• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SENANDIKA DI TENGAH HUJAN

SENANDIKA DI TENGAH HUJAN

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SENANDIKA DI TENGAH HUJAN

SENANDIKA DI TENGAH HUJAN

by SAME KADE
January 27, 2025
in Romansa
Reading Time: 26 mins read

Bab 1: Pertemuan yang Terlupakan

Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, hujan turun dengan derasnya. Sebuah hujan yang tidak hanya membawa tetesan air, tetapi juga membawa jejak-jejak kehidupan yang terabaikan. Di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di sudut jalan yang jarang dilalui orang, seorang perempuan muda bernama Rani duduk sendirian, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.

Kedai itu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi Rani, tempat di mana ia bisa melarikan diri dari rutinitas hidupnya yang monoton. Ia menikmati keheningan, secangkir kopi hangat, dan suara hujan yang menenangkan hati. Namun, hari itu, suasana kedai terasa sedikit berbeda. Ada kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Hujan, yang biasanya membuatnya merasa lebih tenang, kini malah membawa rasa cemas yang tak dapat dijelaskan.

Rani menatap layar ponselnya dengan frustasi, mencoba menghubungi klien yang selalu sulit dihubungi. Namun, tak ada jawaban. Pekerjaan yang semula tampak mudah kini menjadi semakin rumit, dan hari itu, segala sesuatunya terasa begitu berat baginya. Beberapa bulan terakhir, ia merasa seperti berjalan tanpa arah, seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, sesuatu yang dulu membuatnya merasa hidup.

Saat itu, pintu kedai kopi terbuka, dan seorang pria muda masuk, basah kuyup oleh hujan. Arka, seorang fotografer lepas yang kebetulan baru saja selesai menghadiri sebuah acara, melangkah masuk dengan membawa payung yang telah terbalik akibat angin kencang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menghilangkan tetesan air yang mengalir deras di rambut dan pakaiannya.

“Maafkan saya, apakah saya boleh duduk di sini?” Arka bertanya dengan suara yang penuh keraguan, namun tetap terdengar ramah. Ia memandang Rani yang duduk di meja dekat jendela. Rani mengangguk pelan, memberi izin tanpa berkata apa-apa. Sejujurnya, ia tidak begitu ingin diganggu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya enggan untuk menolaknya.

Arka mendekati meja, meletakkan tas kamera yang digendongnya dengan hati-hati, lalu duduk di kursi yang ada di hadapannya. Ia tidak langsung berbicara, hanya menatap cangkir kopi yang ada di meja Rani. Dalam diam, keduanya terjebak dalam suasana yang tidak biasa. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya suara hujan yang semakin keras, bersanding dengan musik instrumental lembut yang mengalun dari speaker kecil di pojok ruangan.

Rani kembali menatap ke luar jendela, namun pikirannya melayang jauh. Arka, yang merasa sedikit canggung, akhirnya membuka suara.

“Cuaca memang tidak bisa ditebak, ya?” ujarnya ringan, berusaha memulai percakapan. “Tadi pagi, saya kira akan cerah, tapi tiba-tiba saja hujan datang begitu saja.”

Rani menoleh sekilas, memberikan senyuman kecil sebagai balasan. “Iya, benar. Seperti hidup ini, kadang kita tidak tahu apa yang akan datang. Semuanya bisa berubah begitu cepat.” Rani tertawa pelan, suara tawanya terdengar lebih pahit daripada yang ia harapkan.

Arka mengangguk, merasa ada sesuatu yang berbeda dengan perempuan ini. Meskipun ia baru saja bertemu, ada sesuatu yang terasa familiar dalam pandangan matanya. Namun, ia tidak ingin memaksakan suasana, dan memilih untuk duduk diam. Beberapa saat kemudian, pelayan datang membawa secangkir kopi panas untuk Arka, yang kemudian menyapunya perlahan dengan sesekali menatap Rani.

Mereka kembali terdiam, namun ketenangan ini tidak terasa canggung. Hujan di luar semakin deras, seakan memecah kesunyian mereka. Waktu terasa berjalan lambat, dan dalam kesunyian itu, keduanya merasakan kenyamanan yang tidak bisa dijelaskan. Rani, yang biasanya tidak suka diganggu, merasa anehnya tenang berada di ruang yang sama dengan Arka. Ia merasa ada sebuah koneksi yang entah mengapa begitu kuat, meskipun mereka baru saja bertemu.

“Apakah kamu sering ke sini?” tanya Arka, memecah keheningan yang mulai terasa nyaman.

Rani mengangkat alisnya. “Terkadang. Tempat ini cukup tenang. Saya suka datang ke sini ketika butuh waktu untuk diri sendiri.”

Arka tersenyum. “Saya juga begitu. Kedai kopi ini sudah menjadi tempat favorit saya sejak beberapa tahun lalu. Rasanya seperti tempat di mana dunia bisa berhenti sejenak, memberi ruang untuk berpikir.”

Rani mengangguk, meresapi kata-kata Arka. Ada semacam kesamaan dalam pemikiran mereka, meskipun mereka berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Rani merasa seperti ada yang menyentuh sisi terdalam dirinya, sesuatu yang sudah lama terkubur.

Hujan masih turun dengan deras, dan waktu berlalu tanpa terasa. Rani dan Arka berbicara lebih banyak, mengungkapkan beberapa hal pribadi yang tidak pernah mereka ceritakan kepada siapa pun. Bagi Rani, pertemuan ini terasa seperti sebuah pelarian dari rutinitas yang menjemukan. Baginya, pertemuan ini tidak hanya sekadar kebetulan—mungkin ini adalah titik balik yang selama ini ia cari, namun belum sadar. Sebuah pertemuan yang tak terduga, namun begitu menggugah hati.

Namun, ketika jam menunjukkan waktu yang cukup larut, keduanya saling berpisah dengan senyuman kecil. Tidak ada janji untuk bertemu lagi, hanya sebuah perasaan yang mengendap di dalam hati mereka. Rani keluar dari kedai dengan langkah ringan, sementara Arka masih duduk sejenak menikmati kopinya. Hujan di luar masih mengguyur, namun entah mengapa, perasaan mereka yang terpisah oleh hujan seakan tetap menyatu dalam senandika yang tak terucapkan.

Mereka berjalan pulang dengan langkah yang berbeda, namun pertemuan itu akan tetap ada di dalam ingatan mereka. Sebuah pertemuan yang terlupakan, namun meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja. Hujan mungkin akan berhenti, tetapi kenangan ini akan selalu hidup.*

Bab 2: Hujan yang Menyimpan Kenangan

Hujan kembali turun di kota itu, lebih deras daripada sebelumnya. Rani duduk di balkon apartemennya, menatap ke luar jendela dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Setiap tetesan hujan yang jatuh seolah membawa kembali kenangan-kenangan yang telah lama terkubur dalam hatinya. Hari itu, hujan bukan hanya menyegarkan, tetapi juga memunculkan perasaan yang sudah ia coba lupakan.

Semenjak pertemuannya dengan Arka di kedai kopi beberapa hari yang lalu, Rani merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sebuah perasaan aneh yang mulai tumbuh, meski ia tidak menginginkannya. Suara hujan yang menenangkan seolah mengingatkannya pada masa lalu—masa yang penuh dengan cinta dan kehilangan.

