• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
STARTEGI KABUR DARI UNDANGAN MANTAN

STARTEGI KABUR DARI UNDANGAN MANTAN

February 17, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
STARTEGI KABUR DARI UNDANGAN MANTAN

STARTEGI KABUR DARI UNDANGAN MANTAN

by MABUMI
February 17, 2025
in Komedi, Uncategorized
Reading Time: 21 mins read

Bab 1: Undangan Tak Terduga

Hidupku sudah berjalan dengan cukup lancar setelah berbulan-bulan berlalu sejak perpisahan dengan Arif. Semua orang bilang waktu akan menyembuhkan segalanya, dan aku rasa itu benar. Meski awalnya penuh dengan tangisan dan perasaan hampa, perlahan-lahan aku mulai menemukan diriku sendiri lagi. Aku sibuk dengan pekerjaan, hangout dengan teman-teman, dan berusaha menikmati hidup tanpa bayang-bayang hubungan lama. Namun, seolah dunia ini tak pernah berhenti memberi kejutan, satu hal yang sangat tidak aku harapkan datang menghampiri pagi itu: undangan pernikahan Arif.

Aku sedang duduk di meja makan, meminum kopi sambil memeriksa ponsel. Begitu melihat notifikasi yang masuk, aku sedikit terkejut. Itu bukan pesan dari teman atau keluarga, tapi dari aplikasi pesan undangan pernikahan. Aku menatap layar dengan ragu. Nama yang tertulis di sana jelas, seakan ingin mengingatkanku akan masa lalu yang pernah kucoba lupakan: Arif dan Dita. Apa? Dita? Aku merasa seperti disiram air dingin di tengah hari yang panas. Dita adalah wanita yang Arif kenalkan padaku beberapa tahun yang lalu—sebelum akhirnya kita berpisah. Dan sekarang, mereka akan menikah.

Mataku mulai memanas, dan aku menghela napas panjang. Sebuah rasa campur aduk muncul—antara kebingungan, sedikit amarah, dan lebih dari itu, perasaan terhina yang samar-samar. Selama ini, aku selalu menganggap bahwa aku sudah melupakan semua tentang Arif. Tapi, melihat undangan itu, rasanya seperti membuka pintu ke dalam kenangan yang lama terkubur.

Aku tahu, aku harus menerima kenyataan bahwa hubungan kami sudah berakhir. Arif telah move on, dan aku juga. Tapi perasaan aneh ini membuatku ragu. Apakah aku siap untuk melihatnya bahagia bersama orang lain? Apakah aku cukup kuat untuk menghadiri pernikahan mereka tanpa merasa canggung atau bahkan tersinggung? Pikiranku berlarian tanpa henti, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan betapa bodohnya aku jika aku tidak hadir. Tapi, apakah aku benar-benar ingin menghadiri momen besar dalam hidupnya itu?

Tapi kemudian aku berpikir lebih jauh. Apakah ada cara lain? Bisa aku temui alasan untuk tidak datang tanpa terlihat menghindar atau menghindari perasaan lebih dalam lagi? Aku mulai mencari-cari alasan di kepalaku, berusaha memikirkan apa yang bisa membuatku lepas dari undangan ini tanpa rasa bersalah. Tentu saja, alasan pertama yang muncul adalah sakit. Siapa yang bisa menganggap serius undangan pernikahan dari seseorang yang sedang sakit parah? Tentu saja, aku tidak ingin terlihat dramatis atau berbohong tentang suatu penyakit serius, tetapi mungkin flu biasa bisa jadi alasan yang cukup masuk akal, bukan?

Namun, begitu aku berpikir tentang itu, rasanya tidak terlalu meyakinkan. Siapa yang tidak tahu bahwa aku baru saja menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan berlibur ke Bali? Bagaimana bisa aku tiba-tiba mengatakan bahwa aku sakit? Apalagi, teman-teman dekat kami pasti akan mengetahui kalau aku tidak benar-benar sakit. Alasan itu tampaknya terlalu lemah dan bahkan bisa membuat aku terlihat sangat tidak jujur.

Rencana pertama gagal. Aku pun melanjutkan pencarianku untuk alasan lainnya. Pekerjaan. Mungkin aku bisa saja berpura-pura ada rapat penting yang harus kuhadiri. Atau mungkin ada proyek yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi, setelah mengingat betapa banyaknya teman-teman yang tahu pekerjaanku, apakah mereka tidak akan bertanya lebih lanjut? Bukankah mereka bisa saja mengetahui bahwa aku hanya ingin menghindari situasi canggung? Dan, meskipun aku bisa meyakinkan mereka, rasanya tetap ada kekurangan dalam alasan itu.

Aku memutar otak lagi. Lalu, sebuah ide muncul begitu saja. Kenapa tidak menggunakan alasan emosional? Aku ingat, beberapa waktu lalu, aku pernah mengatakan pada teman-teman bahwa aku mungkin belum siap untuk melihat mantan menikah. Mereka mengerti, bahkan mungkin merasa kasihan padaku. Tapi, apakah itu bukan hal yang terlalu canggung? Aku membayangkan diri berdiri di depan Arif dan Dita di altar, dengan hati yang terluka dan air mata yang hampir tumpah. Ah, tidak, itu bukan pilihan yang bagus. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian di acara seperti itu, apalagi jika aku datang hanya untuk membuat suasana lebih berat.

Pikiran tentang undangan pernikahan ini terus menggangguku. Aku bahkan mulai merasa sedikit gelisah saat makan siang, bahkan saat berbicara dengan teman-teman. Mereka tidak tahu, dan aku tidak berani memberitahukan mereka. Aku merasa seperti harus mencari cara untuk lari dari ini, untuk menghindari perasaan yang terlalu rumit.

Setelah berjam-jam berpikir, aku sadar satu hal—apakah aku benar-benar harus datang? Mengapa aku merasa seakan aku diwajibkan untuk hadir? Arif dan Dita pasti sudah memiliki hidup mereka sendiri sekarang. Aku pun begitu. Mungkin inilah saatnya untuk benar-benar melepaskan dan tidak terjebak dalam masa lalu.

