Bab 1: Bunyi di Balik Kelopak
“Aku tidak bisa melihat. Tapi kenapa rasanya ada yang sedang memerhatikanku?”
Raya membuka matanya, namun dunia tetap gelap.
Tidak ada kilau lampu, tidak ada bentuk bayangan. Hanya gelap. Pekat. Mengambang. Seolah dia tertelan oleh kekosongan, atau mungkin kekosongan itulah yang bersarang dalam dirinya.
Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu. Dua minggu sejak mobil yang ditumpanginya terguling di tikungan dekat jurang Desa Mahoni. Semua terjadi terlalu cepat, terlalu kabur—seperti mimpi buruk yang dipaksa lupa. Ketika ia sadar di rumah sakit, dokter berkata itu keajaiban ia masih hidup. Tapi keajaiban itu datang dengan harga.
Sementara waktu, kau akan kehilangan penglihatanmu, Raya. Trauma pada saraf optik. Kami harap tidak permanen.
Sementara waktu. Kata-kata itu lebih menakutkan daripada “selamanya.”
Sejak itu, hari-harinya seperti larut dalam limbo. Ia kembali ke rumah, tapi bukan rumah yang dulu dikenalnya. Ia merasa asing di dalam kamarnya sendiri. Setiap sudut memantulkan suara yang tak biasa. Dinding seolah berbisik ketika malam datang. Dan sejak gelap menjadi temannya, ia mulai mendengar lebih dari sekadar bunyi biasa.
Suara itu datang pada malam keempat. Pelan. Seperti langkah kaki tanpa alas, menyusuri lantai kayu di luar kamar. Awalnya ia kira itu Mama—menengoknya. Tapi langkah itu terlalu pelan. Terlalu hati-hati.
Dan berhenti… persis di depan pintunya.
Ia menahan napas. Tapi tidak ada ketukan. Tidak ada suara kunci. Hanya… diam. Dan kemudian—desis.
Entah angin, entah suara seseorang yang berbisik sesuatu. Tapi ketika ia berteriak, Mama langsung datang dari arah dapur. Dengan suara panik, memeluk Raya sambil meyakinkan tak ada siapa-siapa.
“Kau hanya takut. Ini efek trauma, sayang…”
Tapi Raya tahu dia tidak berhalusinasi. Suara itu nyata. Sama seperti bunyi gesekan kursi di ruang tamu yang terdengar setiap pukul dua dini hari. Sama seperti suara pintu kamar mandi yang seakan terbuka sendiri, meski tak ada siapa pun masuk. Atau… suara seseorang menangis lirih di tengah malam, seolah sedang menyesali sesuatu.
Dan kini, malam ini, ada yang baru. Bunyi berdetak. Teratur. Lambat. Seperti jam tua… tapi rumah ini tak punya jam berdetak.
Raya duduk di tempat tidurnya. Tangannya menggenggam erat selimut. Mata tertutup, tapi telinganya tajam.
Detak… detak… detak…
Ia mengira berasal dari balik dinding, tapi kemudian terasa lebih dekat. Seakan berada di dalam kepalanya.
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu—tekanan aneh di antara alisnya. Seperti hawa panas, atau mungkin gelombang halus. Dan dalam gelapnya, sesuatu muncul. Gambar. Kabur. Seperti bayangan di balik air.
Sebuah ruangan. Gelap, tapi ada cahaya samar dari lentera tua di sudut ruangan. Dinding-dindingnya kotor, ada noda gelap… seperti darah. Di tengah ruangan itu, seorang anak kecil berdiri membelakanginya. Tidak bergerak. Rambutnya panjang menutupi wajah.
Raya menjerit. Dan semuanya hilang.
Ia terbangun, napas memburu, keringat membanjiri keningnya. Tapi saat mengangkat tangan ke wajahnya—matanya masih tertutup. Ia tidak tertidur. Ia sadar sepenuhnya. Tapi penglihatan itu datang seperti mimpi.
Mama masuk ke kamar, lagi-lagi panik.
“Raya! Kenapa? Kau mimpi buruk lagi?”
Raya hanya diam. Tubuhnya gemetar. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi bagaimana menjelaskan bahwa dalam gelap ini, ia justru melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan logika?
Malam itu, ketika Mama tertidur di kursi samping ranjangnya, Raya kembali mendengar suara.
Kali ini bukan langkah kaki, bukan detak.
Tapi suara anak kecil—berbisik pelan.
“Kau… melihatku… ya?”
Raya menangis diam-diam.
Karena saat kelopak matanya tertutup, dunia tak benar-benar sunyi.
Dan dalam kegelapan itulah… lukanya mulai terbuka.
Bab 2: Ruang Tanpa Jendela
“Beberapa ruangan tidak dibuat untuk dilihat… bahkan oleh mata yang tertutup.”
Raya tidak banyak bicara selama dua hari terakhir. Ia menolak keluar kamar, menolak makan, dan semakin sensitif terhadap suara.
Mama mengira ini hanya efek psikologis. Trauma pasca-kecelakaan, ditambah ketakutan karena tidak bisa melihat. Tapi Raya tahu… bukan hanya itu.
Malam-malamnya semakin aneh.
Setiap kali ia memejamkan mata, dunia gelap yang dulu tenang kini dipenuhi gambaran-gambaran asing: lorong panjang, lampu menggantung yang bergoyang pelan, noda di lantai seperti diseret, dan pintu besi kecil di ujung—tertutup rapat.
Pintu itu tak punya gagang. Tak punya jendela. Hanya dinding tua yang menyekapnya dari segala sisi.
Dan setiap malam, saat ia mendekati pintu itu dalam visinya, suara-suara itu kembali. Tangisan samar, suara kukunya sendiri yang menggores permukaan kain selimut, atau derit kayu… yang datang dari lantai bawah rumah ini.
Hari ketiga setelah penglihatan itu kembali, Raya mulai bertanya.
“Mama… dulu rumah ini dibeli dari siapa?”
Ibunya terdiam sejenak sebelum menjawab. “Dari seorang wanita tua. Namanya Bu Elma. Tapi dia pindah ke luar negeri. Rumah ini lama kosong.”
“Pernah ada anak kecil tinggal di sini?” tanya Raya pelan.
Mama mengernyit. “Kenapa tanya itu?”
“Cuma… mimpi.”
Mama mengelus kepalanya dan mengganti topik. Tapi reaksi itu cukup untuk membuat Raya tahu: ada yang disembunyikan.
Malam harinya, Raya menolak tidur. Ia duduk bersandar pada dinding, telinga tajam menangkap setiap suara. Dan tepat pukul 02:13, ia mendengar langkah lagi. Kali ini bukan di depan kamar. Tapi… dari bawah lantai.
Bukan mimpi. Bukan halusinasi.
Ia bisa mendengar bunyi kayu bergeser, seperti papan yang diinjak seseorang yang sangat hati-hati. Dan kemudian—bunyi gesekan.
Sreeet. Sreeet.
Seperti sesuatu yang sedang diseret pelan-pelan di lantai.
