Bab 1 – Misi yang Tampak Sederhana
Langit malam menggantung pekat tanpa bintang. Angin berdesir pelan di atas padang tandus perbatasan, menyapu debu dan reranting kering yang berserakan di tanah. Di kejauhan, bangunan beton tua berdiri sunyi, seperti menyembunyikan rahasia yang enggan terungkap.
“Kita punya waktu tiga puluh menit,” bisik Komandan Arga, pemimpin Tim Taring Hitam, sebuah unit khusus yang ditugaskan hanya untuk misi-misi berisiko tinggi. Suaranya tegas namun tenang, seolah waktu yang sempit bukan ancaman berarti.
Di sekelilingnya, lima anggota lain mengangguk. Mereka mengenakan pakaian hitam taktis, senjata tersandang di bahu, dan wajah tertutup topeng malam. Tidak ada ruang untuk keraguan dalam tim ini. Semuanya telah dilatih untuk bergerak cepat, berpikir dingin, dan menyelesaikan tugas tanpa jejak.
Misi malam itu tampak sederhana: menyusup ke markas tua yang konon telah lama ditinggalkan, mengunduh file dari server utama, lalu kembali tanpa mengundang perhatian. Informasi yang diburu dikabarkan menyangkut rencana penyelundupan senjata besar-besaran ke wilayah perbatasan.
Namun sejak awal, Arga merasa ada yang janggal. Informasi datang terlalu mudah. Lokasi terlalu jelas. Dan yang paling aneh—tidak ada satu pun penjaga di sekitar bangunan yang seharusnya menjadi tempat strategis.
“Delta, ambil alih pemantauan perimeter. Nara, kau bersamaku ke ruang pusat data. Yang lain jaga pintu masuk,” perintah Arga singkat. Gerakan pun dimulai. Tim menyebar dengan cekatan seperti bayangan di malam hari.
Langkah demi langkah mereka menyusuri lorong gelap berdebu. Dinding-dinding retak dan lampu-lampu mati seakan memberi tanda bahwa tempat ini telah lama terbengkalai. Tapi insting tempur Arga tidak pernah salah—kesunyian ini terlalu sempurna.
“Ada sesuatu yang aneh,” bisik Nara saat mereka memasuki ruang kendali yang penuh layar monitor mati. “Tak ada kabel daya, tapi suhu ruangan hangat… seperti baru digunakan.”
Seketika itu juga, suara klik terdengar dari bawah lantai. Lantai bergetar. Lampu merah menyala. Monitor hidup serentak, menampilkan gambar mereka sendiri—dari kamera tersembunyi.
“Persetan…” gumam Arga. “Kita dijebak.”
Sebuah sirene meraung nyaring. Pintu otomatis menutup cepat dari berbagai arah, menjebak mereka dalam ruang yang asing dan mematikan. Sinyal komunikasi hilang. Cahaya berubah merah darah. Di layar utama, muncul tulisan besar berwarna putih:
SELAMAT DATANG DI PERANGKAP.
Dan malam yang tampak tenang pun berubah menjadi mimpi buruk berdarah.
Bab 2 – Di Balik Pintu Baja
Pintu baja itu berdiri tegak dan kokoh, menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit lorong bawah tanah. Warnanya kelabu tua dengan bekas goresan dan percikan karat, seolah pernah menjadi saksi bisu kekerasan di masa lalu. Tepat di tengahnya, terpampang simbol segitiga dengan lambang mata—tanda dari organisasi rahasia yang selama ini hanya dikenal melalui desas-desus di kalangan militer.
“Tidak tercatat di denah,” ujar Nara sambil menyeka keringat dari pelipisnya. “Pintu ini tak seharusnya ada.”
Komandan Arga mendekat, meneliti panel elektronik di sisi pintu. Jari-jarinya dengan cepat menari di atas keypad digital, mencoba satu per satu kombinasi standar. Tidak ada yang berhasil.
“Ini bukan pintu biasa,” gumam Arga. “Ini pintu ke sesuatu yang ingin mereka sembunyikan… atau lindungi.”
Dari balik helm taktisnya, Dimas, ahli teknologi tim, mengeluarkan perangkat peretas mini. “Izinkan saya coba, Komandan. Tapi kalau sistem ini terhubung dengan pertahanan otomatis, kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Arga hanya mengangguk. “Lakukan.”
Detik demi detik berlalu. Bunyi bip dari alat peretas mengisi keheningan. Napas mereka tertahan. Tiba-tiba, terdengar bunyi klik halus, dan pintu baja perlahan-lahan terbuka. Udara dingin menyembur keluar, disertai aroma besi tua dan sesuatu yang lebih tajam—bau kematian.
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Ruangan di balik pintu itu jauh lebih modern dari bangunan di luarnya. Dinding berlapis baja, lampu neon putih menyala terang, dan deretan komputer serta layar raksasa terpampang di sepanjang dinding. Semua dalam keadaan aktif.
“Ini bukan fasilitas terbengkalai…” ujar Nara pelan. “Ini pusat kendali. Tapi kendali untuk apa?”
Arga bergerak cepat ke konsol utama, membaca data yang terpampang. Ada peta digital, grafik pelacakan, dan—yang paling mengejutkan—rekaman video mereka sendiri, direkam sejak mereka menyusup ke area ini.
“Kita sedang diawasi sejak awal…” desis Arga.
Mata Dimas terpaku pada salah satu layar yang menampilkan diagram arsitektur bangunan. “Komandan, lihat ini. Ternyata tempat ini punya tiga lantai bawah tanah. Kita baru di lantai pertama.”
Belum sempat mereka mencerna informasi itu, suara mekanis menggema dari speaker di langit-langit.
“Selamat datang, Taring Hitam. Kami sudah menunggu kalian.”
Suara itu datar, tanpa emosi, namun mengandung ancaman terselubung. Layar utama berubah tampilan, memperlihatkan wajah bertopeng logam—seseorang yang tak mereka kenali, tapi jelas mengetahui siapa mereka.
“Inilah awal dari ujian kalian. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada jalan keluar… kecuali kalian selesaikan permainan ini.”
Seketika itu juga, pintu baja menutup kembali dengan suara dentuman keras. Sistem penguncian aktif. Mereka kini benar-benar terperangkap.
Arga menatap anggota tim satu per satu. “Kita selesaikan ini dengan cara kita. Jangan beri mereka apa yang mereka inginkan.”
