• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SAYAP PHOENIX TERAKHIR

SAYAP PHOENIX TERAKHIR

January 26, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SAYAP PHOENIX TERAKHIR

Oplus_131072

SAYAP PHOENIX TERAKHIR

Ketika sayap terbentang, dunia akan memilih, hidup atau menjadi abu

by FASA KEDJA
January 26, 2025
in Fantasi
Reading Time: 29 mins read

Bab 1: Kebangkitan Api

Di sebuah desa kecil yang terletak jauh di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar, hidup seorang pemuda bernama Calyx. Desanya, Talonhart, dikelilingi oleh hutan lebat dan pegunungan tinggi, sehingga jarang sekali ada yang datang. Kehidupan di Talonhart terbilang sederhana; penduduknya bekerja sebagai petani, pengrajin, dan pemburu, tetapi mereka juga memegang tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Salah satu tradisi kuno yang selalu diceritakan turun-temurun adalah tentang makhluk legendaris yang dikenal sebagai Phoenix—sebuah burung api yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan dirinya sendiri dari abu. Sejak kecil, Calyx sering mendengar cerita itu dari orang tuanya, namun ia tak pernah menganggapnya lebih dari sekadar cerita rakyat belaka.

Calyx adalah seorang pemuda yang tampaknya biasa saja. Ia bekerja di ladang ayahnya, merawat ternak, dan terkadang membantu ibu dan neneknya dengan tugas-tugas rumah tangga. Namun, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya—sesuatu yang lebih besar, sebuah panggilan yang tak pernah ia mengerti. Meskipun hidupnya sederhana, ia sering merasakan rasa penasaran yang mendalam tentang dunia luar, tentang makhluk-makhluk legendaris, dan tentang petualangan yang tak terungkapkan.

Pagi itu, seperti hari-hari lainnya, Calyx sedang membantu ayahnya di ladang, memetik buah dari pohon anggur yang tumbuh subur di sepanjang sisi tanah mereka. Langit biru cerah dan udara pagi yang segar menyelimuti desa kecil itu. Namun, saat ia memanjat pohon untuk memetik anggur yang lebih tinggi, sebuah kilatan cahaya terang tiba-tiba melintas di langit. Tanpa peringatan, sebuah meteor raksasa meluncur ke arah desa dengan kecepatan luar biasa, menciptakan guncangan hebat di tanah dan menyebabkan getaran yang terasa hingga ke dalam rumah-rumah.

“Apa itu?!” teriak ayah Calyx, yang segera berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Calyx, yang terjatuh dari pohon karena guncangan, segera berlari menuju sumber ledakan. Di ujung desa, di sebuah lapangan terbuka yang biasanya hanya digunakan untuk merumputkan ternak, terlihat sebuah lubang besar yang terbuat dari benturan meteor tersebut. Di tengah-tengah lubang itu, terdapat sebuah benda yang menyala dengan cahaya merah keemasan, menyebar ke segala arah dengan energi yang hampir tak terbayangkan.

Calyx merasakan tubuhnya bergetar, ada sesuatu yang menariknya menuju benda itu. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dengan hati berdebar. Begitu ia mendekat, benda itu perlahan terbuka, memperlihatkan sayap besar yang terbakar dalam api, namun tidak terbakar habis. Sayap tersebut memiliki warna merah menyala, berkilau seperti bara api, dan membentuk pola yang sangat indah dan misterius. Calyx terpesona, tetapi ada juga perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya—sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Sayap itu terasa familiar, seolah-olah ia telah mengenalnya sejak lama.

“Ini… ini adalah sayap Phoenix!” gumam Calyx tanpa sadar. Ia pernah mendengar tentang makhluk legendaris itu, tetapi apakah itu mungkin? Apakah sayap ini benar-benar milik Phoenix?

Tiba-tiba, sayap yang berada di tanah itu bergetar, dan api yang menyelimutinya berkobar lebih kuat. Calyx mundur beberapa langkah, terkejut oleh kekuatan yang mendalam, namun tak dapat menarik dirinya sepenuhnya pergi. Tanpa peringatan, api yang menyelimuti sayap itu menjalar ke tubuhnya, membakar kulitnya, tetapi anehnya, rasa sakit itu hilang seketika, digantikan dengan kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mengalir melalui darahnya, seolah-olah setiap sel tubuhnya terhubung dengan energi tak terhingga.

Calyx jatuh ke lutut, terengah-engah. Sebelum ia sepenuhnya sadar, suara yang dalam dan bertenaga bergema di pikirannya, seakan berasal dari dalam jiwanya sendiri.

“Kau yang terpilih, anak api. Kekuatan Phoenix kini mengalir dalam darahmu. Bangkitlah, dan pahami takdirmu.”

Calyx menatap telapak tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan adanya perubahan yang nyata. Api berkobar di dalam dirinya, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari dirinya sendiri. Sayap Phoenix yang jatuh ke bumi ini telah memilihnya—menjadikannya penerus kekuatan yang sudah lama terlupakan oleh dunia. Tanpa sadar, dia mengangkat tangan kanannya, dan api mulai berputar di sekelilingnya, membentuk pola yang indah, seperti sebuah lingkaran api yang hidup.

Namun, sebelum ia bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi, suara gemuruh dari kejauhan terdengar, mengganggu kedamaiannya. Pasukan kerajaan—yang telah lama mencari artefak legendaris ini—tiba di desa, menarik perhatian pasukan besar yang membawa persenjataan lengkap. Mereka menyadari bahwa meteor yang jatuh bukan hanya fenomena biasa, tetapi sebuah penemuan yang bisa mengubah segalanya. Mereka tahu bahwa sayap Phoenix yang terjatuh adalah kunci untuk membangkitkan kekuatan kuno, dan mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi mereka untuk mendapatkan kekuatan itu.

“Jangan biarkan dia melarikan diri!” teriak pemimpin pasukan kerajaan yang mengenakan zirah hitam berkilau, menandakan bahwa dia adalah seorang komandan yang memiliki ambisi besar.

Calyx, yang kini merasa kekuatan yang mengalir dalam dirinya, tahu bahwa dia tidak bisa tinggal diam. Meskipun ia merasa kebingungannya semakin mendalam, instingnya mendorongnya untuk bertindak. Dengan kekuatan baru yang ada dalam dirinya, ia berlari ke hutan, berusaha menjauh dari pengejaran pasukan kerajaan. Sayap Phoenix yang kini menjadi bagian dari dirinya memberikan energi yang tak terbendung, memungkinkan Calyx untuk bergerak lebih cepat daripada sebelumnya.

Liora, seorang penyihir muda yang kebetulan berada di dekat desa, mendengar keributan itu. Tanpa berpikir panjang, dia mengikuti jejak Calyx, mengetahui bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi. Liora memiliki kemampuan untuk membaca takdir dan merasakan kekuatan magis yang tak biasa. Ketika dia mendekati Calyx, dia segera menyadari bahwa pemuda ini adalah seseorang yang sangat istimewa—seseorang yang telah terpilih untuk membawa takdir dunia ke jalannya yang baru.

Mereka bertemu di tengah hutan, tempat yang jauh dari jangkauan pasukan kerajaan. Calyx, yang terengah-engah, menatap Liora dengan tatapan bingung namun penuh pertanyaan.

“Kau… siapa?” tanya Calyx, masih kebingungan dengan segala yang baru saja terjadi.

“Aku Liora,” jawabnya dengan suara yang tenang. “Dan kau… memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan Phoenix. Dunia telah memilihmu, Calyx. Takdirmu sudah dimulai.”

Di sinilah perjalanan mereka dimulai—sebuah perjalanan yang akan membawa mereka untuk menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Dengan kekuatan Phoenix yang mengalir dalam dirinya, Calyx akan segera mengetahui apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik takdir yang telah dipilihkan untuknya. Dunia yang dilanda perang dan kekacauan akan membutuhkan seorang pahlawan yang lebih kuat dari sebelumnya—seorang yang siap membangkitkan api dari dalam dirinya, yang akan mengubah nasib dunia untuk selamanya.*

Bab 2: Petualangan Dimulai

Setelah malam yang penuh kecemasan dan kebingungannya, Calyx akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Dalam sekejap, semuanya terasa begitu asing baginya. Dia yang sebelumnya hanya seorang pemuda biasa kini terjebak dalam dunia penuh misteri, kekuatan yang tidak dipahaminya, dan bahaya yang datang dari setiap sudut. Bersama dengan Liora, penyihir muda yang muncul secara tiba-tiba, mereka bersembunyi di dalam hutan, bersembunyi dari pasukan kerajaan yang telah dipimpin oleh Komandan Galleth.