Jantung Raya berdetak makin cepat. Ia bangkit, meraba dinding, berjalan perlahan ke luar kamar. Ia menghitung langkah dengan pelan. Tangannya menyusuri tembok sebagai penuntun, dan akhirnya menyentuh gagang tangga menurun ke lantai dasar.
Di sanalah, segalanya berubah.
Udara dingin. Lebih dingin dari biasanya. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Rasanya… lembab. Seperti berada di bawah tanah.
Raya turun perlahan. Suara Mama tertidur di lantai atas tak terdengar. Rumah seperti masuk ke dimensi lain—senyap dan menunggu.
Saat sampai di lantai dasar, ia berdiri di tengah ruang keluarga. Dan saat telinganya mendengar lebih seksama, suara gesekan itu jelas berasal dari arah dapur—lebih tepatnya, di balik lemari kayu besar yang tak pernah digeser.
Dengan tangan gemetar, Raya meraba-raba lemari itu. Berat. Tapi sedikit demi sedikit, ia menemukan celah di lantai di belakangnya. Celah itu menghembuskan udara dingin. Bau lembap menyengat hidungnya. Dan saat tangannya menyentuhnya lebih jauh, ia menemukan sesuatu yang seperti… pegangan besi.
Ia menariknya. Lantai kayu berderit keras. Dan sebuah lubang kecil terbuka. Tangga kayu tua mengarah ke bawah—ruang bawah tanah yang tak pernah diberitahu Mama padanya.
Dan dari bawah sana, udara berubah.
Lebih dingin. Lebih sunyi. Dan entah bagaimana, lebih berat.
Raya turun. Perlahan. Jari-jari tangannya menyentuh dinding bata yang lembap. Beberapa meter ke bawah, ia merasakan tanah di bawah kakinya. Dan ruangan itu…
Tidak seperti ruang bawah tanah biasa.
Tidak ada jendela. Tidak ada ventilasi. Tapi… seolah ruangan itu hidup.
Ia berjalan pelan. Dan lalu ia mencium bau besi karatan. Seperti darah kering.
Tangannya menyentuh sesuatu. Sebuah permukaan logam—dingin, kasar, dan tinggi. Pintu. Pintu seperti yang ia lihat dalam penglihatan.
Pintu tanpa jendela.
Tangannya terhenti. Tubuhnya membeku. Karena dari balik pintu itu, terdengar suara pelan.
Tok… tok… tok…
Seperti ketukan dari dalam.
“Jangan tutup matamu di sini, Raya…”
Suara itu pelan. Nyaris seperti bisikan dari balik mimpinya. Tapi kali ini, ia tidak sedang bermimpi.
Raya mundur. Terlalu cepat. Ia tersandung dan jatuh. Napasnya memburu. Dan tepat sebelum ia berhasil berdiri—pintu besi itu bergetar sendiri.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Dan lalu… diam.
Raya naik ke atas dengan lutut lemas. Ia kembali ke kamarnya, tubuhnya dingin seperti es.
Tapi kali ini, ia tahu satu hal:
Rumah ini punya ruang yang tidak pernah dibuat untuk dihuni.
Dan itu bukan ruang kosong.
Itu adalah ruang luka.
Bab 3: Ingatan yang Tak Punya Wajah
“Terkadang, wajah-wajah yang kita lupakan… bukan karena ingatan, tapi karena rasa bersalah.”
Raya tidak tidur malam itu.
Sejak menemukan ruang bawah tanah di balik lemari dapur, pikirannya terus berputar. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah ilusi, hasil dari trauma yang belum sembuh. Tapi bagaimana bisa menjelaskan bau darah yang lekat di udara? Dinginnya ruangan itu? Ketukan dari balik pintu besi?
Dan yang paling tidak bisa ia tolak: suara itu menyebut namanya.
Pagi menjelang, dan Mama bertanya kenapa ia tampak pucat. Raya hanya menjawab pendek, “Mimpi buruk.”
Tapi kenyataannya, saat ia memejamkan mata sejenak saja, mimpi itu datang lagi. Namun kali ini lebih nyata. Lebih tajam.
Ia berada di tengah ruangan yang sama—dinding lembab, lampu berpendar merah, dan pintu besi. Tapi sekarang pintu itu terbuka. Dan dari baliknya, muncul sosok anak kecil dengan wajah… kosong.
Bukan rusak. Bukan terluka. Tapi benar-benar kosong. Tidak ada mata. Tidak ada mulut. Tidak ada hidung.
Hanya kulit pucat dan rambut yang menggantung menutupi sebagian besar kepala. Anak itu berdiri mematung, lalu perlahan menunjuk ke arah dinding di belakang Raya. Saat ia berbalik, ia melihat cermin besar—dan di dalam cermin, berdiri dirinya sendiri, tapi dengan wajah yang bukan miliknya.
Ia terbangun dengan teriakan.
Sepanjang siang, suara-suara mulai datang bahkan saat ia terjaga.
Bisikan. Isakan. Nama-nama yang tidak dikenalnya: Nina, Dito, Arya…
Di sela-sela suara itu, muncul kata-kata seperti “Maafkan aku”, atau “Kami tidak sengaja…”, atau “Tolong jangan tutup mata lagi.”
Raya merasa seperti ada lubang di dalam pikirannya yang mulai terbuka. Celah yang selama ini tertutup rapat, kini perlahan meneteskan kenangan samar. Ia mulai mencium bau-bau yang tak seharusnya ia kenali—minyak tanah, kain lembap, dan debu tua. Bau yang mengingatkannya pada… tempat lain.
Dan satu suara, lebih jelas dari yang lain, mulai muncul:
“Kau dulu ada di sini, Raya…”
Sore hari, saat Mama keluar membeli obat, Raya memberanikan diri turun ke dapur lagi.
Ia berdiri di depan lemari kayu tua. Tangannya gemetar, tapi ia tetap menarik lemari itu menjauh. Lubang ke ruang bawah tanah masih ada. Terbuka. Gelap seperti mulut yang menunggu mangsanya.
Ia berdiri di pinggir tangga kayu yang menurun. Angin dingin mengusap kulitnya. Dan kali ini, ia tidak turun. Ia hanya berdiri di sana… dan memanggil.
“Siapa kamu?”
Tidak ada jawaban.
“Kenapa kamu tunjukkan semua ini padaku?”
Lalu, suara pelan menyusup ke dalam telinganya.
“Karena kamu dulu salah satu dari kami.”
Jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu terasa seperti kunci yang nyaris pas di lubang ingatan.
Dan seketika, potongan-potongan mulai muncul.
Dia masih kecil. Sekitar enam atau tujuh tahun. Berlari-lari di lorong sempit. Tertawa. Ada dua anak lain bersamanya. Mereka bermain petak umpet. Rumah itu sama—lantai kayu berderit, aroma debu, dan satu peraturan aneh yang selalu diulang oleh seseorang… suara wanita tua:
“Jangan pernah buka ruang bawah.”
