Bab 1: Kembali ke Rumah Lama
Malam itu, langit terlihat begitu gelap, seakan-akan menahan semua rahasia yang tersembunyi di bawahnya. Andra menatap rumah tua di depannya, sebuah bangunan yang begitu akrab namun juga terasa asing baginya. Rumah itu berdiri di atas tanah yang sudah lama tidak dijamah, terisolasi dari hiruk-pikuk kota, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Dulu, rumah ini adalah tempat yang penuh kenangan indah, namun sekarang seolah memendam banyak cerita kelam yang tak terungkap.
Andra menepuk stir mobilnya, menghela napas berat. Dia tak bisa menghindar lagi. Ini adalah keputusan yang sudah diambilnya beberapa minggu lalu: kembali ke rumah lama milik keluarganya, rumah yang diwariskan oleh kakeknya. Rumah yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni dan terlupakan, namun tetap menyimpan berbagai misteri yang tak pernah berhasil dijelaskan. Kini, setelah bertahun-tahun pergi dan meninggalkan semuanya, Andra merasa seolah dia harus kembali. Ada dorongan yang kuat di dalam dirinya, meskipun dia tak bisa menjelaskan sepenuhnya.
Mobil Andra berhenti tepat di depan pagar kayu yang sudah lapuk. Pagar yang dulu terlihat megah, kini hanya tinggal kenangan tentang kemewahan masa lalu. Gerbang besi yang dulu selalu terbuka lebar untuk menyambut tamu, kini terkatup rapat, tertutup oleh rerumputan yang memanjat tinggi. Andra menurunkan kaca jendela mobil dan menghirup udara malam yang dingin. Aroma tanah basah, dedaunan, dan sedikit rasa lembap terasa menyelimuti. Tak ada suara lain selain desiran angin yang berbisik pelan.
Andra mematikan mesin mobil dan keluar dengan perlahan, merasakan derak langkah kakinya yang menginjak tanah berdebu. Langkah pertama menuju rumah ini seolah seperti langkah yang membawa kembali kenangan yang sudah lama terkubur. Kenangan tentang kakeknya yang penuh cerita, tentang ibunya yang sering mengingatkan agar tidak pernah mendekati satu bagian rumah yang dianggap terlarang. Kenangan tentang sebuah lorong yang selalu terasa gelap, dan tentang pintu yang selalu tertutup rapat.
Dengan hati-hati, Andra berjalan menuju pintu depan rumah yang sudah lama terkunci. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menuntutnya untuk mengetahui lebih dalam mengenai rumah ini. Dulu, ketika masih kecil, Andra sering dibawa oleh kakeknya untuk berkeliling rumah. Namun, selalu ada satu bagian rumah yang tidak boleh ia dekati—lorong yang terletak di ujung paling jauh dari rumah, di belakang sebuah pintu besar yang selalu terkunci.
Andra ingat betul apa yang selalu dikatakan kakeknya setiap kali mereka lewat di depan pintu itu: “Jangan pernah mencoba untuk membuka pintu itu, Andra. Apa yang ada di baliknya bukan untuk mata manusia.” Kata-kata itu selalu membuatnya penasaran, tapi juga takut. Ia sering bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya tersembunyi di dalam lorong itu, namun setiap kali bertanya, kakeknya hanya tersenyum dan menepuk kepalanya dengan lembut, menyuruhnya untuk melupakan segala rasa ingin tahu.
Namun kini, setelah kakeknya meninggal, rasa penasaran Andra semakin menguat. Dia merasa ada sesuatu yang belum tuntas—sesuatu yang harus ia ungkap. Rasa takutnya terbalut oleh keberanian yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Ini adalah saatnya untuk mencari tahu.
Saat tangan Andra meraih gagang pintu utama, ada perasaan aneh yang menghantui dirinya. Seolah-olah ada yang mengawasi, ada yang menunggu kedatangannya. Suara desiran angin yang semula terdengar menenangkan kini berubah menjadi suara yang mengganggu, membawa serta bayangan masa lalu yang tak terhapuskan.
Pintu itu terbuka dengan suara berderit keras. Andra melangkah masuk, dan seketika udara dingin menyambutnya. Bau kayu lapuk dan debu menyeruak ke hidungnya. Rumah ini terlihat seperti baru saja dihantam badai—semua barang tergeletak di tempatnya, tak tersentuh selama bertahun-tahun. Lantai kayu yang dulunya berkilau kini terlihat kusam dan berdebu. Dinding-dinding yang dulu dicat cerah kini pudar, dengan noda-noda tua yang tampaknya telah mengakar. Di setiap sudut ruangan, terdapat bayang-bayang gelap yang membuat suasana semakin mencekam.
Langkah Andra terasa berat ketika ia menapaki lantai yang berderak. Ia merasa semakin terbenam dalam kekosongan rumah ini, seolah-olah rumah itu sendiri menunggu sesuatu yang akan datang. Mungkin itu adalah dirinya. Mungkin inilah saatnya untuk mengungkap semua yang selama ini tersembunyi.
