Bab 1: Awal yang Patah
Alina duduk di meja kerjanya yang terletak di sudut ruangan kantor. Layar komputer di depannya menunjukkan tumpukan email yang menunggu untuk dibaca, tetapi matanya kosong, tidak mampu fokus. Tangan kanannya bergerak dengan otomatis, menekan tombol keyboard tanpa memikirkan apa yang sedang ia kerjakan. Pikirannya terus melayang ke tempat yang jauh.
Di luar jendela, hujan rintik-rintik jatuh dengan lembut, membuat langit kelabu semakin suram. Begitu seringnya hujan turun akhir-akhir ini, seolah alam pun mengerti bagaimana perasaan Alina—lelah, kehilangan, dan penuh dengan kenangan yang tak bisa ia lupakan.
Tahun lalu, saat hujan yang serupa dengan ini, ia berada di tempat yang berbeda, di dunia yang berbeda. Di saat itu, ia masih percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Saat itu, ia dan Daniel—pria yang sudah 5 tahun mendampinginya—berencana untuk merayakan ulang tahun mereka dengan makan malam romantis, membicarakan masa depan yang penuh dengan impian dan harapan. Namun, rencana itu berakhir dengan sebuah kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Daniel meninggalkannya, tanpa alasan yang jelas, tanpa kata maaf yang pantas. Begitu saja, ia pergi.
Setelah itu, hidup Alina berubah. Kenangan indah bersama Daniel yang dulu ia anggap sebagai masa depan, sekarang hanya menjadi bayang-bayang yang terus menghantuinya. Setiap sudut rumah, setiap jalan yang ia lewati, bahkan setiap hujan yang turun, semuanya mengingatkannya pada Daniel. Semua perasaan itu kembali lagi, tak peduli berapa lama waktu sudah berlalu.
Alina menghela napas panjang, menekan kedua pelipisnya dengan jemari yang mulai kaku. Cukup, pikirnya. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam kenangan itu, sudah terlalu lama membiarkan hatinya terikat pada seseorang yang tidak pernah bisa melihat masa depan bersamanya. Ia harus bisa bergerak maju. Tapi, meskipun itu ia katakan berulang kali pada dirinya, hatinya masih terasa rapuh.
Telepon di meja kerjanya berbunyi, menariknya kembali ke dunia nyata. Alina mengangkat gagang telepon dengan cepat, berusaha menutupi kekosongan yang ia rasakan. “Alina, ada laporan yang perlu kamu cek sebelum rapat sore nanti,” suara atasan Alina, Pak Budi, terdengar melalui telepon, tegas dan lugas seperti biasa.
“Baik, Pak,” jawab Alina singkat, mencoba untuk tetap fokus meskipun pikirannya terus melayang.
Setelah menutup telepon, ia kembali menatap layar komputer. Laporan yang harus diselesaikan itu terlihat begitu sederhana, tetapi bagi Alina, semua itu terasa seperti beban yang berat. Ia mengerjakan setiap hal dengan terburu-buru, hampir tanpa perasaan. Waktu berjalan, namun ada kekosongan yang tak bisa diisi dengan pekerjaan atau kesibukan.
Pada jam makan siang, Alina memutuskan untuk keluar sejenak dari kantor dan berjalan ke sekitar gedung untuk mencari udara segar. Langkahnya ringan, namun pikirannya begitu berat. Setiap orang yang ia temui di jalanan tampak begitu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, seolah dunia ini terus bergerak maju tanpa menunggu siapapun. Alina merasa seperti orang asing di tengah keramaian ini.
Tiba-tiba, di tengah kerumunan itu, pandangannya tertumbuk pada sebuah kafe kecil yang tak jauh dari kantornya. Kafe itu sudah lama ia perhatikan, tetapi baru kali ini ia merasa tertarik untuk masuk. Dengan langkah pelan, ia mendekati pintu kaca kafe yang tertutup, kemudian membuka pintunya. Suara lonceng kecil yang menandakan kedatangannya menyambut, membuatnya merasa sejenak berada di tempat yang berbeda, jauh dari rutinitas dan kesibukan dunia luar.
Di dalam kafe, suasananya tenang, dengan pencahayaan yang lembut dan musik instrumental yang mengalun pelan. Alina memilih sebuah meja di dekat jendela, duduk dengan gelisah sambil memandangi langit yang semakin mendung. Ia memesan secangkir kopi hitam, berharap bisa menenangkan pikirannya sejenak.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa pesanannya. Alina mengangguk sebagai tanda terima kasih, kemudian meminum kopi itu perlahan. Setiap tegukan terasa pahit, seolah kopi itu mewakili rasa yang ada dalam hatinya—pahit dan tak bisa dihilangkan begitu saja.
Di saat ia merenung, seseorang duduk di meja sebelahnya. Alina tidak terlalu memperhatikannya, namun suara lelaki itu yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang membuatnya menoleh. Pria itu, dengan jaket denim yang sudah mulai pudar dan rambut yang sedikit berantakan, tampak tidak peduli dengan keramaian di sekitarnya. Dia lebih tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Alina kembali menatap cangkir kopinya, mencoba untuk mengabaikan keberadaan pria itu. Namun, suara lelaki itu yang tiba-tiba berbicara membuatnya terkejut.
“Apakah hujan selalu membuatmu merasa seperti ini?” pria itu bertanya dengan nada yang lembut.
Alina menoleh, agak terkejut. “Apa maksudmu?” tanyanya, tidak yakin apa yang sedang terjadi.
“Hujan. Kadang hujan membuat orang merasa lebih kesepian. Apakah kamu merasakannya?” pria itu melanjutkan, dengan tatapan yang tidak langsung mengarah padanya, namun lebih ke luar jendela, ke arah hujan yang turun dengan deras.
Alina terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Tidak biasanya ia berbicara dengan orang asing seperti ini. Tapi ada sesuatu dalam sikap pria itu yang membuatnya merasa nyaman, meskipun kalimat pertama yang ia ucapkan terasa begitu jujur dan langsung.
“Ya,” jawab Alina akhirnya, merasa sedikit lega bisa berbicara. “Hujan selalu membuatku merasa… kosong.”
Pria itu tersenyum tipis. “Mungkin karena hujan juga selalu membawa kenangan. Mungkin itu sebabnya.”
Alina menatapnya, merasa aneh. “Kenangan?” tanya Alina, merasa kalimat itu seperti sebuah pertanyaan terbuka yang memintanya untuk mengungkapkan lebih dalam.
“Ya,” pria itu mengangguk perlahan. “Hujan sering mengingatkan kita pada hal-hal yang sudah kita lupakan atau yang sudah pergi.”
Alina terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti cermin bagi dirinya, yang juga sering terperangkap dalam kenangan. Ia menginginkan untuk melanjutkan pembicaraan itu, tetapi entah mengapa, ia merasa terlalu lelah untuk membuka diri lebih jauh.
“Terima kasih,” kata Alina setelah beberapa detik hening. “Sepertinya aku harus kembali bekerja.”
Pria itu hanya tersenyum dan mengangguk. “Hati-hati.”
Saat Alina beranjak pergi, ia merasa sedikit lebih ringan. Meskipun pertemuan itu hanya singkat, ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menyentuhnya. Mungkin karena hujan, atau mungkin karena memang waktunya bagi Alina untuk perlahan melepaskan masa lalu dan membuka diri pada kemungkinan baru, yang entah datang dari mana.