Di balik pintu baja itu, bukan hanya teknologi dan data yang mereka hadapi, melainkan permulaan dari perang psikologis—dan pertarungan hidup mati—yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Bab 3 – Ledakan Pertama
Suasana dalam ruang kendali mendadak berubah menjadi tegang. Sorot mata seluruh anggota Tim Taring Hitam saling bertukar pandang, penuh tanya dan kekhawatiran. Kata-kata dari suara misterius tadi masih menggema di benak mereka: “Tidak ada jalan keluar… kecuali kalian selesaikan permainan ini.”
Dimas, yang masih berada di depan terminal komputer, dengan cepat mencoba memutus aliran sistem dari konsol utama. Namun sebelum ia sempat menekan tombol apapun, layar di hadapannya berkedip, dan muncul hitungan mundur: 00:00:10.
“Komandan! Sistem ini memicu sesuatu… ada penghitung waktu!” teriaknya panik.
Arga langsung bergerak cepat. “Semua, keluar dari ruangan ini! SEKARANG!”
Tanpa ragu, mereka berlari menyusuri lorong sempit tempat mereka masuk tadi. Namun baru beberapa langkah, BOOOMMM!
Sebuah ledakan keras mengguncang seluruh fasilitas. Suara dentuman bergema dalam lorong baja, diiringi semburan api dan pecahan puing yang melesat ke segala arah. Asap tebal menyelimuti jalur pelarian. Tubuh-tubuh terpental, dan dinding-dinding bergema nyaring seperti meraung.
Nara terlempar menghantam dinding, helmnya terlepas. Darah merembes dari pelipisnya. Sementara Dimas tak sadarkan diri, tertimpa balok logam yang runtuh dari langit-langit.
“Dimas!” Arga menyeret tubuh rekannya dengan susah payah ke balik struktur baja yang tampaknya lebih kokoh. Di sisinya, Rafi dan Hana membantu Nara bangkit.
“Ada yang gugur?” tanya Arga dengan suara tercekat.
“Dian… dia tak sempat keluar…” bisik Hana pelan. Wajahnya pucat. Napasnya tersengal.
Arga terdiam. Giginya terkatup rapat. Mereka baru di awal misi, dan sudah kehilangan satu orang. Ini bukan sekadar misi berisiko tinggi. Ini penyembelihan terencana.
“Ini bukan sekadar jebakan. Ini panggung pembantaian,” gumam Rafi, menatap nyala api di ujung lorong.
Tiba-tiba, dari balik asap, terdengar derap langkah. Berat, teratur, seperti seseorang memakai sepatu baja. Mereka mengangkat senjata, bersiaga. Namun tak ada siapa pun yang muncul. Hanya suara… dan bayangan.
“Siapkan granat flash!” perintah Arga.
Hana mengangguk cepat, lalu melempar granat ke arah suara. Ledakan cahaya menyambar, mengungkap lorong kosong. Tak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan yang tertinggal di dinding oleh cahaya ledakan.
“Dia memantau kita… Menguji kita,” ujar Arga tajam.
Rafi menendang puing-puing yang menghalangi jalan. “Kalau dia pikir kita akan mati begitu saja, dia salah.”
Meski terluka, kehilangan satu anggota, dan terperangkap dalam kompleks misterius, satu hal pasti: mereka belum menyerah. Ledakan pertama hanya menjadi awal—pertanda bahwa permainan telah dimulai, dan taruhan nyawa akan semakin tinggi.
Dan di balik layar-layar monitor, seseorang sedang menonton mereka. Senyumnya tipis. Matanya tajam. Ia menunggu—menunggu hingga mereka benar-benar kehabisan pilihan.
Bab 4 – Jejak Sang Pengkhianat
Ruangan itu kini sunyi, hanya suara napas dan dengusan kepenatan yang terdengar. Dimas mulai siuman, meski matanya masih sayu dan tubuhnya gemetar. Sementara itu, Nara sudah diperban seadanya oleh Hana, duduk bersandar di dinding, mencoba menenangkan denyut sakit di pelipisnya.
Arga berdiri di depan terminal cadangan yang masih menyala di salah satu sudut ruangan yang selamat dari ledakan. Jari-jarinya menyusuri data-data yang tersisa di sistem, mencari petunjuk—apa pun—yang bisa menjelaskan siapa yang menjebak mereka. Namun apa yang ia temukan justru mengejutkan.
“Ini… bukan hanya jebakan,” gumamnya pelan, tatapannya membeku di layar.
Rafi menghampiri. “Apa maksudmu, Komandan?”
Arga menghela napas berat, lalu menunjuk ke rekaman kamera pengawas. “Seseorang dari luar tim kita memberikan akses masuk. Bukan peretas… ini akses internal. Ada log masuk dengan kode identifikasi milik—” ia terhenti sejenak, suaranya tercekat.
“Militer pusat?” tanya Nara curiga.
Arga mengangguk perlahan. “Tapi bukan dari markas utama. Ini berasal dari seseorang yang memiliki otorisasi tingkat tinggi… dan dia tahu keberadaan kita. Lebih dari itu, dia tahu setiap gerakan kita.”
Dimas yang masih lemah pun ikut menyahut. “Maksud Komandan… ada orang dalam? Seseorang dari atas yang sengaja menjerumuskan kita ke sini?”
“Bukan hanya orang dalam,” potong Arga tajam. “Tapi salah satu dari kita yang membuka jalannya.”
Ruangan mendadak dingin. Semua mata saling bertukar pandang—ada ketegangan, kecurigaan, dan rasa tidak percaya. Tim Taring Hitam telah bertugas bersama selama bertahun-tahun. Mereka makan dari piring yang sama, tidur di barak yang sama, dan melangkah bersama di garis kematian. Namun sekarang… benih pengkhianatan mulai tumbuh di antara mereka.
“Tak mungkin…” bisik Hana. “Kita satu tim. Kita keluarga.”
“Tapi data tak bisa bohong,” jawab Rafi dingin. “Kita harus tahu siapa yang bermain di belakang layar sebelum kita semua mati satu per satu.”
Arga menyalakan ulang sistem pemantauan yang rusak sebagian. Ia mengakses rekaman lama, mempercepat playback. Dan di sana, dalam rekaman hitam putih yang berkedip-kedip, tampak sosok bersenjata membuka panel rahasia dua jam sebelum tim memasuki markas.
Wajahnya tertutup. Tapi gerakannya… familiar.
“Gaya berjalan itu…,” gumam Nara perlahan. Ia menatap layar lekat-lekat, mencoba mengenali postur tubuh, cara membawa senjata.
Dan tiba-tiba, ekspresinya berubah. “Tidak… itu… itu seperti—”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, listrik kembali padam. Layar mati. Ruangan kembali gelap gulita.