Liora, yang terlihat lebih tenang dan terlatih, memandang Calyx dengan tatapan penuh perhatian. “Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah warisan dari masa lalu,” katanya dengan suara lembut, namun penuh keyakinan. “Sayap Phoenix itu bukan hanya simbol keabadian. Kekuatan itu memilihmu karena sesuatu yang lebih besar menunggumu. Kau akan belajar mengendalikan api itu, dan dalam prosesnya, kau akan mengungkap takdirmu yang sesungguhnya.”

Calyx menatap Liora dengan bingung, masih berusaha memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. “Tapi… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya seorang petani. Aku tak pernah merasa ada yang istimewa dalam diriku. Kenapa aku? Kenapa sayap ini memilihku?”

Liora menarik napas dalam-dalam dan menatap langit malam yang penuh bintang. “Dunia ini lebih kompleks dari yang kita bayangkan, Calyx. Banyak yang tersembunyi di balik layar, dan tak semua kekuatan dapat dimengerti dengan pikiran biasa. Yang jelas, kekuatan Phoenix telah memilihmu, dan itu bukan kebetulan. Kau memiliki potensi yang lebih besar daripada yang kau bayangkan.”

Malam itu, mereka berdua duduk di bawah pohon besar, beristirahat sejenak dari perjalanan yang melelahkan. Liora, yang ternyata juga memiliki kemampuan membaca takdir, mulai bercerita lebih banyak tentang dunia yang sebenarnya tak banyak orang ketahui.

“Sayap Phoenix yang jatuh ke bumi ini adalah bagian dari sebuah legenda kuno,” katanya. “Dahulu, Phoenix adalah makhluk yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia magis. Namun, beberapa ratus tahun lalu, Phoenix menghilang tanpa jejak, meninggalkan hanya beberapa fragmen sayapnya yang tersebar di dunia. Sejak saat itu, keseimbangan dunia mulai goyah.”

Calyx mendengarkan dengan seksama, meskipun banyak dari cerita itu yang terasa terlalu berat untuk dipahami. “Dan sekarang, dunia membutuhkan Phoenix lagi?”

“Ya,” jawab Liora. “Namun, tidak hanya dunia manusia yang membutuhkan Phoenix. Kekuatannya bisa mengubah takdir dunia magis juga. Dan di situlah letak bahaya yang sebenarnya. Ada kekuatan gelap yang ingin menggunakan kekuatan Phoenix untuk menguasai segala sesuatu—baik dunia manusia maupun dunia magis.”

Calyx terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Liora. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa perjalanan ini akan lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Namun, entah kenapa, ia merasa ada semacam panggilan dalam dirinya yang mendorongnya untuk terus melangkah.

Pagi itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju utara, menuju Gunung Selestria, tempat di mana legenda mengatakan Phoenix pertama kali dilahirkan. Mereka harus menempuh jalan yang penuh bahaya dan musuh yang tidak terduga. Selama perjalanan mereka, Calyx mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Setiap langkah terasa lebih ringan, seolah-olah kekuatan yang berasal dari sayap Phoenix yang ada dalam tubuhnya semakin mengalir dengan lancar. Terkadang, ia bisa merasakan api yang berkobar di dalam dirinya, dan kadang-kadang ia bisa mengendalikannya hanya dengan niat.

Suatu hari, saat mereka sedang beristirahat di sebuah lembah yang dipenuhi dengan bunga liar, mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki yang berat. Dari balik pepohonan, muncul sosok besar dengan kulit berwarna keabu-abuan dan tanduk yang melengkung tajam. Itu adalah Troll Gunung, makhluk raksasa yang dikenal sebagai penjaga hutan. Troll tersebut berdiri tegak, matanya bersinar merah, dan suara geramnya menggema di udara.

“Siapa kalian?” teriak Troll itu dengan suara serak yang menggetarkan tanah. “Tidak ada yang boleh melewati hutan ini tanpa izin.”

Calyx merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia bisa merasakan api Phoenix yang mengalir dalam dirinya, tetapi ia masih belum tahu bagaimana cara mengendalikan kekuatan itu sepenuhnya. Liora berdiri di sampingnya, siap dengan mantra perlindungannya. Namun, dia bisa merasakan bahwa situasi ini akan berakhir dengan pertarungan jika mereka tidak segera bertindak.

“Tolong, kami hanya melintasi hutan ini untuk sampai ke Gunung Selestria,” kata Liora dengan tenang, berusaha menenangkan makhluk itu. “Kami tidak bermaksud mengganggu wilayahmu.”

Namun, Troll itu hanya mengangkat tangannya dan menggeram. “Kalian bukan orang pertama yang datang dengan alasan yang sama. Semua yang datang hanya untuk mencari kematian.”

Calyx merasa ketegangan memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia menatap Liora dan kemudian menatap tangan kanannya, yang kini terasa panas seperti bara api. Ia bisa merasakan energi yang luar biasa mengalir dalam dirinya. Dengan niat yang kuat, ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, api berkobar dari telapak tangannya, membentuk bola api yang melayang di udara.

“Jangan menyerang!” seru Liora, namun Calyx sudah terlanjur melemparkan bola api itu ke arah Troll dengan kekuatan penuh.

Api itu meluncur dengan kecepatan luar biasa, menghantam tubuh Troll yang besar dan membakar kulitnya. Troll itu terkejut, mundur beberapa langkah, dan memekik kesakitan. Namun, tubuhnya yang besar dan kuat membuatnya tidak jatuh begitu saja. Dalam sekejap, Troll itu mengangkat batu besar dan melemparkannya ke arah Calyx.

Insting Calyx bekerja, dan sebelum batu itu mengenai tubuhnya, ia mengangkat tangan lagi. Api berkobar, menghalau batu itu sebelum mencapai dirinya, dan meledak menjadi serpihan-serpihan kecil.

Troll itu berhenti sejenak, tampak terkejut oleh kekuatan yang tiba-tiba muncul dari Calyx. Namun, sebelum ia bisa menyerang lagi, Liora melangkah maju, mengangkat tangannya, dan mulai melantunkan mantra perlindungan. Sebuah perisai sihir terbentuk di depan mereka, menghalau serangan Troll yang semakin liar.

“Aku tidak ingin melawanmu,” kata Liora dengan tenang. “Tapi jika kau terus menyerang, kami tidak punya pilihan.”

Troll itu terdiam, matanya yang merah menyala kini menatap Liora dengan waspada. Akhirnya, makhluk raksasa itu menganggukkan kepalanya, mengerti bahwa mereka bukan musuh yang mudah. Dengan satu gerakan besar, Troll itu mundur dan meng消ap ke dalam hutan, meninggalkan Calyx dan Liora untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Setelah pertemuan yang menegangkan itu, Calyx merasa lebih percaya diri. Meskipun ia masih bingung dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, ia tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai, dan dunia yang menantinya jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan. Namun, bersama Liora, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.*

Bab 3: Rahasia Phoenix

Perjalanan mereka melintasi hutan yang lebat membawa Calyx dan Liora semakin dekat menuju Gunung Selestria, tempat yang konon menjadi asal-usul Phoenix. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dalam ke dunia yang belum sepenuhnya dipahami oleh Calyx—sebuah dunia yang dipenuhi dengan kekuatan kuno, misteri yang tersembunyi, dan ancaman yang selalu mengintai.

Di tengah perjalanan, hutan yang sebelumnya terasa damai dan penuh kehidupan mulai berubah. Pohon-pohon tinggi yang menutupi langit kini terlihat lebih gelap, daunnya lebih lebat, dan udara terasa lebih berat. Beberapa kali, Calyx merasa seperti ada yang mengawasi mereka, tapi ketika dia berbalik, tak ada seorang pun di belakangnya. Liora juga tampak waspada, matanya selalu bergerak-gerak, seolah menilai setiap gerakan di sekitar mereka.

“Mereka tahu kita datang,” kata Liora dengan suara rendah, berbicara seolah-olah dirinya sudah mengetahui sesuatu yang tidak ingin diungkapkan. “Ada banyak makhluk yang mengawasi di sini, makhluk yang sudah lama melupakan tujuan mereka. Mereka tahu tentang Phoenix. Mereka tahu tentang kekuatanmu.”

Calyx mengangguk pelan, perasaannya semakin tidak nyaman. Dia tidak tahu apakah ia sudah siap untuk mengungkap rahasia besar yang terkait dengan dirinya, tetapi takdir sepertinya sudah menuntunnya ke arah ini. Setiap kali dia mencoba mengalihkan pikirannya, api dalam dirinya seperti menyala lebih kuat, memberi tanda bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu.

Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di kaki Gunung Selestria. Gunung yang menjulang tinggi ini menyimpan misteri yang lebih dalam daripada yang pernah mereka bayangkan. Puncaknya tersembunyi di balik kabut tebal, dan udara di sekitarnya terasa dingin meskipun matahari bersinar terang. Sebuah gerbang batu besar menghadap ke lereng gunung, dengan ukiran-ukiran kuno yang menunjukkan gambaran makhluk-makhluk legendaris dan simbol api yang tidak dapat dipahami.

“Itulah gerbang yang mengarah ke kedalaman gunung,” kata Liora sambil menatap gerbang itu. “Di dalamnya, ada tempat yang disebut Sumber Api—tempat di mana Phoenix pertama kali muncul ke dunia ini. Tapi tidak semua orang bisa masuk. Hanya mereka yang memiliki darah Phoenix yang dapat melewatinya.”

Calyx merasakan getaran di tubuhnya saat mendekat. Ada sesuatu yang menariknya menuju gerbang itu, seolah tubuhnya sendiri menginginkan untuk berada di dalamnya. Perlahan, dia melangkah maju, dan saat jari-jarinya menyentuh gerbang batu, ada kilatan cahaya yang menyelimuti tubuhnya. Gerbang itu perlahan terbuka dengan suara gemuruh, seakan menyambut kedatangannya.

Di dalam gerbang, mereka memasuki sebuah ruangan besar yang penuh dengan ukiran dan batu-batu yang bersinar. Dinding-dindingnya terukir dengan gambar Phoenix dalam berbagai bentuk—dari kebangkitan hingga kehancuran, dari api yang membara hingga abu yang jatuh ke tanah. Di tengah ruangan, ada sebuah altar kuno yang terbuat dari batu hitam, yang dikelilingi oleh api yang terus menyala. Namun, api itu tampak berbeda. Bukan api biasa; api itu seolah berdenyut dengan kehidupan, seperti jantung yang berdetak.

“Ini adalah Sumber Api,” kata Liora dengan suara berbisik. “Di sinilah kekuatan Phoenix berasal. Tempat ini tidak hanya menghidupkan Phoenix, tetapi juga tempat yang menyimpan semua pengetahuan kuno tentang makhluk ini.”

Calyx mendekat ke altar, merasa kekuatan yang luar biasa mengalir dari tempat itu. Tanpa bisa ditahan, dia mengulurkan tangannya dan menyentuh api yang menyala di sekitar altar. Ketika telapak tangannya menyentuh api itu, tubuhnya terkejut, seolah ada aliran listrik yang mengalir melalui darahnya, membangkitkan sesuatu yang dalam dirinya yang tak pernah ia sadari.

Suaranya terdengar di dalam pikirannya lagi, lebih jelas kali ini.

“Kau yang terpilih, anak api. Inilah tempat asal-usulmu, tempat di mana semua dimulai dan berakhir. Ini adalah sumber kekuatanmu. Tetapi untuk memahami seluruh takdirmu, kau harus menghadapi kenyataan yang lebih pahit.”

Calyx merasa seolah jiwanya terangkat ke suatu dimensi lain. Dalam sekejap, dunia sekitar menjadi kabur, dan dia dibawa ke dalam visi yang aneh. Dia melihat gambaran Phoenix yang terbakar hebat, lalu dilahap oleh api, menghilang dalam ledakan yang mengerikan. Kemudian, tampak Phoenix yang terlahir kembali dari abu, bangkit dengan penuh kemegahan. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Phoenix yang terbang keluar dari api itu tidak hanya membawa kehidupan, tetapi juga membawa kehancuran. Setiap kali ia terbang, dunia di bawahnya terguncang, dan kerajaan-kerajaan besar hancur.

Tiba-tiba, Calyx dikejutkan oleh suara keras yang membangunkan dirinya dari visinya. Dia kembali ke dunia nyata, dan api di altar itu kini meredup. Liora sudah berdiri di sampingnya, matanya penuh kekhawatiran.

“Apa yang terjadi?” tanya Liora, suaranya penuh rasa takut. “Kau… tampak seperti sedang berada di dunia lain.”

Calyx mengusap wajahnya, mencoba mengingat apa yang baru saja ia alami. Visi itu begitu nyata, begitu jelas—seolah ia telah melihat takdir Phoenix, yang telah terlupakan oleh zaman. “Aku melihat… Phoenix,” jawabnya pelan. “Aku melihat kehancuran yang ditinggalkan oleh kekuatannya. Setiap kali Phoenix terlahir kembali, ia membawa kehidupan, tetapi juga kematian. Itu adalah siklus yang tak bisa dihentikan.”

Liora tampak gelisah, tetapi ia segera menenangkan dirinya. “Itulah alasan mengapa kekuatan Phoenix begitu berbahaya. Ia bukan hanya pembawa kehidupan, tetapi juga penghancur. Dunia yang memiliki Phoenix akan selalu berada dalam ketegangan—sebuah keseimbangan yang rapuh antara kehidupan dan kehancuran.”

Calyx menatap altar itu sekali lagi, menyadari bahwa tugas yang kini diembannya jauh lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan. Kekuatan Phoenix dalam dirinya tidak hanya untuk membangkitkan kehidupan, tetapi juga untuk menghancurkan—dan untuk itu, ia harus belajar mengendalikannya. Namun, ada satu hal yang masih membingungkannya.

“Jika Phoenix membawa kehancuran, kenapa aku yang terpilih?” tanya Calyx, suaranya penuh keraguan.

“Karena takdirmu belum sepenuhnya ditulis,” jawab Liora, matanya penuh misteri. “Phoenix memilihmu, bukan untuk membawa kehancuran, tetapi untuk membawa keseimbangan. Kau harus memahami bahwa setiap kekuatan memiliki dua sisi—sisi yang bisa membangun dan sisi yang bisa menghancurkan. Apa yang kau pilih untuk lakukan dengan kekuatan itu adalah yang akan menentukan takdirmu, dan takdir dunia.”

Calyx merasa hatinya dipenuhi keraguan, tetapi dia tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai. Rahasia Phoenix kini mulai terungkap, dan hanya dia yang bisa memutuskan jalan mana yang akan diambil. Di hadapannya terbentang jalan yang penuh bahaya, dan takdir yang menanti akan menguji seberapa jauh ia bisa mengendalikan api yang mengalir dalam dirinya.*

Bab 4: Pengkhianatan di Balik Kabut

Calyx dan Liora melanjutkan perjalanan mereka menaiki lereng Gunung Selestria, menuju kedalaman yang semakin gelap dan misterius. Seiring mereka semakin dekat dengan puncak, kabut tebal mulai menyelimuti jalanan mereka. Kabut itu bergerak seperti makhluk hidup, melilit setiap pohon dan batu, mengaburkan pandangan mereka. Calyx merasakan sesuatu yang tidak biasa di udara—sesuatu yang lebih dari sekadar hawa dingin yang menyengat kulitnya. Ada ketegangan yang terasa dalam setiap helaan napasnya.

Liora, yang berjalan di depan, tampak lebih waspada dari biasanya. Matanya yang tajam bergerak cepat, menilai setiap sudut yang diselimuti kabut. “Kita hampir sampai,” katanya dengan suara yang hampir terdengar seperti bisikan. “Tapi hati-hati, Calyx. Tempat ini bukan hanya penuh dengan makhluk magis—ada juga mereka yang menginginkan kekuatan Phoenix, dan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.”

Calyx mengangguk, meskipun di dalam hatinya muncul rasa cemas yang tak terungkapkan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat mengawasi mereka dari jauh. Ia merasakan api yang terpendam dalam dirinya mulai bergolak, seakan memberi tanda bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Namun, ia tak bisa menjelaskan apa itu. Semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang bergerak di balik kabut yang tebal.

Sesampainya di sebuah cekungan besar, mereka berhenti sejenak. Gunung ini, meskipun tampak sunyi, menyimpan banyak rahasia. Dinding-dinding batu yang tinggi di sekeliling cekungan itu dihiasi dengan ukiran-ukiran kuno yang tidak bisa dipahami. Liora berjalan menuju sebuah batu besar yang ada di tengah cekungan, seolah menginspeksi sesuatu. Calyx mengikutinya, tetapi matanya terus melirik ke segala arah, merasa semakin tidak nyaman.

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan, memecah keheningan yang mencekam. Dengan cepat, kabut di sekitar mereka bergerak lebih cepat, seolah menjadi hidup. Calyx menatap Liora dengan penuh tanya. “Apa itu?”

Liora menatap ke arah sumber suara dengan serius. “Ada yang datang,” jawabnya singkat. “Tapi kita tidak punya waktu untuk lari. Kita harus menghadapi ini.”

