BAB 1: Pertemuan Tak Terduga
Ariana duduk di bangku kayu yang usang, mengamati langit senja yang memerah di atas desa kecilnya, Damaras. Angin lembut bertiup, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore yang baru saja reda. Desa ini memang tenang, bahkan terlalu tenang untuk seorang gadis berusia delapan belas tahun seperti Ariana, yang merasa terkungkung di tempat yang tidak lebih dari sekadar titik kecil di dunia. Ia sering bermimpi tentang hal-hal besar, petualangan yang menantinya jauh di luar desa ini, namun takdir tampaknya tidak memihak padanya. Kehidupan sehari-hari berjalan tanpa kejutan, hingga hari itu, ketika takdir mempertemukannya dengan sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Hari itu dimulai seperti biasa, dengan Ariana yang membantu ibunya di toko milik keluarga mereka. Toko kecil itu menjual segala macam barang—dari pakaian hingga ramuan herbal, yang lebih banyak didatangkan dari kota besar di utara. Namun, Ariana tidak merasa tertarik pada barang-barang itu. Ia selalu merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar menunggunya. Ia pernah mendengar cerita dari para tetua desa tentang dunia yang penuh sihir dan keajaiban, namun semua itu terasa seperti dongeng belaka.
Namun, pada sore itu, semuanya berubah.
Tiba-tiba, suara pintu toko terbuka, dan seorang pemuda masuk. Ariana langsung mengangkat wajahnya. Pemuda itu tampaknya berusia sedikit lebih tua darinya, dengan mata yang tajam dan rambut hitam berkilau yang sedikit berantakan. Ia mengenakan mantel panjang berwarna gelap, yang terasa aneh jika dibandingkan dengan pakaian petani yang biasa dipakai penduduk desa.
“Permisi,” kata pemuda itu dengan suara rendah yang memikat, meskipun terkesan penuh dengan kesan misterius. “Aku mencari seseorang.”
Ariana terdiam sejenak. Biasanya, tidak ada yang datang ke desa ini untuk mencari seseorang. Semua orang di desa ini saling mengenal, dan kehidupan mereka berjalan dalam rutinitas yang teratur.
“Siapa yang Anda cari?” tanya Ariana, sedikit curiga, meskipun ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam diri pemuda itu.
Pemuda itu mengamati sekeliling toko, dan matanya berhenti pada sebuah rak yang memuat botol-botol ramuan herbal. Ia tersenyum tipis, kemudian menatap Ariana lagi.
“Aku mencari seorang gadis dengan kemampuan khusus,” ujarnya dengan perlahan. “Kemampuan yang mungkin tidak kau sadari, tapi dunia ini membutuhkanmu.”
Ariana terkesiap. Apa yang dia katakan? Kemampuan khusus? Ariana selalu merasa berbeda dari orang-orang lain, namun apakah itu berarti ia memiliki kekuatan luar biasa seperti yang dikatakan pemuda ini?
“Apa maksudmu?” tanya Ariana, meskipun hatinya sudah berdebar keras.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia melangkah lebih dekat, dan dengan hati-hati, ia meletakkan sebuah batu kecil di atas meja kayu yang terletak di dekat Ariana. Batu itu berkilau dengan cahaya aneh yang sepertinya berasal dari dalam batu itu sendiri.
“Ini adalah Batu Arkanis,” kata pemuda itu. “Batu ini hanya akan berkilau pada seseorang yang memiliki darah penyihir. Dan aku bisa merasakan bahwa kau adalah orang yang aku cari.”
Ariana menatap batu itu dengan rasa ingin tahu yang besar, meskipun masih merasa ragu. Ia bukanlah seorang penyihir—setidaknya, selama ini ia tidak pernah merasa seperti itu. Namun, perasaan aneh yang menyelubungi dirinya sejak kecil tiba-tiba muncul kembali. Sesuatu dalam dirinya terasa terhubung dengan batu itu.
“Saya tidak mengerti. Saya hanya gadis biasa dari desa ini. Apa yang Anda bicarakan?” suara Ariana bergetar sedikit, kebingungannya mulai berubah menjadi kecemasan.
Pemuda itu memandangnya dengan intens, seolah mencoba menilai apakah Ariana benar-benar tidak tahu. Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang dan akhirnya berbicara lebih serius.
“Ariana, aku tahu ini sangat sulit dipercaya,” kata pemuda itu, sambil menatap tajam ke matanya. “Tapi kau harus tahu, dunia ini jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang kau bayangkan. Ada sebuah kekuatan besar yang mengancam semua orang. Kekuatan itu sudah bangkit, dan kau, lebih dari siapapun, bisa menghentikannya. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kau menerima takdirmu sebagai penyihir.”
Ariana tercengang. Apa yang dia katakan? Penyihir? Dunia ini penuh dengan sihir? Tiba-tiba dunia yang ia anggap biasa ini terasa jauh lebih kompleks dan mengerikan.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Ariana dengan suara yang hampir tak terdengar. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia berubah dalam hitungan detik.
“Datang bersamaku,” jawab pemuda itu dengan tegas. “Ada banyak hal yang perlu kau pelajari. Namun, lebih dari itu, kau harus memahami bahwa takdirmu telah ditentukan sejak lama. Tidak ada jalan mundur. Kekuatannya sudah ada dalam dirimu, bahkan jika kau belum sepenuhnya menyadarinya.”
Pemuda itu menjelaskan bahwa nama dirinya adalah Zyan, dan dia berasal dari sebuah dunia yang jauh, sebuah dunia yang terhubung dengan sihir dan kekuatan luar biasa. Dunia yang Ariana tidak pernah tahu, tetapi yang kini menjadi bagian dari takdirnya.
Hatinya berdebar kencang, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan panggilan ini. Sesuatu di dalam dirinya terasa terhubung dengan kata-kata Zyan. Ia tahu bahwa ini bukan kebetulan, dan bahwa dunia yang baru ini—dunia sihir—akan membawanya pada perjalanan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dan begitu, takdir yang tersembunyi dalam diri Ariana mulai terungkap. Perjalanan panjang yang penuh dengan misteri, kekuatan, dan bahaya baru saja dimulai.*
BAB 2: Dunia yang Terungkap
Ariana tidak bisa tidur malam itu. Ia terjaga sepanjang malam, memikirkan kata-kata Zyan yang terus bergema di dalam kepalanya. Dunia sihir? Takdirnya sebagai penyihir? Semuanya terasa seperti mimpi yang tak mungkin terjadi. Ia bahkan hampir bisa merasakan jantungnya yang berdebar kencang setiap kali ia mencoba membayangkan kehidupan baru yang telah ditawarkan kepadanya. Tidak ada jalan mundur, kata Zyan. Dunia yang baru itu akan membawa Ariana menuju takdir yang tak terelakkan, sebuah takdir yang jauh lebih besar dari kehidupan sederhana yang selama ini ia jalani.
Pagi berikutnya, Ariana menemukan dirinya berdiri di ambang pintu rumahnya, menatap jalan setapak yang mengarah ke hutan yang membatasi desa mereka. Hatinya berdebar-debar. Zyan telah mengatakan bahwa ia harus pergi, menjauh dari desa dan menuju sebuah tempat yang disebut Sanctum, sebuah benteng yang tersembunyi di dalam hutan yang katanya merupakan pusat dari dunia sihir yang selama ini tersembunyi dari pandangan manusia biasa.
“Ariana,” suara Zyan terdengar lembut dari belakangnya. “Sudah siap untuk melihat dunia yang sebenarnya?”
Ariana berbalik. Zyan berdiri di sana, mengenakan mantel hitamnya yang tebal, dengan ekspresi serius di wajahnya. Meskipun ia tampak tenang, ada kesan kuat bahwa perjalanan ini bukanlah hal yang sederhana. Dunia yang akan ia hadapi pasti penuh dengan bahaya, dan Zyan tidak ingin memberatkan beban itu kepada Ariana, meskipun ia tahu gadis itu harus tahu kebenarannya.