Aku memutuskan untuk tidur sejenak, berharap setelah itu aku bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Seiring aku terlelap, aku tahu bahwa malam ini aku harus membuat keputusan yang tidak mudah. Tetapi, bagaimanapun juga, aku berhak memilih jalan hidupku sendiri, bukan?

Keputusan ini bukan hanya tentang menghadiri pernikahan mantan, tetapi juga tentang siapa aku sekarang dan bagaimana aku menghadapinya. Jadi, apakah aku akan hadir atau tidak? Itu adalah pertanyaan yang akan aku jawab besok—dengan kepala dingin dan hati yang lebih mantap. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan membiarkan undangan itu merusak hidupku yang sudah mu

lai aku bangun kembali.

Bab 2: Strategi Pertama – Alasan Kesehatan

Keesokan harinya, setelah berpikir panjang semalam, aku merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghindari pernikahan mantan tanpa terlihat terlalu buruk adalah dengan alasan sakit. Aku tahu itu terdengar klise, tetapi siapa yang bisa menganggap serius undangan pernikahan dari seseorang yang sedang terbaring sakit, kan? Dengan tekad itu, aku mulai merencanakan langkah pertama dalam strategiku: berpura-pura sakit.

Tentu saja, aku tidak akan berpura-pura sakit parah. Aku tidak bisa melakukannya, karena teman-teman dan keluargaku pasti akan tahu bahwa itu bohong belaka. Jadi, aku memutuskan untuk menggunakan alasan yang lebih ringan, tapi tetap cukup meyakinkan: flu biasa. Itu bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang membuat orang merasa khawatir, tetapi cukup untuk memberiku alasan untuk tidak datang. Flu, batuk, pilek—itu semua adalah alasan yang cukup umum, dan mudah diterima.

Pagi itu, aku memutuskan untuk memulai drama sakit ini dengan cara yang sangat meyakinkan. Aku duduk di meja makan dengan wajah sedikit cemberut, berusaha terlihat lelah, dan menundukkan kepala seakan sedang merasa pusing. Aku mengeluh sedikit, “Aduh, badan rasanya nggak enak banget, deh. Kayaknya aku kena flu.” Suara yang kuucapkan sudah cukup terdengar lemah, meski sebenarnya aku merasa baik-baik saja. Bahkan, aku merasa energiku lebih tinggi daripada biasanya karena tidur yang cukup. Tapi, aku harus berakting.

Aku melanjutkan dengan keluhan lebih dramatis. “Aduh, kenapa ya, ya? Tiba-tiba pilek dan batuk begini.” Lalu aku melirik ke arah ponsel, berpura-pura membaca sesuatu, padahal sebenarnya aku sedang memeriksa undangan pernikahan itu sekali lagi. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri—perasaan itu kembali muncul: cemas dan sedikit terluka, meskipun aku berusaha menghindarinya.

Aku tahu, cara ini bisa jadi salah. Ada kemungkinan teman-teman atau keluargaku akan mulai menanyakan lebih lanjut tentang keadaan sakitku. Jika mereka tahu aku bohong, akan sangat memalukan. Jadi, aku bertekad untuk mempertahankan cerita ini dengan sangat hati-hati. Aku bahkan mulai berpikir tentang beberapa detail tambahan, seperti batuk yang lebih sering atau suara yang lebih serak. Aku tidak ingin ada celah yang bisa digunakan orang untuk memergokiku.

Beberapa jam kemudian, aku mulai mengirim pesan kepada teman-temanku, mengatakan bahwa aku tidak bisa datang ke pernikahan itu karena kondisi kesehatan yang buruk. “Sakit banget, nih. Badan panas, pilek parah, dan batuk. Kayaknya nggak bakal kuat pergi deh,” tulisku dengan nada yang cukup dramatis.

Tentu saja, aku berharap teman-teman tidak akan mempertanyakan lebih dalam. Dan kebetulan, salah satu dari mereka, Rina, langsung membalas, “Wah, kasihan banget! Semoga cepat sembuh ya! Kalau butuh apa-apa, kasih tahu aja.” Jawaban itu membuatku sedikit lega. Tidak ada yang meragukan alasan sakitku, setidaknya untuk sementara.

Namun, aku merasa sedikit tidak nyaman. Rasanya seperti sedang bermain-main dengan kejujuran. Aku tahu ini bukan cara yang terbaik, tetapi apa lagi yang bisa aku lakukan? Menghadiri pernikahan itu berarti membuka kembali luka lama, dan aku belum siap untuk itu. Aku berusaha menenangkan diri dengan berpikir bahwa aku hanya berusaha menjaga jarak dan melindungi diriku sendiri. Lagipula, siapa yang mau datang ke pernikahan mantan jika hati mereka masih terbuka untuk kenangan yang tidak bisa dikelola dengan baik?

Hari itu berlalu, dan aku mulai merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, dengan alasan sakit ini, aku bisa merasa aman. Tidak ada yang akan memaksa aku datang jika aku sudah memberi tahu mereka bahwa aku sedang tidak enak badan. Aku bahkan mulai merencanakan untuk tidur sepanjang sore dan malam untuk lebih meyakinkan diri sendiri bahwa aku benar-benar sakit.

Namun, keesokan harinya, rencana ini mulai terungkap dengan cara yang sangat tidak aku harapkan. Pagi-pagi sekali, aku mendapat pesan dari ibu. “Nak, kamu benar-benar nggak bisa datang ke pernikahan Arif? Nanti kalau kamu nggak datang, mereka pasti akan merasa nggak enak, lho.” Ibu adalah tipe orang yang selalu peduli dengan perasaan orang lain. Aku tahu, dia akan sangat kecewa jika aku benar-benar tidak hadir. Aku membalas pesan itu dengan hati-hati. “Iya, Bu. Aku nggak enak badan banget, jadi nggak bisa datang deh.”

Aku menunggu beberapa detik sebelum ibu membalas. “Kamu harus jujur sama diri sendiri, ya. Kalau memang kamu nggak mau datang, jangan pakai alasan sakit. Mereka pasti paham kalau kamu butuh waktu.”

