• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SURAT TERAKHIR DARI ORANG MATI

SURAT TERAKHIR DARI ORANG MATI

April 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SURAT TERAKHIR DARI ORANG MATI

SURAT TERAKHIR DARI ORANG MATI

by SAME KADE
April 28, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 19 mins read

Prolog

Malam itu begitu sunyi, seakan seluruh desa terkurung dalam pelukan kegelapan yang pekat. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur di halaman rumah-rumah tua. Di sudut desa yang telah lama ditinggalkan, berdiri sebuah rumah reyot yang dindingnya dipenuhi lumut, jendela-jendelanya retak, dan pintu kayunya berderit setiap kali tertiup angin.

Arman menatap rumah itu dengan ragu. Kakinya berhenti melangkah di depan pagar yang hampir roboh, seakan nalurinya mencoba memperingatkan untuk tidak masuk. Tapi rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya lebih kuat dari rasa takut yang perlahan merayap di dadanya.

Beberapa hari lalu, ia menerima sepucuk surat tanpa nama pengirim. Surat itu berisi kalimat-kalimat aneh, seolah ditulis oleh seseorang yang sedang dikejar waktu. Namun yang paling mengejutkan—surat itu ditandatangani oleh Wira, sahabat lamanya yang sudah dinyatakan meninggal lima tahun silam dalam kecelakaan tragis.

“Jika kau membaca ini, berarti aku sudah gagal. Tapi kebenaran tak bisa mati bersamaku. Rumah itu menyimpan segalanya.”

Itulah kalimat terakhir dalam surat itu. Dan kini, Arman berdiri di depan rumah yang dimaksud.

Dengan napas tertahan, ia mendorong pintu kayu tua yang mengeluh nyaring saat bergerak. Aroma lembap dan debu menyeruak dari dalam, membawa kenangan masa lalu yang pernah ia kubur dalam-dalam.

Langkah pertamanya di ambang pintu menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Surat itu bukan hanya pesan dari masa lalu, tapi kunci menuju rahasia yang seharusnya tak pernah diungkapkan.

Dan malam itu, tanpa ia sadari, Arman telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur dalam diam.

Bab 1: Awal Mula

Langit Jakarta pagi itu diselimuti mendung kelabu. Arman duduk di meja kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan draf berita yang belum juga rampung. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.

Sudah hampir satu minggu berlalu sejak surat itu datang, namun bayang-bayangnya masih membekas jelas dalam benaknya. Surat tanpa amplop, tertulis dengan tangan yang gemetar, dikirim ke alamat email pribadinya melalui sebuah akun yang tak dikenal. Anehnya, surat itu tidak datang dengan pesan pengantar, hanya satu file PDF bertuliskan: “Untuk Arman, dari Wira.”

Wira—nama yang sudah bertahun-tahun tidak ia dengar. Sejak kecelakaan tragis di desa tempat mereka besar bersama, nama itu seperti hilang ditelan waktu. Polisi menyatakan Wira tewas akibat jatuh dari tebing saat menyelidiki sesuatu yang tidak pernah dijelaskan. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan, dan kasusnya segera ditutup. Namun kini, surat itu muncul, mengacaukan semua kenangan yang selama ini Arman coba lupakan.

Ia membuka kembali file tersebut. Kalimat-kalimatnya masih sama, tapi kini terasa lebih menggema.

“Jangan percaya siapa pun. Jika kau membaca ini, berarti aku gagal. Tapi kebenaran tidak boleh mati bersamaku. Carilah rumah tua di ujung Desa Sembir. Di sanalah semuanya dimulai… dan berakhir.”

Desa Sembir. Nama itu memunculkan kembali suara hening, aroma kabut pagi, dan jalanan tanah berlumpur yang dulu sering mereka lewati. Tempat kelahiran mereka, sekaligus tempat Wira menemui akhir hidupnya.

Arman mengusap wajahnya, berusaha mengusir perasaan ganjil yang semakin menguat. Ia jurnalis. Sudah terbiasa menghadapi berita pembunuhan, kasus korupsi, dan skandal politik. Tapi kali ini, kasus ini terasa… pribadi.

Ia menatap foto lawas yang terpajang di sisi meja—potret dirinya dan Wira saat SMA, tertawa di depan lapangan bola sekolah. Entah mengapa, tatapan Wira dalam foto itu kini terasa berbeda. Seolah sedang menyampaikan sesuatu yang dulu tak sempat dikatakan.

Ponsel Arman bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

“Jangan ungkit masa lalu, Arman. Untuk keselamatanmu.”

Jantungnya berdegup lebih cepat. Tangan kirinya gemetar saat menggenggam ponsel itu erat-erat. Ini bukan kebetulan. Surat itu, pesan ancaman ini… semua terasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang belum ia mengerti.

Dan mungkin, hanya ada satu cara untuk menemukan jawabannya.

Dengan tekad yang mulai menguat, Arman berdiri. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus kembali ke Desa Sembir—tempat semuanya bermula, dan mungkin, tempat segalanya akan berakhir.

Bab 2: Jejak Masa Lalu

Perjalanan menuju Desa Sembir memakan waktu hampir delapan jam dari Jakarta. Arman memilih menyetir sendiri, ingin memastikan tidak ada jejak yang bisa diikuti oleh siapa pun. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi campuran rasa cemas dan penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada Wira? Dan mengapa, setelah lima tahun kematian sahabatnya itu, kini ia seperti dipanggil kembali?

Saat mobilnya melewati gerbang tua yang menandai batas desa, ingatan masa kecil menyeruak dalam benaknya. Jalanan berbatu, pepohonan rindang yang memayungi sisi jalan, dan rumah-rumah sederhana yang tampak nyaris tak berubah. Desa Sembir seolah terkurung dalam waktu.