Salah satu anak, anak perempuan dengan pita merah, tertawa nakal. “Aku mau masuk, ah!”
Lalu… suara tangisan. Teriakan. Dan kemudian… gelap.
Raya terhempas dari ingatan itu seolah ditarik paksa. Napasnya terengah. Keringat dingin membasahi punggung.
Ia tak tahu siapa anak-anak itu. Tapi entah mengapa, bagian terdalam dari dirinya kenal suara mereka. Kenal tawa mereka.
Dan yang paling membuatnya gemetar adalah fakta bahwa rumah itu tidak asing.
Ia pernah ada di sini. Bertahun-tahun lalu. Mungkin saat masih terlalu kecil untuk mengingat jelas. Mungkin bagian dari ingatannya telah ditutup rapat—karena trauma, atau karena disengaja.
Tapi sekarang, semuanya mulai retak.
Malam tiba. Raya duduk di kamar dengan mata terbuka, tapi tetap dalam kegelapan. Ia mulai mengerti—gelap tidak selalu berarti tidak melihat.
Kadang, dengan mata tertutup, kita melihat lebih jelas. Tapi apa yang kita lihat… belum tentu bisa diterima.
Dan malam itu, saat ia menoleh ke arah cermin kecil di sudut kamar—ia melihat bayangan anak-anak berlari di belakangnya. Suara tawa kecil. Dan suara pintu besi yang tertutup… keras.
“Kami di sini, Raya… jangan lupakan kami lagi.”
Bab 4: Surat Tanpa Nama
“Beberapa kebenaran datang tanpa wajah… tanpa suara… hanya lewat kata-kata yang menunggu ditemukan.”
Hujan turun deras malam itu. Langit di luar jendela tertutup awan kelabu, dan udara dipenuhi dengan aroma tanah basah. Petir sesekali menyambar jauh di kejauhan, menerangi bayangan pohon di halaman rumah yang meliuk seperti makhluk hidup.
Raya duduk di tempat tidurnya, selimut membungkus tubuhnya hingga ke leher. Ia tidak tidur sejak kejadian semalam—sejak ia melihat bayangan anak-anak itu di cermin. Sejak suara dari masa lalu membisikkan namanya dan menyeretnya kembali ke memori yang selama ini terkubur.
Pikiran Raya dipenuhi potongan kenangan yang tidak utuh. Rumah tua. Anak-anak lain. Perasaan takut. Dan suara perempuan yang selalu mengulang larangan:
“Jangan buka ruang bawah…”
Ia mulai merasa rumah ini bukan sekadar tempat ia pulih dari kecelakaan. Rumah ini… adalah akar dari semuanya.
Pagi itu, Mama pergi ke pasar, seperti biasa. Raya tetap di kamar, sendirian.
Hingga suara cetakan kecil terdengar dari bawah pintu. Seperti ada seseorang menyelipkan sesuatu.
Raya mengerutkan dahi. Meraba-raba jalan menuju pintu, dan saat tangannya menyentuh lantai, ia merasakan kertas—tebal, lembap oleh udara pagi, dan tidak beramplop.
Ia membawa kertas itu ke tempat tidurnya. Dengan jari-jari gemetar, ia membuka dan meraba huruf-huruf yang ditulis dengan tinta kasar. Tulisan tangan, bukan ketikan. Tidak ada nama pengirim. Tidak ada tanggal. Tapi isinya—menggetarkan jiwanya.
“Jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah mulai mendengar mereka. Aku juga pernah. Mereka datang saat malam turun. Saat rumah ini mulai bicara. Jangan abaikan suara mereka, karena mereka bukan hantu. Mereka kenangan. Dan kenangan… bisa membunuh jika terlalu lama dikubur.”
“Raya, kau tidak boleh percaya pada apa pun yang dikatakan ibumu. Ia tidak jahat. Tapi ia takut. Ia menyembunyikan kebenaran karena kebenaran itu menyakitkan. Tapi kau harus tahu. Sebelum semuanya terlambat.”
“Buka kembali ruang di bawah dapur. Di balik rak kayu, ada dinding palsu. Ketuk tiga kali. Di sana, kau akan menemukan apa yang sudah lama hilang.”
Raya membacanya berkali-kali. Surat itu tidak menyebutkan siapa penulisnya, tapi seseorang yang tahu namanya. Seseorang yang tahu ia sudah mendengar suara-suara itu. Dan yang paling menakutkan—seseorang yang tahu tentang dinding palsu di ruang bawah tanah.
Tangannya gemetar. Otaknya memutar semua kejadian belakangan ini. Suara-suara. Anak-anak. Pintu besi. Dan sekarang… surat ini.
Siapa yang bisa mengirimkannya? Tidak mungkin tetangga—rumah mereka jauh dari keramaian. Tidak mungkin tukang pos—tidak ada stempel. Bahkan Mama pun tidak tahu dia sudah menemukan ruang bawah.
Kecuali…
“…Mama menyembunyikannya.”
Pikiran itu muncul tiba-tiba. Dan semakin ia pikirkan, semakin masuk akal. Mama selalu menghindari bicara soal rumah ini. Selalu mengganti topik ketika ia menyinggung masa kecil. Bahkan, Raya sadar, ia tidak punya banyak kenangan tentang masa kecilnya sendiri.
Terlalu kabur. Terlalu banyak celah.
Hari mulai gelap ketika Raya memutuskan turun.
Ia menunggu Mama keluar lagi, lalu perlahan-lahan membuka jalan menuju dapur. Lemari tua itu masih di tempatnya. Dengan tenaga yang tak lagi ragu, ia mendorongnya ke samping dan membuka pintu menuju ruang bawah tanah.
Tangga kayu berderit saat ia menuruninya. Kali ini, ia membawa senter kecil—meski matanya masih buta, ia berharap bisa merasakan arah cahaya lewat pantulan kecil yang tersisa.
Di bawah sana, ruang itu seperti biasa: dingin, lembap, penuh tekanan. Tapi Raya sudah tahu tujuannya. Ia menyusuri dinding dengan tangan sampai menemukan bagian rak kayu yang dimaksud dalam surat.
Dan benar. Ada bagian rak yang lebih baru, lebih ringan saat diketuk.
Ia mengetuk tiga kali, seperti yang ditulis dalam surat.
Tok. Tok. Tok.
Beberapa detik hening. Lalu… klik. Bagian dinding itu bergeser perlahan, terbuka ke dalam.
Di baliknya… ruangan kecil, setengah tersembunyi. Hanya sebesar lemari pakaian. Tapi di dalamnya, tersimpan kotak kayu tua, berdebu, dengan rantai kecil mengikatnya.
Raya menyentuhnya. Dan saat ia membuka penutupnya, ia menemukan tumpukan surat dan foto-foto lama.
Anak-anak. Tiga orang. Salah satunya… Raya.
Ia lebih muda, rambut diikat dua, memakai gaun kecil. Berdiri di samping seorang anak laki-laki dan perempuan berambut panjang dengan pita merah. Ketiganya tersenyum—tapi senyum itu tak membawa damai. Ada ketegangan. Seolah mereka dipaksa tersenyum.
