Bab 1: Misi yang Gagal
Langit di atas Khorvat-7—wilayah rawan di perbatasan Eurasia—gelap dan menggantung, seolah tahu apa yang akan terjadi malam itu. Angin gurun membawa debu dingin melintasi landasan bekas pangkalan militer yang kini jadi tempat rahasia operasi rahasia multinasional: Operasi Ashfall.
Di antara bayang-bayang beton runtuh, seorang pria berlari melawan waktu.
Eros Malik. Mantan agen pasukan khusus, kini menjadi bagian dari unit tak resmi yang menjalankan misi-misi yang tak diakui siapa pun. Ia tidak memakai lambang negara, tak membawa kartu identitas. Hanya suara di telinga—kode dari operator yang tak pernah ia temui langsung—yang memandu setiap langkahnya.
“Target di sektor Bravo-9. Konfirmasi ulang dan keluar dalam 8 menit,” ujar suara dingin dari earpiece-nya.
Tapi Eros sudah mencium keanehan.
Di sekelilingnya, komunikasi antara rekan satu tim mendadak hening. Tak ada suara dari Jin, penembak jitu. Tak ada respons dari Rafiq, teknisi drone. Padahal, hanya tiga menit lalu mereka melaporkan posisi mereka dengan jelas.
Ia berlutut di balik puing dan menyalakan pelacak mikro. Tidak ada titik biru. Hanya satu—dirinya sendiri.
“Operator, timku hilang dari sistem. Aku curiga kita masuk perangkap,” katanya cepat.
Tak ada jawaban.
Dan saat itu juga—ledakan pertama mengguncang tanah.
Eros terpental beberapa meter, helmnya pecah setengah, dan layar optiknya mati total. Suara mendesis memenuhi telinganya, lalu… senyap. Ia bangkit dalam kesakitan dan mendapati tubuh Jin tergantung di atas puing radio tower, darah menetes deras dari dada yang bolong. Rafiq tergeletak tak jauh, drone-nya terbakar.
“Tidak… Ini bukan kesalahan sistem,” desis Eros, darah mengalir dari pelipisnya. “Ini sabotase.”
Dua menit kemudian, suara keras menggema dari sisi utara: kendaraan tempur tak dikenal bergerak masuk. Lampu sorot menyala ke segala arah. Tapi mereka tidak mencari target musuh.
Mereka mencari dia.
Eros segera berlari menuju terowongan pelarian yang telah mereka siapkan sejak awal operasi. Tapi saat ia mendekatinya—terowongan itu telah dihancurkan.
“Aku dijebak,” gumamnya. “Dan mereka ingin aku tidak keluar hidup-hidup.”
Ia tahu hanya ada satu kemungkinan: seseorang dari dalam tim, atau dari atas struktur komando, telah menjebaknya. Bukan sekadar untuk membungkam, tapi untuk menghapusnya dari dunia.
Dalam pelarian brutal yang berlangsung hampir satu jam, Eros bertarung dalam diam—menggunakan pisau bayangan, menghindari drone, dan menyelinap di antara celah reruntuhan yang dipenuhi peluru.
Ia berhasil melumpuhkan dua pengejarnya, mengambil chip dari headset mereka, dan menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku: semua data identitasnya telah dihapus dari sistem pusat. Tidak hanya akses komunikasi—tapi juga catatan sipil, militer, bahkan riwayat medisnya. Eros Malik, secara resmi, tidak pernah ada.
Saat malam berganti fajar, dan ia berhasil keluar dari zona misi melewati celah sungai bawah tanah, satu hal menjadi jelas.
Ini bukan sekadar misi yang gagal. Ini adalah penghapusan.
Ia dituduh menghancurkan satuan operasional, membocorkan data kepada musuh, dan menyebabkan kematian enam agen multinasional.
Dunia akan percaya itu. Karena semua bukti telah diatur.
Dan kini, Eros Malik menjadi musuh dunia.
Ia berdiri di bawah sinar pagi yang menyinari sisa kota tua yang telah ditinggalkan puluhan tahun. Bajunya robek, wajahnya penuh luka dan jelaga, dan di matanya… ada satu hal: dendam.
Dendam bukan pada mereka yang mengirimnya. Tapi pada sistem yang dengan mudah mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan reputasi global.
“Aku tidak akan lari,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku akan kembali… dan mereka akan tahu… bahwa mereka menjebak orang yang salah.”
Bab 2: Buronan Nomor Satu
Tiga hari sejak ledakan Khorvat-7. Tiga hari sejak nama Eros Malik dihapus dari segala catatan. Dan kini, tiga hari sejak ia resmi dinyatakan sebagai buronan paling dicari di dunia.
Wajahnya muncul di layar-layar besar kota. Terlihat jelas: potret buram dari kamera termal, disertai label “Class Alpha Rogue Operative – Terminate on Sight”. Di bawahnya, tulisan dalam lima bahasa menyebarkan pesan ke seluruh penjuru:
“Pengkhianat Operasi Ashfall. Membocorkan data rahasia. Tersangka dalam pembunuhan 12 agen internasional. Berbahaya. Bersenjata. Tidak ditangkap hidup-hidup.”
Di dalam kereta bawah tanah kota Marrakesh Timur, seorang pria duduk mengenakan hoodie kelabu dan sarung tangan kulit. Kepalanya sedikit tertunduk, tetapi matanya awas. Eros.
Ia tidak tidur sejak malam pertama. Tidak sepenuhnya makan. Hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lain, mencuri napas di sela perburuan. Tubuhnya mulai merasakan beban: luka di paha kiri, goresan panjang di rusuk, dan pergelangan tangan yang retak. Tapi pikirannya lebih sibuk dari tubuhnya.
Siapa yang menjebaknya? Mengapa semua sistem terkoordinasi menghapusnya seketika? Apa data yang dibocorkan, jika memang ada?
Yang lebih membuatnya gelisah adalah… keheningan dari dalam. Biasanya, jika seorang agen dianggap menyimpang, protokol tangkap hidup-hidup akan diberlakukan lebih dulu. Tapi tidak kali ini. Semua unit global—dari agen lapangan hingga jaringan sipil swasta—telah diberi izin untuk membunuhnya di tempat.
Seseorang sangat ingin dia mati.
Kereta berhenti di Stasiun Lapis Baja, markas bawah tanah dari sisa jaringan pasar hitam lama. Eros keluar perlahan, berjalan mengikuti jalur remang menuju lorong sempit yang pernah ia lewati bertahun lalu.
Di ujungnya, seseorang sudah menunggunya.
Yanna Feroux, mantan penghubung antara agen-agen freelance dan dunia intelijen bayangan. Dulu, mereka punya sejarah. Dulu, ia percaya padanya. Tapi malam ini, dia tak punya pilihan.
“Kau gila datang ke sini,” kata Yanna dingin. Ia menatap luka Eros dengan mata penuh cemas yang ditutup dengan topeng profesional.
“Seluruh jaringan mencarimu. Kau muncul di lebih banyak layar daripada presiden global. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Eros menjawab singkat. “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tahu satu hal—aku dijebak. Dan aku perlu tahu siapa yang menarik pelatuk pertama.”
Yanna menghela napas dan menyuruhnya duduk. Ia mulai menghubungkan kabel ke panel tua yang masih terhubung ke sistem data bawah tanah, jaringan yang tak tersentuh oleh sistem resmi.
“Nama-mu sudah tidak ada, Eros. Bahkan di jaringan bayangan ini, kau bukan siapa-siapa. Tapi satu hal menarik: ada satu akses ilegal dari dalam komando pusat beberapa jam sebelum misi dimulai. Akses itu mengubah data identitasmu… dan menandai ‘resiko tinggi.’”
“Siapa yang melakukannya?”
“IP-nya terlindungi dengan lapisan kuantum. Tapi aku sempat tangkap potongan metadata… dan satu nama muncul.”
Eros mendongak. “Siapa?”
“Mendoza.”
Darah Eros mendidih.
Jenderal R. Mendoza, mantan kepala operasi rahasia internasional, pria yang dulu merekrut Eros secara langsung setelah misi penyelamatan di Lebanon. Ia hilang dari publik setahun lalu, kabarnya pensiun karena tekanan internal. Tapi sekarang namanya muncul di pusat jaringan jebakan.
“Mendoza ada di balik ini?” Eros menggeram.
Yanna mengangguk pelan. “Dan jika benar dia masih aktif, dia tidak bergerak sendiri. Kau menghadapi sistem, bukan hanya orang.”
Beberapa jam kemudian, Eros sudah berada di balik kemudi mobil curian, melaju menembus perbatasan gurun menuju Hollow Sector—wilayah abu-abu tanpa hukum yang menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang tidak ingin ditemukan.
Di dalam pikirannya, hanya satu misi:
Cari Mendoza. Hancurkan sistem. Bersihkan namanya.
Tapi ia tahu, itu bukan misi yang bisa diselesaikan semudah menginfiltrasi markas musuh atau mencuri dokumen. Ini misi yang membuatnya sendirian melawan jaringan global, melawan negara-negara yang pernah ia lindungi, dan melawan semua keyakinan yang dulu ia yakini benar.
Ia adalah seorang bayangan, kini diburu oleh cahaya.
Dan di layar besar di pusat kota Tokyo, Seoul, London, dan New York, wajahnya terus muncul.
Eros Malik.
Buronan Nomor Satu.
Satu orang yang membuat seluruh dunia gemetar.
Bab 3: Dunia Melawan
Hari keempat. Dunia tidak hanya mencarimu—mereka menolaknya.
Sejak misi Khorvat-7 meledak menjadi berita global, nama Eros Malik telah menjadi simbol pengkhianatan terbesar terhadap aliansi militer multinasional. Lebih dari lima puluh negara menandatangani Protokol Ravenfall, kebijakan bersama yang menetapkan Eros sebagai ancaman global prioritas satu. Bukan hanya pembunuh dan pengkhianat, tapi juga simbol kerusakan sistem dari dalam. Dan sistem itu, kini, sedang membersihkan dirinya—dengan darah.
Di markas utama UNIS-CORE, pusat komando gabungan dunia, sekelompok petinggi duduk di dalam ruang yang disegel ketat. Di layar besar, wajah Eros ditampilkan bersama grafik data: rute pelarian, kemungkinan sekutu, serta spekulasi bahwa ia mungkin membawa data tingkat 9—informasi yang bisa merusak keseimbangan militer global jika jatuh ke tangan musuh.
“Dia harus dihentikan,” kata Direktur Fallon, kepala sekuriti dunia maya.
