• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

February 10, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

TUKANG CUKUR SUKA CURHAT

by MABUMI
February 10, 2025
in Comedy
Reading Time: 15 mins read

Bab 1: Pembukaan yang Aneh

Di sebuah barbershop kecil yang terletak di pojok jalan utama kota, Dedi, sang tukang cukur, sedang sibuk menyiapkan perlengkapan cukur. Barbershop yang sudah ada sejak sepuluh tahun lalu ini tampak sederhana, dengan cat dinding yang sudah mulai pudar, kursi cukur yang terbuat dari kulit buatan yang mulai mengelupas, dan rak-rak kayu yang penuh dengan berbagai produk perawatan rambut. Meski sederhana, tempat ini selalu penuh dengan pelanggan setia yang sudah tahu betul bahwa mereka bukan hanya datang untuk memotong rambut, tetapi juga untuk mendengarkan cerita Dedi.

Pagi itu, seperti biasa, Dedi mulai membuka toko tepat pukul 9 pagi. Tak lama setelah dia menyiapkan alat cukur, pelanggan pertama masuk. Seorang pria muda, Joko, tampak bingung dan sedikit canggung saat melangkah masuk. Pemandangan barbershop yang penuh dengan aroma aftershave dan sampo tak terlalu asing baginya, namun suasana yang tenang dan agak kuno ini membuatnya merasa sedikit kurang nyaman.

“Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?” sapa Dedi dengan senyuman lebar, menyadari kehadiran Joko yang baru pertama kali datang.

Joko, yang baru saja pindah ke kota ini, hanya mengangguk, sedikit canggung. “Saya… mau potong rambut,” jawabnya, tergesa-gesa.

“Silakan duduk,” Dedi mengarahkan dengan santai, menepuk kursi cukur di depannya. “Santai saja, kami di sini bukan cuma potong rambut, tapi juga untuk curhat.”

Joko agak terkejut mendengar kata-kata Dedi yang terdengar santai dan akrab, meskipun baru pertama kali bertemu. Dedi tampak begitu familiar dengan suasana ini, seperti sudah bertahun-tahun menjamu pelanggan dengan percakapan ringan yang tak terduga.

Setelah Joko duduk di kursi cukur, Dedi mulai memeriksa rambutnya. “Rambutmu ini, ya, agak sulit diatur. Tapi santai aja, kita bisa bicarakan dulu sebelum cukuran dimulai,” kata Dedi sambil menatap rambut Joko yang agak panjang dan sedikit berantakan.

Joko yang merasa semakin canggung hanya tersenyum tipis. “Oh, iya, saya baru saja pindah ke kota ini,” jawabnya pelan, seolah memberi sedikit petunjuk.

“Ah, pindah ke kota baru ya? Aku dulu juga pindah ke sini, dari desa kecil. Nggak mudah, ya, tinggal di kota besar. Semua orang terlihat sibuk dan nggak punya waktu untuk berbicara,” ujar Dedi, seolah membaca pikiran Joko.

Dedi kemudian melanjutkan cerita tentang pengalamannya pindah ke kota besar bertahun-tahun lalu. Dia mulai bercerita bagaimana ia merasa kesepian di awal-awal, berjuang menyesuaikan diri, dan bagaimana akhirnya menemukan pekerjaan di barbershop ini. “Barbershop ini, ya, awalnya cuma kerjaan sambilan. Tapi lama-lama, aku jadi cinta banget dengan pekerjaan ini. Gak cuma potong rambut, tapi ngobrol sama orang-orang itu bikin aku merasa hidup,” lanjut Dedi, tanpa rasa canggung.

Joko yang awalnya hanya berencana untuk cepat-cepat selesai memotong rambut, mulai merasa tertarik dengan cerita Dedi. Dia bahkan merasa sedikit lega, seolah ada seseorang yang bisa diajak bicara. Selama ini, dia merasa hidupnya monoton. Di kota yang baru, dia jarang berinteraksi dengan orang lain, lebih sering terkurung dalam pekerjaan dan rutinitas sehari-hari.

“Saya juga kadang merasa… kesepian, sih,” kata Joko akhirnya, merasa terbuka dengan Dedi yang begitu mudah berbicara. “Di kota ini, saya nggak punya banyak teman. Pekerjaan juga membuat saya merasa terjebak.”

Dedi mengangguk, seolah memahami dengan sangat baik apa yang Joko rasakan. “Ya, memang, pekerjaan itu bisa jadi jebakan kalau kita nggak hati-hati. Kadang kita terlalu fokus sama karier, sampai lupa sama diri sendiri, sampai lupa sama hal-hal yang lebih penting. Lihat deh, hidup itu nggak cuma kerja, kerja, kerja… Kita butuh waktu untuk menikmati hidup juga,” ujar Dedi sambil menyisir rambut Joko dengan hati-hati.

