Bab 1: Kedatangan di Eldoria
Angin berdesir lembut di antara pepohonan raksasa dengan daun berwarna kebiruan, berpendar samar dalam kegelapan. Langit di atas tak seperti yang biasa terlihat di bumi—warna ungunya berkilauan seperti lautan bintang yang terbalik. Di kejauhan, bayangan gunung melayang di udara, melawan segala hukum gravitasi.
Seorang pemuda terbangun di tengah rerumputan lembut yang bercahaya redup. Jantungnya berdebar cepat, napasnya tersengal, dan tubuhnya terasa berat seolah baru saja melewati perjalanan yang tidak seharusnya terjadi. Pakaian yang ia kenakan masih sama seperti sebelumnya—jaket hitam, kaos polos, dan celana jeans—tetapi di sekelilingnya, semuanya terasa asing.
“Dimana ini…?” gumamnya dengan suara serak.
Ia mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Yang ia ingat terakhir kali adalah petir aneh yang menyambar langit di malam hari, dan cahaya menyilaukan yang seolah menelannya. Dan sekarang, ia berada di tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Suara di Tengah Kegelapan
Langkah kakinya bergema pelan saat ia mencoba berdiri dan berjalan perlahan. Tanah yang ia pijak terasa lembut, hampir seperti karpet alami yang dibuat dari lumut bercahaya. Sekitar seratus meter di depannya, ia melihat sesuatu—sesosok bayangan berdiri di antara pepohonan.
“Halo?” panggilnya dengan ragu.
Bayangan itu bergerak, mendekat perlahan. Jantung pemuda itu berdegup lebih cepat, tubuhnya menegang. Saat sosok itu muncul dari balik pepohonan, cahaya bulan ungu di langit mengungkapkan wajahnya.
Seorang gadis muda, tidak jauh berbeda usia dengannya, dengan rambut perak yang berkilauan seperti benang perak di bawah cahaya bintang. Matanya tajam berwarna emas, dan jubah panjangnya berwarna biru tua, dihiasi simbol-simbol aneh yang berkilauan samar.
“Kau…” Gadis itu mengerutkan alisnya. “Dari mana asalmu?”
Pemuda itu menelan ludah, otaknya masih berusaha memahami situasi ini.
“Aku… Aku tidak tahu. Aku baru saja ada di rumah, lalu tiba-tiba…” Ia menggeleng, merasa bodoh dengan jawabannya sendiri.
Gadis itu memperhatikan pakaian dan wajahnya dengan penuh selidik. Kemudian, ia bergumam, “Jadi… ramalan itu benar.”
Pemuda itu mengernyit. “Ramalan?”
Gadis itu tak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke arah bayangan hutan di belakangnya. “Kita tidak bisa bicara di sini. Ikut aku.”
Diburu di Tanah Asing
Pemuda itu ragu. Ia bahkan belum tahu siapa gadis ini, dan lebih buruk lagi, ia belum tahu apakah tempat ini aman atau berbahaya. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara aneh dari kejauhan—desisan rendah seperti sesuatu yang meluncur cepat di antara pepohonan.
Gadis itu langsung mengangkat tangannya, dan dari ujung jari-jarinya, cahaya biru berpendar seperti api yang membentuk lingkaran pelindung.
“Terlambat!” katanya dengan nada waspada.
Dari balik pepohonan, muncul tiga sosok tinggi berjubah hitam, wajah mereka tersembunyi di balik bayangan. Namun yang paling mengerikan adalah mata mereka—dua titik merah menyala seperti bara api.
“Kita harus pergi!” Gadis itu menarik tangan pemuda itu, memaksanya berlari.
Pemuda itu berusaha mengikuti, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Tapi saat ia mendengar suara ledakan kecil di belakangnya—seperti sesuatu yang meledak di udara—ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ini bukan sekadar mimpi aneh.
Mereka berlari melewati hutan, sementara suara desisan dan ledakan kecil terus terdengar dari belakang. Napasnya mulai tersengal, tetapi gadis itu tidak berhenti.
“Apa itu tadi?!” pemuda itu berteriak di tengah suara gemuruh.
“Pemburu Bayangan!” jawab gadis itu singkat. “Mereka adalah pengikut Raja Kegelapan! Mereka pasti merasakan keberadaanmu di sini!”
Pemuda itu tidak mengerti sepenuhnya, tetapi satu hal yang ia tahu: ia tidak ingin ditangkap oleh makhluk-makhluk berjubah hitam itu.
Gerbang Menuju Kota Rahasia
Setelah hampir sepuluh menit berlari tanpa henti, mereka akhirnya tiba di sebuah tebing tinggi. Di hadapan mereka, ada sebuah gerbang besar terbuat dari batu putih yang dipenuhi ukiran aneh.
Gadis itu mengangkat tangannya dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak dipahami pemuda itu. Seketika, gerbang itu mulai bergetar dan terbuka perlahan, memperlihatkan jalan bercahaya di dalamnya.
“Tunggu! Kau siapa sebenarnya?!” Pemuda itu menahan tangan gadis itu sebelum mereka masuk.
Gadis itu menatapnya dengan ekspresi serius. “Namaku Lyara. Aku dari Ordo Cahaya. Dan kau—” ia berhenti sejenak, “—kau adalah orang yang dinubuatkan untuk menyelamatkan Eldoria.”
Pemuda itu membelalakkan mata. “Apa?”
Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara ledakan terdengar di belakang mereka. Lyara segera menariknya masuk ke dalam gerbang, dan seketika pintu batu itu menutup rapat.
Di dalam, pemuda itu terhuyung, napasnya masih tersengal. Cahaya lembut menyelimuti ruangan di balik gerbang itu. Dindingnya dipenuhi simbol bercahaya, dan di tengahnya ada sebuah patung besar berbentuk burung phoenix yang sedang mengepakkan sayapnya.
Lyara berbalik menatapnya. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, bukan?”
Pemuda itu hanya bisa menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di sini.”
Lyara mendesah. “Baiklah. Akan lebih baik kalau kau mendengar ini dari seseorang yang lebih tahu.”
Ia melangkah lebih dalam ke dalam ruangan itu dan mengetuk sebuah pintu besar di sisi lain. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang pria tua berjubah putih dengan janggut panjang berwarna perak.
Pria itu menatap pemuda itu dengan mata tajam, seolah menembus jiwanya.
“Akhirnya,” kata pria tua itu dengan suara rendah namun penuh wibawa. “Ramalan itu telah menjadi kenyataan.”
Pemuda itu menatap pria itu dengan campuran ketakutan dan rasa ingin tahu.
“Apa maksudmu? Siapa aku sebenarnya?” tanyanya.
Pria tua itu tersenyum tipis. “Kau adalah kunci dari takdir Eldoria.”
Dan itulah awal dari perjalanan pemuda itu di dunia yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.*
Bab 2: Ramalan yang Terlupakan
Kebenaran yang Tersembunyi
Pemuda itu menatap pria tua berjubah putih di hadapannya. Ruangan tempat mereka berada terasa hangat meski dindingnya terbuat dari batu. Cahaya redup dari kristal-kristal bercahaya di langit-langit memberi suasana yang tenang namun misterius.
“Apa maksudmu?” tanya pemuda itu, suaranya masih penuh kebingungan.
Pria tua itu menghela napas panjang. “Aku adalah Eldrin, salah satu penjaga terakhir dari Ordo Cahaya. Kami telah menunggu kedatanganmu selama bertahun-tahun.”
Pemuda itu mengernyit. “Menungguku? Aku bahkan tidak tahu tempat ini ada.”
Eldrin tersenyum tipis. “Itu karena kau berasal dari dunia lain. Namun, darah yang mengalir dalam tubuhmu bukan darah biasa.”
Pemuda itu terdiam. Ia mencoba mengingat kehidupannya di dunia asalnya—keluarga, sekolah, teman-temannya—semua terasa jauh sekarang.
“Apa maksudmu?” ia bertanya lagi, lebih tegas kali ini.
Eldrin mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar. Sebuah gambaran muncul di tengah ruangan—seperti cermin yang memperlihatkan kejadian dari masa lalu.