Sebagai jawaban, kabut itu mulai mengalir lebih deras, membentuk sosok-sosok bayangan yang bergerak cepat menuju mereka. Dalam kabut, Calyx bisa melihat beberapa sosok manusia berpakaian hitam, wajah mereka tertutup, tetapi dari gerak-gerik mereka, Calyx tahu bahwa mereka bukanlah teman. Mereka tampak terlatih, setiap langkah mereka begitu terkoordinasi, seolah telah berlatih dalam bayang-bayang untuk misi ini.

“Saatnya tiba,” kata Liora, suaranya keras dan penuh keyakinan. “Mereka adalah pasukan bayangan yang telah lama mengincar kekuatan Phoenix. Mereka dipimpin oleh seseorang yang sangat kuat—lebih kuat daripada yang kita bayangkan.”

Calyx merasakan api dalam dirinya mulai menyala. Tanpa sadar, tangannya mengeluarkan api yang bersinar terang. Namun, sebelum ia bisa menggunakannya, salah satu dari pasukan bayangan itu melangkah maju, melepaskan sebuah senjata yang berbentuk seperti pedang panjang yang terbuat dari energi gelap. Pedang itu bersinar dengan cahaya merah gelap, dan saat pedang itu bergerak, udara di sekitarnya tampak membeku.

“Jaga dirimu!” seru Liora, melangkah maju untuk menghadapi salah satu sosok itu dengan kekuatan sihirnya. Tapi sebelum dia bisa bergerak, seseorang yang tak terlihat keluar dari balik kabut. Seorang pria berpakaian jubah hitam, wajahnya tersembunyi, muncul dengan cepat di depan mereka.

Liora terkejut, dan sebelum sempat menghindar, pria itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, Liora terlempar ke belakang, terjatuh dengan keras di atas batu besar. Matanya yang terpejam membuka perlahan, seolah mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, yang membuatnya lebih terkejut adalah sosok pria itu.

“Merin?” kata Liora dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh kebingungannya.

Calyx terkejut mendengar nama itu. “Merin?” tanyanya, berusaha mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka.

Pria itu menarik jubahnya, membuka wajahnya. Seorang lelaki muda dengan mata berwarna abu-abu dan rambut hitam panjang yang terikat. Wajahnya sangat familiar bagi Liora, namun lebih banyak menyimpan kedalaman yang tidak bisa dijelaskan. “Kau… Merin?” Liora bertanya lagi, suaranya penuh rasa tak percaya.

Merin tersenyum dingin, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. “Aku rasa kau sudah tahu jawabannya, Liora,” katanya dengan suara yang datar, seperti sudah lama memutuskan jalan yang harus diambilnya. “Aku datang untuk menuntaskan tugas yang telah diberikan padaku.”

Calyx merasa ketegangan menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang sangat tidak beres dengan ini—sesuatu yang lebih gelap dan lebih jahat daripada yang dia bisa bayangkan. Liora, yang tampaknya tahu lebih banyak tentang pria ini, tampak terperangah. Calyx bisa melihat ketegangan yang membeku di wajahnya, seolah ada sebuah rahasia besar yang tiba-tiba terungkap, sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan.

“Kau bekerja untuk mereka?” Liora akhirnya bertanya, suaranya penuh dengan kekecewaan dan amarah yang tertahan.

Merin mengangguk. “Aku bekerja untuk mereka yang ingin menguasai kekuatan Phoenix, Liora. Kekuatan itu terlalu besar untuk dibiarkan mengalir bebas begitu saja. Jika kau terus melindunginya, dunia akan hancur. Aku di sini untuk memastikan itu tidak terjadi.”

Kata-kata Merin membuat dunia terasa berbalik terbalik bagi Calyx. Dulu, dia merasa bahwa Liora adalah seorang teman yang dapat dia percayai. Tapi sekarang, semuanya terlihat berbeda. Liora terkejut, tetapi ia cepat menguasai dirinya. “Jika kamu bekerja untuk mereka, Merin, maka kamu adalah musuh kami.”

Merin mengangkat tangannya, dan tiba-tiba kabut di sekitar mereka semakin tebal, seolah menyembunyikan seluruh dunia. “Aku bukan musuh. Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Phoenix harus dihentikan. Jika kamu tidak mengerti itu, maka aku terpaksa bertindak.”

Calyx merasakan api yang terbakar dalam dirinya, lebih panas daripada sebelumnya. Tidak ada pilihan lain. Jika Merin ada di pihak yang salah, maka dia harus dihentikan. Dalam sekejap, tangan Calyx terangkat, dan api Phoenix yang mengalir dalam dirinya menyatu dengan kehendaknya. Bola api besar terbentuk di tangan kanannya dan terbang lurus menuju Merin.

Namun, dengan kecepatan luar biasa, Merin menghindar, berlari ke samping dengan kecepatan yang tak bisa dibayangkan. Liora segera mengangkat tangannya, menciptakan perisai sihir yang melindungi mereka dari serangan Merin yang balas menyerang dengan energi gelapnya. Pencahayaan dari kedua kekuatan tersebut membuat kabut semakin pekat dan membuat suasana semakin menegangkan.

“Kau masih tidak mengerti, Liora,” kata Merin, suaranya keras. “Phoenix bukanlah harapan. Phoenix adalah kutukan, dan kutukan itu harus dihentikan.”

Liora menatap Merin dengan pandangan yang penuh kebingungan dan amarah. “Kau telah salah, Merin. Phoenix bukan kutukan. Kekuatan ini bisa membawa keseimbangan, tetapi kau tidak bisa melihatnya. Tidak jika kau terus berada dalam bayang-bayang kegelapan.”

Pertempuran di antara mereka terus berlanjut, dan Calyx merasa lebih yakin dari sebelumnya—perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan kekuatan dalam dirinya, tetapi juga tentang melawan pengkhianatan yang datang dari orang yang paling ia percayai.*

Bab 5: Keberanian Terakhir

Suasana di sekitar mereka semakin tegang, kabut yang tebal seakan menelan seluruh dunia mereka, hanya menyisakan suara pertempuran yang memekakkan telinga. Calyx berdiri di tengah medan yang berlumuran energi, matanya menyala dengan api Phoenix yang mengalir dalam darahnya. Tangan kanannya masih terangkat, bola api yang bersinar terang di genggamannya siap meluncur, namun ia ragu. Sosok yang kini berdiri di hadapannya, Merin—teman lama Liora—ternyata bukanlah sosok yang bisa mereka percayai. Ia adalah bagian dari mereka yang ingin menguasai kekuatan Phoenix, dan siap mengorbankan siapa pun yang menghalangi tujuannya.

Liora tampak terguncang, air mata memedihkan matanya, seakan menyadari kenyataan pahit bahwa salah satu orang yang paling ia percayai kini menjadi musuh. Namun, di balik kepedihannya, ada tekad yang tidak bisa padam. Matanya yang tajam menatap Merin, dan ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Dunia mereka telah berubah, dan hanya ada satu jalan untuk bertahan hidup—berjuang sampai akhir.

“Merin,” kata Liora, suaranya bergetar, tetapi penuh dengan keyakinan yang dalam. “Apa yang telah kau lakukan? Aku tahu siapa dirimu, dan aku tahu kau tidak seperti ini. Tidak bisa begitu saja membiarkan kegelapan menguasaimu.”

Merin tersenyum sinis, namun tidak ada kehangatan di dalam senyumannya. “Kegelapan bukanlah musuh, Liora. Kegelapan adalah cara untuk memahami kekuatan yang sebenarnya. Phoenix hanyalah ilusi—sebuah kekuatan yang berbahaya. Kekuatan sejati ada pada pengendalian itu sendiri. Jika kau ingin bertahan hidup, kau harus bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda.”

Calyx merasa perasaan asing merayapi dirinya. Ada kebingungan, ada rasa sakit. Sebelumnya, dia hanya tahu satu hal—meraih Phoenix adalah jalan untuk mendapatkan kekuatan yang bisa mengubah dunia. Tetapi kini, ia merasakan adanya konflik dalam dirinya. Bagaimana jika Merin benar? Apa yang harus mereka lakukan jika semua yang mereka percayai ternyata salah?

Namun, di tengah kebingungannya, sesuatu dalam dirinya bergolak—api Phoenix dalam darahnya menuntut jawaban. Api itu adalah bagian dari dirinya, sebuah kekuatan yang tidak bisa dibendung, sebuah kekuatan yang harus digunakan untuk sesuatu yang lebih besar. Meskipun Merin mencoba meyakinkan mereka bahwa Phoenix adalah kutukan, Calyx tahu bahwa kebenaran tidak selalu seperti yang tampak di permukaan.

Calyx menatap Liora. Wajahnya yang penuh dengan kesedihan kini berubah menjadi tekad yang kuat. “Liora, kita tidak bisa menyerah sekarang. Kita harus bertarung. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang menjaga dunia dari kehancuran yang lebih besar.”

