunggul pohon terdengar semakin sering. Tangisan, bisikan, dan teriakan histeris yang hanya bisa ia dengar. Seolah-olah arwah yang terkubur di bawahnya sedang bangkit perlahan, menggeliat dari dalam bumi. Dan yang paling mengganggu… darah. Ia mulai menemukannya di tempat-tempat yang tak masuk akal—menetes dari langit-langit rumah, merembes dari dinding, bahkan mengalir di sela-sela papan lantai kamarnya.
Di tengah kepanikan, Arga memutuskan mencari jawaban terakhir. Ia kembali membuka buku catatan kakeknya. Di halaman terakhir, ada peta kasar menuju sebuah tempat tersembunyi di dalam hutan. Di sanalah, menurut catatan itu, pengorbanan terakhir dilakukan—tempat darah pertama kali ditumpahkan, dan tempat pohon itu ditanam.
Dengan tekad yang hampir putus asa, Arga menyusuri hutan pagi itu. Kabut semakin tebal, pohon-pohon tampak seperti makhluk-makhluk bisu yang mengawasinya dari balik rimbun dedaunan. Setiap langkah terasa berat, seperti menginjak tanah yang menolak disentuh.
Setelah hampir satu jam, ia sampai di sebuah tanah lapang kecil, tersembunyi di balik semak berduri. Di tengahnya, berdiri tunggul pohon tua, lebih besar dari yang lain. Kulit kayunya menghitam seperti terbakar, dan dari celah-celah retakannya, mengalir darah merah segar.
Arga terdiam. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia berlutut di depan tunggul itu, meletakkan tangannya di atas permukaan kasar yang dingin.
“Aku tahu ini bukan salah kalian. Tapi aku… adalah warisan dari mereka yang membuat kalian menderita.”
Tiba-tiba, tanah di sekelilingnya bergetar pelan. Darah mulai keluar lebih deras dari tunggul, membentuk aliran yang menjalar ke segala arah seperti urat-urat yang baru hidup. Dari dalam tanah, terdengar suara tangis dan bisikan penuh amarah. Suara-suara itu membentuk satu kata:
“Tebus…”
Arga menggigit bibirnya. Ia sadar ini bukan hanya tentang mengungkap kebenaran. Ini tentang mengakhiri warisan dosa. Ia mengeluarkan sebilah pisau kecil—pisau pusaka yang ia temukan bersama buku catatan kakeknya. Ia memandang bilahnya yang dingin, lalu menggoreskan ujungnya ke telapak tangannya.
Darahnya menetes ke tunggul pohon.
Sekejap, angin berhenti berembus. Suara hutan menghilang. Waktu seakan membeku.
Dari dalam tanah, muncullah tangan-tangan kotor berlumur tanah dan darah, merangkak perlahan, seperti mencari sesuatu. Tapi mereka tidak menyerang. Mereka hanya menengadah… menerima.
Lalu, satu demi satu, bayangan-bayangan gelap itu memudar. Darah yang mengalir dari tunggul pun berhenti. Yang tersisa hanyalah keheningan—sunyi yang dalam, seperti napas panjang setelah penderitaan yang tak berkesudahan.
Arga jatuh terduduk. Lemas. Tapi ia merasa… ringan.
Namun ketika hendak berbalik pulang, ia menyadari sesuatu yang aneh. Di tangannya, luka yang ia buat tadi tidak sembuh. Malah menghitam, seperti terbakar dari dalam. Dan di pergelangan tangannya, muncul pola seperti akar pohon yang menjalar ke atas—merambat, hidup.
Kutukan belum hilang. Ia hanya berpindah.
Darah yang mengalir kembali bukan hanya untuk menebus… tapi juga untuk mewariskan.
Arga menatap langit yang mulai cerah. Ia sadar, ini baru permulaan dari kegelapan yang lebih besar.