Joko yang mendengarkan mulai merasa ada kelegaan. Selama ini, dia tidak pernah benar-benar memiliki kesempatan untuk berbicara dengan seseorang tentang perasaannya. Ada semacam kedekatan yang terbentuk, meskipun mereka baru pertama kali bertemu. Dedi, dengan sikapnya yang santai dan penuh perhatian, memberi ruang bagi Joko untuk membuka diri.

“Dedi, kamu tahu nggak, kadang aku merasa… semuanya harus sempurna. Kerja keras, dapat promosi, jadi yang terbaik… tapi di saat yang sama, aku merasa nggak bahagia,” kata Joko dengan suara pelan.

“Masalahnya bukan di pekerjaan, tapi di cara kita melihat hidup, Joko. Semua yang kita lakukan itu seharusnya punya tujuan. Kalau cuma mengejar target, kamu akan terus merasa kosong. Coba cari hal yang bikin kamu senang, bukan cuma karena uang atau prestasi,” jawab Dedi sambil tersenyum.

Joko terdiam. Dia merasa kata-kata Dedi masuk ke dalam hati. Dedi memang seorang tukang cukur, tapi dengan cara yang unik, ia mampu memberikan perspektif yang berbeda tentang hidup, hal-hal yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya.

Akhirnya, Dedi selesai memotong rambut Joko, dan hasilnya rapi, sesuai dengan keinginan Joko yang awalnya canggung. Namun, lebih dari sekadar potongan rambut yang bagus, Joko merasa dia mendapatkan sesuatu yang lebih dari pertemuan ini—sebuah pencerahan kecil tentang bagaimana seharusnya dia menjalani hidup.

Saat Joko beranjak untuk membayar dan bersiap pergi, Dedi tersenyum. “Jangan lupa, kalau butuh teman buat curhat, datang aja lagi. Aku selalu ada di sini.”

Joko yang sedang mengenakan jaket dan bersiap meninggalkan barbershop itu, menoleh sebentar dan tersenyum. “Terima kasih, Dedi. Aku merasa sedikit lebih baik setelah ngobrol sama kamu.”

Dedi mengangguk, seolah memberi restu. “Itulah yang kita lakukan di sini, bukan cuma potong rambut, tapi juga berbagi cerita. Kapan saja kamu butuh, datang aja.”

Joko berjalan keluar, merasa lebih ringan, dengan pikiran yang terbuka. Barbershop Dedi bukan hanya tempat untuk memotong rambut, tapi juga tempat di mana orang bisa berbagi perasaan tanpa takut dihakimi. Dedi, sang tukang cukur yang suka curhat, ternyata lebih dari sekedar tukang cukur—dia adalah teman, pendengar yang baik, dan seorang yang tahu betul bahwa kadang, hal-hal sederhana bisa membuat hidup terasa lebih berarti.

Bab 2: Terjebak dalam Cerita Dedi

Hari-hari berlalu, dan Joko kembali ke barbershop Dedi untuk potong rambut. Setelah pertemuan pertama yang cukup membuka matanya tentang kehidupan, Joko merasa ada sesuatu yang menarik dari percakapan dengan Dedi. Terkadang, berbicara dengan seseorang yang tidak mengenal kita begitu dalam memberi kenyamanan tersendiri. Entah kenapa, Joko merasa lebih ringan setelah berbicara dengan Dedi. Mungkin karena Dedi selalu tahu cara menyampaikan hal-hal yang mengarah pada refleksi diri tanpa terdengar menggurui.

Pagi itu, saat Joko memasuki barbershop, suasana sudah terasa akrab. Tidak ada rasa canggung seperti pertama kali datang. Joko duduk di kursi cukur dengan senyum lebar. “Pagi, Dedi,” sapanya.

“Pagi, Joko!” Dedi menyambut dengan penuh semangat. “Kamu kelihatan lebih cerah nih, ada apa?”

Joko hanya tertawa kecil. “Ah, nggak ada, cuma tidur lebih nyenyak aja,” jawabnya sambil meluruskan rambutnya yang sedikit berantakan.

Dedi mulai bekerja memotong rambut Joko dengan cekatan, namun kali ini suasana di barbershop terasa lebih santai dan tidak terikat oleh waktu. Sebelumnya, pertemuan mereka dimulai dengan cerita Dedi tentang kehidupannya, namun kali ini, Joko yang merasa sedikit lebih dekat mulai membuka diri.

