• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
TIRAI CINTA

TIRAI CINTA

March 19, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
TIRAI CINTA

TIRAI CINTA

by SAME KADE
March 19, 2025
in Romansa
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

Aulia melangkah pelan menuju perpustakaan kampus, perasaan penuh kekhawatiran menghantuinya. Bukan karena ada ujian yang menanti atau deadline tugas yang semakin dekat, tetapi karena dia merasa ada yang hilang dalam hidupnya. Beberapa bulan belakangan, meskipun aktivitas kuliah berjalan seperti biasa, Aulia merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Seperti ada bagian dirinya yang terlewatkan. Sesekali, dia merasa seolah-olah hari-harinya berlalu tanpa makna.

Perpustakaan kampus adalah tempat yang selalu menjadi pelarian Aulia ketika dia ingin menenangkan pikirannya. Tempat itu memberikan kedamaian yang sulit dia temukan di dunia luar yang penuh hiruk-pikuk. Begitu melangkah masuk, Aulia langsung disambut oleh aroma buku-buku lama dan suasana sunyi yang menenangkan. Dia menghirup napas dalam-dalam, merasa sedikit lebih tenang setelah beberapa detik.

“Aulia, kamu ke sini juga?” suara teman sekelasnya, Farisa, menyapa. Farisa adalah teman baik Aulia sejak tahun pertama kuliah. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, terutama di perpustakaan, tempat favorit mereka.

Aulia tersenyum dan melambaikan tangan. “Iya, ada tugas yang harus diselesaikan. Kamu?”

“Yang sama, seperti biasa,” jawab Farisa sambil menunjuk tumpukan buku di mejanya. “Aku sedang mencari referensi buat tugas sejarah. Sudah lama nggak ketemu kamu di sini.”

Aulia mengangguk, meskipun dia tahu Farisa lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku-buku daripada bersosialisasi. Namun, tidak ada yang salah dengan itu, Aulia pun lebih memilih kesendirian dibanding keramaian. “Aku cari bahan buat tugas psikologi,” jawab Aulia singkat. Dia tidak ingin berlama-lama berbicara tentang hal yang sama berulang-ulang. Dalam beberapa minggu terakhir, dia merasa ada kekosongan yang semakin mengganggu.

“Selamat bekerja, Aulia!” kata Farisa, yang kemudian kembali tenggelam dalam bukunya.

Aulia melangkah lebih dalam ke bagian tengah perpustakaan. Di antara tumpukan buku, dia mencari buku referensi yang dibutuhkan untuk tugas kuliah yang harus dia selesaikan malam ini. Pandangannya terhenti pada rak yang agak lebih jauh di sudut ruangan. Buku yang dicari tidak ada di tempat itu. Dia menghela napas dan berbalik, lalu melangkah mundur. Namun, saat itu juga, tubuhnya terdorong keras.

“Ah!” serunya, kehilangan keseimbangan. Dalam detik yang sangat cepat, dia merasa tubuhnya jatuh dan matanya tertutup oleh sesuatu yang gelap. Aulia terjatuh ke lantai dengan sebuah suara teredam dari buku yang terlempar ke sekelilingnya.

Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menarik tubuhnya, menahan agar ia tidak jatuh lebih jauh. Aulia merasakan kehangatan dan kekuatan dari cengkeraman tangan itu, yang akhirnya menstabilkan tubuhnya.

“Apakah kamu baik-baik saja?” suara itu terdengar rendah dan tenang, sangat berbeda dengan kebanyakan pria di sekitar kampus yang biasanya berbicara dengan nada terburu-buru. Aulia menatap mata pria itu, sedikit terkejut.

Pria yang menolongnya adalah seorang mahasiswa yang tampak asing. Rambutnya hitam legam, agak sedikit panjang, dan wajahnya tertutup oleh kacamata tipis yang memberi kesan serius. Dari pakaian yang dikenakan, Aulia bisa menebak bahwa dia bukan mahasiswa yang asal-asalan dalam berpakaian. Pria itu memakai jaket hitam yang simpel namun tetap terlihat elegan, dengan celana jeans dan sepatu kets. Matanya, meskipun tampak biasa saja pada pandangan pertama, memiliki kedalaman yang sulit dijelaskan, seolah menyimpan banyak cerita.

“Terima kasih…” Aulia merapikan rambutnya yang acak-acakan, mencoba menenangkan diri. Ia merasa sedikit malu, meskipun pria itu tidak terlihat cemas. “Aku nggak sengaja…” Aulia mencoba mengatur kata-kata, berusaha untuk tidak terlihat canggung.

Pria itu mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Kamu tidak terluka, kan?”

Aulia menatapnya sejenak, sedikit bingung. “Sepertinya tidak,” jawabnya. Tapi dia merasa ada yang aneh dengan situasi ini. Bagaimana bisa seseorang seakan hadir tepat ketika dia membutuhkannya? Bahkan tanpa sengaja menolong, tanpa teriakan atau keributan yang biasanya terjadi di situasi seperti ini. Aulia merasa sedikit terharu, meskipun dia tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Pria itu masih berdiri di depannya, tetapi dia tidak tampak tergesa-gesa. Seolah waktu berjalan lebih lambat saat mereka berdua saling diam, dan suasana menjadi agak canggung.