Aku terdiam sejenak. Ternyata, ibu lebih tahu daripada yang aku kira. Aku tidak bisa terus berbohong. Ibu adalah orang yang selalu bisa melihat dari sisi yang lebih dalam. Mungkin ini waktunya untuk menghadapi kenyataan. Jika aku terus berpura-pura, aku hanya akan menambah beban dalam hatiku sendiri.

Namun, undangan itu masih terus menggantung di pikiran. Aku berpikir, mungkin ibu benar. Tidak ada gunanya menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Jadi, aku memutuskan untuk berterus terang kepada ibu. “Sebenarnya, aku nggak siap untuk datang, Bu. Aku masih merasa canggung. Arif dan Dita sudah melanjutkan hidup mereka, dan aku belum siap melihatnya bahagia bersama orang lain.”

Setelah membaca pesan itu, ibu membalas dengan lebih lembut, “Aku mengerti, Nak. Tapi kamu harus tahu, menghadapi perasaan itu adalah bagian dari proses. Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk hadir kalau kamu belum siap, tapi jangan biarkan perasaan itu mengendalikan hidupmu.”

Aku terdiam, merenung. Ternyata, alasan sakitku hanyalah pelarian. Mungkin, apa yang benar-benar aku butuhkan adalah keberanian untuk menghadapi kenyataan, bukan sekadar mencari alasan agar bisa melarikan diri.

Bab 3: Strategi Kedua – Pura-pura Sibuk

Keesokan harinya, setelah mencoba strategi pertama yang berakhir dengan kegagalan besar, aku menyadari bahwa alasan sakit tidak bisa diandalkan. Tentu saja, itu berhasil untuk sementara waktu, tetapi aku tidak bisa terus berbohong tentang sesuatu yang jelas-jelas tidak ada. Setelah percakapan dengan ibu, aku merasa semakin tergoda untuk menemukan alasan lain yang lebih masuk akal, sesuatu yang bisa memberikan alasan kuat agar aku tidak perlu hadir di pernikahan mantan.

Lalu, aku teringat sebuah ide yang tampaknya lebih cemerlang: pura-pura sibuk. Ini adalah trik klasik yang sering kali dipakai banyak orang dalam situasi seperti ini. Siapa yang tidak bisa mengerti jika seseorang harus mengabaikan undangan karena ada pekerjaan mendesak atau acara yang tak bisa ditunda? Pekerjaan selalu menjadi alasan yang masuk akal. Apalagi aku bekerja di perusahaan yang cukup sibuk, jadi mengklaim bahwa aku harus fokus pada proyek besar atau rapat penting tidak akan mengejutkan siapa pun. Aku bisa mengirim pesan singkat, mengatakan bahwa aku terpaksa harus bekerja pada hari yang sama. Tidak ada yang akan meragukannya. Aku yakin itu akan berhasil.

Pagi itu, aku sudah merencanakan segalanya. Aku menyiapkan pesan untuk dikirim kepada teman-teman dan keluarga yang mungkin menanyakan apakah aku akan datang. Isi pesan itu sederhana: “Guys, maaf banget, aku terpaksa nggak bisa datang ke pernikahan Arif. Ada rapat besar yang nggak bisa ditunda. Semoga acara lancar dan bahagia, ya!”

Aku merasa percaya diri. Ini alasan yang lebih realistis dan bisa diterima semua orang. Aku bahkan membayangkan betapa ringannya perasaan ini setelah semua kegelisahan yang kurasakan sebelumnya. Tidak ada yang bisa menyalahkan aku jika pekerjaan yang lebih penting datang. Tapi begitu pesan itu terkirim, ada perasaan cemas yang mengendap di dalam hati. Apakah ini terlalu mudah? Aku bertanya-tanya apakah ada yang akan meragukannya. Bagaimana jika mereka mulai bertanya lebih lanjut tentang rapat yang aku sebutkan?

Tak lama setelah pesan itu terkirim, ponselku berdering. Ternyata itu Rina, teman dekatku yang tahu banyak tentang pekerjaanku. “Nggak jadi datang, ya? Kayaknya kita harus ngobrol nanti. Kamu beneran ada rapat besar? Karena aku tahu, biasanya kamu nggak kerja di akhir pekan.”

Aku mulai merasa kepanasan. Meskipun niatku sudah baik, ada satu hal yang kulupakan—Rina cukup tahu tentang jadwal kerjaku, dan dia tahu bahwa akhir pekan biasanya adalah waktu yang aku gunakan untuk istirahat atau bersantai. Aku berusaha menenangkan diri dan menjawab dengan meyakinkan. “Iya, Rina. Rapat ini penting banget, dan aku nggak bisa ninggalin. Sorry banget, deh. Semoga kalian semua bersenang-senang, ya!”

Aku menunggu beberapa detik, berharap bahwa Rina akan segera mengalihkan pembicaraan. Namun, balasannya membuatku semakin ragu. “Oke deh, nggak masalah. Tapi kalau kamu beneran nggak bisa datang karena rapat, pastiin ya kalau kamu nggak lagi berusaha menghindar. Kita semua ngerti kok, kalau kamu butuh waktu sendiri.”

Pesan itu membuatku terdiam. Ternyata, Rina lebih jeli daripada yang aku kira. Aku merasa sedikit terpojok. Aku tidak bisa lagi mengelak, karena dia tahu betul aku tidak pernah melewatkan pertemuan penting tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, dalam benakku, aku mulai berpikir bahwa aku tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik alasan yang tidak sepenuhnya jujur.

Aku kembali memikirkan tentang pernikahan itu, dan aku merasa seakan aku tidak bisa lari dari kenyataan. Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa perasaan tidak nyaman datang begitu saja? Padahal, aku sudah berusaha berpikir rasional. Aku sudah berusaha membuat alasan yang terlihat masuk akal. Tetapi entah kenapa, perasaan canggung dan tidak nyaman itu semakin menghantuiku.

Saat aku mulai merenung, ponselku berdering lagi. Kali ini, itu adalah pesan dari Arif. Pesan singkat yang hanya bertuliskan, “Hai, aku tahu kamu pasti sibuk, tapi aku ingin kamu tahu kalau kamu akan sangat kami tunggu di pernikahan kami. Semoga bisa datang, ya. Jangan khawatir kalau belum siap. Kita ngerti kok.”

