• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SISA WAKTU

SISA WAKTU

January 29, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SISA WAKTU

SISA WAKTU

by MABUMI
January 29, 2025
in Drama Kehidupan
Reading Time: 25 mins read

 Bab 1: Ketika Waktu Menjadi Terbatas

Aditya duduk di ruang tunggu rumah sakit, tangan memegang kertas hasil pemeriksaan yang baru saja diterimanya. Sesekali, matanya melirik ke arah jam dinding yang berdetak dengan tenang, namun di benaknya, detakan itu terasa semakin cepat dan keras. Waktu—sebuah konsep yang selama ini dianggapnya sepele—tiba-tiba terasa begitu menghimpit, mencekik setiap helai napas yang ia ambil. Ia tahu bahwa waktu yang tersisa di hidupnya kini sangat terbatas.

Pagi itu, dokter memberitahunya bahwa ia mengidap penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan. Meski masih ada beberapa kemungkinan untuk memperpanjang hidupnya, namun harapan itu sangat kecil. Dokter dengan lembut menyampaikan bahwa, berdasarkan hasil tes, kemungkinan hidup Aditya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Kalimat itu masih bergema di telinganya, mengiringi langkahnya yang terhuyung keluar dari ruang pemeriksaan.

Aditya, yang selalu terbiasa mengendalikan segala sesuatu dalam hidupnya, merasa seolah dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Ia adalah seorang pengusaha sukses, yang memiliki segala yang diinginkan—karier yang gemilang, rumah yang indah, kendaraan mewah, dan banyak teman. Namun, setelah mendengar kabar tersebut, semuanya terasa begitu kosong. Semua yang selama ini dianggapnya penting—kesuksesan, kekayaan, pengakuan—tiba-tiba tidak lagi berarti. Apa gunanya semua itu jika ia hanya memiliki waktu yang terbatas untuk menikmatinya?

Ketika ia keluar dari rumah sakit, udara pagi yang segar terasa tidak lagi memberi kedamaian. Pikirannya terombang-ambing, antara rasa takut dan kebingungan. Bagaimana ia harus menjalani hidupnya dengan sisa waktu yang terbatas ini? Apa yang harus ia lakukan? Adakah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki semua keputusan yang salah? Ia teringat akan percakapan terakhirnya dengan orangtuanya beberapa minggu lalu, ketika mereka bertanya mengapa ia begitu sibuk dan selalu terfokus pada pekerjaannya, hingga hampir tidak ada waktu untuk keluarga. Aditya tidak bisa memberi jawaban yang memadai saat itu, dan kini, seiring dengan waktu yang semakin pendek, ia merasa semakin menyesal.

Ia melangkah menuju mobilnya, dan saat melintas di jalanan kota yang ramai, ia merasa semakin terasing. Semua yang ada di sekelilingnya tampak biasa saja, namun ia merasakan jarak yang sangat jauh antara dirinya dan dunia. Aditya merasa seolah-olah terjebak di antara dua dunia—dunia yang dulu ia kenal, penuh dengan ambisi dan tuntutan, dan dunia baru yang dipaksanya untuk dijalani, dunia yang penuh dengan pertanyaan besar tentang hidup dan kematian. Setiap detik yang berlalu menjadi begitu berharga, namun ia merasa terbelenggu oleh ketidakpastian.

Sesampainya di rumah, Aditya duduk di ruang tamu yang luas, dikelilingi oleh foto-foto kenangan masa lalu yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Namun, sekarang, semuanya tampak jauh berbeda. Semua kenangan itu terasa kabur, dan hanya meninggalkan rasa kesepian yang dalam. Keberhasilan yang pernah diraihnya, kebanggaan yang pernah ia rasakan, kini seolah-olah hanya debu yang terbang terbawa angin.

Ponsel di atas meja bergetar, memecah kesunyian ruangan. Sebuah pesan dari Kirana, mantan kekasihnya, muncul di layar. “Aditya, kapan kita bisa bertemu? Aku ingin berbicara denganmu.” Aditya menatap pesan itu lama. Kirana—wanita yang dulu pernah sangat ia cintai, namun karena kesibukannya, hubungan mereka berakhir. Pesan itu tiba-tiba mengingatkannya pada sesuatu yang lebih penting daripada semua pencapaian materi yang ia miliki: hubungan yang pernah ia abaikan, dan orang-orang yang mungkin masih membutuhkan dirinya.

Aditya menghela napas panjang, merasa bingung tentang langkah yang harus diambil selanjutnya. Dalam keadaan seperti ini, apakah masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya? Bisakah ia memperbaiki hubungannya dengan Kirana yang telah lama retak, ataukah semua itu sudah terlambat? Tiba-tiba, sebuah kalimat dari dokter kembali terngiang di benaknya: “Waktu Anda terbatas, Aditya. Tidak banyak yang bisa kita lakukan.” Kalimat itu terus berputar, menyusup ke dalam pikirannya, menambah berat beban yang harus ia pikul.

Ia mengangkat ponsel dan membalas pesan Kirana, “Aku ingin bertemu. Di tempat biasa, malam ini?” Setelah mengirimkan pesan itu, Aditya merasa ada sesuatu yang lebih ringan dalam dadanya. Setidaknya, ia mulai mengambil langkah kecil untuk memperbaiki sesuatu, meskipun ia tidak tahu apakah itu cukup untuk mengubah segalanya.

Malam itu, di tempat yang biasa mereka kunjungi, Aditya bertemu dengan Kirana. Wajah Kirana terlihat sedikit lebih matang, lebih bijaksana, meskipun ada sedikit kesedihan yang tersimpan di matanya. Mereka berbicara panjang lebar, bukan hanya tentang masa lalu mereka, tetapi juga tentang apa yang terjadi sekarang, dan apa yang mereka rasakan. Kirana menceritakan tentang kehidupan yang ia jalani setelah perpisahan mereka, dan Aditya mengungkapkan bahwa ia baru saja didiagnosis dengan penyakit yang mempengaruhi hidupnya. Ia merasa cemas, takut, dan menyesal, namun juga merasa ada keinginan untuk memperbaiki hubungan yang pernah putus karena kesibukannya.

Percakapan itu mengingatkan Aditya akan betapa pentingnya untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terfokus pada pekerjaan dan pencapaian pribadi, tanpa memberi ruang bagi orang-orang yang ia cintai. Waktu yang sebelumnya terasa melimpah, kini terasa begitu terbatas, dan ia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang kesuksesan atau kekayaan, tetapi juga tentang hubungan yang kita bangun dengan orang lain, tentang bagaimana kita memberi makna pada setiap detik yang kita jalani.

Kirana menatapnya dengan lembut. “Aditya, hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian. Tapi kita selalu punya pilihan untuk bagaimana menjalani waktu yang kita punya. Tidak ada kata terlambat selama kita masih mau berusaha.”

Kalimat itu seperti sebuah penerangan dalam kegelapan. Aditya merasa ada secercah harapan yang muncul, meskipun dalam waktu yang terbatas ini. Ia tahu bahwa ia tidak bisa memperbaiki semuanya dalam sekejap, tetapi mungkin, dengan langkah-langkah kecil, ia bisa membuat waktu yang tersisa menjadi lebih bermakna.

