• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SISA WAKTU DI TEPI JURANG

SISA WAKTU DI TEPI JURANG

May 5, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SISA WAKTU DI TEPI JURANG

SISA WAKTU DI TEPI JURANG

by SAME KADE
May 5, 2025
in Action
Reading Time: 24 mins read

Bab 1: Detik Awal Bencana

Langit pagi itu memerah, bukan karena mentari yang baru terbit, melainkan oleh asap hitam yang membumbung tinggi dari jantung kota. Dentuman dahsyat menggema, mengguncang gedung-gedung tinggi dan memecah kaca-kaca toko dalam sekejap. Jeritan warga bersahutan di antara sirine mobil ambulans dan mobil pemadam yang meraung melawan waktu.

Di antara kepulan debu dan reruntuhan, seorang pria berjaket kulit lusuh berdiri terpaku. Tatapan matanya tajam, namun terlihat getir. Namanya Raka — mantan agen pasukan khusus yang telah menghilang dari dunia sejak lima tahun lalu. Hari ini, kehancuran yang disaksikannya dari kejauhan seperti cambuk yang membangunkan insting lamanya.

Raka menatap layar ponsel yang bergetar di genggamannya. Sebuah pesan masuk dari nomor tanpa nama:
“Waktu kita hampir habis. Kota ini bukan sasaran terakhir. Mereka mencarimu.”

Tangannya mengepal. Nafasnya teratur, tapi pikirannya berlari lebih cepat dari ledakan yang baru saja terjadi. Ini bukan kebetulan. Ini pesan. Ancaman. Dan yang paling ia benci—permainan yang memaksanya kembali ke dunia yang telah ia tinggalkan.

Langkahnya cepat menuruni tangga stasiun bawah tanah yang mulai dipenuhi debu dan jeritan. Ia membantu seorang ibu yang tertimpa puing, mengangkatnya dengan kekuatan yang masih tersisa dari masa lalunya sebagai tentara elit. Raka tahu, ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar.

“Raka,” suara berat terdengar dari belakang. Seorang pria berjas hitam, lengkap dengan pin bendera kecil di dadanya, mendekat sambil membawa koper logam. “Negara membutuhkanmu lagi.”

Raka menoleh, menatap pria itu dalam-dalam. Wajah yang dikenalnya, wajah yang ia benci—Komandan Wiratama.

“Aku sudah mati untuk negara ini, lima tahun lalu,” ucap Raka pelan.

Komandan Wiratama menunduk sebentar, lalu meletakkan koper logam itu di tanah. Ia membuka perlahan, memperlihatkan dokumen-dokumen, foto korban ledakan, dan—peta.

“Kalau kau tidak kembali sekarang, akan lebih banyak yang mati besok.”

Raka menatap ke arah kota yang terbakar. Di matanya, ada perang yang belum selesai. Dan ia tahu, detik ini juga, ia harus memilih: tetap dalam bayang-bayang atau kembali ke garis depan, berlari melawan waktu yang makin menipis.

Bab 2: Panggilan dari Masa Lalu

Gedung tua berlantai empat di pinggiran Jakarta itu tampak sepi dan lusuh. Dindingnya penuh bercak jamur, jendela-jendelanya kusam, dan atap sengnya berderit ditiup angin. Tapi di sinilah mereka memilih bertemu—tempat yang tak akan dicurigai siapa pun, termasuk musuh yang sedang memburu mereka.

Raka masuk ke dalam tanpa suara. Langkahnya mantap, matanya menyapu setiap sudut ruangan. Dia tak membawa senjata, tapi tubuhnya adalah senjata itu sendiri. Refleksnya belum tumpul, meski lima tahun menjauh dari medan tempur. Ia menaiki tangga sempit menuju lantai tiga—lantai yang dulunya dipakai untuk operasi intelijen bayangan.

Pintu berderit saat dibuka. Di dalam, Komandan Wiratama duduk di kursi reyot, menghadap meja tua yang penuh dokumen dan peta satelit. Di sampingnya berdiri seorang wanita muda, berpakaian hitam tak bercorak, dengan tatapan tajam seolah bisa menembus siapa pun.

“Lama tidak bertemu, Raka,” sapa Wiratama, datar.

“Terakhir kali kita bertemu, saya dikorbankan untuk misi kotormu,” balas Raka tanpa basa-basi.

Suasana menegang. Tapi Wiratama hanya menghela napas. Ia membuka berkas besar dan menyodorkan satu foto kepada Raka.

“Kau ingat dia?”

Raka menatap foto itu. Seorang pria, berkacamata gelap, mengenakan jaket kulit dan berdiri di antara puing-puing. Wajahnya tak asing. Wajah itu menghantuinya bertahun-tahun. Damar. Sahabat lamanya. Rekan seperjuangan yang dulu dikira gugur dalam penyergapan di Suriah. Tapi kini, Damar adalah dalang di balik ledakan yang menewaskan puluhan warga sipil pagi tadi.

“Dia masih hidup?” tanya Raka pelan, nyaris tak percaya.

“Lebih dari itu. Dia kini memimpin Ordo Bayangan. Dan dia mencarimu,” ujar Wiratama dingin.

Raka duduk perlahan. Nafasnya berat. Masa lalunya menyeretnya kembali, tak memberinya waktu untuk berpaling. Ingatan tentang pengkhianatan, pengorbanan, dan darah yang mengalir sia-sia berputar di kepalanya.

“Kenapa sekarang?” gumam Raka.

Wanita di samping Wiratama akhirnya angkat bicara. Suaranya tegas namun halus. “Karena Project Jurang akan dimulai dalam 48 jam. Dan hanya kamu yang bisa menghentikannya.”

Raka menatap keduanya. Ia tahu—sekali lagi ia akan menapaki jalan berdarah. Tapi jika Damar benar-benar hidup, maka ini bukan sekadar misi penyelamatan. Ini adalah pertempuran terakhir… dan penebusan.

“Baik,” ujarnya akhirnya. “Tapi kali ini, saya tak akan bermain sesuai aturan kalian.”

Bab 3: Tanda-Tanda di Balik Serangan

Raka duduk di depan layar monitor besar di ruang bawah tanah markas sementara yang disiapkan Komandan Wiratama. Cahaya kebiruan dari layar memantul di wajahnya yang penuh gurat letih, namun tatapannya tetap tajam. Di hadapannya terpampang peta digital kota—titik-titik merah menandai lokasi ledakan dan sabotase yang terjadi dalam dua bulan terakhir.

“Delapan titik dalam delapan minggu,” gumam Raka pelan.

“Dan semuanya dilakukan dengan presisi militer,” ujar wanita muda yang kini dikenalkan sebagai Saskia, analis intelijen siber. Suaranya tenang, tapi dalam. Ia menunjuk pola yang membentuk garis melengkung di peta.

“Ini bukan sekadar teror acak. Pola ini… seperti membentuk perimeter.”

Raka mengernyit, lalu berdiri dan berjalan ke arah papan strategi yang dipenuhi foto-foto satelit dan laporan-laporan media. Ia mencocokkan lokasi-lokasi serangan dengan jalur pipa utama, jaringan listrik, dan sistem komunikasi kota.

“Seseorang sedang menutup akses. Membuat zona mati,” ucapnya lirih.