Rani menghela napas panjang. Ketika hujan turun, ia selalu teringat pada sosok yang pernah mengisi hidupnya. Dimas, lelaki yang dulu ia cintai. Kenangan tentang Dimas selalu hadir ketika hujan datang, mengingatkan pada hari-hari indah yang mereka lewati bersama. Rani masih ingat bagaimana mereka sering berjalan di bawah hujan, saling berbagi payung dan tertawa tanpa beban. Hujan saat itu selalu terasa seperti hadiah dari langit, membasahi mereka dengan kebahagiaan yang tulus.

Namun, waktu tak selalu berjalan sesuai harapan. Dimas, yang dulu begitu penuh gairah dan cinta, kini menjadi bagian dari masa lalu yang sulit ia lupakan. Mereka terpisah karena sebuah perbedaan yang tak terjembatani, dan Rani merasa seolah hujan yang mengikat mereka juga menjadi pengingat akan segala kesedihan yang datang setelahnya. Hujan yang dulu menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka, kini hanya mengingatkan pada perasaan yang telah hilang.

Dengan pandangan yang kosong, Rani teringat pada percakapan terakhirnya dengan Dimas, tepat sebelum hubungan mereka berakhir. Saat itu, hujan juga turun dengan deras, seakan alam pun ikut merasakan kesedihan mereka. Dimas, dengan wajah yang penuh penyesalan, berkata, “Rani, kadang kita harus melepaskan apa yang kita cintai untuk bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.”

Kata-kata itu masih terngiang di telinganya, seakan-akan Dimas mengucapkannya baru kemarin. Rani tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir, karena ia tahu, meskipun ia berusaha keras untuk melupakan, kenangan itu selalu datang saat hujan turun. Seakan hujan adalah pengingat yang tak pernah mau pergi.

Namun, di tengah-tengah kesedihan itu, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Pertemuan dengan Arka beberapa hari yang lalu. Sosok yang tak sengaja memasuki hidupnya, namun seolah membawa angin segar yang mulai mengusir sebagian awan kelam yang membayangi pikirannya. Rani tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tetapi setiap kali memikirkan Arka, ada rasa hangat yang menyebar di dadanya. Tidak seperti Dimas, Arka adalah sosok yang terasa baru dan belum tercemar oleh masa lalu.

Apakah mungkin Rani sedang jatuh cinta lagi? Atau apakah ia hanya mencari pelarian dari kesedihannya yang tak kunjung usai? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir dalam benaknya, namun ia tidak memiliki jawaban yang pasti.

Hari itu, saat hujan semakin deras, Rani memutuskan untuk keluar dan berjalan kaki. Ia ingin merasakan hujan menyentuh kulitnya, berharap bisa membersihkan segala perasaan yang mengganggu. Dengan jaket tebal yang menutupi tubuhnya, ia melangkah keluar dari apartemennya, membiarkan hujan membasahi wajahnya, meskipun ia tahu tubuhnya akan kedinginan.

Tak lama setelah Rani mulai berjalan, ia tiba-tiba mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Rani menoleh dan terkejut ketika melihat sosok yang tidak asing baginya. Arka. Tanpa sengaja, mereka bertemu lagi di tengah hujan. Arka tersenyum lebar, seolah tak ada yang menghalangi kebahagiaannya meskipun hujan deras mengguyur mereka.

“Kamu suka hujan juga, ya?” tanya Arka dengan nada yang ceria, seolah tidak peduli dengan air yang membasahi dirinya.

Rani hanya tersenyum tipis, merasa agak canggung. “Terkadang,” jawabnya singkat. “Tapi hujan ini mengingatkan saya pada banyak hal.”

Arka mengangguk, seolah mengerti. “Kadang, hujan memang bisa membawa kenangan, baik yang indah maupun yang menyakitkan,” katanya pelan, namun penuh makna.

Rani terdiam. Terkadang, kata-kata orang lain bisa sangat tepat menggambarkan perasaannya tanpa ia sadari. Arka tampaknya tahu bahwa hujan itu bukan sekadar cuaca, melainkan simbol dari apa yang tengah ia rasakan. Mereka berjalan berdampingan tanpa banyak bicara, hanya menikmati kebersamaan yang tanpa tekanan.

Rani merasa ada sesuatu yang berbeda dari Arka. Dia tidak seperti Dimas, yang pernah mengisi hidupnya dengan segala kompleksitas dan kepedihan. Arka, dengan kehadirannya yang sederhana, seakan memberikan ruang untuk Rani melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Tidak ada keinginan untuk memaksakan hubungan, hanya saling menghargai dan berbagi ruang dalam heningnya hujan.

Ketika mereka sampai di ujung jalan, Arka berhenti dan menatap Rani dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. “Rani, kamu tahu bahwa hujan kadang-kadang datang bukan hanya untuk menghapus segala kesedihan, tapi juga untuk memberi kesempatan pada hidup untuk mulai lagi, kan?”

Rani menatap Arka, tersentuh oleh kata-kata itu. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa, mungkin, Arka bisa menjadi bagian dari babak baru dalam hidupnya. Sebuah perjalanan yang dimulai dari hujan yang sama, tetapi dengan harapan yang berbeda.

Hujan masih terus turun, dan saat itu, Rani merasa bahwa, meskipun masa lalunya tak akan pernah benar-benar hilang, mungkin saja ada ruang untuk memulai yang baru. Mungkin hujan ini tidak hanya membawa kenangan, tetapi juga membawa kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang telah lama ia lupakan.*

Bab 3: Dalam Sepi, Suara Hujan Mengisi

Malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Suara tetesan air yang jatuh dari langit menyentuh atap rumah dan dinding-dinding kaca, mengisi ruang dengan irama yang menenangkan, namun juga melankolis. Rani duduk di samping jendela apartemennya, menatap ke luar, memandang langit yang gelap seolah menelan semua warna yang ada. Sinar lampu jalanan yang memantul di genangan air di trotoar memberi kesan suram pada malam yang tampaknya tak akan berakhir.

Hujan selalu membuat Rani merasa seperti sedang berada di tengah-tengah dunia yang asing, sepi, dan penuh dengan kenangan. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa, tetapi setiap kali hujan datang, seolah ada sesuatu yang terbangun dalam dirinya—sesuatu yang tak dapat ia kendalikan. Seakan hujan membawa kembali potongan-potongan masa lalu yang sudah lama terkubur dalam pikirannya.

Saat-saat seperti inilah, Rani merasa terperangkap dalam kesendirian. Meskipun ia hidup di tengah kota yang sibuk, entah mengapa, perasaan kesepian kerap datang begitu saja. Tidak ada yang bisa ia ajak bicara, tak ada teman yang bisa ia ajak berbagi cerita. Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan teman-teman dekatnya pun terasa begitu jauh belakangan ini. Begitu banyak hal yang terjadi dalam hidupnya, namun semuanya seolah terbungkus dalam kabut ketidakpastian.

