Bab 1: Pertemuan Tak Sengaja
Alya menatap keluar jendela mobil dengan pandangan kosong, memperhatikan pemandangan kota kecil yang perlahan mulai terlihat dari balik kabut pagi. Ini adalah kota baru yang akan menjadi rumahnya dalam beberapa bulan ke depan. Ia baru saja dipindahtugaskan oleh kantornya untuk meliput berbagai cerita human interest di sini, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar yang biasa ia tinggalkan. Dalam hatinya, ada campuran perasaan, antara kegembiraan karena tantangan baru, dan kecemasan karena harus beradaptasi dengan lingkungan yang serba baru.
Saat mobil memasuki pusat kota, Alya menekan tombol kaca jendela. Angin sejuk pagi menyapu wajahnya, dan ia mencoba meresapi udara yang berbeda. Kota ini sepertinya masih belum banyak berubah meski telah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia datang. Gedung-gedung tua yang berjejer di sepanjang jalan, lampu-lampu jalan yang memudar, dan jalanan yang tidak terlalu ramai memberi kesan damai namun penuh misteri.
Setibanya di tempat penginapannya, sebuah bangunan tua bergaya kolonial yang direnovasi menjadi hotel kecil, Alya menghela napas panjang. Meskipun tampak seperti rumah tua, ada sesuatu yang membuat tempat ini terasa nyaman, seolah menyembunyikan cerita-cerita lama di balik dindingnya. Ia baru saja melangkah keluar dari mobil, ketika seorang pria muda dengan jas hujan basah mendekatinya. Ia tampak terburu-buru, seolah tidak ingin terlambat.
“Permisi, apakah ini hotel yang dimaksud?” tanya pria itu dengan suara rendah namun tegas. Alya memandangnya sejenak, agak terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“Ya, ini hotel yang sama. Anda mencari sesuatu?” jawab Alya, mencoba untuk memberikan senyuman yang ramah meski hatinya masih sedikit terombang-ambing dengan perasaan tidak nyaman. Pria itu mengangguk, lalu memperkenalkan diri.
“Nama saya Rafael. Saya baru saja tiba di kota ini. Sebenarnya saya mencari informasi tentang keluarga saya yang hilang, tetapi tempat ini terlihat seperti titik awal yang bisa saya mulai.” Mata Rafael yang tajam menatap Alya, seolah mencari sesuatu di matanya, namun ada kekhawatiran yang samar di wajahnya.
Alya merasa sejenak terperangkap dalam pandangannya. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya penasaran, namun juga merasa cemas. Tanpa bisa menahan diri, Alya menawarkan bantuan.
“Saya seorang jurnalis,” katanya, “Mungkin saya bisa membantu Anda mencari tahu lebih banyak. Jika Anda ingin berbicara atau membutuhkan informasi lebih lanjut, saya bisa memberi beberapa petunjuk.”
Rafael terlihat ragu sejenak. Wajahnya mengeras, seolah sedang berpikir keras apakah ia harus berbagi cerita lebih jauh. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan. “Saya menghargai tawaran Anda, tapi saya bukan orang yang mudah mempercayai siapa pun. Mungkin setelah saya menemukan beberapa petunjuk, kita bisa berbicara lebih lanjut.”
Alya mengangguk, merasa sedikit kecewa namun tetap berusaha bersikap profesional. Mereka berpisah setelah itu, masing-masing menuju ke arah yang berbeda di dalam hotel. Namun, rasa penasaran Alya terus menggelayuti pikirannya. Apa yang sebenarnya dicari oleh pria itu? Dan kenapa ia merasa seperti sudah mengenal sosok Rafael meski baru pertama kali bertemu?
Seiring berjalannya waktu, Alya memulai pekerjaannya di kota kecil itu. Dia mengunjungi berbagai tempat, mewawancarai penduduk setempat, dan meliput cerita-cerita yang sering kali terasa biasa. Namun, tidak ada satupun cerita yang menarik hatinya seperti pertemuannya dengan Rafael. Dalam setiap kesempatan, ia teringat pada mata pria itu yang tampak penuh rahasia dan kebingungan.
Hingga satu hari, tanpa disengaja, Alya bertemu dengan Rafael lagi di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pojok jalan. Rafael tampak lebih santai kali ini, meskipun masih ada bayang-bayang kekhawatiran di wajahnya. Ia sedang duduk sendirian di meja dekat jendela, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Alya mendekatinya dan menyapa dengan lembut.
“Rafael,” katanya, “Apa kabar? Sudah menemukan apa yang Anda cari?”
Rafael menatap Alya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Tidak sepenuhnya,” jawabnya pelan. “Namun saya merasa ada sesuatu yang mengarah pada tempat ini. Saya rasa saya harus menceritakan sedikit lebih banyak, meski saya belum tahu bagaimana memulainya.”
Alya duduk di meja seberang, terkejut dengan pengakuan Rafael yang tiba-tiba itu. “Mungkin kamu bisa mulai dengan menceritakan sedikit lebih banyak tentang apa yang sedang kamu cari?” Alya berkata, menahan rasa penasaran yang mulai menggebu di dalam dirinya.
Rafael menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita. Ia mengungkapkan bahwa keluarganya, yang dulunya merupakan salah satu keluarga terkaya di kota ini, hilang secara misterius beberapa dekade yang lalu. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa mereka terlibat dalam sebuah konspirasi besar, yang menyebabkan hilangnya mereka tanpa jejak.
“Ada sesuatu yang saya rasa hilang,” Rafael melanjutkan, “Dan saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi saya sudah lama merasa bahwa pencarian ini membawa saya ke tempat-tempat yang saya seharusnya hindari.”
Alya mendengarkan dengan cermat, berusaha menghubungkan cerita Rafael dengan cerita-cerita yang ia dengar dari penduduk kota. Ada banyak hal yang tidak cocok, seperti kebisingan kota yang tidak biasa, sejarah kota yang tersembunyi, dan bahkan tentang sebuah tempat kuno yang dikenal hanya oleh sebagian orang saja.
Pertemuan tak sengaja itu membawa mereka lebih dekat. Alya merasa ada koneksi yang tidak bisa dijelaskan antara dirinya dan Rafael. Ketika mereka berbicara lebih dalam, Alya mulai merasakan bahwa mungkin saja ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Ada rahasia besar yang tersembunyi di balik kisah keluarga Rafael, dan Alya, meskipun ragu, merasa tertarik untuk mengungkapnya.