Saskia mengangguk. “Mereka menciptakan kepanikan, tapi bukan untuk menghancurkan. Mereka sedang mempersiapkan sesuatu di dalam perimeter itu—sebuah operasi besar.”

Komandan Wiratama masuk ke ruangan dengan wajah serius. Ia membawa dua amplop cokelat bertuliskan RAHASIA NEGARA. Tanpa basa-basi, ia melemparkannya ke meja.

“Intel terbaru dari daerah selatan. Ada aktivitas pengangkutan logistik skala besar, tetapi tanpa catatan resmi. Mereka menggunakan kendaraan militer yang pernah kita pakai dalam operasi luar negeri.”

Raka membuka salah satu amplop dan menatap foto-foto yang ada di dalamnya. Truk baja, kontainer besar, dan satu simbol aneh—sebuah lambang burung hantu bermahkota, logo dari kelompok Ordo Bayangan.

“Damar memanfaatkan pengalaman militer kita. Dia tahu celah-celah sistem. Dan dia tahu betul cara bermain di atas kelemahan negara ini,” ucap Raka.

Saskia mengoperasikan sistem pemantauan yang memunculkan rekaman drone rahasia. Di layar tampak sebuah lokasi tersembunyi di pinggiran kota—bekas tempat penambangan batu, kini terlihat dipenuhi aktivitas tak wajar.

“Ini mungkin pusat operasinya,” ujar Saskia. “Tapi kita tak punya izin masuk ke sana. Terlalu banyak sensor, terlalu banyak jebakan.”

Raka tersenyum tipis, lalu memutar peta 3D dan menunjukkan jalur pembuangan air lama yang tersambung ke bawah tanah lokasi itu.

“Kalau kita tak bisa masuk dari atas, kita masuk dari bawah.”

Wiratama menatap Raka tajam. “Ini misi bunuh diri.”

Raka balas menatapnya. “Kita tak sedang menghitung kemungkinan, kita sedang berpacu dengan waktu.”

Bab 4: Peta yang Tersembunyi

Hujan turun deras malam itu. Gemericiknya menghantam atap seng markas sementara mereka, menyatu dengan denting-denting kegelisahan di dalam ruangan. Di meja utama, selembar cetakan tua terbentang lebar—bukan sekadar peta biasa, melainkan peta drainase bawah tanah yang telah lama dihapus dari catatan resmi.

“Peta ini ditemukan dalam gudang arsip Kementerian Pertahanan,” jelas Saskia sambil mengelap lensa kacamatanya yang basah. “Proyek tahun 1986. Terowongan rahasia yang dibangun saat masa darurat nasional. Sebagian besar sudah ditutup, tapi beberapa jalur masih aktif… dan tak terpantau sistem pengawasan modern.”

Raka menunduk, matanya menyapu setiap garis dan simbol yang tergambar. Tangannya menunjuk satu titik kecil di sisi barat kota.

“Ini… saluran utama yang terhubung langsung ke area tambang tempat Ordo Bayangan bergerak. Tapi kenapa tidak ada catatan digital tentangnya?”

Saskia mengangguk pelan. “Karena peta ini sengaja dikubur. Proyek itu pernah dibatalkan karena dianggap terlalu berisiko. Tapi ada yang mempertahankannya… diam-diam. Mungkin karena mereka tahu, suatu saat, terowongan ini akan dibutuhkan—atau disalahgunakan.”

Raka berdiri dan menarik napas panjang. Wajahnya tampak lebih keras dari sebelumnya. Bukan hanya karena kesadaran bahwa jalur ini bisa menjadi satu-satunya cara menyusup, tetapi juga karena ia menyadari sesuatu yang lebih dalam: ada pihak dalam sistem yang turut bermain.

“Kita tak hanya melawan Damar,” ucap Raka pelan. “Kita sedang melawan bayangan di dalam tubuh sendiri.”

Komandan Wiratama masuk sambil membawa selembar foto lusuh—salinan dari dokumen intelijen lama. Di dalamnya, tampak gambar Damar muda, berdiri berdampingan dengan pejabat tinggi negara.

“Dia tidak pernah sendirian,” kata Wiratama. “Dan sepertinya, dia tidak pernah benar-benar keluar dari lingkaran kekuasaan.”

Diam sesaat menyelimuti ruangan. Raka memejamkan mata, mencoba mengingat kembali potongan-potongan masa lalu. Damar, dalam pelatihan. Damar, saat penugasan rahasia pertama mereka. Damar, yang waktu itu sempat berkata:

“Jika negara tak bisa dilindungi dari dalam, maka negara harus diguncang agar sadar diri.”

Kata-kata itu kini terngiang kembali, menguatkan rasa bahwa ini bukan sekadar pemberontakan. Ini adalah rencana yang telah ditanamkan sejak lama.

Saskia menutup laptopnya dan menatap Raka. “Kalau kita masuk lewat terowongan ini, kita hanya punya satu kesempatan. Sekali masuk, tak ada jalan keluar cepat. Dan kalau jebakan mereka aktif…”

Raka menoleh dan tersenyum tipis. “Itu sebabnya mereka tak akan menduga kita berani masuk.”

Bab 5: Penyusupan di Tengah Malam

Malam menelan kota dalam sunyi yang mencekam. Awan hitam menggantung rendah, seolah menjadi tirai alami yang menyembunyikan gerak-gerik mereka dari mata dunia. Raka, Saskia, dan dua anggota pasukan bayangan lainnya—Adwin dan Lira—berdiri di tepi mulut terowongan tua di bawah jembatan kereta yang sudah lama tak beroperasi.

Air menetes dari sela-sela dinding beton yang lembap. Bau tanah basah dan logam tua memenuhi udara. Di hadapan mereka terbentang lorong gelap dengan udara pengap, seolah menyambut siapa pun yang cukup nekat untuk masuk.

“Pastikan alat komunikasi aktif. Begitu sinyal terputus lebih dari lima menit, anggap misi ini gagal,” ujar Raka sambil mengenakan helm taktisnya.

Saskia memeriksa tablet pengendali drone yang terpasang di lengannya. “Sensor panas sudah aktif. Kamera malam juga. Tapi jika mereka sudah menyiapkan jammer di dalam, kita akan buta.”

“Justru itu yang menarik. Semakin gelap, semakin kita punya keunggulan,” gumam Raka.

Tanpa banyak bicara, mereka melangkah masuk. Langkah demi langkah, suara derap sepatu mereka menyatu dengan gemericik air yang mengalir perlahan di sepanjang lantai terowongan. Setiap persimpangan dipindai, setiap suara kecil membuat mereka waspada.

Sekitar dua ratus meter ke dalam, mereka menemukan pintu baja tua yang tertutup rapat. Ada simbol burung hantu bermahkota tergurat samar di atasnya—lambang yang sama seperti dalam dokumen intelijen. Adwin mengeluarkan alat pembuka elektronik dan mulai bekerja.

“Empat digit, pola militer lama. Tapi kodenya sudah dimodifikasi. Ini bukan kerja amatir,” desis Adwin.

Saskia menatap layar tablet. “Ada pergerakan. Tiga titik panas, jaraknya kurang dari dua puluh meter di balik dinding ini.”

“Siapkan formasi senyap,” perintah Raka.