Dari lorong luar, terdengar suara langkah kaki. Lembut. Hati-hati. Dan disusul suara pelan… seperti seseorang menarik pisau dari sarungnya.
Arga mengangkat tangan, memberi isyarat diam. Jari telunjuknya menempel di bibir, sementara tangan lainnya menggenggam erat senjata.
Di kegelapan, tak hanya musuh yang bergerak.
Sang pengkhianat kini tahu—jejaknya mulai terendus.
Dan untuk tetap hidup, dia hanya punya satu pilihan:
Menghabisi mereka sebelum dirinya terbongkar.
Bab 5 – Labirin Kematian
Langkah mereka bergema di lorong baja yang dingin dan sempit. Lampu-lampu darurat berkedip pelan, menciptakan bayang-bayang aneh di dinding yang seperti bergerak. Udara di dalam terasa semakin pengap, seperti mengisyaratkan bahwa semakin dalam mereka masuk, semakin dekat mereka pada kematian.
Setelah padamnya sistem, Arga memutuskan memindahkan tim keluar dari ruang kontrol. Mereka harus mencari jalur lain—jalan keluar, atau minimal tempat berlindung yang lebih aman. Namun jalan yang mereka tempuh bukanlah lorong biasa. Dimas, yang memulihkan sebagian data peta bangunan dari terminal cadangan, menyebutnya: Zona-9.
“Tempat ini… tak tercantum dalam denah awal fasilitas,” ujar Dimas dengan nada ragu. “Tapi aku menemukan potongan skema arsitektur lama. Area ini dulunya adalah bagian dari sistem uji psikologis… semacam tempat eksperimen.”
“Eksperimen?” tanya Hana dengan alis terangkat.
“Eksperimen untuk menguji ketahanan mental tentara,” jawab Dimas pelan. “Tapi kemudian proyek itu dibatalkan karena banyak… yang tidak kembali.”
Lorong akhirnya membuka ke sebuah ruangan besar—namun bukan ruangan terbuka seperti yang mereka harapkan. Sebaliknya, di hadapan mereka berdiri dinding-dinding tinggi baja berliku, membentuk jalur sempit yang bercabang, membingungkan dan menyesatkan. Sebuah labirin.
“Selamat datang di Labirin Kematian,” ucap suara elektronik dari pengeras suara tersembunyi. Kali ini bukan suara yang sama seperti sebelumnya. Suara ini lebih dalam, penuh nada ejekan dan permainan.
“Satu jalan keluar. Banyak jalan mati. Tapi… bukan hanya dinding yang akan menguji kalian.”
Tiba-tiba, sebuah dentuman keras terdengar dari balik salah satu dinding. Disusul suara gesekan logam. Seperti roda berputar—atau pintu jebakan yang aktif.
“Pisah jadi dua tim,” perintah Arga cepat. “Aku, Rafi, dan Nara ke kanan. Dimas dan Hana ke kiri. Gunakan frekuensi pendek, tetap berkomunikasi. Dan ingat—jangan percaya pada mata kalian di sini.”
Mereka bergerak. Setiap langkah terasa penuh tekanan. Dinding-dinding labirin tampak berubah posisi, seolah hidup. Cahaya yang terbatas membuat segala sesuatu tampak lebih besar, lebih menakutkan. Di tikungan ketiga, tim Arga menemukan mayat—berseragam seperti mereka, tapi tubuhnya sudah membusuk. Di dinding, tertulis pesan dengan darah: “Bukan jalan ini.”
Sementara itu, Dimas dan Hana menemukan pintu logam kecil dengan pemindai retina. Di seberangnya, mereka mendengar isakan. Seperti suara seorang anak kecil.
“Ini pasti perangkap,” bisik Hana.
“Tapi kalau itu nyata?” Dimas ragu.
Mereka tak sempat memutuskan. Dinding di belakang mereka menutup tiba-tiba. Suara alarm berbunyi, dan gas mulai menyembur perlahan dari sela-sela lantai.
Di sisi lain labirin, Arga dan timnya juga tak luput dari bahaya. Lantai di bawah mereka mulai retak, dan paku logam bermunculan dari dinding. Mereka berlari, menghindar, menyusuri lorong sempit sambil menembak sensor otomatis yang muncul dari atap.
“Ini bukan tempat ujian… ini kuburan,” seru Nara sambil berlari di belakang Arga.
Namun yang paling mengejutkan datang dari Dimas. Saat ia berusaha membobol sistem untuk membuka pintu logam kecil, layar di tangannya menampilkan pesan instan yang berasal dari dalam sistem itu sendiri.
“Berhenti mencari jalan keluar. Satu dari kalian bukan korban—dia adalah kunci.”
Dimas terdiam. Ia memandang Hana, yang saat itu tengah memegangi senjata dan menatapnya dengan tatapan bingung.
Kecurigaan perlahan tumbuh kembali.
Dan labirin itu… bukan hanya menguji keberanian dan keterampilan mereka.
Labirin itu menggiring mereka pada satu hal:
Mengungkap siapa pengkhianat yang sebenarnya.
Bab 6 – Pertarungan dalam Kegelapan
Kegelapan menyelimuti seluruh area. Lampu darurat yang sebelumnya masih berkedip kini mati total. Suasana menjadi pekat, nyaris mustahil untuk melihat sejengkal ke depan. Nafas para anggota tim terdengar berat, bercampur ketegangan dan rasa tidak percaya atas situasi yang terus memburuk.
Di dalam labirin yang kini senyap, hanya terdengar suara gesekan sepatu dengan lantai dan detak jantung yang berpacu dengan waktu. Sistem komunikasi terganggu—frekuensi pendek mereka tak lagi terhubung. Masing-masing tim kini benar-benar terpisah dalam gelap yang mematikan.
Arga menempelkan tubuhnya ke dinding, tangannya menggenggam erat senjata. Di sampingnya, Nara berjongkok, memasang pendengaran. Rafi berada di depan, mencoba menjadi mata mereka di kegelapan, meskipun jarak pandang nol.
“Diam,” bisik Nara tiba-tiba.
Seketika, semuanya menahan napas. Suara langkah—berat, namun teratur—terdengar dari arah berlawanan. Ada yang mendekat. Tapi bukan Dimas atau Hana. Langkah itu tidak ragu-ragu. Tidak seperti rekan. Langkah itu… pemburu.
Arga memberi isyarat. Dalam hitungan detik, mereka menyebar ke tiga arah berbeda. Suara langkah semakin dekat, dan kemudian—BRAK!—sebuah bayangan besar menerjang dari sudut gelap, mengayunkan tongkat logam besar ke arah Rafi.
Benturan keras terjadi. Rafi terpental, jatuh menghantam dinding.