Dalam bayangan itu, terlihat sebuah kerajaan megah berdiri di tengah lembah hijau. Menara-menara tinggi berkilauan di bawah cahaya matahari. Tetapi pemandangan indah itu segera berubah menjadi kehancuran. Api melahap bangunan, pasukan berjubah hitam menyerbu, dan langit berubah gelap.
“Kisah ini terjadi dua puluh tahun yang lalu,” kata Eldrin pelan. “Kerajaan Eldoria berada di bawah serangan Raja Kegelapan, Valtor. Ia ingin merebut takhta dan menghancurkan garis keturunan kerajaan. Namun, sebelum kejatuhan terakhir, raja dan ratu Eldoria melakukan sesuatu yang tak terduga—mereka menyelamatkan putra mahkota mereka.”
Pemuda itu menelan ludah. “Apa hubungannya denganku?”
Eldrin menatapnya dalam-dalam. “Putra mahkota itu adalah kau.”
Darah Eldoria yang Hilang
Dunia terasa berputar. Pemuda itu mundur selangkah, mencoba mencerna kata-kata Eldrin.
“Tidak… Itu tidak mungkin.”
Lyara, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, akhirnya angkat bicara. “Aku tahu sulit mempercayainya. Tapi ada alasan kenapa kau bisa datang ke sini. Kau bukan manusia biasa dari duniamu.”
Pemuda itu menggeleng cepat. “Aku tidak punya kekuatan. Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat ini. Bagaimana mungkin aku seorang pangeran?”
Eldrin melangkah mendekat. “Saat kau masih bayi, orang tuamu mengirimmu ke dunia lain menggunakan sihir kuno. Mereka ingin menjauhkanmu dari bahaya dan memberimu kesempatan untuk hidup. Mereka percaya bahwa suatu hari nanti, takdir akan membawamu kembali ke sini untuk menyelesaikan apa yang belum selesai.”
Pemuda itu masih sulit mempercayainya. Hidupnya di dunia asalnya terasa begitu biasa—tidak ada tanda-tanda bahwa ia adalah bagian dari sebuah ramalan kuno.
“Jadi… Jika aku benar-benar berasal dari Eldoria, kenapa aku tidak ingat apa pun?”
Eldrin mengangguk pelan. “Saat kau dikirim ke dunia lain, ingatanmu disegel. Itu dilakukan agar kau bisa hidup sebagai manusia biasa tanpa diburu oleh pasukan Valtor. Tapi sekarang kau kembali, dan segel itu perlahan mulai melemah.”
Pemuda itu menghembuskan napas berat. Semua ini terdengar seperti dongeng gila yang ia baca di buku-buku fantasi. Tetapi di saat yang sama, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa benar.
Ramalan yang Terlupakan
Eldrin kembali mengangkat tangannya. Gambaran di udara berubah, memperlihatkan sebuah gulungan kuno yang dipenuhi tulisan dalam bahasa yang asing.
“Inilah ramalan yang ditulis ribuan tahun yang lalu oleh para penjaga Eldoria,” kata Eldrin. “Ramalan itu berbunyi:
“Di saat kegelapan melanda tanah Eldoria, seorang anak dari darah kerajaan yang tersembunyi di dunia lain akan kembali. Ia akan menjadi kunci dalam peperangan terakhir melawan sang penguasa kegelapan. Takdirnya adalah membawa cahaya, atau menenggelamkan dunia dalam bayangan.”
Pemuda itu merasakan dadanya sesak. Ia mengerti maknanya—ramalan itu berbicara tentang dirinya.
“Tapi… bagaimana jika aku tidak ingin menjadi bagian dari ini?” suaranya terdengar pelan. “Aku tidak pernah meminta ini semua.”
Eldrin menatapnya dengan lembut. “Takdir bukan sesuatu yang bisa dipilih, tetapi sesuatu yang harus diterima. Kau mungkin merasa ini bukan tanggung jawabmu, tetapi dunia ini membutuhkanmu. Eldoria sedang berada di ambang kehancuran. Valtor semakin kuat, dan tanpa seseorang yang bisa menandinginya, tidak akan ada harapan.”
Pemuda itu menundukkan kepala. Ia tidak ingin percaya, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa sesuatu di dalam dirinya mulai terbangun.
Keputusan yang Berat
Setelah beberapa saat hening, Lyara melangkah mendekat.
“Kau tidak harus membuat keputusan sekarang,” katanya pelan. “Tapi jika kau benar-benar ingin tahu siapa dirimu, maka ikutlah denganku. Ada tempat yang bisa membantumu memahami semua ini.”
Pemuda itu mengangkat wajahnya. “Ke mana?”
“Kuil Cahaya,” jawab Lyara. “Di sana, kau bisa membuka ingatanmu yang tersegel dan menemukan siapa dirimu sebenarnya.”
Eldrin mengangguk. “Perjalanan ke sana tidak mudah, tetapi itu adalah satu-satunya cara agar kau benar-benar bisa memahami takdirmu.”
Pemuda itu menatap mereka berdua. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kembali ke dunia asalnya mungkin bukan lagi pilihan.
Akhirnya, ia menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah… Aku akan pergi.”
Eldrin tersenyum. “Bagus. Maka perjalananmu sebagai pewaris Eldoria dimulai sekarang.*
Bab 3: Penyihir dan Sang Ksatria
Perjalanan Menuju Kuil Cahaya
Udara pagi di Eldoria terasa sejuk, dengan sinar matahari keemasan menembus dedaunan raksasa yang melambai lembut. Burung-burung berwarna biru kehijauan beterbangan di atas hutan, mengeluarkan kicauan yang terdengar seperti nyanyian magis. Namun, meski alam terlihat damai, di hati pemuda yang baru saja mengetahui identitasnya sebagai pewaris takhta Eldoria, hanya ada kekacauan.
Setelah menerima kebenaran dari Eldrin dan mendengar tentang ramalan kuno, pemuda itu memutuskan untuk pergi ke Kuil Cahaya. Menurut Eldrin, di sana ia bisa membuka ingatan yang tersegel dan menemukan siapa dirinya sebenarnya.
Lyara, gadis penyihir muda dari Ordo Cahaya, menjadi pemandunya dalam perjalanan ini. Namun, mereka tidak berangkat berdua. Eldrin menugaskan seseorang untuk menemani dan melindungi mereka—seorang ksatria yang dikenal sebagai Rael, Sang Pedang Matahari.
Pertemuan dengan Rael, Sang Ksatria Legendaris
Pemuda itu masih berusaha memahami semua yang terjadi saat mereka tiba di sebuah dataran luas di luar kota bawah tanah tempat Ordo Cahaya bersembunyi. Di tengah lapangan hijau yang membentang, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap berdiri di samping kuda hitam yang gagah.
Rambutnya cokelat keemasan, diikat rapi di belakang kepala. Matanya tajam seperti elang, dan wajahnya dihiasi bekas luka panjang di pipi kiri, tanda bahwa ia bukan prajurit sembarangan. Ia mengenakan armor perak yang dihiasi ukiran matahari di dadanya.
Ketika melihat kedatangan Lyara dan pemuda itu, pria itu menyilangkan tangannya di dada.
“Jadi, ini dia yang katanya pewaris kerajaan?” suaranya dalam dan penuh skeptisisme.
Pemuda itu menelan ludah. Ia merasa tertusuk oleh tatapan tajam ksatria itu.
“Namanya belum kembali,” kata Lyara. “Tapi Eldrin yakin dia adalah orang yang kita tunggu.”
Rael mendengus. “Aku berharap kau punya lebih dari sekadar keyakinan. Karena kalau tidak, perjalanan ini hanya akan jadi pemborosan waktu.”
Pemuda itu mengepalkan tangan. “Aku tidak pernah meminta ini semua,” katanya dengan nada keras. “Aku bahkan tidak yakin dengan apa yang kalian katakan.”
Rael menaikkan satu alisnya. “Kalau begitu, kau lebih buruk dari yang kuduga.”
Pemuda itu tersinggung, tetapi sebelum ia bisa membalas, Lyara menyela. “Sudah cukup. Kita harus pergi sekarang. Semakin lama kita menunda, semakin besar risiko ditemukan oleh pengikut Valtor.”