Begitu pintu terbuka, mereka menyusup masuk—senyap seperti bayangan, cepat seperti kilat. Di dalam, tampak lorong baru yang jauh lebih bersih, lebih modern. Dinding logam, lampu redup tersembunyi, dan sistem ventilasi aktif. Ini bukan lagi terowongan tua—ini markas operasi tersembunyi.

Lira bergerak ke depan dan memberi sinyal berhenti. Mereka mendengar suara—percakapan dalam bahasa asing, terdengar dari ruang di ujung lorong. Raka mendekat ke lubang ventilasi dan mengintip.

Empat orang bersenjata, berbadan kekar, tampak mengawasi layar monitor. Di salah satu monitor, tergambar blueprint kota dengan titik-titik merah menyala.

“Itu bukan hanya markas. Mereka sedang merancang gelombang serangan berikutnya,” bisik Raka.

Saskia mengirim data itu secara diam-diam ke Wiratama. Namun, saat hendak mundur, sinyal tiba-tiba terputus. Layar tablet mati.

“Mereka tahu kita di sini,” kata Saskia pelan.

Lampu lorong tiba-tiba padam. Suara sirene bergaung pelan dari kejauhan. Dari balik lorong, suara langkah kaki terdengar mendekat… cepat dan berat.

“Formasi bertahan!” teriak Raka. “Kita tidak datang untuk mati. Kita datang untuk membuka pintu perang!”

Dan malam pun berubah menjadi medan tempur senyap—di mana setiap detik bisa menjadi yang terakhir.

Bab 6: Pengkhianat di Antara Kita

Pagi itu, udara markas terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari telah lama terbit. Di ruang brifing bawah tanah yang remang-remang, Raka menatap satu per satu anggota timnya. Pandangannya tajam, penuh tanda tanya, menyapu wajah Saskia, Adwin, Lira, dan dua operator cadangan yang baru ditugaskan semalam.

“Misi semalam… terlalu mudah,” ucap Raka dingin. “Kita menyusup ke markas musuh, mengambil data sensitif, lalu lolos… tanpa perlawanan berarti. Itu bukan keberuntungan. Itu jebakan yang tak jadi meledak.”

Hening.

Saskia menatap Raka dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”

Raka melemparkan sebuah flashdisk ke atas meja. “Ini rekaman kamera helm yang diam-diam kuaktifkan. Perhatikan jam di sudut kiri bawah. Saat kita berada dalam markas Ordo Bayangan, salah satu dari kita mengirim sinyal dengan frekuensi gelombang pendek. Itu sinyal suar, penanda posisi.”

Adwin langsung berdiri. “Kau menuduh kita?!”

“Aku tidak menuduh,” potong Raka cepat, “aku menyajikan fakta.”

Ia menekan tombol di laptop. Video diputar. Terlihat jelas kilatan kecil dari gelang komunikasi yang dikenakan oleh salah satu anggota. Waktunya tepat—lima detik sebelum lampu markas padam dan sinyal komunikasi hilang.

Semua mata menoleh ke arah Lira.

Wajah Lira berubah pucat, tapi ia tetap tenang. “Itu tidak mungkin. Aku bahkan tidak memegang perangkat itu. Kalian semua lihat aku di depan, memindai lorong.”

“Tapi gelang itu aktif di tanganmu,” tukas Saskia. “Dan kamu satu-satunya yang tidak kehilangan koneksi selama sepuluh detik pertama.”

Lira mundur selangkah, matanya menatap sekeliling. “Aku… aku dijebak! Seseorang memalsukan sinyalku!”

Tiba-tiba, Komandan Wiratama masuk. Ia membawa berkas dengan stempel RAHASIA.

“Kita temukan ini di server mereka yang berhasil disalin Saskia. Ada nama lengkap dan foto anggota kita yang telah lama dicari Damar. Salah satunya adalah Lira Adisti.”

Semua diam.

Lira menarik napas panjang, lalu menatap langsung ke mata Raka.

“Aku tak berniat mengkhianati kalian. Tapi Damar menyimpan sesuatu… sesuatu yang bisa menghancurkan masa laluku. Jika aku tak tunduk, adikku yang akan dikorbankan.”

Air mata mengalir di pipinya, tapi Raka tak luluh.

“Ketika kau menerima tugas ini, kau tahu bahwa keluarga kita adalah bangsa ini. Kau memilih jalanmu.”

Lira tertunduk. Dua prajurit pengawal membawanya pergi dalam diam.

Setelah pintu tertutup, Raka menatap semua yang tersisa.

“Ini belum akhir. Kita baru saja kehilangan satu pasukan… dan mungkin masih ada lebih dari satu pengkhianat. Tapi satu hal yang pasti—Ordo Bayangan tidak bisa lagi bersembunyi dalam gelap.”

Ia mengepalkan tangan.

“Sekarang, kita tak hanya bertarung untuk menyelamatkan negeri ini… tapi juga untuk menebus setiap pengkhianatan yang pernah terjadi.”

Bab 7: Ledakan di Jalur Aman

Langit sore itu berwarna kelabu, seolah mengisyaratkan bahwa badai bukan hanya datang dari awan, tetapi dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih berbahaya.

Konvoi tiga kendaraan lapis baja meluncur pelan di sepanjang Jalur C-17, rute rahasia yang biasa digunakan oleh pasukan khusus untuk pergerakan logistik antara markas pusat dan titik operasi. Jalur ini dijuluki “jalur aman” oleh para prajurit karena telah digunakan selama bertahun-tahun tanpa insiden.

Namun sore itu, kata “aman” kehilangan maknanya.

Raka duduk di kursi belakang kendaraan utama, menatap monitor kecil yang menampilkan peta satelit real-time. Di sebelahnya, Saskia sibuk menganalisis pola anomali gelombang elektromagnetik yang belakangan sering muncul di sekitar jalur itu.

“Lima menit lagi kita sampai di zona tengah,” ujar pengemudi melalui radio.

Saskia mendesah pelan. “Aku tidak suka ini. Terlalu tenang. Sinyal pengacak di sekitar zona 3A meningkat drastis.”

Raka mengangguk, memencet tombol interkom. “Seluruh unit, periksa ulang sensor ranjau dan aktifkan mode defensif penuh. Kemungkinan ada—”

BRAGH!!!

Suara ledakan memekakkan telinga mengguncang seluruh kendaraan. Kendaraan di depan mereka terangkat dari tanah dan terpental sejauh lima meter sebelum jatuh terbalik, terbakar hebat. Asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit.

“Serangan! Ini jebakan!” teriak Raka.

Pengemudi mencoba berbalik arah, namun ledakan kedua menghantam sisi kiri kendaraan mereka, membuat bodi baja tergores keras dan sebagian sistem komunikasi mati seketika. Api menjilat bagian samping kendaraan, membuat suasana dalam sekejap berubah menjadi neraka.

Saskia berusaha menarik Raka keluar melalui pintu darurat. “Kita harus keluar sekarang!”

Mereka berguling ke tanah berkerikil, hanya beberapa detik sebelum kendaraan mereka dilalap api. Dentuman ketiga terdengar di belakang—kendaraan ketiga dalam konvoi juga terkena ranjau.