Liora mengangguk, matanya penuh dengan kepercayaan pada Calyx. “Kita akan bertarung, Calyx. Kita tidak bisa membiarkan Phoenix jatuh ke tangan yang salah.”

Merin tertawa, namun tawa itu terdengar kosong, seperti bunyi angin yang melintas di kegelapan. “Kalian tidak paham. Kalian masih berpikir bahwa ini tentang Phoenix. Tapi ini bukan hanya tentang Phoenix. Ini tentang kontrol. Kekuatan yang lebih besar dari apa yang kalian bayangkan. Dan kalian tidak akan bisa menghentikannya.”

Sebagai jawaban, Calyx melangkah maju, menyatukan kedua tangannya di depan dada. Api Phoenix yang ada dalam dirinya mulai membakar lebih terang, mengelilingi tubuhnya dalam nyala api yang membumbung tinggi. Suasana sekitar mereka berubah—kabut yang menutupi pemandangan mulai menghilang, dan angin yang kencang bertiup, mendorong Merin mundur sejenak. Kekuatan yang Calyx rasakan semakin kuat, semakin terhubung dengan dunia sekitarnya, dan kini dia tahu apa yang harus dilakukan.

Dengan sekali gerakan, bola api besar terbentuk di telapak tangannya, bersinar dengan cahaya yang begitu terang. “Jika Phoenix adalah kutukan,” kata Calyx dengan suara yang keras dan penuh keyakinan, “maka aku akan membuktikan bahwa kutukan ini juga bisa menjadi harapan.”

Liora segera melangkah ke samping, memberikan ruang bagi Calyx. Dengan sihirnya yang melingkari tubuhnya, ia menyiapkan perlindungan terhadap serangan apapun yang mungkin datang. Matanya menatap tajam, penuh tekad. “Kami tidak akan mundur. Tidak sebelum kami memastikan dunia ini aman dari kekuatan yang kau coba lepaskan.”

Merin hanya berdiri diam sejenak, memandang mereka berdua dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. “Kalian masih tidak mengerti. Kalian tidak akan menang. Tidak ada yang bisa mengalahkan kegelapan.”

Sebelum Calyx bisa merespons, Merin melangkah maju dengan cepat, mengangkat tangan kanannya, dan mengeluarkan energi gelap yang begitu besar hingga langit di atas mereka menjadi gelap. Aura gelap itu melesat menuju mereka, dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan seluruh lingkungan sekitar. Seperti badai yang datang begitu mendalam, energi itu mengalir cepat menuju mereka.

Namun, Calyx tidak gentar. Dengan kekuatan Phoenix yang kini sepenuhnya mengalir dalam dirinya, ia membentuk tembok api yang besar dan melindungi dirinya serta Liora. Api itu membara dengan kekuatan yang luar biasa, menahan serangan energi gelap Merin dengan kesulitan. Teriakan mereka bergema di udara, dan kedua kekuatan itu bertemu di tengah.

“Calyx, sekarang!” teriak Liora, menyadari bahwa inilah momen yang menentukan. “Gunakan kekuatan Phoenix sepenuhnya! Kita hanya punya satu kesempatan!”

Calyx menatap Liora, matanya penuh dengan tekad. Dalam sekejap, dia memusatkan seluruh energi Phoenix yang ada di dalam dirinya, merasakannya bergerak bebas dalam tubuhnya. Api yang semula hanya mengelilinginya kini meluas, membentuk lingkaran api yang melawan kegelapan. Dalam kekuatan itu, Calyx merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah lama tertidur di dalam dirinya.

Dengan satu teriakan, dia melepaskan seluruh kekuatan Phoenix dalam serangan besar yang menyambar, menghancurkan tembok energi gelap Merin dan mendorongnya mundur. Suara gemuruh menggelegar, dan seluruh kabut yang ada menghilang, membawa cahaya terang yang memancar dari tubuh Calyx.

Merin terhuyung, tampak terkejut. Wajahnya yang keras itu berubah menjadi raut kebingungan, seolah tidak menyangka bahwa Calyx mampu mengalahkannya. “Kau… kau berhasil?” katanya, hampir tak percaya.

Namun, Calyx tidak memberi kesempatan untuk jawaban lebih lanjut. Dengan sekuat tenaga, ia menyerang kembali, kali ini dengan kekuatan yang tidak bisa lagi dihalangi. Api Phoenix itu tidak hanya membakar, tetapi juga membersihkan segala kegelapan yang merasuk. Serangan itu menumbangkan Merin, membuatnya terjatuh ke tanah dengan kekuatan yang luar biasa.

Liora berdiri di samping Calyx, tubuhnya bergetar karena kelelahan, tetapi matanya bersinar dengan harapan. “Kita berhasil, Calyx. Kita berhasil.”

Meskipun kemenangan itu datang dengan harga yang tinggi, Calyx tahu bahwa mereka telah mengambil langkah pertama untuk menghentikan bencana yang lebih besar. Namun, meskipun Merin telah tumbang, peperangan ini baru saja dimulai. Dan perjalanan mereka menuju dunia yang lebih baik baru saja dimulai.*

Bab 6: Benteng Kegelapan

Suasana di sekitar mereka terasa suram, hampir seperti ada sesuatu yang tidak terlihat sedang mengintai di balik kabut yang perlahan menyelimuti setiap sudut dunia. Setelah mengalahkan Merin, Calyx dan Liora tahu bahwa kemenangan mereka hanyalah awal dari petualangan yang jauh lebih berbahaya. Meski demikian, mereka juga tahu bahwa mereka tak bisa mundur. Dunia ini terancam oleh sesuatu yang jauh lebih besar dan jauh lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan—Benteng Kegelapan.

Benteng itu bukan sekadar bangunan biasa. Itu adalah pusat kekuatan yang telah ada sejak zaman kuno, sebuah tempat yang dipenuhi oleh energi gelap yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Mereka telah mendengar desas-desus tentang tempat itu—terletak di dalam dimensi yang tersembunyi, jauh di bawah permukaan bumi, dilindungi oleh pasukan bayangan yang tak kasat mata dan jebakan yang bisa mengguncang jiwa siapa pun yang berani memasuki wilayahnya.

Namun, mereka tidak punya pilihan. Untuk menghentikan kekuatan gelap yang kini mulai meresap ke dalam dunia mereka, mereka harus menghancurkan Benteng Kegelapan itu. Calyx dan Liora telah mempersiapkan diri mereka dengan baik, tetapi mereka tahu perjalanan ini akan menguji segala yang mereka percayai, bahkan menguji kekuatan Phoenix yang kini mengalir dalam darah mereka.

“Apakah kamu siap, Liora?” tanya Calyx, matanya yang penuh tekad kini menatap sahabatnya dengan keseriusan yang mendalam. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Kita mungkin akan bertemu dengan hal-hal yang lebih buruk dari yang pernah kita bayangkan.”

Liora menatap Calyx, dengan mata yang dipenuhi dengan campuran keraguan dan keberanian. “Kita tidak punya pilihan, Calyx. Jika kita tidak menghancurkan Benteng itu, seluruh dunia akan jatuh ke tangan kegelapan. Tidak ada yang tersisa untuk kita—atau siapa pun—selain kehancuran.”

Suara Liora begitu tegas, namun di balik kata-katanya yang berani, Calyx bisa merasakan ketakutan yang bersembunyi. Meskipun begitu, mereka harus terus melangkah. Mereka tahu bahwa ancaman yang akan mereka hadapi jauh lebih besar dari sekadar pertempuran biasa. Benteng Kegelapan bukan hanya tentang kekuatan fisik; itu tentang mental yang kokoh, keberanian yang tidak bisa digoyahkan, dan tekad yang lebih kuat daripada apapun.

Mereka mulai berjalan melalui hutan yang lebat, melewati sungai yang mengalir deras, dan akhirnya tiba di kaki gunung yang gelap. Gunung itu tampak seperti raksasa yang menelan seluruh cahaya di sekitarnya, seperti tempat yang sengaja disembunyikan dari dunia. Namun, bagi mereka, itu adalah tempat yang harus mereka tuju.

“Kita hampir sampai,” kata Calyx, dengan suara yang terdengar lebih seperti bisikan daripada perkataan. “Kegelapan di sini terasa begitu berat. Aku bisa merasakannya dalam darahku.”

Liora mengangguk pelan. “Aku bisa merasakannya juga. Sepertinya setiap langkah kita semakin mendekat ke pusat kekuatan itu.”

