Bab 1: Kunjungan yang Tak Terduga
Desa Karangwangi terletak di ujung sebuah hutan yang dikelilingi oleh cerita-cerita misterius. Hutan itu dikenal dengan nama Hutan Larangan, bukan tanpa alasan. Warga desa menghindarinya, menyebutnya sebagai tempat terlarang yang membawa malapetaka bagi siapa saja yang berani memasuki kawasan tersebut. Tentu saja, mitos semacam itu membuat penasaran bagi Ardi, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa itu bersama keluarganya.
Ardi selalu merasa ada yang aneh dengan suasana desa ini. Meskipun orang-orang tampak hidup dengan damai, ada ketegangan yang tersembunyi di balik senyuman mereka. Dia sering mendengar cerita tentang hutan itu, terutama tentang sebuah sumur tua yang terletak di dalamnya. Sumur itu tidak pernah disebut dengan jelas, hanya disebut sebagai “sumur yang terlarang.” Banyak orang tua di desa yang berbicara dengan hati-hati saat membahasnya, seolah-olah menyentuh topik tersebut bisa mendatangkan petaka.
Pagi itu, Ardi sedang duduk di warung kopi milik Pak Darto, seorang pria paruh baya yang sangat dihormati di desa itu. Sambil menyeruput kopi hitam, Ardi mendengarkan percakapan antara Pak Darto dan beberapa warga lainnya. Mereka berbicara tentang rencana perayaan panen yang akan datang, tetapi pembicaraan itu tiba-tiba terhenti saat seorang warga tua, Bu Siti, masuk ke warung.
“Pak Darto,” suara Bu Siti terdengar lirih. “Jangan biarkan pemuda itu mendekati sumur tua itu. Bahaya.”
Semua mata tertuju pada Bu Siti, yang tampak gelisah. Ardi yang mendengar kata-kata itu, merasa ada yang aneh. “Sumur tua? Apa maksudnya, Bu Siti?” tanya Ardi penasaran, meski ada rasa tak nyaman yang menyelimuti dirinya.
Bu Siti menatapnya dengan tajam, seolah-olah ia bisa melihat langsung ke dalam hatinya. “Ardi, kau baru datang ke desa ini, jadi kau tidak tahu apa yang terjadi di hutan itu. Sumur itu bukan tempat biasa. Itu adalah tempat terkutuk.”
Pak Darto mengangguk pelan. “Ya, memang. Banyak yang hilang di sana. Tidak ada yang pernah kembali setelah mencoba mencari tahu lebih banyak tentang sumur itu.”
Ardi terdiam, merasa ada sesuatu yang tertahan di dalam dirinya. Sebagai seseorang yang tumbuh besar dengan rasa ingin tahu yang besar, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencari tahu lebih banyak tentang sumur itu. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi, lebih terdorong oleh rasa penasaran daripada rasa takut.
“Waktu muda dulu, saya pernah mendengar cerita dari orang tua saya,” kata Pak Darto dengan suara pelan. “Dulu, orang-orang datang ke sumur itu untuk mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Tapi semakin mereka menggali, semakin banyak orang yang hilang. Sejak itu, orang-orang mulai menghindarinya. Bahkan, kita semua sepakat untuk tidak mendekatinya.”
Ardi merasa hati kecilnya berdegup cepat. Ada sesuatu yang mengganggu dalam kata-kata Pak Darto, sesuatu yang membuatnya tak bisa melepaskan pandangannya dari hutan di kejauhan, di mana sumur itu konon berada. Sementara itu, Bu Siti menatapnya dengan cemas.
“Jangan bodoh, Ardi. Ada kekuatan gelap di dalam hutan itu. Yang bisa kita lakukan hanya menjauhinya,” tegas Bu Siti, sebelum akhirnya keluar dari warung itu.
Meninggalkan warung itu, Ardi merasa kebingungannya semakin dalam. Semua orang tampak takut pada sumur itu, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskan dengan jelas mengapa. Keingintahuan Ardi semakin besar. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sumur tua itu? Mengapa semua orang begitu takut untuk berbicara tentangnya?
Di malam hari, Ardi tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar mengenai sumur itu, mengenai cerita yang ia dengar, dan tentang ketakutan yang tampaknya menguasai seluruh desa. Ia berbaring di tempat tidurnya, tetapi pikirannya terus melayang ke arah hutan. Akhirnya, ia memutuskan bahwa ia harus pergi ke sana. Hari itu juga.
Esok paginya, setelah sarapan, Ardi berjalan menuju rumah seorang petani tua bernama Pak Karto yang tinggal di ujung desa. Pak Karto dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan luas tentang hutan dan daerah sekitarnya. Meskipun ia sudah tua, Pak Karto masih memiliki tubuh yang kuat dan sikap yang tegas. Ardi ingin berbicara lebih banyak dengan Pak Karto, berharap pria itu bisa memberinya informasi lebih lanjut tentang sumur tua tersebut.
“Pak Karto, apakah Anda tahu sesuatu tentang sumur tua di hutan?” tanya Ardi begitu ia tiba di rumah Pak Karto.