Sebuah perasaan aneh muncul—perasaan bahwa langkah-langkah yang akan diambilnya ke depan, meski berisiko, akan membawa pada jawaban yang telah lama tersembunyi, dan entah mengapa, dia merasa langkah itu harus diambil bersama Rafael.*
Bab 2: Jejak Masa Lalu
Hari-hari pertama Alya di kota kecil itu berjalan dengan penuh rutinitas. Namun, semakin lama, ia merasa bahwa ada yang tidak biasa dengan tempat ini. Keheningan kota yang seakan terlupakan oleh waktu, serta wajah-wajah penduduk yang sering tampak gelisah atau menghindar saat dia mencoba berbicara lebih jauh tentang sejarah kota, semakin memperkuat rasa penasaran dalam dirinya. Suatu hal yang tidak bisa ia jelaskan, namun pasti ada kaitannya dengan cerita yang dibawa oleh Rafael.
Pada suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Meskipun pekerjaan jurnalistiknya menuntutnya untuk lebih fokus pada berita dan cerita-cerita ringan, rasa ingin tahu tentang masa lalu kota ini, dan terutama tentang keluarga Rafael, semakin mengusiknya. Dia sudah memulai beberapa riset melalui arsip kota, namun informasi yang didapatkan seolah meluncur ke titik yang semakin kabur.
Pagi itu, Alya memutuskan untuk mengunjungi kantor arsip kota. Begitu memasuki gedung yang tampak tua dan tidak banyak berubah, ia merasakan udara dingin yang khas, seolah gedung itu sendiri menyimpan rahasia-rahasia lama yang sudah lama terkubur. Ruang arsip ini penuh dengan tumpukan dokumen kuno, beberapa di antaranya tampak hampir hancur oleh usia. Alya menemui seorang pegawai yang lebih tua yang sedang sibuk di meja kecil di sudut ruangan.
“Selamat pagi, apakah Anda bisa membantu saya mencari beberapa dokumen tentang sejarah keluarga besar yang dulu tinggal di kota ini?” tanya Alya dengan suara lembut.
Pegawai itu menatapnya sekilas, kemudian mengangguk. “Tentu saja, tetapi saya peringatkan, ada beberapa catatan yang tidak bisa sembarangan diakses. Keluarga yang Anda maksud, apakah itu keluarga Rafael?”
Alya terkejut mendengar namanya disebut. “Ya, itu benar. Saya sedang mencari informasi lebih banyak tentang keluarga mereka, mungkin tentang hilangnya mereka bertahun-tahun lalu,” jawabnya hati-hati.
Pegawai itu menatap Alya lama, lalu dengan suara pelan ia berkata, “Saya harus memberitahumu bahwa cerita tentang keluarga itu bukanlah cerita yang mudah. Banyak orang yang sudah mencoba mencari tahu, namun tak banyak yang berhasil mengungkapnya. Namun, jika Anda tetap ingin melanjutkan pencarian ini, saya akan memberi Anda akses untuk melihat beberapa dokumen yang bisa ditemukan di ruang bawah tanah. Tapi ingat, jangan pernah mengatakan bahwa saya yang memberi izin.”
Rasa penasaran Alya semakin menggelora. Ia mengangguk, dan si pegawai tua itu menunjukkan arah menuju tangga kecil di belakang ruangan yang tampak gelap dan pengap. Ruang bawah tanah itu terasa sangat sunyi, dan udara di sana terasa sangat berbeda, seolah menyerap segala cahaya. Di dalam ruang itu, terdapat beberapa meja besar yang penuh dengan tumpukan dokumen kuno yang tersusun acak. Alya duduk di salah satu meja, membuka dokumen pertama yang menarik perhatiannya.
Berjam-jam ia membaca, menyelami catatan-catatan yang sebagian besar berisi tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi di kota ini bertahun-tahun lalu. Namun, tidak ada informasi konkret tentang keluarga Rafael—hanya serpihan-serpihan informasi yang membingungkan. Beberapa halaman menulis tentang sebuah kebakaran besar yang menghanguskan sebagian besar arsip kota, dan bagaimana keluarga Rafael hilang tanpa jejak setelah kebakaran tersebut.
Alya hampir putus asa ketika sebuah dokumen kecil yang tergeletak di sudut meja menarik perhatiannya. Begitu membuka dokumen itu, ia menemukan sebuah foto yang sudah pudar warnanya. Foto itu menunjukkan sebuah rumah besar yang tampak seperti istana kecil, dikelilingi oleh tanaman yang merambat. Di bawahnya, ada tulisan tangan yang sudah hampir tak terbaca, namun masih bisa dikenali sebagai tulisan dari zaman dahulu.
“Apa yang terjadi di sini?” Alya bertanya dalam hati.
Namun, saat ia memeriksa lebih dekat, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Alya menoleh cepat, dan terlihat seorang pria berdiri di pintu masuk ruang bawah tanah. Wajahnya familiar, tapi ia tak bisa langsung mengenali siapa dia. Pria itu mengenakan jas gelap yang kotor, seolah baru saja melewati perjalanan panjang.
“Rafael?” Alya bertanya, matanya menyipit karena terkejut.
Rafael mengangguk pelan, langkahnya ragu seolah tak ingin terlalu dekat. “Maaf jika saya mengganggu pencarian Anda,” kata Rafael dengan suara serak. “Tapi saya tahu Anda sudah menemukan sesuatu yang penting. Saya tidak bisa membiarkan Anda melanjutkan ini sendirian. Ada hal-hal yang lebih baik jika Anda tidak tahu.”
Alya terdiam sejenak. Hati kecilnya memberontak untuk melanjutkan pencarian ini, tetapi ada rasa takut yang menyelinap di dalam dirinya. Apakah ia benar-benar siap untuk mengungkap kebenaran yang mungkin lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan?
“Kenapa kamu datang ke sini, Rafael?” tanya Alya akhirnya, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gelisah.
Rafael menarik napas panjang, lalu duduk di meja seberang Alya. “Karena saya tahu Anda tidak akan berhenti sampai Anda menemukan jawabannya. Tapi saya juga tahu, tidak ada yang akan sama lagi setelah Anda tahu apa yang terjadi.”
Rafael melanjutkan dengan cerita yang lebih terbuka. Ia menjelaskan bahwa keluarganya bukan hanya sekadar orang kaya di kota ini, mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang memiliki hubungan erat dengan sejarah kota yang tersembunyi. Keluarga mereka terlibat dalam sebuah organisasi rahasia yang berusaha melindungi artefak kuno yang memiliki kekuatan besar. Namun, dalam usaha mereka untuk melindungi artefak tersebut, sesuatu yang tragis terjadi. Kebakaran yang terjadi di rumah keluarga mereka bukanlah kecelakaan, melainkan hasil dari konspirasi yang berakar jauh.