“Terima kasih sekali lagi,” Aulia akhirnya membuka mulut. “Aku… benar-benar canggung.”

Pria itu tersenyum tipis, senyum yang terkesan misterius dan sangat jarang dilihat oleh Aulia. “Nama saya Ardan,” katanya pelan, seolah mengenalkan dirinya tanpa terlalu mendesak.

“Aulia,” jawabnya spontan, meskipun sedikit bingung karena dia merasa perkenalan ini terasa sedikit aneh. Ardan… Nama yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Aulia menatapnya lebih lama, merasa ada sesuatu yang menarik di balik sikapnya yang tenang dan penuh perhatian. Tetapi, Aulia segera menyadari bahwa pria ini tampaknya tidak ingin terlalu banyak berbicara.

“Jadi, kamu memang mahasiswa baru, ya?” Aulia bertanya, mencoba memecah kebisuan yang menyelimuti mereka.

Ardan mengangguk pelan. “Iya, saya baru pindah dari luar kota.”

Mereka berdua saling bertukar pandang, dan Aulia merasa sedikit canggung. Ada sesuatu yang menahan dirinya untuk bertanya lebih banyak, meskipun rasa penasaran itu mengendap di dalam hatinya. Tapi dia tidak ingin mengganggu.

Sebuah buku yang jatuh dari meja Ardan menarik perhatian mereka berdua. “Oh, itu milikku,” kata Ardan, cepat-cepat mengambilnya. Namun, dalam kesibukannya, sebuah buku lain jatuh, dan Aulia yang sedikit lebih dekat, cepat-cepat menolongnya.

“Terima kasih,” kata Ardan, sambil mengangkat buku-buku yang tersebar. “Sepertinya aku terlalu ceroboh.”

“Aku juga hampir jatuh tadi,” jawab Aulia sambil tertawa kecil, merasakan sedikit kenyamanan.

Saat itu, mereka berdua berbarengan mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Meskipun tidak banyak yang bisa mereka bicarakan, pertemuan itu meninggalkan kesan yang dalam bagi Aulia. Ardan—meskipun terlihat serius dan tenang—terasa seperti seseorang yang memiliki dunia sendiri, sebuah dunia yang mungkin belum siap untuk dia ungkapkan.

Ketika mereka selesai mengumpulkan buku, Aulia merasa ada sebuah keinginan kuat untuk berbicara lebih banyak dengan Ardan, tetapi dia tahu bahwa terkadang, beberapa pertemuan memang lebih baik dibiarkan berjalan apa adanya.

“Terima kasih sudah menolong,” kata Aulia, melangkah mundur. “Aku harus melanjutkan mencari bahan.”

Ardan mengangguk pelan. “Sama-sama, Aulia.”

Aulia melangkah pergi, tetapi hatinya tetap terasa hangat. Tidak tahu mengapa, pertemuan dengan Ardan ini seakan menambah lapisan baru dalam hidupnya yang terasa kosong. Dia tahu, ini bukan sekadar kebetulan. Rasanya, pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih. Namun, entah apa itu, hanya waktu yang bisa memberi jawabannya.**

Bab 2: Jejak Masa Lalu

Minggu-minggu setelah pertemuan tak terduga di perpustakaan, Aulia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Hubungan antara dirinya dan Ardan semakin sering terjalin, meskipun lebih banyak dalam bentuk pertemuan tak sengaja di kampus. Meskipun mereka tidak banyak berbicara, setiap kali melihat Ardan, Aulia merasa ada ketenangan yang hadir dalam hatinya, sebuah perasaan yang sulit dia ungkapkan. Namun, di balik rasa tertarik yang tumbuh, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya—siapa sebenarnya Ardan?

Hidup Aulia yang sebelumnya sederhana mulai terganggu oleh bayangan Ardan. Dia sering teringat wajahnya, senyum misteriusnya, bahkan cara Ardan menolongnya di perpustakaan beberapa minggu lalu. Aulia tahu, ada sesuatu tentang Ardan yang tidak dia pahami sepenuhnya. Ada kedalaman yang tampaknya terkubur di balik sikap tenangnya.

Suatu sore, ketika Aulia sedang duduk di sebuah kafe kecil dekat kampus, dia tak sengaja melihat Ardan duduk di pojok ruangan, sendirian dengan sebuah laptop terbuka di hadapannya. Meskipun mereka jarang berbicara, Aulia merasa perlu untuk mendekatinya. Ada dorongan kuat yang membuatnya ingin lebih mengenal Ardan, meskipun dia masih merasa canggung dan ragu. Tanpa berpikir panjang, Aulia bangkit dan berjalan menuju meja Ardan.

“Ardan,” suara Aulia terdengar pelan. Ardan menoleh, tampak terkejut sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

“Oh, Aulia. Hai,” jawab Ardan dengan suara rendah dan tenang. Tidak ada kejanggalan dalam suaranya, namun Aulia bisa merasakan ketegangan yang samar-samar di dalamnya. “Apa yang membawamu ke sini?”

Aulia tersenyum canggung, “Aku kebetulan lewat dan melihatmu di sini. Aku sedang cari tempat tenang buat ngerjain tugas, boleh duduk di sini?”