“Apakah saya siap?” Ariana bertanya, suaranya penuh keraguan. “Saya tidak tahu. Semua ini terlalu cepat. Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”
Zyan mengangguk, lalu melangkah mendekat, seolah ingin memberi penjelasan yang lebih mendalam. “Tidak ada yang benar-benar siap untuk takdir mereka. Tetapi, kau harus percaya bahwa ini adalah jalur yang harus kau tempuh. Dunia yang kau kenal hanyalah lapisan permukaan dari kenyataan yang jauh lebih besar dan lebih gelap. Kau dilahirkan untuk menjadi bagian dari pertarungan yang lebih besar, dan mungkin kau tidak tahu sekarang, tapi suatu hari kau akan mengerti.”
Ariana menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Jadi, ke Sanctum itu… untuk apa?”
Zyan tersenyum sedikit, meskipun senyumnya penuh dengan rahasia. “Sanctum adalah tempat di mana para penyihir dilatih. Tempat di mana kekuatan kita dapat dibangkitkan dan diperkuat. Di sana, kau akan menemukan jawaban tentang dirimu sendiri, tentang siapa dirimu yang sebenarnya, dan tentang kenapa dunia ini membutuhkanmu.”
Tanpa banyak kata lagi, Zyan melangkah maju, dan Ariana tanpa sadar mengikutinya. Jalan menuju hutan terasa lebih gelap dari biasanya. Pohon-pohon yang tumbuh rapat di sepanjang jalan itu menghalangi sinar matahari, menciptakan suasana yang penuh misteri dan ketegangan. Ariana merasa ada sesuatu yang berbeda di udara, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah kawasan yang lebih terbuka, dan di sana Ariana melihat sebuah gerbang besar, tinggi menjulang, dengan ukiran-ukiran rumit yang tampaknya menyimpan banyak kisah kuno. Gerbang itu mengarah ke sebuah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Dari kejauhan, Ariana bisa melihat sebuah kastil besar berdiri megah di tengah lembah, seperti sebuah citra yang terwujud dari cerita-cerita dongeng yang pernah ia dengar sewaktu kecil.
“Ini Sanctum,” kata Zyan, seolah menanggapi pikiran Ariana. “Tempat yang penuh dengan kekuatan dan rahasia.”
Ariana terdiam, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kastil itu. Begitu banyak pertanyaan yang melintas dalam pikirannya, namun hanya satu yang bisa ia ucapkan: “Apakah ini semua nyata?”
Zyan menatapnya dengan lembut, seakan merasakan kebingungannya. “Semua ini nyata, Ariana. Dunia ini lebih luas dari yang kau bayangkan, dan kekuatan sihir ada di setiap sudutnya. Ini bukan sekadar mitos, dan kau tidak sendirian. Ada banyak penyihir yang telah bersembunyi di dunia ini, menunggu saatnya untuk bangkit.”
Mereka melangkah melewati gerbang, dan Ariana merasakan hawa dingin yang aneh, seolah dunia ini memang berbeda. Semakin dekat mereka dengan kastil, semakin kuat pula perasaan bahwa ia sedang memasuki sesuatu yang sangat besar, yang akan mengubah hidupnya selamanya. Begitu mereka sampai di depan pintu kastil, Zyan berhenti sejenak.
“Ariana,” katanya, menatapnya dengan tatapan serius. “Apa pun yang terjadi di dalam sana, ingatlah satu hal. Kekuatanmu sudah ada dalam dirimu. Tetapi, untuk mengendalikannya, kau harus siap untuk melepaskan segala ketakutan dan keraguan yang ada. Sihir bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang pemahaman. Kau harus mengenal dirimu sendiri sebelum kau bisa menguasai sihir.”
Ariana mengangguk, meskipun dalam hatinya ia merasa bingung. Ia masih tidak mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud Zyan. Namun, di kedalaman hatinya, ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Ia harus menjalani perjalanan ini, mengungkap rahasia tentang dirinya, dan memahami takdir yang telah menunggunya selama ini.
Pintu kastil terbuka dengan sendirinya ketika Zyan mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Ariana masuk. Begitu melangkah masuk, Ariana merasa udara di dalam kastil itu berbeda—lebih berat, lebih tegang. Dinding kastil dipenuhi dengan gambar-gambar tua yang tampaknya bercerita tentang sejarah yang terlupakan, dan di ujung lorong yang gelap, ada sebuah ruangan besar dengan sebuah podium di tengahnya.
“Ariana,” suara Zyan memecah keheningan. “Ini tempat di mana kau akan memulai perjalananmu. Di sini, kau akan belajar tentang dunia sihir, dan bagaimana mengendalikan kekuatan yang ada dalam dirimu.”
Ariana menatap podium itu dengan mata terbelalak. Dunia yang selama ini ia anggap hanya ada dalam cerita-cerita kini terbentang di hadapannya. Dunia sihir yang penuh dengan misteri, kekuatan, dan takdir yang harus ia jalani. Dalam hati, ia merasa siap, meskipun ketakutan masih menyelimuti dirinya.
Namun, satu hal yang ia tahu pasti: Dunia yang ia kenal selama ini hanya sebagian kecil dari kehidupan yang sebenarnya. Dunia yang terungkap ini akan membawa Ariana pada sebuah perjalanan yang tak terduga, yang penuh dengan keajaiban dan bahaya yang siap menantinya.*
BAB 3: Pelatihan dan Pengungkapan Sihir
Kastil Sanctum, tempat yang semula tampak begitu megah dan mengagumkan, kini terasa jauh lebih asing dan misterius bagi Ariana. Setiap sudutnya penuh dengan keheningan yang menyelimuti. Dinding-dinding berhiaskan lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan para penyihir besar dan pertempuran sihir yang menakutkan. Semua itu memberikan gambaran bahwa tempat ini bukan sekadar kastil biasa. Ini adalah pusat kekuatan, tempat di mana banyak rahasia dunia sihir disimpan rapat.
Setelah Zyan membawa Ariana melewati lorong panjang yang dipenuhi dengan berbagai simbol-simbol sihir, mereka akhirnya tiba di sebuah ruang besar. Ruangan itu tampak seperti aula pelatihan, dengan beberapa meja besar yang dipenuhi dengan buku-buku tebal dan instrumen sihir yang belum pernah dilihat oleh Ariana. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja berbentuk bulat dengan ukiran-ukiran mistis di permukaannya. Ruangan ini benar-benar terasa seperti tempat di mana kekuatan yang luar biasa dapat dibangkitkan.
“Ariana,” kata Zyan dengan suara yang lebih dalam dan serius dari sebelumnya. “Ini adalah tempat di mana kamu akan memulai pelatihanmu. Di sini, kita akan mengungkap potensi sejati yang ada dalam dirimu.”
Ariana menatap Zyan dengan ragu, masih berusaha mencerna kenyataan bahwa ia berada di tengah-tengah dunia yang begitu asing ini. “Pelatihan? Saya tidak tahu apa-apa tentang sihir. Saya bahkan tidak bisa merasakan apapun,” jawabnya, sedikit tertekan.
Zyan tersenyum dengan lembut. “Tidak ada yang langsung bisa menguasai sihir dalam sekejap. Itu adalah proses yang panjang. Tapi kau sudah memiliki potensi yang besar, Ariana. Sihir bukan hanya tentang kekuatan. Itu juga tentang memahami energi alam, mengendalikan emosi, dan mengetahui hubunganmu dengan dunia sekitar.”
Ariana mengangguk pelan. Kata-kata Zyan terasa menenangkan, namun di sisi lain, ia juga merasa cemas. Apa yang dimaksud dengan ‘potensi besar’? Apa yang membuatnya berbeda dari orang lain? Satu-satunya hal yang ia ketahui tentang dirinya adalah bahwa ia seorang gadis biasa yang hidup di desa yang jauh dari dunia luar. Dunia sihir ini terlalu jauh dan membingungkan.