“Tiga kendaraan. Tiga ledakan. Ini bukan acak. Ini pembantaian yang direncanakan,” kata Raka sambil mencabut senjatanya.

Mereka berlindung di balik bebatuan besar di sisi jalan. Saskia menarik keluar drone pengintai portabel dari ransel kecilnya. Dalam hitungan detik, drone melayang ke udara dan menampilkan citra udara jalur itu.

“Enam orang bersenjata lengkap, menyebar di dua arah. Mereka sedang menyisir lokasi. Kita sudah terdeteksi,” ujar Saskia cepat.

“Berarti kita tak punya pilihan selain melawan.” Raka menatap ke arah asap, wajahnya keras.

Dari balik asap, muncul siluet seseorang—tinggi, bersenjata lengkap, dan mengenakan seragam tanpa identitas. Di dadanya tertera simbol burung hantu bermahkota.

Raka mengenali sosok itu.

“Langit…?” gumamnya pelan.

Langit adalah mantan rekan satu tim mereka yang dinyatakan hilang dalam misi di luar negeri tiga tahun lalu. Ia diyakini gugur. Tapi kini, dia berdiri di depan mereka… sebagai musuh.

Langit mengangkat senjatanya, lalu tersenyum tipis.

“Selamat datang di dunia baru, Raka.”

Seketika, pertempuran pun pecah di tengah kobaran api dan ledakan yang belum sepenuhnya padam. Dan Raka tahu, sejak ledakan itu, tidak ada lagi yang bisa dianggap “jalur aman”.

Bab 8: Di Balik Topeng Sang Pemimpin

Cahaya lampu redup menyapu dinding batu ruang bawah tanah itu, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak seperti sosok-sosok hantu. Raka duduk diam di kursi logam dingin, mengenakan pakaian lapangan yang kotor dan sobek, sisa dari pertempuran di Jalur C-17. Di depannya, layar hologram menyala, menampilkan wajah seseorang—tertutup topeng hitam berlapis baja, dengan suara yang disamarkan menjadi dalam dan menggetarkan.

“Selamat datang di balik panggung utama, Letnan Raka,” ucap sosok bertopeng itu.

“Damar…” desis Raka pelan.

Sosok bertopeng itu tertawa kecil, suara logamnya memantul di ruang sempit itu. “Nama itu sudah mati. Aku bukan lagi orang yang kalian kejar sepuluh tahun lalu. Aku adalah hasil dari sistem yang kalian pertahankan mati-matian. Aku hanya cermin dari negara yang kalian lindungi—penuh luka, dusta, dan pengkhianatan.”

Raka mengepalkan tangan. “Kau membunuh ratusan orang tak berdosa. Anak-anak, perempuan, warga sipil. Apa itu balas dendam? Atau hanya topeng untuk menutupi ambisimu sendiri?”

Hening sesaat.

Sosok bertopeng itu melangkah mendekat, hingga hanya berjarak satu meter dari kamera pengawas yang merekam percakapan. Matanya menyala merah di balik kacamata hitam pelindung.

“Kau masih belum mengerti, Raka. Sistem yang kau bela adalah monster sesungguhnya. Aku hanya memberikan cermin pada dunia—dan menunjukkan wajah buruk yang selama ini disembunyikan di balik kata ‘stabilitas’.”

Tiba-tiba layar berubah. Muncul gambar-gambar lama—dokumentasi operasi militer rahasia, eksekusi terhadap warga desa, dan wajah-wajah petinggi militer yang kini duduk di kabinet pemerintahan. Semuanya disimpan dengan rapi oleh Ordo Bayangan sebagai bukti kejahatan negara yang pernah mereka tutupi.

Raka terdiam. Nafasnya berat. Sebagian dari gambar itu… nyata. Ia pernah terlibat dalam operasi itu. Tapi selama ini ia percaya itu untuk “menyelamatkan negara”.

“Jadi kau ingin membakar semuanya?” ucapnya akhirnya. “Hanya karena kau merasa dikhianati?”

“Bukan merasa. Aku tahu aku dikhianati,” jawab Damar. “Dan aku bukan satu-satunya.”

Dari balik layar, muncul bayangan lain—Langit, kini tanpa helm. Wajahnya dingin, matanya penuh luka. Ia berdiri di belakang Damar, seperti anjing penjaga yang setia.

Raka menatap keduanya, lalu berkata pelan, “Ini bukan lagi tentang pembalasan pribadi. Ini sudah menjadi perang ideologi. Tapi ingat satu hal, Damar… topengmu mungkin menutupi wajahmu, tapi tidak bisa menyembunyikan kebusukan niatmu.”

Damar tersenyum di balik topeng. “Dan kau, Raka, adalah pion terakhir yang masih bisa mengubah permainan ini. Maka pertanyaannya sekarang: kau akan tetap menjadi alat sistem, atau mulai membuka matamu?”

Layar mati.

Pintu besi terbuka, dan dua penjaga masuk. Namun sebelum mereka sempat menyentuh Raka, suara ledakan keras mengguncang ruangan.

Saskia dan Adwin berhasil masuk. Operasi penyelamatan telah dimulai.

Di tengah kekacauan, Raka berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan membuka topengmu, Damar. Dan dunia akan melihat siapa kau sebenarnya.”

Bab 9: Waktu yang Makin Menipis

Langit malam membentang gelap tanpa bintang. Angin pegunungan berhembus kencang, membawa aroma dingin dan sunyi yang tak wajar. Di balik bukit tandus yang menghadap ke fasilitas nuklir tua peninggalan era Perang Dingin, tim Raka berlutut di bawah bayang-bayang bebatuan, mengamati dengan peralatan termal.

Saskia mengusap layar tablet dengan jari gemetar. “Ini dia. Sinyal pengatur detonator utama. Mereka menanamnya di ruang kendali reaktor lama. Jika meledak, bukan hanya daerah ini… tapi dua kota besar akan hancur.”

Raka menatap arloji taktis di pergelangan tangan kirinya. 03:42 dini hari. Mereka hanya memiliki waktu dua jam sebelum sistem otomatis diaktifkan oleh Ordo Bayangan.

“Berapa banyak penjaga di dalam?” tanya Adwin, matanya tak lepas dari teropong malam.

“Enam belas orang bersenjata lengkap. Dua drone bersenjata. Dan kemungkinan satu unit pemantau gelombang panas,” jawab Saskia.

Raka menghela napas, lalu menatap kedua rekannya. “Kita tak punya waktu untuk rencana panjang. Ini bukan lagi tentang menyerbu… ini tentang bertahan hidup dan menghentikan kehancuran massal.”

Sementara itu, di dalam fasilitas bawah tanah, Damar berdiri di depan panel kendali kuno yang telah dimodifikasi. Ia menatap detik-detik pada layar merah yang terus bergerak turun. Di belakangnya, Langit berdiri diam dengan wajah gelap.

“Kau yakin mereka akan datang?” tanya Langit.

“Mereka tidak punya pilihan,” jawab Damar datar. “Raka tahu apa yang dipertaruhkan. Ia tahu bahwa satu keputusan keliru bisa menghapus sejarah sebuah bangsa.”

Langit menatap jam dinding. “Lalu apa rencanamu jika dia berhasil masuk?”