Rani mengalihkan pandangannya dari luar jendela dan melihat secangkir kopi yang ada di meja sampingnya. Aromanya menguar, membawa rasa nyaman dalam keheningan. Ia membiarkan jari-jarinya memegang gelas itu, merasakan kehangatannya yang menyusup ke dalam kulitnya yang dingin. Kopi—teman setia yang selalu ada dalam setiap kesendirian. Ia tidak tahu sejak kapan kopi menjadi satu-satunya pelipur laranya, tetapi setiap kali menyesapnya, seolah ada sedikit ketenangan yang mengalir ke dalam dirinya.

“Kenapa hidup terasa sepi seperti ini?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Hujan yang terus mengguyur luar sana hanya memberikan jawaban dalam bentuk suara—desir hujan yang jatuh dengan ritme yang menenangkan namun penuh kesendirian.

Pikirannya kembali terbang ke beberapa hari yang lalu, ketika ia bertemu dengan Arka di kedai kopi itu. Pertemuan yang terasa begitu biasa, namun ternyata membawa dampak yang luar biasa dalam hidupnya. Ia ingat bagaimana Arka dengan senyumannya yang hangat mengajaknya berbicara tentang hal-hal sederhana, tentang hidup, tentang mimpi-mimpi yang tak terwujud, dan tentang hujan yang seolah punya cara untuk menyembuhkan.

“Kenapa kamu selalu sendiri?” pertanyaan Arka yang tiba-tiba itu masih terngiang di telinganya. Rani terkejut saat itu, merasa seolah-olah Arka bisa membaca pikirannya. Sejak saat itu, perasaan aneh mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang sulit ia jelaskan. Apakah ini hanya sekadar rasa tertarik, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam? Perasaan itu terasa begitu asing, tetapi juga seperti membawa angin segar yang perlahan mulai mengusir ketakutan dalam dirinya.

Namun, dalam sepi malam seperti ini, Rani merasakan ketegangan di dadanya. Ia merasa ada jarak yang tak bisa diabaikan. Betapa pun ia ingin terbuka dan berbicara dengan Arka, ada bagian dari dirinya yang merasa takut. Takut untuk mengenal lebih jauh, takut untuk membuka diri kembali setelah lama mengunci hati.

“Tapi, kenapa perasaan ini muncul?” Rani bertanya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang tak henti-hentinya.

Rani tahu jawabannya. Ia merasa takut karena cinta pernah mengecewakan. Ia pernah mencintai dengan sepenuh hati, pernah merasa begitu yakin dengan kebahagiaan yang dimiliki. Tetapi pada akhirnya, semuanya hilang begitu saja, dan yang tersisa hanya perasaan sakit dan kehilangan. Hujan, yang dulunya menjadi saksi bisu kebahagiaan, kini menjadi pengingat akan luka yang tak kunjung sembuh.

Namun, Arka… Arka berbeda. Setidaknya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan dalam pertemuan mereka. Mungkin ini bukan tentang cinta yang harus ia takutkan, tetapi tentang keberanian untuk membuka diri, meskipun masa lalu terus membayangi.

Dalam keheningan itu, Rani meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia membuka kontak dan melihat nama Arka tertera di layar. Sebuah pesan yang ia kirimkan beberapa hari yang lalu belum dibalas. Rani merasa sedikit cemas, tetapi ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu, Arka tidak akan pergi begitu saja. Namun, ada ketidakpastian yang selalu menggelayuti hatinya.

Sekali lagi, Rani menatap keluar jendela. Hujan masih turun deras, membasahi setiap sudut kota yang sepi. Ia menghela napas dalam, merasa berat hati. Dalam keheningan malam ini, suara hujan mengisi ruang kosong yang ada di hatinya.

“Apakah aku siap untuk membuka hati lagi?” tanya Rani pada dirinya sendiri, meski ia tahu, mungkin itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab.

Kedatangan Arka dalam hidupnya adalah sebuah titik awal. Namun, seperti halnya hujan yang datang dan pergi, perasaan itu pun belum tentu bertahan selamanya. Rani tahu, perjalanan ini belum selesai. Hujan masih akan terus turun, dan ia harus memutuskan apakah ia akan membiarkan dirinya basah, ataukah mencari perlindungan di bawah payung yang baru.

Malam itu, Rani menutup mata, membiarkan suara hujan mengalun, dan berusaha untuk menerima kenyataan—bahwa dalam sepi, hujan adalah suara yang mengingatkannya pada cinta, kehilangan, dan kemungkinan baru yang masih terbuka.*

Bab 4: Perasaan yang Tak Terucapkan

Rani menatap layar ponselnya dengan cemas. Di sana tertera nama Arka, namun tidak ada satu pun pesan yang datang sejak percakapan terakhir mereka di kedai kopi minggu lalu. Meskipun ia tahu bahwa mungkin Arka sedang sibuk dengan kehidupannya, hati Rani tetap merasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya, perasaan yang tak bisa dijelaskan, dan semakin lama semakin menguat.

Hari-hari berlalu dengan keheningan yang semakin menekan. Rani mencoba untuk fokus pada pekerjaan di kantor, namun pikirannya selalu kembali ke Arka, pada pertemuan mereka yang singkat namun meninggalkan bekas yang begitu dalam. Setiap kali hujan turun, pikirannya akan melayang pada senyum Arka yang hangat, suara tawa ringan yang mereka bagi, dan perasaan nyaman yang muncul meskipun mereka baru saling mengenal.

Tetapi, ada sesuatu yang membuatnya ragu. Perasaan itu terlalu baru, terlalu asing. Rani tidak tahu apakah ia siap untuk kembali merasakan cinta setelah lama menutup hatinya. Masih teringat jelas rasa sakit yang ia rasakan saat hubungan sebelumnya berakhir dengan cara yang menyakitkan. Ia masih belum sepenuhnya pulih dari luka itu, dan kini, perasaan yang datang begitu tiba-tiba membuatnya merasa terombang-ambing.

“Apa aku harus menghubunginya?” tanya Rani pada dirinya sendiri, duduk di bangku taman sambil memandangi pemandangan hujan yang turun dengan perlahan. Ia tahu, jika ia mengirim pesan, itu akan membuka jalan untuk sebuah percakapan yang mungkin saja lebih mendalam—sesuatu yang ia takuti sekaligus dambakan.

Namun, ada rasa ragu yang membelenggunya. Perasaan yang tumbuh itu begitu intens, namun entah mengapa ia merasa seperti ada tembok yang menghalangi dirinya untuk mengungkapkan apa yang ada di hati. Rani lebih memilih untuk menekan perasaannya, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun di dalam dirinya, perasaan itu semakin bertambah besar.

Di sisi lain, Arka juga merasakan hal yang sama. Ia mengamati pesan terakhir dari Rani yang belum ia balas. Sesungguhnya, Arka ingin menghubungi Rani lebih dulu, tetapi ia merasa takut jika perasaan itu terlalu terburu-buru, atau mungkin Rani tidak merasakan hal yang sama. Arka tahu betul bagaimana rasanya mencintai tanpa ada kepastian, dan ia tidak ingin Rani merasa tertekan atau terbebani oleh perasaannya.

Hujan yang turun setiap hari seolah menjadi saksi bisu bagi perasaan yang saling terkunci di dalam hati mereka. Setiap tetes hujan yang jatuh seakan menambah beban yang mereka bawa. Keduanya diam, menunggu langkah pertama yang sepertinya sulit diambil.