“Musuh!” teriak Nara, menembakkan senjatanya ke arah suara.
Namun peluru hanya menghantam dinding—sosok itu menghilang dalam gelap, seolah menyatu dengan kegelapan itu sendiri.
“Dia tahu medan ini,” desis Arga. “Dia tidak butuh cahaya… kita yang diburu.”
Pertarungan pun berubah. Tidak ada lagi taktik formasi. Kini semuanya adalah soal insting dan ketahanan. Nara bertarung dalam gelap melawan sosok bertopeng, yang gesit dan brutal. Arga mendengar setiap jeritan dan hantaman logam, berusaha menebak arah serangan selanjutnya.
Di sisi lain, Dimas dan Hana berjuang membuka jalur keluar dari ruang gas. Mereka menggunakan pisau dan pelat baja untuk memaksa pintu darurat terbuka. Namun ketika mereka berhasil keluar, yang mereka temukan adalah lorong gelap yang sama… dan sosok bayangan yang telah menunggu.
Sosok itu tidak berbicara. Ia hanya menyerang. Gerakannya cepat, mematikan. Dimas menangkis serangan pertama, tapi tak sempat melihat serangan kedua. Bahunya tergores—darah menetes.
Hana menyalakan senter kecil di helmnya, mencoba menerangi musuh. Tapi cahaya justru memperlihatkan sesuatu yang lebih mengerikan—lambang militer yang tersobek di dada musuh. Lambang yang sama dengan yang mereka kenakan.
“Dia… dulu salah satu dari kita,” bisik Hana, ngeri.
“Bukan hanya salah satu,” jawab Dimas dengan suara gemetar. “Dia… bisa jadi yang memulai semuanya.”
Pertarungan pun berubah menjadi pengejaran. Arga dan Nara mencoba menjebak sosok itu dengan melemparkan flare ke salah satu lorong, menciptakan ilusi cahaya. Sementara Dimas dan Hana menyusuri jalur udara di atas, mencari titik pandang yang lebih tinggi untuk menyerang dari atas.
Akhirnya, mereka berhasil mengurung musuh di ruang sempit, dengan senter dan cahaya dari flare yang cukup untuk mengungkapkan wajahnya.
Semua terdiam.
Rafi, yang sebelumnya terjatuh, kini berdiri di hadapan mereka… menodongkan senjatanya ke Arga.
“Rafi?” tanya Arga nyaris tak percaya.
Rafi hanya tersenyum tipis. “Kalian pikir ini tentang kesetiaan? Tidak, Komandan. Ini tentang kebenaran yang disembunyikan terlalu lama.”
Tiba-tiba, seluruh sistem menyala kembali. Lampu menyilaukan ruangan, memperlihatkan betapa hancurnya tempat itu—berlumur darah, pecahan logam, dan tubuh yang terluka.
Dan di tengah semua itu, kenyataan paling pahit mulai terkuak:
Musuh mereka… ada di antara mereka.
Bab 7 – Rekaman Rahasia
Setelah kejadian mengejutkan dengan Rafi yang berkhianat dan menghilang di balik lorong gelap, tim kembali berkumpul di ruang kontrol sekunder. Luka fisik mungkin bisa diobati, tapi luka batin dan kepercayaan yang tercabik jauh lebih menyakitkan. Arga menatap layar monitor yang mulai menyala kembali. Sistem utama perlahan-lahan pulih.
Dimas sibuk mengakses ulang file-file sistem yang sempat terkunci. Ia berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang bisa menjelaskan semua kekacauan ini. Sementara itu, Hana duduk di sudut ruangan, membersihkan darah di lengan Arga sambil sesekali menatap cemas ke arah pintu.
“Komandan,” panggil Dimas pelan, wajahnya serius. “Saya menemukan folder tersembunyi. Terkunci dengan kode lama… Tapi saya berhasil membukanya.”
Arga berdiri mendekat. “Apa isinya?”
Dimas menekan beberapa tombol. Layar menampilkan rekaman video dengan cap waktu lima bulan lalu—sebelum mereka ditugaskan ke fasilitas ini. Gambar bergerak menunjukkan ruang rapat rahasia. Beberapa petinggi militer tampak duduk membentuk setengah lingkaran. Di tengah mereka—seorang pria yang sangat dikenal oleh Arga.
Letkol Bramanta.
Komandan operasi mereka. Pria yang mereka yakini gugur dalam misi sebelumnya. Tapi dalam rekaman itu, Bramanta tampak hidup dan bicara lantang.
“Fasilitas ini bukan hanya pusat penelitian. Ini tempat penyimpanan data eksperimen ‘Sigma Echo’—proyek yang seharusnya dikubur bersama dengan para korban uji coba.”
Arga menahan napas.
“Namun, kita tidak bisa menghapus jejak semudah itu. Beberapa dari mereka tahu terlalu banyak. Termasuk beberapa anggota tim lapangan. Jika mereka menyusup terlalu dalam… aktifkan protokol eliminasi.”
Video berakhir dengan suara klik senyap, diikuti oleh tampilan hitam putih dari daftar nama. Nama-nama yang sangat dikenal.
Arga. Dimas. Hana. Nara. Rafi.
“Jadi… sejak awal kita bukan dikirim untuk menyelamatkan fasilitas,” gumam Hana dengan suara tercekat. “Kita adalah target.”
Arga mengepalkan tangan. “Dan Rafi… dia tahu. Tapi dia memilih jalan berbeda.”
Tiba-tiba layar bergetar. Sebuah jendela pesan otomatis muncul:
“Rekaman diakses. Aktivasi Protokol Bayangan. Waktu tersisa: 02:00:00”
Dimas memukul meja. “Sial! Sistem mengenali akses rekaman rahasia dan memicu protokol penghancuran otomatis!”
Arga dengan cepat mengambil alih. “Hapus pemicunya. Atau alihkan ke sistem palsu. Kita butuh waktu.”
Namun waktu bukan satu-satunya musuh mereka kini.
Beberapa detik kemudian, speaker ruangan menyala sendiri. Suara yang keluar bukan lagi suara pengumuman biasa.
Suara Rafi.
“Kalian sudah melihatnya, bukan? Sekarang kalian tahu kenapa aku tak bisa diam. Tapi kalian juga harus tahu: satu-satunya jalan keluar… adalah dengan mengorbankan salah satu dari kita.”
“Pilih. Atau semuanya akan musnah bersama fasilitas ini.”