“Kalau dia berhasil, itu berarti dia memang pantas mengubah arah permainan ini,” jawab Damar lirih, nyaris seperti harapan yang dibungkus ironi.

Di luar, Raka memberi isyarat.

Tiga… dua… satu…

Ledakan kecil di sisi utara fasilitas menjadi gangguan awal. Mereka masuk dengan formasi rapat. Suara tembakan pecah di koridor sempit. Asap dan debu memenuhi udara.

Saskia berlari ke ruang kendali alternatif, mencoba membobol sistem manual. Adwin menahan pasukan musuh di pintu selatan. Dan Raka berlari menuju pusat detonator.

“Empat puluh lima menit lagi,” gumam Saskia sambil menyambungkan kabel ke terminal rusak. “Satu kesalahan, kita semua meledak bersama tempat ini.”

Raka tiba di ruang pusat. Di sana, Damar telah menunggu.

“Datang juga kau,” ujar Damar.

“Berhenti. Masih ada waktu,” ucap Raka sambil menodongkan senjata.

“Tapi waktu bukan milik kita. Kau tahu itu,” jawab Damar sambil membuka helmnya, menatap lurus ke mata Raka.

Ketegangan membuncah. Senjata, kata-kata, dan masa lalu berpadu dalam satu momen genting.

Dan waktu terus berdetak…
03:59.
Sisa satu jam.

Bab 10: Pertarungan di Ketinggian

Angin malam di puncak gunung itu seperti melumat kulit, dingin dan tajam. Di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut, segala sesuatu terasa lebih ekstrem. Hanya sedikit cahaya yang tersisa di langit, menyisakan bayangan panjang dari bentang alam yang mengguncang perasaan. Dari sini, seluruh kota yang terancam hancur tampak kecil—seperti potongan-potongan puzzle yang sedang jatuh satu persatu.

Raka berdiri di sisi tebing, menatap ke bawah. Di hadapannya, sebuah helikopter militer hitam terparkir di pendaratan darurat yang dikelilingi oleh jurang dalam. Di atasnya, bendera hitam Ordo Bayangan berkibar dengan angkuh.

“Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Saskia yang muncul di samping Raka. Matanya memandang helikopter dengan sorot tajam.

Adwin mengangguk sambil memeriksa persenjataan mereka. “Mereka pasti sudah mengetahui rencana kita. Itu sebabnya mereka menunggu di sini, di ketinggian. Mereka tahu kita harus datang untuk menghentikan bom nuklir itu.”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah dengan memusnahkan helikopter itu. Tanpa helikopter, mereka tidak akan bisa melarikan diri.”

Namun, saat Raka melangkah maju, sebuah suara datang dari balik bayangan.

“Apa kalian kira ini akan berakhir seperti yang kalian harapkan?”

Damar, sosok yang selama ini menjadi bayangan dalam pikiran Raka, kini muncul di hadapan mereka. Topeng hitam yang menutupi wajahnya kini terangkat, memperlihatkan mata penuh kebencian.

Raka mengalihkan pandangannya. “Tidak ada yang bisa menghentikan ini, Damar. Kau sudah melangkah terlalu jauh.”

Damar tertawa pelan, suara yang terasa dingin dan mengiris hati. “Kau memang tidak mengerti, Raka. Ini bukan hanya tentang menghentikan rencana ini. Ini tentang mengakhiri segalanya. Semua yang kalian perjuangkan adalah bagian dari sistem yang sudah mati. Dan aku… aku akan menjadi pemimpin yang akan membawa dunia ke tatanan yang baru.”

“Tidak, Damar. Yang kau bicarakan hanyalah kehancuran, bukan tatanan baru,” kata Raka tegas, senjata di tangannya siap.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak, helikopter mulai menyala. Mesin-mesin berderu keras, dan di atasnya, bayangan-bayangan para pengikut Damar sudah bersiap dengan senjata.

“Ambil posisi!” teriak Raka, memberi komando pada Saskia dan Adwin.

Pertarungan yang tidak bisa dihindari pun dimulai. Tembakan mulai bergaung di udara, dentingan logam beradu dengan peluru yang berdesing di sekitar mereka. Raka, Saskia, dan Adwin bergerak cepat, menembus kegelapan malam yang tebal. Mereka melompat dari batu ke batu, berusaha mendekati helikopter yang sudah mulai terbang ke atas.

Raka menyasar salah satu dari penjaga yang bersiap di atas landasan helikopter. Dengan sekali tembakan tepat sasaran, tubuh itu jatuh terhempas.

Namun, Damar tidak tinggal diam. Ia meloncat dari belakang, menyambar senjata Raka. Mereka bertarung sengit di ketinggian, di bawah tatapan tajam helikopter yang terus berputar, siap meluncurkan serangan dari atas.

“Jika kau ingin bertahan hidup, Raka, kau harus melepaskan masa lalumu!” teriak Damar, menyerang dengan penuh amarah.

Raka terdesak mundur, namun setiap gerakannya penuh ketegasan. “Aku tidak akan pernah melepaskan apa yang benar!”

Dengan satu gerakan cepat, Raka berhasil meraih senjata Damar, memutar tubuhnya, dan mengarahkannya pada Damar. Mereka saling menatap dalam diam, keduanya terengah-engah, wajah penuh luka dan darah.

Namun, suara mesin helikopter yang semakin keras memecah ketegangan. Helikopter itu sudah siap untuk lepas landas, membawa rencana jahat Damar bersama dengan dirinya.

“Tidak ada waktu lagi!” teriak Raka, lalu melepaskan tembakan ke mesin utama helikopter.

Braaakkk!

Ledakan dahsyat mengguncang seluruh area, dan helikopter itu terbelah menjadi dua, jatuh ke dalam jurang dengan kobaran api yang mengamuk. Damar, yang hanya beberapa langkah dari ledakan itu, terpental ke belakang. Namun, ia masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka.

“Ini belum berakhir, Raka. Kau baru saja memulai perang yang lebih besar,” Damar berteriak dengan marah.

Raka menatapnya dengan penuh kebencian. “Perang ini berakhir malam ini, Damar.”

Ketegangan itu masih ada di udara, meskipun helikopter musuh telah hancur. Mereka tahu bahwa meskipun kemenangan kecil ini berhasil diraih, perang besar masih menanti di depan.

Namun untuk saat ini, mereka memiliki satu kemenangan—dan waktu mereka masih ada untuk bertahan.

Bab 11: Sandi Terakhir

Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Di dalam ruang kontrol yang tertutup rapat, suasana mencekam. Raka berdiri di depan layar holografis yang menampilkan serangkaian kode-kode misterius. Di sekitarnya, Saskia dan Adwin memeriksa berbagai perangkat komunikasi dan senjata, siap untuk bergerak kapan saja. Namun, meskipun mereka terlihat tenang, ketegangan di udara tidak bisa disembunyikan.

“Ini sandi terakhir, Raka,” kata Saskia, suaranya serak karena kelelahan. “Jika kita tidak berhasil memecahkannya dalam waktu dua jam, bom nuklir ini akan meledak, dan semuanya akan hancur.”

Raka mengangguk, matanya tidak pernah lepas dari layar yang berkelap-kelip itu. Kode-kode yang tertera di sana tampak rumit, lebih sulit dari yang mereka perkirakan. Mereka telah mencoba berbagai cara untuk membuka sandi itu, namun semuanya gagal.