“Selama bertahun-tahun, saya berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi saya takut, Alya. Saya takut kita akan mengungkap sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”
Alya mendengarkan dengan cermat, hatinya terasa berat. Meskipun ia merasa terikat dengan cerita Rafael, ia juga merasa bahwa ia harus melanjutkan pencariannya. Seperti kata-kata pegawai tua itu, mungkin sudah saatnya bagi kota ini untuk menghadapi kenyataan, meskipun kenyataan itu bisa menghancurkan segalanya.
“Rafael,” kata Alya dengan suara lembut, “Saya tidak bisa mundur sekarang. Saya harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita harus menemukan kebenaran.”
Rafael menatap Alya dalam diam, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah, Alya. Jika kamu sudah memutuskan, maka aku akan menemanimu. Tapi ingat, ini bukanlah perjalanan yang mudah. Kita harus berhati-hati.”
Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan Alya tahu bahwa di depan sana, banyak rahasia yang masih terkubur, menunggu untuk ditemukan.*
Bab 3: Cinta dan Rahasia
Malam itu, Alya terjaga lebih lama dari biasanya. Di luar kamar hotelnya, suara angin berdesir dan suara daun-daun bergesekan terdengar samar, namun pikiran Alya terasa bagaikan riak yang tak pernah reda. Sejak pertemuannya dengan Rafael di ruang bawah tanah arsip kota, setiap kata yang diucapkan pria itu terngiang di benaknya. Ada begitu banyak hal yang masih terselubung, rahasia yang belum terungkap, dan lebih dari itu, ada rasa yang tumbuh di dalam hatinya yang perlahan semakin sulit untuk dipahami.
Rafael bukan hanya seorang pria yang terjebak dalam pencarian akan kebenaran tentang keluarganya, dia juga seseorang yang membawa kekhawatiran yang mendalam, seolah dunia ini akan runtuh jika mereka melangkah lebih jauh. Namun, Alya tidak bisa mengabaikan perasaan yang semakin menghimpitnya. Ada sesuatu yang menarik dirinya untuk lebih dekat dengan Rafael, bukan sekadar rasa ingin tahu tentang masa lalu, tetapi juga sesuatu yang lebih personal—sesuatu yang lebih dalam. Mungkin itu adalah daya tarik yang biasa ditemukan dalam kisah-kisah lama, tapi Alya tahu, ini bukan sekadar kisah biasa.
Keesokan harinya, Alya kembali menemui Rafael di kedai kopi yang sama. Kali ini, ia merasa lebih siap untuk mendalami apa yang sebenarnya terjadi, meskipun hatinya tak sepenuhnya yakin akan konsekuensinya. Ia tahu, perasaan ini, yang tumbuh perlahan namun pasti, bisa merusak segala yang telah mereka mulai. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti ada sebuah kekuatan yang tak dapat ditahan—perasaan yang tidak bisa disangkal, yang mengikat mereka berdua meski keduanya berusaha untuk menghindarinya.
Saat Alya tiba di kedai kopi, Rafael sudah duduk di meja yang sama, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya yang penuh misteri itu tetap mempertahankan keteguhan, namun kali ini ada keraguan yang jelas terlihat. Ia menyambut Alya dengan senyuman kecil, namun senyuman itu tak cukup untuk menutupi beban yang sedang dipikulnya.
“Alya,” katanya pelan, “saya tahu Anda ingin tahu lebih banyak. Tapi saya juga tahu, ini bukan perjalanan yang hanya akan mengungkapkan kebenaran tentang keluarga saya. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu, dan semakin dekat kita, semakin kita terperangkap dalam jaringan yang tak terduga.”
Alya duduk di hadapannya, menyusun kata-kata yang tepat. “Saya mengerti,” jawabnya, suara penuh kesungguhan. “Tapi kita tidak bisa mundur, Rafael. Saya rasa ada banyak hal yang lebih penting yang harus kita ungkap, dan saya tidak akan berhenti hanya karena ketakutan atau keraguan. Anda sudah memberi saya banyak petunjuk, dan saya merasa semakin dekat dengan kebenaran itu.”
Rafael terdiam sejenak, seolah berpikir panjang. Akhirnya, ia menghela napas dan berkata, “Alya, saya harus memberitahumu satu hal yang selama ini saya sembunyikan. Ada alasan kenapa saya harus berhati-hati dengan apa yang saya katakan padamu.”
Alya memandangnya, merasa ada sesuatu yang berat sedang ia tahan. “Apa itu?” tanya Alya, rasa ingin tahu meluap.
Rafael menatap matanya, seolah mencari keberanian. “Sebenarnya, saya bukan hanya mencari kebenaran tentang keluarga saya. Saya juga mencari jawaban tentang… kita,” katanya perlahan, seakan kata-katanya harus dipikirkan matang-matang sebelum diucapkan.
Alya terkejut, dadanya berdebar lebih cepat. “Kita?” ulangnya, mencoba mencerna kata-kata itu.
Rafael menunduk, tampaknya tak mampu menatapnya langsung. “Saya merasa ada sesuatu di antara kita yang lebih dari sekadar pencarian ini. Sejak pertama kali kita bertemu, saya merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkan kita, entah itu kebetulan atau memang takdir. Tapi saya juga takut, Alya. Takut akan apa yang bisa terjadi jika kita terlalu dekat.”
Alya terdiam, kalimat itu menggema dalam pikirannya. Perasaan yang sama juga ada dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, namun seolah sudah ada sejak pertama kali bertemu dengan Rafael. Mungkin itu adalah ketertarikan yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu tentang masa lalunya. Mungkin itu adalah perasaan yang sudah lama tertahan dan akhirnya menemukan jalannya. Namun, seperti Rafael, Alya juga merasa ragu. Mereka berdua terjebak dalam rahasia yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
“Saya merasa sama,” jawab Alya akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Ada sesuatu yang menarik saya untuk lebih dekat denganmu, Rafael. Tapi, saya juga takut. Takut jika semuanya akan berakhir dengan lebih banyak kehilangan.”
Rafael menatapnya dengan penuh intensitas, dan dalam tatapan itu Alya bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Mereka berdua tahu bahwa mereka tak bisa mundur sekarang. Meski ada ketakutan yang menghantui, mereka juga tahu bahwa perasaan ini tak bisa ditolak. Namun, apa artinya perasaan itu jika dibalut oleh rahasia yang semakin tebal?