Di depan mereka, seorang wanita muda dengan rambut panjang berwarna perak dan mata biru terang muncul. Wanita itu mengenakan jubah putih yang elegan, dengan simbol-simbol sihir terukir pada bagian lengannya. Senyumannya yang lembut membuat Ariana merasa sedikit lebih tenang, meskipun ia tetap merasa canggung.
“Selamat datang, Ariana,” wanita itu menyapa dengan suara lembut namun tegas. “Saya Althea, salah satu pengajar di Sanctum. Zyan sudah memberi tahu saya tentang kedatanganmu. Sekarang, waktunya untuk memulai pelatihan.”
Ariana mengangguk perlahan, berusaha menunjukkan ketenangan meski dalam hatinya ia merasa gugup. Althea melangkah ke meja bulat dan mengangkat sebuah kristal kecil yang berkilauan.
“Kami akan mulai dengan dasar-dasar sihir elemental. Semua penyihir harus menguasai elemen dasar terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh,” kata Althea sambil memegang kristal tersebut. “Di tanganmu, Ariana, terletak kekuatan yang belum kau sadari. Sihirmu akan terbangun dari dalam dirimu, tetapi itu harus dimulai dengan pemahaman tentang dunia dan energi yang mengelilinginya.”
“Elemen dasar?” Ariana mengulang, bingung. “Apa maksudnya?”
“Elemen dasar terdiri dari empat kekuatan utama: api, air, tanah, dan udara. Setiap penyihir memiliki keterikatan dengan satu atau lebih elemen ini, dan tugasmu adalah memahami bagaimana mengendalikan energi ini,” jawab Althea, lalu ia menggerakkan tangannya, dan di udara muncul cahaya berwarna biru yang melingkar di sekitar jari-jarinya. “Misalnya, aku berhubungan erat dengan elemen air. Setiap elemen memiliki karakteristiknya masing-masing, dan kita harus belajar untuk menyeimbangkannya.”
Althea kemudian meletakkan kristal kecil itu di atas meja bulat, dan tiba-tiba cahaya biru itu berubah menjadi gumpalan kabut yang perlahan mengisi ruangan, menyelimuti Ariana dengan hawa sejuk yang menenangkan. Ariana terkesiap, matanya terbelalak saat menyaksikan fenomena ini. Kabut itu bergerak dengan bebas, membentuk berbagai bentuk seperti gelombang yang datang dan pergi, memantulkan sinar cahaya dari jendela.
“Setiap elemen bisa dimanipulasi, tetapi kita harus memahami ‘kehadiran’ energi tersebut di sekitar kita. Cobalah merasakannya, Ariana,” kata Althea lembut, mengarahkannya untuk fokus pada kabut di sekitarnya.
Ariana menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha untuk merasa lebih tenang, namun perasaan cemas dan ragu tetap menguasai dirinya. “Bagaimana saya bisa merasakannya? Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan,” gumamnya pelan.
Zyan yang berdiri di sampingnya memberi dorongan lembut. “Percayalah pada diri sendiri, Ariana. Cobalah untuk melepaskan keraguanmu. Sihir tidak bisa dikendalikan jika kau terus merasa takut.”
Ariana membuka matanya dan menatap kabut yang melayang di udara. Dengan sedikit keberanian, ia mengulurkan tangannya, mencoba merasakan sesuatu di dalam dirinya. Beberapa detik pertama, tidak ada yang terjadi. Namun, saat ia benar-benar fokus, ia merasakan sebuah getaran kecil, seperti aliran energi yang sangat halus di dalam tubuhnya. Itu bukan sesuatu yang bisa ia lihat atau sentuh, tetapi lebih seperti getaran yang mengalir dengan lembut melalui dirinya.
Tiba-tiba, kristal di atas meja berkilauan, dan Ariana merasa sebuah kekuatan mengalir dari dalam dirinya ke arah kabut tersebut. Dengan sedikit kejutan, kabut itu mulai bergerak dengan arah yang ia inginkan. Ia menarik tangannya, dan kabut mengikuti gerakan tersebut, memisah menjadi dua bagian yang bergerak perlahan.
“Hebat,” kata Althea dengan kagum. “Kamu melakukannya, Ariana. Kamu berhasil memanipulasi elemen pertama. Sekarang, kita akan melanjutkan ke elemen lainnya.”
Ariana merasa sangat terkejut, bahkan hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan—perasaan bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang lebih besar daripada yang ia bayangkan. Sihir ini nyata, dan ia bisa merasakannya.
Setelah beberapa waktu, Althea mengajarkan Ariana cara mengendalikan elemen lainnya. Ariana belajar untuk mengendalikan tanah dengan tangan yang menekan permukaan meja, menciptakan retakan kecil. Ia juga mencoba memanipulasi udara, menciptakan hembusan angin yang ringan di sekitar ruangan. Semua ini terasa luar biasa, tetapi juga menantang. Setiap elemen memiliki cara yang berbeda untuk dikendalikan, dan itu memerlukan latihan serta konsentrasi yang tinggi.
Namun, seiring berjalannya waktu, Ariana mulai merasakan bahwa pelatihan ini lebih dari sekadar penguasaan elemen. Ini adalah pelatihan untuk mengenali dirinya sendiri, untuk mengungkap potensi dalam dirinya yang belum ia ketahui sebelumnya. Sihir itu bukan hanya tentang kekuatan fisik atau kemampuan untuk mengubah dunia di sekitarnya, tetapi juga tentang pemahaman mendalam tentang alam semesta dan hubungan antara setiap makhluk hidup dengan energi yang mengelilinginya.
Malam itu, setelah pelatihan yang panjang, Ariana berdiri di jendela kamar tidurnya, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit yang gelap. Ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ada banyak hal yang harus dipelajari dan dijelajahi. Namun, satu hal yang pasti—dunia yang telah terungkap di hadapannya bukanlah dunia yang akan ia lupakan begitu saja. Ini adalah dunia yang penuh dengan kekuatan, misteri, dan takdir yang harus ia hadapi.
Ariana menarik napas panjang, menatap langit malam yang tak terbatas. Dalam dirinya, ia mulai merasa bahwa sihir yang telah bangkit dalam dirinya adalah jalan untuk menemukan takdir yang telah lama tersembunyi.*
BAB 4: Perjalanan Menuju Kebenaran
Pagi itu, udara di sekitar Sanctum terasa segar, meskipun angin yang bertiup dari luar menandakan bahwa hujan mungkin akan segera datang. Ariana berdiri di teras kastil, memandangi panorama hutan lebat yang membentang luas di depannya. Di ujung hutan, terdapat puncak gunung yang menjulang tinggi, yang menurut cerita para penyihir adalah tempat suci yang menyimpan banyak rahasia. Tempat di mana sihir kuno berasal.
“Apakah kamu siap?” suara Zyan tiba-tiba terdengar di belakangnya, memecah lamunannya.
Ariana berbalik, melihat Zyan berdiri dengan tatapan serius namun penuh keyakinan. Di tangannya, ia memegang sebuah peta tua yang tampaknya menunjukkan rute menuju gunung yang ia lihat dari kejauhan. “Perjalanan ini bukan hanya tentang menguasai sihir,” lanjut Zyan, “ini juga tentang mencari kebenaran tentang siapa dirimu dan mengapa kekuatanmu begitu istimewa.”
Ariana mengangguk pelan, meski ada perasaan gelisah yang terus mengganggunya. Ia masih belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Bagaimana mungkin seorang gadis biasa yang hanya tahu tentang kehidupan di desa, tiba-tiba dipilih oleh dunia sihir yang begitu rumit ini?
“Kenapa kita harus pergi ke gunung itu?” tanya Ariana, berusaha mencari penjelasan yang lebih jelas.
“Karena di sana terletak kunci untuk mengungkap sejarahmu, Ariana. Sejarah yang tersembunyi, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa kekuatanmu begitu besar. Namun, tidak semua orang yang menuju gunung itu berhasil kembali,” jawab Zyan, matanya memandang jauh ke arah puncak gunung. “Dan kamu harus siap dengan apa pun yang akan kita temui di sana.”
