Bab 1: Pagi yang Tidak Biasa
Nina membuka mata, disambut oleh sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar. Udara pagi yang segar mengisi ruang, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Jam alarm menunjukkan pukul 06.30, waktu yang cukup untuknya memulai hari dengan santai. Ia sudah terbiasa dengan rutinitas pagi yang terstruktur—bangun, mandi, sarapan, lalu bersiap untuk bekerja. Namun, pagi itu, segalanya akan berbeda.
Setelah mandi dan memakai pakaian kantornya yang sederhana namun rapi, Nina melangkah ke kamar tidur untuk mengenakan sepatu favoritnya. Sepatu kulit berwarna cokelat muda itu adalah pilihan sempurna untuk setiap kesempatan. Meskipun sudah agak usang dan sedikit mengelupas di bagian ujung, sepatu itu selalu memberinya kenyamanan yang tak tergantikan. Nina tersenyum ketika melihat sepatu itu di sebelah tempat tidur, tepat di tempat yang biasanya ia letakkan setiap malam. Namun, saat ia berusaha mengambilnya, ia terkejut—sepatu itu hilang.
Pandangannya beralih ke sekeliling kamar. Tidak ada yang aneh. Ia menengok ke bawah tempat tidur, lalu ke lemari dan rak sepatu di sudut ruangan. Setiap inci ruangan telah diperiksa, namun sepatu itu tetap tidak ada. Nina merasa bingung. Ia pasti ingat menaruhnya di situ semalam. Dengan sedikit panik, ia mengingat kembali apa yang terjadi sebelum tidur tadi malam. Mungkin dia meletakkannya di tempat lain? Atau mungkin ada yang mengambilnya?
Nina membuka pintu kamar dan mencari ke luar, berharap sepatu itu tergeletak di lantai. Tidak ada. Ia berjalan cepat menuju ruang tamu dan memeriksa setiap sudut dengan teliti. Ia bahkan membuka pintu balkon untuk memastikan sepatu itu tidak terjatuh di luar. Tapi tak ada yang ditemukan. Keputusasaannya mulai meningkat.
“Ini tidak mungkin,” gumam Nina pada dirinya sendiri. Pikirannya mulai kacau, dan jantungnya berdebar lebih cepat. Sepatu itu adalah sepatu favoritnya, satu-satunya sepatu yang benar-benar nyaman dan cocok dengan segala hal yang dikenakannya. Bagaimana bisa sepatu itu hilang begitu saja?
Saat itu, ibunya yang sedang duduk di ruang makan mendengar kegaduhan dan keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Kenapa, Nino?” tanya ibunya, mengangkat alis melihat anak perempuannya yang sedang cemas mencari sesuatu di seluruh ruangan.
“Sepatuku hilang, Bu. Tidak tahu kemana,” jawab Nina, mencoba tetap tenang meskipun ada rasa panik yang mulai merayapi pikirannya.
Ibunya menatap Nina sejenak, lalu tertawa kecil. “Kamu selalu saja seperti itu. Coba lihat lagi di tempat yang biasa kamu letakkan. Jangan-jangan kamu memang lupa.”
Nina menghela napas panjang. Ia sudah memeriksa semua tempat yang ia ingat. Ia mengangguk, berusaha menenangkan diri. “Iya, Bu. Terima kasih,” ujarnya, meski perasaan cemas itu belum juga hilang.
Nina kembali mencari sepatu itu, membuka lemari dan merogoh setiap sudutnya, bahkan memeriksa di balik pakaian yang tergantung di sana. Setiap ruang tampak penuh dengan kekacauan yang hanya memperburuk kebingungannya. Waktu terus berjalan dan rasa frustrasi mulai menggantikan harapannya. Tidak mungkin sepatu itu hilang begitu saja. Nina semakin tidak mengerti.
“Kenapa sekarang, saat aku benar-benar membutuhkannya, sepatu itu menghilang?” pikir Nina. Seharusnya dia sudah bisa selesai dengan semua persiapan dan segera berangkat ke kantor. Jam menunjukkan 07.15, dan ia mulai khawatir terlambat.
Dengan sisa waktu yang semakin sedikit, Nina akhirnya memutuskan untuk menggunakan sepatu lain yang lebih cepat ia temukan. Sebuah sepatu olahraga usang yang sudah lama tidak ia pakai. Meskipun tidak nyaman dan terlihat sangat tidak sesuai dengan pakaian kerjanya yang formal, tidak ada pilihan lain. Dengan langkah terburu-buru, ia memakainya dan segera keluar dari rumah.
