Bab 1: Jejak Sejarah di Tanah Suci
Pada abad ke-7, Palestina adalah sebuah tanah yang dikenal luas sebagai tempat berkumpulnya banyak agama besar—Islam, Kristen, dan Yahudi. Letaknya yang strategis sebagai pusat dari tiga agama ini menjadikannya begitu penting bagi dunia saat itu. Tanah yang subur dengan sejarah panjang ini berada dalam genggaman kekaisaran Bizantium, yang memerintah wilayah tersebut dengan kekuasaan Kristen. Namun, perubahan besar segera datang, mengubah wajah Palestina dan memulai babak baru dalam sejarahnya.
Zayd, seorang pemuda dari suku Arab, baru saja menyelesaikan pelatihannya di kota Madinah. Ia tumbuh di desa kecil dekat kota itu dan, seperti banyak pemuda lainnya, merasakan panggilan dalam hatinya untuk berjuang demi menegakkan agama Islam yang baru muncul. Seiring dengan berkembangnya kekuasaan Islam, para pengikut Nabi Muhammad ﷺ mulai menatap ke luar Madinah untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka, dan Palestina adalah salah satu tujuan penting. Kota Yerusalem, yang bagi umat Islam dianggap sebagai tempat suci ketiga setelah Mekah dan Madinah, menjadi simbol utama dalam ekspansi ini. Zayd memandang tugas ini bukan hanya sebagai perjuangan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari panggilan spiritual untuk menyebarkan ajaran Islam.
Pada tahun 636 M, pertempuran besar terjadi di Yarmouk, sebuah tempat di sebelah utara Semenanjung Arab. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Khalid ibn al-Walid berhasil mengalahkan tentara Bizantium yang jauh lebih besar dan lebih kuat. Kemenangan ini membuka jalan bagi pasukan Muslim untuk masuk ke Palestina, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Zayd bergabung dengan pasukan ini, membawa tekad yang kuat dan semangat untuk menjalankan tugas agama. Seiring dengan pasukan lainnya, mereka bergerak menuju kota Yerusalem yang terletak di wilayah penting dan penuh sejarah bagi banyak umat.
Dalam perjalanan menuju Palestina, Zayd banyak mendengar cerita-cerita tentang tanah yang akan mereka taklukkan. Banyak di antara prajurit Muslim yang tahu bahwa Yerusalem bukan hanya sekedar kota biasa; ia adalah kota yang penuh dengan warisan agama. Bagi umat Islam, Yerusalem adalah tempat dimana Nabi Muhammad ﷺ melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj, perjalanan malam yang penuh mukjizat. Bagi umat Kristen, Yerusalem adalah kota tempat Yesus Kristus disalibkan. Dan bagi umat Yahudi, kota ini adalah tempat berdirinya Bait Suci yang pernah dihancurkan. Masing-masing agama memiliki ikatan emosional yang mendalam dengan tempat ini, dan Zayd merasa beratnya beban yang akan diembannya sebagai bagian dari pasukan yang akan memasuki kota itu.
Sesampainya di Palestina, suasana tegang mulai terasa. Pasukan Bizantium yang sebelumnya menguasai tanah ini kini menghadapi ancaman besar dari pasukan Muslim yang semakin kuat. Setelah beberapa bentrokan kecil, pasukan Muslim akhirnya tiba di gerbang Yerusalem. Mereka menghadapi tantangan besar, karena kota ini bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga penuh dengan simbolisme. Pembebasan kota ini tidak hanya berarti kemenangan militer, tetapi juga pembuktian atas kekuatan iman dan spiritualitas Islam di tanah yang penuh dengan sejarah tersebut.
Setelah beberapa minggu pengepungan, kota Yerusalem akhirnya menyerah pada tahun 637 M. Namun, tidak ada pembantaian atau perusakan kota seperti yang mungkin terjadi dalam penaklukan lainnya. Khalifah Umar ibn al-Khattab, yang memimpin pasukan Muslim pada saat itu, menunjukkan sikap kebijaksanaan dan pengertian yang luar biasa. Ia menegaskan bahwa umat Islam akan menghormati tempat-tempat ibadah agama lain dan menjamin perlindungan bagi penduduk kota. Zayd, yang ada di barisan depan pasukan, menyaksikan momen bersejarah ini. Kota yang penuh dengan simbol-simbol agama kini menjadi bagian dari dunia Islam, tetapi dalam bentuk yang penuh dengan penghargaan terhadap tradisi yang ada sebelumnya.
Saat memasuki Yerusalem, Zayd merasakan sebuah ketenangan yang mendalam. Meskipun kota itu telah jatuh ke tangan pasukan Muslim, ada perasaan saling menghormati antara agama-agama besar. Zayd menyaksikan Umar ibn al-Khattab sendiri, yang mengenakan pakaian sederhana, berdiri dengan penuh hormat di luar Gereja Makam Kudus, tempat suci bagi umat Kristen. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang sering digambarkan tentang penaklukan kota-kota besar, di mana pemimpin sering kali berdiri megah di atas kemenangan mereka. Umar menolak masuk ke gereja karena ia tidak ingin memberi kesan bahwa masjid akan dibangun di atas tempat suci umat Kristen.