Namun, ada sesuatu yang berbeda. Atmosfer desa terasa lebih senyap dari yang ia ingat. Wajah-wajah penduduk tampak waspada, bahkan curiga, saat melihat mobil asing melintas. Arman bisa merasakan tatapan-tatapan itu mengikutinya, seolah ia membawa sesuatu yang tak diinginkan kembali ke tempat ini.

Ia berhenti di depan rumah tua berwarna cokelat pudar—bekas rumah keluarga Wira. Kini tampak kosong dan tak terurus, atapnya sebagian runtuh, cat dindingnya mengelupas. Namun, kenangan di dalamnya masih hidup dalam ingatannya. Tawa, percakapan larut malam, dan mimpi-mimpi remaja yang mereka bisikkan di balik dinding kayu rumah itu.

Seorang wanita tua keluar dari rumah tetangga, membawa keranjang berisi daun-daunan. Arman menyapanya sopan.

“Bu, permisi. Saya Arman… teman Wira. Ibu mungkin mengenal saya dulu.”

Perempuan itu memicingkan mata, lalu mengangguk perlahan.

“Arman… yang sering main sama Wira itu, ya? Ya Allah… sudah besar kau sekarang. Maaf, Nak, desa ini bukan tempat yang ramah lagi bagi orang luar.”

Arman tersenyum kaku. “Saya ke sini ingin tahu lebih banyak soal Wira. Soal kejadian waktu itu.”

Raut wajah sang ibu berubah. Tangan yang memegang keranjang sedikit gemetar.

“Kau sebaiknya lupakan saja, Nak. Wira… dia sudah pergi. Yang lalu biarlah berlalu.”

“Tapi saya rasa ada sesuatu yang belum selesai,” balas Arman pelan. “Saya menerima surat dari Wira.”

Perempuan itu membeku. Pandangannya berubah tajam. “Kau… menerima surat dari orang mati?”

Arman mengangguk. “Dan saya yakin, surat itu asli.”

Wanita itu terdiam lama, sebelum akhirnya berbisik lirih, “Kalau begitu, kau harus bicara dengan Pak Suroto. Dia satu-satunya yang masih tahu semuanya. Tapi hati-hati, Nak. Beberapa kebenaran… tidak ingin ditemukan.”

Rumah Pak Suroto terletak di ujung desa, tak jauh dari hutan kecil yang dulu sering mereka jelajahi. Lelaki tua itu duduk di beranda, memandangi senja yang mulai jatuh.

“Arman? Astaga… kau kembali juga,” gumamnya ketika melihat kedatangan pemuda itu. Suaranya serak, namun matanya masih tajam.

“Saya datang karena Wira, Pak.”

Pak Suroto menarik napas panjang. “Dia anak baik… terlalu baik, hingga terlalu jauh ikut campur.”

Arman mengeluarkan salinan surat yang dikirim padanya. Pak Suroto membacanya perlahan, lalu menatap Arman lekat-lekat.

“Aku tahu surat ini asli. Tulisan tangannya… caranya berbicara. Wira memang sedang menyelidiki sesuatu sebelum dia… ditemukan.”

“Apa yang dia selidiki, Pak?”

“Pembunuhan,” jawab Pak Suroto mantap. “Dan bukan pembunuhan biasa. Tapi sesuatu yang melibatkan orang-orang penting. Orang-orang yang masih hidup… dan akan membunuh lagi demi menjaga rahasia mereka.”

Arman menggenggam surat itu lebih erat. Kini, semuanya mulai masuk akal—ancaman yang ia terima, desa yang menjadi sunyi, dan kematian Wira yang tak pernah benar-benar dijelaskan.

Ia tidak hanya sedang menelusuri jejak masa lalu. Ia tengah membuka pintu menuju kegelapan yang telah lama tersembunyi.

Bab 3: Pencarian Dimulai

Malam merambat perlahan di Desa Sembir, menyelimuti setiap sudut dalam bayang-bayang kelam. Di dalam kamar kecil penginapan tua yang ia sewa, Arman duduk bersandar di kursi kayu yang berderit pelan setiap kali ia bergerak. Di hadapannya, lembaran surat dari Wira terbentang di atas meja. Di sampingnya, buku catatan terbuka, berisi nama-nama, tanggal, dan potongan-potongan informasi yang perlahan mulai membentuk gambaran yang belum utuh.

“Kau harus bicara dengan Pak Suroto.”

Itu adalah kalimat yang tak henti terngiang dalam benaknya. Meski Pak Suroto telah memberi sedikit petunjuk, tetap saja semuanya masih tampak seperti kabut. Ada banyak celah dalam cerita. Banyak pertanyaan tanpa jawaban.

Arman tahu, jika ia ingin mengungkap kebenaran, ia tidak bisa hanya duduk menunggu.

Keesokan paginya, Arman memulai langkahnya ke arah rumah tua yang dimaksud dalam surat Wira—sebuah bangunan yang berada di pinggir desa, hampir berbatasan langsung dengan hutan kecil yang dijuluki warga sebagai “Lembah Bisik”.

Tak ada yang benar-benar ingin bicara soal tempat itu. Bahkan saat Arman bertanya pada pemilik warung kecil di dekat penginapan, sang pemilik hanya menggeleng cepat dan berkata dengan suara rendah, “Sudah lama tidak ada yang ke sana. Tempat itu membawa sial.”

Namun Arman tidak gentar. Ia merasa rumah tua itu adalah kunci.

Ketika ia sampai di depan rumah tersebut, suasana berubah drastis. Udara terasa lebih dingin, angin berembus tanpa arah, dan suara burung-burung seakan menghilang. Dinding rumah dipenuhi lumut dan retakan, jendela-jendelanya buram oleh debu dan sarang laba-laba. Tapi yang paling menarik perhatian Arman adalah pintu depan—tertutup rapat, namun di bagian bawahnya tampak secarik kertas terselip.