Aditya memutuskan bahwa ia akan menjalani sisa waktunya dengan lebih baik. Ia tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tetapi ia bisa memilih untuk membuat yang terbaik dari apa yang ada. Waktu yang terbatas bukanlah penghalang, melainkan sebuah panggilan untuk hidup dengan lebih penuh.*

Bab 2: Mencari Arti dalam Kehidupan

Pagi itu, Aditya bangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari yang lembut merayap masuk melalui celah tirai, memberikan kesan hangat yang seolah memberi harapan. Namun, di balik sinar itu, hatinya masih gelap. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memandangi langit biru yang membentang luas di luar jendela. Namun, meski dunia di luar tampak begitu luas dan penuh dengan kemungkinan, Aditya merasa seperti terperangkap dalam ruang sempit miliknya sendiri, ruang yang penuh dengan ketakutan dan keraguan.

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Kirana, Aditya merenung panjang tentang hidupnya. Sejak ia mengetahui bahwa waktunya terbatas, banyak hal yang terlewatkan begitu saja dalam pikirannya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa kebahagiaan terletak pada kesuksesan—pada apa yang bisa ia capai dalam karier, pada uang yang ia hasilkan, dan pada penghargaan yang ia terima. Tetapi setelah mendengar kabar dari dokter, semuanya berubah. Keberhasilan materi tidak lagi bisa menutupi kekosongan yang ia rasakan dalam hidupnya.

“Apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup ini?” gumam Aditya, masih duduk merenung di tempat tidur. Tiba-tiba, ia teringat pada kata-kata Kirana beberapa malam lalu, “Tidak ada kata terlambat selama kita masih mau berusaha.” Kata-kata itu menggema di pikirannya, seperti sebuah petunjuk, sebuah panggilan untuk menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar pencapaian duniawi.

Dengan perasaan yang campur aduk, Aditya memutuskan untuk memulai pencariannya. Ia memutuskan untuk tidak lagi terjebak dalam rutinitas yang sama. Aditya tahu, meskipun waktu yang ia miliki terbatas, itu bukan berarti ia harus membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia temukan. Ia harus mencari arti dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini selalu ia lupakan.

Aditya memulai perjalanannya dengan hal-hal kecil. Ia berhenti pergi ke kantor selama beberapa hari dan memilih untuk berjalan-jalan di taman, tempat yang selalu ia lewati setiap hari dalam perjalanan ke tempat kerja. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan penuh kesadaran. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berarti. Ia melihat pohon-pohon yang kokoh dengan daun-daun yang berguguran perlahan, mendengarkan kicauan burung yang menyapa pagi, dan merasakan angin yang menyentuh wajahnya. Sesuatu yang sederhana, tetapi kini terasa begitu penuh makna.

Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti, membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan. Di tengah keramaian taman, ia melihat pasangan yang duduk bersama di bangku panjang, tertawa bersama anak kecil yang bermain di dekatnya. Matahari yang bersinar lembut menambah kehangatan suasana. Aditya berhenti sejenak, meresapi gambaran itu. Ada kebahagiaan yang sederhana, yang selama ini ia lupakan, kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang atau dicapai dengan ambisi.

Di tengah keheningan itu, Aditya teringat pada ibunya, wanita yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus, namun sering kali ia abaikan. “Apakah aku sudah cukup memberi waktu untuk orang yang aku cintai?” pikirnya. Ia tersadar bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tidak akan bertahan lama—kekayaan, penghargaan, dan status sosial. Ia tak pernah benar-benar menghabiskan waktu yang berkualitas dengan keluarganya atau orang-orang terdekatnya. Kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan pekerjaan telah membuatnya jauh dari mereka.

Perasaan sesal itu datang begitu tiba-tiba, namun tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya. Namun, meski begitu, ia merasa bahwa ada hal-hal yang bisa diperbaiki, meskipun itu tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya.

Setelah beberapa hari berada di taman, Aditya memutuskan untuk menghubungi ibunya. Ia merasa perlu berbicara, untuk memberitahunya betapa ia menyadari kesalahannya. “Ibu,” kata Aditya, suaranya sedikit bergetar. “Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, aku merasa telah mengabaikanmu begitu lama.” Suara ibunya terdengar hangat di telpon. “Aku tahu, Nak. Aku mengerti. Tidak ada yang lebih berharga dari waktu bersama orang yang kita cintai. Aku akan selalu ada untukmu.”

Mendengar suara ibunya, Aditya merasa sedikit lega. Meskipun waktu yang terlewat tidak bisa kembali, ia tahu bahwa ia masih bisa memperbaiki hubungan yang pernah ia abaikan. Ia mulai merasakan bahwa makna hidup tidak hanya terletak pada apa yang bisa ia raih, tetapi juga pada orang-orang yang kita cintai dan yang selalu ada di sekitar kita.

Setelah percakapan dengan ibunya, Aditya merasa bahwa pencarian makna hidupnya baru saja dimulai. Ia merasa bahwa selama ini ia terlalu terfokus pada kesuksesan pribadi, sementara ada banyak hal yang lebih penting yang telah ia lupakan. Ia mulai meluangkan waktu untuk menemui teman-temannya, berbicara dengan mereka tentang hidup dan impian mereka. Percakapan-percakapan itu membuatnya merasa hidup kembali, seolah-olah ia menemukan bagian dari dirinya yang selama ini terkubur.

Hari demi hari, Aditya menyadari bahwa makna hidup itu bisa ditemukan dalam hal-hal yang sederhana. Bukan dalam pencapaian materi atau status, tetapi dalam cinta, persahabatan, dan hubungan yang kita bangun dengan orang lain. Ia merasa lebih hidup, lebih penuh, dan lebih menyadari setiap detik yang ia jalani.

Namun, meskipun ia merasa lebih damai, masih ada perasaan takut yang menggelayuti dirinya. Aditya tahu bahwa waktu yang ia miliki terbatas, dan kadang-kadang, ia merasa cemas jika ia tidak bisa melakukan semua yang ingin ia capai dalam sisa hidupnya. Tetapi, ia juga menyadari bahwa tidak ada gunanya mengejar sesuatu yang tidak akan bertahan selamanya. Yang paling penting adalah bagaimana kita menjalani setiap momen, bagaimana kita memberi makna pada setiap pertemuan dan perpisahan.

Pencarian makna hidup ini, meskipun baru dimulai, telah membuka mata Aditya untuk hal-hal yang jauh lebih besar dari sekadar pencapaian pribadi. Ia menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang waktu yang tersisa, tetapi tentang apa yang kita lakukan dengan waktu yang ada.

Pada suatu malam, setelah beberapa minggu menjalani refleksi mendalam tentang hidup, Aditya menulis sebuah catatan kecil di jurnalnya: “Makna hidup tidak terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada bagaimana kita memberi makna pada setiap momen yang kita jalani, bagaimana kita memberi cinta pada orang-orang yang kita temui, dan bagaimana kita meninggalkan warisan yang bisa menginspirasi mereka yang kita tinggalkan.”

Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Meskipun perjalanan ini baru dimulai, ia merasa telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada semua yang pernah ia capai sebelumnya. Waktu mungkin terbatas, tetapi selama ia hidup dengan penuh kesadaran dan cinta, hidup itu sendiri sudah cukup berarti.*

Bab 3: Kembali ke Masa Lalu

Aditya duduk di kursi kayu yang telah menua, memandang ke depan. Di hadapannya, rumah masa kecilnya tampak sama seperti yang ia ingat. Dinding putih yang dulunya penuh dengan cat yang terkelupas, kini masih tegak berdiri meski usianya sudah tak muda lagi. Tanaman rambat yang dulu dipanjatnya ketika masih anak-anak kini merambat liar, menghiasi halaman depan rumah dengan warna hijau yang tidak lagi terawat. Namun, meskipun tampak usang, rumah ini tetap memiliki daya tarik yang kuat—sebuah kenangan yang tidak bisa begitu saja dilupakan.

Ia melangkah perlahan ke arah pintu, menarik napas panjang sebelum mengetuknya. Begitu pintu terbuka, ia disambut oleh wajah tua ibu yang tak banyak berubah. Meskipun rambutnya telah memutih, matanya masih memancarkan kasih sayang yang sama seperti dulu. Ibunya tersenyum, seolah tidak ada yang berubah meskipun waktu telah membawa banyak hal. “Nak, kamu datang juga akhirnya,” kata ibunya dengan suara lembut.

Aditya tersenyum kecut. “Iya, Bu. Aku… ingin kembali. Kembali ke masa-masa dulu.”

Ibunya mengangguk, seolah mengerti betul maksud di balik kata-kata itu. “Duduklah, Nak. Apa yang kau cari di masa lalu?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, seolah menunggu jawaban yang lebih dalam dari sekadar kata-kata yang bisa diucapkan. Aditya duduk di kursi di samping meja makan, tempat yang dulu selalu menjadi tempat makan bersama dengan keluarga. Di sanalah ia tumbuh, di sanalah ia belajar banyak hal tentang hidup. Namun, semakin dewasa, semakin ia menjauh dari tempat ini, menjauh dari kenangan yang penuh dengan tawa dan kehangatan. Ia teringat akan hari-hari ketika ia masih anak-anak, ketika ia merasa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan kemungkinan.

“Bu, aku merasa terjebak dalam hidupku,” ujar Aditya perlahan. “Aku merasa seperti telah meninggalkan banyak hal yang penting, dan sekarang waktu seakan-akan tidak memberi aku kesempatan untuk memperbaikinya.”

Ibunya hanya diam sejenak, lalu dengan penuh kebijaksanaan ia berkata, “Terkadang, Nak, kita lupa bahwa hidup itu tentang perjalanan, bukan hanya tujuan. Kamu tidak perlu kembali ke masa lalu untuk menemukan dirimu. Tapi, jika itu yang kamu butuhkan, aku akan menemanimu.”

Aditya menatap wajah ibunya yang penuh ketenangan, merasa sedikit terhibur. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, namun ia merasa bahwa mungkin ada sesuatu yang bisa dipelajari dari kenangan itu. Ia ingin kembali merasakan kedamaian yang dulu ia rasakan di rumah ini, ketika segala sesuatu terasa lebih sederhana dan lebih bermakna.

Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan ibunya, Aditya berjalan keluar rumah dan menyusuri jalan kecil yang dulu sering ia lewati bersama teman-temannya. Setiap langkah terasa seperti kembali ke masa kecil yang penuh dengan kebebasan. Di jalan itu, ada banyak kenangan yang hadir kembali—bermain sepak bola di lapangan kosong, tertawa bersama teman-teman, dan merencanakan masa depan dengan penuh harapan dan impian.

Ia berhenti di sebuah taman kecil yang dulunya menjadi tempat favoritnya. Di sana, ia dan teman-temannya sering berkumpul, bercanda, dan berbagi cerita tentang apa yang mereka impikan. Waktu itu, hidup terasa begitu ringan dan tak terbebani oleh kekhawatiran atau tekanan. Namun, kini, taman yang sama tampak berbeda. Sebagian dari teman-temannya sudah pergi, entah karena pekerjaan atau keluarga, sementara yang lainnya sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing.

Aditya duduk di bangku taman, memejamkan mata sejenak. Ia merasakan angin yang lembut, seolah mengingatkannya pada masa-masa itu. Masa ketika hidup belum terlalu rumit, ketika ia tidak merasa harus mengejar apapun atau berjuang untuk sesuatu yang belum jelas. Namun, pada saat yang sama, ada rasa kesepian yang datang begitu saja. Waktu telah mengubah banyak hal, dan ia merasa seolah tidak bisa mengejar kembali semuanya.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya mendekatinya. Aditya mengenali pria itu, meskipun sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. “Aditya?” tanya pria itu dengan suara yang agak ragu. “Kamu… kamu Aditya, kan?”

Aditya menatap pria itu sejenak, mencoba mengingat siapa dia. Setelah beberapa detik, ingatannya pun kembali. “Ah, Dito! Kamu! Lama sekali tidak bertemu,” kata Aditya dengan senyum lebar.

Pria yang bernama Dito itu tersenyum balik. “Iya, lama sekali. Sejak kita lulus SMA, kan? Kamu masih ingat dulu kita sering main bola di sini?”

Aditya tertawa kecil. “Tentu. Kenangan itu tak akan terlupakan.”

Mereka duduk bersama, berbicara tentang masa lalu, tentang teman-teman lama, dan tentang kehidupan yang telah mereka jalani. Dito menceritakan tentang kehidupannya—keluarga, pekerjaan, dan berbagai pengalaman yang telah ia lalui. Terkadang mereka tertawa mengenang hal-hal konyol yang dulu mereka lakukan, dan terkadang mereka juga terdiam, sejenak merasakan betapa banyak waktu yang telah berlalu.

Aditya merasa seolah-olah kembali menemukan dirinya dalam percakapan itu. Dalam dunia yang penuh dengan tuntutan dan ambisi, ia merasa terhubung kembali dengan sesuatu yang lebih sederhana, yang lebih tulus. Ia menyadari bahwa meskipun waktu telah mengubah banyak hal, kenangan akan masa lalu tetap ada, memberikan kebahagiaan dan kedamaian dalam hatinya. Mungkin ia tidak bisa kembali ke masa itu, tetapi kenangan itu memberi makna bagi perjalanan hidupnya yang telah dilalui.

Setelah beberapa jam berbicara, Dito pamit untuk pulang. Aditya tetap duduk di taman, merenung. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya setelah pertemuan itu. Ia menyadari bahwa, meskipun masa lalu tak bisa diulang, itu bukanlah sesuatu yang harus disesali. Kenangan itu adalah bagian dari dirinya, bagian yang membentuk siapa dia sekarang. Waktu tidak bisa diputar kembali, tetapi itu memberi pelajaran berharga yang bisa diterapkan dalam perjalanan hidup ke depan.

Aditya berdiri dan melangkah keluar dari taman, kembali ke rumah ibunya. Ia merasa lebih tenang, lebih menerima kenyataan. Perjalanan kembali ke masa lalu tidak memberinya jawaban pasti, namun memberi kesempatan untuk merenung, untuk meresapi arti kehidupan yang lebih dalam.