Dengan langkah yang lebih mantap, Alina meninggalkan kafe itu dan kembali ke dunia yang penuh dengan rutinitas. Tetapi kini, ada sepotong harapan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya—meskipun hanya sepotong kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih utuh.*
Bab 2: Keheningan yang Membingungkan
Alina mengatur napasnya pelan-pelan, duduk di kursi dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Di sekitarnya, suasana kantor tetap sama seperti biasanya—gedung tinggi dengan pencahayaan terang yang menyilaukan, rekan kerja yang sibuk berlalu-lalang, dan suara ketikan keyboard yang tak pernah berhenti. Namun, di dalam dirinya, semuanya terasa sunyi.
Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, teringat pada pertemuan-pertemuan yang dulu sangat berharga. Di dunia nyata, ia hanya bisa berpura-pura normal, tapi di dalam hatinya, semuanya terasa kosong. Beberapa bulan setelah perpisahannya dengan Daniel, tak ada yang benar-benar berubah. Kehidupan Alina tetap berputar seperti biasa, namun ada bagian dari dirinya yang hilang dan ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikannya.
Di meja kerjanya, laporan-laporan menumpuk dengan rapi, menunggu untuk diteliti. Namun, kali ini, ia merasa tak ada semangat untuk menyelesaikannya. Tidak ada lagi rasa bangga atau antusiasme saat mengerjakan pekerjaan yang dulu ia nikmati. Semua terasa hampa, seolah rutinitasnya hanya menjadi pelarian dari pikirannya yang tak pernah berhenti mengingat apa yang telah hilang.
“Alina?” Suara itu mengejutkannya. Suara lembut dari Siska, sahabatnya di kantor, yang duduk di meja sebelah. Siska tersenyum simpul, mencoba mencairkan suasana.
“Ya, Siska?” jawab Alina dengan suara datar, seolah kata-kata itu hanya keluar begitu saja, tanpa ada emosi yang menyertainya.
“Ada rapat singkat setelah jam makan siang, kan? Pastikan kamu datang ya.” Siska menatapnya dengan penuh perhatian, seolah mencoba melihat lebih jauh dari sekadar penampilannya yang tampak tenang.
“Baik, saya ingat.” Alina tersenyum tipis, tetapi senyuman itu terasa canggung, tidak tulus. Siska hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan pekerjaannya, sementara Alina kembali tenggelam dalam pikirannya.
Ia tahu bahwa ia harus mengikuti rapat itu, karena itu adalah bagian dari rutinitas yang tak bisa dihindari. Tapi di dalam hati, ia merasa seolah semua ini hanya pemborosan waktu. Tidak ada yang menarik lagi dalam hidupnya, atau setidaknya itu yang ia rasakan saat ini.
Hujan yang turun dengan deras di luar jendela hanya menambah perasaan sepi yang menggerogoti dirinya. Setiap tetes hujan yang jatuh tampak seperti suara dalam kesunyian hatinya yang kosong, tak ada yang bisa mengisi kekosongan itu. Bahkan suara rintik hujan yang biasanya menenangkan sekarang terasa bising, seolah memaksa dirinya untuk merasakan setiap detiknya.
Alina memejamkan mata, mencoba menghindari kenyataan yang tak bisa ia elakkan. Dalam keheningan itu, pikirannya kembali pada saat perpisahan itu terjadi—di restoran yang sederhana, saat Daniel dengan tenang mengatakan bahwa ia tak lagi bisa melanjutkan hubungan mereka. Tidak ada tangisan, tidak ada kemarahan. Hanya kata-kata yang datar, yang menusuk jauh ke dalam hatinya. “Aku tidak mencintaimu lagi, Alina. Aku merasa kita sudah terlalu berbeda.”
Kalimat itu terus berputar-putar dalam benaknya, berulang kali, seperti mantra yang tak bisa ia hilangkan. Apa yang salah? Kenapa Daniel begitu mudah melepaskannya? Pertanyaan itu tidak pernah menemukan jawabannya, dan Alina semakin tenggelam dalam kebingungan.
Ia mengangkat tangannya, mengusap wajahnya perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang mulai menguasai. Namun, semakin ia mencoba melarikan diri dari kenangan itu, semakin perasaan itu semakin menyesakkan dadanya.
“Alina.” Suara Siska kembali terdengar, lebih dekat kali ini. Alina terkejut dan menoleh ke arah sahabatnya, yang kini berdiri di samping meja kerjanya dengan ekspresi prihatin.
“Ada apa?” tanya Alina, mencoba untuk tetap terlihat normal.
Siska menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan lagi. “Kamu nggak terlihat baik, Lin. Apa kamu sudah makan siang?” Siska tahu persis bahwa Alina sedang tidak dalam kondisi terbaik. Sahabatnya itu terlalu sering datang ke kantornya dengan mata yang sembab, wajah yang pucat, dan senyum yang tidak tulus.
“Ah, iya… Aku makan siang,” jawab Alina, sedikit terburu-buru, berusaha untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut. Tapi Siska tetap menatapnya, tampaknya tidak puas dengan jawaban itu.
“Kamu nggak perlu pura-pura, Lin. Kalau ada masalah, ceritakan aja ke aku.” Siska duduk di kursi Alina dan menatapnya dengan serius. “Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku tahu kamu nggak bisa terus seperti ini. Kamu selalu terlihat seperti orang yang hilang.”
Alina terdiam. Kata-kata Siska benar, tapi hati Alina masih terikat pada masa lalu. Setiap kali ia mencoba membuka diri, ada tembok tebal yang terbentuk di sekelilingnya, menahan segala perasaan yang tak ingin ia tunjukkan pada siapa pun.
“Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Siska,” kata Alina akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Setiap kali aku mencoba untuk maju, seakan-akan ada bagian dari diriku yang tertinggal. Dan aku nggak tahu bagaimana cara mengisinya lagi.”
Siska menggenggam tangan Alina, memberikan kenyamanan yang jarang ia rasakan. “Kamu nggak perlu mengisinya dengan apapun, Lin. Mungkin kamu cuma perlu memberi dirimu waktu untuk merasakan semuanya. Jangan terburu-buru untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Itu butuh waktu.”
Alina menatap tangan Siska yang menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang asing. Semua perasaan itu terasa begitu berat, dan ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapinya. Namun, di dalam hatinya, ada secercah rasa lega. Mungkin Siska benar—mungkin ia harus memberi waktu untuk dirinya sendiri.
Rapat pun dimulai, dan Alina kembali menjalani rutinitasnya. Namun kali ini, ada sedikit perubahan dalam dirinya. Ada perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan yang membingungkan, tetapi juga sedikit memberi harapan. Keheningan yang selama ini mengelilinginya kini terasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mulai membuka diri lagi.