Pak Karto menatap Ardi dengan tatapan yang tajam, seakan-akan ia bisa melihat kedalaman niat Ardi. “Sumur itu bukan tempat yang bisa dimainkan, Nak,” jawabnya dengan suara serak. “Dulu, banyak orang yang mencoba mencarinya, tapi tidak ada yang kembali. Kau harus tahu, hutan itu bukan hanya sekadar tempat tumbuhnya pohon-pohon. Ada sesuatu yang lebih tua dan lebih gelap di sana.”
Ardi merasa ada sesuatu yang mencekam di dalam kata-kata Pak Karto. Namun, rasa penasaran yang mendalam lebih kuat daripada ketakutannya. “Apakah Anda tahu siapa yang pertama kali membuat sumur itu?” tanya Ardi.
Pak Karto menghela napas panjang, kemudian memandang Ardi dengan serius. “Tidak ada yang tahu siapa yang membangunnya. Ada cerita yang beredar bahwa sumur itu sudah ada sejak zaman kerajaan kuno. Beberapa orang percaya bahwa itu adalah tempat penyembahan, sementara yang lain mengatakan bahwa itu adalah tempat yang dibuat untuk tujuan yang lebih gelap. Namun, satu hal yang pasti, sumur itu membawa petaka bagi siapa pun yang mencoba mendekatinya.”
Ardi merasa terhipnotis oleh cerita Pak Karto, tetapi di dalam dirinya, ada dorongan kuat untuk melihatnya sendiri. “Pak Karto, saya harus pergi ke sana,” kata Ardi, meskipun ia tahu Pak Karto pasti akan menentangnya.
Pak Karto memandang Ardi dengan wajah serius. “Hati-hati, Nak. Hutan itu punya cara sendiri untuk menahan orang-orang yang ingin tahu. Jangan biarkan dirimu jatuh ke dalam godaannya.”
Setelah percakapan itu, Ardi merasa lebih teguh dalam niatnya. Ia tahu bahwa ia harus menemui sumur itu, meskipun ada peringatan yang jelas. Ketika ia berjalan menuju hutan, langkahnya semakin mantap, meskipun ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Udara di sekitar hutan terasa lebih berat, dan suasana sepi semakin menyelimuti dirinya.
Setelah beberapa lama berjalan, Ardi akhirnya melihatnya—sumur tua yang terletak di tengah hutan. Sumur itu tampak seolah-olah telah dilupakan oleh waktu, dengan batu-batu besar yang sudah dilapisi lumut dan akar-akar pohon yang menjalar di sekelilingnya. Keheningan di sekitar sumur itu membuat Ardi merasa seperti ada yang tidak beres.
Ardi mendekat, menatap dasar sumur yang gelap. Tanpa disadari, ia merasa ada sesuatu yang mengamati dirinya dari dalam kegelapan itu. Sebuah perasaan aneh menjalar di tubuhnya, tetapi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut itu. Ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di sana, tetapi yang ia tahu pasti adalah bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
Namun, begitu ia semakin mendekat, tiba-tiba angin kencang berhembus, membuat daun-daun berguguran dan suara aneh terdengar dari dalam sumur. Perasaan tak nyaman itu semakin menguasainya. Ardi merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi langkahnya.
Sesaat sebelum ia dapat melangkah lebih jauh, suara bisikan lembut dan misterius terdengar dari dasar sumur, memanggil namanya. “Ardi… Ardi…”
Perasaan aneh itu semakin menguat. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar misteri yang tersembunyi di balik sumur tua ini.***
Bab 2: Bisikan dari Dasar Sumur
Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Semuanya terasa berbeda setelah ia mengunjungi sumur tua di tengah hutan. Bayangan sumur itu terus menghantuinya. Ia tidak bisa mengabaikan bisikan lembut yang memanggil namanya, suara itu begitu jelas, begitu nyata. Meskipun ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya, namun perasaan aneh itu tetap menghantui pikirannya. Ia terbaring di ranjangnya, tetapi matanya tetap terjaga, terfokus pada kegelapan malam yang menyelimuti kamar kecil di rumahnya.
Tak peduli seberapa keras ia mencoba tidur, bayangan sumur dan suara bisikan itu terus berputar di benaknya. Entah mengapa, suara itu terasa begitu akrab, seperti suara seseorang yang sudah lama ia kenal. Semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin suara itu terdengar lebih dekat. Setiap kali Ardi terpejam, ia bisa mendengar suara itu lebih jelas lagi. Semakin lama, bisikan itu berubah menjadi sebuah panggilan.
“Ardi… Ardi…”
Tiba-tiba, ia terbangun dengan terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang. Itu bukan mimpi. Suara itu nyata. Itu datang dari luar.
Dengan tergesa-gesa, Ardi bangkit dari ranjangnya dan mendekati jendela. Suasana malam sangat sunyi, tak ada suara selain hembusan angin yang lembut. Hanya lampu minyak yang menyinari sekitarnya. Perlahan-lahan, ia membuka jendela dan mengintip ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya gelap yang mengelilingi desa.