Malam itu, di rumah ibunya, Aditya duduk di ruang tamu, menghadap ke arah foto keluarga yang terpasang di dinding. Ia merasa bahwa, meskipun masa depan tidak pasti dan waktu yang ia miliki terbatas, ia tidak sendirian. Ada banyak kenangan, banyak orang yang pernah hadir dalam hidupnya, dan itu sudah cukup untuk memberi arti.*

Bab 4: Menghadapi Realitas

Aditya merasa seperti terjepit di antara dua dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia memiliki banyak kenangan indah yang memberinya kekuatan dan pengingat akan masa lalu yang penuh harapan. Namun, di sisi lain, ia terjebak dalam kenyataan yang tak dapat dihindari: waktu yang terbatas, penyakit yang menggerogoti tubuhnya, dan segala hal yang harus ia selesaikan sebelum waktunya habis. Hidupnya terasa seperti sebuah perjalanan yang terbagi antara dua kutub: masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan dan masa depan yang gelap, penuh dengan ketakutan dan keraguan.

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Dito, Aditya kembali ke rutinitasnya, namun kali ini dengan pandangan yang berbeda. Meski semangat untuk mengubah hidupnya masih ada, ia merasa bahwa kenyataan tak bisa begitu saja dihindari. Pekerjaannya, yang dulu menjadi sumber kebanggaan dan rasa aman, kini terasa seperti beban. Setiap rapat, setiap keputusan bisnis, bahkan setiap percakapan dengan rekan kerja seakan-akan tidak lagi memberi arti. Apa gunanya semua itu jika hidupnya semakin terbatas? Aditya merasa semakin jauh dari dirinya sendiri, dan dunia sekitarnya semakin tampak asing.

Pagi itu, ia berada di kantornya, duduk di ruang kerjanya yang luas dan modern. Semua tampak seperti biasa—laptop di meja, tumpukan berkas yang menanti untuk diselesaikan, dan suara telepon yang tak henti-hentinya berdering. Namun, ada satu hal yang tak biasa: Aditya merasa semakin sulit untuk berkonsentrasi. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaan, pikirannya melayang, kembali teringat pada hasil tes medis yang diterimanya beberapa minggu lalu. Penyakitnya, yang kini menjadi penghalang utama dalam hidupnya, menjadi bayang-bayang yang terus mengejar, menghantui setiap langkahnya.

Ia menatap jendela besar yang menghadap ke kota, memandang keramaian di luar sana. Dunia luar berjalan dengan dinamis, sementara ia merasa terkurung dalam kekosongan yang semakin dalam. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya, tidak tahu harus berbuat apa dengan waktu yang tersisa. Meskipun ia tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, ia tidak tahu harus mulai dari mana untuk membuat hidupnya bermakna. Dalam keheningan itu, rasa cemas mulai menguasai dirinya.

Teleponnya berbunyi, menariknya dari lamunan. Nama Kirana muncul di layar. Aditya menekan tombol jawab, dan suara Kirana yang lembut terdengar di seberang sana. “Aditya, bagaimana kabarmu hari ini? Kamu terlihat sedikit berbeda akhir-akhir ini,” tanya Kirana dengan nada khawatir.

Aditya menarik napas panjang. “Aku… aku merasa seperti ada yang hilang, Kir. Semua yang aku lakukan sekarang terasa sia-sia. Aku merasa terjebak dalam kenyataan yang tidak bisa kuhindari.”

Kirana terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aditya, aku tahu ini sulit. Tapi kamu harus menghadapi kenyataan itu. Tidak ada cara lain. Kamu masih punya waktu, meskipun itu tidak banyak. Gunakan waktu yang ada untuk hal-hal yang lebih penting, yang lebih berarti.”

Kata-kata Kirana kembali menggema di telinganya. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Kirana adalah kebenaran. Tidak ada jalan lain selain menghadapi kenyataan. Namun, meskipun ia menyadari hal itu, hatinya tetap dipenuhi oleh ketakutan. Ketakutan akan kematian yang semakin dekat, ketakutan akan kehilangan semuanya yang telah ia perjuangkan selama ini.

Setelah percakapan itu, Aditya memutuskan untuk keluar dari kantornya. Ia tidak bisa terus menerus terjebak dalam rutinitas yang kosong. Ia merasa perlu untuk melangkah keluar, mencari jawaban atas semua kebingungannya. Ia mengemudi tanpa tujuan, membiarkan dirinya terhanyut dalam perjalanan tanpa arah yang jelas. Pikiran-pikirannya berputar cepat, seolah tak ada tempat untuk bersembunyi.

Ia berhenti di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-teman lama. Dulu, kafe ini selalu memberi rasa nyaman, menjadi tempat untuk berbicara tentang impian dan kehidupan. Namun, kini, kafe itu terasa berbeda. Meja yang dulu penuh dengan canda tawa kini hanya menyisakan kesunyian yang mencekam. Aditya duduk di sudut, memesan secangkir kopi hangat. Kopi itu terasa pahit, jauh lebih pahit dari yang ia ingat.

Saat ia menyesap kopinya, seorang pelayan muda menghampirinya. “Maaf, Tuan Aditya, apakah Anda ingin pesan sesuatu yang lain?” tanya pelayan itu dengan ramah, namun ada keraguan dalam suaranya. Aditya menatapnya sesaat, mencoba mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu larut dalam keputusasaannya. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat.

Ia menatap keluar jendela, memandangi hiruk pikuk dunia yang terus bergerak. Semua orang tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri, menjalani hidup mereka dengan penuh semangat dan tujuan. Sementara ia, Aditya, merasa seperti orang luar. Seperti orang yang tak lagi memiliki tujuan, yang tidak tahu harus kemana.

Di tengah kegelisahan itu, pikiran Aditya tiba-tiba melayang pada ibunya. Ia teringat bagaimana ibunya selalu mengajarkannya untuk tidak takut menghadapi kehidupan, bagaimana ibunya selalu berkata bahwa apapun yang terjadi, yang terpenting adalah menjalani hidup dengan penuh kasih dan keikhlasan. Kata-kata itu seolah mengingatkannya kembali pada tujuan sejatinya. Mungkin, selama ini ia terlalu terfokus pada pencapaian yang tidak bermakna, dan lupa pada hal-hal yang sesungguhnya penting.

Aditya bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kafe. Ia merasa ada yang harus ia lakukan, sesuatu yang lebih besar daripada hanya mengejar waktu yang semakin terbatas. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya, untuk berbicara lebih dalam tentang kehidupannya, untuk mencari pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang harus ia lakukan dengan sisa waktunya. Ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan dengan kepala tegak, dan tidak membiarkan ketakutannya menguasai dirinya.

Sesampainya di rumah ibunya, ia langsung menemui sang ibu yang sedang duduk di teras. “Bu, aku ingin berbicara,” kata Aditya, suaranya penuh dengan tekad.