“Eh, Dedi, aku kepikiran terus soal yang kamu bilang kemarin,” kata Joko, membuka percakapan yang sebelumnya tidak sempat dia utarakan. “Tentang kerja dan hidup. Aku tuh bingung, sekarang rasanya kayak… terjebak dalam rutinitas. Aku kerja di kantor, tiap hari itu-itu aja. Kadang mikir, kerja keras udah bener belum ya? Tapi hasilnya nggak bikin aku bahagia.”

Dedi mengangguk pelan. “Tahu banget rasanya,” katanya. “Aku juga dulu pernah ngerasain itu. Lakukan sesuatu yang kita anggap benar, tapi kok akhirnya malah ngerasa jenuh. Tapi, coba deh, jangan fokus cuma ke hasilnya aja. Kadang, cara kita menjalani sesuatu itu yang bikin perbedaan. Kalau kita menikmati prosesnya, walaupun capek, itu bisa jadi hal yang bikin kita senang.”

Joko mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna kata-kata Dedi yang terdengar begitu sederhana, namun terasa dalam. “Tapi kan, proses itu nggak selalu menyenangkan. Kadang aku merasa… aku capek, Dedi. Capek banget.”

Dedi tersenyum. “Iya, capek itu pasti. Semua orang ngerasain. Tapi kalau capeknya itu karena kita mau maju, bukan sekadar mengikuti arus, itu yang beda. Kadang kita cuma butuh waktu buat berhenti dan melihat apa yang udah kita capai, bukan cuma fokus ke yang belum tercapai.”

Joko merasa bahwa percakapan ini mulai membawa pencerahan. Ada sesuatu yang berbeda dari Dedi—dia bisa melihat masalah dari sisi yang berbeda. Seolah, Dedi sudah menjalani hidupnya dengan segala pengalaman, dan setiap ceritanya mengandung pelajaran yang tak terucapkan.

“Dedi, menurutmu… kita bisa bahagia kalau terus mengejar target hidup nggak sih?” tanya Joko tiba-tiba.

“Pertanyaan yang bagus,” jawab Dedi sambil terus menyisir rambut Joko. “Bagi aku, target itu penting. Tapi kalau cuma ngejar target tanpa menikmati proses, kita cuma akan capek aja. Cobalah sesekali nikmati hal-hal kecil, yang sering kita anggap remeh. Seperti waktu kita ngobrol sekarang ini, atau waktu luang yang kamu punya, itu juga penting buat bahagia.”

Joko mengangguk pelan, merenungkan kata-kata Dedi. Percakapan ini benar-benar berbeda dari yang biasa dia dengar. Biasanya, orang-orang di kantor hanya bicara soal pekerjaan dan prestasi. Tidak banyak yang mau berbicara tentang kebahagiaan atau makna hidup yang lebih dalam. Dedi seolah memberi perspektif baru yang belum pernah Joko pikirkan sebelumnya.

Sementara itu, Dedi terus melanjutkan pekerjaannya, tanpa terburu-buru. Seperti biasa, dia tidak hanya memotong rambut, tetapi juga menyuntikkan kata-kata yang terkadang sulit dipahami, namun menenangkan. “Aku pernah punya klien yang datang ke sini, setiap minggu. Biasanya dia hanya diam, tidak banyak bicara. Tapi setelah beberapa bulan, dia mulai terbuka. Ternyata, dia juga merasa terjebak dalam rutinitas. Kadang, kita nggak sadar kalau kita butuh seseorang untuk berbicara.”

Joko mengangguk, kali ini lebih serius. “Ya, aku merasa itu juga sih. Selama ini, aku lebih sering diam dan menyimpan perasaan sendiri. Kadang, hanya dengan berbicara, perasaan itu jadi lebih ringan.”

Dedi tersenyum dan menyelesaikan potongan rambut Joko. “Makanya, di sini bukan cuma tempat buat potong rambut. Ini juga tempat buat ngobrol. Kadang, hal-hal yang kita ucapkan itu bisa jadi pelepas stres yang paling sederhana. Kamu nggak perlu punya solusi langsung, cukup bicara, dan kamu akan merasa lebih baik.”

Setelah beberapa saat, Dedi menyelesaikan potongan rambut Joko dengan hasil yang rapi. Joko merasa puas dengan penampilannya, namun lebih dari itu, dia merasa ada semacam kedamaian yang datang dari percakapan tadi. Barbershop ini bukan hanya tempat untuk merapikan rambut, tapi juga tempat di mana dia bisa berbagi dan mendapatkan perspektif yang berbeda.

Sebelum Joko pergi, dia mengucapkan terima kasih kepada Dedi. “Terima kasih, Dedi. Sungguh, aku merasa lebih baik setelah ngobrol sama kamu.”

Dedi hanya mengangguk, sambil tersenyum. “Sama-sama, Joko. Jangan lupa, kalau butuh teman untuk berbicara, datang aja lagi. Aku selalu ada.”