Pagi yang cerah tiba, dan Rani memutuskan untuk pergi ke kafe tempat pertama kali ia bertemu dengan Arka. Suasana kafe itu selalu memberi ketenangan, aroma kopi yang menyegarkan, dan irama musik lembut yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Rani duduk di meja yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu, menunggu secangkir kopi yang dipesannya, sambil merenung.

“Apakah aku akan bertemu Arka di sini?” Rani bertanya pada dirinya sendiri. Meskipun ia tidak ingin terlalu berharap, ada sesuatu dalam dirinya yang berharap bahwa takdir akan mempertemukan mereka lagi di tempat ini, seperti sebuah pertanda.

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka, dan seorang pria masuk, basah kuyup karena hujan yang turun begitu deras. Rani menoleh, dan hatinya berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk. Itu Arka. Tanpa berpikir panjang, ia tersenyum dan melambai. Arka melihatnya dan membalas dengan senyuman hangat, berjalan ke arah meja Rani dengan langkah yang sedikit ragu.

“Rani,” kata Arka dengan suara yang lembut, seakan mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Maaf, aku baru bisa datang sekarang. Hujan di luar…”

Tak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut, karena Rani sudah bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Ada banyak hal yang ingin mereka ungkapkan, namun tidak ada satu pun kata yang terucap. Hanya suasana yang terasa nyaman dan sedikit canggung.

Setelah beberapa saat, mereka duduk bersama. Hujan masih terdengar di luar, dan kopi hangat yang mereka pesan sudah di depan mereka, mengisi keheningan yang sempat mengganggu.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” tanya Arka dengan nada santai, mencoba membuka percakapan.

Rani mengangguk. “Baik-baik saja. Kerja, seperti biasa. Tapi, ada banyak hal yang… aku pikirkan belakangan ini.”

Arka tersenyum, mencoba untuk tidak terkesan terlalu terburu-buru. “Aku juga begitu. Aku rasa kita sama-sama memikirkan hal yang sama, kan?”

Rani terdiam sejenak, kemudian menatap Arka. Ada kekhawatiran di matanya, namun juga harapan yang tak bisa disembunyikan. “Aku merasa… aku tidak tahu harus bagaimana,” ujarnya pelan. “Perasaan ini… datang begitu saja, dan aku tidak tahu apakah aku siap.”

Arka menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku mengerti,” jawabnya, suaranya lembut. “Kadang, perasaan memang datang begitu saja, tanpa bisa kita kendalikan. Tapi aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani. Jika kamu merasa ragu, aku akan menunggu. Aku tidak ingin memaksamu.”

Rani tertegun mendengar kata-kata Arka. Tidak ada paksaan, hanya pengertian dan kehangatan yang tiba-tiba membuat hatinya terasa lebih ringan. Mungkin, inilah yang ia butuhkan—seseorang yang tidak terburu-buru, yang tidak menuntut apapun, tetapi bisa memberikan ruang untuknya untuk merasa nyaman.

“Terima kasih,” ujar Rani dengan senyum kecil. “Aku rasa, aku masih perlu waktu untuk memahami perasaan ini. Tapi, aku senang kamu di sini.”

Hujan di luar semakin deras, namun bagi Rani, suasana di dalam kafe ini terasa seperti tempat yang hangat. Mungkin, perjalanan ini memang akan penuh dengan ketidakpastian, tetapi satu hal yang pasti—perasaan itu ada, dan Rani tidak lagi merasa sendirian.

Di antara percakapan yang sederhana, mereka berdua mulai membuka hati. Meski perasaan itu masih belum terucapkan sepenuhnya, ada ikatan yang terbentuk—ikatan yang mungkin akan membawa mereka pada suatu akhir yang indah, meskipun belum ada kata pasti tentang itu. Yang terpenting adalah, perasaan yang terpendam ini mulai menemukan jalannya untuk diungkapkan, perlahan namun pasti.*

Bab 5: Tetes-Tetes Hujan yang Menghanyutkan

Hujan masih turun dengan derasnya, mengisi malam yang sepi dengan suara berirama yang menenangkan. Rani duduk di balkon apartemennya, memandangi tetes-tetes air yang jatuh dari atap, lalu mengalir ke saluran pembuangan. Pikirannya seakan hanyut bersamaan dengan hujan, menyusuri setiap kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Hujan yang tak henti-hentinya turun menjadi saksi bisu bagi ketidakpastian yang kini menghantui hatinya.

Malam itu, setelah pertemuannya dengan Arka di kafe, Rani merasa perasaannya semakin rumit. Ada rasa yang sulit dijelaskan—antara rindu yang belum selesai dan ketakutan akan terluka lagi. Pertemuan itu memang penuh dengan kehangatan, tetapi juga meninggalkan banyak pertanyaan tanpa jawaban. Arka tidak memaksanya untuk menjelaskan semuanya, namun Rani tahu bahwa perasaan yang mulai tumbuh antara mereka terlalu dalam untuk diabaikan.

Tetes hujan itu semakin deras, seperti perasaan yang terus mengalir di dalam hatinya.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Beberapa kali, Arka mengirimkan pesan singkat, menanyakan apakah Rani baik-baik saja, tetapi Rani tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bagaimana bisa ia menjelaskan perasaan yang bertaut antara keraguan dan keinginan untuk mencintai? Ia takut, sangat takut jika membuka hati untuk seseorang lagi hanya akan berakhir dengan patah hati yang sama seperti sebelumnya.

“Kenapa perasaan ini begitu rumit?” pikirnya dalam hati, sambil menatap kosong ke luar jendela. Hujan itu hampir selalu membawa perasaan campur aduk. Rani merasa seperti ada sesuatu yang tertahan di dadanya, menunggu untuk bisa dikeluarkan. Namun, ia takut jika melepaskannya, ia akan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

Hujan malam itu membawa Rani pada sebuah kenangan—kenangan tentang masa lalu yang tidak pernah benar-benar terlupakan. Tetes-tetes air yang jatuh dari langit mengingatkannya pada saat-saat itu, saat dirinya terjebak dalam rasa sakit dan kekecewaan. Saat hujan turun, ia merasa lebih mudah merasakan kesedihan yang mengendap begitu lama. Air mata yang menetes, seolah menjadi bagian dari hujan yang turun.

Beberapa tahun yang lalu, Rani pernah berada dalam hubungan yang penuh harapan. Ia dan Dimas, kekasihnya kala itu, telah bersama selama tiga tahun. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang impian-impian yang ingin dicapai bersama. Namun, seperti hujan yang tak terduga, segala sesuatu berubah dalam sekejap. Dimas tiba-tiba menghilang, tanpa memberi penjelasan apapun. Rani merasa terhempas, kehilangan arah, dan patah hati. Hujan yang turun pada malam itu seperti sebuah pertanda, sebuah pengingat betapa rapuhnya perasaan manusia.

“Aku takut,” Rani berbisik pada dirinya sendiri, suara lirihnya hampir tenggelam oleh suara hujan. “Takut akan jatuh cinta lagi, takut akan terluka lagi.”

Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Perasaan yang muncul antara dirinya dan Arka terasa lebih ringan, tidak seperti perasaan yang dulu pernah ia rasakan. Arka tidak memaksanya, ia memberikan ruang dan waktu untuk Rani untuk memahami perasaannya. Ada ketulusan dalam sikap Arka, sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, namun sangat terasa di hati. Dan meskipun Rani merasa ragu, ada keinginan dalam dirinya untuk memberi kesempatan lagi pada cinta. Namun, keraguan itu tetap menyelimuti hatinya.