Ibunya memandangnya dengan penuh perhatian, menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anaknya. “Tentu, Nak. Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Aditya duduk di samping ibunya, menatap wajah penuh kasih itu. “Aku tahu, Bu. Aku harus menghadapi kenyataan ini. Aku harus menerima kenyataan bahwa waktu yang aku punya sangat terbatas. Tapi, aku ingin membuat hidupku lebih bermakna. Aku ingin memastikan bahwa aku tidak akan menyesal karena tidak melakukan sesuatu yang benar-benar penting.”

Ibunya meraih tangan Aditya dengan lembut. “Aditya, hidup itu bukan tentang waktu yang kita punya, tapi tentang bagaimana kita menggunakannya. Kamu sudah melakukan banyak hal yang luar biasa dalam hidupmu, tapi mungkin yang terpenting adalah menjalani setiap detik dengan penuh kesadaran, dengan kasih, dan dengan tujuan yang benar.”

Aditya menatap ibunya, merasa ada kedamaian yang mulai menyelimuti dirinya. Ia tahu bahwa meskipun waktu terbatas, ia masih bisa membuat setiap momen menjadi berarti. Ia harus menghadapi realitas, tetapi ia tidak harus melawan kenyataan itu. Ia bisa memilih untuk hidup dengan penuh makna, mencintai orang-orang yang ada di sekitarnya, dan menjalani hidupnya dengan lebih sadar.*

Bab 5: Kehidupan yang Terus Berjalan

Aditya duduk di bangku taman kota, menikmati udara pagi yang segar. Matahari sudah mulai muncul di balik awan tipis, memberikan kehangatan yang lembut. Ia menatap sekelilingnya—anak-anak yang berlarian dengan riang, pasangan muda yang sedang berjalan santai, dan para pejalan kaki yang sibuk mengejar aktivitas masing-masing. Semua tampak berjalan seperti biasa, seperti tidak ada yang berubah. Namun, di dalam dirinya, segala sesuatu terasa berbeda.

Setelah pertemuan yang mendalam dengan ibunya beberapa malam yang lalu, Aditya merasa seolah-olah ia mendapatkan pencerahan. Ia telah memutuskan untuk menerima kenyataan bahwa waktu yang ia miliki semakin terbatas, dan ia tidak bisa mengubah itu. Namun, ia juga sadar bahwa hidupnya tidak berakhir hanya karena ia mengetahui kenyataan yang pahit itu. Kehidupan terus berjalan, meskipun kadang kita ingin berhenti dan merenung lebih lama. Ada yang lebih besar dari sekadar rasa takut atau penyesalan: ada keberanian untuk terus berjalan meskipun kita tahu bahwa perjalanan itu mungkin tidak sepanjang yang kita harapkan.

Aditya menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang kadang masih dipenuhi dengan kegelisahan. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah berusaha menjalani hari-harinya dengan lebih sadar. Ia mulai meluangkan waktu untuk orang-orang yang ia cintai—mengunjungi ibunya lebih sering, berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, dan berusaha menciptakan kenangan yang lebih berarti. Namun, meskipun ia berusaha menjalani hidup dengan lebih penuh, ada kalanya perasaan takut itu datang kembali, menghantui setiap langkahnya.

Hari ini, Aditya memutuskan untuk menemui Kirana. Sejak pertemuan pertama mereka beberapa waktu lalu, ia merasa ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Kirana telah menjadi tempat untuk berbagi, tempat di mana ia bisa merasakan kelegaan setelah berbicara tentang segala kekhawatiran dan ketakutannya. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi bersama.

Setelah beberapa menit berjalan kaki, Aditya sampai di kafe. Kirana sudah menunggunya di meja pojok, dengan secangkir kopi di depannya. Wajah Kirana terlihat lebih cerah dari yang ia ingat, seolah-olah kehidupannya berjalan dengan lancar meskipun ia tahu betapa beratnya beban yang Aditya bawa. Aditya duduk di hadapannya, dan mereka saling tersenyum.

“Apa kabar, Aditya?” tanya Kirana dengan lembut. “Kamu tampak lebih tenang belakangan ini.”

Aditya tersenyum, meskipun ada kekhawatiran yang masih menggantung di hatinya. “Aku merasa sedikit lebih baik. Aku mulai menerima kenyataan tentang hidupku, meskipun itu tidak mudah. Aku mulai menjalani setiap hari dengan lebih sadar, mencoba untuk tidak terjebak dalam kegelisahan atau ketakutan.”

Kirana menatapnya dengan penuh perhatian. “Itu langkah besar, Aditya. Menerima kenyataan memang bukan hal yang mudah, tapi itu memberi kebebasan. Kamu tidak lagi terperangkap oleh perasaan takut atau penyesalan. Kamu bisa memilih untuk hidup dengan lebih penuh.”

Aditya mengangguk, meresapi kata-kata Kirana. “Tapi terkadang, aku merasa seolah-olah waktu yang tersisa itu tidak cukup. Seperti aku harus mengejar sesuatu, entah itu pencapaian, atau mungkin lebih banyak kenangan yang bisa aku banggakan. Tapi, aku juga tahu bahwa hidup bukan hanya tentang itu, kan?”

Kirana tersenyum bijak. “Betul. Hidup bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita capai atau seberapa banyak kenangan yang bisa kita kumpulkan. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghargai setiap detik yang kita miliki, tentang bagaimana kita menjalani hari-hari kita dengan rasa syukur, cinta, dan keberanian untuk menerima segala sesuatu apa adanya.”

Kata-kata Kirana menggema dalam diri Aditya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terfokus pada pencapaian, pada apa yang belum ia lakukan atau capai, sementara hidupnya terus berjalan dengan cara yang sederhana—bertemu orang-orang yang ia cintai, merasakan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, dan belajar untuk menerima semua ketidakpastian yang datang.

Aditya memandang Kirana dengan penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Kirana. Aku merasa beruntung bisa bertemu denganmu. Kamu selalu bisa mengingatkanku tentang hal-hal yang lebih penting dalam hidup.”

Mereka berbicara lebih lama tentang kehidupan, tentang perjalanan yang mereka jalani, dan tentang bagaimana mereka berdua berusaha menjalani hidup dengan cara yang lebih bermakna. Aditya merasa lebih ringan setelah percakapan itu. Ia tahu bahwa meskipun waktunya terbatas, ada banyak cara untuk membuat setiap detik berarti. Tidak perlu menunggu untuk mencapai puncak tertentu atau untuk memiliki segalanya. Yang terpenting adalah menjalani hidup dengan hati yang terbuka, dengan kesadaran penuh, dan dengan rasa cinta yang tulus.

Setelah pertemuan itu, Aditya pulang dengan perasaan yang lebih tenang. Ia tahu bahwa kehidupan yang terus berjalan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kehidupan itu sendiri adalah anugerah yang harus dihargai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan meskipun waktu terbatas. Ada banyak orang yang bisa kita cintai, banyak kenangan yang bisa kita buat, dan banyak hal yang bisa kita pelajari. Aditya menyadari bahwa meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ia bisa memilih untuk menjalani setiap hari dengan penuh arti.