Andra bergerak menuju ruang tamu, yang dulu selalu menjadi tempat berkumpul keluarga. Namun, saat ini ruangan itu terasa asing. Sofa yang dulu nyaman kini sudah rusak, dengan kain-kain yang sobek dan pudar warnanya. Di atas meja kopi, masih tersisa beberapa barang yang tak terpakai, seperti jam tangan tua, foto keluarga, dan selembar surat yang telah usang. Surat itu tampak sudah lama sekali, terlipat dengan rapi, meskipun sudut-sudutnya sudah menguning. Andra mendekat dan mengambil surat itu. Di atasnya tertera nama kakeknya, namun tulisan di dalamnya samar dan sulit terbaca.
Ia meletakkan surat itu kembali dan melanjutkan langkahnya ke arah lorong yang sudah lama tidak dilalui. Lorong itu, yang selalu membuatnya merinding setiap kali lewat, terasa semakin nyata di hadapannya. Setiap langkah yang diambil Andra semakin membawa perasaan cemas dan khawatir, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menghalanginya untuk melangkah lebih jauh. Namun, tekad Andra sudah bulat. Ia harus menemukan apa yang tersembunyi di balik lorong itu.
Ketika Andra sampai di ujung lorong, ia melihat pintu besar yang dulunya selalu terkunci. Kini, pintu itu terlihat berbeda. Ada sesuatu yang aneh pada pintu itu. Tidak seperti biasanya, pintu itu tampak sedikit terbuka, seolah mengundang Andra untuk masuk. Andra berdiri beberapa langkah di depannya, menatap pintu dengan rasa cemas bercampur penasaran. Ia tahu, ini adalah momen yang akan mengubah segalanya.
Dengan hati-hati, ia mendekat. Setiap detik terasa berjalan lambat, seolah waktu pun ikut menahan nafas. Ketika jaraknya semakin dekat, Andra bisa merasakan hawa yang berbeda—hawa yang lebih berat, lebih gelap, yang seolah membekap seluruh tubuhnya. Ia mengulurkan tangan untuk mendorong pintu itu lebih lebar, dan pada saat itu pula, sebuah suara serak terdengar dari dalam. Suara itu tidak dapat dipahami, namun jelas terdengar seperti bisikan yang datang dari jauh.
Andra menahan napasnya dan berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Apa yang ada di balik pintu itu? Apa yang akan ia temui?
Dengan satu dorongan terakhir, Andra membuka pintu itu. Dalam sekejap, bayangan gelap melintas cepat di hadapannya—sebuah siluet yang tidak bisa ia jelaskan. Bayangan itu bergerak dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan lorong yang lebih dalam. Andra terkejut, dan jantungnya berdebar keras. Siapa itu? Apa itu?
Dan pada saat itulah, Andra menyadari bahwa ia baru saja memasuki sebuah dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah dunia yang penuh misteri, penuh ketakutan, dan penuh rahasia.**
Bab 2: Pintu yang Tertutup
Kegelisahan melanda Andra saat pintu besar itu tertutup dengan sendirinya setelah ia melangkah masuk ke lorong gelap. Ia menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengintainya. Hatinya berdebar kencang, dan tubuhnya terasa dingin seolah tersentuh oleh angin malam yang tidak tampak. Suasana yang tadinya penuh ketenangan, kini berubah menjadi berat dan mencekam. Seperti ada yang mengawasi setiap gerakannya.
Langkah pertama Andra menuju lorong yang terbentang di depannya terasa seperti beban yang mengarah ke sesuatu yang tak diketahui. Lorong itu panjang dan sempit, dengan dinding-dinding kayu tua yang tampak rapuh. Udara di sekitar terasa pengap, dan suara langkah kaki Andra terdengar begitu nyaring di ruang hampa itu. Setiap langkah yang ia ambil memecah kesunyian yang telah bertahan begitu lama.
Sekilas, Andra melihat sekeliling. Di ujung lorong yang gelap, ada pintu lain, lebih kecil, yang hampir tak tampak karena tertutup debu dan jaring laba-laba. Pintu itu berbeda dari pintu utama rumah. Pintu ini lebih sederhana, dengan kayu yang sudah mulai lapuk. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa pintu itu lebih misterius daripada yang lainnya.
Andra menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini adalah langkah yang tak bisa dihindari. Semua perasaan takut dan ragu yang menguasai dirinya sejak memasuki rumah itu, kini berubah menjadi dorongan yang kuat untuk melangkah lebih jauh. Tanpa sadar, ia melangkah lebih cepat menuju pintu kecil itu.