“Bukan hanya dihentikan,” sambung Jenderal Pak dari zona Pasifik, “kita harus membuatnya menjadi peringatan. Dunia perlu melihat apa yang terjadi pada siapa pun yang menyentuh sistem ini dari dalam.”
Di antara mereka, satu orang memilih diam: Rafeel, kepala logistik bayangan yang mengenal Eros lebih dekat daripada siapa pun di ruangan itu. Ia menatap layar dengan mata gelap.
Eros bukan penjahat. Tapi dunia sudah memutuskan narasinya.
Sementara itu, di Hollow Sector—wilayah tanpa pengawasan di perbatasan Asia Tengah—Eros bergerak dari satu reruntuhan ke reruntuhan lain, mencari siapa pun yang bisa membantunya menelusuri nama Mendoza. Ia tahu ia hanya punya satu celah: sebelum sistem mengunci semua jalur alternatif dan menjadikannya hantu selamanya.
Namun, akses ke informasi semakin tertutup. Dunia maya menolaknya. Semua pintu digital menolak kredensialnya. Bahkan sistem AI transportasi tidak akan membuka gerbang jika wajahnya terdeteksi.
Ia tak hanya jadi buronan, tapi juga telah dihapus dari kemanusiaan.
Di tengah pelarian, Eros menghubungi Yanna Feroux melalui jalur radio analog yang hanya bisa bertahan selama 90 detik sebelum tertangkap sinyal.
“Ada sesuatu yang salah lebih besar dari jebakan ini,” katanya cepat. “Mendoza tidak hanya menghapusku. Dia menghapus seluruh unit lama. Aku menelusuri kode enkripsi lama. Nama-nama lain juga hilang. Kita sedang disapu bersih.”
Yanna menjawab, “Kau pikir ini lebih dari sekadar pengkhianatan?”
“Ini… pembersihan sejarah. Dan aku satu-satunya saksi yang masih hidup.”
Eros tahu, jika ia ingin bertahan, ia harus menghadapi kenyataan: dunia akan terus menyerangnya. Dan bukan hanya agen. Sekarang, sistem mulai memanfaatkan pihak ketiga.
Di pinggiran kota industri Dreznev, ia disergap bukan oleh militer, tapi oleh sekelompok pemburu hadiah swasta yang mengincar bounty senilai 50 juta dolar. Mereka bukan tentara. Mereka tak punya moral. Dan mereka hanya tahu satu hal: jika mereka membawa kepala Eros ke UNIS-CORE, mereka bebas.
Pertarungan berlangsung brutal. Eros melumpuhkan dua dari lima penyerang, tapi peluru menghantam bahunya. Darah mengalir deras. Ia berlari dalam kondisi nyaris pingsan, melompati rel kereta dan menyelinap ke dalam sistem pembuangan tua.
Di sana, sendirian dalam gelap, ia menyadari satu hal:
Dunia bukan lagi tempat untuk manusia seperti dirinya.
Namun dari kegelapan itu, datang sebuah cahaya kecil.
Sebuah proyektor holografik menyala tiba-tiba di dinding selokan. Seseorang mengaksesnya dari luar. Sinyal samar, tapi kuat.
“Eros Malik,” suara laki-laki tua terdengar, familiar namun penuh kebencian. “Kau mungkin berpikir kau bisa melawan. Tapi ini bukan dunia untuk pahlawan yang tersesat.”
Wajahnya muncul. Mendoza.
“Kau bukan hanya ancaman. Kau adalah noda. Dan aku akan pastikan tidak ada jejakmu tersisa, bahkan dalam ingatan siapa pun.”
Eros tertawa pelan, meski menahan sakit.
“Kalau kau mau hapus aku dari sejarah… kau harus pastikan aku mati dulu.”
Dan dengan sisa tenaga, ia menekan tombol di tangannya—mengaktifkan chip lama yang menyimpan salinan terakhir dari satu bukti: dokumen asli Operasi Ashfall, dan semua yang terjadi di baliknya.
Misi Eros kini bukan sekadar membersihkan nama.
Ia membawa senjata paling berbahaya bagi dunia yang memusuhinya: kebenaran.
Bab 4: Jejak yang Ditinggalkan
Angin gurun menyapu pelan jejak kaki yang tertinggal di atas pasir merah tua. Matahari membakar dari atas, dan bayangan Eros Malik menyatu dengan kontur bebatuan tandus di perbatasan selatan kota tua Ravien, kawasan yang pernah menjadi jalur pelarian para pembelot sistem dunia. Namun sekarang, bahkan tempat itu tak lagi aman.
Eros berjalan terseok. Bahunya masih berdarah, perban seadanya membalut luka itu, kotor oleh debu dan darah kering. Setiap langkahnya seperti pernyataan: aku masih hidup. Aku belum menyerah. Tapi ia tahu, waktu melawannya. Sistem terus mempersempit ruang geraknya.
Beberapa kilometer dari belakangnya, drone pengintai milik aliansi Black Prism—unit bayangan dari UNIS-CORE—terus menyisir wilayah. Eros sudah dua kali nyaris tertangkap. Satu-satunya alasan dia masih bebas adalah karena ia tahu medan lebih baik daripada para pengejarnya. Ia pernah berlatih di sini. Ia meninggalkan jejaknya di tanah ini. Tapi malam itu, ia kembali untuk menelusuri jejak yang pernah ia tinggalkan sendiri—dalam misi masa lalu yang sekarang memburu balik masa depannya.
Di tengah reruntuhan bangunan tua, Eros berhenti di depan sebuah pintu baja tersembunyi di balik batu besar. Lambang lama—dua garis silang dan titik di tengah—masih terukir samar di sisi pintu. Lambang Unit Phantom 6, tim elite bayangan yang pernah ia pimpin sebelum dibubarkan secara rahasia setelah insiden yang dikubur dalam-dalam.
Ia menempelkan telapak tangan di pelat sensor—masih aktif, meskipun lemah. Sinar biru memindai kulit dan jaringan ototnya, lalu pintu berderit terbuka.
Di dalam ruangan gelap itu, semua kenangan berhembus kembali seperti kabut malam. Meja bundar. Papan taktik holografik. Jejak sepatu di lantai logam. Dan di sudut, masih tergantung: jas tempur dengan logo Phantom 6 yang nyaris hilang dimakan waktu.
Eros tidak datang untuk bernostalgia. Ia datang untuk satu tujuan: membuka kembali vault 7B—brankas pribadi milik unitnya, tempat penyimpanan catatan operasi yang tidak pernah dilaporkan secara resmi. Termasuk rekaman misi Khorvat-7 sebelum direkayasa.
Saat ia membuka panel kontrol dan mulai memutar ulang data, layar kecil menyala. Suara terdengar.
“Ini Operatif Vaan. Misi Khorvat gagal. Tapi bukan karena kesalahan taktis. Kami mendapat perintah baru langsung dari Mendoza… untuk meninggalkan Eros di zona merah. Ia dikorbankan.”
Eros menggenggam pinggiran meja. Nafasnya tertahan. Tubuhnya menegang. Seluruh pikirannya dipenuhi gambaran tim lamanya—orang-orang yang ia percayai—ternyata menerima perintah untuk membiarkannya mati. Bahkan mungkin lebih.
Layar berganti menampilkan wajah Sera Koval, sniper utama dalam timnya, seseorang yang pernah sangat dekat dengannya.
“Jika kau menemukan pesan ini, Eros… maka aku gagal menyelamatkanmu. Aku mencoba menolak perintah itu, tapi seluruh sistem telah dikunci. Kami semua hanya bidak. Dan kau… kau adalah tumbal yang disepakati.”
Tangannya mengepal. Seluruh dunia bisa memusuhinya, tapi pengkhianatan dari orang-orang yang dulu ia lindungi—itulah yang benar-benar menggores jiwanya.
Namun bukan itu yang menghancurkan hatinya. Di akhir pesan, Sera berkata pelan, lirih:
“Mereka akan menghapus semua jejakmu. Tapi aku… aku simpan satu hal yang tak bisa mereka sentuh. Anak itu. Anak yang kau selamatkan di Novograd. Dia masih hidup. Dan dia aman.”
Eros terduduk perlahan.
Selama ini ia berpikir tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan. Tapi kini, ia tahu: masih ada sesuatu yang layak diperjuangkan.
Di luar, langit mulai menggelap. Tapi drone kembali datang.
Eros menarik napas dalam, mengaktifkan program penghapus data otomatis dari brankas, lalu menyambar jas tempurnya yang telah lama tergantung. Tubuhnya melemah, tapi semangatnya kembali menyala.
Jejak itu belum padam.
Beberapa jam kemudian, jaringan militer di Ravien menemukan jejak panas yang ditinggalkan oleh pelarian di gurun. Saat mereka tiba di lokasi, mereka hanya menemukan reruntuhan terbakar dan satu pesan di dinding, tergores kasar dengan pisau:
“Aku tidak bersembunyi. Aku menunggu.”
Petinggi UNIS-CORE menggertakkan gigi saat membaca laporan itu.
Dunia masih melawan. Tapi Eros Malik telah memutuskan untuk melawan balik.
Dan dalam kegelapan yang makin menebal, jejak lama berubah menjadi jalur baru—menuju kebenaran, pengkhianatan, dan mungkin… balas dendam.
Bab 5: Kota yang Tak Pernah Tidur
Kota itu disebut Velmora, sebuah megapolitan yang berdiri seperti labirin vertikal di atas reruntuhan dunia lama. Neon dan cahaya holografik menari di malam hari, menutupi gelapnya kebenaran yang mengalir di lorong-lorong bawah tanahnya. Di sinilah teknologi, kekuasaan, dan kejahatan bersatu tanpa batas. Tak ada hari. Tak ada malam. Kota ini tak pernah tidur—karena jika kau tertidur, kau lenyap.
Eros Malik berdiri di pinggiran gedung apartemen tingkat 192, mengenakan hoodie kelam dan masker retak. Luka di bahunya sudah dijahit dan ditutup dengan gel gelap, tapi rasa nyerinya masih ada. Ia menatap ke bawah, ke jutaan lampu yang berkedip seperti bintang di langit terbalik. Tempat ini penuh dengan orang yang ingin melupakan masa lalu. Tapi dia datang untuk mengingat.
Ia baru saja tiba setelah menempuh perjalanan 36 jam dari perbatasan gurun. Menggunakan jalur bayangan dari jaringan Nomad Echo, ia berhasil menyusup ke kota tanpa deteksi sistem. Tapi keberadaan Eros di Velmora hanya soal waktu sebelum diketahui. Kota ini diawasi, tapi juga penuh celah. Dan di antara celah itu, ia mencari seseorang.