Bagi Zayd, ini adalah momen yang mengubah pandangannya tentang peperangan dan penaklukan. Bukan hanya kemenangan militer yang diutamakan, tetapi juga pentingnya menjaga nilai-nilai keagamaan dan menghormati keberagaman. Zayd mulai menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya untuk menaklukkan, tetapi untuk membawa kedamaian dan kestabilan di tanah yang telah lama dilanda konflik. Hal ini berbeda dengan apa yang pernah ia bayangkan sebelumnya tentang penaklukan yang penuh dengan darah dan kekerasan.
Namun, meskipun perdamaian tercapai, tantangan tidak berakhir begitu saja. Zayd dan pasukannya harus menghadapi masalah baru, yaitu bagaimana mengelola tanah yang baru ditaklukkan ini. Palestina, dengan keanekaragaman penduduk yang luas, mulai menguji kebijakan pemerintah Islam. Khalifah Umar ibn al-Khattab, yang terkenal bijaksana, segera menetapkan sistem pemerintahan yang berbeda dengan yang pernah diterapkan oleh Bizantium. Pajak tanah yang sebelumnya dikenakan pada petani oleh Bizantium digantikan dengan sistem yang lebih adil. Penduduk lokal diberikan kebebasan beragama, dan tempat-tempat ibadah mereka dihormati.
Zayd yang semakin terlibat dalam administrasi pasukan, kini berinteraksi langsung dengan penduduk lokal. Ia mendengar cerita-cerita tentang tanah ini, yang telah lama dihuni oleh orang-orang dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Ada orang Kristen, Yahudi, dan juga orang-orang Arab yang telah lama tinggal di Palestina. Setiap kelompok memiliki cerita mereka sendiri, dan Zayd merasa bahwa ia tidak hanya sekadar seorang prajurit, tetapi juga seorang penjaga warisan budaya yang sangat berharga.
Di tengah semua perubahan ini, Zayd menyadari bahwa tanah ini, dengan segala kompleksitasnya, akan terus menjadi pusat perhatian dunia. Keputusan yang mereka ambil saat itu akan menentukan masa depan Palestina, bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk umat Kristen dan Yahudi yang selama berabad-abad tinggal berdampingan di sana. Ia merasa beruntung bisa menjadi bagian dari momen bersejarah ini, namun juga berat karena tahu bahwa masa depan Palestina akan penuh dengan tantangan yang tak terduga.
Bab pertama ini menandai dimulainya sebuah perjalanan panjang untuk Palestina, di mana perubahan terus terjadi—tidak hanya secara politik, tetapi juga dalam hal keagamaan dan budaya. Zayd, yang awalnya hanya seorang pemuda yang ingin berjuang demi keyakinannya, kini menjadi saksi dari sebuah proses panjang yang membawa Palestina menuju sebuah masa depan yang penuh dengan harapan, tetapi juga penuh dengan ketidakpastian.*
Bab 2: Bayang-Bayang
Setelah penaklukan Palestina oleh pasukan Muslim pada abad ke-7, ketenangan yang diimpikan di tanah suci itu tidak bertahan lama. Meskipun pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab telah membawa kedamaian dan stabilitas, Palestina tidak pernah benar-benar bebas dari konflik. Bayang-bayang penjajahan dan perpecahan terus menghantui wilayah tersebut, dan pada abad ke-12, Palestina kembali menjadi medan pertempuran yang penuh darah. Wajah baru dalam sejarah Palestina muncul dalam bentuk pasukan Templar—tentara salib yang mengarungi samudra dari Eropa, membawa ideologi baru yang penuh kekerasan dan fanatisme.
Zayd, yang kini telah menjadi seorang pemimpin kecil di wilayah Gaza, menyaksikan bagaimana tanah yang dulu dihormati oleh umat Islam itu perlahan berubah menjadi pusat pertempuran antara pasukan Kristen Eropa dan pasukan Muslim. Zayd yang sudah berusia paruh baya, dengan mata yang semakin tajam oleh pengalaman, mengingat betul bagaimana invasi pasukan Templar ke Palestina mengubah segala hal. Ia bukan hanya seorang pejuang, tetapi seorang saksi hidup dari perubahan yang tak terhindarkan.
Pada saat itu, pasukan Templar, yang sebagian besar terdiri dari tentara dari Prancis, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya, tiba di pantai-pantai Palestina. Mereka datang dengan keyakinan bahwa mereka adalah pemilih Tuhan untuk menguasai tanah yang dianggap suci oleh banyak agama. Mereka ingin mengembalikan Yerusalem ke tangan umat Kristen, dan mereka memulai perjalanan panjang untuk mendirikan kerajaan Kristen di Timur Tengah, dimulai dengan penaklukan kota Yerusalem pada 1099.