Bab 11: Pohon yang Menuntut
Langit tampak muram meskipun hari masih siang. Awan-awan kelabu menggantung berat, menutupi sinar matahari dan menyelimuti desa dengan cahaya kusam. Angin membawa aroma hutan yang tak biasa—bau basah, kayu lapuk, dan darah yang sudah lama membeku.
Arga menatap pergelangan tangannya yang kini dipenuhi pola hitam menyerupai akar. Setiap hari, gurat-gurat itu menjalar semakin jauh, seperti tanaman yang tumbuh liar tanpa kendali. Ia mencoba menutupinya dengan kain, tapi rasa perih yang datang tiap malam tidak bisa disembunyikan. Seolah ada sesuatu dalam tubuhnya yang sedang dihidupkan kembali—dan itu bukan miliknya.
Rina datang pagi itu, membawa kabar buruk. “Warga mulai hilang satu per satu, Arga… dan semuanya terjadi dekat hutan.”
Tiga orang telah hilang: seorang petani, seorang anak kecil, dan seorang wanita tua. Di lokasi terakhir mereka terlihat, selalu ada satu hal yang sama—daun pohon besar yang tak seharusnya tumbuh di desa. Daun yang mengilap, berwarna merah kehitaman, dan meneteskan cairan seperti darah.
Warga yang masih bertahan mulai resah. Beberapa ingin mengungsi. Beberapa lainnya menyalahkan keluarga Arga secara terang-terangan. “Kau membawa sial!” bentak seorang lelaki tua di jalanan. “Itu kutukan keluargamu! Pergi dari sini!”
Namun Arga tidak mundur. Ia tahu satu-satunya jalan adalah menghadapi asal dari semuanya: pohon itu sendiri.
Malam harinya, ia pergi seorang diri ke tengah hutan. Tempat itu kini berubah. Pohon-pohon membentuk lingkaran, seolah bertekuk lutut pada satu sosok di tengah: pohon besar yang dulu hanya berupa tunggul. Kini ia tumbuh menjulang, kulitnya hitam seperti arang, dan dari sela-selanya mengalir darah segar. Akarnya keluar dari tanah, mencengkeram bumi seperti tangan-tangan raksasa.
Arga melangkah maju. Setiap langkah terasa berat. Pohon itu… hidup. Ia berdenyut pelan seperti jantung, dan dari batangnya terdengar suara—bukan suara daun yang tertiup angin, tapi bisikan manusia. Tangisan. Jeritan. Doa.
Dan dari dalam batangnya, terdengar suara dalam yang berat, menggelegar, namun jelas:
“Kau membawa darah. Maka kau juga harus memberi darah.”
Pohon itu menuntut.
Tiba-tiba, akar-akar mencuat dari tanah, menyambar ke arah Arga. Ia terhempas ke tanah, tubuhnya tertahan oleh akar yang mencengkeram kuat. Dari batang pohon, muncullah sosok-sosok kabur—wajah-wajah yang seperti terbentuk dari asap dan darah, semua menatap Arga dengan mata kosong namun penuh dendam.
Mereka menunjuk ke arahnya.
“Tebusan. Tebusan.”
Arga berteriak, mencoba melepaskan diri, tapi akar itu menembus tanah dan menariknya lebih dalam. Dalam sekejap, ia berada di semacam lorong gelap, di bawah tanah, penuh dengan tulang dan darah beku. Suara jeritan terdengar dari segala arah.
Di tengah ruang bawah itu, Arga melihat sosok bayangan tinggi berdiri. Bayangan itu menyerupai dirinya… tapi lebih gelap, lebih dingin, dengan mata merah membara.
“Akulah yang akan mewarisi semuanya jika kau gagal. Dan pohon ini… akan terus tumbuh dengan darah dari keturunanmu.”
Arga sadar: pohon itu bukan sekadar pohon terkutuk. Ia adalah perwujudan dendam, akar dari segala kesalahan masa lalu, dan kini haus akan tebusan yang tak bisa ditunda.