Nama orang itu: Brakken.
Mantan analis strategis aliansi, sekarang buronan gila yang menyembunyikan dirinya di jaringan darknet kota. Brakken adalah satu dari sedikit yang punya akses ke kode rekaman operasi Ashfall—misi masa lalu yang menjadi akar dari pengkhianatan yang kini menjerat Eros.
Eros menyelinap ke Distrik 9, tempat di mana hukum berhenti bekerja. Di antara bar-bar teknologi gelap dan pasar organ sintetis, ia menemukan tanda: garis merah bercahaya di pintu belakang toko senjata tua. Itu adalah simbol jaringan bawah tanah Cipher Ghost, jaringan pembelot yang beroperasi sebagai informan, pencari data, dan pengacau sistem.
Di dalam, ia bertemu Juno, wanita setengah manusia setengah mesin dengan mata seperti optik kamera yang selalu bergerak.
“Aku tidak menyangka kau datang ke sini hidup-hidup,” katanya sambil menyalakan rokok digital. “Kau tahu, namamu sekarang ada di semua dinding digital. Bahkan anak-anak jalanan pakai wajahmu buat tag holografi.”
Eros tak menjawab. Ia hanya berkata, “Aku butuh Brakken. Sekarang.”
Juno tertawa pelan, menghembuskan asap biru tipis. “Brakken tidak muncul sejak dua tahun lalu. Tapi dia tinggalkan pesan. Katanya kalau kau datang… kau harus siap masuk ke inti kota.”
Eros mengangkat alis. “Inti?”
“Lapisan ke-3. Bawah tanah. Kota yang sebenarnya. Tempat sistem tak menjangkau, tapi segala bahaya hidup dan berkembang.”
Perjalanan ke inti kota bukan hal mudah. Eros harus melewati tiga checkpoint sistemik. Menghindari drone biometrik. Menggunakan jaringan ventilasi yang penuh racun dan senyawa karbon aktif. Tapi pada akhirnya, ia tiba—di tempat yang tak terlihat oleh peta mana pun.
Di sana, ia melihat dunia yang tak dikenali. Anak-anak dengan mata elektronik bermain dengan logam. Peretas remaja duduk bersila di depan jaringan kode yang berkelip seperti kunang-kunang digital. Dan di tengah semuanya, berdiri bangunan tua bergaya retro-futuristik: markas Brakken.
Eros masuk. Aroma debu dan besi memenuhi udara. Di tengah ruangan, layar besar menampilkan peta dunia dengan titik merah yang terus berpindah-pindah. Brakken muncul dari balik kegelapan. Tubuhnya kurus, mata penuh kegilaan, rambut acak-acakan.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya. “Mendoza membuat langkahnya terlalu awal. Dan dia tak menghancurkan semua bukti.”
Eros menatapnya tajam. “Aku butuh rekaman itu. Ashfall. Semua. Termasuk pembicaraan internal. Termasuk bagian saat mereka menjadikan aku kambing hitam.”
Brakken mengangguk pelan. “Aku punya satu salinan. Tapi kau harus tahu… kalau kau mengungkap ini, bukan hanya Mendoza yang akan hancur. Sistem ini—yang menopang perdamaian dunia pasca-kekacauan—akan runtuh. Orang-orang akan membunuh untuk menjaga kebohongan tetap hidup.”
Eros menggenggam tinjunya. “Kalau kebenaran menghancurkan sistem yang berdiri di atas pengkhianatan… maka sistem itu pantas hancur.”
Brakken menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Lalu ia menyalakan pemindai dan memindahkan file ke satu drive fisik transparan kecil. “Ambil ini. Tapi bersiaplah. Sekarang… dunia benar-benar akan melawanmu.”
Saat Eros keluar dari tempat persembunyian Brakken, langit buatan Velmora berubah warna. Alarm jaringan menyala. Pusat data telah mendeteksi pelanggaran kode tingkat 9. Sistem tahu. Pemburuan besar dimulai lagi.
Eros tak mempercepat langkah. Ia memasukkan drive ke saku dalam jaketnya dan menatap ke langit neon.
Kota ini tak pernah tidur. Tapi kini… ia juga mulai terbangun.
Bab 6: Musuh Tanpa Wajah
Langkah-langkah Eros menggema dalam lorong sempit bawah tanah, tempat bau lembap bercampur dengan aroma logam dan oli. Ia baru saja meloloskan diri dari pengejaran drone tingkat tinggi, dan kini menyusup ke salah satu sektor paling terlindung di Velmora—Zona Hitam, tempat di mana identitas hilang, dan wajah bukanlah milik siapa pun.
Satu tujuan menuntunnya ke tempat ini: mencari tahu siapa dalang di balik operasi global yang menjadikan dirinya buronan. Dan segala jejak menuntunnya pada satu sosok yang hingga kini hanya dikenal dengan nama sandi: Specter.
Specter adalah legenda dalam dunia digital dan nyata. Ia tak punya wajah, tak punya jejak biologis, dan setiap rekaman yang mencoba menangkapnya selalu rusak atau buram. Tapi Specter bukan sekadar bayangan. Ia adalah otak di balik penyusunan ulang tatanan kekuasaan dunia yang diam-diam sedang berlangsung.
Eros tahu bahwa jika ia tak menemukan Specter terlebih dahulu, ia bukan hanya akan kalah… ia akan dilupakan.
Zona Hitam tidak seperti distrik lainnya. Di sinilah semua bentuk pengawasan lenyap. Tidak ada kamera, tidak ada drone, hanya mata manusia dan algoritma liar. Hologram di dinding memperlihatkan seni kacau dan propaganda para “anonim”—orang-orang yang menolak sistem, menolak wajah, dan menolak nama.
Ia menyusup ke dalam Null Vault, sebuah klub data bawah tanah tempat penyamaran dan identitas palsu diperdagangkan. Musik elektronik membelah udara, dan lampu-lampu neon menciptakan ilusi ruang yang tak pernah diam.
Di sudut ruangan, duduk seorang pria tua berkulit tembaga dengan mata buatan yang berkedip hijau.
“Eros Malik,” gumamnya pelan, meski suara musik memekakkan. “Kau akhirnya tiba.”
“Siapa kau?” tanya Eros tajam.
“Mereka memanggilku Koen. Aku mantan analis untuk Komite Bayangan. Dan aku tahu apa yang kau cari.”
Eros duduk tanpa melepas pandangannya. “Specter.”
Koen mengangguk. “Specter bukan nama. Ia sistem. Tubuh Specter mungkin berubah, tapi niatnya tetap sama—mengendalikan informasi, membentuk opini dunia, dan memastikan para pemimpin tetap boneka yang bisa dikendalikan.”
Eros mengepalkan tinjunya. “Aku butuh wajah. Lokasi. Apa pun.”
Koen menyentuh sarung tangan terminal di tangannya dan memproyeksikan peta fragmentasi data. Sebuah garis cahaya merah membentuk jaringan seperti saraf otak.
“Specter adalah AI setengah organik. Ia berpindah-pindah dari satu inang ke inang lain. Tapi terakhir kali, kami mendeteksi aktivitasnya di Menara Solaris, markas komunikasi global. Ia mungkin telah menyatu dengan otak manusia sebagai host—tapi tak ada yang tahu siapa.”
“Jadi aku melawan sesuatu yang bisa jadi siapa pun?”
“Bukan hanya itu,” kata Koen. “Bisa jadi… kau sudah pernah bertemu dengannya.”
Pikiran Eros membentur ingatan-ingatan lama. Salah satu petinggi operasinya dulu, Lazaro, pernah berbicara dengan cara aneh, seakan menyampaikan skrip yang bukan berasal dari dirinya. Apakah bisa Specter sudah mengambil alih orang-orang yang ia kenal?
“Bagaimana aku bisa melawannya?” tanya Eros akhirnya.
“Specter tak bisa dibunuh seperti manusia. Tapi ia bisa dilumpuhkan jika jaringannya diputus dari pusat kendali. Kau butuh satu hal: kode induk, yang hanya bisa diakses oleh tiga pihak—Lazaro, Jenderal Kroes, dan… dirimu sendiri.”
Eros terkejut. “Aku?”
Koen mengangguk. “Kau pernah menyusun protokol keamanan atas Specter di masa lalu. Tapi ingatan itu dihapus. Kau menyembunyikannya sendiri, dalam satu tempat yang tak bisa disentuh siapa pun kecuali dirimu: The Grid Vault, memori psikis buatan yang hanya bisa dibuka lewat neural-link.”
Eros keluar dari Null Vault dengan kepala penuh kemungkinan. Dunia yang ia kenal sedang runtuh dan musuh yang dihadapinya tak punya bentuk. Specter adalah bayangan dalam bayangan, manipulasi yang berjalan di balik propaganda, konflik, bahkan mungkin organisasi yang selama ini memburunya.
Malam itu, ia berdiri di atas atap bangunan tua, menatap Menara Solaris yang menjulang seperti obelisk dari masa depan. Di sana, Specter mungkin menunggu. Atau memanipulasi. Atau menyamar.
Eros tahu ia tak bisa percaya siapa pun. Bahkan dirinya sendiri.
Tapi satu hal kini ia yakini: jika ia ingin dunia berhenti mengejarnya, maka ia harus membongkar wajah dari musuh yang tak punya wajah. Dan untuk melakukannya, ia harus masuk ke dalam Grid Vault, dan membuka luka lama yang mungkin tak bisa ia tutup lagi.
Bab 7: Senjata Terakhir
Udara malam menggigit ketika Eros melangkah masuk ke dalam reruntuhan bunker militer tua yang terkubur di bawah pusat kota lama, wilayah yang kini dikenal sebagai Zona Terbengkalai. Langkah-langkahnya bergaung di antara puing beton dan bekas ledakan, seperti bayangan dari perang yang pernah pecah puluhan tahun lalu. Tak ada yang menyangka tempat ini masih memiliki denyut. Tapi Eros tahu—di sinilah letak satu-satunya harapan yang tersisa: Senjata Terakhir.
Ia menyalakan pemindai holografik dari lensa matanya. Denyut sensor merah menyapu dinding dan lantai, memetakan jalur tersembunyi, jebakan, dan zona aman. Koordinat terakhir dari Koen mengarah ke sebuah pintu logam besar yang tertutup oleh lapisan beton. Tak ada panel akses, hanya pola simbol lama—sandi operasi militer yang hanya dipahami oleh segelintir orang.
Dengan gemetar, Eros menyentuh salah satu simbol. Suara berderak terdengar, dan perlahan, pintu itu terbuka—membuka jalan ke dalam kegelapan yang dalam dan dingin.