Namun untuk saat ini, Alina memilih untuk tetap diam. Ada begitu banyak hal yang harus ia hadapi—tidak hanya di luar sana, tetapi juga dalam dirinya sendiri. Keheningan itu memang membingungkan, tetapi mungkin keheningan itu juga bagian dari proses penyembuhan. Semua akan terasa lebih jelas seiring waktu, dan ia tahu bahwa langkah pertama adalah menerima diri sendiri, meski tidak mudah.*
Bab 3: Mencari Tempat Dalam Hidup
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Alina, seperti biasa. Rutinitas kantor yang padat, percakapan yang terjalin sekadar formalitas, dan pekerjaan yang datang tak henti-hentinya, semuanya mulai terasa lebih berat. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Beberapa minggu terakhir, dia merasa ada semacam tarikan aneh dalam dirinya, seperti ada dorongan untuk melangkah keluar dari zona nyaman yang selama ini dia buat. Perasaan itu datang sejak pertemuan tak terduga dengan Raka, pria yang kini mulai mengisi pikirannya lebih dari yang ia ingin akui.
Raka adalah pria yang baru pindah ke apartemen sebelah beberapa waktu yang lalu. Awalnya, Alina tidak begitu tertarik. Mereka hanya saling menyapa ketika bertemu di lorong atau lift, tetapi entah bagaimana, setiap kali Raka berbicara, ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin itu hanya perasaan sementara, atau mungkin itu hanya cara Raka berbicara yang tidak terburu-buru dan penuh perhatian. Di tengah-tengah kehidupan yang begitu keras dan penuh tekanan, Raka seolah menjadi angin segar bagi Alina.
Pagi itu, seperti biasanya, hujan turun dengan deras, membuat Jakarta tampak lebih kelabu dan suram dari biasanya. Alina duduk di balkon apartemennya, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Sesekali, ia merasakan tetesan air hujan mengenai kulit wajahnya, tetapi dia tidak peduli. Ia hanya ingin menikmati momen keheningan itu, meskipun hatinya masih terasa berat.
Sudah lebih dari enam bulan sejak perpisahan dengan Daniel, dan meskipun hari-harinya berlalu dengan biasa, ia merasa dirinya belum benar-benar pulih. Terkadang ia merasa seperti sedang berlarian, mengejar sesuatu yang tak bisa ia raih. Cinta, kebahagiaan, atau mungkin kedamaian. Apa pun itu, ia merasa seolah segala yang ia kejar hanya berujung pada kekecewaan.
Tapi hari itu, sesuatu terasa berbeda. Pagi itu, saat ia duduk di balkon, Raka muncul di depan pintu balkon sebelah dengan secangkir kopi di tangannya. Raka terlihat seperti sedang menikmati udara pagi yang sejuk, meskipun hujan membuatnya tampak sedikit kurang nyaman.
“Cuaca nggak pernah mendukung mood, ya?” kata Raka sambil tersenyum, memandang Alina dari balkon sebelah.
Alina menatapnya sejenak, merasa sedikit terkejut dengan keberanian Raka yang tampaknya sudah mulai merasa lebih nyaman dengannya. Namun, ia tersenyum dan mengangguk pelan.
“Iya, sepertinya begitu. Tapi mungkin ada hal baik di balik hujan, kan?” jawab Alina, mencoba untuk tidak terlalu terlihat canggung. Meski perasaan itu selalu ada, ada juga rasa nyaman yang tak bisa ia pungkiri saat berada di dekat Raka.
Raka tersenyum lebih lebar, kemudian menyeruput kopinya. “Hujan itu seperti kehidupan, bukan? Kadang datang begitu tiba-tiba dan membuat kita basah, tapi setelah itu semuanya akan kembali terang.”
Alina mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Raka. Tidak ada yang pernah mengungkapkan hal seperti itu padanya. Raka memang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap segala sesuatu, dan itulah yang membuat Alina merasa tertarik. Tetapi, seiring dengan semakin seringnya pertemuan mereka, rasa nyaman itu juga menimbulkan keraguan. Apakah ini hanya pelarian dari kesepian atau ada sesuatu yang lebih?
Hari itu, Alina memutuskan untuk berbicara lebih banyak dengan Raka, membiarkan dirinya membuka sedikit sisi yang selama ini ia sembunyikan. Raka pun, seperti biasa, menyambutnya dengan penuh perhatian. Mereka berbicara tentang segala hal—dari pekerjaan, film yang mereka tonton, hingga kisah hidup mereka masing-masing. Ada rasa koneksi yang tumbuh, meskipun Alina tidak ingin terburu-buru menyebutnya sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan santai.
Tapi percakapan itu membuka lebih banyak lapisan dalam diri Alina. Ketika Raka bercerita tentang dirinya, tentang kegagalannya di masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan arah, Alina merasa seperti ada cermin yang memantulkan kisahnya sendiri. Raka mengaku pernah berada di titik terendah dalam hidupnya, merasa seperti tidak memiliki tempat untuk kembali. Namun, ia menemukan kekuatan untuk bangkit setelah belajar menerima diri sendiri. Alina mendengarkan setiap kata dengan seksama, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian.
“Kadang kita merasa kehilangan, tapi itu justru memberi kita kesempatan untuk mencari tempat kita yang sebenarnya,” ujar Raka, yang membuat Alina terdiam.
Alina tidak menjawab langsung. Kata-kata itu begitu dalam, begitu akurat, seolah Raka bisa membaca isi hatinya. Ya, ia merasa hilang. Tidak hanya dalam arti fisik, tetapi juga emosional. Ia merasa terperangkap dalam kenangan masa lalu, dalam perasaan bahwa ada bagian dari dirinya yang tidak pernah bisa ia temukan lagi. Tetapi mendengar kata-kata Raka, Alina mulai merasakan sedikit kelegaan. Mungkin dia memang tidak sendiri. Mungkin ada cara untuk mencari tempat baru dalam hidup, tanpa harus terus terjebak dalam kesalahan masa lalu.
Setelah percakapan itu, Alina mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketika Raka mengundangnya untuk pergi ke sebuah pameran seni pada akhir pekan, Alina merasa ragu, tetapi juga tertarik. Selama berbulan-bulan, ia menutup diri dari kesempatan baru. Namun, ada sesuatu tentang Raka yang membuatnya berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, ini adalah langkah pertama untuk menemukan tempat baru dalam hidupnya.
Hari Sabtu itu, setelah bekerja setengah hari, Alina berdandan dengan sederhana—berpakaian kasual namun elegan, memilih untuk merasa nyaman, tanpa berlebihan. Ia pergi menemui Raka di kafe yang sudah mereka sepakati. Ketika mereka bertemu, Raka sudah menunggunya dengan senyuman hangat. Ia mengajak Alina menuju galeri seni yang terletak tidak jauh dari situ. Suasana di dalam galeri itu tenang, dipenuhi dengan lukisan-lukisan indah yang seakan menceritakan kisah-kisah kehidupan yang berbeda-beda.
“Lukisan ini seperti kehidupan, ya?” ujar Raka, sambil menatap sebuah lukisan abstrak yang menggambarkan perasaan seseorang yang terjebak dalam kegelapan namun mencoba untuk menemukan cahaya.
Alina mengangguk perlahan. “Iya, kadang kita perlu menemukan cara untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Seperti lukisan ini, mungkin terlihat kacau dari jauh, tapi begitu kita melihat lebih dekat, ada makna yang lebih dalam.”
Percakapan itu membawa mereka lebih dekat satu sama lain, dan Alina merasa ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan. Mungkin, selama ini, dia telah lama mencari tempat untuk dirinya sendiri, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menemukannya. Mungkin tempat itu bukanlah suatu lokasi fisik, tetapi keadaan batin yang perlu ia temukan kembali.