Rael hanya mengangguk, lalu melompat ke atas kudanya dengan gerakan anggun. “Kalau begitu, ayo kita lihat apakah kau memang pantas disebut sebagai pewaris Eldoria.”
Latihan Pertama: Pedang dan Sihir
Perjalanan menuju Kuil Cahaya tidak akan mudah. Mereka harus melewati hutan lebat, dataran berbatu, dan mungkin menghadapi musuh di sepanjang jalan. Maka, sebelum perjalanan lebih jauh, Rael memutuskan untuk menguji kemampuan pemuda itu.
Di tepi sungai kecil, Rael melemparkan sebuah pedang kayu ke arah pemuda itu. “Mulai sekarang, kau harus belajar bertarung. Seorang raja tidak bisa hanya bergantung pada orang lain untuk melindunginya.”
Pemuda itu menangkap pedang kayu dengan canggung. “Aku belum pernah bertarung sebelumnya.”
Rael tersenyum tipis. “Bagus. Itu berarti aku bisa mengajarimu dari nol.”
Tanpa peringatan, Rael menyerangnya dengan pedang kayu. Pemuda itu terkejut dan nyaris terjatuh saat menangkis serangan pertama.
“Langkah pertama: jangan pernah lengah,” ujar Rael, mengayunkan pedangnya lagi.
Pemuda itu berusaha menghindar, tetapi gerakannya kaku. Rael terus menyerang dengan kecepatan yang meningkat.
“Ayo, kau tidak akan punya waktu berpikir di medan perang!” Rael berseru.
Pemuda itu mulai merasa frustrasi. Ia tidak bisa menangani serangan Rael, tetapi di saat yang sama, sesuatu dalam dirinya mulai terbakar. Ada kemarahan, ada dorongan untuk tidak kalah.
Tiba-tiba, saat Rael mengayunkan pedangnya lagi, pemuda itu mengangkat pedangnya dengan lebih kuat. Braaak! Benturan keras terdengar saat pedang kayu mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, Rael terlihat sedikit terkejut.
“Menarik,” kata ksatria itu sambil tersenyum kecil. “Sepertinya kau punya bakat tersembunyi.”
Sementara itu, Lyara yang mengamati dari kejauhan berjalan mendekat. “Bertarung dengan pedang memang penting, tapi kau juga harus belajar sihir.”
Ia mengangkat tangannya, dan bola api kecil muncul di telapak tangannya.
“Sihir di dunia ini bukan hanya tentang mantra. Itu adalah energi yang mengalir dalam setiap makhluk hidup. Jika kau benar-benar pewaris Eldoria, kau pasti memiliki sedikit kemampuan untuk merasakan energi itu.”
Pemuda itu menatap tangannya, berusaha merasakan sesuatu. Tapi tak ada yang terjadi.
Rael mendengus. “Sepertinya kau tidak berbakat dalam sihir.”
Lyara menggeleng. “Bukan begitu. Kau hanya belum menemukan sumber kekuatanmu sendiri.”
Ia lalu mengulurkan tangan dan menyentuh dahi pemuda itu dengan ujung jarinya. Tiba-tiba, pemuda itu merasa ada sesuatu yang mengalir dalam tubuhnya—seperti arus hangat yang mulai bergerak dari dadanya ke ujung jari.
“Merasakan?” tanya Lyara.
Pemuda itu mengangguk, meski masih bingung.
Lyara tersenyum. “Bagus. Sekarang coba fokuskan energi itu di tanganmu.”
Ia menutup matanya, mencoba berkonsentrasi. Sedikit demi sedikit, sesuatu mulai terasa di tangannya. Lalu, tiba-tiba, percikan cahaya muncul di telapak tangannya. Itu bukan api, bukan juga petir—melainkan cahaya putih lembut yang berkilauan.
Rael dan Lyara terdiam sejenak.
“Ini… bukan sihir biasa,” gumam Lyara.
Rael mengerutkan kening. “Aku pernah melihat cahaya ini sebelumnya… Ini adalah kekuatan Raja Cahaya.”
Pemuda itu menatap cahaya di tangannya dengan perasaan campur aduk.
“Apa maksudnya?”
Lyara menatapnya serius. “Itu berarti kau benar-benar pewaris Eldoria. Dan kekuatan yang kau miliki… bisa menjadi satu-satunya yang bisa mengalahkan Valtor.”
Pemuda itu merasa dunianya kembali terguncang. Kini, ia tak hanya harus belajar bertarung, tetapi juga mengendalikan kekuatan yang bahkan ia sendiri tak mengerti.
Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa lari dari takdirnya lagi.
Dan perjalanan ke Kuil Cahaya baru saja dimulai.*
Bab 4: Perjalanan ke Menara Cahaya
Meninggalkan Kota Bawah Tanah
Fajar baru saja menyingsing ketika pemuda itu, Lyara, dan Rael bersiap untuk berangkat menuju Menara Cahaya. Eldrin telah memberi mereka peta tua yang menunjukkan jalur menuju menara, tetapi perjalanan itu tidak akan mudah. Menara Cahaya terletak di puncak Pegunungan Eldros, tempat yang jarang dijamah manusia dan dipenuhi bahaya.
Pemuda itu, yang mulai menerima bahwa dirinya adalah pewaris takhta Eldoria, masih merasa canggung dengan semua ini. Ia belum menguasai pedang, apalagi sihirnya yang baru saja bangkit. Namun, tidak ada waktu untuk ragu.
Di pintu keluar kota bawah tanah, Eldrin berdiri menunggu mereka. Pria tua itu menatap pemuda itu dalam-dalam sebelum berkata, “Ini bukan sekadar perjalanan biasa. Di sana, kau akan menghadapi dirimu sendiri. Apa pun yang terjadi, jangan menyerah.”
Pemuda itu mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan menunggunya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa langkahnya memiliki tujuan.
Dengan satu tarikan napas dalam, mereka meninggalkan kota bawah tanah dan memulai perjalanan ke Menara Cahaya.
Hutan Bayangan dan Rahasia Tersembunyi
Setelah berjalan sepanjang hari melewati padang rumput dan sungai kecil, mereka akhirnya mencapai Hutan Bayangan. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling bertautan hingga menutupi langit. Kabut tipis menyelimuti tanah, memberikan aura mistis yang tidak nyaman.
Rael menghentikan langkahnya dan menatap ke dalam hutan. “Kita harus tetap waspada. Hutan ini dikenal penuh makhluk yang bersembunyi dalam bayang-bayang.”
Pemuda itu menelan ludah. “Makhluk seperti apa?”
Lyara menjawab sambil merapatkan jubahnya. “Ada legenda tentang Silvaris, roh penjaga hutan yang membenci manusia. Jika kita memasuki wilayah mereka tanpa izin, kita bisa tersesat selamanya.”
Pemuda itu menegang. “Bagaimana kita tahu kalau kita memasuki wilayah mereka?”
Rael menyarungkan pedangnya. “Kita tidak tahu. Karena itu, jangan sampai terpisah.”
Mereka melangkah masuk ke dalam hutan dengan hati-hati. Semakin jauh mereka berjalan, semakin tebal kabut di sekitar mereka. Suara dedaunan yang berdesir seakan berbisik di telinga mereka.
Tiba-tiba, pemuda itu merasa sesuatu mengawasinya. Ia menoleh ke kiri dan melihat sesosok bayangan melintas cepat di antara pepohonan.
“Rael… ada sesuatu di sana,” bisiknya.
Rael sudah menggenggam pedangnya erat. “Aku tahu. Mereka ada di sekitar kita.”
Seketika, angin bertiup kencang dan kabut semakin tebal. Cahaya dari kristal sihir Lyara mulai redup. Suara bisikan semakin jelas, seakan memanggil nama mereka.
“Ini ulah Silvaris,” kata Lyara dengan suara tegang. “Mereka mencoba memisahkan kita.”
Pemuda itu mulai panik. Tiba-tiba, bayangan muncul di depan mereka—sosok makhluk tinggi berkulit pucat dengan mata bersinar biru. Silvaris berdiri di sana, menatap mereka tanpa ekspresi.