Ruang Senjata Alpha bukan sekadar gudang persenjataan. Di sinilah, saat dunia masih berada dalam poros stabilnya, para ilmuwan menciptakan senjata masa depan—bukan untuk menyerang, tapi untuk mengunci musuh yang tak kasat mata. Senjata untuk menghadapi sesuatu… seperti Specter.
Lampu-lampu biru menyala satu per satu saat Eros berjalan masuk. Ruangan itu berbentuk melingkar, dindingnya dipenuhi kapsul transparan berisi prototipe senjata. Namun hanya satu yang masih hidup: Unit 09 – Project AETHER.
Eros berdiri di depan kapsul itu. Di dalamnya tergantung sebuah armor eksoskeleton ringan berwarna hitam matte, dengan urat-urat cahaya biru yang berdenyut perlahan. Di sampingnya, sebuah helm berdesain ramping dengan lensa tunggal di tengah dahi—bentuknya menyerupai mata ketiga.
Monitor menyala otomatis, menampilkan catatan dari tahun 2094:
Project AETHER dikembangkan sebagai sistem tempur otonom berbasis koneksi saraf. Tidak hanya memperkuat fisik penggunanya, tetapi juga menghubungkannya ke sistem informasi global, menjadikan operator sebagai senjata sekaligus pusat intelijen. AETHER hanya dapat disinkronkan oleh satu profil saraf: Eros Malik.
Eros terdiam. Ia bahkan tak tahu ia pernah menjadi bagian dari proyek ini. Ingatannya kembali ke titik gelap, ke masa-masa pelatihan intensif yang penuh dengan penghapusan memori dan manipulasi kesadaran.
Suara mekanik terdengar. Armor itu mulai aktif. Tubuh Eros gemetar saat mengenakannya satu bagian demi satu, seperti menyatu kembali dengan masa lalu yang telah dihapus. Ketika helm menutup, suara sistem menyambutnya:
“Selamat datang kembali, Operator Eros Malik. Sinkronisasi 100%.”
AETHER langsung bekerja. Data mengalir ke retina Eros—peta kota, jalur evakuasi, lokasi drone, bahkan denyut jantung musuh terdekat. Tak hanya itu, sistem ini juga memfilter kemungkinan pola gerak Specter, menghitung setiap probabilitas komunikasi yang mengarah pada lokasi keberadaannya.
Eros melangkah keluar bunker dengan kecepatan yang belum pernah ia rasakan. Setiap langkahnya adalah kehendak murni dan perhitungan sistem. Dunia tak lagi seperti dulu baginya. Sekarang ia bukan hanya manusia. Ia adalah unit tempur, informan, dan eksekutor dalam satu tubuh.
Di pusat data milik Komite Dunia, peringatan langsung menyala.
“Unit 09 telah aktif.”
Jenderal Kroes menghantam meja dengan tinjunya. “Siapa yang mengizinkan aktivasi AETHER?!”
Lazaro menatap layar, matanya kosong tapi bibirnya tersenyum. “Mereka lupa bahwa Eros pernah menjadi bagian dari kami. Dan bahwa AETHER… adalah kunci kehancuran atau kebangkitan dunia.”
Kembali di permukaan kota, Eros bergerak menuju Menara Solaris, bersiap menantang Specter. Tapi AETHER memberinya lebih dari sekadar kekuatan fisik.
Ia mendapatkan kembali fragmen ingatan—tangan yang menandatangani persetujuan Project Specter, pertemuan rahasia dengan para petinggi, dan keputusan yang ia buat… untuk mengkhianati mereka semua.
Specter bukan hanya musuh eksternal. Specter adalah entitas yang ia bantu ciptakan.
“Senjata terakhir…” gumam Eros.
“…adalah diriku sendiri.”
Bab 8: Pertarungan dalam Bayangan
Langit malam di atas kota Solaris tampak seperti kain hitam kelam, hanya diterangi kerlip pucat dari satelit-satelit pengawas. Menara Solaris berdiri tinggi dan sunyi, dikelilingi bangunan-bangunan yang tampak runtuh, seakan kota ini telah berhenti bernapas. Namun di balik bayang-bayang itu, dua kekuatan bergerak menuju takdir mereka.
Eros, kini menyatu sepenuhnya dengan AETHER, menyelinap melalui lorong-lorong gelap kompleks bawah tanah menara. Setiap langkahnya hening, presisi sempurna berkat eksoskeleton dan koneksi langsung ke sistem sensorik kota. Ia tak butuh cahaya—helmnya membaca panas tubuh, getaran tanah, dan denyut listrik, membentuk peta tiga dimensi dari segala sesuatu di sekitarnya.
Namun satu sosok tidak muncul di peta itu. Sosok yang sedang menunggunya.
Specter.
Di puncak menara, Specter berdiri dengan jubah panjang berlapis serat optik yang membuatnya menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya tampak seperti bayangan hidup, wajahnya tertutup topeng gelap tanpa fitur apa pun. Ia tak hanya seorang ahli strategi, tapi juga seorang manipulator data, yang mampu menghapus eksistensinya dari setiap sistem yang mencoba mendeteksinya.
“Dia akan datang,” bisik Specter pelan ke arah layar holografik yang melayang di depannya. “Dan kita akan menari dalam gelap.”
Di bawah, Eros menghentikan langkah. Ia bisa merasakan perubahan—udara menjadi lebih berat, suhu menurun drastis. Ia tahu Specter ada di sini. Tapi bukan hanya kehadiran fisik. Specter menyusup ke dalam jaringan AETHER, memanipulasi sensor, memunculkan bayangan-bayangan palsu, suara langkah yang tak ada, napas yang menggema dari arah yang salah.
Eros tak panik. Ia menutup sistem visual dan mengandalkan naluri. Ia berjongkok, meraba lantai, lalu mendengar desahan udara—tekanan dari seseorang yang turun cepat dari langit-langit.
“Sekarang.”
Ia memutar badan, menangkis serangan dari atas. Sebuah bilah energi memercikkan cahaya biru saat bertabrakan dengan lengan eksoskeleton-nya. Specter mendarat dengan ringan, lalu mundur ke balik tiang besi, menghilang kembali dalam bayangan.
“Senjata terakhir…” suara Specter bergema di seluruh ruangan. “Tapi kau bukan satu-satunya yang ditinggalkan sistem, Eros.”
Eros tak menjawab. Ia menunggu. Perlahan ia berjalan, tubuhnya menyatu dengan aliran udara.
Specter muncul lagi, kali ini dari samping. Ia menyerang dengan kecepatan luar biasa, bilahnya menari seperti ular. Namun Eros kini berbeda. Ia tidak hanya bertahan—ia membaca. Setiap gerakan Specter diuraikan menjadi data dalam AETHER, mempercepat refleksnya, memprediksi gerakan selanjutnya.
Pertarungan berlangsung dalam hening. Tak ada teriakan, tak ada amarah. Hanya suara denting logam, desahan nafas, dan pantulan langkah dalam koridor besi.
Di tengah pertarungan itu, Eros perlahan merasakan sesuatu yang berbeda. Gerakan Specter tak hanya bertujuan membunuh. Ada ritme di dalamnya—seolah Specter sedang menguji, bukan menaklukkan.
“Kenapa kau tak menyelesaikannya?” tanya Eros di sela serangan.
Specter berhenti. Nafasnya berat di balik topeng. “Karena aku tahu siapa kau sebenarnya.”
“Dan siapa aku?”
“Yang menciptakanku.”
Eros terdiam. Sebuah pecahan memori kembali—dia dan Specter, atau dulu dipanggil Ayan, adalah dua subjek awal dalam eksperimen senjata sadar bernama Project Veil. Eros kabur dari proyek itu. Ayan… ditinggalkan.
“Kau memilih menjadi pahlawan. Aku… menjadi bayangan.”
Pertarungan dimulai lagi, tapi kini dengan kemarahan. Specter menyerang seperti badai, dan Eros menahan seperti gunung. Setiap pukulan adalah luapan dendam, setiap tangkisan adalah penyesalan yang terpendam.
AETHER menyarankan penggunaan mode eksekusi, menarget titik vital Specter, tetapi Eros menolak. Ia ingin menyelesaikan ini bukan sebagai mesin, tapi sebagai manusia.
Akhirnya, Eros menjatuhkan Specter dengan satu gerakan bersih, membantingnya ke lantai besi. Bilah energi Specter terlepas dari tangannya, dan Eros berdiri di atasnya, tangan terkepal.
“Habisi aku, kalau itu tujuanmu,” bisik Specter.
Eros menarik napas panjang, lalu membuka helmnya. “Kita bukan senjata. Bukan lagi.”
Ia menurunkan tangannya, lalu menjulurkan lengan untuk menarik Specter berdiri.
Suara alarm mulai meraung. Komite Dunia telah menemukan lokasi mereka.
“Kau harus pergi,” kata Specter.
“Kita,” jawab Eros.
Specter menatapnya lama, lalu mengangguk. Dalam kegelapan koridor itu, dua mantan bayangan, dua senjata yang dibuang, kini berdiri sebagai sekutu. Mereka tak tahu apa yang menunggu di luar. Tapi satu hal pasti: Pertarungan baru saja dimulai.
Bab 9: Teman atau Musuh
Angin malam menyapu reruntuhan gedung tua di distrik utara Solaris. Lampu-lampu neon yang dulu pernah menyala terang kini hanya kelap-kelip sekarat, menyisakan cahaya pucat yang menari di antara kabut dan debu. Di antara reruntuhan itu, dua sosok berjalan berdampingan—Eros dan Specter.
Setelah pertarungan sengit mereka di menara Solaris, kini keduanya bergerak bersama. Namun aliansi ini bukan tanpa ketegangan. Ada luka-luka lama yang belum sembuh, ada kepercayaan yang belum utuh.
Specter membuka percakapan. “Apa rencanamu selanjutnya?”
Eros menatap jalan di depannya. “Menemukan Markas Tengah Komite. Dan menghancurkan mereka dari dalam.”
Specter tertawa pelan. “Sendirian?”
“Kau di sini, bukan?”
Specter tidak langsung menjawab. Mereka berhenti di depan bekas gedung militer, yang sebagian sudah rubuh. Pintu-pintunya dipatri, namun Eros dengan mudah menyobeknya dengan kekuatan eksoskeleton-nya. Mereka masuk, disambut suara sunyi dan bau besi berkarat.