Joko berjalan keluar dari barbershop dengan pikiran yang lebih tenang. Meskipun masalah di kantor dan rutinitas hidup masih tetap ada, dia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapinya. Kadang, hidup memang membutuhkan lebih banyak curhat daripada yang kita sadari. Dan barbershop Dedi adalah

tempat yang tepat untuk itu—di mana kata-kata sederhana bisa memberi kedamaian, dan percakapan bisa membawa pencerahan.

Bab 3: Kembali ke Rumah yang Lebih Dekat

Minggu berlalu sejak pertemuan kedua Joko dengan Dedi di barbershop. Joko merasa seperti ada yang berubah dalam dirinya. Setiap kali dia merasa terjebak dalam rutinitas dan tekanan kerja, pikirannya kembali mengingat percakapan ringan yang dia lakukan dengan Dedi. Kata-kata tentang menikmati proses, bukan hanya hasil, terus terngiang dalam benaknya. Rasanya, hidup menjadi sedikit lebih mudah saat dia mulai membiarkan dirinya merasa bahagia dengan hal-hal kecil, bukan hanya berfokus pada apa yang belum tercapai.

Namun, seperti halnya hidup yang tidak pernah benar-benar linier, Joko merasa kembali terjepit dalam rutinitasnya. Pekerjaan di kantor mulai kembali penuh dengan deadline, rapat, dan laporan yang menumpuk. Teman-teman sekerjanya mulai memperhatikan bahwa Joko terlihat lebih sering termenung, lebih sedikit berbicara tentang pencapaian atau target, yang biasanya selalu dia bicarakan.

Sore itu, setelah seharian penuh dengan rapat yang memusingkan, Joko merasa lelah. Di tengah perjalanan pulang, dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Dedi. Sejak pertemuan kedua mereka, Joko merasa nyaman di tempat itu. Barbershop Dedi bukan hanya tempat untuk memotong rambut, tetapi lebih seperti ruang untuk berbicara tentang hal-hal yang jarang bisa dia ungkapkan di tempat lain.

Saat Joko memasuki barbershop, Dedi sedang sibuk melayani seorang pelanggan yang tampaknya sedang terburu-buru. Joko duduk di salah satu kursi tunggu dan menunggu dengan sabar. Tidak lama kemudian, Dedi menyelesaikan potongan rambut pelanggan lainnya dan berbalik untuk menyambut Joko.

“Eh, Joko! Kamu datang lagi?” Dedi menyapa dengan senyum ramah, seperti biasa. “Ada yang bisa saya bantu hari ini?”

Joko tersenyum lemah, sedikit merasa lelah. “Aku cuma mau ngobrol, Dedi. Nggak ada yang spesial. Cuma… aku lagi merasa kebingungan aja.”

Dedi mengangguk dan menuntun Joko ke kursi cukur, meskipun kali ini Joko tidak berniat untuk memotong rambut. “Paham, kadang hidup emang suka bikin bingung. Coba cerita aja, siapa tahu bisa bikin lebih ringan.”

Joko menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Aku merasa seolah-olah aku nggak tahu lagi apa yang aku inginkan. Kerja itu kayaknya nggak ada habisnya, dan semua cuma fokus pada pekerjaan. Dulu, aku pikir kalau kerja keras, nanti aku bisa bahagia, bisa mencapai semua yang aku impikan. Tapi sekarang, aku mulai merasa, apa semua itu penting? Apa aku hanya mengejar sesuatu yang nggak ada habisnya?”

Dedi duduk di samping Joko, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Joko, kamu tahu nggak? Aku dulu juga pernah merasa seperti itu. Aku bekerja tanpa kenal lelah, berharap kalau kerja keras itu bisa memberi kebahagiaan. Tapi ternyata, semakin aku mengejar itu, semakin aku merasa kosong. Kerja keras memang penting, tapi kita juga harus tahu kapan waktunya untuk berhenti dan menikmati hidup.”

Joko mengangguk, meskipun masih merasa bingung. “Tapi bagaimana caranya, Dedi? Aku kadang merasa kalau aku berhenti sebentar untuk menikmati hidup, aku bakal ketinggalan dan nggak bisa mengejar target. Aku selalu merasa harus lebih cepat, lebih baik, lebih banyak.”

Dedi tersenyum, sedikit menenangkan. “Memang, dunia ini kadang memaksa kita untuk berpikir seperti itu. Semua orang seperti berlomba-lomba. Tapi percayalah, Joko, kebahagiaan itu nggak bisa dipaksakan. Kadang, hal-hal kecil yang kita lewatkan justru memberi kebahagiaan yang lebih besar. Misalnya, waktu untuk duduk santai di barbershop dan ngobrol. Waktu untuk merasakan udara segar, atau bahkan cuma menikmati secangkir kopi.”