Dengan sisa tenaga, Arga menggenggam liontin milik ibunya—liontin berisi tanah suci dari kuburan neneknya yang dahulu sering berdoa di pohon itu. Ia menekankan liontin itu ke tanah, dan dalam sekejap, tanah bergetar.
Pohon itu mengeluarkan suara melengking, akar-akar terlepas, dan Arga terdorong keluar dari lorong gelap itu. Ia terkapar di tanah, napas tersengal, namun masih hidup. Pohon itu masih berdiri… tapi kini retak.
Pertarungan belum berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, pohon itu terluka.
Dan Arga tahu… ia punya harapan.
Bab 12: Rencana Terakhir
Pagi itu, langit masih kelabu. Embun belum mengering, dan suasana desa semakin sunyi dari biasanya. Orang-orang mulai meninggalkan rumah mereka, menutup jendela, dan menggantungkan sesaji di depan pintu. Ketakutan merayap seperti kabut, menembus setiap celah kehidupan. Semua tahu, sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi.
Arga duduk di ruang belakang rumah tua peninggalan kakeknya, menatap peta dan catatan lusuh yang kini hampir hapal di luar kepala. Tangannya masih dibalut kain, menyembunyikan guratan hitam yang kini telah menjalar hingga ke siku. Suatu malam nanti, ia tahu tubuhnya bukan lagi miliknya. Ia harus bertindak sebelum itu terjadi.
Di sebelahnya, Rina membungkus benda-benda pusaka yang mereka temukan: pisau warisan keluarga, liontin tanah suci, dan segenggam rambut dari mayat tak dikenal yang ditemukan terkubur di bawah tunggul—rambut yang tak membusuk meski telah puluhan tahun berlalu.
“Apa kau yakin ini akan berhasil?” tanya Rina, suaranya bergetar, tapi matanya tetap tajam.
Arga mengangguk. “Tidak ada yang pasti. Tapi kita tidak bisa lagi hanya menunggu kematian datang.”
Malam itu, mereka kembali ke hutan. Tapi kali ini, mereka tidak datang untuk menyelidiki. Mereka datang untuk mengakhiri. Rencana Arga sederhana namun berisiko tinggi: memancing pohon itu keluar dari siklus kutukannya dengan menggandakan pengorbanan, bukan dengan darah orang tak bersalah, tapi dengan jiwa yang bersedia.
Di sekitar pohon yang kini telah berubah menjadi makhluk raksasa bercabang, mereka menggambar simbol-simbol kuno yang diambil dari buku tua milik dukun desa yang telah lama mati. Arga memercikkan darahnya ke setiap sudut, sementara Rina menaburkan tanah suci dan membacakan mantra pelindung.
Tapi ketika mereka hendak memulai ritual, pohon itu bereaksi.
Akar-akar menghujam keluar dari tanah, melilit tubuh Arga dan Rina. Jeritan mengerikan terdengar dari dalam batang—jeritan anak kecil, wanita, dan pria yang selama ini dikorbankan. Suara mereka saling bertumpuk, membentuk gema mengerikan yang menusuk telinga.
“Pengorbanan kalian… tidak cukup.”
Tiba-tiba, dari batang pohon, muncul wajah—wajah Arga sendiri, namun dengan mata gelap dan senyum dingin.
“Yang harus dikorbankan bukan tubuh… tapi kenangan.”
Arga tersentak. Dalam pikirannya, ia melihat bayangan masa lalunya: ibunya yang meninggal saat ia kecil, ayahnya yang menghilang di hutan, dan kenangan bersama Rina yang selalu menjadi cahaya dalam kegelapan hidupnya.
Pohon itu tidak hanya menginginkan darah. Ia ingin menghapus segalanya, menjadikan Arga wadah kosong yang bisa ia kuasai sepenuhnya.
Dengan sisa kekuatannya, Arga mengambil liontin tanah suci dan menekannya ke dadanya sendiri. Dalam sekejap, cahaya putih meledak, menembus gelap pekat hutan. Pohon itu menjerit, kulitnya mulai retak, akar-akar bergetar seperti cacing yang terbakar.