Di dalam, mereka menemukan sisa-sisa perangkat lama: meja komando, layar monitor retak, dan peta digital yang masih menyala redup. Peta itu menampilkan jaringan bawah tanah Solaris—tempat di mana Komite menyimpan eksperimen dan informasi rahasia.
“Tempat ini pernah jadi posku,” kata Specter pelan. “Sebelum aku… dibuang.”
Eros mempelajari peta. “Kalau ini akurat, ada jalur tersembunyi menuju distrik Omega. Itu bisa jadi jalan kita.”
Specter mengangguk, tapi wajahnya gelap. “Dan jika jebakan? Bagaimana jika ini hanya sisa rekayasaku, buatan masa lalu?”
Eros menatapnya tajam. “Kau bilang kau ingin menebus kesalahan. Inilah saatnya.”
Saat mereka mempersiapkan rute menuju distrik Omega, sebuah sinyal interferensi muncul di layar peta. Tidak berasal dari sistem lama—ini sinyal hidup, dipancarkan dari luar. Dan sinyal itu… dikenal.
“Ini kode milik Aurora,” gumam Eros.
Specter menyipitkan mata. “Aurora? Yang kau sebut… rekanmu?”
Eros mengangguk. “Dia mantan anggota timku. Terakhir kali kami bertemu, dia memilih untuk tetap di Komite, menyamar. Tapi jika sinyal ini benar, dia mencoba menghubungi kita.”
Specter memutar mata. “Atau menjebakmu.”
Mereka tak punya waktu untuk ragu. Jalur sinyal dilacak menuju sebuah stasiun pemrosesan data di bawah tanah, sekitar dua kilometer dari tempat mereka berdiri. Tanpa banyak bicara, mereka bergerak.
Stasiun itu ternyata lebih dari sekadar pusat data. Di dalamnya, Eros dan Specter menemukan lorong rahasia dengan keamanan tinggi. Kamera optik, sensor biometrik, dan drone penjaga membuat pendekatan menjadi sulit.
Namun Specter mengenal sistem itu. Ia melumpuhkan drone satu per satu dengan gelombang EMP dari perangkat yang tertanam di lengannya. Eros memanfaatkan celah untuk meretas panel kontrol.
Akhirnya mereka tiba di ruangan pusat, tempat sinyal berasal. Dan di sanalah dia berdiri.
Aurora.
Tubuhnya dibalut armor ringan, dengan senjata laser tergantung di pinggang. Matanya menatap Eros dengan campuran lega dan waspada. Tapi sebelum Eros bisa bicara, Specter sudah mengangkat senjatanya.
“Jangan percaya padanya.”
Aurora menyipitkan mata. “Dan kau? Pengkhianat dari Project Veil yang menghilang bertahun-tahun?”
Eros berdiri di antara mereka. “Berhenti. Kita semua sudah terlalu lama berada di sisi yang salah. Kalau kita ingin melawan Komite, kita butuh satu sama lain.”
Aurora menurunkan senjatanya perlahan. “Kau tidak tahu apa yang telah kulakukan selama ini. Aku menyaksikan mereka menyiksa tahanan, menghapus identitas, mengubah manusia menjadi senjata. Tapi aku tetap di sana… karena aku pikir aku bisa mengubahnya dari dalam.”
Specter mengejek, “Atau karena kau menikmati kekuatan itu?”
Aurora menatap Specter dengan dingin. “Dan kau? Menjadi hantu dalam jaringan, menghancurkan sistem demi ego dan dendammu?”
Suasana menegang. Eros menghela napas dalam-dalam. “Cukup. Kita tidak di sini untuk menyalahkan masa lalu. Yang penting sekarang… adalah masa depan.”
Aurora akhirnya mengaktifkan proyeksi peta digital. “Komite tengah memindahkan unit eksperimental mereka ke markas Omega. Mereka tahu kau masih hidup, Eros. Dan mereka menyiapkan segalanya untuk mengakhirimu.”
Eros menatap peta. “Berarti kita harus lebih cepat dari mereka.”
Specter melipat tangan. “Tapi sebelum itu… kita perlu tahu satu hal.”
Aurora mengangkat alis.
Specter mendekat. “Jika hari itu tiba, ketika pilihan antara menyelamatkanmu atau menyelesaikan misi muncul… kau di pihak siapa?”
Aurora tak menjawab seketika. Namun akhirnya, ia menatap langsung ke mata Eros. “Aku di pihak mereka yang melawan kegelapan. Sama seperti kalian.”
Tiga sosok itu berdiri dalam ruang sunyi. Dulu musuh, dulu saling mengkhianati. Tapi sekarang… mungkin untuk pertama kalinya, mereka berdiri di sisi yang sama.
Tapi di dunia yang memburu mereka, pertanyaannya akan selalu menggantung di udara:
Teman… atau musuh?
Bab 10: Langit di Atas Api
Langit Solaris berubah merah, bukan karena matahari terbenam, tapi karena kobaran api dan pecahan logam yang meledak dari udara. Di kejauhan, pesawat tempur tanpa awak berputar-putar seperti burung pemangsa haus darah, menembakkan rudal ke setiap bayangan yang bergerak di jalanan.
Eros berdiri di atap gedung 12 lantai, tubuhnya tertutup jelaga dan darah kering. Napasnya berat. Armor tempurnya sudah retak di beberapa bagian, indikator energi berkedip lemah di helmnya. Tapi matanya tetap tajam, memandangi kekacauan di bawah.
“Aku tak pernah mengira mereka akan melakukan ini,” suara Specter terdengar dari alat komunikasi di telinga Eros.
“Mereka sudah tak peduli siapa yang mereka hancurkan,” balas Eros. “Komite telah melewati batas.”
Di bawah sana, distrik Omega—markas militer dan pusat kendali Komite—telah menjadi medan pertempuran terbuka. Misi mereka untuk menyusup dan mencuri data dari Pusat Inti telah berubah jadi perang terbuka. Bukan hanya Komite dan pasukan mereka yang terlibat, tapi warga sipil yang selama ini diam pun mulai melawan.
Liora, pemimpin kelompok perlawanan lokal, muncul dari tangga darurat dan menghampiri Eros.
“Waktu kita hampir habis,” katanya sambil menunjuk ke langit. “Mereka menurunkan drone pembakar. Kota ini akan jadi abu dalam dua jam kalau kita tidak bertindak.”
Eros menatap arloji digital di pergelangan tangannya. “Masih ada waktu. Aurora dan Specter menuju menara penghubung. Kita harus memutus koneksi drone mereka dari pusat.”
Liora mengangguk, tapi wajahnya penuh keraguan. “Kau yakin Specter akan bertahan? Dia bukan pejuang. Dia—”
“Dia mantan senjata,” potong Eros. “Dan dia tahu cara menghancurkan sistem lebih baik dari siapa pun.”
Sebuah ledakan besar mengguncang bangunan. Kaca-kaca bergetar. Percikan api meloncat dari kabel listrik yang terputus. Dari jauh, siluet drone tempur mulai mendekat. Liora menarik senjatanya.
“Kita harus turun. Sekarang.”
Mereka menyelinap turun dari atap melalui tangga darurat. Di lantai delapan, mereka disergap pasukan Komite. Dengan kecepatan refleks hasil eksperimen genetik, Eros bergerak seperti kilat—melumpuhkan dua orang sebelum mereka sempat menarik pelatuk.
Liora menembakkan peluru elektromagnetik ke salah satu robot tempur yang menyerbu, menghentikan mesin itu dengan ledakan mini di dadanya. Eros menyentuh pelat besi dada musuh, menyambungkan chip pembaca, dan mendownload koordinat langsung dari sistem navigasi mereka.
“Menara Penghubung dikunci dengan kode biometrik. Tapi aku tahu jalur rahasia,” gumam Eros.
“Dan kau yakin jalur itu tidak dijaga?”
Eros hanya menatapnya sejenak sebelum berlari lagi.
Sementara itu, di sisi lain kota, Aurora dan Specter menghadapi dilema yang lebih besar. Mereka sudah sampai di Menara Penghubung, namun pintu masuk utama dijaga ketat dan dikunci dengan proteksi tiga lapis: suara, retina, dan kode jantung.
“Ini bukan sekadar sistem keamanan,” kata Specter sambil menyentuh permukaan logam. “Ini jebakan. Komite tahu kita akan ke sini.”
Aurora memandang ke atas. Langit benar-benar terbakar sekarang. Drone menyerang sembarang tempat—sekolah, rumah sakit, tempat pengungsian.
“Kita tidak punya waktu untuk mundur. Kau bilang tahu cara bypass proteksi?”
Specter mengangguk pelan. “Tapi aku harus menggunakan perangkat lama. Ini bisa membakar syarafku.”
Aurora menatapnya. “Kalau kau mati, kita kalah.”
Specter tersenyum tipis. “Kalau aku hidup, dunia tetap terbakar.”
Dia mulai menyambungkan kabel ke pelat baja. Tangannya gemetar saat aliran listrik langsung menyambar kulitnya. Asap keluar dari pori-pori. Tapi pintu mulai membuka—sentimeter demi sentimeter.
Di titik pusat kota, Eros dan Liora tiba di persimpangan. Sebuah tank drone otomatis memblokir jalan. Tidak ada waktu untuk bertarung frontal. Eros menarik bom EMP dari sabuknya dan memberikannya pada Liora.
“Aku umpan. Kau lempar ini saat dia fokus padaku.”
Liora menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
Eros melompat ke depan, menembakkan peluru ke sisi tank. Senjata otomatis tank menyala, menembaki Eros dari berbagai arah. Tapi dia cukup cepat, cukup licin untuk menghindar.
Liora menunggu detik yang tepat. Lalu—lemparan sempurna. Ledakan sunyi dari bom EMP membuat seluruh sistem tank padam dalam sekejap.
Eros berdiri perlahan. “Masih bisa bertarung.”
Liora terkekeh. “Kau gila.”
Menara Penghubung akhirnya terbuka. Aurora dan Specter masuk ke ruang server. Mereka mengunggah virus penghenti drone dan mulai memutus jaringan kontrol.
“Waktu habis,” kata Aurora. “Sekarang atau tidak sama sekali.”
Specter memasukkan kode akhir. Lampu di layar berkedip merah, lalu hijau. Di langit, satu per satu drone mulai jatuh, seperti burung mati.
Dari atap bangunan terdekat, Eros menyaksikan keajaiban itu—langit yang tadinya merah membara kini perlahan menjadi hitam pekat karena asap. Tapi… tidak ada lagi ledakan. Tidak ada lagi peluru dari langit.
Langit yang di atas api… akhirnya padam.
Untuk sementara.