Namun, meskipun di luar tidak ada yang tampak aneh, perasaan gelisah Ardi semakin menguat. Sesuatu di dalam dirinya memberitahunya bahwa ia harus kembali ke sumur itu. Terdorong oleh rasa ingin tahu yang semakin kuat, ia mengenakan sepatu dan membuka pintu perlahan-lahan agar tidak membangunkan orang tuanya. Langkahnya terasa berat, namun tekadnya jauh lebih kuat.
Ardi berjalan cepat menuju hutan. Udara malam itu terasa dingin, dan langit tampak begitu gelap tanpa bulan. Setiap langkah yang diambilnya menuju hutan terasa semakin berat, namun ia tidak bisa berhenti. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan mendorongnya untuk terus maju.
Hutan Larangan tampak lebih gelap dari biasanya. Tidak ada suara burung atau binatang malam yang biasanya menghiasi hutan ini. Hanya kesunyian yang terasa begitu pekat. Ardi merasa seolah-olah hutan ini menyimpan rahasia besar, dan ia sedang berjalan ke dalam kegelapan yang tidak bisa ia hindari.
Setelah beberapa lama berjalan, Ardi sampai di tempat itu. Sumur tua itu berdiri dengan tegak di tengah kegelapan, seolah menunggu kedatangannya. Tanah di sekitar sumur terlihat basah, meskipun tidak ada hujan sejak beberapa hari yang lalu. Ardi berhenti beberapa langkah dari sumur, menatapnya dalam-dalam.
Malam itu, sumur itu tampak lebih menakutkan dari sebelumnya. Batu-batu besar yang menyusun dinding sumur sudah tertutup lumut tebal, dan akar-akar pohon menjalar ke atas, seolah memeluk sumur itu. Ardi merasakan hawa dingin yang aneh mengelilingi tubuhnya, seolah-olah sumur itu mengundang dirinya lebih dekat.
“Ardi…” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, seolah berasal dari dalam sumur itu sendiri. Bisikan lembut namun penuh dengan kekuatan itu membuat tubuh Ardi terhentak. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar suara yang memanggil namanya. Itu bukan sekadar bisikan biasa. Ada sesuatu yang penuh dengan misteri dan ancaman yang tersembunyi di balik suara itu.
Ardi mendekat sedikit, mencoba menenangkan diri. Ia menatap ke dalam sumur yang gelap itu, namun tidak ada yang terlihat. Hanya kegelapan yang dalam. Ardi merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam sana. Sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan.
“Jangan datang lebih dekat, Ardi…” suara itu terdengar lebih kuat dan lebih mendalam. Ardi merasa tubuhnya mulai gemetar, tetapi rasa penasaran yang besar membuatnya tidak bisa mundur. Ia merasa terhipnotis oleh suara itu, seperti ada kekuatan yang menariknya lebih dalam lagi ke dalam kegelapan sumur.
Dengan penuh kehati-hatian, Ardi mulai melangkah mendekat. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat. Udara semakin dingin, dan rasa takut yang tadi ada dalam dirinya mulai menghilang digantikan oleh rasa aneh yang membuatnya terus maju. Tiba-tiba, ia merasakan ada sesuatu yang menahan kakinya, seperti ada kekuatan yang menariknya ke dalam tanah.
“Jangan… jangan turuti suara itu,” bisik sebuah suara lain, suara yang jauh lebih dalam dan lebih berat daripada suara yang memanggil namanya. Ardi terhenti sejenak. Itu suara seorang pria tua yang sangat ia kenal. Itu suara Pak Karto.
“Pak Karto?” Ardi hampir berteriak, tetapi suaranya tercekik oleh sesuatu yang aneh. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan yang semakin pekat.
“Pergilah, Ardi!” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, hampir seperti teriakan. “Sumur itu bukan tempat yang bisa kau datangi! Ada sesuatu yang terperangkap di sana. Sesuatu yang tidak boleh dibebaskan!”
Ardi merasa hatinya berdebar kencang. Ia menatap sumur itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan ketakutan yang mendalam. Seperti ada sesuatu yang benar-benar salah dengan tempat itu, sesuatu yang lebih dari sekadar cerita hantu yang selama ini ia dengar. Sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.
Namun, meskipun peringatan itu terdengar jelas dalam benaknya, Ardi merasa bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang menariknya ke dalam sumur. Bisikan itu semakin kuat, semakin menguasai pikirannya. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang menunggunya di dalam sana, sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.
“Ardi…” bisikan itu kembali terdengar, kali ini begitu dekat di telinganya. Seperti ada tangan yang menyentuh pundaknya.
Dengan gemetar, Ardi akhirnya memutuskan untuk mundur, tetapi saat ia berbalik, tanah di sekitarnya mulai bergetar. Ia merasa terjatuh ke dalam kegelapan yang sangat dalam. Tanpa sempat berteriak, Ardi merasa dirinya seperti diseret oleh kekuatan yang tak terlihat. Tanpa bisa berbuat apa-apa, ia terjatuh ke dalam sumur, memasuki kegelapan yang lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan.
Hanya suara gemuruh yang terdengar, dan Ardi merasa tubuhnya semakin tenggelam ke dalam kegelapan yang mencekam. Ia tidak tahu lagi di mana ia berada, hanya merasakan sesuatu yang gelap, dingin, dan menekan.