Dengan hati-hati, Arman mengambilnya. Surat kecil itu tampak usang, seakan sudah berada di sana selama bertahun-tahun. Isinya hanya satu kalimat:

“Mereka melihat, mereka mendengar. Jangan terlalu dalam, atau kau tidak akan kembali.”

Arman menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi rasa takut itu justru memicu rasa ingin tahunya. Dengan dorongan perlahan, ia membuka pintu. Bunyi derit kayu menggema di seluruh ruangan. Aroma lembap dan apek segera menyeruak.

Di dalam, rumah itu nyaris kosong. Hanya ada beberapa perabot tua dan debu yang menebal di setiap permukaan. Namun di salah satu sudut ruang tamu, Arman menemukan sesuatu yang tidak biasa—sebuah papan tulis kecil dengan tulisan samar di atasnya, seolah-olah seseorang pernah menggunakan spidol untuk mencatat sesuatu, lalu menghapusnya dengan terburu-buru.

Ia menyalakan senter dari ponselnya dan menyinari papan itu. Perlahan, dengan teknik menggosok ringan menggunakan tisu kering, ia mencoba membaca jejak tinta yang tertinggal.

Ada tiga nama:

  • Darmo
  • Laras
  • Dr. Satria

Dan di bawah nama-nama itu, satu kata ditulis lebih tebal daripada yang lain:

“DOSA.”

Arman membeku. Nama-nama itu asing baginya, namun cara penulisannya menunjukkan bahwa mereka punya keterkaitan—mungkin dengan Wira, mungkin juga dengan kejadian lima tahun lalu.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang—derit lantai kayu yang diinjak seseorang.

Arman berbalik cepat, namun tak ada siapa-siapa.

Ia menarik napas panjang. Ia sadar, pencariannya baru saja benar-benar dimulai. Dan yang ia hadapi bukan hanya kegelapan masa lalu… tapi juga ancaman nyata di masa sekarang.

Di luar rumah, di balik pepohonan hutan kecil yang mengintai dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan setiap gerak-geriknya.

Tanpa Arman sadari, setiap langkahnya kini diawasi. Dan semakin dalam ia menggali, semakin dekat pula ia dengan kebenaran yang selama ini dijaga dengan darah dan kebohongan.

Bab 4: Ancaman yang Mengintai

Malam kembali turun dengan sunyi yang mencurigakan. Di dalam kamar penginapan yang kini tak lagi terasa aman, Arman menatap nama-nama di catatannya: Darmo, Laras, dan Dr. Satria. Siapa mereka? Dan apa hubungan mereka dengan Wira?

Ia mencoba mencari informasi di internet melalui laptopnya, tetapi sinyal di desa itu begitu lemah. Bahkan pencarian sederhana pun membutuhkan waktu berjam-jam. Seolah ada sesuatu yang sengaja menghalangi akses keluar dari desa ini—baik secara fisik maupun informasi.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari arah jendela.

Tok. Tok. Tok.

Arman menoleh cepat. Jendela kamarnya tertutup rapat, namun tirai tipis yang bergoyang perlahan membuatnya waspada. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati jendela dan menarik tirai.

Tidak ada siapa-siapa.

Namun ketika ia hendak menutup kembali tirai tersebut, matanya menangkap sesuatu. Di sela daun jendela, tersempil sebuah kertas kecil berwarna cokelat tua. Ia membukanya pelan.

Tulisan tangan yang kasar memenuhi permukaan kertas itu:

“Berhenti mencari, Arman. Beberapa rahasia harus dikubur. Ini peringatan terakhir.”

Tangannya gemetar saat membaca kalimat itu. Ancaman ini… nyata. Seseorang benar-benar mengawasinya. Bukan sekadar bayang-bayang masa lalu—tapi sosok hidup yang bisa bertindak kapan saja.

Ia segera mengunci jendela, mematikan lampu kamar, dan duduk di pojok ruangan dengan napas terengah. Ia tahu, jika ia gentar sekarang, semua perjuangan Wira akan sia-sia. Namun rasa takut itu tak bisa ditepis begitu saja. Kematian bukan lagi kemungkinan, melainkan bayangan yang terus mendekat.

Keesokan paginya, Arman memutuskan menemui nama pertama dalam daftar: Darmo. Seorang pensiunan kepala desa yang dikenal tertutup dan jarang muncul di depan umum. Menurut beberapa warga, Darmo tinggal di rumah besar di kaki bukit, jauh dari keramaian.

Perjalanan menuju rumah Darmo menempuh hampir satu jam berjalan kaki, melewati ladang-ladang kosong dan jalan tanah sempit yang jarang dilalui. Sesekali, Arman merasa seolah-olah sedang dibuntuti. Ia menoleh cepat, tapi hanya hutan dan semak belukar yang menyambut pandangannya.

Ketika akhirnya ia tiba di rumah Darmo, suasana rumah itu langsung menebar rasa tidak nyaman. Gerbangnya berkarat, pekarangannya dipenuhi tanaman liar yang tumbuh tak terkendali. Namun yang paling mencolok adalah pagar bambu yang dipasangi simbol-simbol aneh dari kain merah dan tali rafia, seolah rumah itu sengaja “dipagari”.

Arman mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban.

Ia mencoba lagi. Kali ini lebih keras.

Akhirnya, terdengar suara langkah kaki berat dari dalam. Pintu dibuka sedikit, menampakkan wajah seorang pria tua dengan tatapan tajam dan curiga.

“Siapa kamu?” tanyanya kaku.

“Saya Arman, Pak. Saya… teman lama Wira. Saya butuh bicara. Tentang sesuatu yang penting.”