Mereka terus mendaki gunung itu, angin yang dingin bertiup dengan keras, seolah berusaha menghalangi langkah mereka. Ketika mereka mencapai puncak, pemandangan yang mereka lihat benar-benar mengerikan. Di depan mereka terbentang sebuah gerbang raksasa yang terbuat dari batu hitam pekat, berkilau dengan aura gelap yang menakutkan. Benteng Kegelapan berdiri megah di balik gerbang itu, seakan menyembunyikan semua kengerian dunia di dalamnya.

“Ini lebih besar dari yang aku bayangkan,” bisik Liora, suaranya bergetar.

“Jangan ragu. Kita harus masuk,” jawab Calyx dengan tegas, meskipun hati kecilnya juga penuh dengan kecemasan. Dia merasakan sesuatu yang lebih buruk dari sekadar kegelapan—sebuah energi yang bisa mengubah segala hal yang mereka kenal.

Mereka melangkah maju, memasuki gerbang dengan langkah mantap. Begitu melintasi gerbang itu, dunia seakan berubah. Alam sekitar mereka seketika berubah menjadi hitam dan putih, dan mereka merasa seperti memasuki dunia yang tak lagi berhubungan dengan kenyataan. Tanah di bawah kaki mereka terasa tidak stabil, seolah berguncang. Hutan yang sebelumnya rimbun dan penuh dengan kehidupan, kini berubah menjadi gurun tandus yang hanya dipenuhi oleh bayangan hitam.

“Liora, hati-hati,” kata Calyx, matanya mengawasi sekitar dengan waspada. “Ada sesuatu yang tidak beres di sini.”

Liora mengangguk pelan, matanya berkilat dengan kewaspadaan. “Aku tahu. Energi di sini sangat kuat, seperti ada sesuatu yang terus mengawasi kita.”

Tiba-tiba, mereka mendengar suara-suara aneh dari kegelapan, suara langkah kaki yang berat, diikuti oleh gemerisik yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Bayangan-bayangan mulai muncul dari segala arah, mengelilingi mereka seperti predator yang siap menerkam. Mereka tidak bisa melihat wajahnya, hanya bayangan gelap yang bergerak dengan kecepatan luar biasa.

“Serangan!” teriak Calyx, mengangkat tangan kanannya dan melepaskan bola api besar ke arah bayangan yang terdekat.

Namun, bola api itu hanya menghantam udara kosong. Bayangan-bayangan itu menghilang secepat mereka muncul, bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan. Liora juga bersiap dengan sihir pelindungnya, menyiapkan medan energi di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari serangan mendatang.

“Tunggu! Ini bukan serangan biasa,” kata Liora, suaranya serius. “Ini adalah ilusi. Mereka mencoba membingungkan kita.”

Calyx mengangguk, menyadari apa yang terjadi. “Kita harus tetap fokus. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam ilusi ini.”

Namun, kegelapan semakin mencekam. Setiap langkah mereka semakin berat, seolah dunia itu berusaha menelan mereka hidup-hidup. Dalam kegelapan ini, rasa takut mulai menggerogoti pikiran mereka. Setiap bayangan yang melintas terasa seperti ancaman yang nyata, setiap suara yang terdengar seperti serangan yang datang dari segala arah.

Di tengah kegelapan yang begitu pekat, sebuah suara gaib terdengar. Suara itu berasal dari dalam hati mereka, menembus kesunyian dan menyelimuti pikiran mereka. “Kalian tidak akan bisa melarikan diri. Ini adalah dunia yang tak bisa kalian lawan. Kekuatan ini telah ada sejak zaman kuno, dan sekarang… kalian adalah bagian dari kehancurannya.”

Suara itu membuat tubuh mereka kaku. Liora menggenggam erat tangan Calyx. “Kita harus terus maju. Jika kita berhenti, kegelapan ini akan menguasai kita.”

Calyx mengangguk, menggenggam erat api Phoenix yang kini mulai membakar lebih terang, menembus kegelapan yang menyelimuti mereka. “Tidak ada jalan mundur.”

Mereka melangkah maju, semakin dalam ke Benteng Kegelapan, bersiap untuk menghadapi ujian terbesar dalam hidup mereka—ujian yang akan menentukan nasib seluruh dunia.*

Bab 7: Kebangkitan Phoenix

Suasana di dalam Benteng Kegelapan semakin mencekam. Meskipun tubuh mereka sudah lelah dan diliputi rasa takut yang kian menggerogoti, Calyx dan Liora terus melangkah maju. Kegelapan yang menyelimuti tempat itu seakan memiliki kehidupan sendiri, seperti makhluk yang bergerak, mengikuti mereka dari setiap sisi. Setiap langkah mereka semakin dalam, semakin berat, dan seakan dunia ini menekan mereka dari segala arah.

Liora merasakan sebuah kejanggalan yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar ilusi atau jebakan. Sesuatu yang mengancam keberadaan mereka dengan cara yang jauh lebih berbahaya.

“Apa yang kau rasakan, Liora?” tanya Calyx, suaranya penuh dengan kekhawatiran.

Liora menggigil sedikit, menatap ke sekeliling mereka. “Ada sesuatu yang bergerak di dalam kegelapan ini. Seperti ada kekuatan yang lebih besar dari yang kita kira, sedang menunggu.”

Calyx menatapnya dengan serius. Mereka sudah memasuki inti Benteng Kegelapan, dan dengan setiap langkah yang mereka ambil, energi gelap semakin kuat, hampir tak tertahankan. Rasa cemas itu mengguncang mereka berdua, namun mereka tahu bahwa mundur bukanlah pilihan.

“Jangan takut,” kata Calyx, berusaha menenangkan diri dan Liora. “Ini adalah kekuatan Phoenix yang mengalir dalam darahku. Kita telah sampai sejauh ini, dan kita harus terus maju. Kita tidak bisa menyerah.”

Liora menatap sahabatnya, mencari keyakinan dalam kata-kata itu, namun di dalam hatinya, dia merasakan bahwa mereka sedang menuju ke sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mereka tak sepenuhnya pahami. Tetapi mereka sudah begitu dekat. Mereka tahu bahwa Benteng Kegelapan menyimpan rahasia yang bisa mengubah segalanya, dan mereka harus menemukannya sebelum terlambat.

Tiba-tiba, sebuah suara menggema di dalam benteng yang gelap. Suara itu penuh dengan kekuatan, menggetarkan seluruh tubuh mereka. “Kalian sudah begitu dekat. Namun, kalian belum siap untuk menghadapi apa yang ada di sini.”

Calyx memalingkan kepala, dan tiba-tiba sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan, menyelimuti mereka dalam kegelapan yang lebih pekat. Bayangan itu bergerak, bukan seperti makhluk hidup biasa, tetapi seperti sesuatu yang sangat kuno dan tak bisa dipahami. Bayangan itu perlahan mulai membentuk wujud, dan di depannya, muncul sosok yang mengerikan—makhluk yang tampaknya merupakan gabungan antara manusia dan kegelapan itu sendiri.

Sosok itu menatap mereka dengan mata merah menyala, penuh kebencian dan kekuatan yang tidak manusiawi. “Aku adalah penjaga Benteng ini. Kalian tidak bisa melangkah lebih jauh.”

Liora terkejut, namun tidak mundur. “Kami datang untuk menghancurkan kekuatan ini! Kami tidak akan berhenti sebelum dunia ini bebas dari bayang-bayang yang kau ciptakan!”

Makhluk itu tersenyum sinis, senyum yang penuh dengan kebencian. “Kalian tidak tahu apa yang sedang kalian hadapi. Kekuatanku adalah kekuatan yang lebih tua daripada kalian bisa bayangkan. Kegelapan ini sudah mengakar dalam dunia ini, dan tak ada yang bisa menghentikannya.”

Calyx merasakan darahnya mendidih. Sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, sebuah gelombang energi hitam muncul dari sosok itu, meluncur dengan kecepatan luar biasa. Liora berteriak, mengangkat tangan untuk membentengi diri mereka, namun kekuatan itu terlalu besar. Mereka terhuyung, dan tubuh mereka terasa seperti terikat oleh kekuatan yang tak kasat mata.

Namun, di tengah kegelapan yang membelenggu mereka, sesuatu dalam diri Calyx mulai bergolak. Suara api Phoenix berdesir di telinga mereka, nyala api yang membakar dalam tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa panas, seperti api yang mengalir dalam setiap pembuluh darahnya. Tanpa bisa ditahan lagi, kekuatan Phoenix itu meledak dengan kekuatan yang luar biasa. Api yang selama ini tersembunyi dalam dirinya kini membakar lebih terang, memenuhi seluruh tubuhnya dengan energi yang luar biasa.

Liora yang melihatnya tak dapat berkata-kata. Api Phoenix yang selama ini ada di dalam diri Calyx kini bukan hanya sebuah kekuatan fisik, melainkan sebuah kebangkitan yang mengubah segalanya. Kekuatan itu tidak hanya membakar kegelapan, tetapi juga membuka jalan bagi Calyx untuk melawan takdir yang telah ditetapkan untuknya.