Ardan mengangguk dan memberikan sedikit ruang di meja. Aulia duduk, lalu mereka mulai berbicara tentang hal-hal biasa, seperti tugas kuliah dan kehidupan kampus. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dalam percakapan mereka. Aulia merasa bahwa Ardan tidak sepenuhnya hadir. Matanya terlihat jauh, seperti memikirkan sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan.

Saat mereka sedang berbincang, tiba-tiba seorang pria datang mendekat ke meja mereka. Pria itu cukup tinggi dan mengenakan jas rapi, tampak seperti seseorang yang penting. Aulia merasa sedikit canggung, namun Ardan hanya menatap pria tersebut dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Ardan, kamu sudah lama di sini?” pria itu bertanya dengan nada tegas, meskipun suaranya terdengar sangat formal.

Ardan menatap pria itu sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Iya, saya sedang mengerjakan beberapa hal.”

Pria itu mengangguk, namun tidak pergi begitu saja. “Keluarga sudah menunggu di rumah. Jangan lupa, ada beberapa hal yang harus dibicarakan,” kata pria itu dengan nada yang penuh arti, seperti sebuah peringatan.

Aulia merasa sedikit terkejut mendengar percakapan singkat itu. Siapa pria ini? Kenapa dia berbicara seperti itu? Ada ketegangan yang jelas terlihat antara Ardan dan pria tersebut. Ketika pria itu akhirnya pergi, Ardan tampak terdiam beberapa saat, seolah-olah dia terperangkap dalam pikirannya sendiri.

Aulia merasa tidak nyaman dengan suasana yang tiba-tiba berubah tegang. “Siapa tadi itu?” tanyanya, mencoba membuka percakapan agar suasana kembali normal.

Ardan menghela napas panjang. “Itu… saudara saya,” jawabnya dengan nada datar, tetapi Aulia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan dari penjelasan singkat itu.

“Saudara?” tanya Aulia ragu. “Sepertinya hubungan kalian… tidak begitu baik.”

Ardan menatap Aulia dengan tatapan yang dalam, seolah-olah mencoba menilai apakah dia bisa mempercayainya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Ardan akhirnya berbicara, “Kamu ingin tahu lebih banyak tentang saya, Aulia?” Suaranya terdengar lebih rendah, lebih serius dari biasanya.

Aulia terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Aku tidak tahu… Maksudku, kamu terasa… berbeda. Sepertinya ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan. Tapi, aku… tidak ingin memaksamu,” jawab Aulia dengan hati-hati.

Ardan menunduk, menarik napas panjang. “Mungkin aku memang tidak bisa menyembunyikannya lagi. Ada banyak hal dalam hidup saya yang tidak ingin saya ceritakan. Banyak hal yang harus saya hadapi… hal-hal yang bahkan saya sendiri tidak tahu harus mulai dari mana.”

Aulia merasa ada beban besar yang tersimpan dalam kata-kata Ardan. Ada ketidaknyamanan yang luar biasa dalam dirinya yang tidak pernah dia tunjukkan ke orang lain. Ardan, dengan segala ketenangannya, menyimpan sebuah cerita yang lebih gelap dan berat dari yang bisa dibayangkan.

“Kalau kamu ingin tahu…” Ardan melanjutkan, “Saya bukanlah siapa yang kamu kira. Keluarga saya, khususnya saudara saya yang tadi, mereka selalu mengatur hidup saya. Sejak kecil, saya dipaksa mengikuti aturan mereka, menjalani hidup yang sudah mereka rencanakan. Bahkan, saya dijodohkan dengan seseorang yang tidak pernah saya pilih.”

Aulia terkejut mendengar penuturan itu. Ardan, yang selama ini terlihat begitu tenang dan tidak terpengaruh oleh apapun, ternyata memiliki beban yang sangat berat. “Jadi, kamu terjebak dalam perjodohan yang tidak kamu inginkan?” tanya Aulia dengan lembut.

Ardan mengangguk perlahan. “Ya, itu bagian dari keluarga saya. Mereka ingin saya menikah dengan seseorang yang bisa memperkuat posisi mereka, bukan dengan orang yang saya cintai atau pilih. Dan saudara saya, yang tadi itu, dia adalah orang yang selalu mengingatkan saya tentang hal itu.”

Aulia terdiam. Tiba-tiba, dia merasa lebih dekat dengan Ardan, meskipun mereka baru saja saling membuka sedikit dari masa lalu mereka. Ardan bukan hanya pria misterius yang dia temui di perpustakaan, dia adalah seseorang yang sedang berjuang menghadapi tekanan besar dari keluarganya. Ardan, yang tampaknya begitu terkendali, ternyata sedang berperang dengan dirinya sendiri.

“Kenapa kamu tidak melawan mereka?” tanya Aulia, suara penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran. “Kenapa kamu memilih diam?”

Ardan tersenyum miris. “Karena saya tidak tahu bagaimana cara melawan mereka. Mereka begitu kuat, dan saya merasa terperangkap. Semua yang saya lakukan selalu dipantau, dikendalikan, bahkan masa depan saya telah ditentukan sejak lama.”