“Hujan ini membuatku merasa seperti terjebak di dalam diri sendiri,” Rani bergumam. “Aku ingin keluar, merasakan kebebasan, tetapi setiap kali aku ingin melangkah maju, hujan selalu mengingatkanku pada rasa takut yang tak kunjung pergi.”

Sambil terdiam, ia menutup matanya, membiarkan tetes hujan itu mengalir dalam pikirannya. Ia berpikir tentang keputusan yang harus ia ambil. Menerima Arka, membuka hatinya, atau tetap terkurung dalam ketakutan dan masa lalunya yang pahit? Rani tidak tahu apa yang harus ia pilih, dan itu membuatnya semakin bingung.

Namun, satu hal yang jelas—Rani tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Hujan mungkin membawa kenangan, tetapi itu juga membawa kesempatan untuk membersihkan segala sesuatu yang kotor, memberi ruang bagi hal-hal baru yang lebih baik. Seperti tanah yang subur setelah hujan, hati yang terluka pun bisa sembuh jika diberi waktu dan kesempatan untuk pulih.

“Tak ada salahnya memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bahagia,” Rani berkata pelan pada dirinya sendiri. “Aku harus belajar untuk mempercayai lagi.”

Tiba-tiba, suara pesan masuk di ponselnya memecah keheningan. Rani membuka pesan itu, dan hatinya berdebar saat melihat nama Arka muncul di layar. Pesan singkat itu berbunyi:

“Rani, aku tahu kita sedang melalui banyak hal, tapi aku ingin kau tahu, aku di sini jika kau butuh bicara. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja.”

Rani menatap pesan itu lama sekali, seolah kata-kata itu membuka jalan bagi sesuatu yang lebih. Ada kehangatan yang mengalir dalam dirinya, sedikit demi sedikit menggantikan rasa takut yang selama ini menghalangi. Arka tidak menuntut apapun, hanya menawarkan dirinya sebagai tempat untuk berbagi.

Dengan jari yang sedikit gemetar, Rani mulai mengetik balasan.

“Terima kasih, Arka. Aku rasa aku butuh waktu, tapi aku ingin memberi kesempatan pada perasaan ini. Aku akan siap ketika saatnya tiba.”

Setelah mengirimkan pesan, Rani merasa seolah beban yang ada di hatinya sedikit terangkat. Hujan yang terus turun bukan lagi sesuatu yang menekan, melainkan menjadi bagian dari proses penyembuhan. Rani tahu bahwa meskipun ia tak bisa menghapus masa lalu begitu saja, ia masih memiliki kesempatan untuk melangkah maju.

Kembali ke balkon, ia menatap hujan dengan pandangan yang lebih tenang. Tetes hujan yang jatuh itu tidak lagi menjadi simbol kesedihan, tetapi menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Setiap tetes hujan adalah bagian dari proses, sebuah langkah menuju kebahagiaan yang perlahan-lahan mulai terlihat.

Malam itu, Rani merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun perjalanan ini tidak mudah, ia tidak sendirian. Ada Arka di sana, memberi dukungan tanpa paksaan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rani merasa bahwa hatinya yang terkunci perlahan mulai membuka kembali.*

Bab 6: Mengungkapkan yang Tersembunyi

Hujan telah berhenti sejak beberapa jam yang lalu, meninggalkan udara yang segar dan menenangkan di malam itu. Rani duduk di kursinya, menatap layar ponsel yang masih terbuka. Ia sudah menulis pesan balasan untuk Arka beberapa kali, tetapi setiap kali jari-jarinya hendak mengetik, ada rasa ragu yang menghentikan gerakan itu. Bagaimana bisa ia mengungkapkan perasaan yang begitu kompleks dengan kata-kata yang sederhana? Apa yang harus ia katakan tanpa membuat semuanya menjadi canggung?

Rani menarik napas panjang, mengusap wajahnya dengan lembut, mencoba menenangkan pikirannya. Ia sadar, sudah terlalu lama ia menyimpan segala perasaan ini sendirian. Hujan tadi malam, suara yang menenangkan itu, seakan memanggilnya untuk membuka diri. Seolah memberi tanda bahwa waktunya untuk berbicara, mengungkapkan apa yang sudah lama tertahan, telah tiba.

Ia membuka kembali pesan dari Arka yang masih tertera di layar ponselnya, “Rani, aku tahu kita sedang melalui banyak hal, tapi aku ingin kau tahu, aku di sini jika kau butuh bicara. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja.” Pesan itu terasa seperti sebuah jembatan yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar yang selama ini terasa jauh. Arka tidak memaksanya, ia hanya memberi ruang, menawarkan kenyamanan tanpa syarat. Itulah yang membuat Rani merasa tenang, meskipun hatinya penuh dengan kebingungannya.

Rani mengingat kembali malam yang mereka habiskan bersama di kafe itu. Percakapan mereka mengalir begitu alami, tanpa beban. Ada perasaan yang sulit dijelaskan—sesuatu yang hangat dan akrab, meskipun belum sepenuhnya diungkapkan. Ketika Arka menatapnya dengan penuh perhatian, Rani merasa seperti ada sesuatu yang mendalam di balik mata pria itu. Tapi, meskipun ia merasakan hal itu, ia masih ragu. Hatinya belum sepenuhnya siap untuk percaya lagi.

“Apakah aku siap untuk ini?” tanya Rani pada dirinya sendiri. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap gelapnya malam yang mulai menyelimuti kota. Seiring dengan itu, kenangan tentang Dimas kembali muncul. Dimas, pria yang pernah berjanji untuk selalu ada, tetapi akhirnya memilih pergi tanpa kata. Hati Rani terluka, dan ia berjanji untuk tidak mudah jatuh cinta lagi. Namun, sekarang, perasaan yang sama itu mulai tumbuh kembali. Cinta? Atau hanya harapan semu?

Rani menekan ponselnya lebih erat, merasakan getarannya. Itu adalah sebuah panggilan dari Arka. Entah kenapa, saat itu Rani merasa gugup. Apakah ini saatnya untuk berbicara? Apakah ia sudah siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam hatinya?

Setelah beberapa detik ragu, Rani menjawab panggilan itu.

“Halo?” suaranya terdengar sedikit goyah, meskipun ia mencoba untuk terdengar santai.

“Halo, Rani,” suara Arka terdengar lembut dan penuh perhatian. “Aku tahu kamu mungkin butuh waktu, dan aku menghargai itu. Tapi, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku tidak terburu-buru. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman.”

Rani menggigit bibirnya, menahan perasaan yang mulai muncul. Kata-kata Arka itu seperti pisau yang perlahan mengiris hatinya, membuka bagian yang selama ini terkunci rapat. Dalam kata-katanya, Rani bisa merasakan ketulusan dan kesabaran yang sulit didapatkan dari orang lain. Arka tidak memaksanya, tidak menjadikannya sebagai objek dari perasaan, tetapi memberinya ruang untuk bernafas. Itu adalah sesuatu yang Rani butuhkan, sesuatu yang telah lama hilang.