Rina, yang nyaris pingsan, berteriak, “ARGA! HENTIKAN! KAU BISA MATI!”
Namun Arga tersenyum. Ia tahu ini bukan tentang selamat atau tidak. Ini tentang mengakhiri semuanya.
“Aku akan pergi… tapi pohon ini akan ikut bersamaku.”
Dengan satu teriakan penuh keyakinan, Arga membenamkan pisau pusaka ke tanah, tepat di tengah simbol terakhir. Tanah terbelah. Cahaya menguar. Pohon itu terbakar dari dalam.
Dan untuk sesaat… hening.
Ketika Rina terbangun, ia berada di tepi hutan. Asap tipis mengepul dari kejauhan. Pohon itu… telah hilang. Yang tersisa hanyalah kawah kecil dan bau tanah terbakar. Tak ada jejak Arga.
Namun, jauh di dalam hutan, sebuah tunas kecil mulai tumbuh… dengan daun berwarna merah kehitaman.
Rencana terakhir memang berhasil. Tapi kutukan… belum benar-benar mati.
Bab 13: Pertarungan dengan Kegelapan
Langit malam tampak berbeda. Tidak sekadar gelap, tetapi seolah menghisap cahaya. Bintang-bintang menghilang, dan bulan terlihat pucat, seperti menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Rina berdiri di depan bekas kawah tempat pohon itu musnah. Namun, ia tahu semuanya belum berakhir. Di bawah permukaan tanah yang masih mengepul, ada sesuatu yang terus berdenyut. Sesuatu yang tumbuh. Sesuatu yang menunggu.
“Arga mengorbankan segalanya. Aku tidak akan membiarkan pengorbanannya sia-sia,” bisiknya dengan gigi terkatup, matanya menyapu setiap sudut hutan yang kini terasa lebih dingin daripada sebelumnya.
Tanpa disadari, bayangan mulai menjalar di sekelilingnya. Bayangan itu tidak mengikuti arah cahaya—mereka hidup, bergerak sendiri, mengelilinginya perlahan. Dari dalam kegelapan muncul sosok-sosok tinggi kurus, berwajah rata dan bermata merah redup. Mereka adalah perwujudan dari kutukan lama, makhluk-makhluk yang dahulu dikorbankan, kini dikutuk menjadi pelayan kegelapan.
Rina menggenggam liontin tanah suci yang kini mulai memanas di tangannya. Suaranya gemetar, namun tegas. “Kalian tak akan menguasai desa ini lagi. Kalian tak akan menjadikan kami tumbal selanjutnya.”
Salah satu makhluk melangkah maju, tubuhnya tampak seperti asap yang terikat oleh tulang-tulang rapuh. Dengan suara serak seperti ranting patah, ia berkata, “Dia gagal… Sekarang, giliranmu.”
Rina mengeluarkan pisau pusaka yang telah ditanamkan Arga dengan mantra pelindung. Dalam detik berikutnya, pertarungan pun dimulai.
Bayangan-bayangan itu menyergap dari segala arah. Rina berlari, berkelit, dan mengayunkan pisaunya, memotong tubuh asap yang mengerubunginya. Namun, setiap kali satu makhluk menghilang, dua lainnya muncul dari balik pohon, dari dalam tanah, dari celah-celah udara.
Rina mulai lelah. Tetesan darah menodai pakaiannya, bukan dari luka makhluk-makhluk itu, tapi dari cakaran dan gigitan yang ia terima. Tapi ketika segalanya terasa nyaris runtuh, ia teringat pada Arga—senyum terakhirnya, pengorbanannya.
“Aku tidak boleh kalah!” teriaknya.
Dengan sekuat tenaga, ia menancapkan liontin tanah suci ke tanah. Cahaya putih menyembur, mendorong semua makhluk bayangan menjauh. Mereka menjerit, tubuh mereka meleleh seperti lilin, dan suara-suara kutukan mereka terputus satu per satu.