Begitu nama Wira disebut, mata Darmo membelalak. “Kau datang untuk menggali kuburan yang sudah terkubur, ya?”

“Saya hanya mencari kebenaran.”

Darmo terdiam lama, lalu membuka pintu lebih lebar.

“Kau harus cepat. Banyak mata yang tidak suka kau berada di sini.”

Percakapan mereka berlangsung singkat, namun cukup untuk membuat Arman menyadari satu hal: Wira telah menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ia temukan. Sesuatu yang berkaitan dengan kematian misterius anak-anak desa lima tahun lalu. Dan Darmo… adalah satu dari sedikit orang yang mengetahui bahwa semuanya ditutup oleh kekuasaan.

“Satu per satu mereka akan datang padamu, Nak,” kata Darmo dengan suara parau. “Bukan untuk menjawab, tapi untuk membungkam.”

Ketika Arman meninggalkan rumah Darmo, ia merasa seseorang mengikutinya. Langkah cepat di belakangnya, bayangan yang bergerak di balik pepohonan, dan suara dedaunan yang bergemerisik tanpa angin.

Ia mempercepat langkah. Jalan tanah menurun membuatnya hampir tergelincir. Nafasnya mulai tersengal. Ia menoleh ke belakang—kosong.

Namun sesampainya di penginapan, ia mendapati sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Pintu kamarnya terbuka lebar. Dan di atas tempat tidur, terdapat foto dirinya saat kecil bersama Wira, kini telah disobek menjadi dua.

Di bagian belakang foto itu tertulis dengan tinta merah:

“Pencarianmu akan jadi kematianmu.”

Bab 5: Penyusupan ke Dunia Gelap

Hujan mengguyur Desa Sembir tanpa ampun malam itu. Langit kelam seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap daripada malam itu sendiri. Di dalam kamar penginapan, Arman duduk menatap layar laptop yang kini hanya menampilkan tulisan “No Connection.” Ia sudah mencoba berkali-kali, namun tak satu pun halaman bisa dibuka.

Tapi ada satu hal yang mengusiknya lebih dalam malam ini: nama Dr. Satria.

Setelah berbicara dengan Darmo, Arman tahu bahwa dokter itu bukan sekadar tenaga medis biasa. Ia adalah tokoh kunci dalam proyek kesehatan masyarakat lima tahun lalu—proyek yang berakhir dengan kematian misterius beberapa anak. Dan Wira, menurut Darmo, pernah menyusup ke salah satu lokasi rahasia milik Dr. Satria sebelum ia menghilang.

Kini, giliran Arman mengambil risiko yang sama.

Sebuah catatan tua dari Wira yang ditemukan di saku jaketnya memberikan petunjuk lokasi: “Gudang Tua di dekat Pabrik Gula—jam 2 dini hari. Jangan membawa siapa pun. Waspadai kamera.”

Meski ragu, Arman tetap mengikuti jejak itu. Dini hari, ia menyusup keluar dari penginapan, mengenakan pakaian gelap, dan berjalan kaki menuju area bekas pabrik gula yang sudah lama terbengkalai. Tempat itu sudah tak digunakan sejak belasan tahun silam dan kini dikenal warga sebagai “wilayah bisu”—tempat di mana suara-suara tak lagi terdengar dan orang-orang menghindarinya bahkan di siang bolong.

Saat tiba di area gudang, suasana mencekam menyambutnya. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada embusan angin—seperti dunia berhenti berputar di tempat itu. Ia merunduk di balik tembok yang runtuh sebagian, mengawasi sekitar. Matanya menangkap kilatan lampu merah kecil—kamera pengawas.

Dengan sigap, ia menyelinap dari balik semak ke dinding gedung, menghindari titik-titik blind spot yang pernah digambarkan Wira dalam sketsanya. Setelah beberapa menit, ia berhasil mencapai pintu belakang gudang. Gemboknya tampak baru—tanda tempat ini masih aktif digunakan meski terlihat terbengkalai.

Arman mengeluarkan kunci tiruan yang ia beli dari toko perkakas desa. Setelah beberapa kali mencoba, kunci itu terbuka dengan klik pelan.

Pintu didorong perlahan. Aroma logam, zat kimia, dan debu menyambutnya.

Gudang itu tak kosong seperti yang dikira. Di dalamnya, terdapat meja operasi kecil, beberapa kursi besi berkarat, lemari arsip, dan papan tulis dengan kode dan simbol aneh. Tapi yang paling membuat Arman terpaku adalah ruang penyimpanan di ujung ruangan, di mana lampu-lampu kecil masih menyala.

Ia berjalan pelan ke arah lemari arsip. Di salah satu lacinya, ia menemukan dokumen dengan label:

“Subjek Uji Coba: Program A-17 / Lokasi: Desa Sembir”

Arman membaca cepat isi laporan. Disebutkan bahwa beberapa anak dijadikan subjek uji coba vaksin eksperimental yang tidak pernah mendapatkan izin resmi. Nama-nama mereka… tertera jelas. Dan di antara nama-nama itu, ada satu yang membuat dadanya sesak:

Wulan.
Adik Wira.

Air mata hampir menetes, tapi Arman menahannya. Ia harus tetap fokus. Ia mengambil dokumen itu dan menyimpannya dalam tas kecil.

Namun sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, terdengar suara langkah dari luar.

Arman membeku.

Seseorang masuk.

Cahaya senter mengiris kegelapan. Suara kaki menghentak lantai gudang, mendekat semakin dekat.

Dengan cepat, Arman bersembunyi di balik rak logam, menahan napas. Ia mengintip sedikit—seseorang berseragam hitam, membawa alat komunikasi dan senjata. Bukan penjaga biasa.

“Periksa semua sudut. Kita dapat laporan ada gerakan mencurigakan,” suara pria itu terdengar jelas melalui alat komunikasinya.