Kedua hati itu saling menarik, namun keduanya juga terperangkap dalam kebimbangan yang tak terucapkan. Keinginan untuk melangkah lebih jauh, tetapi rasa takut akan konsekuensinya, serta kenyataan bahwa mereka berdua terjebak dalam misteri yang lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
Malam itu, saat Alya kembali ke hotel, ia merasa terombang-ambing. Pikirannya penuh dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Rafael, dengan segala rahasianya, dengan segala ketertarikan yang tak dapat dipungkiri, telah mengubah segalanya. Perasaan yang ia rasakan bukan hanya tentang kebenaran yang terpendam, tetapi tentang perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian dan bahaya yang menanti di setiap langkah.
Di luar, hujan mulai turun dengan lebat, membasahi tanah yang sudah lama kering. Alya duduk di tepi jendela kamar hotelnya, menatap hujan yang turun begitu deras. Apa yang akan terjadi jika mereka terus melangkah ke dalam misteri ini? Akankah mereka menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi, atau justru terperangkap dalam rahasia yang akan menghancurkan mereka berdua?
Namun satu hal yang pasti, Alya tahu bahwa ia tak bisa mundur. Cinta dan rahasia, keduanya kini terjalin erat dalam kisah yang akan mengubah hidup mereka selamanya.*
Bab 4: Teka-Teki yang Semakin Rumit
Setelah percakapan yang penuh emosi dan ketegangan dengan Rafael, Alya merasa semakin terombang-ambing oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa ingin tahu yang membara tentang keluarga Rafael dan rahasia yang selama ini tersembunyi semakin mengarahkannya pada pencarian yang tak bisa ia hentikan. Tetapi, seiring berjalannya waktu, semakin dalam ia menyelami misteri ini, semakin rumit dan membingungkan teka-teki yang harus dipecahkan. Dan, semakin ia berusaha mendekatkan diri dengan Rafael, semakin sulit pula ia memahami hubungan mereka yang seolah diwarnai oleh bayang-bayang masa lalu.
Pagi itu, Alya duduk di meja hotelnya, menghadap laptop yang dipenuhi dengan catatan-catatan dan dokumen yang telah ia temukan selama beberapa hari terakhir. Semua itu terkait dengan keluarga Rafael—tentang rumah besar yang terbakar, konspirasi yang mengelilinginya, dan berbagai catatan aneh yang berhubungan dengan artefak kuno yang disembunyikan. Namun ada satu hal yang mengganggunya. Seperti ada potongan-potongan informasi yang hilang, seolah seseorang dengan sengaja mencoba menutupi kebenaran. Alya tahu ia harus menemukan jawaban untuk pertanyaan yang semakin membelenggu pikirannya: Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga Rafael?
Rafael sendiri semakin sulit ditemui. Setiap kali Alya berusaha menghubunginya, ia selalu mendapatkan alasan yang tampaknya semakin dibuat-buat. Tidak ada penjelasan yang memuaskan, dan Alya mulai merasa bahwa pria itu menyembunyikan lebih banyak hal daripada yang ia ungkapkan. Dalam hatinya, Alya mulai merasakan bahwa segala sesuatu yang telah mereka bicarakan adalah bagian dari teka-teki yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.
Pagi itu, Alya memutuskan untuk mengunjungi tempat yang belum sempat ia jelajahi: rumah keluarga Rafael. Rumah itu, yang dulu dikenal sebagai kediaman megah dengan taman yang luas, kini tampak lebih seperti bangunan kosong yang terabaikan. Cat yang mengelupas, jendela yang retak, dan gerbang yang hampir jatuh—semua itu memberi kesan bahwa rumah ini pernah menjadi pusat kehidupan yang penuh kemewahan, namun kini hanya tinggal kenangan.
Dengan langkah hati-hati, Alya melangkah memasuki halaman depan rumah. Suasana di sekitar rumah itu terasa aneh—seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Meskipun tak ada orang di sekitar, Alya merasa seperti sedang diawasi. Ia mendekati pintu depan yang setengah terbuka, dan dengan sedikit keraguan, mendorong pintu itu.
Begitu masuk, Alya langsung disambut oleh keheningan yang memekakkan telinga. Setiap langkah yang diambilnya bergema di dalam rumah yang kosong. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan debu, dan setiap sudut ruangan tampak seperti dihantui oleh kenangan masa lalu. Tidak ada suara, kecuali suara langkah kakinya sendiri yang menambah kesan suram di tempat itu.
Ia mulai menyusuri rumah itu, memasuki ruang tamu yang pernah menjadi tempat berkumpul keluarga Rafael. Tersisa beberapa perabotan tua yang tak terawat, dan foto-foto lama yang terbingkai dengan rapi di dinding, meskipun banyak yang sudah pudar warnanya. Di antara foto-foto itu, Alya menemukan satu yang sangat mencolok—sebuah foto besar yang menunjukkan keluarga Rafael, berdiri di depan rumah yang tampaknya lebih baru dan lebih indah daripada yang ada sekarang. Mereka tersenyum lebar, namun ada sesuatu yang ganjil tentang ekspresi mereka. Mata mereka terlihat kosong, seolah menyimpan sebuah rahasia besar yang tak terungkapkan.
Alya melangkah lebih jauh ke ruang lain dan menemukan sebuah lemari kayu besar yang terkunci. Ia meraba lemari itu dengan jari-jarinya, mencoba mencari petunjuk atau sesuatu yang bisa mengarahkannya pada informasi lebih lanjut. Namun, meskipun ia berusaha sekeras mungkin, pintu lemari itu tampaknya terkunci rapat. Tidak ada kunci yang terlihat. Alya merasa frustrasi, namun ia tahu ia harus mencari cara untuk membuka lemari tersebut. Sesuatu di dalam sana pasti tersembunyi, sesuatu yang bisa menjadi kunci untuk memahami seluruh cerita ini.
Tiba-tiba, suara pintu berderit terdengar di belakangnya. Alya berbalik cepat, dan jantungnya berdegup kencang ketika melihat sosok Rafael berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan penuh makna.
“Alya,” kata Rafael, suaranya rendah dan tenang, “Saya sudah tahu Anda akan datang ke sini. Saya sudah berharap Anda tidak menemui hal-hal yang lebih rumit lagi.”
Alya menatapnya dengan penuh pertanyaan. “Apa maksudmu, Rafael? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa kamu menyembunyikan semua ini dari saya?”