Setelah hari itu, pertemuan mereka menjadi lebih sering. Raka mulai membuka lebih banyak diri, dan Alina pun perlahan mulai merasakan bahwa dirinya bisa beranjak dari masa lalu yang selalu mengikutinya. Ia masih memiliki banyak ketakutan dan keraguan, tetapi sedikit demi sedikit, Raka membantunya melihat bahwa kehidupan tidak selalu harus sempurna untuk bisa dinikmati. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk mencari tempat yang lebih baik untuk diri kita sendiri.
Alina mulai memahami bahwa mencari tempat dalam hidup tidak selalu berarti menemukan jawaban yang pasti. Kadang, itu hanya tentang berani menerima diri, membuka hati untuk orang lain, dan membiarkan kehidupan mengalir dengan cara yang tak terduga. Dan mungkin, hanya mungkin, Raka adalah bagian dari perjalanan itu.*
Bab 4: Titik Balik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Alina merasa seperti berada di ujung jalan tanpa mengetahui ke mana harus melangkah. Pekerjaan di kantor berjalan seperti biasa, tidak ada yang terlalu menarik, namun juga tidak ada yang benar-benar buruk. Namun, sejak pertemuannya dengan Raka, ada perasaan yang mulai muncul dalam dirinya—sebuah perasaan yang selama ini ia coba hindari. Rasa yang perlahan tumbuh menjadi benih harapan, namun juga dibarengi dengan keraguan yang terus menghantuinya.
Pagi itu, Alina duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Begitu banyak hal yang harus diselesaikan, namun ia tidak bisa fokus. Di luar jendela, hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan kabut tebal yang membuat suasana semakin suram. Keheningan yang tercipta membuatnya merasa semakin terperangkap dalam pikiran-pikiran yang tidak bisa ia hindari. Alina tahu, hari ini adalah hari yang akan membawa perubahan. Ia bisa merasakannya, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi.
Sementara itu, Raka sudah menunggunya di luar gedung kantor, seperti yang sudah mereka janjikan. Mereka berdua telah sepakat untuk bertemu setelah jam kerja, untuk pergi ke sebuah tempat yang tidak jauh dari kantor, tempat yang Raka katakan akan memberi Alina kesempatan untuk “melihat dunia dari perspektif yang berbeda.” Pada awalnya, Alina ragu. Ia tidak tahu apakah ia siap untuk membuka diri lebih jauh, tetapi ada sesuatu dalam diri Raka yang membuatnya ingin mencoba. Keberadaan Raka, dengan ketulusan dan cara pandangnya yang tidak terburu-buru, memberikan rasa nyaman yang ia butuhkan.
Pukul lima sore, Alina akhirnya keluar dari gedung kantor dan melihat Raka sudah menunggu di depan mobilnya, mengenakan jaket hitam dan senyum yang selalu membuat Alina merasa tenang. Raka melambaikan tangan, dan Alina merespons dengan senyum kecil.
“Kamu siap?” tanya Raka, membuka pintu mobil untuknya.
“Siap,” jawab Alina singkat, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu, malam ini akan berbeda. Raka mengendarai mobilnya melalui jalanan kota yang mulai padat. Suasana di dalam mobil terasa lebih santai, dengan musik lembut yang mengalun. Mereka berbicara ringan tentang segala hal, tapi Alina merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang belum bisa ia terima sepenuhnya.
Setelah beberapa menit, Raka membawa mereka ke sebuah taman kota yang jarang dikunjungi orang. Pemandangannya indah, dengan pepohonan yang tumbuh lebat dan danau kecil yang tenang di tengahnya. Raka memarkir mobilnya dan mengajak Alina untuk berjalan-jalan di sekitar taman.
“Mari kita berjalan sedikit,” kata Raka sambil tersenyum, memberi isyarat agar Alina mengikuti langkahnya.
Alina mengangguk dan mengikuti Raka. Mereka berjalan tanpa tujuan tertentu, hanya menikmati udara segar dan keheningan malam yang tenang. Alina merasa nyaman berada di dekat Raka, namun di sisi lain, hatinya masih dipenuhi keraguan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk sepenuhnya melepaskan beban yang ia bawa.
“Mengapa kamu tidak pernah bercerita banyak tentang dirimu, Alina?” tanya Raka, memecah keheningan yang mulai terasa tegang.
Alina terdiam sejenak, merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia terlalu sibuk menyembunyikan perasaannya dan menjaga jarak, takut jika membuka diri akan membawa lebih banyak luka. Tetapi malam ini, Raka tampaknya benar-benar ingin tahu.
“Aku…,” Alina mulai, namun kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Ia merasa bingung. Apa yang harus ia katakan? Sejak perpisahannya dengan Daniel, ia selalu merasa seperti bagian dari dirinya yang hilang. Selalu ada rasa takut akan kehilangan lagi, takut untuk membuka hati, takut untuk memulai sesuatu yang baru.
“Aku… merasa takut,” jawab Alina akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Takut bahwa jika aku membuka diri lagi, aku akan terluka. Aku tidak tahu bagaimana cara melupakan masa lalu, dan itu membuatku merasa seperti aku tidak bisa melangkah maju.”
Raka berhenti sejenak, menatap Alina dengan serius. Kemudian, dengan lembut, ia berkata, “Kamu tidak perlu melupakan masa lalu untuk bisa maju, Alina. Masa lalu adalah bagian dari dirimu yang membentuk siapa kamu sekarang. Tapi jika kamu terus terjebak di dalamnya, kamu akan kehilangan kesempatan untuk merasakan kehidupan yang lebih baik ke depan. Mungkin, apa yang kamu butuhkan bukan untuk melupakan, tapi untuk menerima.”
Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar, langsung mengenai hatinya. Alina terdiam, mencoba mencerna apa yang Raka katakan. Menerima. Itu adalah kata yang selama ini ia hindari. Ia tidak ingin menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan Daniel telah berakhir. Ia tidak ingin menerima kenyataan bahwa ia harus melanjutkan hidup tanpa seseorang yang selama ini ia andalkan.
Tapi malam itu, di bawah langit yang gelap dengan cahaya bulan yang lembut, Alina merasa seolah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin Raka benar. Mungkin yang selama ini ia butuhkan bukanlah pelarian, tetapi keberanian untuk menerima segala hal yang telah terjadi. Menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan, meskipun kita merasa takut dan ragu.
Setelah beberapa lama, mereka duduk di bangku taman yang menghadap ke danau. Keheningan kembali menyelimuti mereka, namun kali ini Alina merasa lebih tenang. Ada perasaan ringan yang datang, seolah-olah ia baru saja melepaskan beban berat yang selama ini menahan langkahnya.
“Terima kasih, Raka,” kata Alina setelah beberapa saat. “Aku tidak tahu kenapa, tapi kamu membuatku merasa lebih baik. Sepertinya, aku baru menyadari sesuatu malam ini.”
Raka tersenyum. “Kadang kita hanya butuh waktu untuk mendengarkan diri kita sendiri, Alina. Tidak ada yang salah dengan merasa takut atau bingung. Yang penting adalah kita tidak lari dari perasaan itu.”