Ariana merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di udara. Apa yang dimaksud Zyan dengan ‘tidak semua orang berhasil kembali’? Perasaan cemas mulai menyelimuti pikirannya, namun ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang terus menghantui dirinya.
“Apakah kamu sudah siap?” Zyan bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut, seolah memberi ruang bagi Ariana untuk berpikir.
Ariana menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. “Ya, saya siap. Ayo kita pergi.”
Dengan itu, mereka memulai perjalanan mereka menuju gunung yang jauh di horizon. Mereka berjalan melewati jalan setapak yang dilapisi daun-daun kering, dan hutan yang semakin rapat seiring mereka melangkah lebih jauh. Dalam perjalanan, Zyan terus menjelaskan tentang berbagai elemen dan kemampuan sihir yang harus dikuasai oleh seorang penyihir. Ariana mulai merasakan bahwa dunia ini lebih besar dari yang ia bayangkan. Ada banyak hal yang masih harus dipelajari.
Namun, perjalanan mereka bukanlah perjalanan yang mudah. Semakin jauh mereka melangkah, semakin keras angin bertiup dan langit mulai menunjukkan tanda-tanda hujan. Awan gelap menggantung di atas mereka, dan udara terasa semakin berat. Ariana bisa merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitar mereka, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari dalam hutan.
“Zyan, apakah ini biasa?” tanya Ariana dengan suara cemas.
Zyan menghentikan langkahnya sejenak, menatap hutan dengan waspada. “Tidak,” jawabnya singkat. “Ada sesuatu yang salah. Kita harus hati-hati.”
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul bayangan yang melintas dengan cepat, membuat keduanya terkejut. Zyan segera menarik Ariana ke belakangnya, siap menghadapi apapun yang datang. Dalam sekejap, bayangan itu muncul kembali, kali ini lebih jelas. Sebuah makhluk berbulu hitam dengan mata merah menyala melompat keluar dari hutan. Makhluk itu tampaknya berusaha mendekat, namun Zyan melambaikan tangannya, menciptakan perisai pelindung yang memancar dengan cahaya biru.
“Jaga jarak, Ariana!” teriak Zyan, suaranya tegas.
Ariana mengangguk, mundur selangkah, dan mencoba memusatkan pikirannya. Dalam pelatihan yang telah ia jalani, ia belum pernah bertemu dengan makhluk seperti itu. Hatinya berdegup kencang, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ia ingat kata-kata Zyan: “Sihir bukan hanya tentang kekuatan. Itu juga tentang kontrol.”
Dengan gemetar, Ariana mengangkat tangannya, mencoba merasakan elemen di sekitarnya. Perlahan, angin mulai berputar di sekitar tubuhnya. Ia bisa merasakannya—ada energi yang mengalir, sesuatu yang dapat dikendalikan. Mengingat semua yang telah dia pelajari, Ariana fokus pada udara yang mengelilinginya. Dengan usaha keras, ia memanipulasi angin tersebut, menciptakan pusaran angin yang kuat untuk melawan makhluk itu.
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman, berusaha melawan angin yang menghalangi pergerakannya. Namun, Ariana tidak menyerah. Ia menambahkan kekuatan pada pusaran angin, hingga akhirnya makhluk itu terlempar mundur dan menghilang kembali ke dalam hutan.
Zyan menoleh, matanya penuh kekaguman. “Bagus, Ariana. Kau berhasil mengendalikannya.”
Ariana terengah-engah, tubuhnya lelah setelah mengerahkan seluruh konsentrasi. Namun, ada kepuasan dalam dirinya. Ia mulai merasa bahwa, meskipun dirinya tidak sepenuhnya memahami sihir, ia mulai bisa mengendalikannya dengan baik.
Mereka melanjutkan perjalanan, dan meskipun ada rasa lelah, Ariana merasa lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang. Namun, perjalanan ini tidak hanya tentang bertahan hidup di alam liar dan menguasai sihir. Itu adalah perjalanan untuk menemukan dirinya, untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya dan mengapa ia dipilih untuk menempuh jalan ini.
Saat mereka semakin mendekati kaki gunung, Zyan berhenti sejenak dan menatap Ariana dengan serius. “Ariana, ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum kita melanjutkan. Apa yang kita cari di gunung ini bukan hanya kekuatan. Itu adalah kebenaran yang mungkin akan mengubah hidupmu selamanya.”
Ariana menatap Zyan, merasa ada beban besar di atas bahunya. “Kebenaran apa?” tanyanya dengan suara bergetar.
Zyan menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Kebenaran tentang takdirmu, Ariana. Kekuatanmu bukanlah kebetulan. Ada sejarah yang jauh lebih dalam, dan mungkin itu akan membawamu pada pilihan yang sulit.”
Dengan kata-kata itu, Zyan melangkah lebih jauh ke depan, menuju puncak gunung yang semakin dekat. Ariana mengikuti, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa bahwa kebenaran yang akan ditemukan di puncak itu akan membawa banyak perubahan dalam hidupnya, dan ia harus siap menghadapinya—apapun yang terjadi.
Di puncak itu, mereka akan menghadapi takdir yang telah lama tersembunyi. Takdir yang mungkin akan mengungkap lebih dari sekadar rahasia tentang sihir. Takdir yang akan mengubah dunia mereka selamanya.*
BAB 5: Takdir yang Terbuka
Ariana menatap puncak gunung yang semakin mendekat di depan matanya. Angin semakin kencang, berdesir di antara pepohonan yang semakin jarang. Selama perjalanan menuju gunung ini, banyak hal yang telah ia pelajari—tentang dirinya, tentang sihir, dan tentang dunia yang penuh misteri ini. Namun, semakin dekat ia dengan puncak, semakin besar rasa cemas yang menggelayuti hati. Apa yang akan ia temukan di sana? Apa yang akan diungkapkan tentang takdirnya?
Zyan berjalan di sampingnya, tetap tenang meskipun beban perjalanan semakin terasa. Sesekali ia menoleh ke Ariana, memberi isyarat agar mereka tetap waspada. “Kita akan segera sampai,” katanya, suaranya hampir tertutup oleh desiran angin. “Persiapkan dirimu. Apa yang kita temui di sini akan mengubah segalanya.”
Ariana mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Zyan tidak banyak bicara, dan itu membuatnya semakin penasaran. Apa sebenarnya yang tersembunyi di puncak gunung ini? Mengapa Zyan sangat yakin bahwa tempat ini menyimpan jawaban yang selama ini ia cari?
Tiba-tiba, mereka sampai di sebuah lembah kecil yang terletak di bawah puncak gunung. Sebuah pintu besar dari batu berdiri di depan mereka, seolah menantang untuk dibuka. Pintu itu terukir dengan simbol-simbol kuno yang tidak dikenali oleh Ariana, namun terasa asing dan penuh makna. Seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya, menunggu untuk dibuka.
“Ini adalah gerbang menuju tempat yang kita cari,” kata Zyan, suaranya serak, seakan ada beban besar di dalam kata-katanya. “Gerbang ini hanya akan terbuka bagi mereka yang benar-benar siap menerima takdir mereka.”
Ariana merasa hatinya berdetak lebih kencang. Ia sudah lama tahu bahwa hidupnya tidak biasa, tetapi takdir? Bagaimana bisa takdir terbuka begitu saja? Dan apa yang akan terjadi jika ia siap atau tidak siap?
Zyan memandangnya, seolah menunggu persetujuannya. “Kau harus melangkah terlebih dahulu. Tanpa keberanianmu, pintu ini tidak akan terbuka.”
Ariana merasakan ketegangan yang luar biasa di sekelilingnya. Ia ingin mundur, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk maju. Sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa inilah jalan yang harus ia pilih. Ini adalah saat yang telah lama ditunggu-tunggu, meskipun ia tidak tahu apa yang akan datang.
Dengan perasaan campur aduk, Ariana melangkah maju dan meletakkan tangan di pintu batu itu. Sesaat, tidak ada yang terjadi. Namun, begitu ia menyentuhnya, sebuah getaran halus terasa di ujung jarinya. Pintu itu berderak pelan, dan dalam hitungan detik, seluruh pintu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan ruang besar di dalam gunung. Di dalamnya, terhampar sebuah altar besar yang dikelilingi oleh batu-batu berkilau. Cahaya yang lembut memancar dari dalam, memberi kesan magis yang tak terlukiskan.