“Aku… aku hanya takut,” suara Rani bergetar sedikit. “Takut jika aku membuka hatiku lagi, aku akan terluka. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”

Arka terdiam sejenak, dan Rani bisa mendengar suara napas pria itu yang sedikit terhalang. Kemudian, dengan penuh pengertian, Arka berkata, “Aku mengerti, Rani. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk melakukan apa pun. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini, dan aku siap menunggu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu merasa sendirian.”

Rani terdiam, perasaan yang bercampur aduk membuatnya kesulitan untuk berbicara lebih lanjut. Ada ketenangan dalam kata-kata Arka, tetapi juga sebuah rasa sakit yang mengingatkannya pada semua kekecewaan yang telah ia alami. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rani merasa seolah ada seseorang yang benar-benar mendengarkan dan memahami dirinya.

“Terima kasih, Arka,” jawabnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku hanya perlu waktu.”

“Tak masalah,” kata Arka dengan lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan ada di sini, tidak peduli seberapa lama waktu yang kamu butuhkan.”

Rani menutup mata sejenak, meresapi kata-kata Arka. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, ia merasakan sebuah kehangatan yang tulus, jauh dari perasaan ragu dan ketakutan yang selama ini membelenggunya. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa memberi kesempatan pada perasaan ini untuk tumbuh, tanpa terburu-buru dan tanpa rasa takut yang menghalangi.

Setelah beberapa detik hening, Rani akhirnya berkata, “Aku… aku rasa aku siap untuk mencoba, Arka.”

“Benarkah?” suara Arka penuh kegembiraan yang tertahan. “Aku akan menunggu saat itu, Rani. Aku janji.”

Malam itu, percakapan mereka berakhir dengan janji yang mengalir begitu alami, seperti hujan yang berhenti setelah menyiram bumi. Rani merasa lega, tetapi juga sedikit takut. Bagaimanapun, membuka hati untuk seseorang bukanlah hal yang mudah, terutama setelah sekian lama menutupnya rapat-rapat. Namun, ada harapan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya—harapan bahwa cinta tidak selalu harus berakhir dengan luka, dan bahwa ada orang yang bersedia menunggu tanpa mengharapkan apapun.

Rani meletakkan ponselnya di sampingnya, kemudian menatap bintang-bintang di langit yang mulai terlihat setelah hujan berhenti. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang indah yang sedang menunggu di ujung perjalanan hidupnya. Sebuah perjalanan yang mungkin baru saja dimulai.*

Bab 7: Hujan yang Membawa Keputusan

Hujan kembali turun, kali ini lebih deras daripada sebelumnya. Suara tetesan air yang mengenai atap rumah dan jalanan di luar terasa lebih menenangkan, namun juga lebih menggugah perasaan yang tersisa di hati Rani. Dingin dari luar tampak menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, sementara ia duduk termenung di ruang tamu, hanya ditemani secangkir kopi hangat. Waktu terasa berjalan lambat di saat-saat seperti ini, saat perasaan dan pikiran bercampur aduk, bertarung satu sama lain.

Rani melirik ponselnya yang tergeletak di meja, pesan-pesan yang belum terbalas, dan satu panggilan telepon dari Arka yang belum ia angkat. Ia sudah tahu sejak awal, ia tidak akan bisa menghindar dari perasaan ini selamanya. Hujan malam ini, seperti sebuah pertanda, seakan-akan memaksanya untuk menghadapi kenyataan yang sudah lama ia hindari.

Setelah beberapa saat, Rani memutuskan untuk membuka pesan yang ada di ponselnya. Pesan dari Arka baru saja datang beberapa menit yang lalu, “Rani, aku tahu kamu mungkin masih bingung. Aku hanya ingin memastikan, aku ada di sini kapan pun kamu siap.” Kata-kata itu terasa seperti jembatan yang menghubungkan dua dunia—dunia Arka yang penuh kesabaran dan perhatian, dan dunia Rani yang selama ini diliputi keraguan dan ketakutan.

Rani memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Semua ini terasa begitu rumit. Di satu sisi, ia tahu bahwa Arka adalah pria yang baik, penuh dengan kasih sayang dan pengertian. Namun di sisi lain, ada bayangan masa lalu yang masih menghantui setiap langkahnya, mengingatkan Rani pada luka yang tak kunjung sembuh. Luka itu bukan hanya karena perpisahan dengan Dimas, tetapi juga karena ketakutan akan kekecewaan yang datang tanpa diduga. Perasaan itu begitu dalam, dan begitu lama ia mencoba mengabaikannya. Namun sekarang, dengan Arka yang hadir, perasaan itu seperti ledakan yang tak bisa ditahan lagi.

“Aku sudah terlalu lama menunggu, Rani. Waktunya untuk membuat keputusan,” gumamnya dalam hati. Ia tahu, perasaan ini tidak bisa ia biarkan menggantung lebih lama. Ketakutan itu, meskipun masih ada, tidak bisa menghalangi langkahnya selamanya.

Rani meletakkan cangkir kopinya dan berjalan mendekati jendela, menatap hujan yang semakin deras. Setiap tetesan hujan yang jatuh ke tanah seperti sebuah irama yang mengingatkannya pada keputusan-keputusan kecil yang selama ini ia ambil dalam hidupnya. Hujan selalu mengingatkannya pada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri—bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, namun kita masih harus memilih arah yang ingin kita tuju. Keputusan, meskipun terkadang terasa menyakitkan, adalah bagian dari hidup yang harus dihadapi.

Ia mengingat kembali percakapan terakhir dengan Arka, bagaimana Arka selalu memberinya ruang untuk berbicara, bagaimana ia sabar mendengarkan, tanpa pernah menuntut apapun. Rani tahu, Arka bukanlah seseorang yang datang dengan janji-janji kosong. Ia hadir dengan ketulusan dan komitmen, menawarkan sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Namun, apakah itu cukup? Apakah ia siap untuk membuka hati lagi, setelah segala rasa sakit yang ia alami?

Rani menarik napas panjang dan menatap kembali pesan dari Arka. “Aku ada di sini kapan pun kamu siap.” Itu bukan hanya sekadar kata-kata kosong, Rani tahu. Arka tidak terburu-buru. Arka memberi ruang. Dan itulah yang Rani butuhkan saat ini—ruang untuk dirinya sendiri, untuk melangkah tanpa rasa takut.

Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi Arka. Ketika ponsel itu berdering, hatinya berdetak cepat. Tetapi kali ini, ia tidak lagi ragu. Ia tahu apa yang ingin ia katakan. Panggilan itu terhubung, dan suara Arka terdengar lembut di ujung sana.

“Halo, Arka,” suara Rani sedikit bergetar, namun kali ini ia merasa lebih tenang. “Aku… aku pikir aku sudah siap untuk bicara.”

Arka tidak langsung menjawab, tetapi Rani bisa merasakan senyum di balik suara pria itu. “Aku senang mendengarnya,” jawab Arka dengan suara yang hangat. “Aku sudah menunggu, Rani. Aku ingin kamu tahu, apapun yang kamu putuskan, aku akan mendukungmu.”