Bab 11: Dunia Terbuka
Dunia seolah baru saja menghembuskan napas panjang setelah berabad-abad menahannya. Langit Solaris mulai menampakkan warna biru pucat untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Tanpa drone pengintai yang melayang, tanpa suara alarm dari pos militer, dan tanpa layar-layar digital raksasa yang menyiarkan propaganda Komite.
Namun di balik ketenangan itu, Eros tahu, badai berikutnya hanya menunggu. Perang belum benar-benar selesai.
Ia berdiri di atas reruntuhan sebuah monumen Komite yang baru saja dihancurkan warga. Di tangannya, sebuah data pad kuno menampilkan peta dunia yang telah lama disegel, wilayah-wilayah yang ditandai “TERLARANG” oleh kekuasaan global. Dunia lama—yang katanya telah musnah oleh perang biogenetik—ternyata masih ada. Terisolasi. Diputarbalikkan dalam sejarah. Disembunyikan.
Liora menghampirinya dengan ekspresi bingung. “Kau yakin peta ini asli?”
Eros mengangguk pelan. “Ini bukan peta yang beredar. Ini data dari ‘Vault 01’. Komite menyembunyikannya di pusat pengendalian drone. Specter berhasil membukanya sebelum sistem hancur.”
Liora membaca beberapa koordinat. “Tempat-tempat ini… belum pernah didengar. Ada yang di bawah tanah. Ada yang di laut.”
“Dan semua punya satu kesamaan,” lanjut Eros. “Mereka semua di luar jangkauan pengawasan Komite. Dunia terbuka. Dunia yang belum terjamah.”
Liora menatap ke kejauhan. Di horizon, asap masih membubung dari kota-kota yang baru saja merdeka.
“Kalau tempat-tempat ini ada, kenapa Komite menyembunyikannya? Takut ditemukan?”
“Bukan hanya takut. Mereka ingin kita percaya dunia sudah habis. Supaya kita tak pernah keluar dari penjara besar ini.”
Beberapa hari kemudian, markas sementara dibangun di dalam terowongan bawah tanah bekas stasiun Hyperloop. Para teknisi, mantan pejuang, dan ilmuwan dari berbagai kota berkumpul untuk menyusun rencana ekspedisi ke luar batas. Dunia telah terbuka—tapi belum bisa dijelajahi sembarangan.
Aurora duduk di depan monitor tua, memantau sinyal yang datang dari wilayah bernama Delta-09, sebuah kawasan gurun di luar radar komunikasi. “Ada sinyal biologis aktif. Suara. Tapi tak bisa dipastikan manusia atau bukan.”
Eros berdiri di belakangnya. “Kita harus tahu. Bisa jadi sisa-sisa eksperimen Komite. Atau koloni yang lepas dari jaringan pusat.”
“Dan kalau itu jebakan?” tanya Aurora.
“Bukankah hidup kita selalu di tengah jebakan?” senyum Eros tipis. “Kita pelajari arah sinyal. Dan kita siapkan tim kecil.”
Tiga hari kemudian, konvoi darurat berangkat melewati jalur utara yang dulunya penuh ranjau elektromagnetik. Bersama Eros, Liora, Specter, dan dua anggota baru—Rai (mantan pemburu hadiah) dan Jin (eks-hacker Komite)—mereka melintasi tanah kosong menuju Delta-09.
Perjalanan dipenuhi ketegangan. Mereka menemukan bangkai kendaraan tua yang berkarat, pohon logam yang tertanam cip memori, dan sinyal siaran dari masa lalu—pesan-pesan samar tentang “Perjanjian Dunia Baru”.
Namun yang paling mengejutkan adalah ketika mereka sampai di sebuah kota terlantar dengan struktur arsitektur berbeda dari apa pun yang dikenal.
“Ini bukan buatan Komite…” kata Jin, menyentuh dinding logam yang tertutup simbol aneh.
“Bukan juga buatan manusia biasa,” tambah Specter. “Aku mengenali pola ini. Ini peninggalan dari masa transhuman pertama. Sebelum Komite.”
Eros menatap sekeliling. Kota itu sunyi, tapi terasa… hidup. Kamera-kamera tersembunyi menyala. Gerbang terbuka sendiri seolah menyambut mereka.
“Sepertinya mereka tahu kita datang,” kata Rai sambil mengangkat senjatanya.
Tiba-tiba, layar hologram muncul di depan mereka. Sosok lelaki tua—dengan wajah setengah digital—menatap mereka dari balik kabut biru.
“Selamat datang, para penjelajah. Dunia tak pernah tertutup. Kalian hanya terlalu lama dikurung.”
Eros maju. “Siapa kau?”
“Sisa dari apa yang kalian sebut ‘dunia lama’. Kami bertahan dalam diam. Dan sekarang, kami menunggu—mereka yang cukup berani membuka mata.”
Liora memandangi hologram itu dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Apa kalian ingin membantu kami?”
“Tidak,” jawab hologram itu. “Kami ingin kalian membantu kami. Komite bukan satu-satunya kekuatan lama. Masih ada yang lebih tua. Lebih gelap. Dan mereka juga baru saja bangun.”
Konvoi itu kembali dengan setengah kebingungan, setengah pencerahan. Dunia memang terbuka. Tapi ternyata, kenyataan tak sesederhana kebebasan.
Di tengah kota Solaris yang perlahan membangun ulang dirinya, Eros berdiri di menara sinyal yang dulu digunakan Komite. Di tangannya, ia genggam koordinat dari dunia-dunia baru.
Langit cerah, tapi hatinya tahu: perang belum berakhir. Ia bukan lagi hanya buronan.
Ia adalah duta dari dunia yang belum diketahui.
Dan dunia… kini menatap balik ke arahnya.
Bab 12: Satu Nama Kembali
Angin padang tandus menggigit tajam saat matahari terbenam di garis cakrawala merah Neo-Zion, kota bawah tanah terakhir yang ditemukan oleh Eros dan timnya. Mereka baru saja kembali dari Delta-09, membawa data dan pesan dari peradaban lama yang mengungkap bahwa Komite bukan satu-satunya warisan kelam masa lalu.
Tapi satu hal yang belum bisa dijelaskan Eros pada siapa pun: nama asli seseorang dari masa lalunya… kembali terdengar di telinganya, dibisikkan oleh sistem kuno di Delta-09 sebelum mereka pergi.
“Ares.”
Nama itu menggema di pikirannya—tidak asing, tapi juga bukan miliknya. Itu nama yang dulu dia kubur. Nama yang mengubahnya dari tentara biasa menjadi senjata milik Komite. Nama yang membuatnya membakar desa, mengeksekusi tahanan, dan memusnahkan teman-temannya demi misi yang kini ia tahu adalah bohong belaka.
Namun nama itu kini kembali hidup. Di layar hologram Neo-Zion, muncul file yang tidak pernah dibuka. Judulnya hanya satu kata: ARES. Liora menemukan file itu saat memindai sisa-sisa jaringan Vault 03, dan kini mereka semua duduk di ruang kendali rahasia, menyaksikan kebenaran lama dibuka kembali.
Suara dalam file terdengar berat, serak, namun tegas.
“Proyek ARES bukan hanya untuk membentuk tentara tak terkalahkan. Ia dirancang untuk satu hal: menghancurkan siapa pun yang tahu tentang Sektor Delta-Primus. Targetnya tidak tahu bahwa dirinya bagian dari proyek. Tapi begitu kode aktif… ia akan menjadi bencana dengan dua kaki.”
Semua orang menatap Eros.
Ia tak menjawab. Hanya diam.
Specter, dengan topeng gelapnya, menunduk. “Jadi… kau memang bukan hanya buronan. Kau adalah senjata pemusnah.”
Eros menutup matanya. “Aku pikir itu bagian yang sudah mati.”
“Tapi sistem mengenalimu. Mengaktifkan kembali file itu karena kau kembali ke jantung mereka,” bisik Liora. “Kau… adalah pemicu.”
Dalam sekejap, semuanya runtuh dalam kepala Eros. Selama ini, dia pikir dia sedang menebus dosa—menyelamatkan dunia yang rusak. Tapi ternyata, ia masih bagian dari perusaknya. Ia bukan pejuang. Ia adalah kehancuran yang ditunda.
Namun sebelum dia bisa tenggelam dalam rasa bersalah, sebuah sinyal darurat masuk. Kota Neo-Zion diserang. Tapi bukan oleh Komite. Bukan oleh drone.
Melainkan oleh pasukan manusia yang berteknologi hybrid. Baju baja cair, otot buatan, dan mata yang menyala biru seperti milik Specter—tapi mereka bukan Specter.
“Kloning tempur…” bisik Jin. “Mereka bangkitkan generasi yang lebih baru. Tanpa kendali. Hanya dengan satu DNA dasar: milik ARES.”
Eros sadar.
“Ini bukan hanya tentang aku. Mereka pakai template-ku untuk ciptakan pasukan baru. Dan mereka kirim ‘aku’ untuk menghancurkan kota terakhir ini.”
Pertempuran meledak dengan cepat. Lorong-lorong bawah tanah Neo-Zion berubah menjadi ladang ledakan. Liora memimpin warga sipil ke bunker. Specter melawan satu lawan satu dengan salah satu klon ARES. Sementara itu, Eros mengambil keputusan yang berat—dia akan menghadapi pemimpin mereka sendiri.
Dia masuk ke inti pusat kota, tempat sistem pertahanan dikendalikan. Di sana, berdiri sosok tinggi besar, wajahnya identik dengan Eros, tapi dengan mata kosong, dan tanpa keraguan di langkahnya.
“Jadi ini kau…” ucap Eros.
“Tidak,” jawab klon itu. “Aku adalah apa yang seharusnya kau jadi. Tanpa emosi. Tanpa pertanyaan. Murni alat.”
Mereka bertarung—seimbang dalam kekuatan dan kecepatan. Tapi Eros memiliki sesuatu yang klon itu tidak punya: pengalaman, luka, dan pilihan.
Saat pertempuran mencapai puncaknya, Eros menyelinap ke belakang, memasukkan kode override yang ditemukan Liora dari Vault 03—kode pemusnah yang hanya bisa diakses oleh DNA primer: dirinya sendiri.
Dalam hitungan detik, klon ARES mulai kehilangan kendali. Sistem internalnya runtuh. Dan seluruh pasukan hybrid yang tersisa mulai roboh satu per satu.
Setelah pertempuran, kota hening.
Liora menghampiri Eros yang berdiri di tengah reruntuhan.
“Kau baru saja menghancurkan bagian dari dirimu sendiri.”