Zayd merasakan ketegangan yang mendalam saat pasukan Templar pertama kali mendarat di Palestina. Banyak di antara mereka yang tidak hanya ingin menguasai tanah, tetapi juga memaksakan keyakinan mereka kepada penduduk lokal, yang mayoritas adalah umat Islam. Perlawanan terhadap para penjajah ini tidak hanya datang dari pasukan besar, tetapi juga dari desa-desa kecil yang memiliki ketahanan luar biasa. Para petani, pedagang, dan warga sipil Palestina yang tidak terlatih dalam berperang turut ambil bagian dalam perlawanan ini. Mereka sadar bahwa jika mereka tidak melawan, maka tanah yang mereka huni selama berabad-abad akan jatuh ke tangan musuh.
Zayd, yang dahulu pernah berperang di bawah bendera Khalifah Umar, kini menjadi salah satu pemimpin perlawanan lokal. Meskipun pasukannya tidak sebesar pasukan Templar, ia mengandalkan taktik gerilya untuk melawan musuh yang jauh lebih kuat. Ia tahu bahwa Palestina tidak bisa dibiarkan jatuh begitu saja ke tangan para penjajah yang hanya akan membawa penderitaan bagi rakyatnya. Namun, Zayd juga menyadari bahwa perlawanan tidak akan mudah. Pasukan Templar tidak hanya kuat dalam hal jumlah, tetapi mereka memiliki tekad yang kuat dan tujuan yang jelas: mengembalikan Yerusalem sebagai kota Kristen.
Yerusalem, yang sebelumnya telah jatuh ke tangan pasukan Muslim, kini menjadi fokus utama dari pertempuran ini. Pasukan Templar berusaha merebut kembali kota itu dengan segala cara, bahkan melalui pembantaian terhadap penduduk Muslim dan Yahudi yang masih tinggal di dalamnya. Ketika pasukan Templar berhasil merebut kota itu, mereka melakukan pembunuhan massal terhadap setiap orang yang ada di sana—sebuah tindakan yang meninggalkan jejak darah dan kekerasan yang dalam di hati penduduk Palestina.
Zayd merasa hatinya hancur mendengar berita tersebut. Yerusalem, yang bagi umat Islam adalah tempat suci ketiga setelah Mekah dan Madinah, kini dikuasai oleh para penjajah yang tidak hanya menginginkan tanah itu, tetapi juga niat untuk menghapuskan identitas agama dan budaya umat Islam yang telah lama hidup di sana. Bagi Zayd, kehilangan Yerusalem adalah kehilangan yang sangat mendalam, tetapi ia juga menyadari bahwa pertempuran ini belum selesai. Ia harus memimpin perlawanan, bukan hanya untuk merebut kembali Yerusalem, tetapi juga untuk menjaga martabat umat Islam dan keutuhan Palestina.
Di tengah pergolakan ini, Zayd tidak hanya berjuang dengan pedang, tetapi juga dengan strategi. Ia membangun aliansi dengan suku-suku Arab lokal, serta mengorganisir gerakan perlawanan bawah tanah yang efektif. Meskipun pasukan Templar memiliki senjata dan peralatan canggih, Zayd tahu bahwa perlawanan ini harus dilakukan dengan kecerdikan dan kesabaran. Ia mengajari pasukannya untuk bergerak cepat, bersembunyi di balik bukit-bukit dan lembah-lembah, dan menyerang pasukan Templar secara mendadak. Bahkan dalam pertempuran besar, Zayd selalu menekankan pentingnya moral dan semangat juang.
Namun, pasukan Templar tidak tinggal diam. Mereka terus memperkuat posisi mereka di sepanjang pantai Palestina, mendirikan benteng-benteng yang sulit ditembus, dan mengendalikan jalur perdagangan yang menghubungkan kota-kota besar di wilayah tersebut. Sementara itu, para penguasa lokal di Palestina, yang sebelumnya telah menerima kekuasaan Khalifah Umar, kini terpecah antara mereka yang ingin berunding dengan Templar dan mereka yang tetap berjuang untuk kemerdekaan. Zayd, yang dikenal karena keteguhannya, selalu menegaskan bahwa jalan untuk meraih kebebasan adalah melalui perjuangan, bukan perundingan.
Zayd tahu bahwa pertahanan Palestina harus lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengingat pelajaran dari masa lalu, ketika pasukan Bizantium tidak mampu mempertahankan kota-kota mereka dari serangan Muslim karena kurangnya solidaritas dan kerjasama. Kali ini, Zayd berusaha membentuk sebuah koalisi yang lebih luas, melibatkan berbagai kelompok Muslim, Yahudi, dan bahkan beberapa kelompok Kristen yang menentang kekuasaan Templar. Namun, meskipun usaha ini berbuah beberapa kemenangan kecil, tantangan yang dihadapi tetap sangat besar.
Sementara itu, pasukan Templar semakin memperkuat kendali mereka atas Yerusalem dan wilayah sekitarnya. Mereka membangun kastil-kastil megah yang simbolis dan penuh dengan kekuatan militer, menandakan dominasi mereka atas tanah ini. Yerusalem, yang pernah menjadi kota yang penuh dengan toleransi agama, kini terpecah menjadi wilayah yang dipenuhi oleh ketegangan dan kebencian. Banyak dari penduduk lokal yang harus memilih untuk meninggalkan rumah mereka atau hidup di bawah penindasan yang semakin kuat.