Alina mengangguk, meresapi kata-kata Raka. Malam itu, ia merasa seolah ada titik balik dalam hidupnya. Ia tidak perlu langsung melupakan masa lalunya, tetapi ia harus belajar untuk menerima kenyataan yang ada. Ia harus menerima dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan ketakutan yang ia miliki. Dan mungkin, baru sekarang ia sadar bahwa untuk melangkah maju, ia harus berhenti berlari dari masa lalu.
Ketika mereka akhirnya kembali ke mobil dan Raka mengantarnya pulang, Alina merasa berbeda. Sebelum ia keluar dari mobil, Raka memberikan senyuman hangat dan berkata, “Ingat, tidak ada yang perlu kamu buktikan kepada siapa pun, termasuk dirimu sendiri. Kamu hanya perlu menjalani hidupmu dengan sepenuh hati.”
Alina tersenyum, merasa ada harapan baru yang tumbuh dalam dirinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru dimulai, dan meskipun masih banyak ketakutan dan keraguan yang mengintai, malam itu menjadi titik balik yang ia butuhkan. Ia akhirnya siap untuk menghadapi hidupnya dengan cara yang baru, menerima setiap bagian dari dirinya, dan memberikan kesempatan untuk kebahagiaan yang mungkin datang.*
Bab 5: Cinta yang Tidak Pernah Mudah
Alina terbangun di pagi hari dengan perasaan campur aduk yang sulit untuk dijelaskan. Ia membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi yang segar masuk, namun hatinya tetap terasa berat. Sejak percakapan malam itu dengan Raka, banyak hal yang mulai mengusik pikirannya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi setelah semua yang telah terjadi? Meskipun Raka telah memberi ruang bagi dirinya untuk berproses, Alina tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Cinta—untuk dirinya, untuk orang lain—adalah sesuatu yang rumit dan penuh ketakutan.
Setelah berbulan-bulan berusaha menyembunyikan luka, Alina mulai menyadari bahwa perasaan itu tidak akan hilang hanya karena ia menutup matanya. Cinta yang hilang bukanlah sesuatu yang bisa digantikan begitu saja, meskipun kehadiran Raka mulai membawa sedikit terang dalam hidupnya. Ia merasa bingung, apakah ia sudah siap untuk membuka diri kepada seseorang lagi, atau apakah ia hanya mencari pelarian dari kesepian yang telah lama menghantuinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Alina mulai lebih sering bertemu dengan Raka. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang segala hal, terkadang hanya sekadar menikmati keheningan, atau berjalan di sekitar kota. Raka tidak pernah memaksa, tidak pernah menganggap bahwa Alina harus segera membuka hatinya. Ia selalu memberi ruang, memberi waktu, dan itu adalah salah satu alasan mengapa Alina merasa nyaman di dekatnya.
Namun, meskipun begitu banyak waktu yang mereka habiskan bersama, ada perasaan yang terus menghantui Alina. Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa meskipun perasaannya terhadap Raka tumbuh, ia tetap takut. Takut membuka diri sepenuhnya, takut terluka lagi. Apakah cinta memang selalu datang dengan ketakutan seperti ini? Atau, apakah ia hanya terlalu terikat pada masa lalu yang tak bisa ia lepaskan?
Hari itu, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Kafe itu sudah menjadi tempat favorit mereka, tempat yang selalu terasa nyaman, tempat di mana mereka bisa berbicara tentang apa saja tanpa tekanan. Raka datang lebih awal, seperti biasa, dan sudah memesan kopi untuk mereka berdua.
“Pagi, Alina,” sapa Raka sambil tersenyum ketika Alina masuk. “Aku sudah pesan cappuccino untuk kamu.”
Alina membalas senyumannya dan duduk di kursi yang sudah disiapkan. “Terima kasih, Raka,” jawabnya sambil meraih cangkir kopi yang hangat itu.
Mereka mulai berbicara tentang hari mereka, pekerjaan, dan rencana-rencana kecil yang mungkin mereka lakukan di akhir pekan. Namun, meskipun percakapan mereka berjalan santai, Alina merasa ada sesuatu yang belum terungkap—sesuatu yang selalu mengganggu perasaannya. Ia ingin sekali berbicara tentang apa yang ada di dalam hatinya, namun kata-kata itu terasa begitu sulit untuk keluar.
Akhirnya, setelah beberapa saat terdiam, Raka menatapnya dengan ekspresi serius, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. “Alina,” katanya pelan, “aku tahu ada sesuatu yang mengganjal. Kamu tidak perlu bercerita kalau kamu belum siap, tapi aku hanya ingin tahu… Apa yang sebenarnya kamu takutkan?”
Alina terkejut mendengar pertanyaan itu. Matanya bertemu dengan mata Raka, dan dalam sekejap, ia merasakan ada kedalaman di balik pertanyaan itu—bukan sekadar rasa ingin tahu, tetapi rasa perhatian yang tulus. Dalam diam, Alina mulai merasakan ketegangan yang perlahan mengendur. Ia tidak bisa lagi menghindari perasaan yang sudah lama ia pendam.
“Raka, aku…” Alina berhenti sejenak, menahan napasnya. Kata-kata itu terasa berat. “Aku takut. Takut membuka diri lagi. Takut terluka. Aku… aku belum benar-benar bisa melepaskan apa yang terjadi dengan Daniel. Aku masih merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang dan tidak bisa kembali.”
Raka mendengarkan dengan seksama, tidak mengganggu, hanya memberi ruang untuk Alina mengungkapkan perasaannya. Ketika Alina selesai, suasana menjadi sunyi sejenak. Raka menatapnya dengan lembut, seperti sedang mencerna kata-kata itu.
“Kamu tahu, Alina, cinta itu memang tidak pernah mudah,” ujar Raka akhirnya, suaranya rendah dan penuh pengertian. “Cinta itu bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna, melainkan tentang menemukan seseorang yang bisa menerima ketidaksempurnaan kita. Kita semua membawa luka, kita semua membawa masa lalu, dan itu bukan sesuatu yang harus kita sembunyikan. Cinta datang bukan untuk menghilangkan rasa sakit, tetapi untuk memberi ruang bagi kita untuk sembuh.”
Alina terdiam mendengar kata-kata itu. Raka benar. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa menyelesaikan semua masalah, dan memang, dalam cinta selalu ada ketakutan. Tetapi itu bukan alasan untuk tidak mencobanya. Itu bukan alasan untuk tidak memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk merasa bahagia lagi.
“Raka, aku takut karena aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku takut aku tidak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan kalau itu akan berakhir lagi, seperti yang terjadi dengan Daniel,” kata Alina, suaranya bergetar sedikit.
Raka meraih tangannya dengan lembut, memberikan rasa hangat yang membuat Alina merasa lebih tenang. “Aku mengerti,” jawabnya pelan. “Tapi kamu harus tahu, Alina, bahwa setiap hubungan itu berbeda. Tidak ada dua orang yang memiliki kisah yang sama, dan tidak ada cara yang benar atau salah untuk mencintai. Yang penting adalah kita saling memberi ruang untuk tumbuh, untuk belajar, dan untuk saling menerima.”
Alina menatap tangan Raka yang menggenggam tangannya, merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi, dan meskipun ia takut terluka, itu tidak berarti ia harus menutup hati selamanya. Mungkin inilah saatnya untuk mencoba, untuk memberi kesempatan pada dirinya sendiri dan pada Raka.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Raka,” kata Alina akhirnya, suara lembut namun penuh tekad. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri, dan pada kita.”