Rafael menghela napas panjang dan berjalan mendekat, matanya penuh beban. “Karena saya tidak ingin kamu terjerat dalam semuanya, Alya. Semua ini jauh lebih berbahaya daripada yang kamu kira.”
Alya merasa semakin bingung, namun ia juga tidak bisa mundur sekarang. “Tapi saya sudah terlibat, Rafael. Saya tidak bisa berhenti mencari tahu.”
Rafael menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, kemudian akhirnya membuka mulutnya dengan suara bergetar. “Ini bukan hanya tentang keluarga saya. Ini tentang artefak yang selama ini kami lindungi, tentang kekuatan yang bisa menghancurkan semuanya jika jatuh ke tangan yang salah. Itu yang sebenarnya kami sembunyikan.”
Alya terkejut, namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, Rafael melanjutkan. “Kamu perlu tahu satu hal, Alya. Kamu sudah lebih dekat dengan kebenaran daripada yang kamu kira. Apa yang kamu temukan di sini, semua yang kamu ungkap, akan membawamu pada sebuah pilihan besar. Pilihan yang bisa mengubah hidupmu selamanya.”
Perkataan Rafael semakin membingungkan Alya. Ia merasa seolah-olah ia terjebak dalam labirin yang tak berujung, di mana setiap langkah hanya mengarah pada pertanyaan baru yang tak terjawab. Semua yang selama ini ia percayai tentang pencariannya, tentang dirinya dan Rafael, mulai berbalik arah dan membentuk gambaran yang lebih rumit daripada yang bisa ia pahami.
“Tapi, kenapa sekarang?” tanya Alya, suaranya hampir terdengar panik. “Kenapa semua ini baru terungkap sekarang?”
Rafael menatapnya dengan kesedihan di matanya. “Karena ada yang mengawasi kita, Alya. Ada yang tidak ingin rahasia ini terbuka. Kita tidak sendirian dalam pencarian ini.”
Alya merasa pusing, otaknya berputar dengan informasi yang baru saja diterimanya. Setiap pertanyaan yang muncul hanya menambah kebingungannya. Apa yang sebenarnya mereka cari? Siapa yang mengawasi mereka? Dan mengapa semua ini terasa seperti pertempuran yang tak terhindarkan?
Ketika Alya menatap Rafael, ia tahu satu hal: teka-teki ini semakin rumit, dan jawaban yang mereka cari mungkin lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.*
Bab 5: Ketegangan dan Pengkhianatan
Setelah percakapan yang menegangkan di rumah keluarga Rafael, Alya merasa perasaan antara kecemasan dan kebingungannya semakin memuncak. Semakin dalam ia menyelami misteri ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul, namun jawabannya justru semakin kabur. Rafael tampaknya semakin tertutup, dan meskipun ia mengungkapkan sedikit lebih banyak tentang artefak yang mereka cari, tetap ada banyak hal yang disembunyikan darinya. Sesuatu yang besar, sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan, terbungkus rapat dalam rahasia yang melingkupi keluarga Rafael dan artefak kuno itu.
Beberapa hari berlalu sejak kedatangan Alya di rumah keluarga Rafael. Rafael menghindar, semakin sulit dihubungi, dan seolah mengunci dirinya di dalam dunia yang hanya ia dan beberapa orang yang sangat ia percayai tahu. Alya semakin merasa terasing, terjebak di dalam pusaran misteri yang sulit dipahami. Namun, ia tahu satu hal: tidak ada jalan mundur. Perasaan yang semakin menguat di dalam dirinya tentang Rafael dan rahasia yang disembunyikan harus diungkap.
Suatu malam, Alya menerima pesan singkat dari Rafael. Isi pesannya singkat, namun penuh dengan arti. “Pertemuan malam ini. Di tempat lama. Bawa informasi yang kamu punya. Kita harus bicara.”
Alya tidak ragu lagi. Ia tahu bahwa malam itu adalah kesempatan untuk mendapatkan jawaban. Dengan langkah cepat, ia menuju tempat yang dimaksud—sebuah gudang tua yang terletak di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Tempat itu adalah salah satu lokasi yang pernah ia temui dalam catatannya. Di sinilah mereka pertama kali bertemu, dan tempat ini tampaknya memiliki hubungan yang sangat penting dengan artefak yang mereka cari.
Sesampainya di sana, Alya langsung merasakan suasana yang berbeda. Gudang itu terlihat sepi dan sunyi, namun ada sesuatu yang aneh. Pintu besar terbuka sedikit, seolah menunggu kedatangannya. Dengan rasa waspada yang terus membayangi, Alya melangkah masuk. Udara di dalam gudang itu terasa dingin, seakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan.
Langkah Alya terdengar nyaring di lantai kayu yang berderit saat ia bergerak lebih dalam. Di ujung ruangan, ia melihat sosok Rafael, berdiri dengan tubuh tegak, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Ia menatap Alya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ada ketegangan yang tebal di udara, dan Alya merasakan sesuatu yang tak biasa.
“Rafael,” Alya memulai, suaranya sedikit gemetar, “apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu sembunyikan dariku?”
Rafael berbalik perlahan, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang besar. “Alya,” katanya dengan suara yang serak, “saya ingin kamu tahu satu hal. Selama ini, saya melindungimu, mencoba menjaga agar kamu tidak terlalu terjerat dalam ini. Tapi sekarang… sekarang saya tahu kamu sudah terlalu dekat.”
Alya menatapnya dengan tajam, perasaan cemas bercampur bingung. “Terlalu dekat dengan apa? Apa yang sedang terjadi, Rafael?”
Rafael menarik napas panjang, matanya menatap Alya dengan rasa sakit yang jelas terlihat. “Kamu sudah masuk ke dalam permainan yang jauh lebih berbahaya daripada yang kamu kira. Ini bukan hanya tentang artefak. Ini tentang kekuatan yang bisa menghancurkan kita semua jika jatuh ke tangan yang salah. Dan ada seseorang yang lebih kuat dari kita yang mengawasi setiap langkah kita.”
Alya merasakan perasaan gelisah semakin menyelimuti dirinya. “Apa maksudmu? Siapa yang mengawasi kita?”
Rafael mengerutkan kening, tampaknya enggan untuk berbicara lebih lanjut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka. Alya berbalik cepat, dan tubuhnya seakan membeku ketika melihat sosok yang muncul dari kegelapan.
Dia adalah seseorang yang Alya kenal. Seseorang yang telah berada dalam lingkaran ini sejak awal. Seseorang yang tidak pernah ia duga akan muncul.