Pesan itu seperti sebuah tamparan halus di wajahku. Arif ternyata tahu bahwa aku mungkin merasa canggung atau belum siap, tetapi dia tetap berharap aku datang. Sementara aku, di sisi lain, berusaha keras menghindar dari kenyataan. Ini adalah bagian yang paling sulit: menghadapinya. Aku menyadari bahwa meskipun aku mencoba melindungi diriku dengan alasan-alasan palsu, perasaan yang sebenarnya tidak bisa aku hindari. Arif sudah melangkah maju, dan aku masih terjebak dalam ketakutanku untuk menghadapi masa lalu.

Setelah beberapa menit berpikir, aku akhirnya memutuskan untuk membalas pesan Arif. Aku tidak bisa terus bersembunyi. “Arif, aku nggak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tahu aku mungkin membuatmu bingung, tapi aku belum siap untuk datang. Aku menghargai undangannya, tapi aku pikir ini terlalu cepat buatku.”

Aku merasa sedikit lega setelah mengirim pesan itu, meskipun di dalam hatiku, ada perasaan yang masih belum selesai. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa perasaan yang aku coba hindari tetap ada, dan aku tidak bisa terus menghindar dari situasi ini selamanya.

Ketika aku kembali merenung, aku menyadari satu hal: meskipun alasan sibuk tampaknya bisa menghindarkanku dari pernikahan itu, alasan sebenarnya adalah ketakutanku menghadapi perubahan. Aku takut melihat Arif bahagia dengan orang lain. Aku takut melihatnya melangkah maju dalam hidup, sementara aku masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Tetapi, mungkin inilah saatnya untuk melepaskan ketakutan itu dan menerima kenyataan. Aku mungkin tidak harus hadir di pernikahan itu, tetapi aku harus siap untuk melepaskan semuanya.

Bab 4: Strategi Ketiga – Menghadapi Kenyataan

Setelah melalui dua strategi yang gagal, rasa cemas dan takut semakin menguasai diriku. Aku sudah mencoba untuk menghindar dengan alasan kesehatan dan pekerjaan, namun semua itu terasa sia-sia. Setiap kali aku berusaha bersembunyi di balik alasan yang tidak sepenuhnya jujur, ada sesuatu yang terus menggerogoti pikiranku. Aku merasa seperti berlari dari sesuatu yang tidak bisa aku hindari. Kenyataan bahwa aku masih terikat dengan masa lalu, dengan Arif, semakin terasa jelas.

Pada malam hari, setelah seharian merasa tidak tenang, aku duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan segalanya. Aku menatap undangan pernikahan Arif yang masih tersimpan di ponselku. Hatinya rasanya sangat berat. Aku merasa terjebak di dalam dilema. Aku ingin melanjutkan hidupku, tetapi undangan itu seolah menjadi pengingat yang tak bisa dihindari. Menghindari kenyataan ini hanya membuatku semakin cemas dan bingung. Mungkin, sudah saatnya untuk menghadapi perasaan ini dan tidak terus berlarian.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berhenti mencari alasan. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Jika aku benar-benar ingin sembuh dari perasaan ini, aku harus menghadapi kenyataan bahwa Arif sudah melangkah maju, dan aku harus bisa menerima kenyataan itu. Aku tidak bisa selamanya melarikan diri dari perasaan takut akan perpisahan. Ketakutan itu sudah cukup lama menahan langkahku, dan aku merasa seperti sudah waktunya untuk melepaskan beban itu. Aku tidak bisa terus menyiksa diri dengan menghindari situasi seperti ini.

Pagi itu, aku menelepon Rina, sahabat baikku, yang selalu mendukungku. Aku sudah memutuskan bahwa aku harus berbicara dengannya tentang apa yang terjadi, tanpa berpura-pura. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti, seseorang yang bisa memberikan perspektif yang lebih objektif.

“Rina, aku rasa aku sudah mulai merasa sedikit cemas. Semua strategi yang aku coba buat untuk menghindari pernikahan Arif akhirnya berakhir dengan kegagalan. Aku merasa seperti berlarian, dan itu hanya membuatku semakin terjebak,” kataku saat dia mengangkat telepon.

Rina mendengarkan dengan seksama. “Aku ngerti, kok. Kadang, kita memang harus benar-benar berhenti mencari alasan dan mulai menghadapi kenyataan. Apakah kamu pikir kamu siap untuk itu? Untuk menerima bahwa dia bahagia dengan orang lain?”

Aku terdiam. Pertanyaan itu sangat menohok. Apakah aku benar-benar siap? Selama ini, aku berusaha untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku sudah melupakan Arif, bahwa aku sudah move on, tetapi melihat dia bahagia bersama orang lain membuat perasaan itu datang kembali. Aku merasa terluka, tetapi lebih dari itu, aku merasa seperti bagian dari diriku yang hilang selama ini. Rina melanjutkan, “Aku tahu ini nggak mudah, tapi kamu harus ingat bahwa kamu berhak bahagia. Tidak ada salahnya kalau kamu merasa nggak siap untuk melihat dia bahagia dengan orang lain. Tapi, itu bukan alasan untuk terus bersembunyi.”

Aku menghela napas panjang. Aku merasa seperti baru saja dibuka mataku. Rina benar, aku tidak bisa terus bersembunyi atau mencari alasan. Mungkin aku tidak siap untuk menghadiri pernikahannya, tetapi aku harus belajar melepaskan dan tidak biarkan perasaan ini menguasai hidupku.

Hari itu, aku memutuskan untuk melakukan hal yang sebelumnya tidak pernah kubayangkan—aku akan menghadiri pernikahan Arif. Tidak untuk menghindar, tidak untuk mencari alasan, tetapi untuk menghadapinya langsung. Aku tahu, ini mungkin akan sangat sulit. Menghadapi Arif dan Dita di hari pernikahan mereka bukanlah hal yang mudah. Tetapi aku sudah cukup lama menghindari kenyataan, dan aku tidak ingin menjadi orang yang terus berlari.