Joko terdiam, merenungkan kata-kata Dedi. Beberapa hari terakhir, dia merasa begitu terbebani oleh segala hal yang harus dia capai. Tetapi di tengah kepadatan hidup itu, ada momen-momen kecil yang bisa dinikmati. Di tengah kebisingan dunia, Dedi mengajarkannya untuk berhenti sejenak, untuk menikmati waktu yang ada.

“Kadang aku juga merasa nggak ada orang yang bisa paham apa yang aku rasakan,” kata Joko, seolah membuka pintu pemikiran baru. “Mungkin karena mereka semua fokus sama pekerjaan, sama target yang harus dicapai. Tapi di sini, aku merasa lebih… dimengerti.”

Dedi mengangguk. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Joko. Terkadang, kita merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang. Di barbershop ini, aku selalu mencoba jadi pendengar yang baik. Dan sering kali, aku merasa banyak orang datang bukan cuma untuk potong rambut, tapi juga untuk berbicara, untuk melepaskan apa yang mereka rasakan.”

Joko tersenyum, merasa ada kenyamanan dalam kata-kata Dedi. Tiba-tiba dia merasa seolah sedang duduk di ruang tamu rumah, berbicara dengan teman lama. Bukan hanya sekadar tukang cukur, Dedi sudah menjadi seseorang yang Joko percayai untuk berbicara tentang kehidupan.

“Mungkin aku perlu mulai melihat kehidupan dengan cara yang berbeda,” kata Joko pelan. “Mungkin aku terlalu fokus pada pencapaian, sampai lupa untuk menikmati prosesnya. Aku selalu berpikir, jika aku mencapai ini dan itu, hidupku akan lebih bahagia. Tapi mungkin aku perlu lebih banyak menikmati hal-hal kecil.”

“Begitu,” jawab Dedi, menyunggingkan senyum. “Kebahagiaan itu nggak selalu datang dari yang besar. Kadang, yang kecil itu lebih bermakna. Seperti sekarang, kita duduk ngobrol di sini, kan? Itu sudah cukup.”

Joko merasa lebih lega setelah percakapan itu. Meskipun masalah dan rutinitas hidup masih ada, dia merasa sedikit lebih siap untuk menjalani semuanya. Ada banyak hal yang bisa dinikmati, bahkan dalam kesibukan. Setiap momen, sekecil apapun, bisa menjadi bagian dari kebahagiaan yang selama ini dia cari.

Saat Joko berdiri untuk pergi, Dedi mengingatkannya, “Ingat, Joko, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Cobalah untuk menemukan keseimbangan. Dan kalau perlu berbicara, aku selalu ada di sini.”

Joko tersenyum lebar, “Terima kasih, Dedi. Kamu benar-benar teman yang baik.”

Dengan hati yang lebih ringan, Joko meninggalkan barbershop, merasa seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Mungkin, hanya dengan berbicara dan menikmat

i momen, hidup bisa menjadi lebih ringan.

Bab 4: Ketika Kehidupan Menyajikan Pilihan

Hari-hari setelah pertemuan ketiga di barbershop Dedi berjalan dengan lebih ringan. Joko mulai mengubah cara pandangnya tentang kehidupan, meskipun tidak semuanya berjalan mulus. Ada kalanya dia masih merasa terperangkap dalam rutinitas, dan pekerjaan di kantor terus menyita perhatian. Namun, Joko kini mulai memberi ruang untuk diri sendiri, untuk berbicara tentang perasaan, dan untuk menikmati momen-momen kecil yang sebelumnya terlewatkan.

Suatu hari, Joko terbangun dengan perasaan campur aduk. Pagi itu, dia merasa sedikit bingung. Hari-harinya di kantor mulai membuatnya lelah, dan dia merasa tidak ada perkembangan yang berarti dalam hidupnya. Meski telah berusaha mencari cara untuk menikmati proses, rutinitas yang monoton terkadang membuatnya ragu. Apakah benar dia sudah berada di jalur yang tepat? Ataukah ada pilihan lain yang bisa dia ambil?

Sambil merapikan tempat tidur, Joko teringat lagi pada percakapan dengan Dedi yang beberapa waktu lalu masih terasa begitu hidup di benaknya. “Kebahagiaan itu datang dari proses, bukan hasil,” kata Dedi saat itu. Namun, pertanyaannya masih terus mengganggu pikiran Joko: apa yang harus dia lakukan untuk bisa merasa puas dengan hidupnya?