Namun, ada satu hal yang Raka tahu dengan pasti: jika mereka gagal di sini, seluruh usaha mereka selama ini akan sia-sia. Bukan hanya misi ini, tetapi perjuangan hidup dan mati yang mereka jalani selama bertahun-tahun.

Tiba-tiba, sebuah suara datang dari pintu.

“Raka… ada sesuatu yang harus kau lihat.”

Adwin muncul dengan wajah serius, membawa sebuah dokumen tebal yang terlihat sudah usang. Matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata yang ia ucapkan.

“Apa ini?” tanya Raka, sambil mendekati dokumen tersebut.

Adwin membuka halaman pertama dokumen itu, menunjukkan sebuah peta kuno yang telah dilipat dan digulung dengan rapi. “Ini adalah peta dari fasilitas bawah tanah yang sudah lama terlupakan. Teman lama kita, Damar, telah menyembunyikan kunci sandi terakhir di sini.”

Raka mengambil napas dalam-dalam, membaca peta itu dengan teliti. Ia menyadari bahwa peta tersebut bukan hanya menunjukkan lokasi fasilitas utama yang mereka incar, tetapi juga menggambarkan labirin tersembunyi yang terhubung ke inti dari sistem kendali nuklir.

“Jadi, ini bukan hanya soal sandi?” tanya Raka dengan suara rendah, menyadari apa yang dimaksudkan oleh Adwin.

“Benar. Sandi itu sebenarnya adalah kunci untuk membuka jalur yang tersembunyi. Kalau kita berhasil menempuh jalur itu, kita bisa memutuskan sambungan ke inti reaktor dan menghentikan proses penghancuran ini,” jawab Adwin.

Raka menatap peta itu dengan cermat. Wajahnya tampak keras, namun dalam hatinya ada keraguan. Jika mereka mengambil jalur ini, mereka tidak hanya berhadapan dengan Damar—tetapi dengan kemungkinan besar terjebak dalam labirin maut yang telah dirancang untuk menahan mereka.

“Satu-satunya cara kita bisa menang adalah dengan bermain cerdas,” gumam Raka. “Kita tidak akan masuk melalui pintu utama. Kita akan memanfaatkan jalur tersembunyi ini.”

Saskia dan Adwin saling memandang, keduanya mengangguk, menyetujui rencana berbahaya itu. Mereka tahu betul bahwa ini adalah taruhan besar. Namun, tidak ada pilihan lain.

Waktu semakin menipis. Mesin penghancur di dalam ruang kendali utama semakin dekat dengan titik kritis. Mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk menggagalkan rencana ini. Jika mereka terlambat, dunia akan berada dalam kehancuran yang tak bisa dipulihkan.

Raka menatap layar holografis sekali lagi, lalu kembali ke peta yang dibawa Adwin. Di bawah sana, tersembunyi sebuah jalur yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Jalur itu adalah jalan terakhir menuju kunci keselamatan—dan kunci untuk menghentikan Damar dan pasukannya.

Tanpa kata-kata lagi, mereka bergerak maju, menyusun strategi. Raka memimpin mereka dengan langkah cepat dan penuh keyakinan, sementara suara mesin yang berdengung keras di bawah tanah semakin memekakkan telinga.

Mereka berlari melalui lorong sempit, menghindari setiap jebakan yang Damar siapkan. Hanya cahaya redup dari lampu darurat yang menerangi perjalanan mereka. Setiap detik terasa lebih berat, namun Raka tahu bahwa ini adalah langkah terakhir. Kunci sandi terakhir yang mereka kejar bukan hanya soal menyelamatkan dunia, tetapi juga soal penebusan. Raka ingin memastikan bahwa pengkhianatan yang terjadi selama ini akan mendapatkan balasan.

Begitu mereka sampai di ujung labirin, mereka menemukan sebuah pintu besi berat dengan kode yang hanya bisa dipecahkan oleh satu orang—Damar. Di sana, Raka melihat sandi terakhir yang diinginkan Damar: sebuah kata yang disamarkan dalam rangkaian huruf-huruf yang saling bertautan.

“Aku tahu ini,” bisik Raka, menyadari kata yang tersembunyi di dalam sandi tersebut. “Ini bukan hanya sandi… ini adalah pesan.”

Pesan itu berbunyi: “Hanya yang tahu kebenaran yang bisa menghentikan kehancuran.”

Dengan satu gerakan cepat, Raka mengetikkan sandi tersebut di panel kendali. Pintu itu terbuka, dan mereka memasuki ruang kendali utama—tempat yang akan menentukan nasib dunia.

Bab 12: Luka Lama, Dendam Baru

Langkah kaki Raka menggema di lorong panjang yang dipenuhi kabut tipis dan bau logam. Udara dingin menusuk tulang, namun tubuhnya terasa panas—bukan karena suhu, melainkan oleh kemarahan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Di balik pintu besi di ujung lorong, seseorang menantinya. Sosok yang pernah ia anggap saudara. Seseorang yang dulu bertempur di sisinya, namun kini berdiri sebagai musuh yang paling membekas dalam ingatan: Damar.

Pintu terbuka perlahan. Lampu-lampu redup menyoroti siluet tubuh tegap Damar yang berdiri di tengah ruangan kendali, tangannya menggenggam remote detonator dengan santai. Tatapan matanya tajam, namun dingin. Tak ada sedikit pun rasa bersalah di wajahnya.

“Aku tahu kau akan datang, Raka,” ucapnya tenang, seolah ini adalah pertemuan biasa antara dua teman lama. “Tapi kau terlambat. Dunia sudah terlalu busuk untuk diselamatkan.”

Raka menatap mantan komandannya itu dengan mata penuh luka. “Dunia ini tidak butuh diselamatkan dengan cara menghancurkannya, Damar. Kau dulu percaya pada kebenaran. Apa yang membuatmu berubah?”

Damar terkekeh pendek. “Kebenaran? Kebenaran yang mana? Kebenaran saat pasukan kita dikorbankan demi politik kotor? Saat aku dituduh berkhianat dan kau hanya diam, meski tahu aku dijebak?”

Raka terdiam. Luka itu kembali terbuka. Ia mengingat malam ketika operasi penyelamatan gagal, dan nama Damar dicoret dari daftar prajurit dengan tuduhan pengkhianatan. Ia tahu Damar tidak bersalah, tapi saat itu, suaranya terlalu kecil untuk melawan sistem.

“Aku menyesal, Damar,” kata Raka pelan. “Tapi dendammu tidak membenarkan semua ini.”

“Menyesal tak menghidupkan rekan-rekan kita yang mati sia-sia!” Damar membentak, kini matanya berkaca-kaca. “Aku kehilangan segalanya, Raka. Dan satu-satunya hal yang tersisa hanyalah pembalasan.”

Saskia dan Adwin masuk ke ruangan, senjata di tangan, namun Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka mundur. Ini bukan sekadar pertempuran fisik—ini adalah pertarungan batin yang harus diselesaikan di antara dua saudara lama.

“Kalau memang aku harus mati hari ini, bunuh aku,” ucap Damar sambil mengacungkan remote ke dadanya. “Tapi ingat, Raka, kau juga bagian dari luka ini. Luka yang kau biarkan tumbuh menjadi dendam.”