Setelah memutuskan untuk menghadiri pernikahan, aku merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, aku sudah tidak lagi bersembunyi di balik kebohongan atau alasan yang tidak jujur. Aku merasa seperti membuka pintu untuk diriku sendiri. Aku akan menghadapi perasaan yang selama ini aku hindari, dan aku akan melihat bagaimana rasanya.

Hari pernikahan Arif tiba. Aku sudah memilih gaun yang sederhana namun cukup elegan, berusaha menutupi rasa canggung yang mulai muncul kembali. Ketika aku sampai di lokasi pernikahan, suasana terasa penuh dengan kegembiraan. Aku melihat banyak teman-teman lama yang sudah lama tidak kutemui, semuanya terlihat bahagia. Beberapa dari mereka menanyakan apakah aku baik-baik saja, dan aku hanya tersenyum sambil menjawab, “Iya, aku baik-baik saja.” Namun di dalam hatiku, ada perasaan yang sulit dijelaskan—sebuah perasaan campuran antara kebahagiaan dan kesedihan.

Tiba-tiba, pandanganku tertuju pada Arif. Dia berdiri di altar bersama Dita, tampak sangat bahagia. Dita terlihat cantik, dan Arif memandangnya dengan penuh cinta. Sebuah perasaan aneh muncul di dadaku—bukan hanya kesedihan, tetapi juga rasa lega. Aku merasa seolah ada bagian dari diriku yang terlepas. Meski rasanya berat, aku tahu bahwa perasaan ini adalah bagian dari proses melepaskan. Arif sudah melangkah maju, dan aku juga harus melakukan hal yang sama.

Setelah upacara selesai, aku tidak langsung pergi. Aku berjalan menuju mereka, berusaha tersenyum meskipun ada getaran halus yang membuat jantungku berdegup kencang. “Selamat, Arif. Dita, semoga kalian bahagia selalu,” kataku dengan tulus.

Arif tersenyum dan merangkulku, “Terima kasih, ya. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, tapi aku senang kamu datang. Semoga kamu bahagia juga.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Ternyata, tidak ada yang perlu aku takuti. Meskipun berat, aku merasa sedikit lega bisa hadir dan menyaksikan mereka melangkah maju. Aku tahu, ini adalah langkah besar dalam hidupku untuk melepaskan masa lalu dan menerima kenyataan.

Aku menyadari satu hal penting di hari itu: aku tidak perlu terus menghindar atau mencari alasan untuk tidak menghadapi kenyataan. Aku harus bisa menerima bahwa hidup berjalan terus, dan setiap orang berhak untuk bahagia—termasuk Arif dan aku. Dengan keputusan ini, aku merasa sedikit lebih kuat. Mungkin aku belum sepenuhnya siap untuk melepaskan semuanya, tetapi aku tahu, perlahan-lahan, aku akan melakukannya.Bab 5: Strategi Keempat – Mengizinkan Diri untuk Merasa

Setelah menghadiri pernikahan Arif dan Dita, perasaan yang bercampur aduk tetap menghinggapi diriku. Meskipun aku merasa lega karena bisa melepaskan beban dan menghadapi kenyataan, ada bagian dari diriku yang masih merasa sakit. Aku merasa seperti sebuah luka yang perlahan sembuh, namun masih ada bekas yang tak akan hilang begitu saja. Mengizinkan diriku untuk merasakan semuanya adalah hal yang paling sulit, tetapi mungkin itulah yang selama ini aku hindari—menghadapi perasaan yang seharusnya aku rasakan, tanpa menekan atau melarikan diri darinya.

Pagi setelah pernikahan itu, aku duduk di balkon rumah, memandang matahari yang mulai terbit. Udara pagi terasa sejuk, tetapi hati ini tetap terasa sedikit berat. Aku memikirkan banyak hal—tentang bagaimana Arif tampak begitu bahagia dengan Dita, tentang bagaimana aku merasa cemas dan takut, tetapi akhirnya memutuskan untuk datang. Aku merasa bahwa selama ini aku berusaha keras untuk menyangkal perasaan yang ada. Aku tak ingin mengakui bahwa aku masih terikat dengan kenangan lama.

Aku mulai menyadari bahwa selama ini aku tidak memberi izin pada diriku untuk merasa. Aku selalu berpikir bahwa aku harus kuat, harus bisa melewati semua ini tanpa menangis atau merasakan sakit. Aku berusaha terlalu keras untuk terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya aku belum sepenuhnya pulih dari perpisahan itu. Mungkin inilah alasan mengapa aku begitu terjebak dalam kebohongan dan alasan yang kubuat—karena aku takut menghadapi perasaan sesungguhnya. Aku takut jika aku membiarkan diriku merasakan sakit itu, maka aku tidak akan bisa keluar darinya.

Hari itu, aku memutuskan untuk memberikan izin pada diriku untuk merasakan semuanya. Aku ingin menangis jika perlu, atau merasa cemas dan tidak siap. Aku ingin meresapi perasaan itu tanpa rasa malu atau rasa bersalah. Karena, setelah semua yang terjadi, aku menyadari bahwa perasaan ini adalah bagian dari proses penyembuhan. Aku tidak bisa terus menghindarinya, dan tidak ada yang salah jika aku merasa sedih, kecewa, atau bahkan marah.

Aku menulis di jurnal kecilku, sesuatu yang sudah lama tidak kulakukan. Menulis selalu membuatku merasa lebih ringan, seperti melepaskan semua yang tertahan di dalam kepala. Aku mulai menulis tentang bagaimana rasanya melihat Arif melangkah maju, bahagia dengan orang lain, sementara aku masih merasa terjebak di masa lalu. Aku menulis tentang rasa kehilangan yang tak bisa aku hindari, tentang betapa sulitnya melepaskan seseorang yang pernah begitu dekat di hidupku. Aku menulis tentang bagaimana aku merasa seolah-olah tidak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk merasakan kesedihan itu, karena aku terlalu sibuk mencari alasan untuk menghindari kenyataan.