“Kalian bukan bagian dari hutan ini,” suara Silvaris bergema, seperti datang dari banyak arah sekaligus.
Lyara melangkah maju dan membungkuk sedikit, menunjukkan rasa hormat. “Kami tidak berniat mengganggu. Kami hanya ingin melewati hutan ini untuk mencapai Menara Cahaya.”
Silvaris menatap mereka lebih lama sebelum berkata, “Hanya mereka yang memiliki hati yang murni yang bisa melewati wilayah kami. Jika ada kebencian atau ketakutan dalam dirimu, kau akan tersesat.”
Tiba-tiba, pemuda itu merasakan tubuhnya ringan. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa teman-temannya telah menghilang.
Ia kini sendirian.
Ujian Sang Pewaris
Pemuda itu panik dan mencoba berteriak memanggil Rael dan Lyara, tetapi suaranya hanya menggema dalam kehampaan.
Kemudian, sebuah suara terdengar dalam pikirannya.
“Apa yang kau cari?”
Pemuda itu mengerutkan kening. “Aku… Aku tidak tahu.”
“Kau mencari kebenaran, tetapi kau takut untuk menerimanya.”
Pemuda itu terdiam. Ia tahu bahwa kata-kata itu benar. Sejak mengetahui identitasnya, ia selalu bertanya-tanya apakah ia benar-benar pantas menjadi pewaris takhta Eldoria.
“Jika kau ingin melewati hutan ini, hadapilah ketakutanmu.”
Tiba-tiba, kabut di sekelilingnya berubah. Ia melihat bayangan dirinya sendiri—tetapi bukan dirinya yang sekarang. Sosok itu tampak lebih kuat, lebih percaya diri. Namun, ada sesuatu yang mengerikan dari tatapan matanya.
“Siapa kau?” tanya pemuda itu.
Bayangan itu tersenyum dingin. “Aku adalah dirimu yang seharusnya. Kuat, tak terkalahkan, dan tidak ragu untuk melakukan apa pun demi mencapai tujuan.”
Pemuda itu merasa merinding. “Aku tidak ingin menjadi seperti itu.”
Bayangan itu tertawa. “Itu sebabnya kau akan gagal. Seorang raja harus kuat. Jika kau tidak bisa mengalahkanku, bagaimana kau bisa melawan Valtor?”
Pemuda itu menggenggam pedangnya erat. “Aku tidak perlu menjadi seperti dirimu untuk menang.”
Bayangan itu mengangkat pedangnya sendiri. “Kalau begitu, buktikan!”
Pertarungan pun dimulai.
Pemuda itu berusaha menangkis serangan bayangannya, tetapi setiap tebasan yang ia lakukan terasa lemah. Bayangan itu lebih cepat, lebih kuat.
“Apa kau pikir dunia ini bisa diselamatkan hanya dengan niat baik?” ejek bayangan itu.
Pemuda itu terjatuh ke tanah, pedangnya terlepas dari genggamannya. Bayangan itu berdiri di atasnya, mengangkat pedangnya untuk serangan terakhir.
Namun, di saat terakhir, sesuatu dalam dirinya berubah. Ia mengingat kata-kata Eldrin—”Kau akan menghadapi dirimu sendiri.”
Pemuda itu menutup matanya dan mengambil napas dalam.
“Aku mungkin tidak sempurna,” katanya pelan. “Tapi aku tidak akan lari dari takdirku.”
Ketika ia membuka matanya, cahaya putih muncul di sekelilingnya. Tangannya terangkat, dan tiba-tiba, pedang bayangan itu pecah berkeping-keping.
Bayangan itu terkejut. “Apa… yang kau lakukan?”
Pemuda itu berdiri tegak. “Aku tidak harus memilih antara menjadi kuat atau menjadi baik. Aku akan menemukan jalanku sendiri.”
Bayangan itu tersenyum samar sebelum perlahan menghilang menjadi kabut.
Saat kabut itu lenyap, pemuda itu mendapati dirinya kembali bersama Rael dan Lyara. Mereka menatapnya dengan heran.
“Apa yang terjadi?” tanya Rael.
Pemuda itu hanya tersenyum kecil. “Aku lulus ujian mereka.”
Di depan mereka, Silvaris muncul kembali dan mengangguk. “Kau telah menghadapi ketakutanmu. Kalian boleh melewati hutan ini.”
Dengan satu ayunan tangannya, kabut menghilang, membuka jalan menuju Pegunungan Eldros.
Mereka telah melewati rintangan pertama, tetapi perjalanan ke Menara Cahaya masih panjang.*
Bab 5: Rahasia di Balik Kegelapan
Mendaki Pegunungan Eldros
Angin dingin menerpa wajah pemuda itu saat ia, Lyara, dan Rael mulai mendaki Pegunungan Eldros. Setelah berhasil melewati Hutan Bayangan dan ujian dari Silvaris, mereka kini menghadapi rintangan baru. Pegunungan ini terkenal dengan jurang-jurang curam, cuaca tak menentu, serta makhluk-makhluk gelap yang bersembunyi di kegelapan.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat merah keemasan. Namun, keindahan itu tidak bisa menutupi rasa gelisah yang mulai merayapi pemuda itu. Ada sesuatu di tempat ini—sesuatu yang terasa… salah.
Rael, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti dan mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Lyara segera menahan napas, sementara pemuda itu menajamkan pendengarannya.
Lalu, ia mendengarnya.
Suara gemuruh samar, seperti sesuatu yang bergerak di bawah tanah.
Rael mencabut pedangnya. “Kita tidak sendirian.”
Serangan dari Bayangan
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Dari balik bebatuan, sosok-sosok hitam bermata merah muncul. Mereka tinggi, dengan tubuh kurus seperti ranting kering, tetapi gerakan mereka cepat seperti kilatan petir.
“Shadow Stalkers,” gumam Lyara, suaranya penuh ketegangan. “Mereka adalah pelayan Valtor. Kita harus cepat!”
Rael langsung menyerang salah satu makhluk itu, pedangnya berkilat dalam cahaya senja. Makhluk itu melompat menghindar dengan kecepatan yang luar biasa, tetapi Rael lebih cepat—dengan satu tebasan, ia membelah tubuhnya menjadi dua. Namun, makhluk itu tidak mengeluarkan darah. Sebaliknya, ia berubah menjadi kabut hitam dan menghilang.
Pemuda itu berusaha mengangkat pedangnya, tetapi sebelum ia bisa menyerang, salah satu Shadow Stalker melompat ke arahnya.
Refleks, ia mengangkat tangannya, dan tiba-tiba cahaya putih meledak dari telapak tangannya.
Makhluk itu menjerit dan langsung lenyap, seakan terkena sinar matahari yang membakar.
Pemuda itu terengah-engah. Ia masih belum memahami kekuatan ini, tetapi tampaknya cahaya dalam dirinya adalah satu-satunya hal yang bisa menghancurkan makhluk-makhluk ini.
“Gunakan cahayamu!” seru Lyara, yang mulai melemparkan bola api ke arah para Shadow Stalker.
Dengan keberanian yang baru ditemukan, pemuda itu mengangkat tangannya lagi, mencoba memanggil kekuatan itu. Cahaya putih kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya, menyapu seluruh area.
Shadow Stalkers menjerit kesakitan sebelum akhirnya menghilang.
Ketika semuanya berakhir, hanya keheningan yang tersisa.
Rael menyarungkan pedangnya dan menatap pemuda itu dengan mata tajam. “Itu adalah cahaya sejati. Hanya pewaris Eldoria yang bisa menggunakannya.”
Pemuda itu masih terengah-engah, tetapi di dalam hatinya, ia merasa sesuatu telah berubah.
“Aku ingin tahu… dari mana kekuatan ini berasal?” gumamnya.
Lyara menatapnya serius. “Mungkin jawaban itu ada di Menara Cahaya.”
Gua Rahasia dan Peninggalan Raja Cahaya
Setelah memastikan tidak ada lagi ancaman, mereka melanjutkan perjalanan. Namun, malam mulai turun, dan suhu di pegunungan semakin dingin.
“Kita harus mencari tempat berlindung,” kata Rael.