Aulia bisa merasakan betapa kuatnya tekanan yang dirasakan Ardan. Ketegangan yang selama ini dia rasakan di balik sikap Ardan yang tenang kini mulai terungkap. Namun, satu pertanyaan masih menggantung dalam benaknya.

“Lalu, bagaimana dengan kita?” tanya Aulia dengan hati-hati. “Apa yang akan terjadi dengan kita?”

Ardan menatapnya dengan pandangan yang sulit dipahami. “Saya tidak tahu, Aulia. Saya ingin sekali mengubah hidup saya, tapi saya juga tidak bisa melupakan semua yang sudah ditentukan untuk saya.”

Aulia merasa hatinya teriris. Dia tahu bahwa cinta mereka tidak akan mudah. Ardan terjebak dalam dunia yang tidak bisa dia hindari, dunia yang penuh dengan aturan yang tidak pernah dia pilih.

Namun, di sisi lain, Aulia tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Cinta itu datang tanpa diduga, dan sekarang dia harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka akan diuji oleh berbagai hal—termasuk masa lalu Ardan yang kelam.***

Bab 3: Terlarang

Aulia terbangun pagi itu dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan wajah Ardan selalu menghantui pikirannya. Meski ia sudah cukup mengenalnya, ada sesuatu yang belum tuntas dalam hubungan mereka. Perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat, tetapi Aulia merasa ada halangan besar yang membatasi kedekatan mereka—sesuatu yang tak bisa dia pahami sepenuhnya.

Minggu-minggu terakhir, Ardan menjadi lebih sering menghindar darinya. Mereka masih saling bertegur sapa ketika bertemu di kampus, namun pertemuan-pertemuan itu tidak pernah meluas menjadi percakapan yang mendalam seperti sebelumnya. Aulia merasa ada jarak yang terbentuk, dan itu semakin menambah rasa penasaran dalam dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ardan?

Pagi itu, Aulia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Dia sudah bertekad untuk tidak membiarkan perasaan ini hanya menjadi bayang-bayang yang mengganggu. Dia ingin tahu apa yang membuat Ardan begitu tertutup dan mengapa sikapnya tiba-tiba berubah.

Hari itu, Aulia mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ardan lebih lama setelah kuliah. Mereka bertemu di taman kampus, tempat yang biasanya sepi di sore hari. Aulia merasa sedikit cemas, tetapi tekadnya lebih kuat. Ketika dia melihat Ardan duduk di bangku taman, ia mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya.

“Ardan,” suara Aulia terdengar sedikit ragu, namun cukup keras untuk menarik perhatian Ardan yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Ardan menoleh dan mengangkat alis. “Aulia,” jawabnya singkat, lalu mematikan ponselnya. Wajahnya terlihat serius, lebih kaku dari biasanya.

“Kenapa akhir-akhir ini kamu semakin menjauh dariku?” Aulia tidak bisa menahan pertanyaannya lebih lama lagi. Hatinya penuh dengan kebingungan dan perasaan yang sulit dijelaskan. “Apakah ada yang salah?”

Ardan tampak terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Aulia dengan ekspresi yang sulit dipahami. “Aku… tidak berniat menjauh,” jawabnya pelan, namun Aulia bisa merasakan ketegangan dalam suaranya. “Hanya saja… ada hal-hal yang tidak bisa aku jelaskan.”

Aulia duduk di samping Ardan, berusaha menenangkan dirinya. “Aku ingin tahu, Ardan. Aku ingin mengerti. Apa yang membuatmu berubah seperti ini? Kita… kita sudah berbicara banyak sebelumnya. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari diriku.”

Ardan menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Aulia, ada hal yang harus kamu tahu tentang hidupku. Hal yang aku takutkan akan mengubah cara kamu melihatku.”

Aulia mengerutkan kening. “Apa itu?”

Ardan terdiam sejenak, seolah berjuang dengan kata-kata yang ingin dia ucapkan. “Aku sudah dijodohkan oleh keluargaku,” katanya akhirnya, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Mereka memaksa aku untuk menikahi seorang wanita yang tidak pernah aku pilih. Itu adalah bagian dari tradisi keluarga kami yang sudah berlangsung turun temurun.”

Aulia terkejut mendengar pengakuan Ardan. Sepertinya hidup Ardan jauh lebih rumit dari yang ia kira. “Kamu… dijodohkan?” Aulia mengulang kata-kata Ardan, mencoba menyerap informasi itu.

Ardan mengangguk pelan. “Ya. Mungkin kamu merasa ini aneh, tapi itulah kenyataannya. Dan orang yang dijodohkan untukku bukan orang sembarangan. Dia adalah putri dari keluarga besar yang sangat berpengaruh, dan mereka menginginkan hubungan ini untuk memperkuat posisi mereka.”

Aulia merasa hatinya terhimpit. Betapa beratnya hidup yang harus dijalani Ardan. Meski ia sudah mengetahui bahwa ada tekanan keluarga dalam hidup Ardan, kenyataan ini tetap mengejutkannya. Ardan, yang selama ini terlihat tenang dan penuh kontrol, ternyata harus menghadapi perjodohan yang dipaksakan kepadanya.