Arman tahu ia tak bisa tinggal lebih lama. Ia melihat sebuah lubang kecil di bawah dinding kayu belakang. Dengan napas teratur, ia menyelinap ke arah lubang itu, merangkak pelan, dan akhirnya berhasil keluar menuju kebun tebu yang gelap.

Ia berlari tanpa henti sampai lampu-lampu desa kembali terlihat dari kejauhan.

Setibanya di penginapan, tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena kedinginan, tapi karena apa yang baru ia temukan.

Wira tidak bunuh diri. Ia dibungkam karena tahu terlalu banyak. Dan sekarang, Arman sedang menapaki jalan yang sama—jalan yang bisa berakhir dalam gelap, sama seperti yang dialami sahabatnya.

Namun satu hal pasti.

Ia tidak akan mundur.

Bab 6: Melangkah Lebih Dalam

Langit pagi itu tampak kelabu, seakan enggan membiarkan cahaya menerobos masuk ke sudut-sudut gelap Desa Sembir. Arman duduk di teras penginapan dengan secangkir kopi yang mulai dingin di tangan. Matanya menatap kosong ke arah jalan tanah yang sepi, namun pikirannya berputar cepat.

Ia sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali. Dokumen rahasia yang ia temukan malam tadi menjadi bukti kuat bahwa ada eksperimen biomedis ilegal yang terjadi di desa ini. Dan yang lebih mengejutkan—program itu didalangi oleh nama-nama besar yang selama ini dihormati masyarakat.

Dr. Satria, salah satunya. Seorang dokter yang dielu-elukan karena jasanya dalam membantu desa dari wabah penyakit—ternyata adalah otak di balik proyek kelam bernama A-17.

Hari itu, Arman mendatangi satu tempat yang sudah lama ia hindari sejak tiba: rumah sakit tua di pinggir desa—tempat Wira terakhir kali terlihat sebelum kematiannya.

Bangunannya sepi dan seperti tak lagi digunakan, namun tetap berdiri kokoh di antara pohon-pohon tinggi yang menaungi sekitarnya. Saat melangkah ke halaman depan, Arman melihat tanda peringatan tua bertuliskan: “Dilarang Masuk – Properti Milik Pemerintah.”

Namun itu tak menghentikannya.

Dengan hati-hati, ia mendorong pintu depan rumah sakit yang berderit nyaring, lalu masuk ke dalam. Aroma lembap, cat yang mengelupas, dan lantai yang ditumbuhi lumut menyambutnya. Ia menyalakan senter kecil dari ponselnya dan berjalan menyusuri lorong-lorong gelap.

Pada dinding lorong, masih tergantung papan nama ruangan:

  • Ruang Perawatan Anak
  • Laboratorium Klinik
  • Ruang Isolasi

Ia menuju laboratorium, ruangan yang paling banyak disebut dalam dokumen yang ia temukan. Pintu ruangannya terkunci rapat, tapi jendela kaca yang sudah retak memberinya jalan masuk. Dengan hati-hati, ia memanjat dan masuk ke dalam ruangan.

Di dalam, ia menemukan peralatan laboratorium lama, botol-botol bahan kimia, dan tumpukan berkas di lemari logam yang nyaris berkarat. Setelah membuka beberapa map, Arman menemukan dokumen dengan cap rahasia—berkas eksperimen A-17. Tapi lebih dari itu, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berdesir: rekaman video pendek yang disimpan dalam flashdisk tersembunyi di laci meja.

Ia segera mengambilnya dan kembali ke penginapan.

Di kamar, dengan tangan gemetar, ia menancapkan flashdisk ke laptopnya dan membuka file tersebut.

Video itu memperlihatkan seorang anak laki-laki yang duduk di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah. Di sebelahnya berdiri seorang pria berseragam laboratorium—Dr. Satria.

“Eksperimen tahap dua dimulai hari ini,” ucap dokter itu ke arah kamera. “Subjek menunjukkan respons awal, tapi risiko gangguan syaraf meningkat. Kita lanjutkan pengujian sesuai prosedur A-17.”

Di akhir video, terdengar jeritan anak itu. Kamera mati.

Arman terdiam. Ia tahu, inilah bukti yang tak bisa dibantah. Proyek A-17 bukan hanya eksperimen gagal, tapi kejahatan kemanusiaan yang disamarkan atas nama penelitian ilmiah.

Malamnya, ketika hujan kembali mengguyur desa, seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Tok. Tok. Tok.

Arman mendekati pintu dengan waspada. Ia membuka perlahan, dan di depannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan wajah panik. Ia memperkenalkan diri sebagai Laras, satu dari nama yang tertera dalam catatan Wira.

“Masuklah,” ucap Arman cepat.

Dengan suara lirih dan terbata, Laras mengakui bahwa ia pernah menjadi perawat yang membantu program A-17. Ia tahu banyak, tapi memilih diam karena diancam. Kini, setelah melihat Arman berani menyelidiki, ia memutuskan untuk berbicara.

“Aku punya sesuatu yang bisa mengubah segalanya,” katanya. “Tapi jika kau terus maju, kau harus siap menghadapi bayangan yang lebih gelap dari apa pun yang pernah kau bayangkan.”

Malam itu, Arman menyadari: ia tak hanya sedang menyelidiki kematian Wira. Ia sedang membuka lembaran masa lalu yang berlumuran darah, kebohongan, dan kekuasaan.

Dan semakin dalam ia melangkah, semakin besar bahaya yang mengintainya.

Namun kini, ia tak bisa berhenti.

Bab 7: Pengkhianatan yang Terungkap

Malam menjelang dengan keheningan yang mencekam. Arman duduk di pojok kamar penginapan, berhadapan dengan Laras yang masih tampak gugup. Di atas meja, flashdisk berisi rekaman eksperimen A-17 masih tergeletak, seakan menjadi saksi bisu dari kisah kelam yang perlahan terbuka.