Rani menelan ludah, kata-kata itu membawa kelegaan yang tak terbayangkan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas. Bebas dari rasa takut yang selama ini mengikatnya, bebas untuk menjadi dirinya sendiri tanpa beban. “Aku… aku rasa aku siap untuk membuka hati, Arka,” katanya perlahan, namun penuh keyakinan.

Mendengar kata-kata itu, Arka tidak bisa menahan tawa kecil, yang terdengar penuh kebahagiaan. “Aku akan menunggu kamu, Rani. Kita bisa mulai dari sini. Aku ingin berusaha bersama-sama.”

Hujan di luar seakan semakin keras, tetapi Rani merasa ada kehangatan dalam dirinya. Keputusan yang ia ambil malam ini bukan hanya tentang membuka hati untuk Arka, tetapi juga tentang dirinya sendiri—tentang keberanian untuk melangkah maju, meskipun masa lalu masih membayang di kejauhan. Keputusan ini adalah sebuah pembebasan. Pembebasan dari ketakutan yang selama ini mengekangnya. Pembebasan untuk mencintai dan dicintai tanpa ragu.

“Aku juga ingin berusaha, Arka. Aku ingin melihat apa yang bisa kita buat bersama. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan,” jawab Rani dengan suara yang kini lebih mantap.

Percakapan mereka berlanjut, lebih ringan, lebih penuh harapan. Hujan di luar seakan merestui keputusan yang telah dibuat, membawa Rani dan Arka ke sebuah awal baru yang penuh kemungkinan. Tidak ada lagi keraguan, hanya ada dua hati yang siap saling memahami dan mencintai.

Saat Rani menutup telepon, ia menatap langit yang kini terlihat cerah meskipun hujan baru saja berhenti. Segala keputusan yang telah ia buat terasa seperti sebuah langkah kecil menuju masa depan yang lebih baik. Mungkin masih ada banyak tantangan yang akan datang, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rani merasa siap untuk menghadapinya—bersama Arka, di tengah hujan yang membawa keputusan penting dalam hidupnya.*

Bab 8: Menemukan Cahaya di Antara Hujan

Hujan yang turun sejak pagi masih belum juga berhenti. Langit kelabu, seolah menutupi segala harapan dan keinginan yang terpendam. Suara tetesan air yang jatuh menghantam permukaan tanah seolah menjadi lagu yang mengiringi perjalanan hati Rani. Meskipun udara terasa dingin, entah mengapa ada kehangatan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Sebuah kehangatan yang berbeda, seiring dengan perasaan yang semakin mantap dan percaya diri.

Hari itu, Rani memutuskan untuk keluar dari rutinitas yang selama ini membelenggunya. Ia ingin mencari jawaban, mencari arti yang lebih dalam dari semua perasaan yang telah lama ia simpan. Arka telah menunggu, dan Rani tahu bahwa kini saatnya untuk membuka hatinya sepenuhnya, tanpa rasa takut, tanpa keraguan.

Rani melangkah keluar dari rumahnya dengan mantel tebal yang melindunginya dari guyuran hujan. Langkahnya mantap, meskipun jalanan licin dan berlumpur. Hujan yang tak kunjung reda membuat suasana semakin sendu, namun Rani merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang menyala di dalam dirinya—sebuah tekad untuk melangkah maju, untuk tidak terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.

Di sebuah kedai kopi kecil yang ia datangi setiap kali hujan turun, Arka sudah menunggunya. Tak ada kata-kata yang terlalu besar, namun Rani bisa merasakan ketulusan dalam setiap tatapan Arka. Pria itu duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di depannya, matanya mengikuti gerak-gerik Rani yang perlahan mendekat.

“Rani, kau datang juga,” kata Arka dengan senyum yang menenangkan, seolah menyambut Rani dengan tangan terbuka. Ia berdiri, memberi ruang untuk Rani duduk di seberangnya. Wajah Arka tak lagi terlihat ragu, hanya ada ketenangan yang tak tergoyahkan.

Rani duduk, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Kopi yang baru saja disajikan mengeluarkan aroma yang begitu menggoda, menenangkan pikiran dan perasaan yang sempat terombang-ambing. Ia menatap Arka, mengamati pria yang selama ini menjadi pendengar setia, yang tidak pernah menuntut lebih dari apa yang bisa ia berikan.

“Aku… aku sudah memikirkan semua ini dengan baik, Arka,” kata Rani perlahan, suara sedikit bergetar namun penuh keyakinan. Ia tidak ingin ada lagi keraguan yang menghalangi dirinya untuk melangkah. “Aku tahu aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Aku tahu aku harus memilih. Dan aku ingin memilih untuk membuka hatiku.”

Arka mendengarkan dengan seksama, tanpa interupsi. Hujan yang terus turun di luar, seolah menjadi saksi bisu dari setiap kata yang terucap. Ketika Rani mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Arka, yang penuh dengan pengertian dan harapan. Tidak ada kata-kata besar, hanya keheningan yang terasa penuh makna.

“Rani,” Arka memulai, suaranya lembut namun jelas, “Aku selalu percaya bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk menemukan apa yang mereka cari. Dan aku bersyukur, waktu kita bertemu datang tepat pada saat yang aku harapkan. Aku akan menunggu, apapun yang terjadi. Jika kau siap, aku ingin berjalan bersamamu.”

Rani menghela napas panjang. Kata-kata itu membuat hatinya semakin tenang. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan bukan hanya kebingungan atau keraguan belaka. Ada rasa aman, ada rasa nyaman yang mengalir begitu saja. Tanpa sadar, ia tersenyum.

“Aku sudah siap, Arka,” jawab Rani dengan penuh keyakinan. “Aku siap untuk melangkah bersamamu, meskipun hujan tak kunjung reda.”

Arka tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Tangan yang hangat, yang seolah menawarkan segalanya tanpa pamrih. Rani tak ragu untuk meraihnya, dan saat jemari mereka bertautan, ia merasa seperti ada kekuatan yang mengalir melalui keduanya. Hujan di luar tidak lagi terasa seperti penghalang, melainkan bagian dari perjalanan mereka yang semakin jelas. Rani merasa, untuk pertama kalinya, ia benar-benar menemukan sesuatu yang berharga.

Mereka berbincang, tertawa, dan saling bertukar cerita. Tidak ada beban, hanya kebersamaan yang tulus. Hujan yang terus mengguyur luar kedai kopi hanya memperkuat kedekatan mereka. Setiap tetesnya membawa kedamaian, membawa harapan. Rani merasa seperti ada sesuatu yang terlepas dari dirinya—sebuah beban yang selama ini ia bawa tanpa tahu bagaimana cara melepaskannya.

Hujan malam itu bukan lagi sebuah simbol dari kesedihan atau penyesalan. Ia menjadi lambang dari kebaruan, dari peluang yang tak terhingga. Ketika Rani keluar dari kedai kopi, bersama Arka yang berjalan di sampingnya, ia merasa ringan. Udara malam yang segar terasa lebih menyegarkan, dan meskipun hujan masih turun, ia tak lagi merasa sendiri. Dalam pelukan hujan yang lebat, Rani menemukan cahaya yang selama ini ia cari.

Cahaya itu bukan berasal dari luar dirinya, tetapi dari dalam hati. Cahaya yang memancar ketika ia menerima dirinya, ketika ia menerima cinta yang datang dengan tulus, tanpa paksaan. Mungkin hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi dengan cinta dan keberanian untuk memilih, Rani tahu bahwa apapun yang datang, ia siap menghadapinya.