Kejutan demi kejutan membuat ruangan itu makin mencekam. Kepercayaan yang tersisa mulai retak. Semua saling pandang—mencoba membaca niat satu sama lain. Di tengah ancaman waktu yang terus berdetak dan tekanan psikologis yang menghantam, satu hal menjadi jelas:
Rekaman itu bukan akhir dari misteri. Ia adalah kunci pembuka ke dalam rahasia yang lebih kelam.
Dan kini, tim bukan hanya harus menyelamatkan diri…
Mereka harus memilih: siapa yang pantas hidup, dan siapa yang harus tertinggal.
Bab 8 – Satu per Satu Tumbang
Waktu terus berjalan. Layar digital di ruang kendali menunjukkan hitungan mundur: 1 jam 27 menit. Di luar, fasilitas penelitian bawah tanah itu terasa seperti sebuah kuburan raksasa yang perlahan tertutup rapat. Udara mulai terasa berat, dan tekanan psikologis menyesakkan dada siapa pun yang berada di dalamnya.
Arga berjalan di depan, senjatanya terangkat, mata waspada mengamati setiap bayangan. Dimas mengikuti di belakang dengan raut wajah tegang. Hana dan Nara bergerak bersama, saling menjaga punggung satu sama lain.
“Kita harus mematikan sistem penghancuran otomatis itu,” kata Arga. “Tapi ruang kontrol utama hanya bisa dibuka dengan kode ganda. Salah satunya… milik Rafi.”
“Kalau begitu kita harus menemukannya sebelum kita yang ditemukan lebih dulu,” sahut Nara, menggenggam senjata lebih erat.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, terdengar teriakan dari lorong samping. Arga berlari ke arah suara itu dan menemukan tubuh salah satu teknisi yang sebelumnya sempat mereka selamatkan—tergeletak dengan leher terputus. Di dinding, darah tertulis satu kalimat:
“Kalian tidak bisa menyelamatkan semua.”
Dimas memalingkan wajah. “Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini… peringatan.”
Tak lama, lampu lorong mulai berkedip. Tanda bahwa sistem telah dialihkan ke mode penjebakan otomatis. Pintu-pintu baja mulai menutup satu per satu. Suara logam menggaung ke seluruh fasilitas seperti dentang lonceng kematian.
Mereka berlari. Namun dalam kekacauan, Nara tertinggal beberapa langkah. Pintu baja menutup tiba-tiba, memisahkannya dari yang lain.
“NARA!” teriak Hana, mencoba membuka pintu dengan paksa.
Dari sisi lain, suara Nara terdengar. “Jangan berhenti! Temukan dia! Hentikan semuanya!”
Kemudian… sunyi.
Arga menunduk. Rahangnya mengeras. Ia tahu, kemungkinan besar Nara kini harus bertahan sendiri di tengah labirin yang semakin mematikan. Dan waktu mereka terus menipis.
Di tengah pencarian, Dimas berhenti di depan salah satu ruangan laboratorium yang tampak rusak. Ia melihat sesuatu di dalam—rekaman kamera pengawas yang masih menyala. Ia masuk sendirian.
Dan itulah kesalahan fatalnya.
Saat Arga dan Hana menyadari Dimas menghilang, mereka menemukan ruangan itu sudah kosong. Hanya ada darah di lantai dan layar yang masih menampilkan gambar: Rafi, menatap langsung ke arah kamera, seolah tahu mereka akan melihatnya.
“Kalian tidak bisa membawa semua keluar hidup-hidup,” katanya melalui rekaman. “Sistem dirancang untuk memilih siapa yang pantas bertahan. Aku hanya mempercepat prosesnya.”
Tubuh Dimas tak pernah ditemukan. Hanya helmnya yang tertinggal, retak, dan berlumuran darah.
Kini hanya tinggal Arga dan Hana. Dua orang yang masih berdiri, terluka fisik dan batin. Mereka menyadari satu hal:
Rafi tidak lagi berjuang untuk sebuah ideologi. Ia berjuang atas nama dendam. Dan ia akan memastikan tak satu pun dari mereka keluar hidup-hidup.
Hana menatap Arga. “Kalau hanya salah satu dari kita yang bisa keluar… pastikan kau yang melakukannya. Dunia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.”
Arga menatap Hana dalam-dalam. Ia ingin menyangkal, ingin percaya bahwa mereka bisa keluar bersama. Tapi suara hitungan mundur di latar belakang terus berdetak—00:51:22.
Dan detik itu juga, langkah kaki bergema di lorong. Berat. Pelan. Tapi penuh niat untuk membunuh.
Rafi… datang.
Bab 9 – Pengejar dalam Bayangan
Langkah kaki itu terus terdengar. Pelan tapi pasti, seperti irama kematian yang menanti di tikungan berikutnya. Di tengah lorong yang remang-remang, Arga dan Hana menahan napas. Nafas mereka berat, tercampur adrenalin dan ketakutan yang tidak bisa lagi disembunyikan.
“Dia mendekat…” bisik Hana lirih, peluh membasahi pelipisnya.
Arga mengangguk. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meski jantungnya berdegup begitu keras. Senjatanya sudah siap, jari telunjuk berada tepat di pelatuk. Ia tahu, Rafi bukan lagi sekadar lawan. Ia adalah pemburu dalam bayangan—dan mereka kini adalah buruan.
Lorong demi lorong mereka susuri. Pintu-pintu otomatis yang terkunci menjadi penghalang sekaligus perlindungan sementara. Sistem pencahayaan kini rusak berat, membuat fasilitas berubah menjadi tempat gelap penuh jebakan. Setiap sudut menyimpan potensi bahaya, setiap bayangan bisa saja menjadi tempat persembunyian Rafi.
Di salah satu ruangan penyimpanan data, Arga memutuskan untuk berhenti sejenak. Mereka butuh waktu untuk berpikir, menyusun ulang strategi, dan mengatur napas. Namun saat mereka baru saja masuk, terdengar suara dentingan besi bergesekan. Bukan suara mesin. Tapi seperti senjata… atau sepatu baja menyeret lantai.
Arga merunduk, memberi isyarat agar Hana berlindung di balik tumpukan kontainer. Suara itu semakin jelas, lalu berhenti… tepat di luar pintu.
Lampu berkedip cepat. Suara klik terdengar. Pintu otomatis terbuka.
Namun… tidak ada siapa pun.
Arga keluar pelan, menelusuri lorong. Kosong. Hening. Terlalu hening.
Lalu—BRAGH!
Dari balik dinding rusak, seseorang melompat. Rafi. Tubuhnya kotor, pakaiannya sobek, tapi sorot matanya dingin dan haus darah. Ia menyerang cepat, melemparkan pisau ke arah Arga. Arga menangkis dengan senjatanya, tapi hantaman kedua dari kaki Rafi menghantam keras ke dadanya, membuatnya terlempar ke belakang.