Laras menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. Suaranya serak, nyaris seperti bisikan.
“Aku tak bisa diam lebih lama, Mas Arman. Sudah terlalu banyak yang menjadi korban. Aku… aku harus jujur padamu.”

Arman menatapnya tajam. “Katakan. Semuanya.”

Laras menggigit bibir bawahnya. “Wira tidak bekerja sendirian. Dia… punya rekan yang ternyata bermain di dua sisi.”

Arman mengerutkan kening. “Siapa maksudmu?”

“Rian.”
Satu nama itu membuat jantung Arman mencelos.

Rian adalah sahabat lama mereka, satu-satunya orang yang Arman percaya sepenuhnya sejak awal penyelidikan. Ia yang pertama kali memberi informasi soal rumah sakit tua, ia juga yang membantu Arman mengakses data dari komputer Wira.

“Tidak mungkin,” desis Arman lirih. “Rian adalah orang yang mengarahkan aku ke jejak Wira. Ia membantuku…”

“Justru karena itulah dia dipercaya,” potong Laras pelan. “Dia dekat dengan Wira, dan ketika tahu Wira mencurigai program A-17, dia yang pertama melaporkannya kepada pihak yang lebih tinggi—termasuk Dr. Satria.”

Arman berdiri mendadak, kursi di belakangnya terjatuh. Matanya berkaca-kaca.
“Kenapa? Kenapa dia melakukan itu?”

Laras menunduk. “Uang. Dan mungkin juga tekanan. Tapi aku tahu, di akhir hayatnya, Wira sempat memaafkan Rian. Ada surat yang ia tulis—ditujukan kepadamu.”

Arman tercekat.
“Surat?”

Laras mengeluarkan selembar kertas kusut dari dalam tasnya dan menyerahkannya. Tinta sudah mulai pudar, namun tulisan tangan itu masih bisa terbaca:

‘Arman, jika kau membaca ini, berarti aku telah gagal melawan mereka.
Jangan salahkan Rian sepenuhnya. Ia terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Tapi kau… kau masih punya pilihan. Lanjutkan apa yang telah kumulai.
Kebenaran ada di tanganmu.’

Surat itu menampar Arman dengan keras. Campuran antara marah, kecewa, dan hancur bercampur dalam pikirannya. Orang yang ia percaya, ternyata menjadi dalang tersembunyi di balik jatuhnya sahabat mereka.

Keesokan harinya, Arman memutuskan untuk menghadapi Rian. Ia tahu, konfrontasi ini berisiko. Tapi ia tak ingin terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan.

Pertemuan berlangsung di sebuah warung tua di ujung desa, tempat yang biasa mereka kunjungi dulu saat masih bersama Wira.

Saat Arman datang, Rian sudah duduk di sana. Tatapannya tenang, namun ada ketegangan di balik matanya.
“Aku sudah menunggumu,” katanya pelan.

Arman duduk tanpa berkata sepatah kata pun. Ia meletakkan surat Wira di atas meja.
“Aku tahu segalanya.”

Rian menatap surat itu lama. Kemudian ia menunduk, seperti tak mampu menyangkal lagi.
“Aku… tak pernah bermaksud menjebaknya. Aku hanya ingin melindungi diriku dan keluargaku. Tapi saat semua mulai kacau, aku sudah terlalu jauh untuk kembali.”

“Dan sekarang?” tanya Arman dingin.

“Aku ingin memperbaikinya. Aku tahu semua lokasi cadangan tempat mereka menyimpan dokumen dan rekaman lain. Aku tahu siapa saja yang terlibat, bahkan lebih dari yang kau bayangkan.” Ia menatap Arman lurus-lurus. “Tapi aku butuh kau untuk menyelesaikan ini. Bersama.”

Arman menahan napas. Ia tahu ini jebakan berbahaya, tapi jika Rian berkata jujur, maka kebenaran bisa benar-benar terbongkar. Ia hanya perlu mengambil risiko terakhir.

Malam itu, Arman kembali ke penginapan dengan kepala berat. Di tangannya, ia menggenggam kunci ke arah yang lebih dalam—jalan yang bukan hanya akan mengungkap pengkhianatan, tetapi juga membuka pintu menuju siapa yang sebenarnya berkuasa di balik program A-17.

Langkahnya kini lebih mantap.

Ia tidak hanya akan membongkar konspirasi. Ia akan menuntut balas.

Bagi Wira.

Dan bagi semua yang sudah menjadi korban diam.

Bab 8: Kejar-kejaran dan Teror

Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut turun perlahan, menyelimuti jalan-jalan kecil di Desa Sembir seperti selimut kematian yang datang tanpa suara. Di bawah langit yang kelam, dua bayangan bergerak cepat menyusuri gang sempit menuju sebuah gudang tua yang berada di pinggir desa—tempat yang disebut Rian sebagai salah satu lokasi penyimpanan data rahasia program A-17.

“Di sana, di balik tembok itu,” bisik Rian, menunjuk ke arah bangunan kusam berdinding seng.

Arman mengangguk, napasnya berat. Sejak pengkhianatan Rian terungkap, ia masih menyimpan amarah. Namun, malam ini mereka berada di sisi yang sama: membongkar kejahatan yang telah menelan banyak nyawa.

Mereka berhasil masuk lewat pintu belakang yang telah berkarat. Di dalam, bau besi tua bercampur dengan aroma jamur dan debu menyesakkan hidung. Arman menyalakan senter kecil dan menyapu ruangan dengan cahaya redup.

Lalu mereka menemukannya.