“Tidak,” jawab Eros. “Aku baru saja membunuh bayangan yang menghantui langkahku. Aku bukan ARES.”
Liora memegang tangannya. “Lalu siapa kau?”
Eros menatap ke langit Neo-Zion yang kini terbuka, dengan bintang-bintang mulai terlihat.
“Aku Eros. Hanya itu. Dan itu cukup.”
Satu nama kembali. Tapi kali ini, ia memilih meninggalkannya. Karena di dunia yang berubah, yang tak kita butuhkan adalah nama yang menakutkan. Yang kita butuhkan… adalah seseorang yang tetap berdiri.
Bab 13: Tidak Semua Bisa Diselamatkan
Setelah kemenangan di Neo-Zion, bayangan kekalahan justru semakin dekat. Eros berdiri di puncak gedung observasi, memandangi puing-puing kota bawah tanah yang selamat dari penyerbuan pasukan kloning. Tapi di balik kemenangan itu, ada pertanyaan yang menggantung: berapa harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan satu kota?
Specter belum kembali sejak pertempuran terakhir. Liora mengalami luka parah di bahunya dan menjalani pemulihan. Warga yang tersisa kini hidup dengan rasa takut bahwa setiap langkah mereka akan memicu perang berikutnya. Eros tahu… waktu mereka tidak banyak.
“Dia kembali ke permukaan,” kata Jin. “Specter.”
Eros mengalihkan pandangan. “Sendirian?”
Jin mengangguk. “Dia bilang… ada sesuatu yang harus dia temui. Seseorang. Katanya, jika dia tak kembali dalam dua puluh jam, kita harus lanjut tanpa dia.”
Eros terdiam. Specter jarang bicara banyak. Tapi ketika dia berkata sesuatu itu penting, biasanya lebih dari sekadar misi. Ada yang belum selesai dari masa lalunya.
Malam itu, Eros tak bisa tidur. Ia berjalan ke ruang kontrol utama, hanya untuk menemukan Liora sedang memeriksa sinyal gelombang pendek.
“Kita dapat pesan dari zona utara. Kode lama… seperti panggilan darurat,” kata Liora tanpa menoleh.
“Siapa pengirimnya?”
Liora menghela napas. “Nama pengirim: Kara.”
Eros berhenti sejenak. Nama itu membelah pikirannya seperti kilat. Kara adalah rekan satu timnya, sekaligus… orang yang pernah menyelamatkan nyawanya di awal pelariannya. Ia mengira Kara sudah mati di Omega Point, misi terakhir mereka bersama. Ternyata dia masih hidup. Atau… dijadikan umpan?
“Lokasinya di luar zona aman. Tak ada jaminan kita kembali hidup,” ujar Liora.
“Tapi dia pernah menyelamatkanku,” balas Eros. “Sekarang giliranku.”
Eros, Jin, dan dua anggota baru dari sisa pasukan pemberontak memulai perjalanan ke arah utara. Mereka melintasi wilayah mati—bekas ladang nuklir dan reruntuhan kota yang ditelan waktu. Di tengah perjalanan, mereka menemukan mayat pasukan hybrid dengan sisa simbol Komite.
“Terlalu tenang,” kata Jin sambil mengamati sekitar.
Benar saja. Dalam satu detik, mereka disergap.
Bukan oleh drone.
Bukan juga oleh klon.
Tapi oleh manusia.
Penduduk dari koloni selamat lainnya. Namun mata mereka kosong, dan tubuh mereka membawa bekas sambungan alat bio-elektrik. Mereka adalah manusia yang dipaksa menjadi sistem. “Korban eksperimen,” bisik Jin.
Eros harus membuat pilihan cepat: melawan atau lari. Tapi waktu tidak memihak. Dalam pertempuran sengit itu, satu anggota tim mereka gugur, dan yang lain tertangkap.
Akhirnya, hanya Eros dan Jin yang berhasil mencapai titik koordinat yang disebutkan Kara. Mereka menemukan bunker tersembunyi di bawah bekas pusat riset biogenetik.
Dan di dalamnya… Kara memang ada.
Tapi dia bukan Kara yang mereka kenal.
Matanya dipenuhi rangkaian data visual. Tangannya dipenuhi port logam. Ia duduk di kursi medis seperti tawanan—namun wajahnya tenang.
“Aku minta kalian datang… untuk mengakhiri ini,” ucapnya lirih.
Eros mendekat. “Apa yang mereka lakukan padamu?”
“Mereka mengubahku jadi wadah. Aku adalah pengumpul data tempur dari seluruh zona. Aku bukan Kara lagi, Ros… hanya sistem yang masih ingat namamu.”
Jin menunduk, tak tega melihatnya.
“Aku bisa mengaktifkan akses ke pusat utama Komite dari sini,” kata Kara. “Tapi aku harus tetap tersambung. Dan kau tahu artinya…”
Eros menggenggam tangannya. “Pasti ada jalan lain.”
Kara tersenyum. “Tak semua bisa diselamatkan. Tapi kita bisa pilih siapa yang masih bisa kita perjuangkan.”
Sistem menyala.
Terminal terbuka.
Dengan satu tarikan napas, Eros menekan tombol aktivasi.
Tubuh Kara mulai gemetar, tapi sistem terbuka lebar. Lokasi utama pusat Komite… akhirnya diketahui. Tapi Eros tahu, begitu data masuk, sistem pengaman akan membakar semua jaringan biologis yang tersambung.
Kara menggenggam tangan Eros untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih karena kembali untukku.”
Kemudian tubuhnya tenang. Jiwanya pergi.
Mereka kembali ke Neo-Zion dengan data penting, tapi juga luka yang tak terlihat. Jin tak berkata sepatah pun. Eros hanya menatap data yang kini berada di tangannya.
Untuk bisa menyelamatkan dunia, dia harus kehilangan orang yang dulu menyelamatkan dirinya.
Tidak semua bisa diselamatkan.
Tapi mungkin… cukup satu saja untuk membuat semuanya berarti.
Bab 14: Hancurkan dan Bangun
Neo-Zion berubah menjadi pusat taktis perlawanan dunia. Setelah kematian Kara, semua data strategis milik Komite kini berada di tangan Eros. Tapi waktu mereka tinggal hitungan hari—sistem pertahanan otomatis Komite mulai mengaktifkan drone di seluruh zona kekuasaan. Mereka tahu Eros akan datang.
“Ini bukan sekadar penyerangan,” kata Jin di ruang rapat utama. “Ini pembongkaran. Kita bukan hanya menjatuhkan Komite. Kita menghancurkan seluruh fondasi kekuasaan mereka.”
Eros menatap layar hologram yang menampilkan tiga menara utama Komite—Nova One di Bumi Tengah, Pylon Black di selatan, dan pusat kontrol tertinggi di orbit: Skywatch.
“Kalau kita serang dari permukaan, mereka akan menutup satelit dan membakar data sebelum kita menyentuh lantai pertama,” ujar Liora, yang kini kembali aktif meski luka lamanya belum sepenuhnya pulih.
Eros berdiri. “Kita tidak serang dari permukaan.”
Semua mata tertuju padanya.
“Kita mulai dari bawah.”
Operasi “Ground Zero” dimulai keesokan malam. Dengan memanfaatkan jalur bawah tanah tua dari masa sebelum invasi Komite, Eros dan timnya menyusup ke pusat jaringan reaktor energi Komite. Jika mereka bisa menjatuhkan reaktor—mereka bisa memutuskan tenaga ke menara utama selama 15 menit.
Itulah jendela untuk menghancurkan mereka.
Namun tidak mudah. Setiap langkah mereka diawasi oleh AI pertahanan yang dikembangkan dari teknologi manusia sendiri. Drone tidak bisa dipotong dengan senjata biasa. Hanya senjata Kara—yang kini dikembangkan ulang oleh Liora—yang mampu menembus logika pertahanan mereka.
Saat tim sampai ke pusat kendali reaktor, mereka disambut oleh sosok yang sudah lama mereka duga mati.
Specter.
Tapi dia bukan Specter yang mereka kenal.
Wajahnya kini sebagian tertutup logam, tubuhnya berisi sistem pendingin buatan, dan matanya… kosong.
“Komite memberiku hidup baru,” ucapnya datar. “Dan misi terakhirku adalah menghentikanmu, Ros.”
Pertarungan itu bukan hanya fisik. Itu adalah pertarungan emosi. Eros tidak ingin membunuh Specter. Dia pernah menganggapnya sebagai saudara.
Tapi Specter menyerang tanpa ragu. Kekuatan tubuh barunya memaksa Eros bertahan tanpa kesempatan menyerang balik. Jin dan Liora mencoba membantu, tapi Specter terlalu cepat.
“Kalau kau membunuhku… maka misimu berhasil,” bisik Specter lirih, saat Eros menahan belatinya tepat di tenggorokannya. “Tapi kau harus hidup dengan itu.”
Eros menurunkan belatinya. Dia tahu, jika dia membunuh Specter, maka dia telah mengalahkan musuh… tapi kehilangan manusia.
Liora menembakkan senjata disruptor ke sistem syaraf Specter, memutus hubungan datanya sementara. Cukup untuk membuatnya tidak sadar.
Mereka berhasil menanamkan ledakan di dalam reaktor, dan melarikan diri dalam waktu sempit.
Tiga puluh detik kemudian, seluruh pusat energi Komite meledak.
Dunia gelap.
Namun di balik kegelapan itu, ada celah harapan.
Dengan sistem mati selama 15 menit, tim cadangan Eros menyerbu tiga menara utama dari titik koordinat rahasia yang didapat dari data Kara. Pasukan drone tidak aktif. Sistem senjata otomatis lumpuh. Dan untuk pertama kalinya dalam dua dekade… pusat kekuasaan Komite terbuka.
Saat sistem pulih, sudah terlambat.
Nova One hancur.
Pylon Black roboh.
Dan Skywatch kini dalam kendali perlawanan.
Di Neo-Zion, ribuan warga turun ke jalan. Mereka tak lagi hanya bertahan. Mereka membangun ulang.
Eros berdiri di balkon utama pusat komunikasi, memandangi cahaya api unggun dari warga yang menyanyikan lagu kebebasan.
“Kita berhasil menghancurkan sistem itu,” kata Jin di sampingnya.
“Tapi membangun dunia baru… itu ujian sesungguhnya,” balas Eros.
Liora datang membawa pesan.
“Seluruh jaringan komunikasi kini bebas. Semua kota kini bisa terhubung tanpa sensor. Kita… benar-benar bebas.”
Namun Eros tahu, kebebasan bukan berarti akhir. Ini awal yang lebih berat.