Aku menulis selama beberapa jam, meresapi setiap kata yang keluar dari hatiku. Ternyata, aku merasa lebih baik setelah itu. Mungkin tidak ada yang benar-benar bisa mengubah kenyataan bahwa Arif sudah menikah dengan Dita, tetapi aku bisa memberi izin pada diriku untuk merasa bahwa ini adalah akhir dari bab itu. Aku tahu, ini bukanlah hal yang mudah, tetapi aku juga tahu bahwa perasaan ini akan membawaku pada proses penyembuhan yang lebih baik.

Setelah menulis, aku merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah sebuah beban berat yang selama ini aku bawa perlahan mulai terangkat. Aku tahu, aku harus belajar untuk menerima bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, termasuk Arif dan Dita. Aku tidak bisa terus mengharapkan hal yang sama dari masa lalu. Aku harus memberi diriku kesempatan untuk merasakan kebahagiaan itu juga, walau terkadang harus melalui jalan yang penuh kesedihan.

Malam itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan Rina. Aku ingin berbicara lebih lanjut dengan dia, membahas semua yang aku rasakan dan apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya. Aku merasa sedikit takut untuk mengungkapkan perasaan lebih dalam, tetapi aku tahu Rina adalah teman yang bisa kupercayai. Aku meneleponnya dan mengundangnya untuk makan malam bersama. “Rina, aku butuh bicara. Kalau nggak masalah, bisa ketemu malam ini?”

Rina langsung setuju dan kami bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa kami kunjungi. Saat kami duduk dan memesan makanan, aku langsung memulai pembicaraan. “Aku merasa aneh setelah pernikahan Arif, Rina. Aku pikir aku sudah siap untuk melepaskan semuanya, tapi aku masih merasa bingung. Rasanya seperti ada yang hilang, tapi aku juga tahu aku nggak bisa terus terjebak di masa lalu.”

Rina menatapku dengan penuh perhatian. “Aku ngerti kok, kamu merasa nggak mudah. Tapi, nggak apa-apa kalau kamu masih merasa seperti itu. Kadang-kadang, kita butuh waktu untuk benar-benar menerima kenyataan, dan nggak ada yang salah dengan perasaan itu.”

Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. “Tapi, aku juga sadar kalau aku nggak bisa terus seperti ini. Aku nggak bisa terus mencari alasan untuk menghindar. Aku harus memberi kesempatan pada diriku untuk melangkah maju, meskipun itu sulit.”

Rina tersenyum lembut. “Aku tahu kamu bisa, kok. Mungkin nggak mudah, tapi kamu sudah mulai mengambil langkah pertama dengan menghadiri pernikahannya. Itu bukan hal kecil, lho. Kamu sudah menghadapi perasaan yang selama ini kamu hindari. Dan itu, bagi aku, sudah sebuah pencapaian besar.”

Aku tersenyum, merasa sedikit lega. Rina benar. Aku sudah mulai menghadapi kenyataan, meskipun proses itu sangat sulit. Aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Aku harus melangkah maju, meskipun dengan hati yang masih penuh luka. Aku harus belajar untuk merasakan, untuk menerima, dan untuk melepaskan.

Malam itu, kami berbicara banyak tentang masa depan. Kami tertawa, mengenang masa-masa indah, dan membicarakan impian-impian kami. Aku merasa semakin kuat. Aku sadar, perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hal yang harus aku hadapi, dan mungkin aku masih akan merasakan kesedihan itu dalam waktu yang lama. Namun, yang terpenting sekarang adalah aku sudah mulai memberi izin pada diriku untuk merasakannya, tanpa perlu merasa takut atau malu. Itulah langkah pertama untuk melepaskan dan menerima apa yang sudah terjadi.

Aku pulang malam itu dengan perasaan yang lebih ringan. Langkahku mungkin masih perlahan, tapi aku tahu aku sedang

berjalan ke arah yang benar.

Bab 5: Strategi Keempat – Mengizinkan Diri untuk Merasa

Setelah menghadiri pernikahan Arif dan Dita, perasaan yang bercampur aduk tetap menghinggapi diriku. Meskipun aku merasa lega karena bisa melepaskan beban dan menghadapi kenyataan, ada bagian dari diriku yang masih merasa sakit. Aku merasa seperti sebuah luka yang perlahan sembuh, namun masih ada bekas yang tak akan hilang begitu saja. Mengizinkan diriku untuk merasakan semuanya adalah hal yang paling sulit, tetapi mungkin itulah yang selama ini aku hindari—menghadapi perasaan yang seharusnya aku rasakan, tanpa menekan atau melarikan diri darinya.

Pagi setelah pernikahan itu, aku duduk di balkon rumah, memandang matahari yang mulai terbit. Udara pagi terasa sejuk, tetapi hati ini tetap terasa sedikit berat. Aku memikirkan banyak hal—tentang bagaimana Arif tampak begitu bahagia dengan Dita, tentang bagaimana aku merasa cemas dan takut, tetapi akhirnya memutuskan untuk datang. Aku merasa bahwa selama ini aku berusaha keras untuk menyangkal perasaan yang ada. Aku tak ingin mengakui bahwa aku masih terikat dengan kenangan lama.

Aku mulai menyadari bahwa selama ini aku tidak memberi izin pada diriku untuk merasa. Aku selalu berpikir bahwa aku harus kuat, harus bisa melewati semua ini tanpa menangis atau merasakan sakit. Aku berusaha terlalu keras untuk terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya aku belum sepenuhnya pulih dari perpisahan itu. Mungkin inilah alasan mengapa aku begitu terjebak dalam kebohongan dan alasan yang kubuat—karena aku takut menghadapi perasaan sesungguhnya. Aku takut jika aku membiarkan diriku merasakan sakit itu, maka aku tidak akan bisa keluar darinya.

Hari itu, aku memutuskan untuk memberikan izin pada diriku untuk merasakan semuanya. Aku ingin menangis jika perlu, atau merasa cemas dan tidak siap. Aku ingin meresapi perasaan itu tanpa rasa malu atau rasa bersalah. Karena, setelah semua yang terjadi, aku menyadari bahwa perasaan ini adalah bagian dari proses penyembuhan. Aku tidak bisa terus menghindarinya, dan tidak ada yang salah jika aku merasa sedih, kecewa, atau bahkan marah.