“Rafael, kamu benar-benar tidak belajar, ya?” suara itu terdengar tajam, penuh kecemasan yang disamarkan dengan kekuatan. Itu adalah suara Eric, seorang pria yang pernah dikenal Alya sebagai teman dekat Rafael, namun belakangan ia merasa ada sesuatu yang aneh tentang Eric. Kini, Eric berdiri di depan mereka, matanya penuh dengan sesuatu yang gelap.
“Apa yang kamu inginkan, Eric?” tanya Rafael dengan nada yang dingin, mencoba menjaga kendali atas situasi yang semakin mencekam.
Eric tersenyum, senyum yang tidak menyembunyikan niat buruk. “Aku ingin kamu tahu, Rafael, bahwa tidak ada jalan keluar dari ini. Kamu sudah terlambat. Semua yang kamu coba lindungi, semua yang kamu sembunyikan dari Alya, akan hancur begitu saja.”
Alya merasa darahnya berhenti mengalir. “Eric, apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Alya hampir berbisik, tetapi bibirnya terasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu.
Eric menatap Alya dengan pandangan yang sangat berbeda dari yang pernah ia lihat sebelumnya. “Apa yang terjadi selama ini, Alya, adalah bahwa kamu telah berada di tengah-tengah permainan yang lebih besar dari yang kamu bayangkan. Rafael, dia bukan hanya mencari artefak itu—dia juga mencoba menyelamatkan dirinya sendiri dari sesuatu yang lebih mengerikan. Sesuatu yang dia coba sembunyikan, bahkan dari kamu.”
Rafael melangkah maju, wajahnya penuh dengan ketegangan yang mendalam. “Eric, hentikan! Kamu tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”
Namun Eric hanya tertawa kecil, suara tawanya memecah keheningan yang tebal. “Oh, saya sangat mengerti, Rafael. Tapi kamu terlalu lemah untuk menang melawan ini. Dan Alya… kamu terlalu percaya padanya.”
Alya merasa jantungnya berdebar kencang. “Apa maksudmu, Eric? Apa yang kamu inginkan dari kami?”
Eric mendekat dengan langkah cepat, matanya berbinar dengan kegilaan yang tak terkendali. “Saya ingin kamu tahu bahwa saya akan mendapatkannya. Artefak itu akan berada di tangan saya, dan tidak ada yang bisa menghentikan saya. Tidak Rafael, tidak kamu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Alya merasa dirinya terjepit di antara dua orang yang kini tampaknya saling berkonfrontasi. Dalam sekejap, semuanya berubah. Apa yang semula tampak seperti pencarian yang penuh dengan misteri dan petualangan, kini berubah menjadi sebuah konflik yang penuh dengan pengkhianatan dan ketegangan.
Rafael, yang dulu tampak seperti satu-satunya orang yang bisa dipercaya, kini terbuka sebagai bagian dari permainan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Dan Eric, yang dulunya dianggap sebagai sekutu, ternyata memiliki agenda tersendiri—agenda yang bisa menghancurkan segala yang Alya percayai.
Alya tahu, malam ini, tak ada lagi jalan mundur. Ketegangan yang melingkupi mereka semakin pekat, dan pengkhianatan yang terungkap kini mengubah seluruh perjalanan mereka. Semua yang mereka cari kini semakin jauh dari jangkauan, dan mereka harus menghadapi kenyataan bahwa tak semua orang memiliki niat baik di balik senyum mereka.*
Bab 6: Mengungkap Rahasia
Kehidupan Alya berubah dalam semalam setelah pengkhianatan Eric yang mengejutkan. Ia tak pernah menyangka bahwa pria yang dulu ia anggap sebagai teman dan sekutu dalam pencarian mereka, kini berubah menjadi musuh yang mengancam. Rafael pun tak bisa lagi ia percayai sepenuhnya. Keadaan yang semula tampak jelas dan terarah, kini membingungkan, penuh dengan misteri yang semakin menggelapkan jalan di depan mereka. Namun, Alya tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Mereka sudah terlalu dekat untuk mundur sekarang. Sesuatu yang besar, yang mengancam lebih dari sekadar hidup mereka, menanti untuk diungkap.
Malam itu, setelah konfrontasi yang menegangkan di gudang, Alya merasa kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Apa sebenarnya yang membuat Eric berbalik menjadi begitu berbahaya? Kenapa ia begitu ingin mendapatkan artefak yang selama ini dicari oleh Rafael dan keluarganya? Dan yang lebih penting lagi, apa rahasia besar yang disembunyikan Rafael tentang artefak itu? Alya tahu bahwa hanya dengan mengungkap misteri ini, ia bisa menemukan jawaban yang sebenarnya dan membebaskan dirinya dari ketegangan yang terus-menerus menghantuinya.
Alya memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga Rafael, tempat di mana semuanya bermula. Meskipun tempat itu terasa penuh dengan kesan gelap dan berat, ia tahu bahwa rumah itu menyimpan banyak petunjuk yang bisa mengarahkannya pada jawaban yang ia cari. Beberapa jam sebelum ia pergi, ia mengirimkan pesan singkat pada Rafael, berharap ia masih bisa menghubunginya dan memberi penjelasan lebih lanjut. Tapi jawabannya kosong—hanya dua kata yang tertera di layar ponselnya: “Jangan datang.”
Namun Alya merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap apa yang tersembunyi di balik semuanya. Ia tidak takut lagi. Rasa ingin tahunya lebih besar dari ketakutannya. Dengan tekad yang bulat, ia melangkah menuju rumah keluarga Rafael.
Sesampainya di sana, malam sudah larut, dan suasana sepi menyelimuti seluruh area sekitar rumah besar itu. Alya merasakan keheningan yang tebal, seolah dunia di luar sana tidak ada. Begitu ia melangkah melewati pagar besar yang sudah rusak, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan muncul—sesuatu yang menuntunnya, menariknya untuk masuk lebih dalam ke dalam misteri yang tak terpecahkan ini.
Begitu sampai di depan pintu rumah, Alya memeriksa kunci yang ia ambil sebelumnya dari rak di ruang kerja Rafael. Ternyata, rumah itu tidak terkunci—seolah menunggu kedatangannya. Pintu besar itu terbuka dengan mudah ketika ia dorong. Suasana yang sama, sepi dan sunyi, langsung menyambutnya, namun kali ini Alya merasa seolah ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengintai, seperti ada yang sedang menunggu kedatangannya.