Sebuah lemari besi tersembunyi di balik tumpukan kardus dan peralatan rusak. Dengan kunci cadangan yang dimiliki Rian, lemari itu terbuka—dan di dalamnya tersimpan puluhan dokumen, kaset rekaman, dan foto-foto anak-anak yang menjadi subjek eksperimen. Beberapa di antaranya bahkan memperlihatkan kondisi tubuh korban yang mengerikan.

Arman menahan mual. Ia memotret setiap bukti, menyimpannya dalam flashdisk, dan memasukkan dokumen-dokumen penting ke dalam tas ransel.
“Kita harus keluar sekarang,” ucapnya tegas. “Ini cukup untuk menggulingkan mereka.”

Namun saat mereka melangkah ke luar gudang, suara mesin mobil terdengar mendekat cepat dari kejauhan. Rian menoleh, wajahnya berubah pucat.
“Mereka datang. Mereka tahu.”

“Lari!” seru Arman.

Tanpa pikir panjang, mereka berlari menyusuri jalan setapak yang mengarah ke hutan kecil di belakang desa. Mobil hitam dengan lampu sorot terang mengejar mereka, menabrak semak dan pepohonan kecil tanpa ampun. Terdengar suara letusan—tembakan!

Peluru menghantam pohon di dekat kepala Arman, serpihannya melukai pipinya. Tapi ia terus berlari, menggenggam tas ranselnya seolah itu adalah nyawa terakhir yang bisa ia selamatkan.

Di tengah hutan, mereka terpaksa berpencar.
“Ambil jalan ke kanan, ada gua kecil tempat kita bisa sembunyi!” teriak Rian.

Arman mengangguk dan melesat ke arah yang ditunjuk. Nafasnya tersengal, tubuhnya penuh luka gores akibat ranting dan semak berduri. Di belakang, suara langkah kaki para pengejar terdengar semakin dekat.

Tiba-tiba, Arman terpeleset di lereng kecil dan jatuh terguling hingga mencapai dasar lembah. Sakit luar biasa menjalar di pergelangan kakinya, namun ia tetap menggertakkan gigi dan memaksa diri bangkit.

Di hadapannya, tampak mulut gua kecil yang nyaris tersembunyi oleh tanaman merambat. Ia masuk ke dalam, menahan napas dalam kegelapan.

Beberapa menit berlalu dalam hening. Hanya suara jantungnya sendiri yang terdengar menggedor-gedor dada.

Lalu—langkah kaki.

Seseorang berdiri di mulut gua. Arman mencengkeram sebilah besi tajam yang ia temukan di lantai gua, siap menyerang.

Namun suara yang terdengar membuatnya terkejut.

“Arman… ini aku.”

Rian muncul, napasnya tersengal, wajahnya penuh debu dan darah. Ia membawa satu dokumen tambahan—dengan segel merah dan tulisan: ‘Kontrak Khusus Proyek A-17 – Penanggung Jawab: DRS.’

“Ini dia. Nama besar di balik semua ini,” ucapnya pelan.

Arman mengambil dokumen itu dan menatapnya dalam diam.

Dunia seakan berhenti sejenak.

Semua kepingan misteri mulai menyatu. Mereka telah menemukan dalangnya.

Namun malam itu belum berakhir. Dari kejauhan, suara anjing penjaga menggema. Lampu-lampu mulai bermunculan di hutan. Pengejar belum menyerah.

Teror belum berakhir.

Dan kejar-kejaran ini… baru saja dimulai.

Bab 9: Kebenaran yang Mematikan

Langit fajar masih redup ketika Arman dan Rian keluar dari persembunyian mereka. Embun dingin membasahi kulit, namun tak cukup mampu meredakan panas dalam dada mereka. Di dalam tas Arman, terdapat dokumen bersegel merah yang menyimpan nama dalang besar di balik Proyek A-17.

DRS.
Inisial yang selama ini hanya muncul sebagai bayangan samar dalam laporan-laporan rahasia, kini menjadi poros utama dalam penyelidikan mereka.

“Siapa sebenarnya DRS?” tanya Arman lirih, menatap lembar demi lembar dokumen yang mereka amankan.

Rian menghela napas dalam-dalam. “Dia bukan sekadar ilmuwan atau pejabat. DRS adalah otak dari semua ini. Ia memiliki pengaruh besar di lembaga-lembaga riset, bahkan di kalangan militer. Nama aslinya… Doktor Rahadian Surya.”

Arman menggigit bibirnya. Nama itu pernah ia dengar—dulu, saat Wira masih hidup dan menyelidiki proyek rahasia yang melibatkan percobaan pada manusia.

“Wira menyebutkan dia dalam catatan terakhirnya,” gumam Arman. “Tapi tak ada bukti. Tak ada yang bisa menghubungkan namanya dengan proyek ini secara langsung.”

Rian menatapnya. “Sampai sekarang.”

Mereka memutuskan menuju kota tempat kantor pusat Yayasan Sains dan Kesehatan Nasional berdiri—tempat DRS bekerja secara resmi. Menyamar sebagai jurnalis investigasi, Arman menyusup masuk, berpura-pura mencari data untuk laporan ilmiah. Ia tahu risikonya besar. Jika identitasnya terbongkar, ia tak hanya akan ditangkap—ia bisa dihilangkan, seperti Wira.

Sementara itu, Rian berjaga di luar, memantau gerak-gerik dari layar CCTV portabel hasil retasan sederhana.

Dalam arsip digital yayasan, Arman menemukan folder yang terkunci dengan sandi. Setelah beberapa kali mencoba, ia menggunakan tanggal kematian Wira sebagai kode—dan berhasil.

Isi folder itu membuat napasnya tercekat.

Rekaman video. Dokumen kontrak. Laporan eksperimen. Foto-foto anak-anak yang hilang. Semuanya mengarah pada satu kesimpulan mengerikan: Proyek A-17 bukan hanya eksperimen medis, tapi proyek pengembangan kontrol pikiran manusia yang dirancang untuk kepentingan militer. Anak-anak yang dijadikan objek hanyalah permulaan.