Zayd semakin merasa bahwa perjuangannya bukan hanya untuk merebut Yerusalem, tetapi untuk mempertahankan hak hidup dan martabat setiap orang yang tinggal di tanah Palestina. Setiap langkahnya penuh dengan perhitungan, dan setiap keputusan yang diambilnya memiliki dampak besar bagi nasib tanah yang dia cintai.
Saat musim panas mendekat, Zayd dan pasukannya bersiap untuk pertempuran besar yang direncanakan. Mereka tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk menggulingkan kekuasaan Templar dan membebaskan Palestina dari belenggu penjajahan. Namun, Zayd juga menyadari bahwa kemenangan tidak akan datang dengan mudah. Ia harus bersiap untuk menghadapi musuh yang jauh lebih besar dan lebih kuat, tetapi ia tidak akan mundur. Baginya, perjuangan ini adalah tentang lebih dari sekadar tanah; ini adalah tentang mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya yang telah hidup berabad-abad di Palestina.
Dengan tekad yang semakin membara, Zayd memimpin pertempuran demi pertempuran, menantang dominasi Templar dan berjuang untuk masa depan Palestina yang bebas dari penindasan.*
Bab 3: Perubahan di Era Ottoman
Pada akhir abad ke-15, wilayah Palestina memasuki babak baru dalam sejarah panjangnya, ketika Kekaisaran Ottoman yang besar menguasai hampir seluruh dunia Arab, termasuk Palestina. Bagi banyak penduduk lokal, kedatangan pasukan Ottoman bukanlah hal yang baru, karena mereka sudah lama mendengar cerita tentang kebesaran kerajaan ini. Namun, bagi Zayd, yang kini telah menjadi seorang pemimpin lokal di wilayah Gaza, masa pemerintahan Ottoman membawa tantangan baru yang berbeda dari semua pertempuran yang telah ia hadapi sebelumnya. Era ini tidak hanya menandai transisi kekuasaan, tetapi juga memperkenalkan perubahan besar dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi Palestina.
Zayd yang kini sudah menua, namun tetap setia pada perjuangannya, merasakan bahwa peralihan ke kekuasaan Ottoman tidak semudah yang dibayangkan. Meskipun banyak aspek kehidupan yang tetap stabil, ada hal-hal baru yang mulai datang ke tanah ini. Satu hal yang paling jelas adalah struktur pemerintahan yang lebih terorganisir dan ketat. Kekaisaran Ottoman membawa sistem pemerintahan pusat yang kuat, yang berbeda dari sistem yang lebih desentralisasi yang ada sebelumnya. Mereka mengatur Palestina melalui provinsi besar, di bawah kepemimpinan seorang gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada kekaisaran di Istanbul.
Zayd melihat bahwa meskipun penguasa Ottoman memperkenalkan ketertiban, banyak kebijakan mereka yang dianggap keras oleh penduduk lokal. Pajak yang dikenakan pada penduduk semakin tinggi, dan kebijakan yang diterapkan lebih banyak didasarkan pada kebutuhan kekaisaran untuk mempertahankan kontrol dan mengisi kas negara. Pengumpulan pajak yang sistematis mempengaruhi petani dan pedagang lokal yang merasa beban ekonomi semakin berat. Tanah-tanah pertanian yang dulunya dikelola oleh masyarakat lokal kini semakin terikat dengan birokrasi yang sulit dimengerti. Banyak petani yang berjuang untuk membayar pajak, dan beberapa di antaranya terpaksa menjual tanah mereka untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Namun, Zayd menyadari bahwa ada juga sisi positif dari pemerintahan Ottoman. Salah satu perubahan besar yang dibawa oleh mereka adalah pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Jalan-jalan dibangun lebih baik, dan sistem irigasi yang lebih efisien diperkenalkan di banyak wilayah. Kota-kota seperti Gaza dan Yerusalem mengalami ekspansi, dengan pembangunan pasar yang lebih terorganisir dan peningkatan fasilitas perdagangan. Zayd melihat bagaimana Palestina mulai berkembang dalam aspek komersial, dan penduduk lokal yang terlibat dalam perdagangan mendapatkan keuntungan dari jalur perdagangan yang menghubungkan Mesir dengan kawasan Levant dan Anatolia. Palestina menjadi tempat persinggahan bagi pedagang dari Eropa, Afrika, dan Asia, dan perdagangan barang-barang seperti rempah-rempah, kain, dan gandum meningkat pesat.
Namun, meskipun ada keuntungan ekonomi, Zayd tetap merasa cemas. Salah satu hal yang mengganggu pikirannya adalah pengaruh agama yang semakin besar dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun Kekaisaran Ottoman dikenal karena toleransinya terhadap berbagai agama—Islam, Kristen, dan Yahudi—Zayd merasa bahwa di bawah pemerintahan ini, agama Islam mulai mendominasi lebih kuat daripada sebelumnya. Meskipun umat Kristen dan Yahudi tetap memiliki kebebasan untuk beribadah, Zayd merasakan bahwa nilai-nilai Islam mulai diterapkan secara lebih ketat di masyarakat Palestina, dengan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap praktik agama-agama lain.