Ia melangkah masuk dan menyalakan senter yang dibawanya, menerangi kegelapan di hadapannya. Kali ini, ia tahu persis ke mana harus pergi. Pintu yang sama, di ujung lorong yang gelap, menuntunnya ke ruang bawah tanah yang selama ini dijaga rapat-rapat oleh Rafael dan keluarganya. Inilah tempat yang telah disebut-sebut dalam banyak catatan dan legenda keluarga. Di sini, di bawah tanah yang terpendam dalam bayang-bayang rumah tua ini, disembunyikan sesuatu yang sangat penting—sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Alya turun ke ruang bawah tanah dengan hati berdebar. Ia merasa seakan melangkah ke dalam dunia yang penuh dengan rahasia. Setiap langkahnya menggema di ruang yang sunyi, dan semakin dalam ia berjalan, semakin besar perasaan takut yang menyelimuti dirinya. Namun, di tengah ketakutan itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Ia sudah terlalu dekat dengan kebenaran.
Begitu sampai di dasar, Alya mendapati sebuah pintu besi yang tertutup rapat. Pintu itu terlihat lebih kokoh daripada yang lainnya, dan Alya tahu bahwa inilah tempat yang harus ia tuju. Ia mengeluarkan kunci dari sakunya, kunci yang sebelumnya diberikan oleh Rafael—sebuah kunci yang tampaknya menyimpan banyak arti. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan memutarnya.
Pintu besi itu terbuka dengan suara berderit yang panjang, seolah menyambutnya untuk masuk. Alya mengintip ke dalam, dan apa yang ia lihat di balik pintu itu membuatnya terperangah. Di dalam ruang yang sempit itu, sebuah meja besar terletak di tengah, dikelilingi oleh berbagai artefak dan benda-benda antik yang tersebar di sekitarnya. Namun, apa yang menarik perhatian Alya adalah sebuah kotak kayu tua yang terletak di atas meja. Kotak itu tampak sederhana, namun ada sesuatu yang memancar darinya—sebuah aura yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Alya merasa, di sinilah jawaban atas segala pertanyaan yang telah menghantuinya.
Dengan hati-hati, Alya membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah buku kecil yang usang, sampulnya terbuat dari kulit yang sudah mengelupas. Buku itu terlihat sangat tua, mungkin berusia ratusan tahun. Alya membuka halaman pertama, dan di sana, ia menemukan tulisan yang berisi petunjuk tentang artefak yang selama ini mereka cari. Buku itu menceritakan tentang sejarah panjang artefak tersebut—sebuah benda yang memiliki kekuatan besar dan mampu mengubah takdir seluruh dunia. Tidak hanya itu, buku tersebut juga mengungkapkan nama seseorang yang selama ini tidak pernah disebutkan: Eric.
“Eric?” Alya bergumam, mulutnya terasa kering. Nama itu muncul dalam setiap halaman buku, sebagai orang yang memiliki kunci untuk mengendalikan artefak. Ternyata, Eric bukan hanya seorang teman, melainkan seorang yang telah merencanakan segalanya—dari awal hingga akhir. Rafael dan keluarganya bukanlah orang pertama yang mencari artefak itu. Eric telah mencarinya jauh lebih lama, dan sekarang, ia ingin menguasainya.
Perasaan Alya semakin tercengang saat ia membaca bagian berikutnya dari buku tersebut, yang mengungkapkan bahwa artefak itu bisa membangkitkan kekuatan yang sangat gelap, kekuatan yang telah lama terkubur. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, dunia ini akan menghadapi kehancuran yang tak terbayangkan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, nama Rafael ada di dalam daftar orang yang memiliki kekuatan untuk menghentikan bahaya itu, tetapi dengan harga yang sangat tinggi.
Alya menutup buku itu dengan tangan gemetar. Semua yang selama ini ia anggap sebagai pencarian biasa ternyata jauh lebih besar dan lebih berbahaya. Eric tidak hanya berniat untuk mendapatkan artefak itu, tapi juga untuk menguasai dunia dengan kekuatan gelap yang terkandung di dalamnya. Rafael, meskipun selama ini menyembunyikan banyak hal darinya, ternyata merupakan kunci untuk menghentikan malapetaka yang akan datang. Namun, apakah Rafael akan cukup kuat untuk menghadapi Eric dan kekuatan yang ingin dikendalikan?
Alya tahu bahwa jalan yang harus ia tempuh semakin berbahaya, namun ia tidak bisa mundur sekarang. Kebenaran sudah terungkap, dan kini saatnya untuk menghadapi kenyataan—termasuk kenyataan bahwa dunia yang mereka kenal bisa berubah dalam sekejap jika mereka gagal.*
Bab 7: Akhir yang Baru
Alya duduk di atas kursi tua yang terletak di sudut ruang bawah tanah, masih memegang buku tua yang baru saja ia temukan. Seakan dunia di sekelilingnya telah berhenti berputar, segala hal yang ia ketahui tentang Rafael, Eric, dan pencarian mereka menjadi lebih kabur dan misterius. Perasaan yang ia rasakan sekarang bukan lagi hanya kebingungan, melainkan juga ketakutan—takut akan kekuatan yang tersembunyi dalam artefak itu, dan lebih dari itu, takut akan kenyataan bahwa dunia yang mereka kenal bisa hancur hanya karena sebuah keputusan.
Buku itu berada di tangannya, dan setiap halaman yang dibaca semakin menambah beban di pikirannya. Eric bukan hanya seorang pengkhianat. Dia adalah orang yang berencana menguasai dunia dengan artefak itu. Dan Rafael, meskipun memiliki potensi untuk menghentikan semua kekacauan ini, terjebak dalam dilema yang lebih besar daripada yang Alya pernah bayangkan. Kehidupannya, bahkan dirinya sendiri, kini menjadi bagian dari permainan besar yang melibatkan nasib umat manusia.
Alya tahu bahwa ia tidak bisa menghindar lagi. Waktunya sudah hampir habis, dan Eric sudah terlalu dekat dengan artefak itu. Hanya ada satu cara untuk menghentikan semuanya—menemui Eric sebelum ia berhasil menguasai artefak itu dan menggunakannya untuk tujuannya yang jahat. Namun, perjalanan itu tak akan mudah. Alya bukan hanya harus berhadapan dengan Eric yang licik, tetapi juga dengan perasaan yang telah berkembang antara dirinya dan Rafael.