Dengan teriakan yang menggelegar, Calyx melepaskan energi Phoenix yang ada di dalamnya, dan seluruh Benteng Kegelapan seakan bergetar. Bola api raksasa terbentuk di telapak tangannya, membakar semua yang ada di sekitarnya, menghancurkan bayangan gelap yang menyerang mereka. Ledakan api itu begitu besar, sehingga bayangan gelap itu terlempar mundur, jatuh ke tanah dengan suara gemuruh yang membuat langit di atas mereka menyala merah.

Sosok penjaga benteng itu terjatuh, terlempar ke belakang dengan suara teriakan yang mengerikan. “Kalian… kalian tidak tahu apa yang telah kalian lakukan!”

Namun, Calyx tidak memberi kesempatan untuknya bangkit. Api Phoenix itu membara, meluncur menuju sosok penjaga itu dengan kecepatan luar biasa, melahap segala sesuatu yang menghalangi. Dalam sekejap, penjaga itu lenyap, disapu habis oleh energi Phoenix yang menghanguskan segala yang ada di sekitarnya.

Dengan kekuatan yang begitu besar, Calyx merasakan tubuhnya semakin lemah, namun api Phoenix itu tidak bisa dipadamkan begitu saja. Kekuatan itu terus membakar, membakar hingga ke dasar jiwanya. Kekuatan Phoenix dalam dirinya telah bangkit—lebih kuat dari sebelumnya, lebih mengalir deras, dan lebih menguasai tubuhnya.

Liora berlari mendekat, mendekap Calyx dengan penuh perhatian. “Calyx, berhenti! Jika kamu terus melakukannya, kamu bisa kehilangan kendali!”

Namun, Calyx hanya tersenyum lemah. “Ini bukan lagi soal kendali, Liora. Ini soal menyelamatkan dunia. Ini adalah kebangkitan terakhir Phoenix, dan aku tidak bisa membiarkannya padam.”

Di saat itu, seluruh Benteng Kegelapan berguncang hebat. Energi yang muncul dari tubuh Calyx mulai mengalir keluar, menghancurkan dinding-dinding benteng, dan menerangi kegelapan yang menyelimuti dunia. Sebuah jalan terbuka di hadapan mereka, dan mereka tahu—perjalanan mereka belum berakhir.

Namun, dalam hati Calyx, ada satu pertanyaan yang mengganjal. Setelah kebangkitan Phoenix ini, apakah mereka siap menghadapi konsekuensinya? Kekuatan ini lebih besar daripada yang mereka bayangkan, dan dunia yang mereka kenal mungkin akan berubah selamanya.*

Bab 8: Dunia Baru

Kekuatan Phoenix yang membakar tubuh Calyx perlahan mereda, namun jejak api itu meninggalkan dampak yang tak dapat diabaikan. Setelah menghancurkan Benteng Kegelapan yang hampir menyeret dunia ini ke dalam kedalaman yang tak terbayangkan, kedamaian sementara menyelimuti dunia. Namun, dunia yang mereka kenal kini sudah berbeda—dan mereka tahu, begitu juga dengan diri mereka.

Calyx berdiri di antara reruntuhan Benteng Kegelapan, tubuhnya kelelahan namun jiwanya terbakar dengan semangat yang baru. Energi Phoenix yang mengalir dalam darahnya masih terasa membara di setiap nadi, dan meskipun tubuhnya terasa hancur, hatinya dipenuhi dengan tekad yang lebih kuat daripada sebelumnya. Di sampingnya, Liora berdiri dengan hati-hati, memandang dunia yang sekarang tampak jauh berbeda—dunia yang tak lagi dikuasai kegelapan, namun entah apa yang akan datang menggantikan itu.

“Ini bukan kemenangan yang mudah, Liora,” ujar Calyx, suaranya penuh dengan keletihan. “Tapi kita sudah melakukannya. Kita sudah menghancurkan Benteng itu. Dunia ini—dunia kita—akan bebas dari kegelapan.”

Liora menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman, namun wajahnya juga penuh dengan kekhawatiran. “Mungkin benar kita telah mengalahkan musuh besar itu, tetapi dunia ini tampak berbeda. Benteng itu tidak hanya menyimpan kegelapan fisik, tetapi juga sebuah sistem yang telah mengatur segala sesuatu di bawahnya. Kita sudah menghancurkannya, tetapi kita belum tahu apa yang akan terjadi sekarang.”

Calyx mengangguk pelan. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Liora. Selama berabad-abad, dunia ini telah terbelenggu oleh kekuatan yang tersembunyi dalam Benteng Kegelapan—kekuatan yang mengendalikan takdir semua makhluk hidup. Namun setelah semuanya runtuh, dunia ini tiba-tiba tampak hampa, seolah segala yang pernah ada di dalamnya telah tercabut dari akarnya.

Mereka berjalan keluar dari reruntuhan benteng, menuju sebuah dunia yang seakan terbuka lebar di depan mereka. Langit yang sebelumnya gelap dengan warna merah dan hitam kini tampak cerah, namun ada semacam kehampaan yang menyelimuti udara. Segalanya terasa asing. Tanah yang mereka pijak terasa lebih ringan, seolah menyambut mereka kembali ke dunia yang baru—dunia yang bebas dari kegelapan, tetapi juga penuh dengan ketidakpastian.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Liora, matanya penuh dengan kebingungan.

Calyx menatap ke depan, merasakan gelombang energi yang baru muncul setelah kehancuran Benteng Kegelapan itu. “Aku rasa, kita harus mulai membangun kembali. Dunia ini membutuhkan arah baru—tanpa bayangan yang mengancamnya lagi. Tapi, kita juga harus memikirkan bagaimana dunia ini akan bertahan hidup setelah apa yang telah terjadi.”

Tiba-tiba, sebuah suara gaib terdengar di udara, menembus kesunyian yang mengelilingi mereka. “Kalian telah menghancurkan Benteng Kegelapan, tetapi kalian hanya memulai sebuah perjalanan yang lebih besar.”

Calyx dan Liora menoleh dengan cepat, mencari asal suara itu. Di tengah langit yang cerah, sebuah bentuk bayangan perlahan terbentuk, semakin jelas—makhluk yang hampir tak bisa dijelaskan. Itu adalah entitas yang tampaknya terdiri dari cahaya dan energi, yang memancarkan kekuatan yang tidak bisa mereka pahami sepenuhnya.

“Siapa… siapa kamu?” tanya Calyx, hati mereka berdebar. “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan dunia ini?”

Entitas itu tersenyum lembut, meskipun wajahnya tidak bisa dikenali. “Aku adalah bagian dari dunia yang telah lama terlupakan. Benteng Kegelapan adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar. Kalian telah menghancurkannya, tetapi perubahan itu hanya membuka jalan bagi apa yang lebih besar—sebuah dunia baru, yang penuh dengan kemungkinan, namun juga ancaman.”

Liora menatap entitas itu dengan cemas. “Ancaman apa yang kita hadapi sekarang?”

“Perubahan ini akan mengguncang semua yang ada di dunia ini,” jawab entitas itu dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Kalian telah membuka jalan menuju dimensi baru, di mana kekuatan yang lebih besar akan datang. Dulu, dunia ini terbelenggu oleh kegelapan, tetapi kini, kalian akan menemui kenyataan yang jauh lebih besar dari sekadar kekuatan fisik—sebuah keseimbangan yang telah lama dijaga oleh kekuatan alam. Dan kalian, Calyx dan Liora, akan menjadi penjaga dari dunia ini.”

Calyx merasa kekuatan di dalam dirinya bergolak. Kata-kata itu membawa tanggung jawab yang sangat besar. “Jadi… ini bukan hanya tentang menghancurkan Benteng Kegelapan? Ada sesuatu yang lebih besar yang harus kita jaga?”

“Benar,” jawab entitas itu. “Dunia baru ini membutuhkan penjaga—para pembangun yang akan membantu dunia ini menemukan jalan baru, membangkitkan energi yang telah lama terpendam. Namun, dunia ini juga akan diuji. Kekuatan yang kalian bebaskan tidak hanya membawa pembaharuan, tetapi juga mengundang ancaman baru, ancaman yang tak terlihat namun kuat.”

Liora menggenggam tangan Calyx, matanya penuh tekad. “Jika kita harus menjaga dunia ini, maka kita akan melakukannya. Kita tidak bisa membiarkan segala yang telah kita perjuangkan hancur begitu saja.”