Mereka berjalan lebih jauh dan akhirnya menemukan sebuah gua yang cukup luas. Namun, saat mereka masuk, pemuda itu merasakan sesuatu yang aneh.
Dinding gua ini tidak seperti gua biasa. Ada ukiran-ukiran kuno di sana, dengan simbol-simbol cahaya yang bersinar redup.
Lyara menyentuh salah satu simbol itu. “Ini… adalah bahasa kuno Eldoria.”
Pemuda itu menatap ukiran itu lebih dekat. Ia tidak mengerti bahasa itu, tetapi saat ia menyentuhnya, tiba-tiba sebuah gambaran muncul dalam pikirannya.
Kilatan cahaya.
Seorang pria berjubah putih berdiri di tengah pertempuran, dikelilingi oleh pasukan kegelapan. Ia mengangkat tangannya, dan cahaya dari tubuhnya menghancurkan makhluk-makhluk itu.
Lalu, gambaran itu berubah. Pria itu berdiri di atas sebuah menara tinggi—Menara Cahaya. Di sekelilingnya, tujuh orang berdiri dalam lingkaran, masing-masing memegang simbol sihir yang berbeda.
Pemuda itu tersentak dan terjatuh ke tanah.
Lyara bergegas mendekat. “Apa yang terjadi?”
Pemuda itu menarik napas dalam-dalam. “Aku melihat sesuatu… Seorang pria berjubah putih. Ia menggunakan cahaya untuk melawan kegelapan. Dan… ada tujuh orang lainnya bersamanya.”
Lyara dan Rael saling bertukar pandang.
“Pria berjubah putih…” Lyara bergumam. “Itu pasti Raja Cahaya yang pertama.”
Rael mengangguk. “Dan tujuh orang itu mungkin adalah Tujuh Pelindung Eldoria. Mereka adalah penyihir dan pejuang terkuat di kerajaan, yang pernah berjanji melindungi tanah ini.”
Pemuda itu menatap dinding gua dengan penuh kebingungan. “Tapi mengapa aku melihatnya?”
Lyara berpikir sejenak sebelum berkata, “Mungkin karena kau adalah pewarisnya. Darah dan kekuatan Raja Cahaya mengalir dalam dirimu. Dan mungkin… ingatan itu adalah pesan yang tertinggal untukmu.”
Pemuda itu merenung. Jika itu benar, maka ada sesuatu di Menara Cahaya yang menunggunya—sesuatu yang bisa mengungkap seluruh kebenaran.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, sesuatu bergetar di dalam gua.
Tiba-tiba, sebuah batu besar di dinding gua bergeser, mengungkapkan sebuah pintu rahasia yang mengarah ke lorong gelap.
Mereka bertiga menatap satu sama lain.
“Sepertinya kita baru saja menemukan sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga,” kata Rael.
Lorong Kuno dan Misteri yang Tersembunyi
Mereka melangkah masuk ke dalam lorong, menyalakan obor untuk menerangi jalan.
Lorong itu panjang dan berliku, dindingnya penuh dengan ukiran kuno yang menggambarkan pertempuran antara cahaya dan kegelapan.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruangan besar yang dipenuhi pilar-pilar tinggi.
Di tengah ruangan itu, ada sebuah altar batu dengan sebuah kitab besar di atasnya.
Lyara berjalan mendekat dan membuka kitab itu. Ia membaca beberapa baris sebelum wajahnya memucat.
“Apa itu?” tanya pemuda itu.
Lyara menelan ludah sebelum membaca dengan suara gemetar.
“Ketika pewaris sejati datang, bayangan lama akan bangkit. Raja Cahaya terakhir akan menghadapi kegelapan yang lebih besar dari sebelumnya. Jika ia gagal, Eldoria akan jatuh ke dalam malam tanpa akhir.”
Pemuda itu merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.
“Jadi… ini bukan hanya tentang takdirku. Ini tentang nasib seluruh dunia?”
Rael menghela napas. “Sepertinya begitu.”
Keheningan menyelimuti mereka.
Mereka baru saja mengungkap rahasia yang tersembunyi di balik kegelapan—dan ancaman yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Namun, tidak ada jalan untuk mundur.
Dengan hati yang semakin mantap, pemuda itu menatap ke depan.
Menara Cahaya masih jauh, tetapi kini ia tahu bahwa apa pun yang menunggunya di sana akan mengubah segalanya.*
Bab 6: Kebangkitan Raja Kegelapan
Pertanda Buruk
Malam di Pegunungan Eldros terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin berhembus pelan, membawa bisikan-bisikan yang tak dapat dimengerti. Di dalam gua tempat mereka berlindung, pemuda itu duduk bersandar di dinding, masih memikirkan ramalan yang mereka temukan di kitab kuno.
“Ketika pewaris sejati datang, bayangan lama akan bangkit. Jika ia gagal, Eldoria akan jatuh ke dalam malam tanpa akhir.”
Kata-kata itu terus berputar di pikirannya. Apa maksudnya? Apakah karena dirinya, sesuatu yang mengerikan akan terjadi?
“Masih berpikir tentang ramalan itu?” suara Rael memecah keheningan.
Pemuda itu mengangguk pelan. “Jika yang dikatakan kitab itu benar, maka kebangkitanku juga membangunkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbahaya.”
Lyara duduk di sampingnya. “Itu bukan salahmu. Takdir telah menuliskan bahwa kau adalah pewaris Cahaya. Jika Raja Kegelapan benar-benar akan bangkit, maka kita harus bersiap.”
Pemuda itu ingin mempercayai kata-kata itu, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah akibat kehadirannya.
Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, bumi mulai bergetar.
Bangkitnya Bayangan Lama
Getaran itu semakin kuat, hingga batu-batu di gua mulai berjatuhan. Mereka bertiga segera bangkit, pedang dan sihir siap di tangan.
“Apa yang terjadi?” tanya Rael.
Lyara menutup matanya sejenak, merasakan energi di sekitarnya. Ketika ia membuka matanya kembali, wajahnya penuh ketakutan.
“Kegelapan… Kegelapan sedang bangkit.”
Pemuda itu menelan ludah. “Apa maksudmu?”
Namun, sebelum Lyara bisa menjawab, langit di luar gua tiba-tiba berubah. Bulan yang tadinya bersinar terang kini tertutup awan gelap. Angin bertiup kencang, membawa aroma kematian.
Dari jauh, terdengar suara gaung yang mengerikan, seperti suara tertawa yang berasal dari kedalaman dunia.
Mereka bertiga berlari keluar gua dan menyaksikan pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Di kejauhan, di puncak salah satu gunung tertinggi, cahaya merah darah menyembur ke langit. Awan hitam berputar-putar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang mengerikan.
Rael menggertakkan giginya. “Tidak salah lagi. Itu adalah segel Raja Kegelapan… dan segelnya telah pecah.”
Pemuda itu menatap dengan ngeri. “Jadi… Valtor telah bangkit?”
Lyara menggeleng pelan, wajahnya masih pucat. “Belum sepenuhnya. Tapi ini adalah awalnya. Jika kita tidak menghentikannya sebelum ia mendapatkan kekuatan penuhnya, tidak ada yang bisa mengalahkannya.”
Pemuda itu mengepalkan tinjunya. Ia belum siap. Ia belum cukup kuat. Tapi ia tahu, tidak ada waktu untuk ragu.
“Kita harus ke sana,” katanya mantap.
Rael menatapnya tajam, seakan ingin memastikan keseriusannya. Kemudian, ia mengangguk. “Baiklah. Tapi ini akan menjadi perjalanan yang sangat berbahaya.”
Pintu Menuju Dunia Kegelapan
Mereka segera bergegas menuju puncak gunung tempat segel itu pecah. Semakin dekat mereka ke sana, semakin tebal kabut hitam yang menyelimuti udara. Langkah mereka terasa lebih berat, seakan sesuatu mencoba menghalangi mereka.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah reruntuhan kuil kuno. Pilar-pilar besar menjulang di antara reruntuhan, sementara di tengahnya, sebuah gerbang batu raksasa berdiri dengan retakan bercahaya merah.
