Bab 1 – Langit yang Tak Lagi Sama
Hujan turun deras saat kereta perlahan memasuki stasiun kecil itu. Jendela di samping tempat duduk Raya dipenuhi tetes-tetes air yang berlomba turun, memburamkan pandangan ke luar. Langit di atas kota kelahirannya tampak kelabu, nyaris seperti lukisan abu-abu yang kehilangan warna. Bahkan dari dalam kereta, ia bisa mencium bau tanah basah yang begitu khas—bau yang dulu menenangkan, tapi kini terasa menyesakkan.
Ini bukan kali pertama Raya kembali ke kota kecil itu, tapi kali ini rasanya berbeda. Kali ini, ia datang bukan untuk liburan atau reuni keluarga, tapi untuk menyelesaikan satu bab dalam hidupnya yang sudah lama ia biarkan tergantung.
Ibunya meninggal tiga hari lalu.
Dan ia tak sempat pulang.
Saat telepon dari adiknya, Dion, masuk malam itu, Raya sedang berada di lantai tujuh kantor, mengejar deadline presentasi klien. Ia mengabaikan panggilan pertama. Bahkan panggilan kedua. Baru saat pesan masuk dengan tiga kata yang menghancurkan—“Mama sudah pergi”—Raya merasa seperti dunia runtuh di bawah kakinya.
Sekarang, duduk sendiri di kereta yang nyaris kosong, ia hanya bisa menggenggam tiket lusuh dan sepotong rasa bersalah yang terus menggerogoti pikirannya.
Stasiun tampak sepi saat ia turun. Langit masih menggantung berat, menyisakan gerimis yang turun perlahan. Tak ada siapa-siapa yang menjemput, dan Raya tidak memintanya. Ia tahu Dion masih sibuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan pemakaman dan warisan. Dan mungkin, adiknya itu juga belum siap melihat wajahnya.
Payung lipat yang ia keluarkan dari tas nyaris tidak berguna. Angin membuat hujan menampar wajahnya dari segala arah. Tapi Raya tetap berjalan pelan, menyusuri trotoar yang dulu sering ia lewati sepulang sekolah. Banyak yang berubah. Ruko-ruko kecil yang dulu ramai kini sepi. Pepohonan besar yang dulu rindang, kini tinggal batang-batang tua yang meranggas.
Langitnya pun tak lagi sama.
Dulu, setiap pulang sekolah, langit kota ini menyambutnya dengan jingga yang hangat, matahari sore yang jatuh di balik perbukitan kecil. Tapi sekarang, semua tampak redup. Mungkin bukan langitnya yang berubah, pikirnya, tapi cara ia memandangnya.
Rumah tua itu berdiri seperti biasa, di ujung jalan, dengan pagar besi yang kini berkarat dan tanaman liar yang tumbuh tak terkendali. Tak ada siapa-siapa di luar. Rumah itu terlihat sunyi, hampir seperti tidak berpenghuni. Namun lampu teras menyala, seolah tetap setia menyambut siapa pun yang datang pulang.
Saat Raya mendorong pagar dan melangkah masuk, aroma khas rumah langsung menyergapnya—bau kayu tua, karpet yang lembap, dan sisa-sisa wangi minyak kayu putih yang biasa dipakai ibunya. Di sanalah kenangan menyerbu tanpa ampun. Setiap sudut rumah seperti memanggilnya kembali ke masa lalu.
Langkahnya terhenti di ruang tamu. Di sudut, kursi goyang ibu masih ada, menghadap ke jendela. Di atas meja kecil, ada cangkir teh yang tampaknya belum lama digunakan. Dion pasti lupa merapikannya. Atau mungkin… ia sengaja membiarkannya di sana.
Raya menurunkan ranselnya, lalu duduk pelan di sofa tua. Ia tak menangis. Belum. Yang ia rasakan justru kekosongan. Seperti suara yang terlalu lama ditahan hingga tak keluar sebagai tangisan, hanya bergetar dalam dada.
Beberapa jam kemudian, Dion datang.
Tak ada pelukan. Hanya anggukan canggung dan pandangan singkat.