Namun, saat ia mendekat, sebuah sensasi aneh melanda dirinya. Sebuah suara yang sangat pelan, seperti bisikan angin, terdengar dari dalam lorong. Suara itu begitu halus, tetapi cukup untuk membuat Andra berhenti sejenak. Ia mendengarkan lebih seksama, mencoba menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Siapa di sana?” suara Andra terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan, seolah-olah suara itu ditelan oleh kegelapan sekitar.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin terasa menekan. Andra kembali melangkah, meskipun tubuhnya terasa semakin berat. Sesampainya di depan pintu kecil, ia melihat gagang pintu yang sudah berkarat, seakan menantangnya untuk membukanya. Tangan Andra terasa kaku saat ia mengulurkan tangan untuk memegang gagang pintu itu. Jari-jarinya gemetar sedikit, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ketakutan yang sempat menguasainya mulai berganti dengan rasa penasaran yang lebih kuat.
Andra memutar gagang pintu dengan hati-hati. Suara berderit pelan terdengar saat pintu itu terbuka perlahan. Pintu itu terbuka hanya sedikit, namun cukup bagi Andra untuk dapat melihat ke dalam. Di dalam, ada sebuah ruangan kecil yang gelap, dipenuhi oleh benda-benda yang sudah lama terlupakan. Lantai yang tertutup debu tebal dan perabotan yang usang membuat Andra merasa seperti sedang memasuki sebuah dunia yang jauh dari kenyataan.
Di tengah-tengah ruangan itu, ada meja tua yang dikelilingi oleh kursi-kursi kayu yang telah rusak. Di atas meja, ada beberapa benda yang tertata dengan rapi, meskipun sudah terlihat sangat usang. Andra melangkah masuk dengan hati-hati, matanya menyusuri setiap sudut ruangan. Tidak ada suara selain derapan langkah kakinya dan suara gemerisik dari benda-benda yang terhalang debu.
Sesaat kemudian, pandangan Andra tertumbuk pada sebuah benda yang menarik perhatiannya: sebuah buku tua yang tergeletak di atas meja, terbuka di tengah-tengah halaman. Buku itu tampaknya sangat tua, dengan sampul kulit yang telah mengelupas di beberapa bagian. Meskipun tampak begitu rapuh, buku itu tampaknya memiliki kekuatan untuk menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.
Andra mendekat dan meraih buku itu dengan hati-hati. Ia merasakannya dalam genggaman tangan, berat buku itu terasa mengganggu perasaannya, seakan menandakan bahwa apa yang ada di dalamnya bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Begitu membuka halaman pertama, Andra bisa melihat tulisan tangan yang sudah mulai pudar. Tulisan itu tertata rapi namun terkadang sulit terbaca karena goresan tinta yang samar. Setiap kata yang tertulis di halaman itu membawa kesan yang begitu misterius, seolah-olah kisah yang tercatat bukan hanya sekadar cerita biasa, melainkan sebuah peringatan, atau bahkan sebuah kutukan.
“Siapa yang menulis ini?” Andra bergumam sendiri. Penasaran, ia terus membaca, meskipun semakin merasa terperangkap dalam sebuah kisah yang tidak ia mengerti. Semakin ia membaca, semakin banyak kata-kata yang tidak dapat ia pahami. Ada banyak kalimat yang tampaknya tidak sengaja ditulis, dengan gambaran tentang tempat-tempat yang tidak pernah ia dengar sebelumnya—tempat-tempat yang terdengar lebih seperti mitos daripada kenyataan.
Beberapa kalimat yang terlihat jelas, meskipun terdistorsi oleh waktu, menyebutkan tentang “Lorong Terlarang” yang ada di dalam rumah ini. Buku itu seolah mengingatkan bahwa lorong tersebut tidak boleh dijamah oleh siapa pun, bahwa siapa pun yang mencoba mengungkap rahasianya akan terperangkap dalam kegelapan yang tak terduga. Semakin dalam Andra membaca, semakin ia merasa bahwa kakeknya—orang yang paling ia percayai—telah menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar. Rahasia yang tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi juga seluruh keluarganya.
Tiba-tiba, Andra terhenti di sebuah kalimat yang cukup jelas terbaca: “Di balik lorong ini, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutan. Yang menunggu bukanlah hanya bayangan, tetapi sebuah entitas yang telah lama terperangkap.”
Entitas? Andra terperangah. Kalimat itu seolah memberi peringatan yang sangat mendalam. Namun, ia merasa semakin terikat dengan kisah yang tertulis di buku itu. Kakeknya jelas-jelas tahu sesuatu tentang lorong ini, tetapi Andra tidak bisa membayangkan apa yang sedang tersembunyi.
Ketika ia hendak membaca lebih lanjut, sebuah suara keras terdengar dari arah belakang, membuat Andra terlonjak. Buku itu hampir terlepas dari tangannya, tetapi ia berhasil menggenggamnya dengan kuat. Suara itu berasal dari pintu yang baru saja ia buka, yang sekarang berderit kembali seolah ingin menutupnya.
Andra segera berbalik, merasa ada yang tidak beres. Di ujung lorong, ia melihat sesuatu yang bergerak cepat. Siluet yang semula hanya tampak samar di matanya kini mulai semakin jelas. Siluet itu berwarna gelap, hampir menyatu dengan bayangan di lorong yang sempit. Seperti sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang bergerak lebih cepat dari manusia biasa.