“Ini… adalah Gerbang Kegelapan,” bisik Lyara.
Pemuda itu menatap gerbang itu dengan rasa takut sekaligus penasaran. Ada sesuatu di dalam sana, sesuatu yang terasa akrab.
Tiba-tiba, suara berat bergema dari balik gerbang.
“Akhirnya… setelah sekian lama… Pewaris Cahaya telah datang.”
Dari dalam kegelapan, sesosok bayangan raksasa mulai muncul. Tubuhnya tinggi menjulang, matanya bersinar merah seperti bara api. Aura kegelapan yang ia pancarkan begitu kuat hingga udara di sekitar mereka terasa menekan.
“Valtor…” bisik Rael, menggenggam pedangnya lebih erat.
Pemuda itu merasa tubuhnya gemetar. Raja Kegelapan itu belum sepenuhnya bangkit, tetapi bahkan dalam keadaan ini, kekuatannya sudah begitu menakutkan.
Valtor tertawa kecil, suaranya dalam dan bergema. “Kau… adalah pewaris yang selama ini aku tunggu. Kau pikir kekuatan cahaya bisa menyelamatkan dunia ini?”
Pemuda itu mencoba membalas, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokannya.
Valtor mengangkat tangannya, dan bayangan dari tanah mulai menjulur seperti akar, mencoba menangkap mereka.
“LYARA!” teriak Rael.
Lyara segera mengangkat tangannya, menciptakan perisai cahaya yang menghalangi bayangan itu. Namun, kekuatan Valtor begitu besar hingga perisai itu mulai retak.
Pemuda itu tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, mereka akan kalah.
Ia menutup matanya dan mencoba merasakan kekuatan di dalam dirinya.
Lalu, ia mendengarnya—sebuah suara lembut yang berbicara dalam benaknya.
“Cahaya sejati tidak hanya berasal dari kekuatan. Ia berasal dari keyakinan.”
Pemuda itu menarik napas dalam dan membuka matanya. Ia mengangkat tangannya, dan kali ini, cahaya yang muncul lebih terang dari sebelumnya.
Seketika, cahaya itu meledak, menghantam bayangan Valtor dan memaksanya mundur beberapa langkah.
Tawa Valtor berubah menjadi geraman marah. “Menarik… Sepertinya aku harus menunggu sedikit lebih lama sebelum aku bisa menghancurkanmu.”
Bayangan itu mulai menghilang perlahan, kembali ke dalam gerbang.
“Tapi ingat ini, Pewaris Cahaya… Saat aku bangkit sepenuhnya, tidak akan ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkanmu.”
Setelah kata-kata itu diucapkan, Gerbang Kegelapan perlahan tertutup, dan kabut hitam mulai menghilang.
Keheningan Setelah Badai
Pemuda itu jatuh berlutut, napasnya tersengal.
Lyara dan Rael segera menghampirinya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Lyara, suaranya penuh kekhawatiran.
Pemuda itu mengangguk lemah. “Aku… berhasil mendorongnya mundur. Tapi aku bisa merasakan… ia semakin kuat.”
Rael mengangguk pelan. “Ini baru permulaan. Dia belum bangkit sepenuhnya, tapi saat itu tiba, kita harus siap.”
Pemuda itu mengepalkan tinjunya.
Ia tahu, tidak ada jalan kembali.
Valtor telah bangkit.
Dan perang untuk menyelamatkan Eldoria… baru saja dimulai.*
Bab 7: Mengumpulkan Sesuatu
Awal Misi Baru
Pagi itu, matahari terbit dengan cahaya keemasan yang lembut, seakan mencoba menghapus kegelapan yang semalam menyelimuti Eldoria. Namun, mereka bertiga tahu bahwa ancaman Raja Kegelapan, Valtor, masih membayangi.
Di tepi sebuah sungai di kaki Pegunungan Eldros, pemuda itu duduk di atas batu, merenungi kejadian semalam. Ia baru saja menghadapi bayangan Valtor untuk pertama kalinya, dan meskipun berhasil mendorongnya mundur, ia menyadari bahwa kekuatannya masih jauh dari cukup.
Rael, yang sedang membersihkan pedangnya, menatap pemuda itu. “Kau masih memikirkannya?”
Pemuda itu mengangguk. “Aku tahu aku harus menjadi lebih kuat. Tapi bagaimana? Valtor… kekuatannya jauh di luar jangkauanku.”
Lyara, yang sedang membaca kitab kuno yang mereka temukan di gua, mengangkat wajahnya. “Ada cara untuk meningkatkan kekuatanmu.”
Mata pemuda itu menyala. “Bagaimana?”
Lyara membalik halaman kitab dengan hati-hati. “Dikatakan bahwa sebelum Raja Cahaya pertama menghadapi Valtor, ia mengumpulkan Tujuh Relik Cahaya—artefak kuno yang masing-masing menyimpan bagian dari kekuatan suci.”
Rael menyandarkan tubuhnya ke pohon. “Jadi kita harus menemukan relik-relik itu sebelum Valtor bangkit sepenuhnya?”
Lyara mengangguk. “Tepat sekali. Jika kita bisa mendapatkan semuanya, maka kita punya peluang untuk mengalahkannya.”
Pemuda itu mengepalkan tinjunya. Ini adalah jalan yang ia cari—cara untuk menjadi lebih kuat, cara untuk melindungi dunia ini.
Ia menatap kedua rekannya. “Di mana kita bisa menemukan relik pertama?”
Lyara membaca lebih lanjut sebelum menjawab, “Relik pertama disebut Kristal Auroria, yang konon tersimpan di Kuil Bintang di Kota Eldoria.”
Rael menghela napas. “Itu artinya kita harus kembali ke ibu kota.”
Pemuda itu menatap ke arah timur, di mana Kota Eldoria berdiri megah di kejauhan.
“Kalau begitu, mari kita mulai perjalanan kita.”
Menuju Kota Eldoria
Perjalanan menuju ibu kota memakan waktu dua hari. Mereka melewati padang rumput luas, menyeberangi sungai, dan menghindari patroli prajurit kegelapan yang mulai bermunculan di sepanjang jalan.
Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti perlombaan melawan waktu. Valtor semakin kuat, dan mereka harus bergerak cepat.
Setibanya di Kota Eldoria, mereka disambut dengan suasana yang mencekam. Jalanan yang dulu ramai kini sunyi. Penduduk menutup jendela dan pintu mereka, takut dengan rumor bahwa kekuatan gelap sedang berkumpul.
Rael mengetatkan cengkeraman pada gagang pedangnya. “Sepertinya Valtor sudah mulai mengirim pengikutnya ke sini.”
Mereka bergerak dengan hati-hati, menyelinap melalui gang-gang sempit hingga akhirnya tiba di Kuil Bintang—sebuah bangunan megah yang berdiri di atas bukit kecil di pusat kota.
Pintu kuil itu tertutup rapat, tetapi Lyara menemukan sebuah simbol yang bercahaya di tengahnya.
“Ini adalah segel pelindung,” katanya sambil menyentuh simbol itu. “Hanya seseorang dengan darah Raja Cahaya yang bisa membukanya.”
Pemuda itu maju ke depan, meletakkan tangannya di atas simbol. Seperti yang diduga, cahaya putih berpendar dari telapak tangannya, dan perlahan, pintu kuil terbuka.
Mereka bertukar pandang sebelum masuk ke dalam.
Rahasia Kuil Bintang
Bagian dalam kuil dipenuhi pilar-pilar tinggi dengan ukiran kuno yang menggambarkan pertempuran antara Cahaya dan Kegelapan.
Di tengah ruangan, sebuah altar berdiri, dan di atasnya, Kristal Auroria berkilauan dengan cahaya biru yang lembut.
Pemuda itu melangkah maju, tetapi sebelum ia bisa menyentuhnya, suara bergema di dalam kuil.
“Hanya mereka yang layak yang bisa mengambil relik ini.”
Tiba-tiba, lantai di sekitar mereka bergetar. Dari bayangan di sudut ruangan, sosok berjubah hitam muncul.
“Selamat datang, Pewaris Cahaya.”
Mereka bertiga langsung bersiap bertarung.
Rael mencabut pedangnya. “Siapa kau?”