Saat berjalan menuju halte bus, Nina mulai merasa canggung. Setiap langkah terasa kurang mantap. Sepatu olahraga itu tidak hanya membuat langkahnya terhenti lebih lama, tetapi juga memberikan rasa tidak nyaman yang mengganggu konsentrasinya. Ia merasa sangat tidak percaya diri dengan penampilannya pagi itu. Ia melihat sekeliling, berharap tidak ada yang melihatnya. Namun, kenyataannya, dia merasa seperti semua orang memandang kakinya.
Pagi itu menjadi perjalanan yang cukup canggung. Seperti ada yang tidak beres dengan dunia, seolah-olah semesta sengaja menguji ketenangannya. Bahkan saat ia tiba di kantor, ia merasa risih dengan sepatu yang ia kenakan. Rekan-rekannya mengangguk ramah saat ia masuk, tetapi ia merasa mereka memandangnya lebih lama dari yang biasanya. Hanya satu hal yang terus berputar di pikirannya—sepatu favoritnya yang hilang.
Saat duduk di meja kerjanya, Nina mencoba fokus pada tugas-tugas yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya terus melayang, berputar di sekitar sepatu yang hilang dan mengapa itu bisa terjadi. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang lebih dari sekadar kehilangan sepatu. Ini terasa seperti pertanda, meskipun ia tidak tahu pertanda apa.
Di tengah kebingungannya, telepon seluler Nina berdering. Ia menatap layar ponselnya. Nama
Bab 2: Pencarian Dimulai
Nina duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong menatap layar komputer yang seharusnya memuat tugas yang harus diselesaikan. Pikirannya terjebak dalam satu hal—sepatu yang hilang. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30, dan meskipun ia berusaha untuk fokus pada pekerjaan, kecemasan itu terus mengganggu. Sepatu favoritnya masih tidak ditemukan, dan rasanya aneh sekali menjalani hari tanpa mereka.
Pagi itu, Nina merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya. Semua orang di kantor tampak sibuk dengan pekerjaan mereka, tetapi ia merasa terasing di tengah hiruk-pikuk itu. Ia merasa canggung, tak nyaman dengan sepatu olahraga yang besar dan tidak sesuai dengan setelan kerja formal yang ia kenakan. Lebih buruk lagi, perasaan aneh tentang hilangnya sepatu itu terus mengganggunya. Seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan ia tidak tahu apa itu.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, mengalihkan perhatiannya dari perasaan gelisah. Nama yang muncul di layar ponselnya adalah Arka, teman lama yang sudah lama tidak ia dengar kabarnya. Mereka berdua sempat dekat saat kuliah, namun sejak lulus, hubungan mereka jadi renggang. Nina tidak tahu apa yang memicu Arka untuk menghubunginya lagi, tetapi ia merasa ada sesuatu yang menarik perhatian dalam suara Arka yang terdengar agak serius.
“Hallo, Nina? Ini Arka. Ada waktu sebentar?” suara Arka terdengar di telepon, agak terdengar misterius.
“Arka? Ada apa?” tanya Nina, sedikit terkejut mendengar suaranya yang tak biasa.
“Aku butuh bicara, ada yang perlu kamu tahu. Bisa ketemu?” jawab Arka, dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
Nina berpikir sejenak. Sebenarnya, ia sangat ingin berbicara dengan Arka. Mungkin pertemuan itu bisa mengalihkan pikirannya dari sepatu yang hilang. Namun, pikirannya juga terfokus pada pekerjaan yang menumpuk. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk setuju.
“Iya, aku ada waktu siang nanti. Di mana?” jawab Nina, mencoba terdengar tenang meskipun rasa penasarannya mulai tumbuh.
“Di kafe dekat kantormu. Pukul 12.00. Jangan terlambat,” jawab Arka, dan kemudian menutup telepon.
Nina merasa ada yang aneh dengan permintaan Arka. Kafe yang dimaksud adalah tempat yang sering mereka kunjungi beberapa tahun yang lalu. Dulu, tempat itu menjadi saksi banyak obrolan mereka, namun ada sesuatu yang terasa tidak biasa kali ini. Sebelum bertemu Arka, Nina memutuskan untuk melanjutkan pencariannya.