Andra merasa ngeri, namun rasa ingin tahu yang besar membuatnya maju selangkah. Siluet itu bergerak menjauh, seolah mengundangnya untuk mengikuti. Tanpa berpikir panjang, Andra mulai berjalan perlahan mengejar sosok itu. Kakinya terasa berat, dan hatinya berdebar semakin cepat. Rasanya ada sesuatu yang begitu kuat memanggilnya untuk terus maju, meskipun ia merasa bahwa ia sedang berada di ambang bahaya.
Namun, saat Andra melangkah lebih dekat, sosok itu menghilang begitu saja, seperti ditelan oleh kegelapan yang begitu pekat. Hanya ada kesunyian yang menyelimuti, seolah-olah lorong ini tidak pernah menyambut siapa pun. Andra berdiri diam, menunggu, berharap sesuatu akan terungkap.
Hanya ada kesendirian yang semakin mengerikan. Namun satu hal yang pasti, Andra tahu bahwa ia telah melangkah lebih dalam ke dalam misteri yang selama ini terpendam, dan tidak ada jalan kembali.**
Bab 3: Jejak yang Hilang
Andra berdiri terpaku di tengah lorong yang gelap, menatap ke arah tempat sosok itu menghilang beberapa detik lalu. Suasana di sekelilingnya terasa semakin mencekam, seakan-akan waktu itu berhenti, dan dunia di luar lorong ini tidak lagi ada. Segala yang ada hanyalah kegelapan yang menggelayuti hatinya. Detak jantungnya semakin cepat, dan perasaan cemas yang tadi sempat mereda, kini kembali menggulungnya. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa dipahami manusia yang tengah bersembunyi di balik dinding-dinding rumah ini.
Ia menggenggam buku yang tadi ia temukan di meja dengan tangan yang sedikit gemetar. Namun, meskipun ketakutan menyelimutinya, ada sebuah dorongan kuat dalam dirinya untuk terus melangkah, untuk mencari tahu lebih banyak tentang rahasia yang selama ini tersembunyi. Setiap langkah yang ia ambil semakin membawanya lebih jauh dari kenyamanan dan rasa aman yang pernah ia rasakan. Tetapi ada satu hal yang pasti, semakin dalam ia menyelidiki rumah ini, semakin ia merasa bahwa dirinya tidak sendirian. Sesuatu—entitas yang disebutkan dalam buku itu—terus mengikuti jejaknya, mungkin lebih dekat daripada yang ia sadari.
Dengan hati-hati, Andra melangkah maju, berusaha mengabaikan rasa takut yang semakin menguasai dirinya. Lorong yang sempit ini semakin terasa panjang, dan setiap derapan langkahnya seolah mengisi ruang dengan suara yang terlalu keras, mengganggu kesunyian yang mencekam. Ia tak tahu seberapa lama ia berjalan, tetapi rasanya waktu seolah berlalu dengan cara yang sangat aneh di sini—entah cepat atau lambat, itu seperti tidak penting. Andra hanya ingin sampai ke ujung lorong itu, ke tempat yang sepertinya penuh dengan jawaban yang ia cari.
Tak lama kemudian, Andra tiba di sebuah pintu yang lain. Pintu itu tampak lebih kecil dari pintu utama yang ada di rumah, namun lebih besar dibandingkan pintu kecil yang mengarah ke ruangan yang tadi ia masuki. Pintu itu terbuat dari kayu tua yang sudah berkarat, dan gagangnya yang terbuat dari besi tampak sangat berkarat, hampir tak terlihat. Andra tahu, inilah pintu yang selama ini dia hindari. Pintu yang selalu tertutup rapat, yang tak pernah ada yang berani membukanya.
Namun, pada malam ini, semuanya berbeda. Andra merasakan dorongan yang kuat untuk melangkah lebih jauh, untuk membukanya. Rasa penasaran, yang telah bertumbuh selama bertahun-tahun, kini menjadi kekuatan yang lebih besar daripada rasa takut yang mencekamnya. Andra tahu, ia tidak bisa mundur lagi. Apa pun yang ada di balik pintu itu harus ia temui.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Andra meraih gagang pintu dan memutarnya perlahan. Pintu itu membuka dengan suara berderit pelan, seolah mengingatkan dirinya bahwa ia sedang membuka sesuatu yang sangat lama terkunci. Ketika pintu terbuka, ia melihat sebuah ruangan kecil yang gelap, dengan sedikit cahaya dari luar yang masuk melalui celah-celah di dinding. Tak ada suara selain napas Andra yang terengah-engah. Perlahan, Andra melangkah masuk.
Ruangan itu berbeda dengan yang ia temui sebelumnya. Di dalamnya tidak ada meja atau perabotan apapun, hanya deretan rak-rak kayu tua yang dipenuhi dengan benda-benda asing. Ada banyak botol-botol kaca berisi cairan yang tampak seperti ramuan-ramuan tua, berdebu dan terlupakan. Beberapa di antaranya tergeletak begitu saja di lantai, pecah dan tumpah, meninggalkan bekas-bekas yang sulit dihapus. Bau lembap dan apek memenuhi udara, mengingatkan Andra pada aroma rumah yang sudah lama tak terjamah.