Zyan melangkah masuk, diikuti oleh Ariana yang masih terpesona. Di tengah altar, sebuah batu besar terletak, berwarna keemasan dan tampaknya menyimpan kekuatan yang sangat besar. Zyan berhenti sejenak dan menatap batu itu, ekspresinya serius. “Ini adalah pusat kekuatan yang telah lama hilang,” kata Zyan, dengan suara yang hampir bisu. “Ini adalah kunci untuk membuka seluruh sejarah sihir dan takdirmu, Ariana.”
Ariana mendekat dengan hati-hati, matanya terpaku pada batu tersebut. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, suara sedikit gemetar.
Zyan menoleh ke arahnya, matanya penuh kehangatan dan kekhawatiran. “Kau harus menyentuhnya. Hanya dengan begitu, takdirmu akan terbuka sepenuhnya. Namun ingat, takdir bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol. Terkadang, apa yang kita temukan di dalamnya bisa sangat menyakitkan.”
Ariana menarik napas dalam-dalam. Ia merasa tubuhnya tegang, seolah ada sesuatu yang besar sedang menunggu untuk terjadi. Apakah ia siap untuk mengetahui kebenaran yang tersembunyi selama ini? Apa yang akan terjadi jika ia tidak dapat menerima takdirnya?
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ariana mengulurkan tangannya dan menyentuh batu keemasan itu. Begitu jarinya menyentuh permukaan batu, sebuah kilatan cahaya yang sangat terang muncul, membutakan matanya untuk sejenak. Ariana terjatuh ke tanah, merasa tubuhnya melayang dalam ruang waktu yang aneh. Suara-suara bisikan yang tidak dapat ia mengerti bergema di telinganya. Sekilas, wajah-wajah yang tidak dikenalnya muncul dalam bayangan, seakan mengingatkannya pada sesuatu yang telah lama terlupakan.
Kemudian, suara yang berat dan dalam terdengar, menggema di seluruh ruangan. “Ariana,” suara itu memanggil namanya dengan tegas, penuh kekuatan. “Waktumu telah tiba. Kamu adalah pewaris takdir ini, penyihir yang akan membuka jalan baru bagi dunia yang terlupakan.”
Ariana merasa seolah-olah jiwanya terhubung dengan suara itu. Setiap kata yang terucap seakan menancap dalam pikirannya. Takdir yang dimaksud adalah tanggung jawab yang besar, namun juga penuh dengan potensi yang luar biasa. Ia adalah satu-satunya yang bisa menyatukan dunia sihir yang terpecah dan mengembalikan keseimbangan yang telah lama hilang.
Ariana terhuyung, berusaha bangkit dari lantai. Di sekelilingnya, cahaya semakin redup, dan pemandangan sekitar mulai kembali normal. Zyan segera menghampirinya, membantu ia berdiri. “Apa yang kau lihat?” tanya Zyan dengan cemas.
Ariana terdiam beberapa saat, mencoba mencerna semua yang baru saja ia alami. “Aku… aku melihat sesuatu yang besar. Sesuatu yang melibatkan banyak orang, banyak dunia, dan sihir yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.” Suaranya penuh kebingungan, namun ada keyakinan yang mulai tumbuh di dalam hatinya. “Aku… aku adalah pewarisnya. Aku harus mengembalikan keseimbangan dunia sihir yang terpecah.”
Zyan menatapnya, matanya penuh dengan rasa kagum. “Ya, kau benar. Takdirmu memang besar, Ariana. Sekarang, kau harus menerima tanggung jawab ini. Namun ingat, jalanmu tidak akan mudah. Banyak hal yang harus kau korbankan untuk mencapainya.”
Ariana menatap Zyan, hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, tetapi juga rasa takjub yang dalam. Takdir yang terbuka di depannya adalah sesuatu yang besar, dan ia harus siap untuk menjalani jalan yang penuh tantangan. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak akan mundur. Karena takdir ini adalah miliknya, dan ia akan berjuang untuk mencapainya, apapun yang terjadi.
“Ke mana kita harus pergi selanjutnya?” tanya Ariana, suara tegas dan penuh tekad.
Zyan tersenyum, meskipun di matanya terlihat kelelahan. “Sekarang, kita akan mengungkap lebih banyak tentang dunia ini. Takdirmu baru saja dimulai, Ariana. Dan kita akan menempuhnya bersama-sama.”*
BAB 6: Keputusan Akhir
Ariana berdiri di tepi jurang, angin yang menghembuskan kencang menerpa wajahnya, seakan menantang keputusannya. Pemandangan di depannya sangat kontras dengan hati yang bergelora di dalam dadanya. Di bawah sana, jurang yang dalam membentang, mengingatkan pada keputusan yang harus diambilnya—keputusan yang akan menentukan nasibnya dan nasib dunia sihir yang sedang berperang. Dunia yang seharusnya berada di dalam genggamannya, namun kini terasa jauh lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.
Zyan berdiri di sampingnya, tatapannya tajam menembus jauh ke dalam kegelapan. “Kau tahu apa yang harus dilakukan, Ariana,” kata Zyan dengan suara yang berat, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah pembebanan yang tidak bisa dipilih begitu saja.
Ariana menatap ke depan, merasakan getaran di sekelilingnya. Dunia yang selama ini ia kenal seakan bergeser, terpecah menjadi dua jalur yang berbeda, dan di situlah ia berdiri, terjebak di antara keduanya. Di satu sisi, ada tanggung jawab untuk menutup celah yang menghubungkan dimensi gelap yang telah mulai mempengaruhi dunia sihir. Di sisi lain, ada pilihan yang lebih personal—untuk memilih cinta yang telah tumbuh di antara dirinya dan Zyan, seseorang yang sudah menjadi bagian dari jiwanya dalam perjalanan ini.
Zyan tidak mengatakan apapun, tetapi Ariana tahu bahwa ia sedang menunggu jawabannya. Zyan sudah melakukan pengorbanan besar, bahkan lebih besar daripada yang ia tahu. Selama ini, Zyan telah mengarahkannya untuk membuka jalan menuju takdirnya, dan sekarang, ia berdiri di tempat yang sama sekali berbeda—di titik di mana pilihan itu bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang pengorbanan yang harus ia buat.
“Jika aku menutup celah itu, semuanya akan berakhir,” ujar Ariana, suaranya nyaris teredam oleh suara angin yang berputar. “Tapi jika aku melakukannya, aku akan kehilangan semuanya—termasuk dirimu, Zyan.”
Zyan menoleh dan menatapnya dalam-dalam. Tidak ada kebingungan atau keraguan di mata pria itu. Hanya ada keyakinan yang tegas. “Kau benar,” katanya dengan suara pelan. “Dunia sihir yang terpecah itu memang membutuhkanmu untuk membuat keputusan ini. Namun, bukan berarti kau harus melakukannya sendirian. Kami akan selalu ada bersamamu. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, bahkan jika kau memilih untuk mengorbankan segalanya.”
Ariana menggigit bibir bawahnya, matanya memejam sejenak. Hatiku terbelah, pikirnya. Tanggung jawab yang harus ia emban begitu besar, namun cinta yang tumbuh di antara mereka juga tidak bisa dianggap remeh. Di satu sisi, Zyan adalah seseorang yang ia percayai, seorang teman dan penguat yang selalu ada di sisi paling gelap hidupnya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan bahwa dunia sihir yang sudah lama terpecah harus diselamatkan. Takdir tidak bisa dibengkokkan hanya karena perasaan pribadi.
Ariana menghela napas panjang dan menatap Zyan. “Aku tidak bisa memilih, Zyan,” ucapnya dengan suara yang gemetar. “Tidak ada pilihan yang benar-benar memberi kebahagiaan.”