Setelah beberapa saat berdiam diri, Alya memutuskan untuk keluar dari ruang bawah tanah itu. Ia tidak bisa terus terjebak dalam ketidakpastian. Ia harus bertindak. Rafael harus diberi tahu bahwa Eric telah mengkhianatinya. Bahkan jika itu berarti Alya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa selama ini ia berada di jalur yang salah.
Ia keluar dari rumah keluarga Rafael dan menuju ke tempat yang sebelumnya mereka tentukan—sebuah reruntuhan kuno yang terletak di pinggir kota. Tempat itu telah disebutkan dalam buku sebagai lokasi terakhir di mana artefak itu disembunyikan. Setiap langkah yang Alya ambil semakin menguatkan tekadnya. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi ruang untuk takut. Yang ia tahu sekarang adalah bahwa dunia ini bergantung pada keputusan yang akan ia buat malam ini.
Begitu sampai di reruntuhan, Alya melihat Rafael sudah berada di sana, berdiri di dekat pintu masuk yang terbuka lebar, matanya terfokus pada sesuatu di kejauhan. Alya bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Rafael mendengar langkahnya, dan tanpa berbalik, ia berkata, “Kamu datang juga akhirnya.”
Alya mendekat, menatapnya dengan tatapan yang penuh kebingungan dan kemarahan. “Kenapa kamu tidak memberitahuku? Kenapa tidak jujur sejak awal? Semua ini… semua ini tidak seharusnya terjadi jika kamu lebih terbuka padaku!”
Rafael menarik napas panjang, memutar tubuhnya untuk menghadapi Alya. “Aku tahu kamu marah, dan aku tahu bahwa aku seharusnya memberitahumu lebih banyak. Tapi ada hal-hal yang lebih besar dari kita yang terlibat dalam semua ini. Aku melakukannya untuk melindungimu, Alya. Jika aku memberitahumu tentang artefak ini, tentang apa yang sebenarnya terjadi, kamu akan terperangkap dalam permainan ini—permainan yang bahkan aku sendiri tidak tahu apakah aku bisa menang.”
Alya menatapnya tajam, menahan emosi yang bercampur aduk. “Jadi, ini semua salahku? Kenapa kamu menganggap aku begitu rapuh? Kenapa kamu tidak memberi aku kesempatan untuk memilih?”
Rafael terdiam sejenak, tampak ragu. Namun, akhirnya ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alya. Ini bukan salahmu. Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Eric. Aku berusaha melindungimu dari kenyataan yang sangat berat. Eric adalah orang yang telah lama merencanakan untuk mendapatkan artefak itu. Dan sekarang, dia hampir mencapainya. Kita tidak punya banyak waktu.”
Alya menundukkan kepalanya, merenungkan kata-kata Rafael. Eric. Nama itu masih terasa asing di telinganya, meskipun ia sudah mengenalnya sejak lama. Betapa naifnya ia, tak pernah menyadari bahwa Eric telah merencanakan segalanya. Semua petunjuk yang pernah ia lihat sekarang mulai membentuk gambaran yang lebih jelas—gambar yang menakutkan tentang apa yang akan terjadi jika Eric berhasil mendapatkan artefak itu.
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Alya, suaranya berat, penuh dengan rasa tanggung jawab yang mendalam. “Kita harus mencegahnya, bukan?”
Rafael mengangguk perlahan. “Kita harus masuk ke dalam dan menghentikan Eric sebelum semuanya terlambat. Aku tahu tempat ini. Aku tahu apa yang harus kita lakukan.”
Mereka berdua berjalan bersama menuju reruntuhan itu. Setiap langkah mereka semakin mendekat ke pusat dari misteri ini—ke tempat di mana kekuatan yang sangat besar disembunyikan. Saat mereka tiba di pintu masuk gua yang tersembunyi di balik reruntuhan, Alya bisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia merasa lebih kuat, lebih yakin. Meskipun rasa takut dan cemas masih menghantuinya, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menyerah pada perasaan itu.
Di dalam gua, suasana semakin gelap, hanya diterangi oleh cahaya senter yang mereka bawa. Mereka terus berjalan ke dalam, menuruni tangga yang curam hingga tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang terpahat di dinding. Di tengah ruangan itu, Eric berdiri dengan senyum licik di wajahnya, memegang artefak yang mereka cari. Artefak itu bersinar dengan cahaya yang menakutkan, seakan hidup, seakan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada manusia bisa bayangkan.
Eric menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan. “Kalian terlambat,” katanya dengan suara dingin. “Artefak ini sekarang adalah milikku. Tidak ada yang bisa menghentikan apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Alya merasa amarahnya memuncak. “Jangan pikir kamu bisa mengendalikan ini,” katanya, berusaha menahan gejolak yang ada dalam dirinya. “Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan, Eric!”
Eric tertawa kecil. “Aku tahu persis apa yang aku lakukan, Alya. Artefak ini adalah kunci untuk menguasai dunia. Dan tidak ada yang akan menghalangi aku.”
Namun, saat ia mengangkat artefak itu lebih tinggi, sebuah cahaya terang meledak dari benda tersebut, menerangi seluruh ruangan. Tiba-tiba, Rafael bergerak cepat, melompat ke arah Eric dan merebut artefak dari tangannya. Cahaya yang menyilaukan itu kini berpindah ke tangan Rafael, dan dalam sekejap, seluruh gua itu terdiam.
“Sudah cukup, Eric,” kata Rafael, suaranya tegas. “Kekuatan ini bukan untuk orang sepertimu. Ini untuk menjaga dunia, bukan untuk menghancurkannya.”
Alya menatap dengan takjub saat Rafael memegang artefak tersebut. Cahaya yang sebelumnya bersinar kuat kini mulai meredup, dan perlahan-lahan, suasana kembali tenang. Eric terjatuh ke tanah, wajahnya penuh dengan kebingungannya sendiri. Rafael menyembunyikan artefak itu kembali di tempat yang aman, memastikan bahwa kekuatan besar itu tidak akan jatuh ke tangan yang salah lagi.
Alya berjalan mendekat, menatap Rafael dengan mata yang penuh rasa terima kasih. “Kita berhasil.”
Rafael tersenyum lemah, meskipun beban masih terasa berat di pundaknya. “Ini bukan akhir, Alya. Ini baru permulaan. Tapi setidaknya, kita punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
Alya mengangguk, merasa ada kedamaian yang akhirnya mulai datang. Mungkin perjalanan ini baru saja berakhir, tetapi sebuah akhir baru juga dimulai—dan mereka akan menghadapinya bersama, apapun yang akan datang.***
———–THE END——–