Karena merasa perlu berbicara dengan seseorang, Joko memutuskan untuk pergi ke barbershop. Lagi-lagi, Dedi menjadi tempat yang nyaman bagi Joko untuk berbagi apa yang ada dalam pikirannya. Ketika Joko sampai di barbershop, suasana seperti biasa—tenang, santai, dengan aroma yang khas dari produk perawatan rambut. Tidak ada yang berubah, kecuali perasaan Joko yang sedikit lebih gelisah.

Dedi sedang melayani pelanggan yang lain saat Joko masuk, jadi dia memilih untuk duduk sejenak dan menunggu giliran. Beberapa menit kemudian, Dedi selesai dan memanggil Joko.

“Joko, datang lagi ya? Apa kabar?” sapa Dedi dengan senyum khasnya. “Kamu kelihatan agak… pusing, nih. Ada apa?”

Joko tertawa kecil, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit tertekan. “Iya, Dedi. Lagi banyak mikir, sih. Aku merasa kayak… ada banyak pilihan dalam hidup, tapi nggak tahu harus pilih yang mana.”

Dedi menunjuk kursi cukur dan mempersilakan Joko duduk. “Cerita lebih lanjut dong. Pilihan seperti apa yang kamu maksud?”

Joko mulai bercerita, menceritakan tentang kebingungannya dalam memilih jalur hidup yang harus dia ambil. Pekerjaannya di kantor yang terkadang terasa monoton, perasaan lelah yang datang begitu saja, serta ketakutan akan kehilangan kesempatan dalam mengejar tujuan hidupnya. “Aku rasa banyak hal yang harus dipilih, Dedi. Tapi aku nggak tahu apakah pilihan itu benar atau hanya sebuah pelarian dari rutinitas.”

Dedi mulai memotong rambut Joko, mendengarkan dengan saksama. “Jadi, kamu merasa terjebak dengan pilihan yang ada?” tanya Dedi sambil memotong rambut dengan cekatan.

Joko mengangguk pelan. “Iya, seperti ada dua jalur yang aku harus pilih. Di satu sisi, aku ingin tetap bertahan di pekerjaan ini dan berkembang, tapi di sisi lain, aku merasa harus mencari sesuatu yang lebih bermakna—sesuatu yang lebih bisa membuatku merasa hidup, bukan hanya sekedar berlari mengejar target.”

Dedi berhenti sejenak, meletakkan gunting di atas meja cukur. “Joko, kadang dalam hidup kita memang dihadapkan dengan banyak pilihan, dan semuanya terasa berat. Tapi yang perlu kamu ingat, setiap pilihan itu membawa pelajaran. Tidak ada yang sia-sia. Apapun yang kamu pilih, itu akan menjadi bagian dari perjalanan hidupmu. Kamu hanya perlu lebih mendengarkan dirimu sendiri.”

Joko terdiam, mencoba menyerap kata-kata Dedi yang terasa penuh makna. “Tapi Dedi, bagaimana kalau aku salah pilih? Kalau aku memilih jalur yang salah, aku takut nggak bisa kembali.”

Dedi tersenyum. “Jangan terlalu takut akan kesalahan. Hidup itu penuh dengan coba-coba, kok. Kamu bisa mengambil keputusan sekarang, dan kalau ternyata itu bukan jalan yang benar, kamu bisa belajar dan mencoba lagi. Nggak ada jalan yang benar-benar sempurna. Yang penting, kamu harus tahu kapan waktunya untuk berhenti, beristirahat, dan memikirkan langkah berikutnya.”

Joko mulai merasa lebih lega, meskipun perasaan bingung masih belum sepenuhnya hilang. “Tapi, apa aku harus tetap bertahan di tempat yang membuatku merasa jenuh, Dedi? Apa tidak ada cara lain untuk mencari kebahagiaan tanpa meninggalkan semuanya?”

Dedi menatap Joko dengan serius, kemudian menjawab dengan lembut, “Joko, hidup itu bukan hanya tentang mencari kebahagiaan dalam hal besar atau luar biasa. Kadang, kebahagiaan itu ada di tempat yang paling sederhana—di dalam dirimu sendiri. Jika kamu merasa terjebak, mungkin itu tanda bahwa kamu perlu berhenti sejenak, merenung, dan melihat lagi apa yang sebenarnya kamu inginkan. Mungkin jawabannya tidak perlu sekompleks yang kamu bayangkan.”

Joko merasa seperti ada beban yang sedikit berkurang setelah mendengar penjelasan Dedi. Terkadang, jawabannya memang tidak harus rumit. Mungkin yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berhenti sejenak dan berpikir lebih jernih tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup.

Setelah beberapa lama, Dedi selesai memotong rambut Joko dan mengucapkan, “Ingat, Joko, hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan. Proses dan perjalanan itu penting. Dan jika kamu merasa perlu untuk mencari sesuatu yang berbeda, itu juga tidak salah.”