Sosok itu tertawa kecil. “Namaku tidak penting. Aku hanya seorang utusan dari tuanku… Valtor.”
Lyara mengangkat tangannya, bersiap melancarkan sihir, tetapi pria itu mengangkat satu jari dan tiba-tiba, bayangan di sekeliling mereka mulai bergerak.
Dari kegelapan, makhluk-makhluk hitam bermata merah muncul—pasukan Shadow Stalkers.
Pemuda itu menelan ludah. Mereka pernah melawan makhluk ini sebelumnya, tetapi kali ini jumlahnya jauh lebih banyak.
“Ambil Kristal itu!” seru Rael.
Lyara segera berlari menuju altar, sementara pemuda itu dan Rael menghadang pasukan kegelapan.
Rael menebas satu makhluk dengan pedangnya, tetapi dua lainnya langsung melompat ke arahnya. Pemuda itu mengangkat tangannya dan mengeluarkan cahaya putih, membuat beberapa makhluk itu mundur.
Namun, pria berjubah hitam itu hanya tersenyum. “Kekuatanmu memang luar biasa… tapi belum cukup untuk mengalahkan tuanku.”
Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya, dan bayangan menyelimuti pemuda itu, membuatnya sulit bergerak.
“Tidak!” Lyara berteriak, tetapi ia tetap fokus pada tugasnya.
Dengan sus.*
Bab 8: Pengorbanan Terakhir
Langkah yang Menentukan
Malam itu, langit di atas Kota Eldoria tampak lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang hampir tidak tampak, seolah menanggalkan sinarnya demi menyaksikan pertempuran yang akan datang. Keheningan yang menggelayuti kota menambah ketegangan di hati mereka yang masih bertahan. Gerbang utama yang dulunya kokoh kini terbuka, seperti sebuah luka besar yang mempersilakan musuh untuk masuk.
Di atas bukit tempat mereka berdiri, pemuda itu memandang gerbang Eldoria yang hancur. Gerakannya terhenti sejenak saat angin malam mengusik rambutnya. Sesuatu yang tak terhindarkan tengah menunggu mereka di dalam kota. Setiap langkah menuju pusat Eldoria membawa mereka lebih dekat pada pertempuran terakhir melawan Valtor.
Rael berdiri di sampingnya, memeriksa pedangnya yang sudah terkoyak. “Kita tidak punya banyak waktu.”
“Benar,” jawab pemuda itu dengan suara tegas. “Valtor sudah semakin dekat. Ia akan menyerang kota ini habis-habisan.”
Lyara mengangkat kepala, menatap pemuda itu dengan tatapan penuh keyakinan. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus mengakhiri semuanya malam ini.”
Mereka bertiga berjalan perlahan menuju pusat kota, tempat di mana Valtor sedang menunggu. Langkah mereka terhenti di depan Menara Cahaya, sebuah bangunan tinggi yang dahulu menjadi simbol harapan dan kekuatan Eldoria. Namun kini, menara itu tampak sepi, hampa, seolah-olah tak ada lagi cahaya yang menyinari dunia.
“Di sanalah dia,” Lyara berkata, matanya menyipit.
Valtor berdiri di puncak menara, dikelilingi oleh bayangan hitam yang terus berputar di sekelilingnya. Matanya bersinar merah, seperti dua api yang siap menghancurkan segalanya. Dari kejauhan, mereka bisa merasakan kekuatan gelap yang dipancarkan oleh Raja Kegelapan itu.
Pemuda itu menggenggam pedangnya lebih erat. “Aku akan menghadapinya langsung.”
Rael menatapnya dengan cemas. “Kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?”
Pemuda itu mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi ini satu-satunya cara kita bisa mengalahkan Valtor.”
Konfrontasi di Menara Cahaya
Dengan langkah mantap, mereka memasuki menara, berjalan melalui lorong-lorong panjang yang sudah lama tidak terjamah. Udara di dalam menara terasa berat dan dingin. Keheningan yang mendalam seolah menyelimuti setiap sudut, seperti menahan napas menunggu keputusan yang akan diambil.
Ketika mereka sampai di ruang utama menara, Valtor sudah menunggu. Di sekelilingnya, bayangan hitam terus berputar, menggumpal, seolah menunggu perintah untuk menyerang.
“Pewaris Cahaya,” suara Valtor bergema di ruang besar, “Kau pikir kalian bisa menghentikanku? Dunia ini sudah dalam genggamanku.”
Pemuda itu maju selangkah, matanya penuh dengan tekad. “Tidak akan ada satu pun kegelapan yang bisa menguasai dunia ini. Aku akan menghentikanmu, Valtor.”
Valtor tertawa, suaranya terdengar seperti deru angin yang menusuk tulang. “Kau terlalu naif. Kau pikir dengan kekuatan kecil itu, kau bisa melawan aku? Aku sudah menguasai lebih banyak kekuatan dari yang bisa kau bayangkan.”
Pemuda itu menatap Valtor dengan penuh keberanian. “Aku tak akan membiarkanmu menghancurkan semuanya. Aku akan bertarung sampai akhir.”
Lyara dan Rael berdiri di sisi pemuda itu, siap membantu, namun mereka tahu bahwa pertempuran ini tidak akan mudah. Valtor bukan hanya seorang penyihir gelap biasa; ia adalah Raja Kegelapan, yang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia dengan kehendaknya.
Dengan gerakan cepat, Valtor mengangkat tangannya, dan bayangan hitam mengalir keluar dari tubuhnya, menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Pemuda itu bergerak cepat, menghindar dari serangan pertama yang hampir menyentuhnya. Namun, lebih banyak bayangan datang, mengepung mereka dari segala arah.
Lyara mengangkat tangannya, dan dinding cahaya terbentuk di sekitar mereka, memblokir serangan bayangan itu. “Kita harus menghentikannya dari sumbernya!” teriak Lyara. “Jika kita bisa merusak inti kekuatannya, kita bisa mengalahkannya.”
Pemuda itu mengangguk. “Rael, ikut denganku. Lyara, tetap jaga kita!”
Rael tidak membuang waktu. Mereka mulai bergerak cepat menuju pusat kekuatan Valtor, mencoba menembus pertahanan bayangan yang semakin kuat. Setiap kali mereka mengayunkan senjata, bayangan itu kembali menyelubungi mereka, mencoba menghalangi langkah mereka.
“Jangan biarkan dia menguasai kita!” teriak Rael.
Akhirnya, setelah melalui perlawanan yang sengit, mereka berhasil mendekati Valtor. Pemuda itu merasakan kekuatan dalam dirinya meningkat seiring dengan semakin dekatnya mereka pada sumber kekuatan gelap yang memancar dari tubuh Raja Kegelapan itu.
Namun, begitu mereka berada di depan Valtor, pria itu tersenyum penuh kemenangan. “Kau benar-benar percaya bisa mengalahkanku dengan cara ini? Semua yang kau coba lakukan, tak akan berarti apa-apa.”
Pemuda itu menggenggam pedangnya erat-erat, melangkah maju. “Aku akan menghentikanmu, Valtor. Entah dengan cara apapun.”
Pengorbanan Terakhir
Dalam sekejap, bayangan hitam yang ada di sekeliling Valtor meng.*
Bab 9: Takdir yang Terpenuhi
Awal dari Keheningan Baru
Semenjak pertempuran terakhir di Menara Cahaya, Kota Eldoria telah berubah. Keadaan yang sebelumnya kacau, kini tampak mulai pulih, meskipun penuh dengan kesedihan yang mendalam. Pemuda itu berdiri di tengah reruntuhan, matanya tertuju pada langit yang mulai cerah setelah kegelapan yang begitu lama menyelimuti. Dunia yang telah diselamatkan kini sedang berusaha bangkit kembali, namun di dalam hatinya, ada kesedihan yang mendalam karena kehilangan Lyara.
Rael berdiri di sampingnya, wajahnya penuh keletihan, namun masih ada kilau harapan di matanya. “Kita berhasil, tetapi… harga yang harus dibayar terlalu mahal.”