Namun, yang membuat Andra terkejut bukanlah bau itu atau kekacauan yang ada di ruangan tersebut. Sebaliknya, matanya tertumbuk pada sebuah benda yang tampaknya sangat berbeda dari yang lain—sebuah kotak kayu kecil yang terletak di atas salah satu rak di sudut ruangan. Kotak itu terlihat sangat sederhana, namun sesuatu dalam diri Andra berkata bahwa ini adalah sesuatu yang penting. Sesuatu yang telah menunggu selama bertahun-tahun untuk ditemukan.
Andra mendekati kotak itu dengan hati-hati. Tangan kanannya meraih kotak kayu itu, dan begitu ia menggenggamnya, ia merasakan getaran halus yang aneh. Getaran itu bukan berasal dari kotak itu sendiri, tetapi lebih dari dalam dirinya—seperti semacam resonansi yang terhubung dengan sesuatu yang lebih besar. Dalam hati, Andra tahu bahwa kotak ini bukanlah benda biasa. Ia bisa merasakannya.
Dengan perlahan, Andra membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah gulungan kertas yang tampak sangat tua, dengan sisi-sisi yang mulai menguning. Gulungan itu terikat dengan tali usang yang nyaris terputus, dan ketika Andra membuka tali itu, ia merasakan ketegangan yang semakin menebal di dalam dadanya. Sesuatu tentang gulungan kertas itu terasa sangat penting, seakan itu adalah kunci dari segala yang terjadi di rumah ini. Di dalam gulungan itu terdapat tulisan tangan yang sangat rapi, tetapi berbeda dengan tulisan yang ia temui di buku sebelumnya. Tulisan itu tidak tampak seperti catatan biasa. Setiap kata yang tercetak tampak mengandung makna yang lebih dalam, dan Andra merasa bahwa setiap kalimat mengandung peringatan.
Gulungan itu menceritakan tentang eksperimen yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dikenal. Tidak jelas siapa orang itu, tetapi tulisan tersebut menyebutkan sebuah entitas yang terperangkap dalam rumah ini, entitas yang bisa beralih ke dunia manusia jika seseorang membuka gerbang tertentu—gerbang yang tersembunyi di lorong terlarang ini. Entitas itu, menurut tulisan tersebut, adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami dengan logika manusia. Sebuah kekuatan yang sangat kuno, lebih tua dari waktu itu sendiri. Dan untuk membebaskannya, hanya satu cara: seseorang harus mengorbankan dirinya sendiri.
Ketika Andra membaca kalimat terakhir dari gulungan itu, jantungnya berdegup kencang. Kalimat itu begitu jelas dan mengerikan: “Entitas ini akan bangkit kembali ketika tubuh manusia yang murni dipilih sebagai pengganti. Dan saat itu, lorong akan mengundang lebih banyak jiwa untuk terperangkap selamanya.”
Andra terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Ia menggenggam gulungan itu dengan erat, seakan takut jika ia melepaskannya, semua yang telah terungkap ini akan menghilang begitu saja. Ia merasakan bahwa apa yang ia temui di ruangan ini bukanlah kebetulan. Segalanya berjalan sesuai dengan takdir yang sudah lama terjalin. Ia menyadari bahwa rumah ini, dengan segala misterinya, tidak sekadar rumah tua yang terabaikan. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang bersembunyi di baliknya.
Andra menoleh ke belakang, matanya menyusuri lorong yang panjang dan gelap. Ia tahu, entitas yang disebutkan dalam gulungan ini sedang mengawasinya. Mungkin sudah sejak lama, entitas itu menunggu seseorang seperti dirinya untuk datang, seseorang yang akan membuka pintu gerbang yang tersembunyi dan membebaskan kekuatan gelap itu. Sesuatu yang telah terperangkap begitu lama di tempat ini, menunggu waktunya untuk bangkit.
Dengan hati yang berat dan tekad yang semakin kuat, Andra memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus melanjutkan pencariannya. Rumah ini tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ada lebih banyak lagi yang harus ia temui, dan Andra tahu, ia tidak akan pernah bisa mundur.***
Bab 4: Pintu yang Tak Terlihat
Andra merasakan ketegangan di dalam dadanya semakin menguat saat ia menurunkan gulungan kertas itu ke atas meja kayu tua. Kalimat-kalimat yang tertulis di dalamnya semakin membayangi pikirannya, membingungkan dan mengguncang keyakinannya. Rumah ini bukan hanya sekedar peninggalan keluarga, bukan sekadar rumah tua yang penuh kenangan. Ini adalah tempat terperangkapnya sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap dari apa yang pernah ia bayangkan.