“Kenapa kau terus mengejar kami?!” teriak Hana yang muncul dari sisi lain, melepaskan tembakan.
Rafi menghindar gesit dan tertawa pelan. “Karena aku tahu sistem ini. Aku tahu semua jalan tikusnya. Kalian… hanya sisa-sisa dari operasi yang gagal.”
“Lalu kenapa tidak kabur dan biarkan semuanya hancur?” bentak Arga sambil bangkit.
Rafi menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. “Karena aku tidak mau keluar sendirian. Aku ingin kalian merasakan bagaimana rasanya dikhianati oleh sistem yang kalian lindungi!”
Pertarungan kembali meletus. Di tengah kegelapan dan percikan peluru, ketiganya terlibat duel brutal. Tapi Rafi tak sekadar berkelahi. Ia memancing, mengarahkan mereka masuk lebih dalam ke bagian terlarang fasilitas—ke zona eksperimental yang selama ini tersembunyi.
Dan di sanalah, mereka menemukan fakta mengejutkan.
Tersembunyi di balik lapisan baja dan keamanan biometrik, ada ruangan kedap suara berisi tangki-tangki eksperimen biologis—hasil dari Proyek Sigma Echo yang selama ini ditutup-tutupi.
“Ini…” bisik Hana ngeri. “Mereka bereksperimen pada manusia…”
Rafi berdiri di belakang mereka, napasnya terengah. “Dan kalian… bagian dari itu. Kalian semua dipilih karena tubuh kalian tahan terhadap paparan serum awal. Kalian bukan hanya tentara. Kalian… adalah kelinci percobaan.”
Arga dan Hana membeku. Dunia mereka runtuh dalam sekejap. Rafi tidak hanya membawa kebenaran. Ia membawa kehancuran total terhadap segala yang mereka percayai.
“Sekarang kalian mengerti,” kata Rafi sambil mengangkat senjatanya. “Aku hanya ingin memastikan… tak ada yang keluar hidup-hidup membawa rahasia ini.”
Tiba-tiba—ledakan mengguncang ruangan. Salah satu tangki pecah akibat pertempuran sebelumnya. Cairan kimia menyebar cepat, menyulut alarm dan membuat sistem ventilasi darurat aktif.
“Gas beracun!” teriak Hana.
Mereka berlari. Tapi tak semuanya bisa selamat.
Dan saat gas memenuhi ruangan, suara terakhir yang terdengar hanyalah teriakan, gemuruh logam roboh, dan hitungan mundur yang terus berjalan:
00:27:44.
Bab 10 – Kejaran Sampai Nafas Terakhir
Darah mengalir deras dari luka di lengan Arga. Nafasnya tersengal-sengal, seolah berat setiap tarikan udara membawa beban dunia di atas dadanya. Namun, ia tak punya waktu untuk lemah. Setiap detik berlalu, bunyi langkah kaki yang menghantuinya semakin mendekat. Rafi—bayangan yang tak bisa ia hilangkan dari pikirannya—masih mengintai di belakang.
“Arga! Cepat!” Hana menyeru, suaranya gemetar namun penuh tekad.
Mereka berlari menembus lorong sempit yang berkelok-kelok, dikelilingi dinding beton dingin yang menutup segala harapan akan udara segar. Suara tembakan gelegar di belakang mereka, membelah kesunyian yang memekakkan.
Arga menoleh sesaat, menatap Rafi yang bergerak gesit, seperti bayangan yang tak pernah lelah. Tubuh Rafi penuh luka, tapi semangatnya seperti kobaran api yang sulit padam. Ia bukan lagi musuh biasa—melainkan badai yang mengancam menelan mereka semua.
“Kenapa kau terus mengejarku sampai seperti ini?” tanya Arga, napasnya hampir putus.
Rafi menjawab dengan dingin, tanpa jeda. “Karena aku ingin kau merasakan apa artinya dikhianati… dan ditinggalkan sendiri.”
Mereka terus berlari, melewati ruang-ruang yang penuh reruntuhan dan alat-alat laboratorium yang berantakan. Waktu terus berjalan, dan hitungan mundur di layar besar di ujung lorong menunjukkan angka yang semakin menipis.
00:12:05.
Tiba-tiba, sebuah jebakan mekanis aktif. Lantai di depan mereka terbuka, menampilkan jurang gelap yang menunggu untuk menelan siapa pun yang salah melangkah. Arga melompat dengan gesit, diikuti Hana. Tapi Rafi tak terlihat—dia menghilang entah ke mana.
“Dia pasti punya jalan lain!” bisik Hana dengan panik.
Setelah melewati jebakan itu, mereka berdua memasuki sebuah ruang besar dengan panel kontrol utama. Arga langsung bergerak ke konsol, mencoba menonaktifkan sistem penghancur otomatis. Namun, layar yang muncul hanyalah sebuah pesan dingin:
“Protokol penghancuran tidak dapat dihentikan. Konfirmasi identitas: gagal.”
Frustrasi, Arga menekan tombol-tombol dengan cepat. Hana menatapnya dengan cemas, sementara suara langkah kaki semakin mendekat dari lorong belakang.
“Dia datang!” Hana berbisik tajam.
Seketika, Rafi muncul di pintu masuk, menenteng senjata dan ekspresi penuh kebencian. “Ini akhir, Arga.”
Pertarungan sengit pun terjadi. Peluru bersarang di dinding, kaca pecah berhamburan, dan suara benturan tubuh menghantam lantai bergema di seluruh ruangan. Meski terluka, Arga dan Hana tidak menyerah. Mereka berjuang dengan sisa tenaga, mempertaruhkan nyawa demi sebuah kesempatan untuk keluar dari neraka ini.
Di tengah kekacauan, Arga berhasil mendekati Rafi. Mereka berdua bertarung tangan kosong, saling melontarkan pukulan dan tendangan yang penuh amarah dan rasa sakit.
“Kenapa kau melakukan semua ini?” Arga berteriak, berusaha mengalahkan musuhnya.
Rafi tertawa pahit. “Karena aku tak bisa hidup dengan pengkhianatan yang kalian buat!”
Namun, sebelum salah satu dari mereka bisa memberikan pukulan terakhir, terdengar suara keras dari speaker—suara hitungan mundur yang semakin mendesak.
“10… 9… 8…”
Tanpa pilihan lain, Arga dan Hana saling berpandangan. Mereka tahu ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang membongkar kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Dengan napas tersisa, mereka bersiap menghadapi apa pun yang datang—kejaran dan pertarungan sampai nafas terakhir.