Aku menulis di jurnal kecilku, sesuatu yang sudah lama tidak kulakukan. Menulis selalu membuatku merasa lebih ringan, seperti melepaskan semua yang tertahan di dalam kepala. Aku mulai menulis tentang bagaimana rasanya melihat Arif melangkah maju, bahagia dengan orang lain, sementara aku masih merasa terjebak di masa lalu. Aku menulis tentang rasa kehilangan yang tak bisa aku hindari, tentang betapa sulitnya melepaskan seseorang yang pernah begitu dekat di hidupku. Aku menulis tentang bagaimana aku merasa seolah-olah tidak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk merasakan kesedihan itu, karena aku terlalu sibuk mencari alasan untuk menghindari kenyataan.

Aku menulis selama beberapa jam, meresapi setiap kata yang keluar dari hatiku. Ternyata, aku merasa lebih baik setelah itu. Mungkin tidak ada yang benar-benar bisa mengubah kenyataan bahwa Arif sudah menikah dengan Dita, tetapi aku bisa memberi izin pada diriku untuk merasa bahwa ini adalah akhir dari bab itu. Aku tahu, ini bukanlah hal yang mudah, tetapi aku juga tahu bahwa perasaan ini akan membawaku pada proses penyembuhan yang lebih baik.

Setelah menulis, aku merasa sedikit lebih tenang. Seolah-olah sebuah beban berat yang selama ini aku bawa perlahan mulai terangkat. Aku tahu, aku harus belajar untuk menerima bahwa setiap orang berhak untuk bahagia, termasuk Arif dan Dita. Aku tidak bisa terus mengharapkan hal yang sama dari masa lalu. Aku harus memberi diriku kesempatan untuk merasakan kebahagiaan itu juga, walau terkadang harus melalui jalan yang penuh kesedihan.

Malam itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan Rina. Aku ingin berbicara lebih lanjut dengan dia, membahas semua yang aku rasakan dan apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya. Aku merasa sedikit takut untuk mengungkapkan perasaan lebih dalam, tetapi aku tahu Rina adalah teman yang bisa kupercayai. Aku meneleponnya dan mengundangnya untuk makan malam bersama. “Rina, aku butuh bicara. Kalau nggak masalah, bisa ketemu malam ini?”

Rina langsung setuju dan kami bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa kami kunjungi. Saat kami duduk dan memesan makanan, aku langsung memulai pembicaraan. “Aku merasa aneh setelah pernikahan Arif, Rina. Aku pikir aku sudah siap untuk melepaskan semuanya, tapi aku masih merasa bingung. Rasanya seperti ada yang hilang, tapi aku juga tahu aku nggak bisa terus terjebak di masa lalu.”

Rina menatapku dengan penuh perhatian. “Aku ngerti kok, kamu merasa nggak mudah. Tapi, nggak apa-apa kalau kamu masih merasa seperti itu. Kadang-kadang, kita butuh waktu untuk benar-benar menerima kenyataan, dan nggak ada yang salah dengan perasaan itu.”

Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. “Tapi, aku juga sadar kalau aku nggak bisa terus seperti ini. Aku nggak bisa terus mencari alasan untuk menghindar. Aku harus memberi kesempatan pada diriku untuk melangkah maju, meskipun itu sulit.”

Rina tersenyum lembut. “Aku tahu kamu bisa, kok. Mungkin nggak mudah, tapi kamu sudah mulai mengambil langkah pertama dengan menghadiri pernikahannya. Itu bukan hal kecil, lho. Kamu sudah menghadapi perasaan yang selama ini kamu hindari. Dan itu, bagi aku, sudah sebuah pencapaian besar.”

Aku tersenyum, merasa sedikit lega. Rina benar. Aku sudah mulai menghadapi kenyataan, meskipun proses itu sangat sulit. Aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Aku harus melangkah maju, meskipun dengan hati yang masih penuh luka. Aku harus belajar untuk merasakan, untuk menerima, dan untuk melepaskan.

Malam itu, kami berbicara banyak tentang masa depan. Kami tertawa, mengenang masa-masa indah, dan membicarakan impian-impian kami. Aku merasa semakin kuat. Aku sadar, perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hal yang harus aku hadapi, dan mungkin aku masih akan merasakan kesedihan itu dalam waktu yang lama. Namun, yang terpenting sekarang adalah aku sudah mulai memberi izin pada diriku untuk merasakannya, tanpa perlu merasa takut atau malu. Itulah langkah pertama untuk melepaskan dan menerima apa yang sudah terjadi.

Aku pulang malam itu dengan perasaan yang lebih ringan. Langkahku mungkin masih perlahan, tapi aku tahu aku sedang berjalan ke arah yang benar.

Bab 6: Strategi Kelima – Menerima dan Menyambut Masa Depan

Hari-hari setelah pernikahan Arif berlalu begitu saja, dan aku mulai merasakan perubahan dalam diriku. Meski tidak langsung, ada perasaan baru yang perlahan mengalir masuk ke dalam kehidupanku—perasaan yang lebih tenang, lebih damai, dan lebih menerima. Seperti yang Rina katakan, aku telah mengambil langkah besar dengan menghadiri pernikahan Arif. Mungkin itu bukan langkah yang sempurna, tetapi itu adalah langkah menuju penerimaan, yang selama ini sangat sulit aku capai. Aku tidak hanya menerima kenyataan bahwa Arif bahagia, tetapi juga menerima bahwa aku memiliki hak untuk bahagia dengan caraku sendiri.

Selama beberapa minggu setelah pernikahan, aku lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, merenung dan menyusun ulang hidupku. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang sebenarnya aku inginkan sekarang?” Aku merasa seakan hidupku sudah memasuki babak baru. Aku ingin bergerak maju, tetapi aku juga merasa belum sepenuhnya tahu ke mana arah hidup ini. Aku merasa seperti seorang penulis yang sedang menulis cerita baru, tetapi masih bingung dengan plot yang ingin diambil.