Pemuda itu menatap tembok menara yang hancur. Di sana, tempat mereka terakhir bertarung, kini hanya tinggal puing-puing yang mengingatkan pada pengorbanan besar yang telah terjadi. “Lyara… Dia memberi segalanya untuk menghentikan Valtor. Tanpa dia, kita tak akan bisa bertahan.”
Rael menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. “Dia adalah pahlawan. Kita harus melanjutkan apa yang telah dia mulai.”
Pemuda itu mengangguk pelan, menyadari bahwa meskipun tubuh Lyara tak ada lagi di dunia ini, semangat dan pengorbanannya tetap hidup dalam mereka. Seiring dengan kedamaian yang mulai menyelimuti kota, mereka tahu bahwa masih ada satu hal yang perlu mereka lakukan—mengembalikan keseimbangan dunia yang telah terbalik.
Kehidupan Baru di Eldoria
Pagi itu, Eldoria bangkit dengan penuh harapan baru. Kota yang telah rusak oleh peperangan mulai dibangun kembali oleh penduduknya. Mereka yang selamat dari serangan Valtor berbondong-bondong untuk membersihkan puing-puing dan memperbaiki rumah mereka. Setiap orang di kota itu memiliki tekad yang sama: membangun kembali rumah mereka, membangun dunia yang lebih baik, di tengah-tengah kehilangan dan kesedihan.
Pemuda itu berdiri di sebuah bukit kecil yang menghadap ke Eldoria, memandang aktivitas yang terjadi di bawah sana. Ada senyum tipis di wajahnya. Meskipun hatinya masih dipenuhi rasa duka, ia tahu bahwa dunia ini masih memiliki kesempatan.
Rael mendekat, memberikan sebuah surat yang telah ditulis dengan tangan Lyara sebelum kepergiannya. “Ini untukmu,” katanya pelan.
Pemuda itu membuka surat itu, membaca tulisan tangan Lyara yang penuh dengan harapan. “Kau harus terus maju. Dunia ini butuhmu. Jangan biarkan kegelapan datang lagi. Aku percaya padamu, dan aku tahu takdir kita sudah ditulis sejak lama.”
Surat itu menguatkan hatinya. Lyara telah tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Ia menyadari bahwa takdir yang lebih besar masih menunggu di depan.
Pengorbanan dan Cahaya yang Menerangi Dunia
Sebulan berlalu sejak pertempuran besar itu. Kota Eldoria mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, meskipun dunia secara fisik mulai pulih, pemuda itu merasa bahwa ia harus melakukan lebih dari sekadar membangun kembali kota ini. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah dituliskan dalam takdirnya.
Pada suatu malam yang sunyi, saat bintang-bintang kembali bersinar terang di langit, pemuda itu berjalan menuju Taman Cahaya, tempat di mana Kristal Auroria pertama kali ditemukan. Ia tahu bahwa tempat itu memiliki arti penting dalam perjalanan hidupnya. Kristal itu masih menyala, meskipun dengan cahaya yang lebih redup, seakan menyimpan kekuatan yang belum terungkap.
Ketika ia memegang Kristal Auroria, cahaya biru lembut itu bergetar, dan tiba-tiba suara halus terdengar dalam pikirannya. “Pewaris Cahaya… Takdirmu masih belum selesai.”
Pemuda itu terkejut, tetapi ia tahu bahwa suara itu adalah suara yang familiar. Itu adalah suara dari Kristal Auroria, kekuatan yang selama ini menemaninya dalam perjalanannya. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyanya.
“Untuk mengembalikan keseimbangan dunia, kau harus melakukan pengorbanan terakhir. Takdir ini telah ditulis sejak awal, dan kini saatnya kau mengambil langkah terakhir. Kegelapan yang sempat terbangkitkan oleh Valtor telah meninggalkan bekas yang mendalam, dan hanya dengan pengorbananmu, dunia ini akan benar-benar diselamatkan.”
Pemuda itu terdiam, meresapi kata-kata Kristal Auroria. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, bahwa ia masih harus menghadapi takdir yang lebih berat. Namun, apakah pengorbanan yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat diterimanya?
Rael yang telah mendekat, melihat pemuda itu termenung. “Apa yang kau dengar? Apa yang terjadi?”
Pemuda itu menoleh pada Rael, matanya yang penuh kebingungan dan keletihan. “Kristal ini… mengatakan bahwa takdirku belum selesai. Aku harus melakukan sesuatu, tetapi aku tidak tahu apa itu.”
Rael menatap pemuda itu dengan serius. “Apapun itu, aku akan mendampingimu. Jika ini adalah takdirmu, maka kita akan hadapi bersama.”
Namun, pemuda itu tahu bahwa pengorbanan yang dimaksud mungkin bukan sesuatu yang bisa dia lakukan bersama Rael. Ia menatap langit malam dengan tatapan penuh tekad. “Aku harus pergi. Aku harus melaksanakan takdirku sendiri.”
Perjalanan Menuju Takdir
Hari berikutnya, pemuda itu bersiap meninggalkan Eldoria untuk mencari jawaban yang lebih dalam tentang takdirnya. Kristal Auroria, yang kini bersinar lebih terang, memberinya petunjuk untuk menuju tempat yang sangat jauh, sebuah tempat yang hanya dapat diakses oleh mereka yang benar-benar memahami takdir mereka.
“Jaga Eldoria, Rael. Dan jaga semangat Lyara. Kita tidak boleh membiarkan kegelapan datang lagi.” Pemuda itu memberikan pelukan singkat pada sahabatnya, lalu melangkah menuju jalan yang akan membawanya ke takdir yang belum terungkap.
Rael melihat pemuda itu pergi dengan berat hati, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. “Selamat jalan, teman. Semoga cahaya selalu menyertaimu.”
Perjalanan itu panjang dan penuh tantangan. Pemuda itu melewati hutan yang lebat, gunung yang tinggi, dan sungai yang deras. Namun, dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, ia terus melangkah. Setiap langkah membawa ia lebih dekat pada tujuan akhirnya.
Akhirnya, setelah berhari-hari perjalanan, ia sampai di sebuah gua yang tersembunyi di dalam gunung. Di dalam gua itu, sebuah altar kuno berdiri, dihiasi dengan simbol-simbol cahaya dan kegelapan yang saling beradu. Di atas altar itu, sebuah batu besar terletak, dipenuhi dengan energi yang sangat kuat.
Pemuda itu mendekat dan meletakkan Kristal Auroria di atas altar. Ketika Kristal itu bersentuhan dengan batu besar itu, cahaya biru yang memancar dari kristal menyebar ke seluruh gua, mengaktifkan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya.
Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar terdengar dari dalam batu tersebut. “Pewaris Cahaya, kau telah sampai pada akhir perjalananmu. Sekarang, untuk memenuhi takdirmu, kau harus memberikan pengorbanan terakhir.”
Pemuda itu menatap batu itu dengan serius, dan tanpa ragu, ia mengangkat tangannya. “Aku siap.”
Sekejap, Kristal Auroria menyinari tubuh pemuda itu, dan tubuhnya perlahan-lahan menghilang, diselimuti cahaya yang begitu terang. Pengorbanan terakhir yang diminta adalah sebuah pengorbanan jiwa—sebuah tindakan yang akan mengakhiri keberadaan fisiknya di dunia ini, namun memberikan keseimbangan yang diperlukan untuk menjaga dunia dari kehancuran.
Saat tubuhnya menghilang, suara itu berkata lagi, “Dengan pengorbananmu, kegelapan akan terkunci untuk selamanya. Dunia ini kini dalam kedamaian yang abadi.”
Akhir yang Terpenuhi
Kota Eldoria yang kini telah pulih, tetap mengingat pengorbanan besar yang dilakukan oleh pemuda itu. Mereka membangun sebuah patung di pusat kota, sebagai penghormatan bagi sang Pewaris Cahaya yang telah memberikan segalanya untuk menyelamatkan dunia. Nama pemuda itu dikenal sepanjang sejarah sebagai simbol pengorbanan dan harapan yang abadi.
Takdir yang terpenuhi membawa kedamaian, dan meskipun ia telah menghilang, cahaya yang ia bawa terus hidup dalam hati setiap orang yang mengenalnya.***
——-the end——