Di balik foto itu, ada secarik kertas kecil.
“Kami masih di sini. Kami belum selesai. Tolong, Raya. Jangan tinggalkan kami untuk kedua kalinya.”
Raya terduduk. Tangannya gemetar. Napasnya tersengal.
Ia bukan hanya kembali ke rumah ini. Ia sedang dipanggil kembali ke kenangan yang selama ini dikubur dalam-dalam—oleh siapa? Mungkin oleh dirinya sendiri. Mungkin oleh ibunya.
Tapi kini kenangan itu membuka pintu.
Dan semuanya… baru saja dimulai.
Bab 5: Mata di Balik Cermin
“Kadang, bukan kita yang menatap cermin. Tapi cermin yang menatap kita kembali.”
Raya duduk termenung di lantai kamarnya. Kotak tua berisi foto-foto dan surat itu kini tergeletak terbuka di hadapannya. Semua informasi yang ia temukan di ruang rahasia mulai membentuk pola, seperti potongan puzzle yang perlahan menyatu.
Ia tahu sekarang: ia pernah tinggal di rumah ini ketika kecil. Ia tahu ia memiliki dua teman, mungkin saudara, yang menghilang. Tapi mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang disebut Mama? Dan kenapa semua kenangan itu—hilang?
Pikiran Raya terpecah-pecah seperti retakan kaca. Tapi satu hal yang membuatnya tak bisa tidur malam itu bukanlah surat atau kotak itu—melainkan cermin di sudut kamar.
Sejak ia kembali dari ruang bawah tanah, cermin itu tidak lagi terasa seperti benda mati. Ia merasa dipandangi. Bahkan ketika membelakangi, ia bisa merasakan ada yang berdiri di dalam sana… menunggu.
Dan malam ini, ia tak bisa mengabaikannya lagi.
Tepat pukul 2 dini hari. Hujan kembali turun rintik-rintik. Raya bangun dari tempat tidur, kakinya menyentuh lantai dingin. Ia meraba-raba menuju cermin kecil bundar yang tergantung di dinding dekat lemari. Tangan kirinya menyentuh bingkainya, tangan kanan memegang lampu senter kecil.
Saat cahaya menyentuh permukaan cermin—ia terdiam.
Bukan karena ia melihat wajahnya. Tapi karena wajah yang kembali menatapnya bukan miliknya.
Gadis dalam cermin memiliki rambut lebih panjang. Matanya tampak kosong. Dan darah menetes dari pelipisnya. Ia berdiri di tempat yang sama dengan Raya, tapi tersenyum lebar dengan bibir yang sobek ke samping.
Dan seolah mendengar pikirannya, gadis itu membuka mulutnya dan berkata:
“Kau ingat aku, ‘kan?”
Raya mundur, terjatuh ke lantai, napasnya memburu. Cermin itu kini kembali memantulkan bayangan kamar biasa. Dirinya. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu… masih menggema di telinganya.
Esok harinya, Raya mencoba menenangkan diri. Ia duduk di ruang tamu, mencoba mengalihkan pikiran dengan mendengarkan suara radio tua di sudut ruangan. Tapi saat Mama datang dan duduk di hadapannya, Raya tak bisa menahan diri.
“Mama…” katanya lirih. “Siapa Nina?”
Wajah Mama berubah seketika.
“Apa?”
“Nina. Dan Dito. Anak-anak dalam foto di kotak itu.”
Mama tidak menjawab. Ia hanya menatap Raya lama, lalu berdiri dan berjalan ke arah dapur.
“Jangan sentuh masa lalu, Nak. Itu hanya akan menyakitimu lagi,” kata Mama dari balik suara air keran.
Raya mengepalkan tangan. “Aku butuh tahu, Ma. Mereka bagian dari hidupku. Mereka… mungkin mati di rumah ini.”
Mama berhenti.
Lalu, dengan suara pelan, nyaris tak terdengar: “Itu bukan salahmu.”
Raya menegang. “Apa maksud Mama?”
Tapi Mama hanya menutup pintu dapur dan tidak menjawab lagi.
Malam berikutnya, Raya kembali mendengar suara-suara. Tapi kali ini, mereka tidak datang dari ruang bawah tanah. Mereka datang dari cermin.
Bayangan Nina semakin jelas. Gadis itu berdiri di dalam cermin seperti sedang berada di dunia yang berbeda, dunia yang terpaku dalam pantulan. Dan kali ini, ia tidak sendiri.
Dito juga ada di sana. Tapi tubuhnya membiru, dengan mata memutih dan tangan menggenggam sebuah boneka rusak tanpa kepala.
Mereka berdua menatap Raya—dalam diam, dalam harap.
Cermin itu mulai retak dari sudut kanan atas. Retakan kecil, halus seperti jaring laba-laba. Dan dari retakan itu, suara anak-anak mulai terdengar. Bukan tangisan. Tapi lagu kecil.
“Tutupu mata…
Jangan bicara…
Kalau kau buka…
Mereka akan marah…”
Lagu itu terus berulang. Suaranya pelan, namun begitu nyata. Raya menutup telinga, mencoba menghentikan semua itu. Tapi lagu itu terus mengalun—dari dalam kepalanya.
Ketika pagi datang, Raya hanya duduk diam di pojok kamar. Ia merasa seperti hidup di antara dua dunia: dunia nyata dan dunia cermin.
Ia mulai berpikir bahwa mungkin… bukan ia yang gila. Tapi rumah ini yang hidup. Dan cermin itu—bukan hanya pantulan, tapi jendela. Tempat jiwa-jiwa itu terperangkap.
Dan jika ia benar, maka Nina dan Dito sedang berusaha keluar.
Sebelum tidur, Raya memberanikan diri berdiri di depan cermin.
Ia menyentuh permukaannya dengan ujung jari.
Dingin. Tapi kemudian… terasa seperti kulit.
Dan saat ia menarik tangannya kembali, ada bekas telapak tangan kecil di balik kaca. Bukan miliknya. Terbalik. Seolah dari sisi lain… seseorang menyentuh balik.
Bab 6: Luka yang Tertanam
“Beberapa luka tidak berdarah. Tapi tumbuh… dan terus hidup di bawah tanah.”
Pagi itu, angin terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman rumah, membuat pepohonan tampak seperti siluet-siluet aneh yang berdiri mengawasi. Di dalam kamar, Raya duduk memeluk lutut di sudut ruangan, memandangi cermin yang kini ia tutupi dengan kain.
Ia belum tidur sejak semalam. Suara lagu dari dalam cermin masih menghantui pikirannya. Bekas telapak tangan kecil yang muncul di balik kaca telah lenyap, tapi jejaknya masih membekas di hati Raya—dan di balik matanya yang kosong, ada kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan.
Pikirannya kembali ke surat-surat di dalam kotak kayu. Di antara tumpukan kertas itu, ada satu yang sebelumnya tidak ia baca karena terlalu usang dan hampir sobek seluruhnya. Pagi ini, ia memaksakan diri membacanya.