Calyx menatap Liora dengan rasa bangga. Dia tahu, mereka telah melewati begitu banyak cobaan bersama, dan meskipun dunia ini telah berubah, mereka harus menjadi cahaya yang memandu orang-orang di dunia baru ini. “Kita akan membangun dunia ini. Kita akan menjadi penjaga yang dimaksudkan oleh entitas ini.”

Namun, saat mereka berbicara, sebuah gema terdengar di dalam hati mereka. Entitas itu bukan hanya berbicara tentang dunia ini, tetapi tentang dunia yang terhubung dengan dunia mereka—dimensi yang lebih besar, di mana kekuatan alam yang sesungguhnya berdiam. Dunia yang lebih besar ini tidak hanya mengandung ancaman yang lebih besar, tetapi juga kesempatan yang lebih besar untuk mereka temui.

“Kalian akan belajar untuk menyelaraskan diri dengan kekuatan ini,” kata entitas itu lagi, “dan kalian akan menjadi bagian dari dunia baru ini. Sebuah dunia yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih penuh dengan kehidupan.”

Calyx merasakan suatu gelombang perubahan dalam dirinya—perasaan yang lebih besar daripada sekadar Phoenix yang membara dalam tubuhnya. Ini adalah perubahan dalam jiwanya, dalam seluruh eksistensinya. Dunia baru ini memanggil mereka, dan mereka harus siap.

“Ini bukan akhir,” kata Calyx, suaranya lebih dalam dan penuh percaya diri. “Ini baru permulaan.”

Dengan tekad baru di dada mereka, Calyx dan Liora melangkah ke dunia yang tak terduga, dunia yang penuh dengan kemungkinan dan tantangan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan. Namun, mereka tahu satu hal: dunia ini, dunia baru, akan membutuhkan mereka lebih dari sebelumnya.

Dan mereka siap untuk menghadapi segala perubahan yang datang—bersama.p*

Epilog: Sayap yang Tidak Pernah Padam

Tahun telah berlalu sejak Calyx dan Liora mengalahkan Benteng Kegelapan, dan dunia yang mereka kenal kini telah berubah selamanya. Dunia baru yang mereka bangun bersama-sama semakin berkembang, bebas dari ancaman yang sebelumnya membayangi. Namun, meskipun kedamaian yang baru ini telah tercipta, ada sesuatu yang tetap membara dalam diri mereka—sebuah api yang tak pernah padam, sebuah perjuangan yang tidak akan pernah selesai.

Calyx berdiri di puncak sebuah bukit, menatap cakrawala yang luas, tempat langit bertemu dengan tanah yang subur. Dunia ini kini tampak lebih hidup, lebih cerah, tetapi ada bayangan yang tak bisa mereka hindari. Dunia yang mereka selamatkan tidak hanya berutang pada mereka, tetapi juga pada ancaman yang terus mengintai dari balik dimensi yang jauh. Entitas yang mereka temui di Benteng Kegelapan, meskipun sudah memberi mereka pengetahuan baru, meninggalkan satu pertanyaan besar yang tak terjawab.

Calyx merasakan sayap Phoenix di dalam dirinya kembali menyala, meskipun ia telah memutuskan untuk tidak mengandalkan kekuatan itu secara sembarangan. Api itu, meskipun membakar penuh dengan kekuatan dan energi, tetap menjadi bagian dari dirinya. Itulah yang membedakan dia dari yang lainnya. Ia adalah penjaga, namun lebih dari itu, ia adalah penerus api yang tidak pernah padam.

Liora bergabung di sampingnya, matanya memandang jauh ke horizon. Mereka berdua telah melalui begitu banyak perjalanan bersama, namun kini mereka harus berdiri sebagai penjaga dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan peluang, namun juga ancaman yang tak terlihat. “Apa yang kita lakukan sekarang, Calyx?” tanyanya dengan suara lembut, namun penuh makna.

Calyx tidak langsung menjawab, tetapi matanya yang tajam memandang jauh ke depan, ke arah dunia yang kini mereka miliki. “Dunia ini tidak bisa diam. Kita harus terus menjaga keseimbangannya. Kita sudah membuka jalan untuk kemungkinan yang lebih besar—lebih banyak dunia yang saling terhubung, lebih banyak ancaman yang menunggu. Apa yang kita lakukan selanjutnya akan menentukan masa depan.”

Liora mengangguk, memahami. Mereka telah menyaksikan betapa rapuhnya keseimbangan yang telah mereka pulihkan. Dunia baru ini membutuhkan lebih dari sekadar penjaga; mereka membutuhkan pemimpin yang akan menunjukkan arah, yang akan membimbing dunia untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu.

“Kita sudah menghancurkan Benteng Kegelapan,” lanjut Liora, “tetapi sekarang kita tahu, itu hanyalah permulaan. Kita perlu mempersiapkan diri untuk apa yang akan datang.”

Calyx menarik napas dalam-dalam, merasa beban tanggung jawab itu semakin menekan. “Aku tahu. Tidak ada jalan mundur, Liora. Kita harus memastikan bahwa dunia ini tetap berjalan di jalur yang benar. Tetapi aku juga tahu satu hal—kekuatan yang ada di dalam diriku, yang telah aku terima, bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk membangun.”

Dengan kata-kata itu, Calyx menundukkan kepalanya, merasakan kekuatan Phoenix mengalir dalam dirinya, tak terbendung. Api itu adalah bagian dari dirinya, tetapi sekarang ia harus belajar untuk mengendalikannya—bukan hanya untuk bertarung, tetapi untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dunia baru yang akan mengingat perjuangan mereka dan menumbuhkan harapan bagi generasi yang akan datang.

Di belakang mereka, dunia yang telah mereka bantu lahirkan mulai terlihat lebih jelas. Kota-kota yang dulu tertutup oleh bayangan kini bangkit kembali, dibangun dengan fondasi yang kuat dan penuh harapan. Masyarakat yang dulu takut hidup dalam bayang-bayang kekuatan gelap kini mulai berjalan dengan lebih percaya diri. Mereka tahu bahwa meskipun dunia ini telah bebas dari ancaman besar, mereka tetap harus melangkah dengan hati-hati. Dunia ini masih rapuh, dan kebangkitan mereka yang pertama hanyalah langkah awal dari perjalanan panjang yang menanti.

“Bagaimana kita bisa memastikan bahwa dunia ini tetap terjaga?” tanya Liora lagi, matanya menatap ke arah kota yang mulai berkembang.

“Kesadaran,” jawab Calyx dengan tenang. “Kesadaran tentang apa yang telah terjadi dan apa yang bisa terjadi. Kita harus mengajarkan pada dunia ini bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari api atau kekuatan fisik, tetapi dari hati yang jujur dan tekad yang tak tergoyahkan.”

Liora memandang sahabatnya, melihat betapa dalamnya perubahan yang telah terjadi pada dirinya. Calyx yang dulu dipenuhi keraguan kini telah menjadi seorang pemimpin yang berani menghadapi segala tantangan. “Kau sudah menjadi pemimpin yang mereka butuhkan, Calyx. Dan aku akan selalu ada di sini bersamamu.”

Calyx tersenyum, namun senyuman itu penuh dengan beban yang tak terlihat. “Kita tidak bisa melakukannya sendirian, Liora. Dunia ini membutuhkan lebih dari sekadar kita. Kita harus membangun sebuah generasi baru yang siap untuk menjaga apa yang telah kita bangun.”

Dengan itu, mereka berjalan bersama kembali ke kota yang perlahan-lahan bangkit dari kegelapan. Mereka tahu bahwa pertempuran mereka belum berakhir—bukan hanya pertempuran dengan musuh, tetapi pertempuran untuk memastikan bahwa dunia ini tetap berjalan di jalurnya yang benar. Tetapi dalam hati mereka, ada api yang tidak akan pernah padam—api yang mengingatkan mereka bahwa mereka adalah penjaga dari dunia yang baru ini, dan mereka siap untuk menjalani takdir mereka, apapun yang terjadi.

Mereka telah menjadi simbol kebangkitan, simbol dari kekuatan yang tak pernah padam. Sayap Phoenix yang mereka bawa, meskipun tersembunyi, akan selalu siap untuk terbang lagi—untuk membawa dunia ini terbang lebih tinggi, menembus batas yang tak terlihat, menuju masa depan yang penuh dengan harapan dan kemungkinan.***

———-THE END———-

 

 

Source: Jasmine Malika
Tags: #Api#FantasiPhoenix#Kehancuran#MitosDanLegenda
Previous Post

DIMENSI TERLARANG

Next Post

DIMENSI KATALIS

Next Post
DIMENSI KATALIS

DIMENSI KATALIS

RAHASIA BUMI YANG TERLUPAKAN

RAHASIA BUMI YANG TERLUPAKAN

KEMATIAN TERAKHIR

KEMATIAN TERAKHIR

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In