“Tapi, Ardan… kalau kamu tidak ingin menikahi orang itu, kenapa kamu tidak melawan?” tanya Aulia, berusaha memahami. “Kenapa kamu harus mengikuti keinginan mereka?”

Ardan menatap Aulia dengan tatapan kosong. “Karena saya tidak bisa. Keluarga saya adalah segalanya. Mereka punya kuasa yang sangat besar, dan saya… saya tidak punya pilihan. Melawan mereka hanya akan membuat saya terpuruk lebih dalam.”

Aulia merasa semakin terhimpit. Bagaimana mungkin seorang pria sekuat Ardan merasa begitu terperangkap dalam hidupnya? Aulia merasa tidak adil, namun dia juga tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus diterima Ardan.

“Aku tahu ini sangat sulit, Ardan. Tapi kamu tidak bisa terus terjebak dalam hidup yang bukan pilihanmu. Kamu berhak memilih siapa yang kamu cintai. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan,” kata Aulia dengan suara lembut, namun penuh keyakinan.

Ardan menatapnya dengan tatapan yang penuh kesedihan. “Aku tahu. Tapi terkadang, hidup kita tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita, Aulia. Apa yang kamu katakan memang benar, namun dalam dunia kami, segalanya jauh lebih rumit daripada itu.”

Aulia bisa merasakan bahwa Ardan ingin sekali keluar dari jeratan tradisi keluarganya, tetapi dia juga takut untuk melawan. Ketakutan dan rasa terperangkap membuatnya berada di persimpangan jalan yang sulit. “Apakah kamu benar-benar ingin menikahi dia?” tanya Aulia pelan, meskipun hatinya tidak siap untuk mendengar jawaban apapun.

Ardan terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. “Tidak. Aku tidak ingin menikahi siapa pun yang dipilihkan untukku. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.”

Aulia merasa hatinya semakin terbebani. Ia ingin sekali memberi solusi, tapi terkadang, cinta saja tidak cukup untuk mengubah segalanya. Ardan terjebak dalam situasi yang jauh lebih besar dari yang bisa ia pahami. Namun, Aulia tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia merasa semakin dekat dengan Ardan, meskipun semua itu terasa seperti jalan terlarang yang penuh dengan rintangan.

“Aku tidak bisa begitu saja melihat kamu menderita, Ardan,” kata Aulia, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku ingin membantu kamu, jika kamu mau.”

Ardan memejamkan matanya, tampak seolah-olah dia mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aulia. “Aulia, ini terlalu rumit. Aku… aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalahku. Aku tidak ingin kamu terluka.”

“Tidak ada yang lebih penting bagi saya selain kebahagiaanmu, Ardan,” jawab Aulia dengan penuh ketulusan. “Jika kamu memilih untuk melawan perjodohan itu, aku akan ada di sampingmu. Aku percaya bahwa kamu berhak memilih jalan hidupmu sendiri.”

Ardan menatap Aulia dalam diam, ada perasaan campur aduk yang tercermin di matanya. “Kamu tahu, Aulia, aku tidak pernah merasa ada yang peduli sepertimu. Kamu… kamu membuatku merasa ada harapan lagi.”

Namun, meskipun perasaan itu ada, Ardan tahu bahwa ada batasan yang tak bisa ia lewati. Cinta mereka mungkin tumbuh begitu cepat, namun dunia mereka terlalu berbeda. Ardan terjebak antara cinta yang dia rasakan untuk Aulia dan kewajiban yang menuntutnya untuk memilih jalan yang sudah digariskan oleh keluarganya.

Aulia menatap Ardan, perasaan mereka terhubung meskipun keadaan berkata lain. Mereka berdua tahu, perjalanan ini akan sangat berat, dan mungkin tidak ada akhir yang bahagia. Namun, di saat itu, mereka tidak bisa menahan perasaan mereka. Mereka berada di titik yang penuh dengan ketidakpastian, tapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka tidak akan pernah mudah.**

Bab 4: Jalan yang Tak Terduga

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aulia merasakan jantungnya semakin berat setiap kali dia berpapasan dengan Ardan di kampus. Meskipun mereka berdua tidak sering bertemu, setiap kali bertemu, Aulia merasa seolah ada percakapan yang belum selesai. Ardan tampak semakin tertekan dan tampaknya menghindari dirinya, meskipun dia bisa merasakan perasaan yang sama. Namun, Aulia tahu bahwa hidup mereka tidak bisa terus berjalan seperti ini.

Setiap kali Ardan datang dengan tatapan kosong atau berbicara dengan nada datar, Aulia merasa seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Tembok itu adalah kenyataan—kenyataan bahwa Ardan terikat oleh kewajiban keluarga dan tradisi yang tak bisa ia hindari. Itu adalah hal yang membuat Ardan tampak seolah kehilangan dirinya sendiri. Dan itu juga yang membuat Aulia semakin bingung dan cemas.

Malam itu, setelah kuliah selesai, Aulia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman kampus. Ia merasa lelah dengan pikiran yang berputar-putar. Keputusan untuk melanjutkan hubungan dengan Ardan atau mengakhirinya sudah semakin membingungkannya. Hatinya ingin berjuang untuk cinta yang berkembang di antara mereka, namun akalnya selalu mengingatkan bahwa jalan ini penuh dengan bahaya. Bahaya bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi Ardan.