Zayd merasa bahwa Palestina, yang dahulu dikenal dengan keberagamannya, kini mulai berubah menjadi tempat yang lebih homogen. Beberapa keluarga Kristen yang telah tinggal di Palestina selama berabad-abad mulai merasa terpinggirkan. Mereka merasa bahwa kekuasaan Ottoman yang lebih kuat memaksakan sebuah identitas yang lebih Islami, dan mereka mulai merasakan tekanan dalam kehidupan sosial dan agama mereka. Meskipun penguasa Ottoman tetap memperbolehkan mereka untuk menjalankan agama mereka, ada banyak aturan yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Di sisi lain, Zayd yang berasal dari latar belakang Muslim merasa terjebak antara perasaan ingin melindungi keberagaman yang telah lama ada di Palestina dan tekanan untuk mendukung kebijakan pemerintah Ottoman yang lebih homogen.
Di tengah ketegangan sosial ini, Zayd mendapati dirinya semakin berperan dalam kehidupan politik Palestina. Meskipun ia bukan bagian dari struktur pemerintahan Ottoman yang lebih besar, ia mulai merasakan bahwa sebagai pemimpin lokal, ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan di antara berbagai kelompok yang ada di tanah ini. Dalam beberapa pertemuan dengan para pemimpin lokal lainnya, Zayd sering kali berbicara tentang pentingnya menjaga hubungan baik antara umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Meskipun ia merasa bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan kesejahteraan, ia juga memahami bahwa kebudayaan Palestina selama berabad-abad telah dibentuk oleh berbagai pengaruh agama dan budaya yang saling berinteraksi.
Kehidupan sehari-hari di Palestina berubah seiring dengan kebijakan-kebijakan yang diperkenalkan oleh kekaisaran Ottoman. Sementara beberapa orang melihat hal ini sebagai kemajuan, bagi Zayd, ini adalah pergeseran yang sangat besar dalam cara masyarakat Palestina hidup. Di Gaza, misalnya, perdagangan semakin berkembang pesat, tetapi banyak orang yang mulai merasa terasingkan. Di satu sisi, mereka merasakan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan fasilitas, tetapi di sisi lain, mereka merasakan semakin kuatnya kontrol politik yang diterapkan oleh pemerintah Ottoman, yang sering kali dianggap terlalu jauh dari kehidupan lokal mereka.
Sementara itu, di Yerusalem, Zayd melihat bagaimana kota suci ini menjadi simbol penting dalam kebijakan imperial Ottoman. Yerusalem, yang telah lama menjadi pusat spiritual bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, kini menjadi semakin penting di mata pemerintah Ottoman. Sultan-sultan Ottoman memiliki kebijakan untuk menjaga Yerusalem sebagai tempat yang bebas untuk beribadah, dan banyak investasi yang dilakukan untuk menjaga keamanan dan memelihara tempat-tempat ibadah yang penting, seperti Al-Aqsa dan Gereja Makam Kudus. Namun, meskipun pemerintah Ottoman mencoba untuk menjaga kota ini sebagai tempat toleransi antaragama, Zayd merasa bahwa pengaruh politik yang kuat mulai merubah suasana kota yang dulu begitu hidup dengan keragaman.
Zayd juga menyaksikan bagaimana perubahan ini mempengaruhi kehidupan masyarakat Palestina yang lebih kecil. Banyak keluarga yang merasa terperangkap dalam perubahan ekonomi dan sosial yang begitu cepat. Kehidupan tradisional yang dulu sangat bergantung pada pertanian dan komunitas lokal, kini terancam oleh kebijakan yang lebih terpusat dan modernisasi yang datang dengan kekuasaan Ottoman. Di satu sisi, beberapa orang merasa diuntungkan dengan perkembangan ekonomi yang dibawa oleh Ottoman, tetapi di sisi lain, banyak yang merasa bahwa mereka semakin terasing dari tanah yang telah mereka warisi selama berabad-abad.
Namun, Zayd tidak menyerah begitu saja pada perasaan ketidakpastian dan kekhawatiran yang melanda Palestina pada masa itu. Ia menyadari bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan, dan meskipun banyak hal yang telah berubah, esensi Palestina sebagai tempat yang penuh dengan keberagaman dan sejarah tetap ada. Sebagai seorang pemimpin lokal, Zayd merasa penting untuk terus menjaga semangat persatuan di kalangan penduduk Palestina, untuk tidak membiarkan perubahan yang datang menghancurkan ikatan yang telah terbentuk di antara mereka selama berabad-abad. Ia percaya bahwa meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi, Palestina dapat tetap menjadi tempat yang menghormati keberagaman, jika penduduknya mau bekerja bersama untuk melindungi warisan budaya dan agama mereka.*
Bab 4: Ketegangan di Bawah Bayang-Bayang Kolonialisme
Pada abad ke-19, Palestina mengalami perubahan besar, tidak hanya dari segi sosial dan politik, tetapi juga dari segi internasional. Kekaisaran Ottoman yang telah lama menguasai wilayah ini mulai melemah, sementara negara-negara Eropa—terutama Inggris dan Perancis—menyusun strategi untuk memperluas pengaruh mereka di Timur Tengah. Di tengah-tengah ketegangan global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar, penduduk Palestina, termasuk Zayd, merasakan gejolak yang semakin kuat, meskipun mereka sering kali tidak sepenuhnya memahami betapa besar dampak perubahan ini bagi masa depan mereka.