Sesaat, Andra merasa terperangkap di antara dua dunia. Satu dunia penuh dengan kenyataan dan akal sehat, dan satu dunia lain yang dibentuk oleh kegelapan dan ketidakpastian. Rumah ini tidak hanya menyimpan jejak-jejak masa lalu, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih mengerikan—sesuatu yang sepertinya sudah menunggu berabad-abad untuk dibebaskan. Andra merasa seolah-olah ia terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, dan meskipun ketakutan melanda dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan jalan keluar dari misteri ini, atau setidaknya mengungkapnya sebelum terlambat.
Setelah menghela napas dalam-dalam, Andra berbalik dan menatap lorong yang terus membentang di depannya, memanggilnya untuk melangkah lebih jauh. Hanya ada satu jalan yang harus ia tempuh—jalan yang membawanya semakin dalam ke dalam rumah ini, ke tempat di mana kegelapan dan rahasia tersembunyi.
Namun, kali ini Andra merasa berbeda. Ada perasaan yang lebih kuat, sebuah suara dalam dirinya yang menyuruhnya untuk berhati-hati. Sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang sedang menunggunya, sesuatu yang lebih menakutkan daripada yang pernah ia bayangkan. Seperti ada mata yang terus mengikutinya, siap untuk menelan dirinya dalam kegelapan yang tak terbayangkan.
Saat ia melangkah lebih jauh ke dalam lorong, suara derap langkah kakinya yang terdengar keras di kesunyian itu mulai menghilang, digantikan oleh suara lain. Suara yang lebih pelan, tetapi lebih menakutkan. Suara itu seperti bisikan halus, berputar-putar di dalam kepalanya, membuat Andra merasakan seolah ada sesuatu yang tak terlihat di sekelilingnya.
“Jangan… jangan masuk lebih dalam…” bisikan itu terdengar begitu jelas dalam pikirannya. “Pintu itu tidak untukmu. Pintu itu bukan untuk manusia.”
Andra berhenti sejenak, berusaha mencari asal suara itu. Namun, tidak ada siapa-siapa. Lorong itu tetap gelap dan sunyi. Hanya suara napasnya yang terdengar begitu keras. Ia mengusap pelipisnya, mencoba mengusir rasa cemas yang semakin mencekam.
“Siapa yang berbicara?” gumamnya pelan, tetapi tidak ada jawaban.
Andra menggelengkan kepala, mencoba mengalihkan pikirannya. Ia tidak bisa terjebak dalam keraguan atau ketakutan sekarang. Apa yang sedang ia hadapi jauh lebih besar dari itu. Dengan tekad yang semakin bulat, Andra melangkah lebih jauh.
Ia melewati beberapa pintu dan ruang kosong, yang semuanya sepi dan terabaikan. Sepertinya waktu telah berhenti di tempat ini. Semua barang, perabotan, dan dekorasi rumah ini tampak seperti tak tersentuh selama bertahun-tahun. Rumah ini sudah lama ditinggalkan, namun Andra merasa bahwa segala sesuatu di sini masih hidup, memantulkan keberadaan yang tersembunyi. Setiap sudut rumah ini penuh dengan kenangan, dengan sesuatu yang ingin disembunyikan dari dunia luar.
Namun, akhirnya, Andra sampai pada pintu yang lebih besar lagi, sebuah pintu yang berbeda dari pintu-pintu yang pernah ia lewati sebelumnya. Pintu itu terbuat dari kayu yang sangat gelap, dengan ukiran-ukiran rumit yang hampir tak terbaca, tertutup oleh lapisan debu yang tebal. Ada sesuatu yang sangat mencolok tentang pintu ini—sebuah aura misterius yang terasa begitu kuat, begitu memanggil. Ini adalah pintu yang tidak pernah terlihat sebelumnya, bahkan dalam ingatannya yang paling dalam sekalipun.
Andra mendekat, merasa aneh, namun tak bisa menahan dorongan untuk membukanya. Pintu ini tidak hanya tampak berbeda, tetapi juga seakan menyimpan sebuah pesan, sesuatu yang menuntunnya ke arah yang lebih jauh lagi. Seperti ada suatu kekuatan yang mengarahkannya ke sini, ke tempat yang paling dalam dari rumah ini.
Ketika ia meraih gagang pintu, ia merasakan getaran yang begitu kuat, bukan hanya dari gagang pintu itu, tetapi dari seluruh tubuhnya. Ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang terasa berbeda. Andra menarik napas, kemudian mendorong pintu itu perlahan.
Pintu itu terbuka dengan suara berderit, jauh lebih keras dari pintu-pintu sebelumnya. Namun, yang mengejutkan Andra adalah apa yang ia lihat di dalam ruangan itu. Di balik pintu, ruangannya gelap gulita, jauh lebih gelap dari lorong yang telah ia lewati. Tidak ada jendela, hanya dinding batu yang dingin dan kasar. Di tengah ruangan itu, ada sebuah benda besar yang tampak seperti altar. Dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah padam, altar itu tampak sangat tua dan penuh dengan ukiran yang samar, namun terlihat jelas bahwa itu bukanlah sekadar altar biasa. Ada sesuatu yang sangat misterius di dalamnya, sesuatu yang membuat Andra merasa bahwa ia telah memasuki dunia yang berbeda, dunia yang tak seharusnya ia masuki.