Namun… suara lain muncul.
Dari dalam kawah, sesuatu bangkit. Bukan pohon, bukan bayangan, tetapi Arga.
Namun bukan Arga yang dikenalnya. Wajahnya gelap, matanya tak memiliki cahaya, dan dari dadanya tumbuh akar kecil berwarna hitam pekat.
“Rina…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat dada Rina sesak.
“Arga… kau…?” Air mata jatuh tanpa bisa dicegah.
“Aku… tidak bisa kembali. Tapi aku bisa melawan ini dari dalam. Aku butuh bantuanmu… sekali lagi.”
Maka, Rina pun mendekat. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, ia meraih tangan Arga dan meletakkan pisau pusaka di antara mereka. Tangan mereka menyatu, dan sekali lagi, cahaya meledak, lebih terang dari sebelumnya.
Teriakan-teriakan dari makhluk kegelapan menggema, langit bergetar, dan tanah seperti terbuka untuk menelan semuanya.
Dan kemudian—sunyi.
Ketika Rina membuka mata, Arga telah menghilang. Kawah tertutup oleh rerumputan yang mulai tumbuh. Hutan terasa lebih ringan, lebih tenang. Kegelapan itu telah dilawan. Setidaknya, untuk saat ini.
Bab 14: Pengorbanan yang Tak Terelakkan
Langit kembali cerah, tapi Rina tahu bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Meski pertarungan besar telah dimenangkan, sisa-sisa kegelapan masih bersembunyi di balik akar pohon, di antara celah tanah, dan di sudut-sudut sunyi hutan yang tidak pernah benar-benar tenang.
Setiap malam, ia bermimpi melihat Arga berdiri di tepi kawah, diam, menatapnya dengan mata kosong. Bukan dalam bentuk mengerikan seperti sebelumnya, tapi seperti jiwa yang masih tertinggal, belum selesai menunaikan tugasnya.
“Dia belum bebas,” ujar Rina lirih saat berdiri di depan pusara simbolis yang ia buat dari batu dan ukiran akar, tempat Arga terakhir kali menghilang.
Pak Wiryo, tetua desa yang sejak awal menyimpan rahasia tentang pohon berdarah itu, datang mendekat dengan langkah tertatih. “Kau tahu, Rina… kutukan ini tidak akan berakhir hanya dengan mengalahkan bayangannya. Pohon itu… pohon itu adalah perwujudan dari dendam, dari nyawa-nyawa yang dulu dikorbankan. Dan satu-satunya cara untuk memutusnya…”
Rina menoleh. “Adalah dengan tumbal terakhir, bukan?”
Pak Wiryo mengangguk pelan. “Seseorang yang rela… bukan dipaksa. Jiwa yang bersih dan penuh kasih. Seseorang yang bisa menghapus dendam itu dengan pengorbanannya sendiri.”
Rina terdiam cukup lama. Dalam benaknya, wajah Arga kembali muncul. Arga telah memberikan segalanya. Tapi itu belum cukup. Jiwa pohon itu belum tenang. Dan kini, hanya satu pilihan yang tersisa.
“Mungkin… ini memang tak terelakkan,” gumam Rina. “Mungkin aku memang ditakdirkan untuk mengakhiri semuanya.”
Malam itu, ia menulis surat. Ditujukan kepada warga desa, dan kepada siapa pun yang menemukan tubuhnya kelak. Ia tidak meminta dikenang. Ia hanya ingin mereka tahu bahwa segala hal mengerikan yang terjadi, telah ia pilih untuk hentikan.
Ia kembali ke tempat kawah, tempat semua dimulai—dan berlutut. Dengan pisau pusaka di tangan kanan dan liontin tanah suci di leher, ia mulai membaca doa. Angin menggila. Suara-suara aneh mulai terdengar. Getaran menjalar dari tanah, seolah ada sesuatu yang mulai terbuka.
“Aku memberimu nyawaku… bukan karena takut, tapi karena cinta. Kepada Arga. Kepada desa ini. Kepada semua yang telah menderita.”