Namun, kejutan terbesar datang dari sebuah dokumen tambahan. Di dalamnya, ada bukti keterlibatan tokoh-tokoh publik: pejabat, pengusaha, bahkan tokoh masyarakat. Semuanya diam demi uang, kekuasaan, dan pengaruh.

Ketika Arman hendak menyalin data tersebut, alarm berbunyi. Sistem keamanan mendeteksi penyusupan.

“Arman, keluar sekarang!” suara Rian terdengar di alat komunikasi kecil di telinganya.

Arman meraih flashdisk, menyimpan semua data yang berhasil ia salin, lalu berlari keluar dari ruangan. Di koridor, dua petugas keamanan menghadangnya. Ia menabrak rak file hingga jatuh, membuat kekacauan untuk memberi waktu melarikan diri.

Ia berhasil mencapai lorong belakang, tempat Rian menunggunya di atas sepeda motor tua yang sudah menyala.

Tanpa banyak bicara, mereka melaju meninggalkan gedung itu.

Namun malam harinya, mereka menyadari sesuatu yang lebih mengerikan.

Rian menerima pesan singkat tanpa nama:
“Kalian sudah terlalu jauh. Berhenti, atau bersiap kehilangan lebih dari sekadar kebenaran.”

Di saat bersamaan, terdengar suara dentuman dari arah luar penginapan. Api membubung dari sepeda motor mereka yang tadi diparkir. Seseorang telah memasang bahan peledak.

“Ini peringatan,” ucap Rian dengan suara bergetar.

Arman menatap kilatan api di matanya.
“Bukan peringatan. Ini pernyataan perang.”

Kebenaran telah terkuak. Namun kebenaran itu bukan sekadar informasi.

Ia adalah senjata.
Ia juga kutukan.
Dan kini, kebenaran itu telah menjadi sesuatu yang mematikan.

Epilog

Malam itu, kota tampak berbeda. Lampu-lampu jalan yang biasanya menyala cerah kini terlihat redup, seolah ikut merasakan kepedihan yang membebani hati Arman. Setelah perjalanan panjang yang penuh darah dan air mata, kebenaran yang ia cari akhirnya terungkap. Namun, kebenaran itu tak membawa kelegaan, melainkan hanya membuka pintu baru ke dalam gelap yang lebih dalam.

Arman berdiri di tepi jendela, menatap kosong ke luar. Di tangan kanannya, ia memegang amplop cokelat yang sudah lusuh. Sebuah surat dari Wira yang ia temukan setelah semuanya berakhir—setelah konspirasi besar itu dibongkar, dan para pelaku kejahatan dihukum. Namun, hukuman mereka tidak membawa kedamaian. Semua yang mereka lakukan, semua yang mereka sembunyikan, telah meninggalkan luka yang terlalu dalam untuk bisa sembuh.

Tangan Arman menggenggam amplop itu lebih erat, seolah mencari jawaban dalam lembaran terakhir yang ditinggalkan sahabatnya. Di dalamnya, ada kalimat yang membuat Arman terhenyak, setiap kali membacanya:

“Arman, aku tahu kita akan sampai pada titik ini. Tapi ingatlah, terkadang kebenaran bukanlah jawaban yang kita harapkan. Jangan biarkan darah ini mengotori hatimu. Semua yang hilang, tidak bisa kembali. Tapi kamu masih punya pilihan. Pilihlah dengan hati-hati, karena setelah ini, tidak ada jalan mundur.”

Arman memejamkan matanya, merenungi kata-kata itu. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga kehidupan orang-orang yang terlibat. Wira benar, kadang kebenaran itu tidak bisa menghapus luka, bahkan justru menambah beban.

Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa. Namun, dalam hati Arman, ada sesuatu yang telah hilang—sesuatu yang tak bisa dipulihkan lagi. Ia tahu bahwa meskipun hukum telah mengadili mereka yang bersalah, ada banyak hal yang akan terus menghantuinya. Nama-nama yang telah ia temui, rahasia yang telah ia ungkap, dan wajah-wajah yang kini hanya bisa dikenang sebagai bayangan dalam kegelapan.

Namun, satu hal yang pasti—Arman tidak lagi berlari. Ia tidak lagi mengejar kebenaran dengan membabi buta, karena ia tahu sekarang, bahwa tidak semua jawaban pantas ditemukan.

Ia menatap amplop itu satu kali lagi sebelum melangkah menuju meja, tempat surat itu ia simpan. “Terima kasih, Wira,” bisiknya pelan.

Di luar, angin malam berhembus kencang, mengiringi langkahnya menuju pintu.

Kebenaran sudah terungkap, namun bagi Arman, perjalanan ini baru saja dimulai. Dunia yang penuh dengan rahasia gelap dan tak terungkap menanti di luar sana. Dan dia, dengan semua yang telah ia pelajari, harus siap menghadapi apa pun yang datang berikutnya.

Karena hidup, seperti halnya kebenaran, tidak pernah sesederhana yang kita bayangkan.***

————————–THE END————————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Konspirasi#Pengkhianatan#RahasiaGelap#ThrillerBalasDendamKebenaranMematikanKejarKejaranmisteri
Previous Post

API DI TENGAH OPERASI

Next Post

PENGHUNI LANTAI TIGA

Next Post
PENGHUNI LANTAI TIGA

PENGHUNI LANTAI TIGA

RINDU YANG TAK SEMPAT PULANG

RINDU YANG TAK SEMPAT PULANG

KISAH SANG PENYIHIR DAN PEDANG KEGELAPAN

KISAH SANG PENYIHIR DAN PEDANG KEGELAPAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In