Zayd yang telah menua, kini semakin sadar bahwa tanah Palestina tidak hanya menghadapi ancaman dari dalam, tetapi juga dari luar. Ketika kerajaan Ottoman mulai kehilangan kekuasaannya di banyak wilayah, terutama setelah Perang Dunia I, tanah Palestina menjadi sebuah medan perebutan kekuasaan antara kekuatan kolonial Eropa. Selama bertahun-tahun, Zayd menyaksikan bagaimana kehidupan penduduk Palestina semakin terpecah oleh berbagai kekuatan asing yang masuk ke dalam urusan internal mereka.
Kehadiran kekuatan kolonial Eropa di Timur Tengah semakin nyata setelah kejatuhan Kekaisaran Ottoman pada akhir Perang Dunia I. Setelah kekalahan Ottoman, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh mereka dibagi-bagi melalui Perjanjian Sykes-Picot yang dibuat antara Inggris dan Perancis. Palestina, sebagai bagian dari wilayah tersebut, berada di bawah mandat Inggris, yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1920. Mandat ini mengizinkan Inggris untuk mengelola wilayah Palestina dengan tujuan untuk mempersiapkan daerah tersebut menuju kemerdekaan. Namun, di balik janji kemerdekaan tersebut, kenyataannya sangat berbeda. Zayd merasakan bahwa Palestina mulai menjadi sebuah tanah yang semakin terperangkap antara dua kekuatan besar—imperialisme Inggris dan gerakan Zionisme yang berkembang pesat.
Zayd yang sudah lama berjuang untuk kebebasan Palestina melihat kehadiran Inggris dengan rasa curiga yang mendalam. Ia tahu bahwa kebijakan Inggris akan semakin meminggirkan penduduk asli Palestina, terutama umat Muslim, yang selama berabad-abad telah menguasai tanah ini. Namun, yang lebih meresahkan Zayd adalah kenyataan bahwa Inggris, yang menduduki Palestina, juga memberikan dukungan besar bagi gerakan Zionisme, sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini mendapat dukungan internasional, yang semakin memperburuk keadaan bagi penduduk Palestina yang sudah lama mendiami tanah ini.
Pada saat itu, Zayd menyaksikan bagaimana populasi Yahudi di Palestina meningkat pesat, didorong oleh imigrasi besar-besaran yang didukung oleh kebijakan Inggris. Banyak orang Yahudi Eropa, terutama yang melarikan diri dari penganiayaan dan kebencian di benua Eropa, mulai menetap di Palestina. Zayd menyaksikan dengan cemas bagaimana kota-kota besar seperti Yerusalem dan Tel Aviv mulai berubah, dengan semakin banyaknya permukiman Yahudi yang dibangun di atas tanah yang dulunya milik penduduk Arab Palestina. Sementara itu, sebagian besar penduduk Palestina yang beragama Muslim dan Kristen merasa semakin terpinggirkan dalam tanah air mereka sendiri.
Namun, ketegangan antara kelompok Yahudi dan Arab Palestina bukanlah hal yang langsung meletus begitu saja. Awalnya, banyak penduduk Palestina yang merasa cemas, tetapi masih mencoba untuk mempertahankan kedamaian dan mencari cara untuk hidup berdampingan dengan para imigran Yahudi. Zayd sendiri, meskipun dia menyadari bahwa Palestina sedang berada di ambang perubahan besar, tetap mencoba untuk menjaga perdamaian. Namun, semakin lama ketegangan antara kedua kelompok ini semakin meningkat, dan Zayd tahu bahwa situasi ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang tanpa usaha untuk mencari solusi.
Keadaan semakin memanas pada tahun 1929, ketika kekerasan meletus di beberapa bagian Palestina. Puncaknya terjadi di Yerusalem, di mana bentrokan besar antara umat Muslim Palestina dan pendatang Yahudi memunculkan korban jiwa di kedua belah pihak. Kejadian ini dikenal dengan sebutan Pemberontakan 1929 atau Kerusuhan Yerusalem. Zayd merasakan betapa perpecahan ini semakin memperburuk hubungan antara kelompok-kelompok yang ada. Kota suci yang dulu dikenal dengan keberagaman kini semakin terpecah, dan rasa takut dan kebencian mulai menguasai banyak penduduk.
Sementara itu, Inggris yang memegang kendali atas Palestina, semakin sulit untuk mempertahankan kontrol mereka. Meskipun Inggris berusaha menjaga kedamaian, kebijakan mereka terhadap Zionisme semakin kontroversial. Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang menyatakan dukungan mereka untuk pembentukan “tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina. Keputusan ini sangat meresahkan banyak penduduk Palestina, yang merasa bahwa tanah mereka sedang dijual kepada orang-orang asing, yang akan menguasai tempat yang telah mereka huni selama berabad-abad. Zayd yang pernah berjuang melawan penjajahan sebelumnya kini merasakan ketidakadilan yang lebih dalam, merasa bahwa perjuangannya selama ini tidak pernah benar-benar berakhir. Palestina yang dulu dikenal dengan ketenangannya kini menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan, kebencian, dan ketidakpastian.