Setelah beberapa menit berbincang dengan rekan k
erja dan mencari-cari
Bab 3: Arka yang Misterius
Kafe yang tenang itu terasa semakin sunyi ketika Arka memulai ceritanya. Nina duduk di hadapannya, menatap pria yang dulunya begitu dekat dengannya, tetapi sekarang terasa seperti orang yang baru saja ia temui. Ada sesuatu dalam sikap Arka yang berbeda, sesuatu yang membuatnya tampak lebih serius, lebih misterius. Nina menahan napas, menunggu penjelasan yang sudah ia rasa akan mengubah segalanya.
“Aku tahu, kamu merasa aneh dengan sepatu itu, kan?” Arka memulai pembicaraan dengan kalimat yang lebih mengarah pada kebingungannya sendiri, seolah-olah ia sudah tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada Nina daripada yang ia duga. Nina mengerutkan dahi, sedikit terkejut.
“Sepatu? Maksudmu… sepatu yang hilang itu?” Nina menjawab ragu, tidak begitu yakin apa yang Arka coba sampaikan.
“Bukan cuma sepatu kamu yang hilang,” jawab Arka, sambil menatap Nina dengan serius. “Ada banyak kasus serupa yang aku temui belakangan ini. Sepatu-sepatu langka, sepatu kesayangan orang-orang—semuanya hilang begitu saja. Dan semuanya terhubung dengan satu hal. Aku cuma ingin kamu tahu, ini bukan kebetulan.”
Nina merasa darahnya berdesir, hatinya mulai berdetak lebih cepat. “Tunggu dulu, Arka. Kamu bilang banyak sepatu hilang? Tapi apa hubungannya dengan aku?” Nina menunduk sebentar, mencoba mencerna apa yang Arka katakan. “Maksudmu, sepatu yang hilang ini, ada hubungannya dengan hal yang lebih besar?”
Arka mengangguk perlahan, meletakkan cangkir kopinya ke meja dengan hati-hati. “Iya. Aku sudah mengikuti beberapa petunjuk yang ada. Dan aku pikir kamu bisa membantu,” katanya, masih dengan nada serius.
“Bantu? Apa yang bisa aku bantu?” Nina merasa sedikit cemas, namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Bagaimana mungkin sebuah kehilangan sepatu bisa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar? Apakah Arka sedang bercanda atau ada sesuatu yang memang tidak ia ketahui?
Arka mengeluarkan sebuah catatan kecil dari tasnya. Catatan itu penuh dengan coretan dan gambar-gambar aneh yang tidak bisa Nina pahami. “Ini bukan hanya tentang sepatu hilang. Aku sudah lama mencurigai ada yang mengendalikan semua ini. Ada orang yang dengan sengaja mencuri sepatu-sepatu tertentu, dan bukan tanpa alasan. Mereka punya tujuan.”
“Apa maksudmu dengan tujuan?” Nina bertanya, mulai merasa gugup. Ia melihat Arka dengan tatapan yang lebih intens. “Kenapa sepatu? Kenapa harus sepatu?”
“Karena sepatu itu bukan hanya benda biasa, Nina,” jawab Arka dengan ekspresi yang makin serius. “Ada energi tertentu yang ada pada sepatu-sepatu itu. Sepatu langka yang terbuat dari bahan khusus, yang memiliki kekuatan tertentu. Entah bagaimana, orang yang mencuri sepatu-sepatu itu ingin memanfaatkan kekuatan tersebut.”
Nina merasa dunia sekitarnya tiba-tiba berputar. Apa yang baru saja ia dengar terasa seperti bagian dari film horor yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ada
Bab 4: Mengungkap Rahasia
Hari itu terasa lebih berat bagi Nina. Setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaannya, pikirannya melayang kembali ke percakapan yang baru saja ia lakukan dengan Arka. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya: Sepatu yang hilang bukan hanya kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Nina merasa seperti ada lapisan misteri yang tersembunyi di balik peristiwa kecil yang awalnya tampak sepele ini.
Setelah pertemuan di kafe, Arka meminta Nina untuk lebih berhati-hati dan menjaga jarak dari semua orang yang mungkin terlibat dalam pencurian sepatu-sepatu langka itu. Meskipun begitu, Nina merasa ada bagian dari dirinya yang tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya. Seiring waktu, rasa penasarannya semakin mendalam. Apakah benar sepatu favoritnya hanya hilang secara kebetulan, ataukah ada kekuatan yang lebih besar yang bekerja di balik layar? Arka tidak menjelaskan lebih lanjut, namun ia memberi Nina sebuah petunjuk: Temui aku malam ini. Aku punya jawaban.