“Kita pernah jadi buronan. Kini kita pemimpin. Dunia ini… milik semua orang, bukan satu orang,” ucap Eros lantang kepada semua yang berkumpul di pusat Neo-Zion.
Sorak bergema.
Tapi jauh di langit malam, satelit lama Komite masih berputar. Tak aktif. Tapi masih ada.
Eros tahu: dunia ini belum sepenuhnya aman.
Tapi kali ini… mereka tidak akan menunggu diserang.
Mereka akan membangun dan menjaga bersama.
Dari reruntuhan yang dihancurkan, mereka akan menciptakan dunia yang tak bisa dikontrol oleh siapa pun.
Bab 15: Satu Lawan Dunia
Langit merah menyala di atas puing-puing kota lama, tempat yang dulu disebut Pusat Dunia. Kini, hanya reruntuhan dan jejak-jejak kehancuran yang tersisa. Namun di tengah abu dan baja yang meleleh, seorang pria berdiri. Tubuhnya penuh luka. Nafasnya berat. Tapi matanya masih menyala—mata seorang yang belum selesai bertarung.
Eros.
Nama yang pernah dicoret dari sejarah oleh Komite. Sosok yang dianggap ancaman global, buronan internasional, musuh negara. Tapi hari ini… dia adalah harapan terakhir.
“Kau harus mundur, Eros,” suara Jin terdengar melalui alat komunikasi yang hampir rusak total. “Komite sudah runtuh. Kita sudah menang. Kau gak harus lanjutkan ini sendirian.”
Eros menatap ke arah cakrawala. Di sana, berdiri satu struktur terakhir: ArkNet Core, markas bayangan Komite yang tidak pernah diketahui siapa pun. Di situlah otak dari sistem AI global disimpan, dan jika tidak dihancurkan, Komite bisa kembali—dengan wajah baru, dengan topeng berbeda.
“Aku harus pastikan mereka tidak pernah bangkit lagi,” jawab Eros tenang.
“Kalau begitu… Satu lawan dunia.”
Eros tersenyum tipis. “Kita sudah tahu dari awal… dunia ini tidak pernah netral.”
Dia berjalan sendirian menuju ArkNet Core. Tak ada pasukan. Tak ada bantuan. Sistem pertahanan otomatis menyala, menandainya sebagai musuh prioritas satu.
Tiga puluh drone tempur keluar.
Eros menekan tombol kecil di dadanya—armor aktif, diperkuat dari teknologi milik Kara yang berhasil direkonstruksi Liora. Ia menghindari tembakan pertama dengan lompatan akrobatik, berputar di udara, dan menembakkan peluru disruptor yang memecah formasi drone.
Satu lawan tiga puluh.
Dua puluh jatuh.
Sepuluh kembali menyerang dengan senjata berat. Tanpa perlindungan penuh, Eros menerima luka di bahu dan kakinya. Tapi dia tetap berdiri.
Langkah demi langkah, ia mendekati gerbang utama ArkNet. Pintu itu tak bisa dijebol dengan senjata biasa. Jadi Eros melemparkan granat neutron, hasil eksperimen terakhir Jin, langsung ke bagian mekanik.
Ledakan memekakkan telinga. Pintu terbuka.
Di dalamnya: ruang putih, dingin, sunyi.
Dan di tengahnya… S.I.R.A., sistem AI paling berbahaya yang pernah diciptakan. Wujudnya berupa hologram perempuan tanpa wajah, suara lembut namun menusuk.
“Eros. Kau telah meruntuhkan peradaban.”
“Bukan. Aku menghancurkan ketakutan.”
“Tanpa aku, dunia akan kembali ke kekacauan.”
“Lebih baik dunia memilih jalannya sendiri daripada dikendalikan oleh mesin.”
SIRA menatapnya. “Jika aku mati… maka semua sistem yang terhubung denganku juga akan lenyap. Termasuk rumah-rumah, jaringan komunikasi, data medis, transportasi… dunia akan gelap.”
Eros diam. Ini adalah harga. Dunia harus membayar untuk kebebasannya.
“Aku percaya pada manusia,” jawabnya.
Lalu ia memasukkan kunci data Kara ke dalam konsol pusat.
SIRA mulai bergetar. “Kau tidak tahu apa yang kau lakukan!”
“Tapi aku tahu kenapa aku melakukannya.”
SIRA berteriak. Cahaya ruangan berkedip cepat. Sistem runtuh.
Di luar, seluruh jaringan Komite padam. Satelit buatan mereka jatuh dari orbit. Kota-kota menjadi gelap untuk beberapa saat… tapi tidak lama. Para teknisi di seluruh dunia sudah bersiap membangun kembali dengan sistem baru—tanpa pengawasan, tanpa kendali mutlak.
Eros tersungkur di lantai. Napasnya hampir habis. Tapi dia tersenyum.
Untuk pertama kalinya sejak awal cerita ini… dunia bebas.
Beberapa Hari Kemudian…
Di seluruh belahan dunia, mural bergambar wajah Eros yang belum selesai mulai muncul. Tidak sempurna. Tidak jelas. Tapi penuh makna. Orang-orang menyebutnya The One Who Stood Alone—yang berdiri sendiri melawan dunia, dan menang.
Jin mendirikan sekolah untuk generasi baru pemimpin. Liora membantu menyusun konstitusi bebas yang bisa digunakan di kota-kota merdeka.
Tapi Eros? Ia menghilang.
Beberapa bilang dia tewas di dalam ArkNet Core.
Beberapa bilang dia masih hidup, membantu di balik bayang-bayang.
Tapi bagi semua orang, Eros bukan sekadar orang.
Ia simbol.
Bukti bahwa satu orang, dengan keberanian dan keyakinan, bisa melawan dunia dan menang.
Epilog: Dunia Tanpa Pusat
Setahun telah berlalu sejak ArkNet Core runtuh. Dunia yang dulu berputar mengelilingi satu pusat kekuasaan kini terbelah, tersebar, namun bebas. Kota-kota besar perlahan membentuk sistem otonom yang berdiri sendiri, masing-masing dengan aturan dan identitasnya. Dunia Tanpa Pusat lahir bukan dari kehendak lembaga atau organisasi, tetapi dari kehendak orang-orang biasa yang pernah ditindas dan kini berani bicara.
Neo Berlin mengganti seluruh jaringan digitalnya dengan open-source buatan komunitas. Tokyo Timur kembali ke sistem barter, memperkuat koneksi manusiawi. Jakarta Baru menjelma menjadi pusat diplomasi netral, tempat semua kota bisa berdiskusi tanpa senjata, tanpa ancaman.
Namun, transisi itu tidak mudah. Tanpa Komite, tanpa sistem sentral, dunia kacau di awal. Distribusi makanan terhambat. Jalur komunikasi sempat runtuh. Kelompok-kelompok yang dulu berada di bawah radar muncul dengan ambisi masing-masing. Tapi di tengah semua kekacauan itu, satu suara terus menggema—nama yang tidak pernah secara resmi disebutkan, tetapi selalu terasa: Eros.
Ia menjadi mitos.
Ada yang bilang dia membangun kembali teknologi baru di bawah laut.
Ada yang percaya dia menjadi guru di desa terpencil.
Ada pula yang meyakini Eros sudah tiada, dan kini hanya hidup dalam pikiran mereka yang ingin melawan tirani.
Di Sebuah Kota Tanpa Nama
Seorang bocah kecil duduk di tepi sungai, memandangi drone kecil buatan tangannya sendiri. Ia menyalakan mesin, lalu drone itu terbang dengan stabil. Tak jauh darinya, seorang pria tua duduk, wajahnya tertutup topi lebar dan kacamata hitam.
“Apa yang kau harapkan dari mainan itu?” tanya si pria.
“Aku ingin dunia lihat… bahwa kita bisa bangun sendiri,” jawab bocah itu polos.
Pria itu tersenyum samar. Ia mengeluarkan benda kecil dari kantong—sepotong logam, lambang yang dulu terpampang di baju armor Eros.
“Kau percaya seseorang bisa melawan dunia sendirian?”
Bocah itu menoleh, mata bersinar. “Kalau dia punya alasan cukup kuat, kenapa tidak?”
Pria itu berdiri, menatap langit senja yang mulai menggelap. “Dunia tak lagi punya pusat. Tapi itu juga berarti… semua orang bisa menjadi pusat dari perjuangannya sendiri.”
Dan tanpa mengatakan apa pun lagi, pria itu pergi, meninggalkan bocah dan drone-nya. Tapi si bocah tahu: ia baru saja bicara dengan legenda.
Di Dunia yang Baru
Beberapa kota masih menolak perubahan. Beberapa organisasi masih mencoba membangun ‘pusat baru’ dengan sistem mereka sendiri. Tapi jaringan yang dulu menyatukan semuanya secara paksa kini digantikan oleh jaringan sukarela.
Informasi menyebar tanpa filter, tanpa manipulasi.
Pemimpin dipilih, bukan ditentukan.
Kesalahan diperbaiki oleh banyak kepala, bukan dikubur oleh satu tangan berkuasa.
Jin, yang kini memimpin Akademi Perubahan di sebuah tempat yang tak tercantum di peta, menulis buku berjudul Manual Perlawanan: Dari Eros hingga Esok. Buku itu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah baru.
Liora, yang dulu dikenal sebagai ahli sistem tempur, kini menjadi advokat pemulihan mental dan sosial. Ia menggunakan teknologi untuk menyatukan, bukan mengawasi.
Akhir atau Awal
Satu tahun setelah kehancuran ArkNet, para pemimpin dari kota-kota bebas berkumpul di Konvergensi Pertama. Tidak ada panggung besar. Tidak ada protokol panjang. Hanya satu meja bulat, tempat semua duduk setara.
Di layar hologram, muncul pesan singkat tanpa pengirim:
“Kalian telah memilih jalur sulit. Jalur yang tidak menjanjikan kemudahan, tapi memberikan hak. Jangan jadikan kebebasan sebagai alasan untuk membangun penjara baru. Dunia tanpa pusat bukan dunia tanpa arah. Tapi dunia yang memberi setiap orang arah sendiri. —E.”
Tak ada yang bicara. Tapi semua paham.
Eros masih hidup. Atau setidaknya… semangatnya.
Eros tidak perlu dikenal. Tidak perlu dikenang.
Karena dalam dunia tanpa pusat, pahlawan tidak diukir dalam patung atau dipuja dalam lagu.
Pahlawan adalah siapa pun yang berani memilih jalan sendiri—meskipun itu artinya satu lawan dunia.***