Ketika ia akhirnya membuka mata, Ardi mendapati dirinya terbaring di tanah, basah kuyup, di bawah langit yang gelap dan berawan. Sumur itu sudah tidak terlihat lagi. Namun, perasaan aneh itu tetap ada dalam dirinya. Ada sesuatu yang mengintai, menunggu di balik setiap bayangan. Ardi tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri. Sesuatu telah berubah dalam dirinya, dan kini ia harus menghadapi apa yang telah lama terkubur di dalam kegelapan sumur itu.
Perjalanan Ardi baru saja dimulai, dan sumur tua itu, bersama dengan rahasia yang tersembunyi di dalamnya, belum mengungkapkan semua misterinya.**
Bab 3: Jejak yang Hilang
Ardi terbangun dengan rasa pusing yang hebat. Tubuhnya terasa sangat lelah, dan matanya sulit terbuka sepenuhnya. Suara-suara di sekelilingnya terasa jauh, seolah berada di luar jangkauan kesadarannya. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan. Udara terasa dingin, dan bau tanah yang lembab mengisi hidungnya. Ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang tidak dikenalnya, jauh dari rumahnya, jauh dari desa yang selama ini ia tinggali.
Sumur itu—ya, ia ingat, itu adalah sumur yang ia kunjungi sebelumnya. Tapi kini, semuanya tampak berbeda. Tidak ada lagi sumur tua itu di depannya. Sebagai gantinya, ia berada di tengah hutan yang lebih gelap dan lebih lebat daripada sebelumnya. Akar-akar pohon merambat dengan liar, dan kabut tipis menggantung rendah di tanah. Semua ini terasa sangat tidak wajar, seperti ia terperangkap dalam dunia yang asing, sebuah dunia yang memisahkannya dari kenyataan.
Ardi bangkit dari tanah dengan susah payah. Ia melihat ke sekelilingnya dan mencoba mengingat apa yang terjadi. Apakah ia jatuh? Apakah ia benar-benar masuk ke dalam sumur itu? Tapi apa yang sebenarnya ia alami? Ia mencoba meraba-raba ingatannya, tetapi semuanya terasa kabur. Suara bisikan itu, yang memanggil namanya, masih terngiang di telinganya, namun ia tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi setelah itu.
Dengan hati-hati, Ardi mulai melangkah. Ia merasa ada yang salah, ada perasaan yang mengusiknya, sesuatu yang menyelimuti hutan ini. Hutan Larangan, seperti yang disebutkan orang-orang desa, bukan hanya sekadar tempat yang angker, melainkan tempat yang penuh dengan misteri dan bahaya yang tak bisa dijelaskan. Setiap langkahnya semakin memperburuk perasaan aneh yang menyelimutinya, seakan ada sesuatu yang mengawasi pergerakannya.
Tidak jauh dari tempat ia terjatuh, Ardi melihat sebuah jalan setapak yang tampak jarang dilalui. Akar-akar pohon yang menjalar di sepanjang jalan setapak itu menyatu dengan tanah, seakan jalan tersebut sudah lama tidak dipakai. Namun, jalan itu tampaknya satu-satunya harapan Ardi untuk keluar dari hutan ini.
Dengan langkah hati-hati, Ardi mulai mengikuti jalan setapak tersebut. Ia tidak tahu ke mana jalan itu akan membawanya, tetapi perasaan ingin tahu, yang selama ini selalu menghantui dirinya, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Dalam keheningan hutan, ia mendengar suara-suara yang aneh. Terkadang, angin bertiup kencang, dan suara-suara gemerisik di antara pepohonan seakan-akan mengikutinya, seperti ada sesuatu yang berjalan bersamanya, meskipun ia tidak melihat apa-apa.
Setelah beberapa lama berjalan, Ardi mulai merasa kelelahan. Kakinya sudah mulai terasa pegal, dan napasnya semakin berat. Ia berhenti sejenak di bawah pohon besar, mencari perlindungan dari hujan tipis yang mulai turun. Di bawah pohon itu, ia duduk, berusaha menenangkan pikirannya.
“Kenapa aku masih di sini?” gumamnya pada diri sendiri. “Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku tidak bisa keluar dari hutan ini?”
Saat ia melamun, sesaat ia teringat akan kata-kata Pak Karto, petani tua yang pernah memperingatkannya tentang sumur itu. Pak Karto pernah berkata bahwa hutan ini bukanlah tempat biasa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar pohon dan tanah. Sesuatu yang lebih tua, yang tak dapat dipahami oleh manusia. Ardi mulai merasa bahwa peringatan itu bukan hanya omong kosong belaka. Ada sesuatu yang sangat kuat dan berbahaya yang tersembunyi di balik segala yang ia alami. Sesuatu yang harus ia ungkap, meskipun ia merasa ketakutan.
Tak lama kemudian, Ardi mendengar suara langkah kaki dari kejauhan. Awalnya ia mengira itu adalah suara binatang, tetapi suara itu semakin dekat, semakin jelas. Dengan cepat, Ardi berdiri dan menyembunyikan dirinya di balik pohon besar. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya terasa kaku. Ia menahan napas, mencoba untuk mendengarkan dengan seksama. Suara langkah kaki itu semakin jelas, dan tiba-tiba muncul sosok seorang pria tua yang berjalan menyusuri jalan setapak.