Malam itu, Nina pergi ke tempat yang telah dijanjikan Arka, sebuah kafe kecil yang berada di ujung kota, jauh dari keramaian. Tempat ini tampaknya lebih sepi dan tenang, mungkin sengaja dipilih agar percakapan mereka bisa berjalan lebih pribadi. Begitu memasuki kafe, Nina segera menemukan Arka yang sudah duduk di sudut dengan ekspresi yang serius, tak seperti biasanya.
“Arka, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nina, suara sedikit tegang. Ia merasa lebih cemas dari sebelumnya, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya.
Arka tersenyum samar, lalu mengangkat sebuah map tebal yang tergeletak di meja di hadapannya. “Ini yang kamu cari, Nina,” katanya, membuka map itu perlahan. Di dalamnya, terdapat gambar-gambar sepatu, catatan-catatan kecil, dan beberapa peta yang tampak rumit.
Nina mengerutkan kening saat melihat gambar-gambar sepatu yang tampak biasa saja. Namun, setelah Arka menjelaskan lebih lanjut, ia mulai memahami. “Semua sepatu ini, Nina, adalah bagian dari koleksi yang hilang. Tapi bukan sembarang sepatu. Ada kekuatan tertentu di dalamnya. Sepatu-sepatu ini dulu dibuat dengan bahan langka, dan entah bagaimana, mereka mengandung energi yang bisa mempengaruhi kehidupan orang-orang yang mengenakannya.”
“Energi?” Nina menatap Arka dengan ragu. “Maksudmu apa? Ini terlalu rumit untuk aku mengerti, Arka. Aku hanya ingin tahu kenapa sepatu aku hilang. Apa hubungannya semua ini dengan aku?”
Arka menghela napas panjang. “Kamu ingat betul kan, sepatu itu yang hilang pagi itu? Itu bukan kebetulan. Kamu terpilih untuk sesuatu yang lebih besar. Aku sudah menelusuri jejak sepatu-sepatu ini, dan semuanya mengarah padamu, Nina.”
“Mengarah padaku?” Nina merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Apa maksudnya dengan mengarah padaku? Ini semakin terasa aneh dan tak bisa ia pahami.
“Sepatu itu, Nina, ada yang menginginkannya karena kamu,” kata Arka, memandangi Nina dengan tatapan serius. “Kamu terhubung dengan sebuah kekuatan yang tidak kamu sadari. Kekuatan yang hanya bisa dimanfaatkan jika kamu mengenakan sepatu itu. Ini lebih dari sekadar keberuntungan. Kamu, Nina, adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang kamu kira.”
Nina bingung, cemas, dan penasaran. “Tunggu, Arka. Kamu bilang aku terhubung dengan sesuatu. Tapi aku hanya seorang gadis biasa yang kehilangan sepasang sepatu! Kenapa aku harus terlibat dalam hal yang rumit seperti ini?”
Arka menatap Nina dengan mata yang penuh arti. “Itulah yang perlu kita ungkapkan. Kamu tidak tahu bahwa selama ini, ada sebuah organisasi yang telah lama mencari orang seperti kamu. Mereka percaya bahwa ada individu tertentu yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan energi yang terkandung dalam sepatu-sepatu tersebut. Sepatu yang kamu miliki adalah salah satu kunci.”
“Apa yang harus aku lakukan?” Nina bertanya, merasa cemas sekaligus tergugah. “Jika mereka mencari aku, bagaimana aku bisa bertahan? Aku hanya ingin hidup normal, Arka.”
Arka mengangkat bahu, seperti memberi penjelasan yang sangat berat. “Tidak ada yang bisa memilih takdirnya, Nina. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari tahu siapa yang menginginkan kekuatan ini dan bagaimana kita
Bab 5: Jejak yang Menuntun
Malam itu, setelah percakapan yang membingungkan dan penuh misteri, Nina kembali ke rumah dengan kepala yang penuh dengan pertanyaan. Ia masih tidak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Arka. Kekuatan dalam sepatu? Organisasi yang mencari orang-orang dengan kekuatan tertentu? Semua itu terdengar seperti cerita dari film fiksi, namun tatapan serius Arka dan ketegangan yang terasa di dalam kafe tadi malam membuatnya merasa ada lebih dari sekadar khayalan di balik kata-kata itu.