Suasana hening sejenak. Jantung Raka berdetak kencang. Ia tahu, jika Damar menekan tombol itu, segalanya akan berakhir. Tapi ia juga tahu, jika ia menarik pelatuknya lebih dulu, ia akan kehilangan satu-satunya orang yang memahami luka mereka.

“Damar…” suara Raka serak. “Kita masih bisa memperbaiki semua ini. Tidak dengan darah, tapi dengan keberanian untuk mengakui kesalahan.”

Damar terdiam. Tangannya gemetar. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh.

Namun saat suasana mulai melunak, sebuah peluru melesat cepat dari arah belakang. Tubuh Damar terhuyung, peluru menembus bahunya. Suara tembakan memekakkan telinga, diikuti kekacauan. Ternyata seorang agen bayangan yang disusupkan oleh pihak ketiga—pihak yang sebenarnya ingin memanfaatkan dendam Damar demi agenda lebih gelap—muncul dan menyerang.

Raka langsung membalas tembakan. Dalam baku tembak yang singkat namun brutal, agen itu berhasil dilumpuhkan. Tapi kerusakan telah terjadi—Damar terluka parah.

Raka berlari menghampiri tubuh Damar yang tergeletak. Ia menekan luka di bahu itu, berusaha menghentikan pendarahan. Damar menatap Raka dengan mata sayu, namun ada sedikit senyum yang kembali ke wajahnya.

“Mungkin… kau benar… Raka. Dunia ini… belum sepenuhnya mati,” gumamnya.

Raka menggenggam tangan Damar erat, seolah ingin menebus tahun-tahun pengkhianatan dan keheningan. Luka lama mereka akhirnya dibuka—dan meski tidak semua bisa sembuh, setidaknya luka itu tak lagi dibiarkan membusuk dalam gelap.

Bab 13: Jurang Penentu

Langit malam itu kelam, seolah turut menahan napas menghadapi keputusan besar yang akan ditentukan malam itu. Di tepi tebing curam yang menghadap ke lembah terpencil, Raka berdiri dengan mata menatap lampu-lampu samar dari markas musuh di kejauhan. Di belakangnya, tim kecil yang tersisa bersiap untuk misi yang bisa menjadi penentu segalanya—gagal berarti kematian, berhasil berarti harapan terakhir bagi bangsa.

Waktu menunjukkan pukul 02.14 dini hari. Dingin menggigit kulit, tetapi Raka tahu, bukan suhu yang akan membekukan nyali malam ini, melainkan rasa takut akan kegagalan dan kehilangan.

“Dari sini tidak ada jalan kembali,” ujar Adwin pelan, menatap Raka. “Kita semua tahu itu.”

Raka mengangguk. “Karena itu kita harus melangkah dengan keyakinan, bukan keraguan.”

Mereka sudah kehilangan banyak: rekan, waktu, bahkan sebagian dari keyakinan mereka terhadap sistem yang seharusnya melindungi rakyat. Namun, mereka masih memiliki satu hal: keberanian.

Saskia mendekat dengan membawa peta digital yang bergetar pelan oleh angin. “Ada terowongan bawah tanah di sisi barat. Tidak tercantum dalam cetak biru resmi, tapi jejak panas dari satelit menunjukkan aktivitas di dalamnya.”

“Jalur sempit dan bisa jadi dijaga ketat,” gumam Raka. “Tapi itu satu-satunya cara untuk menyusup tanpa diketahui.”

Mereka bergerak cepat dan senyap. Setiap langkah di atas tanah berbatu seperti irama ketegangan yang menuntun ke klimaks cerita mereka. Terowongan itu sempit, gelap, dan berliku, seakan menggambarkan pilihan moral yang mereka tempuh—berbahaya, tetapi satu-satunya jalan yang benar.

Di dalam, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka sangka—ruang kendali yang tersembunyi, penuh layar pemantauan dan catatan operasi. Di sinilah rencana akhir akan dieksekusi, rencana penghancuran data dan pemutusan seluruh jaringan sabotase yang dibangun oleh para pengkhianat dari dalam sistem.

Namun sebelum mereka bisa bertindak, alarm berbunyi. Musuh menyadari kehadiran mereka. Sirine merah menyala, suara sepatu berlari menggema mendekat.

“Waktunya habis,” kata Saskia.

“Belum,” jawab Raka tegas. Ia menunjuk ke komputer utama. “Hanya satu dari kita yang perlu tetap di sini untuk menanamkan virus penghancur data. Yang lain keluar dan ledakkan jalur masuk setelahnya.”

“Dan siapa yang tinggal?” tanya Adwin.

Raka diam sesaat, lalu menjawab dengan suara tenang, “Aku.”

“Tidak,” potong Saskia. “Kita mulai ini bersama, kita akhiri bersama.”

Pertengkaran singkat itu terpotong oleh suara tembakan. Musuh sudah di depan pintu. Raka menarik napas panjang. Ia tahu, tak ada waktu untuk perdebatan. Ia memandang Saskia dan Adwin—sahabat yang telah bersamanya melewati luka, pengkhianatan, dan kehilangan.

“Percayalah padaku,” katanya lirih.

Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong mereka ke lorong keluar dan menutup pintu baja, menguncinya dari dalam. Suara teriakan Saskia dan dentuman dari luar menjadi gema yang mengiris hati, tetapi Raka tahu: ini harga dari tanggung jawab.

Di dalam ruangan itu, Raka menatap layar. Ia mulai mengaktifkan sistem penghancur, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, sementara suara ledakan dan tembakan semakin mendekat.

Satu menit tersisa.

Ia membuka komunikasi terakhir dengan timnya.

“Jika aku tak kembali, katakan pada dunia… kami tidak diam saat keadilan diinjak-injak.”

Suara itu terputus oleh ledakan besar. Jurang itu akhirnya runtuh—secara harfiah dan metaforis. Tapi bukan untuk menelan harapan, melainkan untuk memutus rantai kejahatan yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang.

Bab 14: Sisa Waktu

Cahaya mentari pagi menyusup perlahan dari celah reruntuhan bukit. Debu-debu halus masih melayang di udara, membawa aroma tanah terbakar dan besi berkarat. Di tengah puing-puing itu, Saskia berdiri terdiam, menatap ke arah reruntuhan yang semalam menjadi medan pengorbanan.

Adwin berjalan mendekat dengan langkah tertatih, luka di lengannya belum sepenuhnya tertangani. Matanya sembab, namun tegas. “Kami sudah mencari sepanjang malam… tapi tidak ada tanda kehidupan.”

Saskia menunduk. Hening. Kata-kata tak lagi mampu menggambarkan kehampaan yang menggantung di dadanya.

Raka hilang.

Namun yang tertinggal bukan sekadar kehilangan, melainkan sisa-sisa perjuangan yang belum usai.

Beberapa jam sebelumnya, sistem sabotase nasional yang ditanamkan jaringan pengkhianat berhasil dihancurkan. Ratusan data operasi hitam musuh musnah. Rantai infiltrasi yang mengakar selama bertahun-tahun terputus dalam sekejap. Tetapi harga yang harus dibayar terlalu mahal.