Raka tersenyum, senyum yang penuh dengan kehangatan dan pengertian. “Itu sudah cukup, Alina. Tidak ada yang lebih penting dari keinginan untuk mencoba. Cinta tidak akan pernah mudah, tapi itu adalah perjalanan yang layak untuk dijalani.”
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Di tengah kebingungannya, Alina merasa seperti ada sesuatu yang mulai terungkap dalam dirinya. Cinta mungkin tidak akan pernah mudah, tetapi itu adalah bagian dari kehidupan yang membuat segala hal menjadi lebih bermakna. Tidak ada jaminan bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan sempurna, namun itu adalah keputusan yang harus diambil—untuk berani mencintai lagi, meskipun dengan segala keraguan dan ketakutan.
Hari itu, di tengah percakapan yang sederhana, Alina merasakan satu hal yang pasti—bahwa ia siap untuk melangkah ke depan, dan untuk pertama kalinya, ia tidak takut untuk mencintai lagi.*
Bab 6: Menghadapi Dunia
Hari-hari terasa semakin singkat. Setiap pagi Alina terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semangat yang baru, ada rasa ingin tahu yang membakar, dan ada keberanian untuk menghadapi hari-hari yang penuh tantangan. Walaupun perasaan takut itu masih ada—terutama saat memikirkan masa lalu yang selalu datang menghantui—Alina mulai merasa bahwa dia tidak lagi perlu lari dari kenyataan. Keputusan untuk membuka hati, meskipun dengan keraguan, perlahan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Raka, dengan cara yang penuh pengertian, selalu ada di sampingnya, memberinya dukungan tanpa harus memaksakan apa pun. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbicara tentang impian, ketakutan, dan harapan mereka. Setiap kali bersama Raka, Alina merasa seperti ada bagian dari dirinya yang mulai sembuh. Tidak ada yang memaksanya untuk berubah dalam waktu singkat, namun ia mulai merasakan bahwa dirinya lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi dunia.
Namun, dunia nyata tidak selalu mudah untuk diterima, bahkan jika seseorang merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada. Rutinitas di kantor, tuntutan pekerjaan yang tak pernah berhenti, dan rasa cemas yang datang begitu saja, tetap menjadi bagian dari hidup Alina. Semua itu adalah kenyataan yang harus dihadapi, meskipun terkadang ia merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk dipikul sendiri.
Hari itu, pagi yang cerah mengingatkan Alina bahwa, meskipun segalanya terasa tidak pasti, kehidupan terus bergerak. Ia duduk di meja kerjanya di kantor, memandang berkas-berkas yang harus diselesaikan. Pekerjaan menumpuk, dan meskipun ia merasa lebih ringan di hati, itu tidak berarti tantangan di depan menjadi lebih mudah. Di sisi lain, ada rasa lega yang ia temui setiap kali bersama Raka. Kehadirannya memberi rasa aman yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, di balik semua itu, Alina tahu bahwa dia harus belajar menghadapi dunia dengan cara yang baru. Dunia bukan hanya tentang apa yang terjadi di dalam dirinya, tetapi juga tentang bagaimana ia bisa tetap berdiri teguh meskipun banyak hal di luar kendalinya. Tidak bisa selamanya bergantung pada satu orang atau lari dari kenyataan. Ia harus belajar untuk berani berjalan sendiri.
Saat istirahat siang, Alina menerima pesan singkat dari Raka. Pesan yang biasa—tanya kabar, mengingatkan untuk makan siang, dan mengajak untuk bertemu setelah kerja. Terkadang, pesan-pesan seperti itu terasa seperti pelukan dari kejauhan, memberi rasa tenang di tengah kesibukan yang tiada henti. Tapi hari ini, meskipun ia merasa senang dengan pesan itu, ada perasaan berbeda yang mengganggu hatinya. Ia merasa, seiring berjalannya waktu, dirinya terlalu bergantung pada Raka, seperti ada sisi dirinya yang ingin selalu berada di dekatnya, terlepas dari kebutuhan untuk mandiri.
Alina tahu ini adalah saatnya untuk menghadapi dunia dengan cara yang lebih dewasa, lebih mandiri, meskipun ia tidak ingin kehilangan Raka dalam hidupnya. Ia tidak bisa hanya bersembunyi di balik kenyamanan yang diberikan oleh kehadiran orang lain. Ia harus menghadapinya, bahkan jika itu menakutkan.
Setelah memutuskan untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, Alina berjalan keluar dari kantor saat jam kerja berakhir. Raka sudah menunggunya di mobil, seperti biasa. Ia melihat Raka tersenyum dengan senyuman yang membuat hatinya terasa hangat, namun hari itu, Alina merasakan kegelisahan yang tak biasa. Ia tidak ingin Raka merasa seperti dia bergantung sepenuhnya padanya. Tidak ingin perasaan itu menjadi penghalang antara mereka.
“Raka, aku… ingin berbicara,” kata Alina, ketika ia duduk di kursi penumpang mobil.
Raka menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian, lalu menunggu Alina melanjutkan.
“Aku merasa kita terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Aku ingin mencoba sesuatu—menghadapi dunia ini tanpa terlalu bergantung pada satu orang. Aku tahu itu terdengar aneh, tapi aku merasa aku perlu melangkah sendiri untuk sedikit waktu,” kata Alina dengan suara yang sedikit bergetar.
Raka terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Alina. Kemudian, ia tersenyum lembut dan berkata, “Aku mengerti, Alina. Cinta itu tidak selalu tentang berpegangan tangan sepanjang waktu. Kadang, cinta berarti memberi ruang bagi seseorang untuk tumbuh. Dan aku tahu kamu cukup kuat untuk melangkah sendiri. Tapi, itu tidak berarti aku akan pergi. Aku akan selalu ada, jika kamu membutuhkanku.”
Kata-kata Raka membuat Alina merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang benar. Ia bukan hanya berani menghadapi dirinya sendiri, tetapi juga berani mengambil kendali atas hidupnya. Raka benar, cinta itu bukan tentang saling bergantung sepanjang waktu. Cinta adalah tentang memberi ruang, tentang saling mendukung tanpa membatasi satu sama lain.
Setelah percakapan itu, Alina merasa lebih ringan. Seiring berjalannya waktu, ia mulai mengatur prioritas dalam hidupnya, memberi ruang bagi dirinya untuk berkembang. Ia meluangkan waktu untuk mengejar hobinya, untuk berbicara dengan teman-teman lama yang sempat terlupakan, dan untuk lebih menikmati waktu sendirian. Tidak ada lagi rasa takut untuk menghadapi dunia sendirian. Dunia ini besar dan penuh dengan kesempatan, dan Alina tahu bahwa ia bisa menghadapinya.
Malam itu, ketika ia pulang ke apartemennya setelah seharian penuh dengan aktivitas, Alina merasa bahwa ia telah mencapai titik yang berbeda dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa dunia tidak akan pernah berhenti berputar, dan meskipun tantangan datang, ia akan bisa menghadapinya. Ia mungkin tidak bisa mengontrol semuanya, tetapi ia memiliki kendali atas caranya merespons dunia tersebut.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi, dan ia melihat pesan dari Raka.
“Aku tahu kamu sedang mencoba banyak hal baru, tapi jangan lupakan satu hal: dunia ini lebih indah jika kita saling mendukung. Aku di sini, selalu.”