“Udah makan?” tanya Dion, datar.
Raya menggeleng. “Belum.”
“Di dapur masih ada nasi sisa. Lauknya tinggal panasin.”
“Terima kasih,” balas Raya pelan. Lalu keheningan kembali merayap.
Dion duduk di tangga, menunduk. “Mama sempat nanyain kamu, dua hari sebelum koma. Dia bilang… dia pengin kamu pulang. Bukan buat minta maaf atau apapun. Dia cuma pengin lihat kamu senyum. Katanya, kamu kelihatan makin dingin di foto terakhir yang kamu kirim.”
Ucapan Dion seperti palu godam yang menghantam dinding pertahanan Raya. Ia mencoba menelan kalimat itu, tapi terasa terlalu tajam.
“Aku sibuk, Dion…” bisik Raya, nyaris tak terdengar.
“Kita semua sibuk. Tapi nggak semua orang bisa menunda kehilangan,” jawab Dion, masih dengan nada datar, tapi mata yang berkaca-kaca.
Malam turun perlahan. Hujan berhenti, menyisakan udara dingin dan suara katak dari arah sawah. Raya duduk di kamar lamanya. Cat dinding mulai mengelupas. Meja belajar penuh debu. Tapi di situ, masih tergantung lukisan kecil buatan ibunya—lukisan langit senja di atas rumah mereka.
Langit itu, pikir Raya, tak akan pernah sama lagi. Tapi mungkin, dalam bentuk lain, ia bisa kembali menemukan warnanya.
Malam itu, sebelum tidur, untuk pertama kalinya sejak lama, Raya membuka jendela. Angin dingin menyusup ke dalam, membawa aroma tanah basah dan sisa hujan. Dan dalam diam, ia berbisik dalam hati:
“Ma, aku pulang. Meski terlambat. Meski dengan hati yang belum utuh.”
Bab 2 – Rumah dengan Aroma Kenangan
Pagi hari di rumah itu datang tanpa suara. Tak ada derit pintu kamar ibu yang biasanya dibuka perlahan, tak ada aroma bubur hangat yang biasa menyambut Raya dari dapur, dan tak ada suara radio tua yang menyala sambil memutar lagu-lagu lawas kesukaan almarhumah. Semuanya terasa hening, nyaris beku.
Raya duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah dapur. Secangkir teh manis dingin di depannya belum disentuh sejak dibuat Dion pagi tadi. Entah kenapa, setiap sudut rumah seperti berbicara padanya, seakan menyimpan potongan kenangan yang siap muncul kapan saja, tanpa permisi.
Aroma khas rumah itu masih sama—perpaduan antara kayu jati tua, minyak kayu putih, dan sedikit wangi bunga melati kering di pojok altar kecil milik ibunya. Aroma yang tak pernah benar-benar menghilang, bahkan setelah bertahun-tahun ia pergi. Anehnya, dulu aroma itu selalu membuatnya merasa sempit dan terkekang. Tapi sekarang, aroma itu justru menenangkannya, seperti pelukan tak kasat mata.
Setelah sarapan seadanya, Raya berkeliling rumah. Ia menyentuh dinding ruang tamu yang catnya mulai mengelupas, memandangi rak buku kecil yang dipenuhi novel dan majalah lama milik ibunya. Di rak bawah, masih tersimpan kumpulan cerita pendek yang dulu ibunya tulis untuk buletin gereja. Beberapa judulnya masih ia ingat—kisah sederhana tentang ibu dan anak, tentang rindu yang tak sempat diungkapkan, dan tentang keberanian memaafkan.
Di dalam kamar ibunya, tempat tidur masih tertata rapi. Selimut disusun dengan hati-hati. Di meja rias, tergeletak sisir kayu dan sebuah foto tua dalam bingkai perak—foto dirinya, Dion, dan sang ibu, saat mereka masih kecil. Rambutnya dikuncir dua, wajahnya cemberut karena dipaksa senyum oleh ibunya. Di sampingnya, Dion tersenyum lebar dengan gigi ompong. Mereka berdiri di depan pohon mangga yang kini tinggal batang tua di halaman belakang.