Tulisan tangan di sana tampak lebih tergesa, lebih kacau, seperti ditulis dalam ketakutan.
“Aku melihatnya malam itu. Mereka tidak hanya menghilang. Mereka dikorbankan. Bukan oleh orang asing. Tapi oleh darah mereka sendiri.”
“Raya… jika kau membaca ini, kau harus tahu—rumah ini menyimpan luka. Luka itu hidup, dan ia akan memakan siapa pun yang mencoba melupakannya.”
Raya menelan ludah. Kata “dikorbankan” menggema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia tak tahu lagi harus percaya pada siapa. Tapi satu hal yang ia yakini: ibunya tahu sesuatu. Dan tidak akan lama lagi semuanya akan terbuka, entah ia siap atau tidak.
Siang itu, Raya memutuskan keluar ke taman belakang—tempat yang selama ini tidak pernah ia dekati. Ada semacam ketakutan intuitif dalam dirinya, seolah bagian itu dari rumah menyimpan sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih gelap dari yang lain.
Namun hari ini, ia merasa ditarik ke sana.
Di ujung taman, tersembunyi di balik pohon mangga besar yang daunnya lebat, ada tanah kosong yang terlihat berbeda dari sekitar. Seperti pernah digali… dan ditutup kembali.
Ia menyentuh tanahnya. Kering, tapi tidak keras. Seolah belum terlalu lama ditimbun. Jantungnya berdegup kencang.
Tiba-tiba, suara Mama terdengar dari belakang.
“Apa yang kamu lakukan di situ?”
Raya menoleh. Mama berdiri dengan ekspresi campur aduk antara ketakutan dan kemarahan.
“Kenapa tanah ini seperti bekas kuburan?” tanya Raya tanpa basa-basi.
Mama terdiam. Wajahnya berubah pucat.
“Kau tak seharusnya ke sini.”
“Itu benar, ‘kan?” desak Raya. “Ini tempat di mana sesuatu—atau seseorang—dikubur.”
Mama melangkah maju, menarik lengan Raya dengan paksa. “Cukup, Raya. Kau tidak mengerti. Semua yang kulakukan, kulakukan untuk melindungimu.”
“Melindungi? Atau menyembunyikan kebenaran?”
Mama menatapnya. Kali ini, matanya berair. Suaranya pelan, namun dalam.
“Ada malam yang tak akan pernah bisa Mama lupakan… Malam ketika kalian bertiga bermain petak umpet di ruang bawah. Malam ketika lampu padam. Ketika tangisan itu… berubah jadi jeritan.”
Raya membeku.
“Kalian terjebak. Aku panik. Ayahmu tidak di rumah. Aku mencoba menyelamatkan kalian. Tapi ketika aku tiba, hanya kamu yang masih bernapas…”
“Apa maksud Mama?” bisik Raya.
“Raya…” Mama berlutut, menggenggam tangan putrinya. “Kamu tidak ingat karena kepalamu terbentur. Tapi kau… Kau yang memegang lilin malam itu. Kau yang membuka pintu rahasia… dan mereka masuk ke dalam lebih dulu.”
“Dan…?” suara Raya bergetar.
“Mereka tak pernah keluar.”
Sunyi.
Raya merasa seperti tanah tempat ia berdiri hilang dari bawah kakinya.
“Jadi… itu yang Mama kubur?” bisiknya.
Mama mengangguk perlahan. “Tapi tak pernah kutemukan tubuh mereka. Hanya boneka Nina… dan pita merah.”
Air mata Raya menetes tanpa ia sadari.
“Kenapa… kenapa tidak bilang dari dulu?”
“Karena luka itu terlalu dalam, Raya. Dan Mama… tak pernah bisa memaafkan diri sendiri.”
Malamnya, Raya kembali berdiri di depan cermin.
Kali ini ia tidak takut.
Ia membuka kain penutupnya, dan di balik pantulan, Nina dan Dito sudah menunggu. Tapi kali ini, mereka tidak terlihat marah. Mata mereka tenang, dan senyum tipis menghiasi wajah pucat mereka.
Lalu, Nina berbicara—tanpa suara, tapi jelas.
“Kami tidak menyalahkanmu.”
Raya menutup mata. Air matanya jatuh. Dan saat ia membukanya kembali… cermin itu kosong.
Hanya dirinya di sana.
Dan di dalam hatinya, untuk pertama kali sejak ia kembali, terasa sedikit lebih ringan.
Tapi ia tahu, ini belum akhir.
Luka itu mungkin mulai sembuh.
Tapi belum semua cerita terkubur selesai terangkat.
Bab 7: Siapa Aku Sebelum Gelap?
“Ketika lampu padam, bukan hanya cahaya yang hilang. Kadang, jati diri pun ikut tertelan gelap.”
Raya menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya sembab, kulitnya pucat, dan di balik iris cokelatnya, ada tanya yang mengendap: Siapa sebenarnya aku?
Setelah semua pengakuan Mama tentang kejadian malam itu—tentang Nina dan Dito, tentang ruang bawah tanah, tentang tanah yang menyimpan rahasia—Raya merasa seperti hidupnya selama ini adalah lembaran kosong yang ditulis dengan tinta palsu.
Ia tahu nama-nama, tahu kejadian, tahu lokasi… tapi tidak pernah bisa mengingat perasaannya saat itu.
Bagaimana bisa seseorang mengingat kejadian… tapi tidak mengingat siapa dia dalam kejadian itu?
Hari itu, Raya kembali mengurung diri di kamar. Ia membuka kembali kotak kayu berisi surat dan foto-foto lama. Di antara tumpukan lusuh, ia menemukan sebuah foto yang belum pernah ia lihat sebelumnya—sebuah potret buram, hasil cetakan lama, berlatar taman belakang rumah.
Ada tiga anak di sana: seorang gadis kecil dengan pita merah, seorang bocah laki-laki memeluk boneka, dan seorang gadis lain… dengan wajah yang tampak tidak jelas. Buram, seperti tertutup kabut. Tapi dari posturnya, Raya tahu—itu dirinya.
Namun anehnya, semakin ia tatap wajah gadis dalam foto itu, semakin terasa asing.
Ia menyentuh foto itu, dan seketika kilasan memori menghantamnya:
Gelap. Lilin yang jatuh. Tawa yang berubah jadi jeritan. Tangan kecil yang berusaha menariknya keluar. Sebuah pintu besi yang tertutup sendiri. Dan… suara seseorang berbisik:
“Raya bukan namamu.”
Raya tersentak mundur, menjatuhkan foto itu ke lantai.
Napasnya tersengal.
Siapa yang bicara barusan?
Dan kenapa… kalimat itu terdengar sangat benar?
Tak lama, Raya memutuskan naik ke loteng. Ada satu ruangan kecil yang tak pernah ia jamah sejak pindah kembali. Kunci ruangan itu ada di antara tumpukan buku tua Mama. Dengan hati-hati, ia membukanya.