Bab 11 – Terowongan Rahasia
Suara hitungan mundur itu masih bergema di kepala Arga dan Hana, seolah menekan waktu yang semakin menipis. Namun di saat yang hampir putus asa, tiba-tiba lantai di bawah mereka bergeser perlahan, membuka jalan menuju sebuah terowongan gelap yang tersembunyi.
“Kita harus masuk!” seru Arga, menarik Hana ke dalam lorong sempit itu.
Mereka melangkah cepat, menghirup udara lembap dan dingin yang berbeda dari atmosfer fasilitas di atas. Terowongan itu berkelok-kelok, dindingnya penuh lumut dan rembesan air, seakan menyimpan rahasia yang telah lama terkubur.
Hana menyalakan senter dari ponselnya, cahayanya menari-nari di dinding terowongan yang sempit. “Ini bukan bagian dari peta fasilitas. Dari mana terowongan ini berasal?”
Arga menggeleng, wajahnya serius. “Sepertinya sengaja dibuat untuk jalur pelarian rahasia… atau pintu masuk ke sesuatu yang lebih dalam.”
Suara langkah kaki yang mereka kira sudah jauh ternyata mengiringi dari belakang. Rafi. Dia muncul dengan ekspresi dingin, tanpa senjata, tapi aura bahaya yang mengelilinginya tak berkurang sedikit pun.
“Kalian pikir bisa lari selamanya?” ucap Rafi, melangkah masuk dengan tenang.
Arga dan Hana berhenti sejenak, berdiri membelakangi satu sama lain, bersiap menghadapi serangan mendadak.
Namun Rafi tidak langsung menyerang. Ia justru menatap dinding terowongan di sebelah kanan, lalu mengeluarkan alat kecil dari saku jaketnya. Dengan beberapa sentuhan cepat, sebuah panel tersembunyi terbuka, memperlihatkan pintu besi yang tertutup rapat.
“Ini yang kalian cari,” kata Rafi pelan.
Arga tercengang. “Apa maksudmu?”
Rafi menatap dalam ke arah mereka, matanya sedikit melembut. “Semua yang terjadi… semua rahasia itu berawal dari sini. Tempat di mana kebenaran sebenarnya disembunyikan.”
Mereka bertiga lalu memasuki ruangan di balik pintu besi itu. Di dalamnya, terlihat komputer-komputer tua, dokumen-dokumen berdebu, dan layar monitor yang menampilkan data yang tidak pernah mereka bayangkan.
“Proyek Sigma Echo,” gumam Hana sambil menelusuri dokumen itu. “Eksperimen ini lebih besar dari yang kita kira. Mereka menciptakan bukan hanya senjata, tapi juga manusia yang… diubah.”
Arga menyadari bahwa semua yang mereka jalani selama ini hanyalah permukaan. Terowongan rahasia ini bukan hanya jalur pelarian, tapi juga pintu menuju kebenaran yang bisa mengguncang fondasi organisasi mereka.
Rafi menatap mereka, “Kita bisa hancurkan semua ini… atau kita bisa biarkan dunia tahu.”
Tiba-tiba suara alarm mendesing keras. Mereka harus memilih dengan cepat: melarikan diri sebelum seluruh fasilitas meledak atau mengambil risiko lebih dalam menggali rahasia yang tersembunyi.
Arga menatap Hana dan Rafi, “Apa pun yang kita pilih, kita lakukan bersama-sama.”
Langkah mereka bergetar penuh tekad, memasuki kegelapan yang lebih dalam, di mana rahasia dan bahaya menunggu tanpa ampun.
Bab 12 – Pengkhianat Terungkap
Di balik dinginnya lorong bawah tanah itu, suasana berubah menjadi mencekam. Arga, Hana, dan Rafi berdiri berhadapan dengan tumpukan dokumen yang baru saja mereka temukan, namun ketegangan di antara mereka jauh lebih berat daripada udara lembap yang menyelimuti ruangan itu.
“Semua ini…,” ucap Hana lirih, sambil menyisir halaman demi halaman laporan rahasia, “menunjukkan adanya pengkhianat yang selama ini menyusup di dalam organisasi kita.”
Arga mengerutkan dahi, menatap Rafi dengan penuh pertanyaan. “Kau tahu siapa dia?”
Rafi mengangguk pelan, wajahnya berubah dingin seperti es. “Aku tahu. Pengkhianat itu bukan siapa-siapa selain orang terdekat kita sendiri. Orang yang selama ini kita percaya, yang selalu berada di balik setiap keputusan.”
Detik-detik berlalu dalam keheningan yang mencekam. Hana tiba-tiba mengangkat sebuah file berisi rekaman audio. “Dengar ini,” katanya sambil menekan tombol play.
Suara itu mengalun dari speaker kecil, suara yang tak asing bagi mereka. “Perintah sudah jelas. Hancurkan misi ini jika tidak bisa dikendalikan. Jangan biarkan informasi bocor.”
Arga merasakan darahnya berdesir. Suara itu milik komandannya sendiri—sosok yang selama ini menjadi panutan dan pelindung mereka.
“Jadi selama ini kita diperintah untuk dibunuh jika gagal?” tanya Arga dengan nada getir.
Rafi menatap tajam, “Itu baru sebagian dari permainan kotor yang mereka mainkan. Pengkhianat itu sengaja membiarkan kita terjebak agar rahasia ini tetap tersembunyi.”
Hana menutup file rekaman itu dengan gemas. “Kita harus segera keluar dan melaporkan ini. Tapi bagaimana caranya, kalau musuh ada di mana-mana?”
Arga mengangkat kepalan tangan, matanya menyala penuh tekad. “Kita akan hadapi ini. Pengkhianat harus diungkap dan dibawa ke pengadilan. Tidak ada ruang untuk pengkhianatan dalam perjuangan kita.”
Tiba-tiba layar monitor menampilkan gambar wajah seseorang yang tak pernah mereka sangka. Sosok yang selama ini tampak setia, kini menjadi bayangan pengkhianatan yang menakutkan.
Rafi menggeram, “Ini dia… yang harus kita hadapi. Pengkhianat sebenarnya.”
Ketegangan mencapai puncaknya. Mereka tahu, pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai—bukan hanya melawan musuh dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka sendiri.
Bab 13 – Duel yang Tak Terhindarkan
Ruangan itu hening, hanya suara detak jantung yang bergema di telinga Arga. Di hadapannya berdiri sosok yang selama ini ia anggap sekutu, kini berubah menjadi musuh paling berbahaya. Mata mereka bertemu, penuh dengan amarah, kebencian, dan rasa sakit yang terpendam.