Malam itu, setelah tiba di rumah, Aditya duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat. Ia menatap ke luar jendela, memperhatikan cahaya bulan yang lembut di langit malam. Kehidupan terus berjalan, meskipun kadang kita merasa terhenti atau terjebak. Namun, dengan setiap langkah yang kita ambil, kita bisa menemukan arti dalam perjalanan itu. Aditya tersenyum pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Kehidupan, meskipun penuh dengan ketidakpastian, tetap indah. Dan ia siap untuk menjalani setiap momen dengan penuh makna.*

Bab 6: Menghargai Waktu

Aditya duduk di tepi pantai, mendengarkan deburan ombak yang memecah keheningan sore itu. Sinar matahari yang mulai meredup menyinari wajahnya dengan lembut, memberikan ketenangan yang selama ini ia cari. Setiap hembusan angin yang menyapu wajahnya terasa seolah membawa beban berat di hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi momen ini—momen yang penuh kedamaian, meski dalam pikirannya masih bergelora banyak pertanyaan.

Sejak beberapa minggu terakhir, Aditya berusaha untuk lebih menghargai waktu yang ia miliki. Ia sadar, semakin lama ia berpikir tentang masa depannya, semakin banyak pula kekhawatiran yang muncul. Waktu yang ia miliki memang terbatas, dan semakin ia menyadarinya, semakin terasa bahwa hidupnya tidak bisa hanya dihabiskan dengan menunggu atau merencanakan hal-hal yang tidak pasti. Kehidupan berjalan begitu cepat, dan ia tidak ingin kehilangan momen berharga hanya karena ia terlalu sibuk dengan masa lalu atau ketakutannya tentang masa depan.

Pantai ini, yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-temannya, kini terasa berbeda. Dulu, ia datang ke sini untuk melarikan diri dari tekanan hidup, untuk mencari kesenangan dan kebebasan. Namun kini, ia datang dengan tujuan yang lebih dalam—untuk menyadari betapa berharganya setiap detik dalam hidupnya, untuk merasakan betapa indahnya waktu yang berjalan meskipun banyak hal di luar dirinya yang tidak bisa ia kontrol.

Aditya menutup matanya, merasakan kehangatan sinar matahari di wajahnya. Dalam diam, ia mulai berpikir tentang apa yang telah ia lalui dalam hidup ini. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan dengan rasa cemas, dengan berpikir tentang hal-hal yang tidak pasti, dengan mencoba mengejar sesuatu yang selalu terasa lebih jauh. Ia mulai menyadari bahwa ia telah lama mengabaikan hal-hal sederhana yang sebenarnya lebih berharga—waktu yang dihabiskan bersama orang-orang yang ia cintai, momen-momen kecil yang tidak bisa diulang, dan keindahan hidup yang sering kali terlewatkan begitu saja.

Ketika ia merasa begitu terjebak dalam rutinitas dan pencapaian, Aditya lupa bahwa waktu itu sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Ia tidak bisa menghentikan waktu, tidak bisa menambahnya, dan tidak bisa mengembalikannya setelah ia lewat. Semua yang ia miliki adalah waktu yang ada di hadapannya, waktu yang harus ia jalani dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.

Beberapa hari yang lalu, ia sempat berbicara dengan ibunya tentang hal ini. Dalam perbincangan yang hangat itu, ibunya berkata sesuatu yang membekas di hatinya: “Waktu itu seperti sungai yang mengalir. Kita tidak bisa menghentikannya, tetapi kita bisa memilih bagaimana cara kita menjalani alirannya.” Kata-kata itu seolah membuka mata Aditya. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu lagi terbebani dengan waktu yang terus berjalan. Yang terpenting adalah bagaimana ia menjalani waktu itu, bagaimana ia memanfaatkannya untuk hal-hal yang lebih berarti.

Aditya membuka matanya dan memandang ke laut yang luas di depannya. Ombak yang datang dan pergi seolah mengingatkannya bahwa hidup pun begitu—terus berlanjut tanpa henti, datang dengan segala tantangannya, dan pergi dengan segala kenangan yang ditinggalkannya. Ia menyadari bahwa setiap ombak yang datang dan pergi, setiap detik yang berlalu, memiliki makna dan tujuan yang berbeda-beda, namun semuanya tetap penting.

Setelah beberapa lama duduk dalam keheningan, Aditya bangkit dan berjalan menyusuri pantai. Ia menyadari bahwa saat ini, waktu tidak lagi terasa berat baginya. Sebaliknya, waktu kini menjadi teman yang ia hargai. Dengan setiap langkah yang ia ambil, ia berusaha untuk menghargai segala sesuatu yang ia temui—keindahan alam, senyum orang yang ia temui, dan setiap detik yang ia jalani. Ia tidak ingin lagi terjebak dalam penyesalan atau ketakutan akan masa depan. Waktu yang ia miliki adalah anugerah, dan ia akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Beberapa langkah di depannya, ia melihat seorang pria tua yang sedang duduk di batu besar, memandang ke arah laut dengan tatapan yang jauh. Pria itu tampak begitu tenang, seolah ia telah menerima segalanya dalam hidup ini. Aditya mendekatinya dan duduk di sampingnya. Tanpa banyak bicara, mereka berdua hanya duduk bersama, menikmati pemandangan laut yang tenang.

Setelah beberapa waktu, pria tua itu akhirnya membuka mulutnya. “Waktu itu seperti laut ini,” kata pria itu dengan suara pelan namun penuh makna. “Kadang tenang, kadang bergelora. Tetapi apapun yang terjadi, ia selalu berjalan. Kita tidak bisa menghentikan gelombangnya, tetapi kita bisa memilih untuk menikmati perjalanan kita, apapun yang datang.”

Aditya menatap pria itu, merasakan kedamaian yang begitu mendalam dalam kata-katanya. Ia menyadari bahwa meskipun hidup penuh dengan ketidakpastian, ada kedamaian yang bisa ditemukan dalam menerima kenyataan. Waktu terus berjalan, dan kita hanya bisa memilih bagaimana cara kita menjalani perjalanan itu.

Malam itu, setelah ia kembali ke rumah, Aditya duduk di meja makan bersama ibunya. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang kehidupan, tentang keluarga, tentang perjalanan yang mereka jalani. Aditya merasa ada kedamaian yang datang setelah percakapan itu, seolah ia mendapatkan kekuatan untuk melangkah maju dengan lebih tenang. Ia tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, tetapi ia dapat memilih untuk menghargai waktu yang ada, untuk memberikan yang terbaik dalam setiap langkahnya, dan untuk mencintai setiap momen yang diberikan.

Di akhir hari, Aditya menatap langit yang gelap di luar jendela. Ia merasa ringan, seolah beban yang selama ini mengikatnya perlahan-lahan terlepas. Waktu memang terus berjalan, tetapi ia tidak perlu lagi terbebani olehnya. Aditya tahu bahwa dengan menghargai setiap detik, dengan menjalani hidupnya dengan penuh kesadaran dan rasa syukur, ia telah membuat pilihan yang tepat. Hidupnya, meskipun terbatas, akan penuh dengan makna. Dan itu sudah cukup baginya.*

Bab 7: Sisa Waktu yang Berharga

Malam itu, Aditya berdiri di balkon rumahnya, menatap langit yang dihiasi bintang-bintang yang terhampar begitu indah. Keheningan malam terasa sangat mendalam, hanya terdengar suara angin yang berbisik pelan. Ia mengangkat tangannya, merasakan angin malam yang menyegarkan, dan menarik napas panjang. Hembusan napasnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban yang berat, tetapi juga memberikan kelegaan.