“Lucu juga kamu waktu kecil,” suara Dion tiba-tiba terdengar dari ambang pintu.
Raya menoleh. Ia tak tahu sejak kapan Dion berdiri di sana.
“Kamu suka pakai baju warna-warni. Sekarang, hitam terus.”
Raya hanya tersenyum kecil. “Mungkin aku terbawa suasana.”
Dion berjalan masuk dan duduk di sisi tempat tidur. Tangannya meraih foto itu, mengelus bingkainya dengan pelan.
“Kamar ini nggak pernah diubah sejak kamu pergi,” ucapnya pelan. “Mama selalu bilang, ‘Nanti Raya pulang. Jangan diubah, biar dia tahu dia masih punya tempat di sini.’”
Raya terdiam. Tenggorokannya tercekat. Tak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan sebagai balasan.
“Aku marah sama kamu, tahu?” lanjut Dion. “Bukan cuma karena kamu nggak sempat lihat Mama di hari terakhirnya. Tapi karena kamu seolah-olah memutus semua hal dari rumah ini. Dari aku. Dari Mama.”
“Aku… nggak tahu harus gimana,” jawab Raya lirih. “Setiap kali aku berpikir untuk pulang, ada perasaan yang menghentikanku. Takut. Malu. Marah. Campur aduk.”
“Dan sekarang kamu di sini. Rumah ini masih sama, Ray. Tapi kita udah nggak sama lagi. Dan Mama juga udah nggak ada.”
Raya mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan itu yang paling menyakitkan.”
Siang itu, hujan reda, langit tampak mulai cerah. Raya duduk di teras belakang, memandangi pohon kenanga yang ibunya tanam belasan tahun lalu. Bunganya tak banyak, tapi aromanya menyebar lembut tertiup angin. Di dekat pohon itu ada bangku panjang kayu, tempat ibunya biasa duduk sambil menyulam atau sekadar menikmati teh sore.
Raya berjalan mendekat, duduk perlahan. Ia bisa membayangkan ibunya duduk di situ, mengenakan daster lusuh dan kacamata baca, tersenyum sambil menatap langit.
Di bawah bangku itu, ia menemukan kotak kecil berisi kain sulaman, jarum, dan benang warna-warni. Di antara kain-kain itu, ada satu yang belum selesai—sulaman bunga kenanga yang belum lengkap kelopaknya.
Ia mengangkat kain itu, lalu memeluknya. Dan di situ, untuk pertama kalinya sejak ia tiba, tangisnya pecah. Ia menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi juga karena waktu yang telah ia sia-siakan. Karena surat-surat yang tak sempat ia balas. Karena telepon-telepon yang tak ia angkat. Karena jarak yang ia ciptakan sendiri.
Tapi di balik tangis itu, ada secercah cahaya kecil dalam dirinya. Cahaya yang datang dari ingatan tentang ibu—tentang sabarnya, tentang cintanya yang diam-diam, dan tentang keyakinan bahwa rumah ini, sesakit apa pun kenangannya, adalah tempat di mana ia bisa mulai kembali menyusun dirinya.
Dan hari itu, dengan mata sembab dan hati yang masih rapuh, Raya mulai menata ulang ruang demi ruang di rumah ibunya. Bukan untuk menghapus masa lalu, tapi untuk memberi ruang bagi sesuatu yang baru tumbuh—seperti bunga kenanga yang selalu mekar setelah hujan.
Bab 3 – Surat-surat dari Laci Tua
Raya menghabiskan hampir satu jam hanya untuk duduk termenung di depan meja rias tua di kamar ibunya. Meja itu masih sama seperti terakhir kali ia lihat bertahun-tahun lalu—penuh coretan pulpen di sudut lacinya, dan bercak-bercak kecil bekas minyak kayu putih. Cermin bulat besar di atasnya memantulkan bayangan dirinya, tapi yang ia lihat bukan hanya wajahnya saat ini, melainkan potongan-potongan kenangan masa kecil: saat ia duduk di pangkuan ibunya, belajar mengepang rambut, atau sekadar mendengarkan ibu bersenandung pelan sambil merias diri.