Pria itu tampak aneh. Wajahnya sangat pucat, matanya kosong, dan pakaiannya kusam, seolah sudah lama tidak dicuci. Ia tampak seperti seseorang yang sudah lama terjebak di dalam hutan ini, hilang tanpa arah. Pria itu melangkah perlahan, seolah tidak menyadari keberadaan Ardi di balik pohon. Di tangannya, ia memegang sebuah tongkat kayu panjang, yang tampaknya dipakai untuk menopang tubuhnya yang sudah rapuh.
Ardi, meskipun ketakutan, merasa bahwa pria itu bisa menjadi kunci untuk keluar dari hutan ini. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari persembunyiannya dan mendekati pria itu.
“Pak… Pak, apakah Anda tahu di mana ini?” Ardi bertanya dengan suara pelan, berharap agar pria itu bisa membantunya keluar dari hutan yang mencekam ini.
Pria itu berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Ardi dengan tatapan kosong. Ada keheningan beberapa detik sebelum pria itu akhirnya berbicara dengan suara serak, seperti suara yang sudah lama tidak digunakan.
“Di sini… Di sini, tak ada yang bisa keluar,” jawabnya dengan suara berat, hampir seperti bisikan. “Hutan ini… menjaga mereka yang datang ke sini. Mereka yang tersesat tidak akan pernah kembali. Dan sumur itu… sumur itu adalah tempat terkutuk.”
Ardi terkejut mendengar kata-kata pria itu. “Sumur? Apa yang Anda maksud dengan sumur itu? Apakah Anda tahu di mana itu?”
Pria itu mengangguk perlahan. “Sumur itu… sudah ada sejak zaman dahulu. Itu adalah tempat yang tak boleh didatangi siapa pun. Mereka yang mencoba menggali lebih dalam hanya akan menemukan kegelapan abadi. Tidak ada jalan keluar setelah itu.”
Mendengar perkataan pria itu, Ardi merasa jantungnya hampir berhenti. Semua yang diceritakan pria itu terasa sangat mirip dengan kisah yang didengar Ardi dari orang-orang di desa. Namun, ada sesuatu dalam diri Ardi yang tidak bisa mengabaikan peringatan tersebut. Ia merasa bahwa ia harus tahu lebih banyak.
“Pak, bagaimana saya bisa keluar dari sini? Saya terjebak, saya tidak tahu jalan keluar!” tanya Ardi dengan panik.
Pria itu menatapnya dengan tajam, seakan sedang menilai keputusan Ardi. “Kau sudah berada di sini terlalu lama, Nak. Setiap langkahmu akan membawamu lebih dalam. Tapi jika kau ingin tahu lebih banyak, kau harus pergi ke sana,” kata pria itu, menunjuk ke arah sebuah pohon besar yang tampak lebih tua dari yang lain.
Ardi mengikuti arah tunjuk pria itu, dan ketika matanya tertuju pada pohon besar itu, ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Seperti ada kekuatan yang menariknya ke sana. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan pergi, meninggalkan Ardi yang masih berdiri, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
Perasaan ketakutan yang datang tiba-tiba, rasa penasaran yang semakin membesar, dan rasa bingung yang menguasai diri Ardi semakin membuatnya terpojok. Ia tahu bahwa apa yang ia hadapi kali ini jauh lebih besar dari yang bisa ia bayangkan. Namun, di balik ketakutannya, ia juga tahu bahwa jawabannya ada di sana—di tempat yang ditunjukkan pria itu.
Dengan hati-hati, Ardi melangkah menuju pohon besar yang disebutkan pria itu. Setiap langkah terasa semakin berat, namun keinginan untuk mengungkapkan misteri sumur tua itu terus mendorongnya maju. Ardi tidak tahu apa yang akan ia temui di sana, tetapi ia tahu bahwa ia harus menghadapinya. Sumur tua itu, hutan ini, dan pria misterius itu—semua ini adalah bagian dari teka-teki yang harus ia pecahkan.**
Bab 4: Jejak yang Tak Terlihat
Ardi berjalan cepat, berusaha mengejar jejak yang baru saja ditinggalkan pria tua itu. Meskipun rasa takut yang mencekam semakin menyelimutinya, ia tidak bisa berhenti. Kata-kata pria itu terus berputar di kepalanya. “Sumur itu adalah tempat terkutuk. Mereka yang mencoba menggali lebih dalam hanya akan menemukan kegelapan abadi.” Tentu saja, suara bisikan yang memanggil namanya dari dalam sumur itu juga masih bergema di pikirannya. Suara itu terus menuntut perhatian, membiarkan rasa takut dan rasa penasaran bersatu dalam dirinya.
Namun, meskipun semua peringatan itu ada, Ardi merasa ada sesuatu yang sangat mendalam yang ingin ia ketahui. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita hantu yang beredar di desa. Sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan hutan ini, dengan sumur itu, dengan perasaan aneh yang semakin menghantui pikirannya.