Saat berjalan sendirian di bawah pohon-pohon yang terbungkus cahaya temaram dari lampu taman, Aulia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah perasaan yang datang tanpa dia duga, sebuah perasaan yang hampir tidak bisa ia pahami. Ketika dia berhenti di sebuah bangku dan duduk sejenak, tiba-tiba sebuah suara menyapanya.

“Aulia,” suara itu cukup rendah, namun cukup jelas terdengar di tengah keheningan malam. Aulia menoleh dan menemukan Ardan berdiri di depan bangku, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Ardan…” Aulia merasa terkejut, namun sedikit lega. Dia tidak pernah mengharapkan bahwa mereka akan berbicara begitu saja di luar kampus, tanpa pertemuan yang direncanakan.

“Aku tahu kamu sedang bingung,” Ardan mulai, suaranya penuh dengan keteguhan, “Dan aku juga tahu kamu merasa ada sesuatu yang disembunyikan darimu. Aku… aku harus mengatakan ini sebelum terlambat.”

Aulia merasakan ketegangan dalam kata-kata Ardan, dan hatinya mulai berdebar-debar. “Apa yang kamu maksud, Ardan?”

Ardan menarik napas dalam-dalam. “Aku memutuskan untuk melawan keluargaku,” katanya pelan. “Aku tidak ingin terus hidup dengan tekanan mereka. Aku tidak ingin dipaksa menikahi seseorang yang tidak aku cintai. Tapi, Aulia… itu bukan keputusan yang mudah.”

Aulia merasa seolah-olah dunia berhenti berputar sesaat. Kata-kata Ardan mengguncang hatinya. Dia tidak bisa menyangka bahwa Ardan akan membuat keputusan sebesar itu. Melawan keluarganya adalah sebuah tindakan yang berani, namun juga sangat berisiko.

“Apa maksudmu?” tanya Aulia, merasa hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Kamu benar-benar ingin melawan mereka? Bukankah itu akan menghancurkan hidupmu?”

Ardan menatapnya dengan tatapan penuh tekad. “Aku sudah tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang mereka. Aku ingin menjadi diriku sendiri, Aulia. Aku ingin memilih hidup yang aku inginkan, bukan yang mereka pilihkan untukku. Dan itu berarti, aku harus memilih… memilih siapa yang akan aku cintai.”

Aulia terdiam sejenak. Kata-kata Ardan menyentuh hatinya lebih dalam dari yang dia perkirakan. Namun, di sisi lain, dia merasa tertekan. Ini adalah keputusan yang sangat besar, keputusan yang bisa mengubah hidup mereka selamanya. “Tapi, Ardan… jika kamu melawan mereka, kamu tahu apa yang akan terjadi, kan? Mereka bisa menghancurkanmu.”

Ardan mengangguk, wajahnya penuh dengan keseriusan. “Aku tahu risikonya. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini. Aku sudah lelah dengan semua pengorbanan yang tidak pernah aku pilih. Aku harus berjuang untuk kebahagiaanku, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya.”

Aulia merasa hatinya terhimpit oleh kata-kata Ardan. Apa yang bisa dia katakan? Dia tahu bahwa Ardan sudah memutuskan jalannya, dan dia tidak bisa menghalangi keputusan itu. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa,” jawabnya akhirnya, suara seraknya hampir tak terdengar. “Kamu berani sekali, Ardan. Tapi aku takut dengan apa yang akan terjadi jika kamu benar-benar melawan mereka. Aku tidak ingin kamu terluka.”

Ardan mendekat sedikit, menatap Aulia dengan penuh perasaan. “Aku juga tidak ingin kamu terluka, Aulia. Tapi aku tahu ini adalah langkah yang harus aku ambil. Aku tidak bisa terus hidup dengan rasa takut dan penyesalan.”

Aulia menatapnya, merasakan kebingungan yang semakin membingungkan hatinya. Apakah dia siap untuk menerima keputusan Ardan? Apakah dia siap untuk menghadapinya jika dunia mereka benar-benar berubah? Semua yang telah mereka bangun akan diuji. Tidak hanya oleh keluarga Ardan, tetapi juga oleh dunia yang penuh dengan aturan yang tidak mereka buat.

“Aku… aku ingin kamu tahu satu hal, Aulia,” lanjut Ardan, suaranya lebih lembut, hampir seperti bisikan. “Aku memilih kamu. Aku memilih untuk mencintaimu. Dan itu lebih berharga daripada segalanya.”

Kata-kata itu menggema dalam hati Aulia. Itu adalah kata-kata yang dia tunggu, kata-kata yang membuka hatinya lebih lebar dari yang dia bayangkan. “Tapi, Ardan, kita… kita tidak bisa melawan dunia begitu saja. Aku… aku takut kehilanganmu,” jawab Aulia dengan suara bergetar.

Ardan tersenyum lembut, meskipun senyum itu tampak penuh dengan kepedihan. “Aku tahu, Aulia. Tapi kadang-kadang kita harus berani memilih jalan yang kita inginkan, meski itu berat. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan lagi. Aku tidak bisa terus hidup dengan keputusan yang bukan milikku.”