Langkah mereka berdua menyusuri jalanan yang basah, meninggalkan jejak di antara genangan air hujan yang berkilau. Dalam setiap tetes hujan yang jatuh, Rani tahu, ia telah menemukan jawabannya. Hidup ini tak selalu bisa diprediksi, tetapi dengan cinta yang sejati, ia telah menemukan cahaya yang akan menuntunnya menuju masa depan yang lebih baik.*

Epilog: Hujan yang Tak Pernah Usai

Hujan masih turun dengan deras, seakan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Suara gemericik air yang jatuh, menerpa permukaan tanah, terdengar seperti irama yang tak berujung. Namun, dalam keheningan yang ditimbulkan oleh hujan, ada sesuatu yang sangat berbeda. Rani berdiri di jendela kamar, menatap keluar dengan pandangan kosong, namun ada kehangatan yang terpancar dari dalam dirinya.

Beberapa tahun telah berlalu sejak pertemuannya dengan Arka di kedai kopi itu, saat hujan pertama kali menjadi saksi dari perubahan besar dalam hidupnya. Rani tidak tahu apakah ia telah menemukan akhir dari perjalanan hatinya, tetapi ia sadar bahwa perjalanan itu—yang penuh dengan rintangan, kesedihan, kebingungan, dan kebahagiaan—telah membawanya menjadi pribadi yang jauh lebih kuat.

Dia tak lagi takut akan hujan.

Dulu, hujan adalah simbol dari segala rasa sakit dan keraguan. Setiap tetesnya adalah kenangan pahit yang terpendam di dasar hatinya. Namun, kini hujan bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Hujan telah menjadi saksi perjalanan hidupnya, yang telah membawa dia pada pemahaman bahwa hidup bukanlah tentang menghindari kesulitan, tetapi tentang bagaimana kita bertahan dan tumbuh setelah melalui mereka.

Rani memandang ke luar jendela, mengenang kembali saat-saat itu. Hujan yang pertama kali mempertemukannya dengan Arka. Dulu, ia hanya merasa seperti ada yang hilang, ada kekosongan dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan. Arka, dengan kehangatan dan ketulusannya, datang membawa cahaya ke dalam kegelapan yang telah menguasai hatinya. Meskipun rintangan terus datang, meskipun masa lalu selalu menghantui, ia belajar untuk menghadapi semuanya dengan lebih berani.

Ketika hujan pertama kali turun, Rani tidak tahu bahwa ia akan menemukan seseorang yang mampu menemaninya melalui segala badai. Mereka berdua telah melalui banyak hal bersama, dari kekecewaan hingga kebahagiaan, dari kesulitan hingga pencapaian yang membanggakan. Rani tersenyum sendiri, mengenang betapa indahnya perjalanan itu. Dalam setiap hujan yang turun, ia merasa bahwa hidup memberinya lebih banyak dari yang pernah ia bayangkan. Dan di sisi Arka, ia merasa aman. Hujan yang turun kini bukan lagi pertanda kesedihan, tetapi pertanda bahwa mereka bersama-sama, melewati segala hal dengan penuh keberanian.

“Rani,” suara Arka terdengar dari belakang, memecah lamunan Rani. Ia berbalik, melihat Arka yang tersenyum sambil mendekatinya. Wajah Arka yang teduh dan penuh perhatian membuat hatinya kembali merasa tenang. Ada rasa syukur yang dalam dalam hatinya, karena ia tahu, meskipun hidup ini penuh dengan ketidakpastian, Arka adalah salah satu hal yang pasti, yang memberinya kekuatan.

“Kenapa masih di sini, di jendela? Hujan terus turun, ya?” Arka bertanya dengan lembut, matanya mengikuti pandangan Rani yang masih terfokus pada hujan di luar.

“Ya,” jawab Rani pelan, “Hujan tak pernah berhenti, kan? Tapi aku sudah tidak takut lagi. Aku merasa sudah menemukan kedamaian di dalamnya.”

Arka mendekat, lalu merangkul Rani dengan lembut. Rani merasakan kehangatan tubuh Arka yang menyelimuti dirinya, sebuah pelukan yang memberinya rasa aman yang tak terhingga. Mereka berdua berdiri di sana, di bawah hujan yang tak pernah usai, merasakan kebersamaan yang begitu berharga.

“Aku senang kau bisa menemukannya,” kata Arka dengan suara penuh kehangatan. “Aku juga merasa sama. Hujan ini tidak lagi terasa berat, karena kita saling ada untuk satu sama lain.”

Rani menatap Arka, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa segala kegundahan dalam dirinya menghilang. Ia tahu bahwa perjalanan hidup ini tidak akan selalu mudah. Akan ada banyak rintangan, banyak hujan yang datang untuk menguji kekuatan mereka. Namun, bersama Arka, ia tahu mereka bisa menghadapinya. Karena mereka telah melalui banyak hal bersama, dan setiap hujan yang datang hanya semakin menguatkan ikatan mereka.

“Terima kasih, Arka,” Rani berkata dengan suara lembut, “Terima kasih sudah ada untukku, di setiap hujan yang datang. Terima kasih sudah menunjukkan padaku bahwa setelah setiap hujan, ada pelangi yang menunggu.”

Arka tersenyum, mencium puncak kepala Rani dengan penuh kasih sayang. “Kau tak perlu berterima kasih, Rani. Aku akan selalu ada di sini, menemanimu. Hujan atau cerah, kita akan terus berjalan bersama.”

Mereka berdiri dalam keheningan, saling berpelukan. Di luar, hujan masih terus turun, tapi kini Rani merasa seolah hujan itu bukan lagi ancaman. Ia merasakannya sebagai sebuah kenangan indah yang akan selalu ada dalam hidupnya. Hujan yang dulu membawa rasa takut dan kesedihan, kini menjadi bagian dari perjalanan hidupnya yang tak terlupakan.

Dan meskipun hujan terus turun tanpa henti, Rani tahu, bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada segala badai yang datang: keberanian untuk melangkah, keberanian untuk mencintai, dan keberanian untuk menemukan kedamaian di antara segala kegelisahan. Hujan tak pernah berhenti, namun kini hujan itu membawa mereka pada satu titik yang penuh dengan pengertian dan cinta yang tak pernah pudar.

Bersama Arka, Rani tahu bahwa ia siap menghadapi segala hujan yang akan datang. Karena di balik setiap tetes hujan, selalu ada pelajaran yang berharga—dan di setiap perjalanan, ada cinta yang selalu menemukan jalannya.

Dan hujan, yang tak pernah usai, akan selalu menjadi saksi dari perjalanan itu.***

——-THE END——

 

 

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #Hujan#Kehangatan di Tengah Kesedihan#Kota Kecil#Romansaperjalanan emosional
Previous Post

HANTU JEPANG KUNO

Next Post

JEJAK DI ANTARA DUA DUNIA

Next Post
JEJAK DI ANTARA DUA DUNIA

JEJAK DI ANTARA DUA DUNIA

KUCING PENGANTAR SURAT

KUCING PENGANTAR SURAT

BAYANG-BAYANG GHAIB & NYATA

BAYANG-BAYANG GHAIB & NYATA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In