Andra melangkah masuk dengan hati-hati, matanya menyusuri setiap sudut ruangan. Suasana di dalam ruangan itu begitu sunyi, hanya ada suara napasnya yang terdengar keras di telinganya. Namun, semakin lama ia berada di dalam sana, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang sedang mengamati setiap gerakannya. Sesuatu yang jauh lebih kuat daripada dirinya, sesuatu yang sudah lama terperangkap di sini, menunggu seseorang untuk membuka jalan.
Tiba-tiba, Andra merasa sebuah dorongan yang sangat kuat, seolah-olah ia harus mendekati altar itu. Tanpa sadar, langkah kakinya mulai bergerak menuju altar, seperti dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat dijelaskan. Begitu ia berdiri di depan altar, ia merasa seolah ada sesuatu yang terhubung dengannya. Cahaya yang sangat samar mulai muncul dari dalam altar, berkelip-kelip seperti cahaya lilin yang lemah.
Andra merasa bingung. Ia ingin mundur, tetapi langkah kakinya terasa begitu berat. Ia tidak bisa berbalik, tidak bisa melepaskan diri dari apa yang kini terungkap di depannya. Cahaya itu semakin terang, dan seketika, ruangan itu dipenuhi dengan sebuah gambar kabur yang berputar-putar, seolah mengelilingi dirinya. Andra ingin menutup matanya, tetapi tubuhnya seperti terperangkap dalam pandangan itu.
Suara bisikan itu kembali terdengar. Kali ini, suara itu datang bukan hanya dari dalam pikirannya, tetapi juga dari dalam ruangan itu sendiri. Suara itu terdengar begitu dekat, begitu jelas. “Kamu tidak bisa melarikan diri dari takdirmu. Ini adalah akhir, atau permulaan yang baru.”
Andra merasa ada kekuatan yang mengalir dari altar itu, dan seketika, ia merasa tubuhnya semakin terikat. Suasana di ruangan itu semakin gelap, dan tubuhnya terasa semakin berat, seperti tertarik ke dalam tanah. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun satu hal yang jelas—sesuatu telah bangkit di dalam dirinya, dan rumah ini tidak akan membiarkannya pergi.
Seketika, cahaya yang semula samar berubah menjadi terang benderang, menyilaukan mata Andra. Ketika ia membuka matanya, ia merasa seolah berada di tempat yang sangat berbeda. Ruangan itu telah berubah, dan Andra tahu, ia baru saja memasuki sebuah dunia yang jauh lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan. Pintu yang tertutup di belakangnya sekarang telah menghilang, dan yang tersisa hanya kegelapan yang menelan dirinya.
Andra tahu, ia tidak bisa kembali. Apa pun yang akan terjadi selanjutnya, ia telah terperangkap dalam takdir yang lebih besar dari dirinya.****
Bab 5: Dunia yang Terlupakan
Andra merasa seolah-olah dirinya terjatuh ke dalam kegelapan yang dalam. Ia tidak tahu berapa lama ia berada di dalam kegelapan itu, hanya ada sensasi berat di tubuhnya, seperti ada sesuatu yang mengikatnya, menahannya di tempat yang asing dan tak terjangkau oleh akal sehat. Ketika akhirnya ia membuka mata, pandangannya kabur, dan seluruh tubuhnya terasa lelah, seolah-olah telah melewati perjalanan yang sangat panjang.
Namun, apa yang terlihat di depannya bukanlah ruangan yang sama. Bukan lagi altar misterius dengan lilin-lilin padam, bukan lagi dinding batu yang dingin. Andra berdiri di tengah-tengah sebuah hutan yang gelap, dengan pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, cabang-cabangnya bercabang seperti tangan-tangan gelap yang ingin menangkap siapa saja yang berani mendekat. Tanah di bawah kakinya lembap, dipenuhi dengan rerumputan yang tampak basah oleh embun yang tak terlihat.
Hatinya berdegup kencang. Tidak ada suara apa pun selain desiran angin yang datang entah dari mana, membawa aroma tanah basah yang berat. Suasana ini aneh, menekan, dan menakutkan. Andra mencoba untuk bergerak, namun kakinya terasa kaku. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seakan tenggelam dalam kehampaan. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, bagaimana ia bisa sampai di sini, atau apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu.
Andra menggerakkan tangan ke depan, meraba udara sekitarnya, berharap bisa merasakan kenyataan yang lebih familiar. Namun, yang ia temukan hanyalah ruang kosong yang terus membentang, penuh dengan bayang-bayang yang bergerak tanpa tujuan. Wajahnya pucat, mulutnya terasa kering, dan kepalanya penuh dengan kebingungan.
“Tidak mungkin…” gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Ini tidak nyata. Semua ini hanya ilusi.”