Aulia memejamkan mata sejenak, merasakan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Ini adalah titik balik dalam hidup mereka. Apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan sama lagi. Semua yang mereka bangun, semua perasaan yang tumbuh di antara mereka, akan diuji dengan begitu banyak tantangan. Ardan sudah memilih jalannya, dan Aulia tahu bahwa dia harus memilih apakah dia siap mendampinginya atau tidak.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Aulia, membuka matanya, menatap Ardan dengan penuh pertanyaan.

Ardan mengambil tangan Aulia, menggenggamnya erat. “Kita berjuang bersama. Tidak peduli apa yang terjadi. Kita akan menghadapi apapun yang datang, bersama-sama.”

Aulia merasa ada kehangatan dalam genggaman tangan Ardan. Meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan dan kebingungan, dia tahu satu hal dengan pasti: dia tidak ingin kehilangan Ardan. Dia ingin berjuang bersamanya. Meskipun jalan mereka penuh dengan rintangan dan ketidakpastian, mereka akan menghadapinya bersama.

Di bawah langit malam yang terbuka, dengan bintang-bintang yang hanya bisa dilihat dari kejauhan, mereka berdua duduk dalam diam. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih adalah jalan yang sulit, tetapi itu adalah jalan yang mereka pilih bersama. Jalan yang penuh dengan ketidakpastian, namun juga penuh dengan harapan.***

Bab 5: Titik Terang

Beberapa minggu setelah percakapan malam itu, Aulia merasa dunia di sekitarnya telah berubah. Dia dan Ardan mulai menjalani hidup mereka dengan cara yang berbeda, meski kenyataan bahwa hidup mereka penuh dengan tantangan dan ketidakpastian tetap tidak bisa dihindari. Keputusan Ardan untuk melawan keluarga dan perjodohan yang dipaksakan padanya bukanlah hal yang mudah, dan setiap hari mereka berdua harus menghadapi ketegangan yang meningkat, baik dari dalam diri mereka sendiri maupun dari lingkungan sekitar.

Ardan tetap teguh pada pilihannya, meski tekanan semakin kuat. Keluarganya tidak tinggal diam. Mereka berusaha segala cara untuk memaksa Ardan kembali ke jalan yang sudah mereka tentukan, termasuk mengancam akan mencabut semua dukungan finansial dan bahkan memutus hubungan dengan Ardan. Namun, Ardan tetap bersikukuh, tidak ingin hidupnya diatur oleh keputusan orang lain. Setiap kali Aulia melihatnya, dia melihat ketegangan di wajah Ardan, tapi juga keberanian yang tak tergoyahkan.

Aulia tahu, berjuang untuk cinta mereka berarti menghadapi dunia yang tak adil dan penuh dengan ketidakpastian. Tapi bersama Ardan, dia merasa lebih kuat. Mereka berbicara lebih sering, lebih terbuka, dan mencoba menghabiskan waktu bersama meskipun seringkali harus melawan ketakutan yang menghantui mereka.

Namun, meski begitu banyak hal yang berubah, satu hal yang tetap konstan adalah perasaan mereka terhadap satu sama lain. Aulia merasa semakin dalam jatuh cinta kepada Ardan, sementara Ardan, meski terlihat lebih sering cemas dan tertekan, juga tak pernah ragu untuk menunjukkan perasaan yang sama. Mereka tahu bahwa hubungan mereka bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah dipahami oleh orang lain, dan itu justru membuat mereka semakin dekat.

Suatu pagi, Aulia menerima pesan singkat dari Ardan. “Aku ingin bertemu malam ini. Ada yang penting yang harus aku katakan.”

Pikiran Aulia langsung dipenuhi rasa cemas. Ardan biasanya tidak mengirim pesan seperti itu tanpa alasan yang jelas. Apa yang terjadi? Dia ingin bertemu, dan itu pasti berkaitan dengan keputusan besar yang akan dia buat. Perasaan Aulia campur aduk—antara penasaran, khawatir, dan sedikit takut.

Malam itu, mereka bertemu di tempat yang sama seperti beberapa minggu lalu—di taman kampus yang sunyi. Aulia sudah berada di sana beberapa menit sebelum Ardan tiba. Dia duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang sama, tempat mereka pertama kali berbicara lebih dalam tentang masalah yang dihadapi Ardan. Malam itu, udara terasa lebih dingin, lebih berat, seolah-olah seluruh dunia menunggu jawaban yang akan diberikan oleh Ardan.

Ketika Ardan akhirnya datang, Aulia bisa melihat ekspresi yang berbeda di wajahnya. Dia tampak lebih tenang, meskipun masih ada garis-garis kelelahan di wajahnya. Namun, ada juga sesuatu yang berbeda—sesuatu yang penuh harapan. Aulia bisa merasakannya, meskipun dia tidak tahu pasti apa yang membuatnya begitu yakin.

“Aulia,” Ardan memulai, suaranya lebih lembut dari biasanya, “Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, dan aku tahu kamu sudah banyak berkorban untuk aku. Aku ingin kamu tahu bahwa aku… aku sudah membuat keputusan besar.”