Zyan menyentuh bahunya dengan lembut, matanya penuh pengertian. “Kadang, kita tidak bisa memilih apa yang membuat kita bahagia, Ariana. Tapi kita bisa memilih apa yang akan kita perjuangkan. Apa yang akan kita pertahankan.”
Mata Ariana terbuka, seperti ada secercah pencerahan yang menyinari hati dan pikirannya. Ia telah berpikir terlalu lama tentang dirinya sendiri, tentang perasaannya yang menyakitkan dan ketakutannya akan kehilangan. Namun, Zyan benar. Ia tidak bisa hanya mementingkan kebahagiaannya sendiri. Terkadang, kebahagiaan datang melalui pengorbanan, melalui jalan yang penuh tantangan dan keputusan yang sulit.
“Saya harus melakukannya,” katanya, suara pelan namun penuh keyakinan.
Zyan mengangguk, ekspresinya tidak menunjukkan penolakan. “Kau tahu apa yang harus dilakukan,” jawabnya dengan lembut.
Ariana kembali menatap ke depan, ke arah jurang yang dalam dan gelap. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya. Jika ia menutup celah itu, ia akan mengorbankan hubungan yang telah tumbuh antara dirinya dan Zyan. Mereka akan terpisah, dan takdir mereka tidak akan pernah lagi berjalin.
Namun, dunia sihir yang terpecah harus diselamatkan. Ariana tahu bahwa ia adalah satu-satunya yang bisa mengembalikan keseimbangan itu. Tidak ada waktu lagi untuk ragu. Dunia yang mereka tinggali—semua orang yang mereka cintai—akan menderita jika celah itu tetap terbuka. Takdir bukanlah sesuatu yang bisa ditunda.
Dengan langkah mantap, Ariana melangkah maju, menyentuh simbol yang terukir pada batu besar di depan mereka. Batu itu mulai bergetar, dan langit di atas mereka berubah menjadi gelap, dipenuhi dengan awan hitam yang menggulung. Cahayanya mulai meredup, dan suara gemuruh terdengar jauh di bawah tanah. Sebuah portal terbuka di hadapannya, menampilkan pemandangan yang penuh dengan gelombang energi gelap yang berputar.
Ariana menoleh sekali lagi ke Zyan, yang berdiri di belakangnya, tatapannya penuh dengan rasa sakit dan harapan. “Ini adalah jalan yang harus aku pilih,” ucapnya dengan mantap.
Zyan hanya tersenyum, meskipun di matanya ada kerisauan yang mendalam. “Aku akan selalu mendukungmu, Ariana. Apa pun yang terjadi.”
Dengan satu langkah terakhir, Ariana melangkah ke dalam portal itu, memasuki dunia yang gelap dan penuh dengan sihir yang tak terkendali. Di dalam dirinya, ia merasa sebuah kekuatan yang besar bangkit, siap untuk menghadapi apapun yang akan datang. Keputusannya telah dibuat. Takdirnya kini terbuka, dan ia siap untuk menghadapinya—meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri demi keselamatan dunia sihir dan orang-orang yang ia cintai.
“Takdirku tidak akan pernah sama,” ucapnya pelan, suaranya dipenuhi dengan tekad dan keberanian yang baru ditemukan. “Tapi aku akan memilih jalan ini, karena ini adalah satu-satunya cara.”*
BAB 7: Keberanian dan Cinta
Langit gelap masih menggantung rendah, menciptakan bayangan gelap yang menelan seluruh desa. Hujan telah reda, namun tanah yang basah dan udara dingin memberikan kesan kesunyian yang mencekam. Ariana berdiri di tengah lapangan yang luas, di tempat yang dulu ia sebut rumah. Di depan matanya, sebuah benteng besar berdiri kokoh, dikelilingi oleh pasukan musuh yang mengancam kedamaian dunia yang telah lama mereka perjuangkan. Namun, apa yang lebih membuat hatinya bergetar adalah kenyataan bahwa Zyan berada di sisi musuh, terperangkap dalam perangkap yang telah disiapkan untuknya.
Di dalam hatinya, Ariana merasa seolah tak ada jalan keluar lagi. Semua yang ia lakukan, semua pengorbanan yang ia buat, terasa sia-sia jika Zyan tidak ada di sisinya. Cinta yang tumbuh di antara mereka bukan hanya sebuah perasaan, tetapi sebuah janji—sebuah ikatan yang tak bisa diputuskan oleh siapapun, termasuk takdir yang seolah menguji mereka hingga batas akhir. Namun, di tengah badai peperangan ini, Ariana tahu satu hal yang pasti—ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Ariana menatap ke seberang medan perang, tempat pasukan musuh berdiri dengan tegak, tampak menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Di tengah-tengah mereka, sebuah sosok berdiri dengan angkuh. Sosok yang tak asing baginya—Zyan. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya sekarang. Matanya yang dulu penuh dengan cahaya kehangatan kini dipenuhi dengan kegelapan, seperti ada kekuatan yang merasuki dirinya.
“Zyan…” bisik Ariana, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin yang berhembus kencang. “Apa yang terjadi padamu?”
Tangan Ariana mengepal, namun perasaan takut tak bisa ia hindari. Apa yang harus ia lakukan? Ia tahu bahwa di balik sosok Zyan yang tampak dingin dan terkontrol itu masih ada seseorang yang sangat ia cintai. Keberanian untuk melangkah ke medan perang ini bukan hanya untuk dunia sihir yang terancam, tetapi juga untuk menyelamatkan pria yang telah menjadi bagian dari dirinya.
“Jangan ragu, Ariana,” suara Zyan terdengar jelas di dalam kepalanya, meskipun mereka terpisah jarak yang sangat jauh. “Keberanianmu adalah kunci, bukan hanya untuk menghancurkan kegelapan, tetapi juga untuk membebaskan aku.”
Air mata menggenang di mata Ariana. Ia tidak tahu apakah Zyan masih mendengar suaranya, atau jika kata-kata itu hanya ilusi belaka. Namun, ia tahu satu hal—ia tidak bisa mundur. Zyan membutuhkan dirinya. Dunia sihir membutuhkan dirinya. Dan dirinya… membutuhkan Zyan.
Dengan langkah mantap, Ariana melangkah maju, menembus kegelapan yang mengelilinginya. Setiap langkah terasa berat, seperti bebannya bertambah seiring waktu. Namun, di balik beban itu, ada cinta yang memberikan kekuatan. Cinta yang mengajarkannya untuk tidak menyerah, untuk berjuang meskipun semuanya tampak hancur.
Saat Ariana melangkah lebih jauh, ia melihat sekelompok musuh yang menghalangi jalannya. Mereka mengenakan pakaian hitam dengan simbol-simbol kuno yang Ariana kenali—kelompok yang bekerja sama dengan kekuatan gelap untuk menguasai dunia sihir. Namun, meskipun jumlah mereka lebih banyak, Ariana tidak merasa takut. Semua keterampilan yang telah ia pelajari, semua sihir yang telah ia kuasai, kini siap digunakan untuk menghadapi musuh-musuhnya.
Dengan cepat, Ariana mengangkat tangannya, memfokuskan energi yang ada di dalam dirinya. Sebuah bola api besar muncul di udara, menyala terang. Musuh-musuh yang ada di depannya terkejut, namun tidak ada yang mundur. Ariana tahu, ini adalah momen yang tak bisa dihindari lagi. Momen di mana ia harus menunjukkan keberanian sejatinya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang yang ia cintai.
“Untuk Zyan!” teriak Ariana, suaranya penuh dengan semangat yang membara. Dengan satu gerakan, bola api yang besar itu meluncur menuju musuh, menghantam mereka dengan kekuatan yang luar biasa. Ledakan besar terdengar di sekitar mereka, mengirimkan musuh-musuhnya terpental jauh. Ariana tidak berhenti di situ; ia terus menyerang, menggunakan sihir dengan kekuatan yang semakin besar. Setiap gerakan yang ia buat dipenuhi dengan perasaan cinta yang tulus, sebuah dorongan yang memberinya kekuatan untuk terus berjuang.