Sejak diagnosis penyakit yang ia terima, waktu telah menjadi hal yang paling berharga dalam hidupnya. Aditya menyadari bahwa setiap detik, setiap momen, kini terasa berbeda. Ketika hidupnya dulu penuh dengan rencana dan ambisi untuk masa depan, kini ia merasa bahwa hal yang lebih penting adalah bagaimana ia bisa menjalani sisa waktunya dengan lebih bermakna. Ia sudah tidak lagi memikirkan pencapaian atau ambisi besar. Baginya, waktu yang tersisa ini harus diisi dengan hal-hal yang benar-benar penting, yang bisa memberikan kedamaian bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Aditya menatap sekeliling rumahnya yang terasa begitu sunyi. Ia tahu bahwa saat ini, ia sedang berada di titik yang sangat krusial dalam hidupnya. Setiap keputusan, setiap tindakan, kini membawa dampak yang lebih dalam. Ketika hidup terbatas oleh waktu, tidak ada lagi tempat untuk penyesalan atau keraguan. Semua yang bisa dilakukan adalah menjalani hari dengan kesadaran penuh, memberi yang terbaik dalam setiap momen yang ada.

Sore itu, ia memutuskan untuk mengunjungi ayahnya. Sejak lama, hubungan mereka tidak lagi sehangat dulu. Ayahnya adalah sosok yang sangat pekerja keras, sering kali lebih memilih menghabiskan waktu untuk bekerja ketimbang bersama keluarga. Namun, setelah beberapa kali berbicara dengan ibunya, Aditya merasa bahwa ia perlu melakukan sesuatu. Ia tidak ingin waktu yang tersisa ini terbuang begitu saja tanpa memperbaiki hubungan dengan orang yang telah memberinya kehidupan.

Sesampainya di rumah ayahnya, Aditya merasakan suasana yang sedikit tegang. Ayahnya sedang duduk di ruang tamu, membaca koran. Ketika Aditya masuk, ayahnya hanya menoleh sekilas, tanpa berkata apa-apa. Namun, kali ini, Aditya tidak ingin membiarkan keheningan itu berlangsung lama. Ia duduk di hadapan ayahnya dan membuka pembicaraan dengan suara lembut.

“Ayah,” ujar Aditya, suaranya sedikit bergetar. “Aku ingin kita berbicara. Tentang banyak hal. Tentang kita.”

Ayahnya menurunkan korannya dan memandang Aditya. Wajahnya tampak tegas, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Ia tahu, ini bukan percakapan biasa.

“Ada apa, Aditya?” Ayahnya bertanya, masih terlihat canggung.

Aditya menatap mata ayahnya, mencoba mencari kekuatan untuk membuka hati. “Aku sadar, Ayah. Kita jarang sekali berbicara dengan hati yang terbuka. Aku ingin kita memperbaiki hubungan kita. Waktu yang kita miliki tidak banyak, dan aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini.”

Ayahnya terdiam, seolah mencerna kata-kata itu. Ia tampak bingung, seolah belum siap untuk berbicara tentang hal yang lebih dalam. Namun, setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang dan akhirnya berkata, “Aku tahu. Aku tahu selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Aku terlalu fokus pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Maafkan aku, Aditya.”

Kata-kata itu seperti membuka pintu bagi percakapan yang sudah lama tertahan. Aditya merasa ada beban yang terlepas, dan perlahan, hubungan mereka mulai terbuka kembali. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang masa lalu, tentang kesalahan yang terjadi, tentang harapan yang belum pernah terucapkan. Percakapan itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah langkah menuju pemulihan, sebuah langkah menuju pengertian yang lebih dalam antara ayah dan anak.

Malam itu, Aditya kembali ke rumah dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun waktu yang ia miliki terbatas, ia merasa bahwa ia telah melakukan hal yang benar dengan memperbaiki hubungannya dengan ayahnya. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi yang bisa ia lakukan adalah memastikan bahwa sisa waktu yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya.

Hari-hari berikutnya, Aditya mulai melakukan hal-hal yang sebelumnya selalu ia tunda. Ia mulai lebih sering mengunjungi teman-temannya, berbicara lebih banyak dengan ibunya, dan bahkan mulai menulis surat-surat untuk orang-orang yang ia cintai. Surat-surat itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga cara Aditya untuk meninggalkan sesuatu yang berarti bagi mereka—sesuatu yang bisa mereka ingat ketika ia sudah tidak ada lagi.

Di setiap surat, Aditya menulis tentang perasaan yang selama ini terpendam, tentang harapan-harapannya, dan tentang betapa ia berterima kasih atas setiap momen yang telah mereka lewati bersama. Ia ingin orang-orang yang ia cintai tahu bahwa, meskipun hidupnya singkat, mereka telah memberinya kebahagiaan yang luar biasa. Ia ingin memastikan bahwa, ketika waktunya tiba, mereka akan mengingatnya dengan penuh cinta dan rasa syukur.

Suatu pagi, Aditya duduk di meja makan, membaca surat terakhir yang ia tulis untuk ibunya. Air mata menetes di pipinya, tetapi kali ini, ia tidak merasa sedih. Ia merasa damai. Ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik dengan waktu yang diberikan kepadanya. Setiap kata dalam surat itu adalah ungkapan dari hatinya yang paling dalam—sesuatu yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata sehari-hari. Ia ingin ibunya tahu bahwa, meskipun hidupnya tidak akan lama, ia akan selalu mencintainya dan merasa berterima kasih.

Ketika sore tiba, Aditya kembali ke pantai, tempat di mana ia pertama kali mulai menyadari betapa berharganya waktu. Kali ini, ia datang tidak hanya untuk merenung, tetapi untuk memberi penghormatan pada diri sendiri—sebuah penghormatan atas perjalanan yang telah ia jalani, atas semua kebahagiaan dan kesedihan yang telah ia rasakan. Ia duduk di pasir, membiarkan angin malam menyapu wajahnya, dan menatap laut yang tenang.

Waktu memang tidak bisa dihentikan. Tetapi, Aditya tahu sekarang bahwa ia bisa memilih untuk menjalani sisa waktunya dengan penuh makna. Ia bisa memilih untuk mencintai lebih banyak, berbagi lebih banyak, dan memberi lebih banyak. Tidak ada lagi penyesalan. Tidak ada lagi ketakutan. Hanya ada kehidupan yang terus berjalan, dan Aditya siap untuk menjalani sisa waktu yang berharga dengan penuh kesadaran, cinta, dan rasa syukur.*

Epilog

Tahun-tahun berlalu dengan cepat, seperti air yang mengalir tanpa bisa dihentikan. Di tengah kehidupan yang terus berjalan, Aditya kini duduk di sebuah bangku taman kota yang sama, tempat ia dulu sering merenung tentang waktu dan keberadaannya. Suasana sore itu terasa tenang, dengan matahari yang hampir tenggelam di balik horizon, menyisakan langit yang dihiasi warna oranye keemasan. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berarti, meskipun ia tahu bahwa waktu tetap akan berjalan tanpa bisa dikendalikan. Namun, kali ini, Aditya merasa damai. Lebih damai dari sebelumnya.