Aulia menatapnya, jantungnya berdebar. “Keputusan besar? Apa maksudmu, Ardan?”

Ardan menghela napas panjang, lalu duduk di samping Aulia. “Aku sudah berbicara dengan keluargaku. Mereka… mereka akhirnya mengerti bahwa aku tidak bisa hidup dengan pilihan yang mereka buatkan untukku. Aku sudah mengatakan pada mereka bahwa aku tidak akan menikah dengan orang yang mereka pilihkan, dan aku tidak akan kembali pada jalur yang mereka tentukan.”

Aulia terkejut. “Kamu… benar-benar melakukannya? Kamu benar-benar menolak perjodohan itu?” Suaranya hampir tidak percaya, meskipun ada perasaan lega yang mulai menyelimuti hatinya.

Ardan mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. “Ya. Aku tahu itu keputusan yang akan mempengaruhi hidupku selamanya, tetapi aku tidak bisa lagi hidup dengan penyesalan. Aku tidak bisa terus terjebak dalam dunia yang bukan pilihanku.”

Aulia merasa hatinya berdegup kencang. “Jadi, kamu akan memilih untuk hidup dengan keputusanmu sendiri? Apa yang akan terjadi sekarang?”

Ardan menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam, lebih penuh makna daripada sebelumnya. “Aku memilih untuk hidup denganmu, Aulia. Aku memilih untuk mencintaimu, meskipun itu berarti harus melewati jalan yang sulit. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam dunia yang penuh dengan tuntutan dan harapan orang lain. Aku ingin hidup dengan kebebasan, dan kebebasan itu hanya bisa aku dapatkan jika aku bersama dengan orang yang aku cintai.”

Aulia merasa sebuah rasa haru mengalir dalam dirinya. Dia tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba muncul di pelupuk matanya. Selama ini, dia selalu merasa cemas dan takut, takut bahwa Ardan akan mengorbankan kebahagiaannya demi keluarganya, namun malam ini, dia mendengar kata-kata yang tidak pernah dia duga akan datang—Ardan memilih untuk hidup sesuai dengan keinginannya, memilih untuk bersamanya.

“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa, Ardan. Tapi aku sangat bersyukur, sangat bahagia mendengar keputusanmu ini,” kata Aulia, suaranya bergetar. “Kita akan menghadapi apapun yang datang, bersama-sama.”

Ardan menggenggam tangannya dengan erat. “Kita akan berjuang bersama, Aulia. Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kebahagiaan kita berdua. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku yakin kita bisa melalui semuanya.”

Malam itu, di bawah bintang-bintang yang berkilauan di langit, mereka berdua duduk bersama, merasakan ketenangan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Aulia merasa bahwa semuanya mulai terangkai dengan cara yang indah, meskipun masih ada banyak hal yang harus mereka hadapi. Mereka tahu bahwa keluarga Ardan tidak akan menyerah begitu saja, dan tantangan besar masih menanti mereka. Namun, saat itu, Aulia dan Ardan merasa lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tahu, cinta mereka adalah hal yang paling berharga.

Keputusan Ardan untuk menentang perjodohan keluarganya adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Tidak hanya karena ia harus melawan tradisi keluarganya yang sudah ada bertahun-tahun, tetapi juga karena ia memilih untuk hidup sesuai dengan hatinya. Dan Aulia, yang selama ini merasa takut kehilangan, kini merasa lebih yakin dari sebelumnya bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.

Ketika Ardan menghadapinya dengan penuh keyakinan, Aulia tahu bahwa cinta mereka tidak bisa diukur dengan apapun. Mereka tidak hanya berjuang untuk cinta mereka, tetapi juga untuk kebebasan memilih hidup yang mereka inginkan. Mereka tidak bisa mengontrol segala hal yang datang, tetapi mereka bisa memilih untuk bertahan dan mencintai dengan sepenuh hati.

Beberapa bulan kemudian, meskipun jalan mereka tidak selalu mudah, Aulia dan Ardan akhirnya menemukan titik terang dalam hidup mereka. Meskipun keluarga Ardan tetap memberi tekanan, mereka berdua berjuang untuk mewujudkan impian mereka—untuk hidup dengan bebas dan bersama. Mereka tahu, meskipun dunia di luar sana penuh dengan peraturan yang tidak mereka pilih, cinta mereka adalah kekuatan yang tak bisa dihentikan.

Tirai cinta yang semula tertutup kini mulai terbuka. Mereka berdua telah melewati rintangan terbesar dalam hidup mereka, dan kini, mereka siap untuk menyongsong masa depan bersama, penuh dengan harapan, kebebasan, dan tentu saja, cinta yang tulus.***

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #CintaSejati#KeluargaDanTradisi1. #CintaTerlarang5. #CintaDanPilihan
Previous Post

SAAT LANGIT MENYAKSIKAN JANJI

Next Post

JODOH DI UJUNG KETAWA

Next Post
JODOH DI UJUNG KETAWA

JODOH DI UJUNG KETAWA

AKHIR CINTA YANG TAK SEMPURNA

*Judul: Cinta dalam Satu Gigitan

NADA HATI YANG HILANG

NADA HATI YANG HILANG

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In