Namun, meskipun ia mencoba untuk membantah kenyataan yang tampaknya tak terbantahkan, bagian dalam dirinya mengatakan hal yang berbeda. Rumah itu, pintu itu, altar itu—semua itu mengarahkannya ke sini. Ke tempat yang tidak seharusnya ada. Tempat yang tidak dikenal, yang terasa begitu jauh dari dunia yang ia kenal.
Dengan langkah hati-hati, Andra mulai berjalan, mencoba mencari tahu di mana ia berada. Hutan ini tampak seperti sesuatu yang dilupakan waktu, seolah-olah ia berada di luar jangkauan dunia yang ia pahami. Pepohonan besar menghalangi cahaya bulan yang seharusnya menerangi jalannya, menciptakan bayangan yang tampak hidup di sekitar kaki-kakinya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada kekuatan yang mencoba menahannya.
Semakin lama ia berjalan, semakin terasa ada yang aneh. Andra merasakan pandangannya mulai kabur lagi, dan suara-suara aneh mulai terdengar di telinganya. Bisikan halus kembali menghantuinya, kali ini lebih dekat dan lebih mendalam. Suara itu seolah datang dari dalam dirinya, menggerogoti pikirannya dengan kata-kata yang semakin jelas.
“Jangan lari dari takdirmu…”
Suara itu begitu dalam, seperti gema dari masa lalu yang tak terhindarkan. Andra berusaha menepisnya, namun suara itu terus menggema dalam pikirannya, seakan berputar-putar, merasuk ke dalam seluruh keberadaannya. Ia merasakan tubuhnya kembali terikat oleh sesuatu yang tak terlihat, seakan ada tangan-tangan tak kasatmata yang mengikatnya, menariknya lebih jauh ke dalam hutan itu.
Tiba-tiba, Andra berhenti. Sesuatu di depan matanya menarik perhatian—sebuah cahaya samar yang muncul di kejauhan, berkelip-kelip seperti bintang-bintang yang tersembunyi. Cahaya itu terasa berbeda, tidak seperti cahaya alami, melainkan cahaya yang berasal dari dunia lain, dunia yang tak seharusnya ada.
Dengan hati-hati, Andra mendekati cahaya itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, namun dorongan untuk mengetahui apa yang ada di depan mata semakin kuat. Semakin dekat ia dengan cahaya itu, semakin terasa ada sesuatu yang mengamati dirinya, sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya, sesuatu yang sudah menunggu kehadirannya.
Ketika akhirnya ia tiba di depan cahaya itu, Andra menyadari bahwa ia telah sampai di sebuah tempat yang lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Di hadapannya, sebuah batu besar berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran aneh yang tampaknya berasal dari zaman yang sudah terlupakan. Batu itu berkilau, dikelilingi oleh cahaya yang tidak wajar, dan di sekelilingnya ada simbol-simbol yang tampaknya berhubungan dengan sesuatu yang sangat kuno.
Cahaya itu semakin terang, dan Andra merasa tubuhnya kembali terikat, seolah ada kekuatan yang mengarahkannya untuk berdiri di depan batu itu. Dalam sekejap, pandangannya kabur, dan ia merasa tubuhnya seperti terangkat dari tanah, seolah melayang. Suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih nyata, lebih menakutkan.
“Ini adalah takdirmu, Andra. Ini adalah jalan yang sudah digariskan untukmu. Kamu adalah kunci yang akan membuka semua rahasia ini.”
Andra ingin berteriak, ingin berbalik dan lari dari tempat ini, tetapi tubuhnya seakan tak dapat bergerak. Keinginan untuk melarikan diri bercampur dengan rasa takut yang begitu dalam, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih kuat yang memegangnya di tempat ini. Ia terperangkap dalam kekuatan yang tidak dapat ia pahami.
“Tidak!” teriaknya dalam hati, berusaha melepaskan diri dari jeratan kekuatan yang semakin kuat. Tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Cahaya itu semakin terang, dan tubuhnya semakin terikat dalam cengkeraman tak terlihat.
Tiba-tiba, batu besar itu mulai bergetar, dan suara gemuruh terdengar dari dalam tanah. Andra merasa seluruh dunia di sekitarnya berputar, seperti tanah yang bergoyang di bawah kakinya. Cahaya itu menyilaukan matanya, dan dalam sekejap, ia merasakan sebuah dorongan kuat yang membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.
Namun, ketika matanya terbuka kembali, ia menemukan dirinya berada di tempat yang jauh lebih gelap dan lebih menakutkan. Batu yang tadi berkilau itu kini telah menghilang, dan hanya ada kegelapan yang tak terjangkau di sekelilingnya.
Andra tahu, ia telah memasuki dunia yang lebih dalam. Dunia yang penuh dengan rahasia yang tak dapat diungkapkan. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa keluar dari tempat ini atau tidak, tetapi satu hal yang pasti—ia sudah terperangkap dalam takdir yang lebih besar dari dirinya.
Dengan perasaan cemas yang mendalam, Andra melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan, tidak tahu apa yang menantinya di balik bayang-bayang yang semakin dalam.***
—————-THE END————–