Dulu, ia selalu merasa terjepit antara masa lalu yang penuh penyesalan dan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Setiap langkah terasa penuh keraguan, setiap keputusan membawa beban berat. Ia tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan dengan waktu yang terbatas, dengan hidup yang terus-menerus berubah. Namun, seiring berjalannya waktu, Aditya belajar untuk menerima kenyataan bahwa waktu tidak bisa dihentikan, dan hidup, meskipun terbatas, tetap memiliki makna.

Setelah menjalani perjalanan panjang, baik secara fisik maupun emosional, Aditya kini merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia telah melalui banyak hal: perjuangan dengan penyakit yang tak terhindarkan, perjuangan dengan hubungan keluarga yang terjalin kembali setelah lama terabaikan, dan perjuangan dengan dirinya sendiri, mencoba melepaskan ketakutan dan penyesalan yang mengikatnya selama bertahun-tahun. Semua itu telah mengajarkan dirinya untuk lebih menghargai waktu yang ada, untuk menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran, dan untuk memberi arti pada setiap momen yang ia lewati.

Meskipun perjalanan itu tidak mudah, Aditya kini bisa tersenyum. Ia tidak lagi merasa cemas tentang hari-hari yang akan datang. Tentu, ada kekhawatiran dan ketakutan yang masih menghantui, tetapi ia tahu bahwa ketakutan itu tidak akan menghalangi langkahnya. Ia telah belajar untuk menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Namun, setiap langkah yang diambil, setiap keputusan yang dibuat dengan hati yang penuh cinta, tetap membawa kita pada jalan yang lebih baik.

Di sampingnya, sebuah tas kecil tergeletak di atas bangku. Di dalamnya ada surat-surat yang telah ia tulis untuk orang-orang yang ia cintai, pesan-pesan terakhir yang ingin ia sampaikan. Surat-surat itu bukan sekadar kata-kata; mereka adalah cerminan dari perasaan terdalamnya, ungkapan cinta, rasa terima kasih, dan permintaan maaf yang telah lama tertahan. Surat-surat itu adalah warisan yang ingin ia tinggalkan—sebuah tanda bahwa meskipun waktu yang ia miliki terbatas, ia telah menjalani hidup dengan penuh arti.

Aditya mengingat kembali beberapa minggu sebelum ia menulis surat-surat itu. Saat itu, ia merasa bahwa waktunya semakin singkat. Setiap hari terasa begitu berharga, setiap orang yang ia temui terasa begitu penting. Ia tidak ingin ada penyesalan di akhir kehidupannya, tidak ingin ada kata-kata yang tidak pernah terucapkan. Itu adalah keputusan yang datang dari lubuk hatinya yang terdalam, keputusan untuk memberi lebih banyak, untuk mencintai lebih banyak, dan untuk hidup dengan penuh kesadaran.

Sebelum ia bisa melanjutkan lamunannya, ponselnya bergetar di dalam saku jaket. Ia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Kirana tertera di layar. Sebuah senyuman muncul di wajah Aditya. Ia telah berteman baik dengan Kirana selama beberapa tahun terakhir. Meskipun ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah menjadi lebih dari sekadar teman, kehadiran Kirana di hidupnya memberikan banyak kedamaian dan kebahagiaan. Kirana adalah orang yang selalu mengingatkannya untuk menghargai setiap momen, untuk tidak terjebak dalam kegelisahan atau ketakutan.

“Aditya,” suara Kirana terdengar ceria di ujung telepon. “Apa kabar? Aku sedang ada di kota, bolehkah aku menemanimu sebentar? Aku ingin berbicara denganmu.”

Aditya tersenyum mendengar suara Kirana. “Tentu, Kirana. Aku di taman sekarang. Datanglah, aku menunggu.”

Tak lama kemudian, Kirana muncul di ujung jalan setapak taman. Ia berjalan dengan langkah ringan, mengenakan gaun panjang yang sederhana namun elegan. Ketika mereka saling bertemu di tengah jalan, Kirana memberikan pelukan hangat yang selalu terasa nyaman bagi Aditya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Kirana, duduk di samping Aditya di bangku taman.

“Aku baik,” jawab Aditya, “Lebih baik daripada sebelumnya, sebenarnya.”

Kirana tersenyum, merasakan kedamaian yang hadir di sekitar mereka. “Aku tahu, Aditya. Aku bisa merasakannya. Seperti ada ketenangan di dalam dirimu yang sebelumnya tidak ada.”

Aditya mengangguk. “Aku telah belajar banyak, Kirana. Tentang waktu, tentang hidup, tentang orang-orang yang kita cintai. Aku menyadari bahwa meskipun waktu yang kita miliki terbatas, itu tidak berarti kita harus hidup dalam ketakutan atau penyesalan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani setiap momen dengan kesadaran dan cinta.”

Kirana menatap Aditya dengan penuh pengertian. “Itu benar. Kita tidak bisa mengendalikan waktu, tetapi kita bisa memilih untuk hidup dengan penuh makna. Itu yang membuat setiap detik berharga.”

Aditya tersenyum dan menatap langit yang semakin gelap. Di kejauhan, bintang-bintang mulai bermunculan, memberi cahaya lembut di malam yang hening. “Mungkin kita tidak tahu berapa lama lagi waktu yang kita miliki. Tapi yang pasti, kita bisa memilih untuk membuat setiap detik berharga. Kita bisa memilih untuk mencintai, untuk memberi, untuk berbuat baik. Itu yang membuat hidup layak dijalani.”

Kirana menatapnya dengan penuh rasa haru. “Aku sangat bangga padamu, Aditya. Kamu sudah menjadi pribadi yang luar biasa. Waktu yang kita punya memang tidak akan pernah cukup, tetapi yang kita lakukan dengan waktu itu lah yang paling berarti.”

Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati momen itu. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan lebih banyak. Hanya ada rasa syukur atas apa yang telah mereka lalui bersama, atas waktu yang telah mereka habiskan dengan penuh makna. Dalam hati Aditya, ia merasa telah menjalani perjalanan yang penuh warna—penuh dengan suka dan duka, penuh dengan pelajaran dan kebijaksanaan.

Aditya tahu bahwa hidup akan terus berlanjut, meskipun tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa siap menghadapi apapun yang datang. Ia tahu bahwa meskipun waktu yang ia miliki terbatas, itu adalah anugerah yang harus dihargai, dijalani dengan penuh cinta, dan diisi dengan hal-hal yang benar-benar penting.

Dalam pelukan senja itu, Aditya merasakan kedamaian yang selama ini ia cari. Ia telah belajar untuk menghargai sisa waktunya, dan itu sudah cukup.***

——–THE END——-

 

Source: Gustian Bintang
Tags: senang
Previous Post

KUE TERBANG DAN PENCURI WAKTU

Next Post

DALAM PELUKAN SENJA

Next Post
DALAM PELUKAN SENJA

DALAM PELUKAN SENJA

cinta dibalik tukang bakso

cinta dibalik tukang bakso

PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

PAHLAWAN SUPER YANG MALAS

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In