thestoryofday– Hari yang sangat menyeramkan pernah kualami ketika kemah di pinggir sungai. Konon, sungai itu merupakan pemandian ratu penari kampung itu, kampung yang sekarang dikenal kampung pengantin.
Kampung penganten adalah tempat paling terkenal karena sebagai penghasil penari perempuan cantik. Selain itu, karena pada zamannya, kampung ini memiliki tradisi tarian untuk tiap upacara pernikahan.
Pada zamannya, keluarga dari mempelai pria wajib menyewa satu penari perempuan untuk berlenggak-lenggok di hadapan pengantin pria sebelum malam pertama. Ketika itu, pengantin perempuan menunggu di dalam kamar hingga acara tarian selesai, baru mempelai laki-laki masuk ke dalam kamar.
Tujuan upacara tarian ini agar pengantin pria lebih bergairah saat melakukan malam pertama. Namun, ada kisah tragis sehingga upacara itu tidak lagi dilaksanakan hingga kini, aku merasakan keangkeran dari sungai, tempat mayat salah satu penari di kampung ini meregang nyawa akibat kemolekannya.
Aku kemah di pinggir sungai itu tidak sendirian, dan tidak melakukan hal-hal senonoh. Aku dan Resa murni hanya menginap. Tapi penampakan itu sungguh sulit dan takan terlupa.
Ceritanya, malam itu aku hendak memasak mie instan. Tapi Resa yang kecapean karena saat baru pulang bekerja langsung kuajak kemah, malam itu sudah tidur sedangkan perutku lapar tak tertahan.
Malam itu pukul 11.15, gerimis sempat menghantui langkahku untuk merebus mie instan. Tapi karena lapar, aku tetap melangkah ke dapur darurat yang terbuat dari plesit dan sedikit daun pisang.
Santai aku menunggu air mendidih sambil mendengar gemericik aliran sungai. Sambil mengisap rokok kretek, aku melamun dan pandangan fokus ke pohon-pohon rindang yang gelap di seberang sungai.
Karena hanyut dalam lamunan itu, aku sampai tidak sadar. Ketika itu, aku berada pada suasana masa lalu. Tidak ada sungai berair coklat, tidak ada tenda dan api unggun. Di depanku, sungai berair jernih mengalir deras.
Keheningan dan kesendirian itu tidak berlangsung lama. Karena dari arah belakang rerimbunan, aku mendengar ada suara perempuan yang hendak meminta pertolongan.
Kulalui rumpun perdu yang gatal sambil mata ini melirik-lirik sekitar. Sangat berhati-hati, aku terus mencari arah suara hingga menemukan sesuatu yang telah memaksaku untuk mengikuti dalam teka-teki itu.
Dari daun-daun persembunyian, aku menyaksikan dua orang laki-laki sedang memegang tangan dan kaki perempuan berparas ayu yang mengenakan atribut kesenian. Kukira, perempuan itu seorang penari.
Penari itu diperkosa. Saat mulut penari itu disumpal, satu orang dari tiga laki-laki itu memasukkan kelaminnya secara paksa ke dalam kelamin perempuan itu.
Miris dan sangat kasihan, tapi aku tidak berani melakukan apapun karena saat ada gerakan sedikit dari kakiku yang mengeluarkan suara, salah satu lelaki yang memegangi perempuan itu mengarahkan pandang ke dalam persembunyian ini.
Semakin kencang kelaminnya dimasukkan nafsu yang sangat menjijikan, perempuan itu semakin berusaha menjerit. Itu terdengar dari erangan mulutnya yang disumpal. Dia terus meronta karena merasakan sakit yang sangat.
Menurutku, orang yang melakukan pemerkosaan itu adalah bos atau orang yang memiliki sesuatu. Pasalnya setelah melakukan puas atas yang dilakukan, dua orang lelaki yang barangkali anak buahnya langsung diperintahkan untuk membunuh perempuan itu.
Jantungku kian berdebar ketika laki-laki itu melewati jalan setapak yang jaraknya sangat dekat dari tempatku bersembunyi untuk mengintip mereka.
Perempuan malang itu lebih dulu dibungkus menggunakan karung berisi batu sebelum ditenggelamkan dan barangkali hanyut ke dalam arus sungai.
Setelah melihat kejadian itu, langit berangsur gelap sedangkan aku masih berada dalam suasana yang sangat membingungkan. Sayup suara orang berteriak memanggil nama seseorang “Laksmi” memasuki telinga kanan dan kiriku.
Ratusan warga menggenggam obor dan penerang lainnya, mencari Laksmi. Aku sangat yakin mereka sedang mencari perempuan yang sedang di perkosa itu.
Aku masuk ke dalam warga yang sibuk mencari itu tapi tak ada satu pun orang yang melihat atau heran atas kedatanganku yang sangat berbeda dengan mereka. Aku terus memanggil salah satu dari mereka karena orang yang membunuh Laksmi sedang memimpin rombongan ini.
Dia menghentikan langkah para rombongan yang telah berada di pinggir sungai, kemudian berkata, “Aku menduga Laksmi pergi ke kota untuk menjadi penari yang hebat.”
“Tidak. Itu tidak mungkin, sekali pun Laksmi tidak pernah mengatakan keinginan untuk menjadi penari yang hebat apalagi sampai berkeinginan pergi ke kota,” kata seorang perempuan berusia 50 tahunan.
“Terserah kalian, kita sudah mencari ke dalam hutan sampai larut malam begini mencari Laksmi hingga ke bibir sungai. Tapi toh tidak ada. Saya lelah, kalian silahkan jika masih ingin terus mencari,” kata si pemerkosa itu meloyor pergi diikuti dua anak buahnya yang tadi membantu dia untuk memperkosa Laksmi.
Pengakuan Resa, dia sangat ketakutan dan panik karena ketika aku masuk ke alam lain itu, tubuhku bergetar hebat dan mataku melotot hanya tertuju satu arah. Resa sampai menangis memohon pertolongan agar kakaknya menjemput kami.
Beruntung kakaknya datang tidak sendirian setelah menempuh waktu berjam-jam. Ia dan orang pintar itu tiba di perkemahan kami pada perbatasan hari, tepat ketika pukul 00.30.
Akan tetapi orang pintar yang dibawa kakaknya Resa tidak dapat begitu saja langsung menyadarkanku, butuh waktu lama hingga keringat tubuhku bercucuran.*** Part 1