Ketegangan ini semakin memuncak pada tahun 1936, ketika penduduk Palestina melancarkan pemberontakan besar-besaran terhadap pemerintahan Inggris dan kebijakan-kebijakan Zionis. Pemberontakan ini dikenal dengan nama Revolusi Arab Palestina 1936-1939. Zayd yang kini sudah sangat menua, tetapi masih menjadi salah satu pemimpin perlawanan lokal, merasa bahwa ini adalah saat yang sangat krusial bagi masa depan Palestina. Pemberontakan ini dimulai sebagai protes terhadap kebijakan Inggris yang semakin mendukung imigrasi Yahudi, yang menyebabkan semakin banyak tanah Palestina yang jatuh ke tangan para pemukim Yahudi. Namun, seiring berjalannya waktu, pemberontakan ini berkembang menjadi sebuah perjuangan untuk kebebasan, melawan dominasi Inggris dan Zionisme.
Zayd, meskipun lebih tua dari kebanyakan pejuang lainnya, kembali terjun ke dalam perlawanan. Ia tahu bahwa ini adalah perjuangan yang akan menentukan apakah Palestina akan tetap menjadi tanah bagi rakyatnya sendiri ataukah akan menjadi sebuah negara asing yang dikuasai oleh kekuatan kolonial dan Zionis. Sebagai seorang pemimpin, Zayd berusaha menggerakkan semangat juang rakyat Palestina yang semakin merasa terjepit oleh kekuatan besar yang datang dari luar. Namun, ia juga tahu bahwa pemberontakan ini tidak akan mudah. Inggris memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar, dan gerakan Zionis semakin kuat dengan dukungan internasional yang mereka terima.
Pemberontakan Arab Palestina ini berakhir dengan kekalahan besar bagi penduduk Palestina. Inggris berhasil menekan pemberontakan dengan kekuatan militer, tetapi ketegangan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun tidak pernah benar-benar hilang. Zayd merasakan kelelahan yang mendalam. Meskipun ia tahu bahwa perjuangan belum selesai, ia merasa semakin sulit untuk mempertahankan harapan. Palestina, yang dulu dikenal dengan keberagaman dan kedamaiannya, kini terperangkap dalam bayang-bayang kolonialisme dan kekuatan asing yang datang dari luar.*
Bab 5: Harapan yang Tertunda
Setelah bertahun-tahun berjuang, Zayd merasakan beban yang luar biasa. Palestina, tanah yang telah menjadi rumah bagi keluarganya selama berabad-abad, kini berada di ujung tanduk. Dalam beberapa tahun terakhir, perjuangan untuk kebebasan telah menjadi semakin berat. Pemberontakan 1936-1939 yang dimulai dengan harapan akan membebaskan Palestina dari cengkeraman kolonialisme Inggris dan Zionisme, berakhir dengan penindasan yang semakin dalam. Namun, Zayd, meskipun telah menua dan penuh dengan luka-luka fisik dan emosional, tidak pernah berhenti berharap. Ia percaya bahwa harapan itu tidak akan pernah padam, meskipun dunia tampaknya terus membelakangi tanah yang ia cintai.
Pasca-revolusi yang gagal, Zayd menyaksikan bagaimana Palestina semakin terpecah. Ketegangan antara penduduk Arab Palestina dan pemukim Yahudi semakin mendalam. Pemerintahan Inggris, meskipun berjanji untuk menjaga ketertiban, justru semakin tidak populer di mata orang-orang Palestina. Pada saat yang sama, mereka semakin merasa bahwa tanah mereka telah dijual kepada orang-orang asing yang tidak mengerti budaya dan sejarah mereka. Rasa ketidakadilan itu semakin menguat, tetapi Zayd merasa bahwa perjuangan tidak hanya harus berfokus pada perlawanan fisik terhadap penjajah, melainkan juga pada pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang sedang terjadi di dunia.
Ketika Perang Dunia II meletus, Zayd menyaksikan bagaimana kekuatan global berubah. Inggris, yang selama ini dianggap sebagai penjajah utama di Palestina, kini menghadapi ancaman dari Jerman dan kekuatan Poros. Pada saat itu, Inggris yang terlibat dalam perang dunia besar semakin membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari kaum Yahudi yang memiliki pengaruh besar di Amerika Serikat dan Eropa. Inggris, yang sejak awal mendukung gerakan Zionis dengan harapan dapat memperoleh dukungan internasional, semakin memberikan konsesi kepada pemukim Yahudi di Palestina. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah Inggris semakin menunjukkan bahwa mereka lebih mendukung pembentukan negara Yahudi di Palestina daripada menjaga keseimbangan yang adil antara Arab dan Yahudi.