Ia menarik napas panjang, lalu perlahan membuka laci paling bawah. Bunyi gesekan kayu tua menyambutnya, dan debu langsung beterbangan. Di dalamnya, tersembunyi kotak kayu kecil dengan pengait sederhana. Warna cokelatnya sudah memudar, tapi tetap utuh.
Dengan hati-hati, Raya membuka kotak itu. Isinya mengejutkan: tumpukan surat yang dibungkus pita merah kusam, sebagian sudah menguning, sebagian lainnya tampak baru ditulis beberapa tahun terakhir. Di bagian atas, terdapat amplop dengan tulisan tangan yang sangat ia kenali: milik ibunya.
Raya mengambil satu surat paling atas. Amplopnya ditandai dengan tulisan kecil: “Untuk Raya – 2009”. Tangannya gemetar saat membuka lipatan kertas di dalamnya. Surat itu ditulis ketika ia baru saja lulus SMA, tahun di mana ia memutuskan pergi ke Jakarta untuk kuliah—jauh dari rumah, dan perlahan menjauh dari keluarganya.
Raya sayang,
Aku tahu kamu marah saat ini. Mungkin karena aku terlalu banyak memberi larangan, terlalu banyak menuntutmu menjadi versi terbaik dari anak perempuan yang kuimpikan. Tapi aku ingin kamu tahu, semua itu bukan karena aku ingin mengatur hidupmu. Aku hanya takut kamu terluka. Dunia di luar sana tak sehangat kota kecil kita, Nak.
Jika suatu hari kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah terlalu tua untuk mengingat semuanya. Tapi satu hal tak akan pernah berubah: aku mencintaimu, Raya. Selalu.
Ma.
Air mata mulai menetes tanpa izin saat ia membaca surat itu. Jantungnya seperti diremas—rasa bersalah, rindu, dan cinta bercampur menjadi satu dalam dada. Ia mengambil surat berikutnya, lalu yang lain. Beberapa surat ditulis setiap ulang tahunnya, yang lain saat ibunya merasa terlalu rindu untuk menelepon.
Ada satu surat yang tak pernah dikirim, berjudul: “Untuk Saat Kau Pulang.” Raya membaca surat itu dengan tangan yang dingin.
Raya,
Jika kamu membaca ini, itu berarti kamu akhirnya pulang. Dan aku tahu, kamu mungkin datang dengan hati yang luka. Tapi ketahuilah, rumah ini tak pernah menuntutmu kembali sebagai seseorang yang sempurna. Rumah ini akan tetap rumahmu, meski kamu datang dengan air mata dan beban.
Maaf jika aku bukan ibu yang bisa memelukmu setiap kali kamu jatuh. Aku pun punya luka yang tak selalu bisa sembuh. Tapi jika aku bisa mengulang waktu, aku akan lebih banyak mendengarkanmu. Bukan hanya mengaturmu.
Kembalilah, Raya. Kembali pada dirimu yang sesungguhnya.
Aku sayang kamu. Maaf aku tak bisa menunggumu lebih lama.
Ma.
Tangis Raya pecah, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Ia meraih seluruh surat itu, memeluknya erat, seolah mencoba menebus tahun-tahun yang hilang. Ia menyadari satu hal penting: selama ini ia mengira ibunya tak pernah benar-benar mengerti dirinya, tak pernah mendukung pilihannya. Tapi surat-surat ini berkata lain.
Ibunya mungkin bukan sosok yang pandai menunjukkan kasih sayang secara langsung. Tapi cinta itu ada. Tersimpan diam-diam di dalam surat-surat yang tak pernah sampai. Dan barangkali, cinta yang seperti itulah yang paling kuat—yang tetap tumbuh meski tanpa disiram, yang tetap hidup meski tak pernah disebutkan.
Malam itu, Raya duduk di teras belakang, di bawah pohon kenanga yang kini bermekaran. Ia membawa beberapa surat dan membacanya kembali di bawah cahaya temaram lampu gantung. Hujan sudah berhenti sejak sore, menyisakan tanah yang lembap dan aroma harum yang tenang. Tak ada suara selain gesekan dedaunan dan detak jantungnya sendiri yang terasa lebih ringan.