Ruangan itu gelap dan berdebu. Bau kayu lapuk dan lembap menyeruak. Tapi di tengah-tengah ruangan, ada sebuah koper tua berwarna hijau lumut. Di atasnya, tertempel label pudar bertuliskan: “Milik Ratna”—nama tengah Mama.
Dengan jantung berdebar, Raya membuka koper itu.
Isinya: pakaian anak-anak, beberapa buku harian lusuh, dan sebuah akta lahir.
Ia mengangkat akta itu dengan tangan gemetar. Namanya tertulis di sana—Raya Anggita Prameswari. Tapi ada kejanggalan… akta itu diterbitkan dua tahun setelah ia lahir. Dan bukan atas nama rumah sakit.
Di balik akta itu, terselip akta kelahiran lain. Nama: Rani Prameswari. Lahir pada tanggal yang sama. Wajahnya… mirip Raya. Sangat mirip. Tapi tidak persis.
Di bawahnya, tercatat: Meninggal dunia: 6 Maret 2010.
Tangan Raya bergetar.
“Rani…?”
Ia mulai merasa mual. Segalanya terasa kabur.
Apa mungkin… dia bukan Raya? Apa mungkin dia adalah Rani? Atau—lebih mengerikan lagi—apa mungkin dia adalah bukan siapa-siapa yang kini memakai nama seseorang yang sudah mati?
Suara di kepalanya mulai menggema.
“Kalau kau bukan Raya… siapa kau sebelum gelap itu menelanmu?”
Malamnya, Raya kembali ke kamar dengan kepala penuh tanya. Ia kembali berdiri di depan cermin. Ia melepas kain penutupnya, dan kali ini, ia tidak melihat pantulannya. Cermin itu kosong.
Gelap.
Lalu, dari balik bayangan, muncul seorang anak perempuan. Wajahnya jelas. Rambut kepang dua. Mata bulat besar.
“Namaku Rani,” katanya, “dan aku yang mati.”
Raya mundur satu langkah. Tapi anak itu tidak tampak menyeramkan. Tidak kali ini. Ia tampak seperti seseorang yang lelah… seseorang yang ingin diakui.
“Kau hidup, karena aku mati,” ucap gadis itu. “Tapi bukan salahmu.”
“Lalu… siapa aku?” tanya Raya pelan.
Gadis itu tersenyum tipis. Sedih, tapi damai.
“Kau adalah apa yang tersisa. Kau bukan aku. Tapi tanpa aku, kau tidak akan ada.”
“Kau adalah luka yang tumbuh jadi daging. Kenangan yang berubah jadi wujud.”
Raya menangis. Bukan karena takut. Tapi karena untuk pertama kali, ia mulai memahami bahwa dirinya tidak lagi bisa mencari jawaban di luar. Jawabannya ada dalam dirinya sendiri. Dan ia harus menyusun ulang dirinya—pecahan demi pecahan.
Bukan untuk menjadi “Raya”. Tapi untuk menjadi utuh.
Di luar kamar, Mama berdiri sambil memandangi pintu yang tertutup. Air mata mengalir pelan.
“Aku tak tahu siapa kau sekarang, Nak,” gumamnya, “tapi selama kau tetap di sini… aku tetap ibumu.”
Dan dari dalam kamar, terdengar suara lirih dari dalam dada Raya:
“Aku mungkin bukan Raya… tapi aku juga bukan hantu. Aku hanya ingin tahu siapa aku sebelum gelap datang… agar aku bisa memilih siapa aku setelah cahaya kembali.”
Bab 8: Mata yang Tak Bisa Ditutup
“Ada hal-hal yang hanya bisa kau lihat saat kau berhenti memalingkan wajah.”
Sudah dua hari Raya tidak tidur. Bukan karena takut—tapi karena matanya tidak bisa tertutup.
Setiap kali ia memejamkan mata, kilasan aneh menerobos masuk ke pikirannya. Bukan mimpi. Bukan juga kenangan. Tapi seperti… peringatan. Bayangan lorong sempit. Dinding penuh coretan. Mata—banyak mata—mengintip dari balik celah-celah dinding. Dan suara tangisan yang tak kunjung henti.
Raya mulai mencatat semuanya. Ia membuat sketsa kasar dari apa yang ia lihat di kepalanya: peta rumah, dengan tambahan-tambahan yang tidak ada secara fisik—ruang di bawah ruang, pintu di balik cermin, dan mata-mata yang tersembunyi di balik dinding. Ia merasa seperti sedang disuruh mengingat sesuatu yang bukan sekadar miliknya.
Malam itu, ketika jam menunjukkan pukul 02:11, suara itu kembali terdengar dari dalam kamar. Seperti seseorang menarik kuku di atas kayu.
Criiik… criiik…
Tapi kali ini, Raya tidak membeku. Ia berdiri. Perlahan mendekati sumber suara: lemari tua di sudut kamar. Lemari itu sudah kosong sejak ia pindah kembali. Tapi malam ini… terasa penuh.
Dengan satu tarikan napas, ia membuka pintu lemari.
Kosong.
Namun di bagian belakang, ia melihat sesuatu yang aneh: sebuah lubang seukuran mata manusia, dibor rapi dari sisi lain dinding. Ia mengintip ke dalam, dan hatinya langsung mencelos.
Di balik lubang itu… ada mata. Menatap balik ke arahnya.
Teriakannya tertahan. Tapi sebelum ia sempat mundur, lubang itu perlahan melebar sendiri, retakannya merambat seperti akar. Sebuah celah terbuka di dinding.
Raya tahu ia harus masuk.
Lorong itu gelap, sempit, dan dingin. Udara di dalamnya berbau tanah lembap dan kayu lapuk. Ia berjalan perlahan, menelusuri lorong kecil yang seperti membelah rumah dari dalam—struktur yang tak tercatat di denah mana pun.
Di dindingnya ada coretan: tulisan anak-anak, gambar mata, dan kalimat-kalimat putus-putus seperti mantra.
“Aku melihat meski tak terlihat.”
“Mereka bersembunyi, tapi aku tahu.”
“Raya… lihat aku.”
Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu besi tua. Di atasnya tertempel sesuatu yang membuat napasnya tercekat:
Sebuah foto dirinya. Tapi dengan mata dicoret tinta hitam.
Tangannya gemetar saat mendorong pintu itu terbuka. Berderit keras. Dan di dalamnya…
…sebuah ruangan kecil penuh cermin. Tapi tidak seperti cermin biasa. Pantulan di sana tampak kacau. Kadang menunjukkan masa lalu, kadang hanya kegelapan. Kadang, wajah-wajah asing muncul sejenak lalu lenyap.
Di tengah ruangan itu, duduk seorang anak perempuan kecil. Punggungnya membelakangi Raya. Rambutnya kepang dua. Dan boneka kelinci lusuh tergeletak di sampingnya.
“Rani…?” bisik Raya.
Anak itu tidak menoleh. Tapi suaranya terdengar.