Ardi mengikuti arah tunjuk pria tua itu, menuju pohon besar yang tampak lebih tua dari yang lainnya. Semakin dekat ia mendekati pohon itu, semakin terasa sebuah tarikan tak terlihat yang mengarahkannya ke sana. Pohon itu sendiri tampak berbeda—lebih besar, lebih tua, dan seolah-olah memiliki sesuatu yang hidup di dalamnya. Akar-akarnya tampak seperti tangan yang meraih ke segala arah, dan kulit pohonnya berkerut, seolah menyimpan kisah panjang yang tak terungkapkan.
Ia berhenti sejenak di bawah pohon itu, merasakan getaran aneh yang muncul begitu dekat. Seluruh hutan terasa sepi, namun sesuatu di udara membuat Ardi merasa bahwa ia sedang diawasi. Pandangannya tertuju pada sebuah celah di bawah akar pohon. Di sana, tanahnya terlihat lebih lembab dan sedikit tergali, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Rasa penasaran kembali menguasai dirinya, mendorongnya untuk mendekati celah itu.
Tanpa banyak berpikir, Ardi menunduk dan mulai menggali dengan tangannya. Tanah di bawah pohon itu terasa aneh, lembab, dan seperti ada sesuatu yang tertimbun di dalamnya. Semakin dalam ia menggali, semakin ia merasakan bahwa ada sesuatu yang berat dan keras tersembunyi di bawahnya. Ketika akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang keras, Ardi menariknya keluar. Apa yang ia temui adalah sebuah peti kayu kecil, sudah usang dan penuh lumut.
Peti itu terbuat dari kayu yang sangat tua, tetapi masih cukup kokoh. Ardi merasa jantungnya berdegup kencang saat ia membuka penutup peti itu. Di dalamnya, terdapat sebuah benda yang sangat aneh. Itu adalah sebuah buku kecil dengan sampul yang terbuat dari kulit. Kulitnya sudah mulai terkikis oleh waktu, tetapi desainnya masih tampak jelas. Di atas sampul itu terdapat simbol aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada garis-garis yang membentuk pola yang tidak teratur, seperti sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata biasa.
Rasa penasaran Ardi semakin besar, namun ada perasaan lain yang muncul di dalam dirinya. Sebuah perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan. Seakan buku itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar halaman-halaman kosong. Ardi membuka buku itu perlahan, dan saat ia melihat halaman pertama, matanya langsung tertuju pada tulisan yang sangat kecil dan pudar, seolah ditulis dengan tinta yang sudah hampir pudar. Tulisannya berbahasa yang tidak ia mengerti, dengan simbol-simbol yang membingungkan.
Ardi berpikir untuk membawa buku itu ke desa dan bertanya pada orang-orang yang lebih tahu. Mungkin ada seseorang yang bisa menjelaskan bahasa itu. Tetapi saat ia hendak menutup buku itu, matanya tertuju pada sebuah gambar di bagian belakang halaman. Gambar itu menggambarkan sumur tua yang ia kunjungi beberapa hari yang lalu. Gambar itu sangat detail, dan meskipun gambarnya tidak sempurna, Ardi bisa melihat dengan jelas bahwa itu adalah gambar sumur yang sama. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Di sekitar sumur itu, terlihat bayangan manusia yang tampak melayang, seolah-olah mereka terjebak dalam kegelapan yang dalam.
Gambar itu membuat Ardi merasa jantungnya berhenti berdetak. Ada sesuatu yang sangat salah dengan gambar itu. Ia merasa bahwa buku ini adalah kunci untuk memahami semuanya, namun perasaan takut kembali muncul dalam dirinya. Mengapa gambar itu ada di dalam buku ini? Apa hubungannya dengan sumur yang telah ia kunjungi? Ardi menggigit bibirnya, mencoba untuk mengendalikan diri, namun ia tahu bahwa ia sudah terlalu jauh untuk mundur.
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di dalam hutan, seperti bisikan yang sangat lembut namun penuh kekuatan. “Ardi… Ardi…” Suara itu kembali, memanggilnya dengan nada yang sangat familiar, seolah berasal dari jauh di dalam sumur itu. Ardi menoleh dengan cepat, matanya mencari-cari sumber suara itu, tetapi yang ia temui hanyalah hutan yang hening.
“Siapa itu?” Ardi berbisik pada dirinya sendiri. Suara itu mengganggunya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ketakutan yang nyata. Bukan hanya ketakutan akan hutan yang penuh misteri, tetapi ketakutan bahwa ia sudah terlalu jauh terjerat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia pahami. Apakah itu suara dari dalam sumur? Apakah itu suara yang datang dari bayangan-bayangan yang ada di gambar buku itu?
Mata Ardi tertuju pada buku itu lagi. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkannya dengan buku itu, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Mungkin, buku ini bukan hanya sebuah catatan kuno, melainkan sebuah petunjuk. Petunjuk tentang apa yang terjadi di dalam sumur, tentang apa yang ada di dalam hutan ini, dan tentang kekuatan yang tersembunyi di balik semuanya.