Aku memutuskan untuk mengalihkan fokusku pada diri sendiri. Setelah sekian lama hidup terfokus pada hubungan yang gagal dan kenangan lama, kini saatnya untuk memperhatikan diriku. Aku kembali ke hobi yang sudah lama kuabaikan: menulis. Dulu, aku menulis cerita-cerita kecil di waktu senggang, tetapi seiring waktu, kesibukan dan perasaan terluka menghalangiku. Kini, aku mulai menulis lagi, bukan hanya sebagai pelarian, tetapi sebagai cara untuk mengenali diriku lebih dalam. Setiap kata yang kutulis seolah memberi aku kesempatan untuk menyusun ulang bagian-bagian yang hilang dalam hidupku.

Suatu sore, saat aku sedang duduk di meja kerja dengan secangkir teh di sampingku, aku menerima pesan dari Arif. Awalnya, aku sempat terkejut, karena kami tidak terlalu sering berkomunikasi setelah pernikahannya. Pesan itu berbunyi: “Hai, aku berharap kamu baik-baik saja. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku ingin tahu apakah kamu sudah merasa lebih baik setelah pernikahan. Aku harap kamu bisa terus bahagia.”

Pesan itu sangat sederhana, namun memberikan dampak yang besar. Aku tersenyum membaca pesan itu. Ternyata, Arif tidak benar-benar melupakan aku. Dia masih peduli, meskipun dia sudah melangkah maju dengan kehidupannya yang baru. Aku tidak tahu harus berkata apa. Apakah aku sudah benar-benar siap untuk berbicara dengannya lagi tanpa ada rasa cemas atau penyesalan? Aku merasa ada jarak yang cukup besar di antara kami, tapi juga ada kedamaian yang baru mulai kutemukan.

Aku membalas pesan itu dengan kalimat sederhana: “Terima kasih, Arif. Aku sedang mencoba untuk menemukan jalanku sendiri. Aku merasa sedikit lebih baik, meskipun perjalanan ini tidak mudah. Aku berharap kamu dan Dita bahagia selalu.”

Setelah mengirimkan pesan itu, aku merasa lega. Aku menyadari bahwa aku tidak perlu lagi terus terjebak dalam perasaan yang berat. Aku bisa menerima kenyataan, dan aku bisa berbicara dengan Arif tanpa merasa harus menyembunyikan apa yang aku rasakan. Ini adalah titik balik dalam hidupku. Aku bisa menghadapi masa lalu tanpa membawanya terus-menerus di pundakku. Aku juga menyadari bahwa aku tidak perlu membenci kenangan yang ada, karena itu adalah bagian dari diriku yang membentuk siapa aku sekarang.

Hari-hari selanjutnya, aku terus melangkah maju, meskipun terkadang masih ada rasa cemas dan ketakutan yang datang tiba-tiba. Namun, aku sudah mulai belajar untuk tidak terlalu khawatir tentang masa depan. Aku mulai berani untuk merencanakan hal-hal baru, merencanakan masa depan yang lebih cerah. Aku mulai membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup, baik itu dalam hal pekerjaan, persahabatan, atau bahkan hubungan. Aku tidak tahu apa yang akan datang, tetapi aku siap untuk menyambutnya.

Suatu hari, saat aku sedang duduk di kafe favoritku, aku bertemu dengan seseorang yang tidak kukenal. Dia duduk di meja sebelah, dan kami sempat bertukar senyum. Entah kenapa, ada perasaan nyaman yang tiba-tiba muncul. Kami mulai berbicara, dan tanpa terasa, percakapan kami mengalir begitu alami. Dia memperkenalkan diri sebagai Adit, seorang penulis yang sedang bekerja di bidang yang sama dengan aku. Kami berbicara banyak tentang hobi, pekerjaan, dan kehidupan secara umum. Aku merasa seperti menemukan teman baru yang bisa mengerti dan berbagi banyak hal.

Percakapan itu berlanjut cukup lama, hingga akhirnya kami sepakat untuk bertukar nomor telepon. Aku merasa sedikit terkejut dengan diriku sendiri. Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang yang bisa membuatku merasa begitu nyaman setelah apa yang terjadi dengan Arif. Tetapi aku juga tahu bahwa pertemuan ini bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku tidak sedang mencari seseorang untuk menggantikan Arif, tetapi lebih kepada membuka diriku untuk peluang baru. Aku tahu aku belum sepenuhnya siap untuk memulai hubungan baru, tetapi aku merasa senang bisa berbicara dengan seseorang yang memberi aku perspektif baru tentang hidup.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Adit mengirimkan pesan, bertanya apakah aku ingin bertemu lagi. Aku merasa sedikit gugup, tetapi juga tertarik. Mungkin, ini adalah langkah kecil yang bisa membawaku pada sesuatu yang lebih baik. Aku tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku harus memberi diriku kesempatan untuk merasa bahagia, meskipun itu berarti membuka hati untuk hal-hal baru.

Ketika aku memikirkan semua yang telah terjadi, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Aku telah melewati banyak rintangan, tetapi aku masih berdiri tegak. Aku tidak lagi terjebak dalam perasaan yang membuatku merasa cemas dan takut. Aku menerima bahwa masa lalu adalah bagian dari hidupku, tetapi itu tidak akan mendefinisikan masa depanku. Kini, aku mulai menyambut hari-hari baru dengan harapan dan keyakinan bahwa aku layak mendapatkan kebahagiaan yang sejati.

Hari itu, aku memutuskan untuk melangkah maju, tidak hanya dengan hati yang lebih kuat, tetapi juga dengan penuh keberanian untuk menghadapi apapun yang akan datang. Aku siap menyambut masa depan, karena aku tahu aku telah menemukan kedamaian dalam diriku sendiri.

———————–THE END—————–

Source: Gustian Bintang
Tags: mencari jati diriperjalanan hidup
Previous Post

CINTA MISTERI DI BALIK LUKISAN

Next Post

CINTA YANG TERHALANG RESTU

Next Post
CINTA YANG TERHALANG RESTU

CINTA YANG TERHALANG RESTU

CINTA MELINTASI ALAM

CINTA MELINTASI ALAM

CINTA ANTARA KITA

CINTA ANTARA KITA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In