Nina duduk di kursi ruang tamu rumahnya, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar. Sepatu yang hilang itu, yang ia anggap sebagai kehilangan biasa, kini menjadi kunci dari sebuah misteri besar. Mengapa Arka bisa begitu yakin bahwa sepatu itu memiliki kekuatan tertentu? Dan mengapa ia terpilih untuk terlibat dalam semua ini? Rasanya terlalu banyak untuk dipahami dalam waktu singkat.
Tapi sesuatu dalam diri Nina mendorongnya untuk tidak menyerah. Rasa ingin tahu yang membara membuatnya tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang semakin tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa. Pencarian ini, meskipun aneh, mulai terasa seperti bagian tak terpisahkan dari dirinya.
Keesokan harinya, Nina memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang Arka katakan. Ia pergi ke toko sepatu langka yang pernah ia kunjungi bersama Arka beberapa tahun yang lalu. Toko itu memiliki koleksi sepatu-antique yang sangat eksklusif, dan pemiliknya, Pak Darto, dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan luas tentang sepatu-sepatu unik dan bersejarah.
Setelah memasuki toko, Nina disambut oleh Pak Darto yang sedang duduk di belakang meja kayu tua. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, tetapi tatapannya langsung berubah ketika melihat ekspresi serius di wajah Nina.
“Nina, ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Darto dengan suara tenang.
“Ada sesuatu yang ingin saya ketahui, Pak Darto,” jawab Nina, mencoba menahan kecemasannya. “Tentang sepatu-sepatu langka dan energi yang mungkin terkandung di dalamnya. Apakah Anda tahu sesuatu tentang itu?”
Pak Darto menatapnya sejenak, seolah-olah menilai apakah Nina benar-benar tahu apa yang ia bicarakan. Akhirnya, ia mengangguk perlahan. “Kamu tidak tahu, Nina. Tapi kau sudah menginjakkan kaki di jalan yang benar. Sepatu bukan hanya benda mati. Beberapa sepatu yang memiliki sejarah panjang memang memiliki kekuatan tertentu. Hanya saja, mereka yang mengerti tidak akan membicarakan hal ini sembarangan.”
“Bagaimana caranya agar saya bisa tahu lebih banyak?” tanya Nina, semakin tertarik dengan percakapan ini.
Pak Darto mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari bawah meja dan membukanya perlahan. Di dalam kotak itu terdapat sepasang sepatu kulit hitam yang tampak sangat tua. Meskipun usianya bisa dipastikan sudah ratusan tahun, sepatu itu masih terlihat dalam kondisi yang sangat baik, dengan pola jahitan yang halus dan bentuk yang sangat simetris. “Ini salah satu contoh sepatu yang mengandung kekuatan,” kata Pak Darto, menunjuk sepatu tersebut. “Ini bukan sembarang sepatu. Mereka dibuat oleh tangan-tangan yang sangat berpengetahuan tentang energi alam semesta.”
Nina menatap sepatu itu dengan kagum. “Apa maksudnya sepatu-sepatu ini memiliki kekuatan?”
“Sepatu seperti ini dirancang dengan tujuan tertentu. Beberapa dibuat untuk meningkatkan kekuatan fisik seseorang, sementara yang lain bisa mempengaruhi pikiran atau perasaan orang yang memakainya,” Pak Darto menjelaskan dengan suara yang dalam. “Tapi itu tidak semua. Ada juga sepatu yang diciptakan untuk mengikat seseorang pada nasib atau takdir tertentu. Itulah yang membuat beberapa orang ingin memilikinya dengan segala cara. Jika mereka mendapatkan sepatu ini, mereka bisa mengubah jalannya sejarah.”
Nina merasa ada sesuatu yang menggema di dalam dirinya. Arka tidak salah. Ini bukan hanya soal sepatu hilang. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang menghubungkan takdirnya dengan kekuatan yang lebih dari sekadar fisik.
“Nina,” lanjut Pak Darto, “apa yang kamu alami ini bukan kebetulan. Jika kamu merasa ada sesuatu yang tertinggal dari dirimu, itu bisa jadi karena sepatu yang kamu miliki sebelumnya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Aku hanya bisa memberitahumu sedikit saja, karena yang lainnya hanya bisa kamu temukan sendiri.”