Namun, suara bisikan itu semakin keras, semakin mendalam, seolah mengisi ruang di sekitar Ardi. Ia merasa seolah-olah suara itu datang langsung dari dalam dirinya. “Ardi… kau sudah mendekat terlalu jauh. Kembali… kembali sebelum terlambat…” Suara itu terdengar begitu nyata, begitu dekat, sehingga Ardi merasa seperti ada sesuatu yang menyentuhnya, seperti ada sesuatu yang berusaha menariknya kembali ke dalam kegelapan.
“Harus… harus pergi…” gumam Ardi, merasa bingung dan cemas. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tangan Ardi gemetar, dan tanpa berpikir panjang, ia menutup buku itu dan meletakkannya kembali ke dalam tanah. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika buku itu menyentuh tanah, tanah di sekitar buku itu mulai bergetar, dan sebuah cahaya redup mulai muncul dari dalam celah yang ada di tanah.
Cahaya itu semakin terang, seolah menarik Ardi lebih dalam ke dalam tanah. Ardi merasa kakinya semakin berat, seperti ada kekuatan yang menariknya ke bawah. Ia mencoba untuk melawan, namun semakin ia berusaha untuk berdiri, semakin kuat tarikan itu. Rasa takut yang meluap-luap menguasai dirinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggu untuk diungkapkan, dan Ardi sudah berada di titik yang tidak bisa kembali lagi.
Sebelum semuanya menjadi terlalu gelap, Ardi melihat sekelilingnya. Hutan, tanah, dan cahaya itu semuanya seolah membawanya ke dalam dunia yang lebih dalam—sebuah dunia yang sudah lama terlupakan, namun kini bangkit kembali untuk mengungkapkan kegelapannya. Sumur itu, dengan segala misterinya, adalah kunci dari semuanya, dan Ardi sudah terlalu dekat untuk bisa mundur.
Saat ia terjatuh ke dalam kegelapan, hanya satu hal yang ia yakini: apa pun yang ada di bawah sana, ia harus menemukannya, meskipun itu berarti berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.**
Bab 5: Terungkapnya Kegelapan
Ardi merasakan tubuhnya terjatuh begitu dalam, lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Segala sesuatu tampak kabur, gelap, dan penuh dengan kekuatan yang memaksanya untuk terus bergerak, meskipun ia tidak tahu kemana. Kejang dan ketakutan menyelimuti tubuhnya. Ketika akhirnya ia terjatuh, ia mendapati dirinya tergeletak di sebuah ruangan yang sangat asing, namun sekaligus familiar—ruangan yang tampak seperti sebuah gua yang dalam, dengan dinding yang dilapisi lumut dan akar-akar pohon yang menjalar di seluruh permukaan.
Cahaya redup yang tadi mengelilinginya kini hilang, digantikan oleh kegelapan yang pekat. Ardi terengah-engah, merasa lelah dan bingung. Kepalanya terasa berat, namun entah bagaimana, ia bisa merasakan bahwa ia masih hidup, dan sesuatu yang lebih besar dari dirinya tengah menunggunya di sini. Suara-suara di sekitar hutan itu—suara bisikan yang memanggil namanya—sekarang terasa semakin dekat. Ia tahu, kegelapan ini bukan sekadar kegelapan biasa.
Lama-kelamaan, matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap, dan ia mulai melihat bentuk-bentuk samar di sekitar gua tersebut. Terdapat beberapa patung kuno yang tertutup oleh lumut dan tanah. Ardi mendekati salah satunya. Patung itu menggambarkan sosok manusia yang tengah memegang sebuah buku besar dengan kedua tangan terangkat ke langit. Wajahnya tampak terluka, seolah ia sedang berteriak, tetapi tanpa suara. Ada sesuatu yang mengerikan pada patung itu, sesuatu yang membekukan darah di pembuluh tubuhnya.
Di sebelahnya, terdapat sebuah batu besar dengan ukiran yang terlihat sangat tua. Ukiran itu menggambarkan gambar yang sangat mirip dengan sumur tua di hutan, namun dengan detail yang lebih rumit. Ada bayangan manusia di sekitar sumur, tetapi wajah mereka tampak kabur dan buram, seolah-olah mereka telah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Ardi menyentuh batu itu, dan begitu ia melakukannya, ia merasa seperti tersedot ke dalam sebuah dimensi yang berbeda. Keadaan di sekelilingnya berubah.
Ia merasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, menembus ruang waktu yang tak terhingga. Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tempat yang sangat berbeda—sebuah ruang besar yang penuh dengan cahaya redup. Tempat itu tidak tampak seperti bagian dari dunia yang ia kenal. Di tengah ruangan, ada sebuah sumur besar yang sangat mirip dengan sumur tua di hutan.
Namun, di sini, sumur itu jauh lebih besar, dan atmosfer di sekitarnya terasa sangat berbeda. Suara bisikan yang selama ini ia dengar seakan berasal dari dalam sumur itu. Ardi merasa jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia sudah sampai di tempat ini—di tempat yang selama ini ia coba hindari.