“Aku tak pernah pergi. Kau yang menutup mata.”
“Aku tidak tahu… aku bahkan tidak ingat siapa aku sebenarnya,” kata Raya, lututnya mulai lemas.
“Karena kau takut melihat. Tapi sekarang, kau sudah masuk. Mata itu tidak bisa ditutup lagi.”
Tiba-tiba, semua cermin di sekelilingnya mulai bergetar. Pantulan-pantulan mulai berbicara—semua dalam suara yang berbeda, suara anak-anak, suara Mama, bahkan suara dirinya sendiri.
“Kenapa kau biarkan kami?”
“Siapa kau tanpa kami?”
“Buka matamu… lihat luka itu…”
“Tegakkan tubuhmu, hadapi apa yang kau lupakan.”
Raya jatuh berlutut. Tapi ia tahu, ia harus menyelesaikan ini.
Ia berdiri, menatap ke salah satu cermin. Di sana, ia melihat malam ketika semuanya terjadi—petak umpet, lampu padam, teriakan. Ia melihat dirinya yang memegang lilin, melihat pintu rahasia yang terbuka. Dan ia melihat saat Nina dan Dito tertinggal di balik pintu yang menutup.
Namun untuk pertama kali… ia melihat detail yang selama ini hilang:
Ia tidak menutup pintu itu. Pintu itu tertutup sendiri. Dan sebelum tertutup sepenuhnya, ada tangan lain… tangan laki-laki… yang mendorongnya dari sisi luar.
“Bukan aku…” bisiknya. “Itu bukan salahku.”
Rani perlahan berdiri. Menoleh. Wajahnya kali ini damai.
“Sekarang kau melihatnya.”
Raya menatap ke sekeliling. Cermin-cermin itu mulai retak. Suara-suara berhenti. Rani mengulurkan tangannya, dan Raya meraihnya.
“Kalau matamu sudah terbuka… kamu bisa pulang,” ucapnya.
Raya menutup mata sejenak. Bukan untuk kabur, tapi untuk menerima. Ketika ia membukanya lagi, ia sudah berada di dalam kamarnya.
Sendiri.
Dan untuk pertama kali… tidak takut.
Besok pagi, Mama menemukan Raya duduk di ruang tamu, tenang. Ia tersenyum saat melihat ibunya.
“Mama,” katanya pelan. “Aku tahu siapa aku. Dan aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.”
Mama hanya menatapnya, seolah melihat putrinya kembali untuk pertama kali sejak bertahun-tahun.
Dan di dinding kamar… lubang kecil tempat mata itu dulu mengintip, kini sudah tertutup.
Namun di hati Raya, mata itu tetap terbuka.
Mata yang tak lagi menghindar.
Mata yang memilih melihat semuanya.
Bahkan luka paling dalam sekalipun.
Bab 9: Luka yang Bicara
“Kadang, luka tidak meminta untuk disembuhkan. Ia hanya ingin didengar.”
Hari itu mendung menggantung di atas rumah tua yang semakin rapuh. Langit seperti menahan hujan yang tak kunjung turun, dan udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Raya duduk di ruang tengah, buku catatan terbuka di pangkuannya, pena menari tanpa suara.
Sudah dua hari sejak ia keluar dari lorong cermin.
Sejak itu, banyak yang berubah.
Ia tak lagi terbangun karena mimpi buruk. Ia tak lagi takut menatap cermin. Tapi ada yang lebih aneh lagi—ia mulai mendengar suara-suara… dari benda mati.
Pertama, dari cermin kamar mandi.
“Dia tidak jahat… hanya kesepian,” suara lirih itu berbisik saat ia sedang mencuci wajah.
Lalu dari lantai kayu di loteng.
“Tangannya gemetar waktu mengubur,” gumam lirih yang terasa seperti dihembuskan dari sela-sela papan.
Dan sekarang, dari ruang tamu, sofa tua itu berbisik:
“Kau sudah duduk di sini dulu… tapi bukan sendiri.”
Raya mencatat semua yang ia dengar. Ia tidak gila. Setidaknya, tidak merasa begitu. Suara-suara itu tidak menakutkan. Tidak lagi. Mereka… seperti luka-luka yang terlalu lama membusuk dalam diam, dan kini, akhirnya berani bicara.
Hari itu, Raya mencoba kembali ke ruang bawah—ruang tersembunyi yang dulu ditemukan lewat lorong di balik lemari. Tapi lorong itu sudah tak ada. Dindingnya kini padat kembali, seolah tidak pernah ada celah sedikit pun.
Namun langkah kakinya membawanya ke lemari tua di dapur belakang, lemari yang dulu tidak pernah ia perhatikan. Kali ini, pintunya terbuka sedikit. Di dalamnya, ada kotak perak kecil bertuliskan nama yang dikenalnya:
“Nina.”
Dengan jari gemetar, ia membuka kotak itu. Di dalamnya: pita rambut warna merah, potongan kertas bergambar dua gadis kecil bergandengan tangan, dan… rekaman kaset bertuliskan “Main Bersama – 2009.”
Raya membawa kaset itu ke tape player tua yang berdebu di pojok rak.
Ketika ia tekan tombol play, suara-suara masa kecil langsung memenuhi ruangan.
“Aku jadi dokter, ya?”
“Aku yang jadi pasien!”
“Eh, Dito mana? Dia takut, ya?”
Tawa anak-anak. Suara Nina. Suara dirinya.
Dan kemudian… suara lain. Lirih. Terdengar di latar belakang, nyaris tak terdengar jika tidak dicermati.
“Tolong… keluarkan aku…”
Raya menghentikan kaset itu.
Napasnya tercekat. Bulu kuduknya berdiri.
Itu bukan bagian dari permainan.
Itu… suara minta tolong.
Dan dia tahu, suara itu berasal dari waktu setelah pintu rahasia tertutup.
Itu suara luka. Luka yang terkurung. Dan sekarang, bicara.
Malamnya, Raya kembali duduk di depan cermin. Tapi bukan untuk menatap dirinya. Ia meletakkan pita merah milik Nina di atas meja. Menyalakan lilin kecil. Lalu ia berbicara.
“Kalau kamu masih di sini… kamu boleh bicara sekarang.”
Angin kecil berembus. Api lilin bergoyang. Dan di permukaan cermin, perlahan terbentuk kabut tipis… lalu tulisan seperti tergores dari dalam:
“Aku tidak marah padamu.”
Air mata Raya menetes.
Ia berbisik, “Aku… takut. Aku pikir aku yang menutup pintunya…”
Tulisan itu berubah.
“Bukan salahmu. Kita semua anak-anak waktu itu.”
“Lalu siapa yang menutupnya?” tanya Raya.
Cermin tak menjawab. Tapi dari arah lemari, suara lantai kayu berderit. Seolah menunjukkan arah. Seolah… menyuruhnya membuka lagi sesuatu yang tertutup lama.