Joko berdiri dari kursi, merasa lebih ringan. “Terima kasih banyak, Dedi. Aku merasa lebih jelas sekarang. Mungkin aku harus mulai mencari waktu untuk berhenti sejenak, menikmati perjalanan ini, dan tidak terlalu terobsesi dengan hasil.”

Dedi mengangguk. “Itu dia, Joko. Jangan takut mencoba hal baru, tapi jangan lupa juga untuk menikmati setiap langkahmu. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Joko meninggalkan barbershop dengan pikiran yang lebih tenang. Meskipun jalan di depannya masih penuh tanda tanya, dia merasa siap menghadapi pilihan-pilihan yang ada. Ada banyak cara untuk menemukan kebahagiaan, dan terkadang yang dibutuhkan hanya sedikit waktu untuk merenung dan mendengarkan hati.

Bab 5: Menghadapi Keputusan yang Berat

Kehidupan Joko dalam beberapa minggu terakhir penuh dengan perubahan yang tidak terduga. Setelah beberapa percakapan dengan Dedi, dia mulai menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Namun, meskipun dia merasa sedikit lebih tenang, ada satu hal yang terus menghantuinya: keputusan besar yang harus diambil. Pekerjaan di kantor semakin menumpuk, dan Joko merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang monoton. Dia tahu bahwa suatu saat, dia harus memilih jalan yang lebih sesuai dengan dirinya, tetapi dia tidak tahu jalan mana yang harus dia pilih.

Suatu pagi, Joko bangun dengan perasaan yang lebih berat daripada biasanya. Pekerjaan di kantor semakin menuntut, dan setiap harinya dia merasa semakin terhimpit oleh tekanan yang ada. Belum lagi, ada masalah pribadi yang mengganggu pikirannya—hubungannya dengan pacarnya, Lia, mulai merenggang. Mereka jarang punya waktu untuk bertemu, dan komunikasi semakin menurun. Joko merasa terasingkan dari orang-orang terdekatnya, terjebak dalam dunia yang hanya berputar di sekitar pekerjaan dan tekanan.

Di tengah kebingungannya, Joko kembali teringat pada percakapan-percakapan yang dia lakukan dengan Dedi. Ada sesuatu yang membuat Joko merasa nyaman setiap kali berbicara dengannya, seolah Dedi memahami kekhawatiran-kekhawatiran yang dia rasakan. Karena itu, tanpa pikir panjang, Joko memutuskan untuk pergi ke barbershop lagi. Kali ini, dia merasa butuh sesuatu yang lebih dari sekadar potong rambut—dia butuh perspektif yang berbeda, sesuatu yang bisa membantunya melihat masalah dengan cara yang baru.

Ketika Joko tiba di barbershop, suasana seperti biasa—tenang, dengan aroma sabun dan minyak rambut yang khas. Dedi sedang tidak melayani pelanggan lain, jadi dia langsung menyambut Joko dengan senyum ramah.

“Joko, lagi datang untuk ngobrol ya?” tanya Dedi, menyadari bahwa Joko tampaknya datang dengan beban pikiran yang lebih berat dari biasanya.

Joko mengangguk dan duduk di kursi cukur. “Iya, Dedi. Aku benar-benar butuh ngobrol kali ini. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan, dan nggak tahu harus pilih yang mana.”

Dedi menyuruh Joko untuk duduk santai, lalu memulai percakapan. “Kalau begitu, ceritakan apa yang sedang kamu rasakan. Terkadang, dengan berbicara, kita bisa mendapatkan sedikit kelegaan.”

Joko menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. “Kerja di kantor semakin menekan, Dedi. Aku merasa nggak ada waktu untuk diri sendiri. Selain itu, hubunganku dengan Lia juga mulai renggang. Aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa menyelamatkan hubungan itu lagi. Semua terasa sangat berat, dan aku merasa nggak tahu harus berbuat apa.”

Dedi menyimak dengan seksama, lalu berkata, “Itu pasti sangat mengganggu ya, Joko. Perasaan terjebak antara pekerjaan yang terus menuntut dan hubungan pribadi yang mulai goyah. Tapi kamu juga harus ingat, keputusan yang harus kamu buat itu bukan hanya soal pekerjaan atau hubungan, tapi soal dirimu sendiri. Apa yang membuatmu merasa bahagia, dan apa yang membuatmu merasa puas dalam hidup ini?”

Joko menunduk, meresapi kata-kata Dedi. “Aku nggak tahu, Dedi. Terkadang aku merasa seolah-olah aku berlari tanpa arah. Aku terus bekerja keras, berusaha mencapai target, tetapi aku merasa kosong. Di sisi lain, aku ingin memperbaiki hubungan dengan Lia, tetapi aku merasa nggak punya cukup waktu. Semua pilihan ini seperti mengarah ke jalan yang berbeda, dan aku nggak tahu mana yang harus aku pilih.”