Alina tersenyum kecil, meresapi pesan itu. Tidak ada yang lebih berharga daripada memiliki seseorang yang mengerti dan mendukung perjalanan hidup kita. Meskipun ia kini belajar untuk lebih mandiri, Alina tahu bahwa kehadiran Raka adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa ia lepaskan. Mereka berdua tidak saling bergantung satu sama lain, tetapi mereka saling menguatkan, memberi ruang untuk tumbuh, dan itu adalah bentuk cinta yang lebih nyata.
Alina menatap jendela apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Ia merasa, meskipun dunia ini kadang terasa keras dan penuh tantangan, ia tidak sendirian. Ia siap untuk menghadapi segala hal yang datang, dengan keberanian dan keyakinan baru. Dunia ini mungkin tidak selalu ramah, tetapi dengan langkah-langkah kecil dan dukungan yang tulus, Alina tahu bahwa ia akan mampu menaklukkan apa pun yang ada di depannya.*
Bab 7: Senja yang Menemani
Senja selalu memiliki cara yang unik untuk menyapa hati. Ketika matahari mulai merendah di langit, mengirimkan cahaya keemasan yang menyelimuti setiap sudut kota, Alina merasa ada ketenangan yang datang seiring dengan perubahan cahaya itu. Senja adalah waktu yang penuh dengan perenungan, di mana segala sesuatunya tampak lebih lembut, lebih tenang. Bahkan di tengah kehidupan yang kadang terasa berat, senja selalu menawarkan kesempatan untuk berhenti sejenak, untuk meresapi momen, dan untuk menerima kenyataan dengan lebih lapang.
Hari itu, Alina melangkah keluar dari kantor dengan langkah ringan, setelah seharian penuh bekerja dan menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Di luar, senja sudah mulai menutupi langit dengan warna merah jingga yang memikat. Semburat cahaya keemasan itu memberikan kedamaian yang selama ini ia cari. Setelah seminggu penuh dengan tekanan pekerjaan dan perasaan yang bergelora, ia merasa senja itu seperti pelukan yang menenangkan.
Raka sudah menunggunya di taman kota, tempat favorit mereka untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Taman itu, meskipun tidak terlalu besar, memiliki nuansa yang selalu memberi rasa nyaman. Dengan pohon-pohon besar yang rindang dan jalan setapak yang berkelok, taman ini selalu menjadi tempat yang tepat untuk berbicara tentang segala hal.
Alina melihat Raka duduk di bangku taman, menatap senja dengan tatapan yang jauh, seolah dia sedang merenungkan sesuatu yang dalam. Saat Alina mendekat, Raka tersenyum, senyuman yang selalu membuat hati Alina terasa hangat.
“Senja selalu indah, ya?” kata Raka sambil memandang langit yang semakin gelap. “Seolah waktu berhenti sejenak, memberi kita kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.”
Alina mengangguk, duduk di samping Raka. “Aku merasa begitu. Senja mengingatkanku bahwa meskipun hari ini mungkin penuh dengan tantangan, semuanya akan berakhir dengan kedamaian. Seperti saat matahari terbenam, meskipun segala hal tampak gelap, ada harapan di baliknya.”
Raka tersenyum, matanya menyiratkan pengertian yang mendalam. “Aku suka sekali mendengarmu berbicara seperti itu. Seolah-olah kamu mulai bisa melihat dunia dengan cara yang baru.”
Alina menunduk, merasakan rasa hangat yang datang saat mendengar kata-kata Raka. Meskipun ia merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi dunia, ada bagian dari dirinya yang masih merasa ragu, merasa takut jika ia akan jatuh lagi, merasa takut jika ia tidak bisa mengatasi apa yang ada di depan. Tetapi di samping Raka, ia merasa sedikit lebih yakin. Mungkin, sedikit demi sedikit, ia mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup ini bukan tentang menghindari rasa sakit, tetapi tentang menerima dan tumbuh melalui setiap pengalaman.
“Raka,” kata Alina setelah beberapa saat terdiam. “Aku merasa seperti aku mulai bisa menerima banyak hal. Mungkin tidak semuanya bisa aku pahami atau aku kendalikan, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku tidak perlu menghadapinya sendirian.”
Raka menatap Alina dengan lembut. “Kamu tidak sendirian, Alina. Aku di sini, dan aku akan selalu ada, tidak peduli apa pun yang terjadi.”
Kata-kata itu membuat hati Alina terasa hangat. Senja, dengan segala keindahannya, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan mereka berdua. Dalam diam, mereka duduk bersama, menikmati keheningan yang nyaman, dikelilingi oleh warna senja yang mulai memudar menjadi gelap. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya ada perasaan yang mengalir antara mereka—perasaan yang perlahan tumbuh, yang seolah semakin dalam seiring berjalannya waktu.
Alina menyandarkan kepalanya di bahu Raka, merasakan ketenangan yang langka. Dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian, ada satu hal yang ia tahu pasti—bahwa ada seseorang yang peduli, seseorang yang mengerti, dan seseorang yang tidak akan meninggalkannya. Terkadang, cinta memang tidak selalu datang dengan kemudahan. Terkadang, itu datang dengan waktu, dengan perjuangan, dengan pengorbanan. Tapi di balik itu semua, ada kedamaian yang datang setelah badai.
“Mungkin aku belum benar-benar tahu apa yang aku inginkan, Raka,” kata Alina, suaranya pelan. “Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin menjalani ini bersama-sama. Aku ingin terus tumbuh, meskipun itu berarti harus menghadapi ketakutanku.”
Raka mengangguk, dengan senyum yang penuh pemahaman. “Itulah yang aku suka dari kamu, Alina. Kamu tidak pernah lari dari kenyataan. Kamu berani menghadapi ketakutanmu. Dan itu sudah cukup untukku.”
Mereka berdua terdiam, memandangi langit yang semakin gelap, menikmati momen kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Tidak ada kata-kata besar yang perlu diucapkan, karena mereka tahu bahwa cinta itu tidak selalu tentang apa yang diucapkan, tetapi tentang bagaimana perasaan itu terasa di dalam hati. Cinta itu adalah ketika kita bisa saling mendukung tanpa harus meminta banyak hal, ketika kita bisa hadir untuk satu sama lain tanpa harus sempurna.
Saat senja mulai menghilang, digantikan oleh gelapnya malam, Alina merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa takut untuk menjalani hidupnya. Ia tidak lagi merasa harus melarikan diri dari perasaan atau kenangan yang menghantui. Senja itu mengajarinya untuk menerima, untuk belajar bahwa dalam setiap akhir selalu ada awal yang baru. Begitu juga dengan cinta—mungkin tidak selalu mudah, tapi itu adalah perjalanan yang layak untuk dijalani.
Raka menatap Alina, menyadari perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. “Alina, aku tahu kita tidak bisa merencanakan segalanya. Tapi aku yakin kita bisa berjalan bersama, menghadapi dunia ini bersama-sama. Tidak ada yang lebih penting bagiku daripada itu.”
Alina tersenyum, merasakan cinta yang hangat mengalir dalam dirinya. “Aku juga, Raka. Aku juga.”