Seketika, akar-akar hitam menjulur dari dalam tanah, melilit tubuhnya. Tapi kali ini, tidak menyakitinya. Mereka seakan menerima—dan meresapi niatnya. Cahaya putih melingkupi tubuh Rina, lalu menyebar hingga ke setiap sudut hutan. Jeritan-jeritan lemah terdengar dari balik semak, dari celah pohon, dari ujung lorong kegelapan yang perlahan runtuh.
Pohon itu—atau lebih tepatnya, jiwa-jiwa yang menjadi bagian darinya—akhirnya menerima kepergiannya.
Dan saat pagi tiba, warga desa menemukan tempat itu telah berubah. Tidak ada bekas luka, tidak ada bau darah, hanya sebuah pohon muda yang tumbuh di tengah kawah. Di cabang pohon itu, tergantung liontin Rina yang bersinar lembut terkena sinar matahari.
Bab 15: Akhir dari Kutukan
Beberapa bulan telah berlalu sejak malam di mana Rina menghilang dalam pelukan akar-akar kegelapan yang telah berubah menjadi terang. Desa Sukamerta, yang dulu dikelilingi bayang-bayang mencekam, kini tampak lebih tenang. Burung-burung kembali berkicau, udara pagi tak lagi menggigit dengan hawa aneh, dan hutan yang dulu tabu perlahan mulai dilirik kembali oleh penduduk.
Namun satu tempat tetap dibiarkan sepi: lingkaran tanah suci tempat pohon kutukan terakhir berdiri.
Pohon muda itu tumbuh dengan lambat namun kokoh. Daunnya lebat, berwarna hijau keperakan yang berbeda dari pepohonan lain. Di batangnya terdapat bekas ukiran alami berbentuk simbol pusaka, seolah menandakan bahwa pohon itu tidak hanya hidup—tetapi juga mengingat.
Di antara warga desa, banyak yang masih menyebut nama Rina dengan penuh hormat. Ia bukan hanya penyintas, tapi pelindung. Sosok yang menutup kisah kelam yang telah membayangi desa mereka selama puluhan tahun.
Pak Wiryo, kini berjalan lebih lambat dari biasanya, sering duduk di tepi hutan sambil memandang pohon itu. Di tangannya, selalu ada buku catatan tua yang kini ia isi dengan kisah yang selama ini ia sembunyikan.
“Sudah waktunya generasi selanjutnya tahu… bukan untuk takut, tapi untuk belajar,” katanya suatu sore kepada seorang anak muda yang penasaran.
Di malam purnama berikutnya, warga desa mengadakan ritual penghormatan sederhana. Bukan persembahan seperti dahulu, bukan pengusiran roh jahat seperti yang pernah mereka lakukan dengan penuh rasa takut. Kali ini mereka datang dengan bunga, doa, dan diam.
Mereka berdiri melingkar, mengheningkan cipta di bawah sinar bulan. Suasana hening yang dulu menakutkan kini terasa khidmat.
Dan di saat itulah, angin bertiup lembut. Dari pohon muda itu, terdengar suara samar, seperti bisikan. Sebagian orang mengira itu hanya angin. Namun Pak Wiryo tersenyum dan menutup bukunya.
“Dia masih di sini,” katanya lirih. “Bukan sebagai hantu, tapi sebagai penjaga.”
Beberapa anak muda mulai menanam pohon-pohon baru di sekitar kawah lama itu. Sebuah lambang kehidupan baru yang tumbuh dari tragedi. Desa Sukamerta perlahan membentuk bab baru dalam sejarahnya—tanpa lagi dibayangi rasa takut yang membatu.
Kutukan itu… telah berakhir.
Namun sebagaimana semua kisah lama, sebagian percaya bahwa pohon berdarah tidak benar-benar musnah, hanya tertidur… menunggu, jika manusia kembali menyentuh batas antara keserakahan dan pengorbanan.***
——————————-THE END——————————–