“Ini memang harus terjadi, Arga,” suara pengkhianat itu dingin dan tegas. “Kau tahu, hanya satu dari kita yang akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Arga mengangkat senjatanya perlahan, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. “Aku tidak ingin berkelahi denganmu, tapi kau telah memilih jalan ini.”
Keduanya saling mengelilingi, mencari celah untuk menyerang. Lampu ruangan bergetar seiring suara langkah kaki mereka yang bergema, menambah suasana mencekam.
Tiba-tiba, pengkhianat itu menyerang lebih dulu dengan kecepatan yang membuat Arga harus ekstra waspada. Mereka bertarung dengan teknik yang lihai, pukulan dan tendangan silih berganti, menandakan bahwa mereka bukan sembarang pejuang.
Arga merasakan setiap serangan menguji ketahanan dan kecerdasannya. Ia tahu, duel ini bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan juga pertarungan hati dan prinsip.
“Kenapa kau berkhianat?” teriak Arga di sela-sela pertarungan, mencoba menggapai sisi kemanusiaan lawannya.
Pengkhianat itu tertawa sinis, “Karena aku lelah bermain sesuai aturan yang sama! Dunia ini penuh kebohongan, dan aku ingin mengendalikan nasibku sendiri.”
Pertarungan semakin brutal. Arga berhasil mendorong lawannya ke dinding, tapi pengkhianat itu melepaskan serangan balasan yang hampir membuat Arga kehilangan keseimbangan.
Tiba-tiba, suara sirine darurat terdengar menggelegar, mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan bahaya mengintai.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Arga melancarkan serangan pamungkas. Sebuah pukulan yang bukan hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga kepercayaan pada kebenaran dan keadilan yang ia perjuangkan.
Pengkhianat itu terjatuh, nafasnya tersengal, wajahnya berubah dari penuh amarah menjadi penuh penyesalan.
Arga berdiri di atasnya, menatap tajam. “Ini akhir dari pengkhianatanmu.”
Namun sebelum Arga bisa mengambil langkah lebih jauh, suara Hana menggema dari luar pintu, “Arga, kita harus pergi sekarang! Fasilitas ini akan runtuh!”
Tanpa ragu, Arga membalikkan badan, meninggalkan pengkhianat yang tergeletak. Ia tahu, pertarungan ini baru sebatas permulaan. Mereka harus keluar hidup-hidup, membawa kebenaran ke permukaan.
Langkah cepat mereka menembus lorong-lorong gelap, sementara reruntuhan mulai berjatuhan di belakang mereka.
Bab 14 – Ledakan Terakhir
Detik-detik berlalu begitu cepat. Arga, Hana, dan Rafi berlari sekuat tenaga menembus lorong-lorong gelap fasilitas yang kini mulai runtuh satu per satu. Suara gemuruh dan reruntuhan berjatuhan mengisi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mencekam dan menegangkan.
“Cepat! Waktunya tinggal sedikit!” teriak Hana, napasnya terengah-engah namun penuh semangat.
Arga menatap sekeliling, mencari jalan keluar yang paling aman. Di depan mereka, pintu utama sudah mulai terkunci otomatis, sementara asap tebal mulai mengepul dari celah-celah dinding.
Rafi menengok ke belakang, melihat kobaran api yang mulai melahap sebagian gedung. “Kita harus melewati terowongan bawah tanah itu. Satu-satunya jalan.”
Mereka bertiga melaju ke terowongan itu dengan kecepatan maksimal. Tapi tak lama, suara ledakan keras mengguncang seluruh fasilitas, membuat lantai bergetar hebat di bawah kaki mereka.
Ledakan pertama menghantam tembok di belakang mereka, menciptakan debu dan puing yang beterbangan. Arga merasakan getaran itu sampai ke tulangnya, namun ia tak berhenti.
“Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya hancur!” ucapnya dengan suara tegas.
Setelah menempuh perjalanan penuh bahaya, mereka tiba di pintu keluar terowongan yang sudah mulai tertutup oleh reruntuhan.
Rafi mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong puing-puing itu dengan tangan kosong. Hana ikut membantu, meski tubuhnya mulai lelah.
“Tolong, kita harus cepat!” desak Arga.
Akhirnya, pintu keluar itu terbuka sedikit, memberi celah untuk mereka meloloskan diri.
Ketika ketiganya keluar ke udara bebas, sebuah ledakan dahsyat mengguncang seluruh fasilitas di belakang mereka. Api membumbung tinggi, menyembur seperti naga yang marah.
Arga, Hana, dan Rafi terdiam sejenak, menatap ke arah reruntuhan itu dengan napas berat dan hati yang penuh campur aduk.
“Ini bukan hanya tentang kita,” ujar Arga pelan, “tapi tentang kebenaran yang harus kita ungkapkan.”
Mereka tahu, perjalanan mereka belum selesai. Namun, ledakan terakhir itu menandai akhir dari satu bab dan awal dari perjuangan baru yang lebih besar.
Bab 15 – Keluar dari Kegelapan
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan di sekitar reruntuhan fasilitas yang kini tinggal kenangan. Arga berdiri di atas bukit kecil, menatap ke kejauhan dengan mata yang penuh harap dan tekad.
Hana dan Rafi berdiri di sampingnya, wajah mereka tampak lelah, namun ada semangat baru yang membara di dalam dada.
“Kita sudah keluar dari kegelapan,” kata Hana dengan suara pelan namun penuh keyakinan. “Meski perjalanan ini berat, kita berhasil mengungkap pengkhianatan dan bertahan dari segala jebakan.”
Arga mengangguk, menghela napas panjang. “Ini bukan akhir. Ini awal dari perubahan. Kebenaran yang kita bawa harus disuarakan, agar tidak ada lagi yang terperangkap dalam kebohongan.”
Rafi menatap ke langit biru, “Misi kita belum selesai, tapi setidaknya kita tahu siapa musuh sebenarnya. Sekarang giliran kita untuk memastikan mereka tak bisa bersembunyi lagi.”
Mereka bertiga melangkah turun dari bukit, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang penuh bahaya dan pengkhianatan. Langkah mereka kini menuju masa depan yang penuh tantangan, namun juga penuh harapan.
Dalam hati Arga, sebuah janji terpatri kuat: untuk terus berjuang demi kebenaran dan keadilan, tak peduli seberapa gelap jalan yang harus ditempuh.
Di kejauhan, suara sirine dan aktivitas baru mulai terdengar — pertanda bahwa dunia belum berhenti berputar, dan perjuangan mereka akan terus berlanjut.***
————————–THE END————————–