Zayd, yang terus memantau situasi dengan cermat, merasa semakin kesulitan untuk mengumpulkan semangat dari para pejuang muda. Meskipun ada beberapa perlawanan sporadis dari kelompok-kelompok lokal, ketidakberdayaan yang dirasakan oleh banyak orang Palestina semakin membesar. Mereka yang dulu penuh dengan semangat perlawanan kini semakin terbelah, dan beberapa mulai merasa bahwa perjuangan ini sudah tidak ada gunanya lagi. Namun, Zayd, yang tidak bisa melepaskan rasa cintanya terhadap tanah kelahiran, tetap berusaha memberikan semangat. Ia tahu bahwa jika ia menyerah, maka Palestina benar-benar akan kehilangan segalanya.
Di tengah ketidakpastian ini, sebuah keputusan besar diambil oleh PBB pada tahun 1947, yang dikenal dengan nama Rencana Pembagian Palestina. PBB mengusulkan untuk membagi Palestina menjadi dua negara, satu untuk orang Yahudi dan satu untuk orang Arab. Keputusan ini disambut dengan sorak-sorai oleh kaum Zionis, yang melihatnya sebagai langkah pertama menuju pembentukan negara Israel. Namun, bagi Zayd dan jutaan orang Palestina lainnya, keputusan ini adalah sebuah pengkhianatan besar. Bagaimana mungkin tanah mereka dibagi begitu saja, tanpa ada persetujuan yang jelas dari mereka yang telah tinggal di sana selama berabad-abad?
Rencana Pembagian yang diajukan oleh PBB menyebabkan ledakan kekerasan di Palestina. Ketegangan yang telah terbentuk selama beberapa dekade, yang dipicu oleh kebijakan Inggris yang mendukung pemukiman Yahudi, akhirnya mencapai puncaknya. Pembagian Palestina itu seperti membuka luka lama, dengan bentrokan dan pertempuran yang terjadi di seluruh wilayah. Zayd yang sudah renta, memimpin beberapa orang di Gaza untuk bertahan melawan kekerasan yang semakin meluas. Namun, ia tahu bahwa perjuangan kali ini akan berbeda. Kini, kaum Zionis yang didukung oleh kekuatan internasional semakin kuat, dan negara yang mereka impikan, Israel, sudah semakin dekat untuk menjadi kenyataan.
Pada tahun 1948, setelah Inggris menarik diri dari Palestina, deklarasi kemerdekaan Israel diumumkan oleh David Ben-Gurion. Sejak saat itu, perang besar pecah. Negara-negara Arab, yang telah lama mendukung perjuangan Palestina, segera mengirim pasukan untuk melawan pasukan Israel. Perang Arab-Israel 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Perang Kemerdekaan Israel, berakhir dengan kemenangan bagi Israel dan kekalahan besar bagi negara-negara Arab dan penduduk Palestina. Ketika perang berakhir, lebih dari 700.000 orang Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Mereka yang selamat dari perang, seperti Zayd, harus menyaksikan kehancuran tanah yang telah mereka cintai selama berabad-abad.
Zayd, yang masih hidup meskipun telah melihat begitu banyak penderitaan dan kehilangan, tidak tahu harus bagaimana lagi. Palestina yang dulu ia kenal kini telah berubah selamanya. Tanah yang dahulu penuh dengan kehidupan dan harapan, kini menjadi tanah yang terpecah dan hancur. Banyak orang yang telah kehilangan segalanya, dan Zayd merasa bahwa harapan yang ia genggam selama ini semakin jauh dari kenyataan.
Namun, meskipun Palestina telah kehilangan banyak hal, Zayd tetap memegang keyakinan bahwa perlawanan terhadap penindasan tidak akan pernah benar-benar berakhir. Meski ia tahu bahwa generasi baru Palestina akan tumbuh dalam dunia yang berbeda, ia percaya bahwa semangat untuk kembali ke tanah yang telah direbut tetap akan ada. Palestina adalah lebih dari sekadar sebuah tanah; itu adalah warisan, sebuah identitas, dan sebuah cita-cita yang tak akan pernah padam.
Pada saat-saat terakhir hidupnya, Zayd sering berkumpul dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Ia menceritakan kepada mereka kisah-kisah tentang masa lalu—tentang keberagaman, tentang tanah yang dulu menjadi tempat bagi berbagai bangsa untuk hidup berdampingan. Ia mengajarkan mereka tentang pentingnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran, meskipun dunia tampaknya terus berubah. Zayd tahu bahwa perjalanannya mungkin sudah berakhir, tetapi ia berharap bahwa generasi mendatang akan melanjutkan perjuangan ini.
Di akhir hidupnya, Zayd melihat sebuah dunia yang jauh berbeda. Palestina yang dulu ia kenal kini hanya ada dalam kenangan. Namun, ia tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari tanah itu akan kembali kepada pemiliknya yang sah—mereka yang telah hidup di sana selama ribuan tahun. Di dalam hatinya, meskipun penderitaan dan pengorbanannya begitu besar, ia tahu bahwa suatu hari, Palestina akan menemukan kedamaian dan keadilan yang pantas mereka terima.
Dengan mata yang dipenuhi kelelahan dan harapan yang masih menyala, Zayd mengakhiri napas terakhirnya, meninggalkan dunia yang penuh dengan pertempuran dan harapan yang tertunda, namun dengan keyakinan bahwa perjuangan Palestina belum berakhir—bahkan ketika ia sudah tiada.***
———–THE END———