Namun, meskipun kemenangan semakin dekat, Ariana merasa ada yang mengganjal di hatinya. Zyan. Sosok yang dulu selalu ada di sampingnya kini terjebak di antara dua dunia—dunia kegelapan yang membelenggunya dan dunia yang selalu ia impikan bersama Ariana. Zyan adalah bagian dari dirinya, dan Ariana tahu bahwa ia harus menyelamatkannya. Tidak ada pilihan lain.
Ketika medan perang semakin sepi, hanya beberapa pasukan musuh yang tersisa, Ariana berjalan menuju tempat di mana Zyan berdiri, masih terjebak dalam kegelapan. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menariknya keluar, tetapi ia tahu bahwa ini adalah saatnya. Semua yang ia miliki, semua yang ia rasakan, ia serahkan pada Zyan—karena hanya cinta yang bisa mengalahkan kegelapan yang menguasainya.
“Zyan!” teriak Ariana dengan penuh keyakinan. “Aku datang untukmu! Jangan biarkan dirimu terperangkap oleh kekuatan itu! Aku mencintaimu!”
Zyan menoleh, mata mereka bertemu. Di sana, dalam sekejap, Ariana bisa melihat cahaya yang mulai muncul di dalam mata Zyan. Itu adalah cahaya yang ia kenal, cahaya yang selalu ada di dalam dirinya, meskipun terkadang terhalang oleh kegelapan. Tanpa berkata-kata, Zyan berjalan menuju Ariana, mengulurkan tangannya.
“Ariana…” Suaranya terputus-putus, seolah ada banyak perasaan yang terpendam di dalamnya. “Aku… aku takut. Takut kehilanganmu.”
Ariana menggenggam tangan Zyan, dan seketika itu juga, perasaan hangat yang ia dambakan mengalir dalam dirinya. “Kita tidak akan kehilangan satu sama lain. Bersama, kita bisa mengalahkan apapun.”
Dengan satu langkah, mereka berdiri bersama, menghadap dunia yang penuh dengan tantangan. Keberanian dan cinta mereka kini menyatu, menjadi kekuatan yang tak terhentikan. Dunia sihir yang terancam kini berada dalam genggaman mereka, dan bersama-sama, mereka akan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.*
BAB 8: Takdir Baru
Langit senja memerah di ufuk barat, melukiskan gambaran perpisahan yang tak terelakkan. Ariana dan Zyan berdiri di tepi jurang, menatap ke kejauhan. Dunia yang mereka kenal kini telah berubah. Setelah bertarung melawan kekuatan gelap yang mengancam dunia mereka, sebuah harapan baru muncul di balik kegelapan. Namun, ada kesadaran yang tak bisa mereka abaikan—takdir yang mereka jalani tak lagi sama seperti sebelumnya. Mereka telah menyusun jalan yang baru, namun jalur itu masih penuh dengan ketidakpastian.
Ariana menggenggam tangan Zyan dengan erat, seolah takut kehilangan dirinya sekali lagi. Mereka berdua telah melalui banyak hal—dari pengkhianatan, perang, hingga pertemuan dengan kekuatan yang lebih besar dari apapun yang pernah mereka bayangkan. Semua itu telah mengubah mereka, menguji cinta mereka, dan yang lebih penting, mengubah takdir mereka.
“Zyan…” Ariana memulai dengan suara lembut, namun penuh dengan makna. “Apakah ini akhir dari perjalanan kita? Apakah kita sudah mencapai tujuan kita?”
Zyan menatapnya dalam-dalam. Di matanya, Ariana bisa melihat kedamaian yang sebelumnya tidak ada, tetapi juga keraguan yang tak bisa disembunyikan. Takdir mereka kini berada di tangan mereka sendiri, bukan lagi sesuatu yang ditentukan oleh kekuatan luar. Namun, justru kebebasan ini yang membuatnya merasa terombang-ambing.
“Ariana,” Zyan berkata, suaranya serak, “kita telah mengalahkan musuh-musuh kita, tetapi apakah kita siap menghadapi kenyataan bahwa dunia ini masih penuh dengan ketidakpastian? Banyak yang telah berubah, tetapi apakah kita bisa memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja?”
Ariana menundukkan kepalanya sejenak, memikirkan kata-kata Zyan. Mereka memang telah menyelamatkan dunia dari kehancuran, tetapi dunia itu masih penuh dengan kegelapan yang tersembunyi, dan tak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi selanjutnya. Takdir mereka, yang selama ini diatur oleh kekuatan yang lebih tinggi, kini berada di tangan mereka sendiri, dan itu adalah beban yang tak mudah dipikul.
Namun, dalam hatinya, Ariana tahu bahwa mereka tidak bisa berdiam diri. Mereka tidak bisa membiarkan kegelapan kembali menguasai dunia ini hanya karena ketakutan akan ketidakpastian. Mereka telah berjuang terlalu keras untuk menyerah begitu saja.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Zyan,” Ariana berkata dengan tegas, menatap langit yang mulai gelap. “Tapi kita sudah melewati begitu banyak cobaan bersama. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama. Takdir kita adalah sesuatu yang bisa kita tentukan, bukan sesuatu yang harus kita takuti.”
Zyan menghela napas panjang, seolah beban yang berat tiba-tiba mengendur sedikit. Ia menggenggam tangan Ariana lebih erat, merasakan keteguhan dalam setiap sentuhannya.
“Kamu benar,” kata Zyan, suara penuh dengan tekad. “Takdir kita bukan sesuatu yang bisa kita hindari. Itu adalah sesuatu yang harus kita bentuk. Dan aku memilih untuk membentuknya bersamamu.”
Mereka berdiri bersama di tepi jurang itu, tidak lagi terhalang oleh ketakutan atau keraguan. Mereka tahu bahwa dunia yang mereka hadapi sekarang berbeda. Dunia yang dahulu penuh dengan peraturan yang ketat, yang ditentukan oleh kekuatan gelap dan takdir yang tak bisa diubah, kini terbuka lebar dengan kemungkinan yang tak terbatas. Tetapi mereka juga tahu bahwa jalan ke depan tak akan mudah.
Namun, keberanian yang mereka temukan dalam satu sama lain adalah kekuatan yang tak ternilai. Cinta mereka telah membuktikan bahwa meskipun takdir terasa tak terhindarkan, ada ruang untuk perubahan. Dunia ini, yang semula terbelenggu oleh kekuatan yang lebih besar, kini bisa mereka bentuk bersama dengan keyakinan dan keberanian.
“Ariana,” Zyan berkata, suara lembut tetapi penuh dengan keyakinan. “Aku tahu kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku percaya satu hal. Takdir kita sudah ditulis, dan kita bisa mengubahnya. Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dunia di mana cinta dan kebaikan mengalahkan kegelapan.”
Ariana tersenyum, merasa hatinya dipenuhi dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta mereka adalah kekuatan itu—kekuatan yang mampu mengubah dunia.
Namun, dunia yang mereka hadapi masih penuh dengan tantangan. Ada banyak yang harus mereka lakukan, banyak yang harus mereka atasi. Keberadaan sihir gelap, meskipun telah mengalami kekalahan besar, masih bisa bangkit kembali. Para pengikutnya yang tersisa mungkin tak sekuat sebelumnya, tetapi mereka masih memiliki kekuatan untuk menciptakan kekacauan.
Tapi, Ariana dan Zyan tahu bahwa mereka tidak sendirian. Mereka memiliki teman-teman yang telah bergabung dengan perjuangan mereka, orang-orang yang juga percaya bahwa dunia bisa berubah. Mereka memiliki kekuatan yang lebih besar dari sekadar sihir—mereka memiliki keberanian dan cinta yang tak terbatas.
Di dalam hati Ariana, ada satu janji yang tak akan pernah ia lupakan. Takdir mereka mungkin telah berubah, tetapi cinta mereka tidak akan pernah goyah. Mereka akan terus berjuang, tidak hanya untuk dunia ini, tetapi juga untuk masa depan yang lebih baik—sebuah dunia di mana tak ada lagi kegelapan yang mengancam, sebuah dunia yang mereka ciptakan bersama.