Di dalam lemari itu, di balik papan lapis yang sudah goyah, Raya menemukan sebuah jurnal tua—tulisan tangan ayahnya. Di dalamnya, catatan tentang eksperimen memori, observasi pada “anak-anak trauma”, dan catatan harian yang merujuk pada sesuatu yang disebut “proyek cahaya”.
Dan di halaman terakhir:
“Jika Raya bisa mengingat dengan utuh, luka itu mungkin bisa bicara sendiri. Tapi apakah dia siap?”
Tangan Raya bergetar.
Ayahnya… tahu tentang semuanya?
Dan yang lebih penting, ayahnya menciptakan sesuatu yang membuatnya lupa?
Raya menutup jurnal itu perlahan. Tangisnya pecah. Bukan karena takut—tapi karena akhirnya, semua luka itu bicara… dan suara paling menyakitkan justru berasal dari orang yang ia percaya.
Hari berganti.
Raya kini berjalan ke taman belakang. Di bawah pohon jambu yang tak pernah berbuah sejak ia kembali, ia menggali tanah. Ia tak tahu mengapa, hanya mengikuti dorongan yang kuat dari dalam dirinya—dari luka yang terus berbisik di kepala.
Setelah hampir satu jam menggali, tangannya menyentuh sesuatu: sebuah kotak besi kecil.
Di dalamnya, foto-foto dirinya bersama Nina dan Dito, dengan tulisan kecil:
“Maafkan aku. Aku tak bisa menyelamatkan mereka. Tapi aku tak sanggup kehilangan kamu juga. — Ayah”
Raya menatap langit.
Hujan turun.
Untuk pertama kali… dia membiarkan hujan itu jatuh ke wajahnya, membasuh semuanya.
Luka itu akhirnya bicara. Dan ia mendengarkan.
Di kamar, pita merah tergantung di jendela. Cermin tidak lagi menunjukkan wajah asing. Dan suara dari lorong-lorong rumah perlahan menghilang.
Karena semua luka… telah didengar.
Tamat: Saat Mata Terbuka
“Membuka mata bukan akhir dari mimpi, tapi awal dari hidup yang sebenarnya.”
Pagi itu, sinar matahari pertama menembus tirai kamar yang sudah lama tak dibuka. Debu-debu menari pelan dalam cahaya kuning keemasan, menyentuh wajah Raya yang duduk diam di pinggir tempat tidur, matanya terbuka tapi tak berkedip, menatap lurus pada cermin di seberang ruangan.
Ia sudah tidak takut lagi.
Sudah tidak lari, tidak menyangkal, tidak menyalahkan.
Segalanya kini terang. Terang yang menyakitkan—tapi juga menyembuhkan.
Tangan Raya memegang dua benda: pita merah dan jurnal ayahnya. Dua bukti yang membenturkan masa kecilnya yang rapuh dengan kenyataan yang pahit. Ayahnya, bukan sekadar seorang peneliti eksentrik, tapi seseorang yang… dalam caranya yang salah… mencoba melindungi.
Malam sebelumnya, setelah membaca semua catatan dalam jurnal, Raya tidak bisa tidur. Ia berjalan di sepanjang rumah seperti seseorang yang sedang mengucapkan selamat tinggal—menyentuh dinding, mengamati lantai, meraba kenangan yang bersemayam di tiap sudutnya.
Sampai akhirnya, ia berdiri di depan lemari cermin yang telah membawanya ke ruang ingatan itu.
Dia menatap pantulannya sendiri. Wajahnya masih sama. Tapi matanya… kini hidup.
Hari ini, ia berniat meninggalkan rumah itu.
Bukan karena kalah.
Tapi karena sudah selesai.
Tas ransel kecil berisi jurnal, beberapa foto, dan pita merah sudah siap di punggungnya. Ia memutar kunci pintu depan yang sudah berkarat, membukanya perlahan. Udara pagi menyergap wajahnya dengan wangi rumput basah dan kabut yang menggantung tipis.
Namun sebelum ia melangkah, suara itu datang.
Dari dalam rumah. Lembut. Sangat pelan.
“Raya…”
Suara Nina.
Tapi kali ini, ia tak merasa ngeri. Ia berbalik, menatap ke dalam.
“Kamu mau pergi?”
“Ya,” jawab Raya, meski tak ada sosok terlihat.
“Kalau kamu pergi… siapa yang akan ingat kami?”
Pertanyaan itu menancap dalam.
Ia berjalan kembali ke tengah rumah. Duduk di lantai ruang tamu. Matanya menatap ke titik kosong, tapi pikirannya dipenuhi oleh tawa, tangis, dan bisikan dari masa lalu. Semuanya kini jelas: Dito yang tak sempat diselamatkan. Nina yang terjebak antara dunia. Dan dirinya sendiri yang dibentuk oleh luka itu.
“Aku nggak akan lupa,” bisik Raya. “Tapi aku juga nggak bisa tinggal di sini selamanya.”
“Kami nggak ingin kau tinggal. Kami cuma ingin kau ingat. Jangan biarkan kami mati… di dalam ingatanmu.”
Air mata mengalir. Tapi untuk pertama kalinya, itu bukan karena takut atau sedih. Itu… karena damai.
Sebelum benar-benar pergi, Raya masuk ke kamar lamanya sekali lagi.
Ia menulis sesuatu di dinding—di tempat yang dulu ia takuti karena sering muncul bayangan. Sekarang, tempat itu menjadi seperti altar kecil untuk masa lalu yang kini ia terima.
Dengan spidol hitam, ia tulis:
“Aku melihat kalian. Aku mengingat. Aku memaafkan. Dan aku hidup.”
— Raya
Di atas tulisan itu, ia tempelkan foto masa kecilnya bersama Nina dan Dito, yang sudah dipulihkan dari kotak besi di taman. Di bawahnya, ia letakkan pita merah yang pernah melambai di rambut adiknya.
Rumah itu, meski tua dan penuh luka, kini terasa seperti sebuah nisan yang indah—bukan tempat yang menyeramkan, tapi tempat peristirahatan terakhir bagi kenangan yang akhirnya didengarkan.
Raya berdiri di tepi jalan, menunggu bus. Pagi mulai sibuk. Mobil lalu-lalang. Dunia di luar rumah itu… ternyata masih berjalan, meski selama ini ia merasa terperangkap.
Ketika bus datang, ia naik. Duduk di dekat jendela. Sambil memeluk ransel kecilnya.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya—ia merasa benar-benar bebas.
Saat bus mulai melaju, ia melihat bayangannya di jendela. Matanya kini terbuka. Tidak hanya secara harfiah, tapi secara jiwa.
Ia tak tahu ke mana langkah selanjutnya. Tapi ia tahu, ke mana pun ia pergi, ia tak sendiri. Luka-luka itu, kini menjadi bagian dari dirinya. Bukan untuk membebani… tapi untuk mengingatkan.
Karena luka yang tak bicara akan menghantui. Tapi luka yang didengar… akan menjadi pintu pulang.
Dan Raya, kini tahu…
Ia sudah pulang.
Bukan ke rumah itu. Tapi ke dalam dirinya sendiri.***