Dedi mengangguk paham, kemudian melanjutkan, “Joko, kadang kita merasa terjepit di antara berbagai pilihan, karena kita terlalu fokus pada apa yang harus kita lakukan, bukan apa yang sebenarnya kita inginkan. Pekerjaan memang penting, tetapi kalau hanya itu yang kamu kejar, kamu bisa kehilangan hal-hal lain yang lebih berharga, seperti waktu bersama orang yang kamu cintai atau waktu untuk dirimu sendiri.”

Joko terdiam, mencerna kata-kata Dedi. “Tapi, Dedi, bagaimana caranya aku tahu apa yang benar-benar aku inginkan? Aku merasa seperti sudah terlanjur terjebak dalam pekerjaan ini, dan aku nggak bisa begitu saja meninggalkan semuanya.”

Dedi tersenyum lembut. “Joko, aku paham. Tapi ingat, keputusan besar dalam hidup itu nggak selalu harus dipaksakan. Terkadang, kamu perlu berhenti sejenak dan melihat kembali apa yang sudah kamu capai. Apa yang benar-benar kamu hargai. Cobalah untuk memperhatikan lebih banyak hal kecil yang ada di sekitar kamu—hal-hal yang mungkin terlupakan dalam kesibukan. Mungkin itu yang akan membantumu melihat lebih jelas apa yang perlu kamu pilih.”

Joko mengangguk, merasa ada kebenaran dalam kata-kata Dedi. “Aku tahu, Dedi. Tapi aku merasa sudah terlanjur terlalu lama mengabaikan kebahagiaan pribadi demi pekerjaan. Aku rasa aku mulai kehilangan arah.”

Dedi memotong rambut Joko dengan lebih hati-hati, lalu berkata, “Terkadang, kita memang harus kehilangan sesuatu untuk bisa menemukan yang lebih penting. Tapi bukan berarti kita harus menyerah pada segalanya. Kamu hanya perlu lebih tegas dengan diri sendiri. Jika pekerjaan itu sudah membuatmu tidak bahagia, mungkin sudah saatnya untuk mencari keseimbangan. Begitu juga dengan hubunganmu dengan Lia—kamu harus memilih untuk lebih hadir di kehidupan orang-orang yang kamu cintai.”

Joko merasa sedikit lebih lega. Kata-kata Dedi memberinya perspektif baru. “Mungkin aku perlu lebih fokus pada hal-hal yang membuatku bahagia, ya. Mungkin aku terlalu sibuk mengejar sesuatu yang besar, sampai-sampai lupa untuk menikmati hal-hal kecil yang ada di sekitarku.”

Dedi mengangguk dan tersenyum. “Itu baru Joko yang aku kenal. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Ambil waktu untuk merenung, untuk melihat kembali apa yang benar-benar penting. Dan jika perlu, buatlah keputusan berdasarkan apa yang kamu rasakan, bukan apa yang harus kamu capai.”

Setelah percakapan panjang itu, Joko merasa sedikit lebih tenang. Meskipun masih ada banyak pertanyaan dalam dirinya, dia merasa lebih siap untuk menghadapi pilihan-pilihan yang ada. Hidup bukan hanya tentang memilih antara pekerjaan dan hubungan, tetapi juga tentang menemukan kebahagiaan dalam keseimbangan. Joko berterima kasih pada Dedi atas kata-kata bijaknya yang memberinya kelegaan.

Ketika Joko berdiri untuk meninggalkan barbershop, Dedi mengingatkan, “Ingat, Joko, kehidupan itu tentang perjalanan, bukan hanya tujuan. Jangan ragu untuk berhenti sejenak, mengambil napas, dan melihat lebih dekat apa yang benar-benar membuatmu bahagia.”

Joko tersenyum, merasa lebih siap menghadapi keputusan-keputusan besar dalam hidupnya. “Terima kasih banyak, Dedi. Kamu benar-benar membuatku melihat semuanya dengan cara yang berbeda.”

Dengan langkah yang lebih mantap, Joko meninggalkan barbershop, siap menghadapi hari-hari yang penuh dengan pilihan dan tantangan.

————————–THE END———————

 

Source: Gustian Bintang
Tags: mencari jalan hidupperjalanan hidup
Previous Post

JEJAK DI ATAS HUJAN

Next Post

Derama laporan bulanan

Next Post

Derama laporan bulanan

CINTA PENUH  CANDA DI WARUNG KOPI

CINTA PENUH CANDA DI WARUNG KOPI

percakapan telepon yang aneh

percakapan telepon yang aneh

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In