Nina merasa seolah-olah dunia mengerucut menjadi satu titik. Semua yang terjadi, mulai dari kehilangan sepatu hingga pertemuannya dengan Arka, ternyata memiliki alasan yang jauh lebih dalam daripada yang ia bayangkan. “Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” tanya Nina dengan tekad yang mulai tumbuh.
Pak Darto menatap Nina dengan pandangan yang penuh makna. “Kamu harus menemukan siapa yang mencuri sepatu itu dan mengapa. Dan yang paling penting, kamu harus menemukan sepasang sepatu lainnya. Sepatu itu adalah kunci untuk mengungkap misteri yang lebih besar. Kamu tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mereka.”
Dengan penuh rasa penasaran dan tekad yang baru ditemukan, Nina mengangguk. “Terima kasih, Pak Darto. Saya akan mencari tahu lebih banyak.”
Setelah meninggalkan toko sepatu, Nina merasa langkahnya semakin mantap. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan perjalanan biasa. Ia tidak hanya sedang mencari sepatu yang hilang, tetapi juga mencari kunci untuk memahami takdir yang terhubung dengan dirinya. Sebuah teka-teki besar yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, rasa takut tidak lagi menghantuinya. Alih-alih, ia merasa seperti ada sesuatu yang menariknya ke depan—sesuatu yang penting, sesuatu yang harus ditemukan.
Petualangannya baru saja dimulai, dan Nina tahu satu hal pasti: ia tidak akan berhenti sampai semua misteri ini terungkap.
Bab 6: Di Ambang Pencarian
Langit sore itu tampak mendung, seolah merasakan kegelisahan yang menghantui Nina. Setelah percakapan dengan Pak Darto, banyak hal yang berputar di pikirannya. Setiap langkah terasa lebih berat, namun di sisi lain, ada perasaan yang semakin jelas tumbuh dalam dirinya—rasa penasaran yang tak bisa dipadamkan. Ia tahu bahwa pencariannya belum selesai, bahkan baru dimulai. Sepatu yang hilang, serta semua misteri yang melibatkannya, membawa Nina pada sebuah perjalanan yang tak bisa ia hindari.
Pagi-pagi setelah pertemuan di toko sepatu, Nina kembali bertemu dengan Arka. Mereka berdua memutuskan untuk bertemu di sebuah tempat yang lebih tenang, jauh dari mata-mata yang mungkin mengintai. Kali ini, Arka tampak lebih serius daripada sebelumnya, matanya menyiratkan keseriusan yang lebih dalam.
“Nina,” kata Arka dengan nada datar, “Kamu sudah tahu, bukan? Semua ini tidak hanya tentang sepatu. Ini lebih besar dari yang bisa kamu bayangkan. Mereka yang menginginkan sepatu itu… mereka punya tujuan yang tidak baik.”
Nina menatap Arka dengan rasa cemas. “Siapa mereka, Arka? Apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan? Kenapa harus sepatu?”
Arka menghela napas panjang, seolah sedang menimbang apakah akan memberitahunya lebih banyak atau tidak. “Aku sudah memberimu petunjuk pertama. Kamu harus mencari orang yang mencuri sepatu itu. Mereka bukan orang sembarangan, Nina. Ada kelompok yang menyebut diri mereka The Collector. Mereka adalah organisasi yang mencari sepatu-sepatu dengan kekuatan tersembunyi.”
“Tapi mengapa mereka memilih sepatu-sepatu itu?” tanya Nina, suara penuh kebingungan.
“Karena sepatu itu bukan hanya alat untuk berjalan, Nina. Beberapa sepatu terbuat dari bahan langka yang bisa mengubah takdir seseorang. Mereka yang mengenakannya bisa memiliki kekuatan untuk memanipulasi masa depan mereka sendiri—untuk mengubah hidup mereka, bahkan sejarah. Itulah mengapa mereka mencari sepatu-sepatu tersebut.”
Nina merasa seolah-olah duniannya berputar. Segala hal yang ia anggap biasa tiba-tiba berubah menjadi lebih rumit. Sepatu yang hilang, yang ia anggap sebagai kehilangan kecil, kini terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah kekuatan yang bisa mengubah segalanya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Nina bertanya, suaranya penuh tekad. “Bagaimana aku bisa berhenti mereka?”
Arka memandangnya dengan tatapan serius. “Itu yang harus kita cari tahu, Nina. Tapi satu hal yang pasti, kamu harus menemukan
————————THE END——————–