“Zyan,” kata Ariana dengan penuh tekad, “apapun yang terjadi, kita akan melangkah ke depan. Bersama, kita akan membentuk takdir baru kita. Dunia ini akan menjadi milik kita, milik mereka yang berani berjuang untuk kebaikan.”
Zyan mengangguk, matanya penuh dengan keyakinan. “Bersama, kita bisa mengubah dunia. Tak ada yang bisa menghentikan kita.”
Dengan itu, mereka melangkah maju, meninggalkan jurang yang dulu menjadi simbol ketakutan dan keraguan. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di depan, tetapi mereka tahu satu hal—takdir mereka tidak lagi ditentukan oleh kekuatan luar, tetapi oleh tekad mereka sendiri.
Di dunia yang penuh dengan kemungkinan ini, mereka adalah pembentuk takdir baru. Bersama, mereka akan menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang penuh dengan cinta, keberanian, dan harapan.*
BAB 9: Epilog
Beberapa tahun telah berlalu sejak pertempuran besar yang mengubah dunia. Dunia yang dahulu terbelenggu oleh kekuatan gelap kini telah mengalami transformasi. Kegelapan yang pernah mengancam, yang telah merenggut banyak nyawa dan harapan, kini hanya tinggal kenangan yang perlahan menghilang seiring waktu. Dunia baru telah dibentuk oleh mereka yang berani melawan takdir, dan di antara mereka, Ariana dan Zyan berdiri sebagai simbol perubahan yang tak terelakkan.
Pagi itu, sinar matahari menyapu lembut permukaan danau yang tenang. Pemandangan yang begitu damai itu seolah menjadi gambaran sempurna dari apa yang telah mereka capai. Ariana berdiri di tepi danau, matanya memandang jauh ke horizon. Di balik wajahnya yang tenang, terdapat perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang lahir dari perjalanan panjang, penuh perjuangan, kehilangan, dan penemuan kembali—baik tentang dunia maupun dirinya sendiri.
Zyan mendekat, berdiri di samping Ariana tanpa berkata-kata. Mereka berdua tidak memerlukan kata-kata untuk saling mengerti. Sebuah senyuman kecil terbentuk di wajah Ariana, senyuman yang penuh dengan kedamaian, namun juga rasa syukur yang mendalam.
“Lihatlah dunia ini,” kata Ariana dengan suara lembut, mengarahkan pandangannya ke danau yang berkilauan. “Dunia yang dulu dipenuhi dengan kegelapan, kini dipenuhi dengan cahaya. Semua yang kita perjuangkan, semua yang kita korbankan… akhirnya membuahkan hasil.”
Zyan mengangguk pelan, matanya mengikuti pandangan Ariana. “Kita telah membuktikan bahwa takdir bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja. Kita bisa mengubahnya, kita bisa membentuknya dengan tangan kita sendiri.”
Namun, meskipun dunia mereka telah bebas dari ancaman kegelapan, ada satu hal yang tetap tidak berubah—perasaan mereka satu sama lain. Cinta mereka, yang telah diuji dalam pertempuran besar, kini menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tidak hanya bertarung untuk dunia, tetapi juga untuk satu sama lain.
“Aku masih ingat saat kita pertama kali bertemu,” Zyan berkata, suaranya penuh dengan kenangan. “Aku tidak tahu saat itu bahwa perjalanan kita akan membawa kita ke tempat ini. Tempat di mana kita tidak hanya mengalahkan musuh-musuh kita, tetapi juga menemukan tujuan hidup kita.”
Ariana tersenyum, namun ada kesan melankolis dalam matanya. “Takdir memang aneh, bukan? Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan menemukan cinta dan kekuatan di tempat yang begitu gelap. Tapi aku bersyukur karena itu terjadi.”
Zyan meraih tangan Ariana, menggenggamnya erat. “Aku juga. Tanpa kamu, aku mungkin tidak akan pernah tahu arti sejati dari kekuatan dan cinta.”
Di kejauhan, terlihat sebuah desa yang dahulu hampir hancur oleh kekacauan. Namun, kini desa itu telah dipulihkan. Penduduknya hidup damai, menjalani kehidupan yang jauh lebih baik. Ada anak-anak yang bermain di jalan, orang-orang yang bekerja di ladang, dan para penjaga yang menjaga keamanan dengan penuh perhatian. Semua itu adalah bukti dari perubahan yang telah terjadi.
“Kita telah mengubah banyak hal,” Ariana berkata, suaranya penuh dengan rasa bangga. “Tapi perjalanan ini belum berakhir, Zyan. Dunia ini mungkin sudah lebih baik, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Kita harus memastikan bahwa apa yang kita bangun tetap berdiri kokoh.”
Zyan mengangguk. “Kita akan terus berjuang, bukan hanya untuk melawan kegelapan, tetapi untuk menjaga apa yang telah kita ciptakan. Dunia ini, seperti takdir kita, adalah sesuatu yang terus berkembang. Dan kita harus memastikan bahwa kita terus mengarahkannya ke jalan yang benar.”
Ariana menatap Zyan dengan penuh ketulusan. “Kita tidak bisa melakukannya sendirian. Kita membutuhkan orang lain. Kita harus bekerja bersama-sama, untuk memastikan bahwa dunia ini tetap menjadi tempat yang penuh harapan.”
Zyan tersenyum, matanya berkilau dengan semangat yang sama seperti ketika mereka pertama kali bertemu. “Aku setuju. Kita telah membuktikan bahwa kekuatan bersama jauh lebih besar daripada kekuatan individu. Dan dengan itu, kita akan menciptakan dunia yang lebih baik, dunia di mana semua orang memiliki kesempatan untuk hidup bahagia.”
Saat itu, mereka merasakan kehadiran seseorang di belakang mereka. Seorang gadis muda, yang mengenakan jubah pelatihan, mendekat dengan langkah ringan. Namanya Amara, seorang siswa dari Akademi Sihir yang telah dibangun untuk mendidik generasi penerus yang akan menjaga dunia dari ancaman apapun yang mungkin datang.
Amara tersenyum lebar saat melihat Ariana dan Zyan. “Kami semua di Akademi telah mendengar tentang perjuangan kalian. Apa yang kalian lakukan telah menginspirasi kami semua untuk tidak hanya belajar sihir, tetapi juga untuk berjuang demi kebaikan dunia ini.”
Ariana membalas senyuman Amara. “Kalianlah yang akan membawa masa depan. Kita hanya menunjukkan jalan, kalian yang akan melanjutkannya.”
Zyan menambahkan, “Tugas kita belum selesai. Tapi sekarang kita bisa mempercayakan dunia ini kepada kalian. Kalian adalah generasi yang akan menjaga cahaya tetap bersinar.”
Amara mengangguk dengan penuh keyakinan. “Kami akan menjaga dunia ini, seperti yang kalian ajarkan kepada kami.”
Dengan itu, Ariana dan Zyan berjalan berdampingan, meninggalkan danau yang tenang. Dunia yang dulu penuh dengan kegelapan kini telah menjadi dunia yang lebih cerah. Namun, meskipun kedamaian telah tercapai, mereka tahu bahwa kehidupan tidak pernah berhenti bergerak. Ada selalu tantangan baru yang harus dihadapi, tetapi mereka juga tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya.
Takdir mereka, yang dulu tertulis dengan tinta kekuatan gelap, kini telah diubah menjadi sebuah kisah baru—kisah tentang cinta, keberanian, dan harapan yang tak terbatas. Dunia ini telah dibentuk dengan tangan mereka, dan mereka tahu bahwa dunia ini akan terus berkembang, terus tumbuh, dan terus bersinar.
Karena pada akhirnya, takdir bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan. Takdir adalah sesuatu yang bisa dibentuk, yang bisa diubah oleh mereka yang cukup berani untuk memimpinnya. Dan Ariana serta Zyan adalah bukti bahwa dengan cinta, segala hal mungkin.***
————THE END———-