Di dekat sumur, terdapat seseorang yang tampak mengenakan pakaian kuno, wajahnya tertutup dengan jubah hitam. Sosok itu berdiri diam, membelakangi Ardi. Ardi merasakan sesuatu yang sangat asing mengenai sosok ini, sesuatu yang gelap dan sangat kuat. Sosok itu akhirnya menoleh, dan Ardi terkejut ketika melihat wajahnya. Wajah itu tampak sangat familiar—itu adalah wajah Pak Karto, orang tua yang pernah memberi peringatan padanya.
“Pak Karto?” Ardi berbisik, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah lihat.
Pak Karto tersenyum tipis, senyuman yang penuh dengan kesedihan dan kerahasiaan. “Kau sudah datang jauh, Ardi. Lebih jauh daripada yang kau pikirkan.”
“Pak… apa yang terjadi di sini? Apa yang sebenarnya terjadi dengan sumur itu? Mengapa semuanya terasa begitu gelap?” Ardi bertanya dengan suara gemetar, merasa semakin terperangkap dalam misteri ini.
Pak Karto menghela napas panjang, seolah tahu bahwa saat ini adalah momen yang tidak bisa dihindari. “Sumur itu bukan sekadar sumur biasa. Itu adalah portal, Ardi. Portal yang menghubungkan dunia ini dengan dunia lain—dunia yang lebih tua, lebih gelap. Ada kekuatan yang tersembunyi di baliknya, kekuatan yang sudah ada sejak zaman kuno. Dan yang lebih mengerikan, kekuatan itu telah terjebak di dalam sumur itu.”
Ardi mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya dikatakan Pak Karto. “Tapi… kenapa saya? Mengapa saya yang terpilih untuk datang ke sini?”
“Karena kau memiliki darah yang sama dengan mereka yang membangkitkan sumur ini. Kau adalah keturunan mereka, Ardi. Keturunan mereka yang terkutuk. Dan kau, seperti mereka, tidak akan bisa lepas begitu saja dari kekuatan itu,” jawab Pak Karto, suaranya terdengar penuh penyesalan.
“Apakah saya terkutuk?” Ardi bertanya, suaranya hampir tidak terdengar. Ia merasa dunia di sekitarnya mulai runtuh.
Pak Karto mengangguk perlahan. “Ya, kau terkutuk. Seperti yang lain sebelummu. Mereka yang datang ke sumur ini, mereka yang ingin menggali lebih dalam ke dalam kegelapan, akan selalu terjebak. Mereka akan terperangkap dalam dunia ini, di antara kegelapan dan cahaya, selamanya. Dan sekarang, giliranmu.”
Ardi merasa tubuhnya lemas, perasaan seperti diseret ke dalam kekosongan. Semua yang ia alami—semua bisikan, semua kejadian—ternyata sudah ditentukan. Ia tidak bisa melarikan diri. Kegelapan ini sudah menunggu sejak lama.
Pak Karto melangkah mendekat, kemudian mengangkat tangannya ke arah sumur. Cahaya dari sumur itu mulai bersinar lebih terang, dan Ardi merasa dirinya tertarik ke dalamnya. “Kau harus membuat pilihan, Ardi,” kata Pak Karto dengan suara pelan. “Kau harus memilih apakah akan melanjutkan perjalanan ini, membuka kegelapan lebih dalam, ataukah berhenti di sini, menjadi bagian dari dunia ini, terjebak selamanya.”
Ardi menatap sumur itu dengan rasa takut yang mendalam. Ia merasa seperti ada kekuatan besar yang menariknya ke dalam, mengundangnya untuk menyelam lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak terjangkau oleh cahaya. Namun, ia tahu bahwa ini bukan sekadar soal pilihan pribadi. Ini adalah pilihan yang akan menentukan takdirnya.
“Apakah ada jalan keluar?” tanya Ardi, suaranya hampir seperti desahan.
Pak Karto tersenyum dengan sangat tipis. “Tidak ada jalan keluar, Ardi. Semua orang yang datang ke sini mencari jalan keluar, tetapi mereka hanya menemukan satu hal: kegelapan. Semua yang ada di sini sudah ditulis. Semua ini adalah bagian dari nasib yang tidak bisa dihindari.”
Ketika Ardi menatap sumur itu, ia merasa sebuah tarikan yang sangat kuat. Semua hal yang ia alami—semua peristiwa yang terjadi—tiba-tiba tampak seperti bagian dari sebuah pola yang lebih besar, sesuatu yang lebih tak terjangkau dari akal sehatnya. Ia ingin menjerit, tetapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Ia tahu bahwa tidak ada pilihan lagi. Ia sudah terperangkap.
Dengan langkah yang berat, Ardi maju ke arah sumur itu, merasa seolah dunia ini telah berakhir. Ia tahu bahwa ia telah sampai di titik tanpa kembali, di tempat di mana segala sesuatu yang ia kenal akan menghilang dalam kegelapan.
Dan saat ia akhirnya terjatuh ke dalam sumur, dunia di sekitarnya mulai mengabur, digantikan oleh kegelapan yang lebih dalam, lebih kekal.
Akhirnya, Ardi menjadi bagian dari kegelapan itu, tak bisa lagi terlepas dari sumur yang telah mengikat nasibnya.***
——————-THE END————-