Saskia memandangi perangkat kecil yang ia genggam erat—rekaman suara terakhir Raka sebelum komunikasi terputus. Suaranya tenang, meskipun ia tahu kematian mengintainya.

“Jika waktu ini yang terakhir, jangan menyesali apa pun. Teruskan perjuangan kita. Karena selama ada satu orang yang berani berdiri, keadilan tak akan pernah benar-benar mati.”

Kata-kata itu terpatri dalam hati. Dan dari serpihan harapan yang tersisa, Saskia bangkit. Bersama Adwin dan segelintir anggota tim yang tersisa, mereka menyusun langkah selanjutnya—membawa bukti, membongkar keterlibatan pihak-pihak di pucuk kekuasaan, dan menuntut keadilan atas mereka yang dikorbankan dalam diam.

Waktu memang terus berjalan. Tapi bagi mereka yang pernah berdiri di tepi jurang, waktu bukan hanya hitungan detik, melainkan keputusan—untuk terus bertahan, atau menyerah.

Saskia memilih bertahan.

Hari-hari berikutnya diisi dengan pengungkapan demi pengungkapan. Media internasional menyoroti kasus tersebut. Rakyat mulai bersuara. Mereka tak lagi bisu di bawah tirani bayangan. Apa yang dulunya hanya diketahui segelintir pasukan elit, kini menjadi sorotan nasional.

Namun, dalam tiap langkah kemenangan itu, bayang-bayang Raka selalu hadir—dalam kenangan, dalam strategi yang ia tinggalkan, dalam nilai yang ia perjuangkan.

Hingga suatu malam, ketika Saskia tengah menyusun laporan akhir di markas rahasia mereka, sebuah ketukan terdengar di pintu. Pelan, namun mantap.

Ia membuka dengan waspada. Dan di sana, berdiri seseorang dalam mantel gelap, tubuhnya ringkih, namun sorot matanya tak asing—tatapan yang menyimpan ratusan luka dan cerita.

Raka.

Luka di wajahnya belum sembuh, suaranya serak, tapi senyum kecil itu nyata.

“Aku bilang belum waktunya mati, kan?”

Air mata Saskia jatuh tanpa bisa dicegah. Ia tak berkata apa pun, hanya memeluk sahabat lamanya yang telah kembali dari batas kematian.

Dan pada malam itu, di tengah gelap dan terang yang bertarung di cakrawala, mereka tahu satu hal:

Sisa waktu yang mereka miliki… akan digunakan untuk mengubah segalanya.

Bab 15: Setelah Ledakan

Ledakan itu bukan hanya menghancurkan markas rahasia musuh, tapi juga membuka mata bangsa terhadap kenyataan yang selama ini dikaburkan oleh propaganda dan kekuasaan. Dalam satu malam, tirai kegelapan yang menutupi wajah pengkhianatan tersingkap sepenuhnya.

Namun, bagi mereka yang berada di garis depan, kemenangan itu terasa pahit.

Raka, meski berhasil kembali dengan selamat, tak lagi seperti sebelumnya. Tubuhnya penuh luka, jiwanya membawa beban dari semua nyawa yang gugur dalam misi. Ia tahu, meski perang rahasia telah dimenangkan, pertempuran untuk keadilan sejati baru saja dimulai.

Saskia menatap langit dari atas atap markas baru mereka di pinggiran kota. Langit cerah, tanpa asap, tanpa suara sirene. Tapi dalam ketenangan itu, ada kegelisahan. Dunia berubah terlalu cepat.

“Kita menang, tapi rasanya… seperti kehilangan separuh dari diri kita sendiri,” ujarnya pelan.

Raka, yang berdiri di sampingnya, hanya mengangguk. Ia menggenggam erat file terakhir berisi semua data yang berhasil diselamatkan—bukti nyata siapa yang berada di balik jaringan pengkhianat, termasuk nama-nama besar yang sebelumnya dianggap pahlawan.

“Apa kita akan mengungkap semuanya?” tanya Saskia.

Raka menatap jauh ke cakrawala. “Kita tak punya pilihan lain. Jika kita berhenti sekarang, semua pengorbanan akan sia-sia.”

Mereka tak lagi bertarung dengan senjata, tetapi dengan kebenaran. Sidang darurat digelar. Nama-nama pejabat tinggi disebut di ruang pengadilan. Media nasional dan internasional mengangkat kasus ini sebagai bentuk keberanian sekelompok kecil prajurit melawan sistem yang membusuk dari dalam.

Dukungan publik pun mengalir. Rakyat mulai percaya kembali, tidak pada sistem, tapi pada individu yang berani melawan arus. Raka dan timnya menjadi simbol harapan baru—bahwa keadilan, meski tertatih, akan selalu menemukan jalannya.

Namun, di balik sorotan kamera dan sorak sorai rakyat, Raka memilih untuk kembali ke tempat sunyi—ke medan yang tidak diliput kamera, ke garis depan yang tidak tercatat dalam sejarah: tugas-tugas senyap demi menjaga negara dari ancaman baru yang mungkin muncul.

Saskia pun mengambil langkah serupa. Ia bergabung dengan unit reformasi internal, memastikan bahwa sistem ke depan memiliki mekanisme yang lebih kuat agar kesalahan serupa tak terulang.

“Ledakan itu mengakhiri satu babak,” kata Saskia suatu hari. “Tapi membuka halaman baru yang lebih besar. Ini belum selesai.”

Raka menatapnya dengan senyum tipis. “Dan selama kita masih punya sisa waktu, kita akan terus berjalan.”

Epilog

Beberapa tahun kemudian, sebuah monumen kecil berdiri di lereng bukit tempat misi terakhir terjadi. Di sana tertulis nama-nama mereka yang gugur dalam diam, tanpa pangkat, tanpa penghargaan negara. Tapi bagi mereka yang tahu, nama-nama itu adalah fondasi dari kebangkitan baru bangsa.

Dan di antara nama-nama itu, satu ruang kosong dibiarkan tak terukir. Bukan karena lupa, tetapi karena sang pemilik nama itu masih berjalan—dalam bayang-bayang, menjaga terang.

Sisa waktu di tepi jurang telah berakhir. Kini saatnya melangkah ke tanah yang baru, dengan luka sebagai pengingat, dan keberanian sebagai penuntun.***

——————————THE END—————————–

AksiMisiRahasia

, PengkhianatanDanKeadilan

, LedakanPerlawanan

, PejuangDalamBayangan

, DramaMiliterModern

, PertarunganTerakhir

, SisaWaktuUntukNegeri

, KonspirasiEliteNegara

Source: Shifa Yuhananda
Tags: AksiMisiRahasiaDramaMiliterModernKonspirasiEliteNegaraLedakanPerlawananPejuangDalamBayanganPengkhianatanDanKeadilanPertarunganTerakhirSisaWaktuUntukNegeri
Previous Post

DI BALIK PINTU KAMAR 17

Next Post

BAYANG – BAYANG YANG TERTINGGAL

Next Post
BAYANG – BAYANG YANG TERTINGGAL

BAYANG - BAYANG YANG TERTINGGAL

SUARA DARI KUBURAN

SUARA DARI KUBURAN

CINTA DALAM KEHENINGAN

CINTA DALAM KEHENINGAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In