Malam itu, mereka berdua berjalan menyusuri taman yang mulai sepi, dikelilingi oleh bayang-bayang pohon dan cahaya lampu jalan yang temaram. Dalam keheningan malam, Alina merasa lebih percaya diri untuk menghadapi dunia. Dengan Raka di sisinya, ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia tidak akan lagi berjalan sendirian.
Senja itu bukan hanya sekadar waktu yang menandakan berakhirnya hari. Senja itu adalah pengingat bagi Alina bahwa kehidupan selalu memberi kesempatan untuk memulai lagi, bahwa cinta selalu menemukan cara untuk hadir, bahkan dalam kesunyian.*
Bab 8: Sepotong Senja untuk Cinta
Malam itu, kota terlihat lebih hidup dari biasanya. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya hangat yang menyapu wajah, menyatukan kesunyian dengan kehidupan yang sibuk. Namun di balik hiruk-pikuk itu, Alina merasa dunia hanya berputar di sekitarnya dalam tempo yang berbeda. Hatinya dipenuhi dengan kebingungan yang telah berkembang selama beberapa minggu terakhir, tentang hubungan yang ia jalin dengan Raka, tentang apa yang ia rasakan, dan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.
Setelah beberapa bulan bersama, Alina mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Keberadaan Raka dalam hidupnya semakin memberi rasa aman dan nyaman, sesuatu yang sangat ia butuhkan setelah masa lalu yang penuh luka. Namun, semakin ia merasa dekat dengan Raka, semakin pula ia menyadari bahwa ada ketakutan yang masih mengikat hatinya. Ketakutan untuk terikat kembali, ketakutan untuk merasa sepenuhnya hidup, ketakutan untuk menyerahkan seluruh hati kepada seseorang.
Malam itu, setelah seharian penuh dengan pertemuan dan pekerjaan yang menuntut, Alina duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang mulai gelap. Senja baru saja berlalu, meninggalkan semburat merah jambu yang perlahan pudar. Ia mengenang kembali bagaimana senja selalu menjadi saksi perasaan yang tak terungkapkan—perasaan yang terkadang sulit untuk dijelaskan, namun selalu ada.
Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Itu adalah pesan dari Raka. Alina membacanya dengan hati-hati.
“Alina, apakah kita bisa bertemu malam ini? Aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting.”
Pesan singkat itu membuat perasaan Alina semakin rumit. Apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Raka? Mungkin dia merasa hal yang sama—bahwa hubungan mereka sudah berada di titik yang sulit dipahami. Mungkin Raka juga merasakan ketegangan yang sama, perasaan yang mengambang di udara, yang tidak pernah bisa benar-benar dijelaskan. Setelah berpikir beberapa saat, Alina memutuskan untuk bertemu dengan Raka. Apa pun yang akan terjadi, ia harus menghadapi kenyataan, tidak bisa terus berlarian dari perasaan yang selama ini ia pendam.
Ia mengambil mantel panjangnya dan keluar menuju mobil. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seolah beban yang tak tampak menggantung di pundaknya. Taman kota yang biasanya menjadi tempat kedamaian mereka kini terasa seperti labirin yang penuh dengan ketidakpastian. Alina berjalan menuju bangku di dekat danau kecil, tempat mereka pertama kali berbicara tentang kehidupan, tentang impian, tentang masa depan. Raka sudah ada di sana, menunggu dengan tatapan yang lembut, namun ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya.
“Raka,” sapa Alina dengan suara yang pelan namun penuh makna. “Ada apa? Kenapa kita harus bertemu malam ini?”
Raka menatap Alina sejenak sebelum menghela napas. Ia menggerakkan tangannya ke belakang, menyingkirkan rambut yang jatuh menutupi dahi. “Alina,” katanya dengan suara yang lebih berat dari biasanya, “aku rasa aku sudah terlalu lama diam tentang apa yang aku rasakan. Aku ingin kamu tahu satu hal, yang mungkin sudah lama ada di pikiranku.”
Alina menunggu, perasaannya semakin cemas. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, seperti ada sesuatu yang besar yang akan terungkap. Raka diam beberapa detik, seolah mencoba memilih kata-kata yang tepat.
“Aku mencintaimu, Alina,” ujar Raka akhirnya, dengan suara yang penuh kejujuran. “Aku tahu, mungkin aku terlalu cepat untuk mengatakan ini, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku sudah terlalu lama berada di sampingmu, dan aku merasa sudah saatnya untuk mengungkapkan ini. Aku mencintaimu, bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu adalah kamu—dengan segala luka, segala kebingungan, dan segala ketakutan yang kamu bawa. Aku ingin menemanimu menjalani hari-harimu, untuk selalu ada di sampingmu.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Raka, penuh dengan emosi yang sulit dipahami. Alina terdiam, hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu bagaimana harus merespons. Seperti ada bagian dari dirinya yang terbangun, namun juga terjebak dalam kebingungannya sendiri. Cinta adalah sesuatu yang ia rindukan, tetapi juga sesuatu yang ia takuti.
“Aku… aku tidak tahu, Raka,” suara Alina bergetar, “Aku juga merasa hal yang sama, tapi ada bagian dari diriku yang masih ragu. Aku takut jika aku terlalu terikat lagi, aku takut jika aku terlalu banyak berharap, dan itu hanya akan membuat aku terluka.”
Raka mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tahu kamu takut, Alina. Aku tahu betapa beratnya melepaskan masa lalu dan membuka hati untuk seseorang lagi. Tapi aku di sini, dan aku siap menunggumu, siap memberi waktu dan ruang untukmu. Aku bukan ingin memaksamu, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, tanpa syarat.”
Alina menatap Raka, matanya mulai terasa basah. Ada perasaan yang berkecamuk dalam dirinya—keinginan untuk percaya, keinginan untuk membuka hati, namun juga ketakutan yang begitu dalam. Cinta bukan sesuatu yang mudah bagi Alina. Itu adalah sesuatu yang penuh dengan luka, kesedihan, dan kekecewaan. Namun, di hadapan Raka, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya merasa mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencoba untuk mencintai lagi.
“Raka, aku…” Alina menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan diri. “Aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri. Aku ingin mencoba, meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.”
Raka tersenyum, senyuman yang penuh pengertian. “Itu sudah cukup untukku, Alina. Kita tidak perlu terburu-buru. Cinta itu tidak pernah datang dengan paksaan, dan aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap menunggu. Jika kamu memerlukan waktu, aku akan memberi waktu. Jika kamu ingin mencoba, aku akan berada di sampingmu.”
Senja semakin gelap, meninggalkan kilauan terakhir yang menghiasi langit. Mereka duduk berdua, berbagi keheningan yang penuh makna. Dalam hati mereka, ada perasaan yang tidak terucapkan—perasaan bahwa cinta, meskipun tidak selalu mudah, adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Pada malam itu, di bawah langit yang perlahan gelap, Alina merasa bahwa ia akhirnya bisa memberi sepotong hatinya kepada cinta. Senja itu bukan hanya tentang perpisahan antara hari dan malam, tetapi juga tentang kesempatan baru—kesempatan untuk mulai merangkai kisah baru, meskipun perjalanan itu masih penuh dengan ketakutan dan keraguan. Namun, satu hal yang Alina tahu pasti—bahwa cinta yang tulus, sepotong demi sepotong, akhirnya akan menemani hidupnya, memberikan harapan, dan menjadi bagian dari perjalanan yang lebih besar.***
———THE END——-