Untuk pertama kalinya sejak ibunya tiada, Raya merasa seperti sedang berbicara langsung dengan wanita itu. Bukan dalam bentuk doa, bukan dalam kenangan yang menyakitkan, tapi dalam surat-surat yang terasa sangat nyata.
Dalam keheningan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: ia akan membaca setiap surat. Ia akan menyusunnya, menyimpannya, dan mungkin—menuliskannya kembali.
Bukan untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali.
Karena cinta ibunya layak untuk diceritakan.
Bab 4 – Luka yang Belum Sembuh
Hari keempat sejak Raya pulang ke rumah terasa seperti berdiri di ambang pintu kenangan dan kenyataan. Setiap pagi, ia bangun dengan pikiran bahwa ibunya masih ada di dapur, memasak nasi goreng atau menjerang air untuk teh. Tapi yang ia temukan hanya keheningan—senyap yang mengingatkannya bahwa tak semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu.
Pagi itu, Raya duduk di dapur dengan secangkir kopi yang mulai dingin. Ia belum ingin meminum apa pun, hanya membiarkan uapnya mengambang, menjadi alasan untuk tetap duduk diam. Di atas meja, surat-surat dari laci tua masih menumpuk. Ia sudah membaca hampir semuanya, kecuali satu yang berjudul: “Untuk Saat Kau Siap Mendengar”. Surat itu belum ia buka. Entah kenapa, ia takut.
Pikiran Raya kembali ke tahun-tahun penuh jarak—waktu ia mulai memilih untuk tak menelepon, waktu ia membalas pesan ibunya dengan jawaban singkat, atau bahkan tak membalas sama sekali. Ia tahu ada luka yang ia tinggalkan di hati ibunya, tapi ia selalu beralasan bahwa hidup di ibu kota membuatnya sibuk. Padahal, lebih dari sibuk, ia sedang melarikan diri.
“Ray…” suara Dion memecah lamunannya. Ia berdiri di ambang pintu dengan ekspresi canggung.
“Ya?” Raya menoleh pelan.
“Aku mau ngomong soal sesuatu. Kalau kamu nggak keberatan.”
Raya mengangguk. Dion masuk dan duduk di seberangnya. Tangannya membawa album foto usang, kulitnya sudah mulai sobek di bagian sudut.
“Kamu ingat ini?” Dion membuka halaman pertama, memperlihatkan foto keluarga mereka saat liburan di pantai. Raya masih SD waktu itu, mengenakan baju renang dengan gambar kartun, dan ibunya memeluk mereka dari belakang sambil tersenyum lebar.
“Ibu kelihatan bahagia di sini,” gumam Raya.
“Iya. Tapi setelah Ayah pergi, senyum itu mulai jarang kelihatan.”
Raya menelan ludah. Ayah mereka meninggalkan rumah ketika ia baru menginjak SMP. Ia ingat malam itu, bagaimana ibunya berdiri diam di teras rumah, menatap mobil yang menjauh. Ia juga ingat suara ibunya menangis pelan di balik kamar, suara yang tak pernah dibicarakan keesokan harinya.
“Aku benci Ayah waktu itu,” kata Dion lirih. “Tapi yang paling aku sesali, kita semua berhenti bicara tentang malam itu. Termasuk kamu.”
Raya mengangguk. “Aku terlalu takut. Terlalu marah. Rasanya lebih gampang berpura-pura semua baik-baik saja.”
“Dan Ibu… dia nggak pernah bilang dia sakit.”
Raya terperanjat. “Apa maksudmu?”
“Ibu sudah tahu dia sakit sejak setahun lalu. Kanker payudara stadium awal. Tapi dia menolak pengobatan agresif. Katanya, dia cuma pengin waktu yang tenang. Dia bilang, ‘Kalau Tuhan kasih aku waktu setahun lagi, aku akan isi dengan damai, bukan rumah sakit.’”
Raya tak mampu berkata-kata. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa seluruh dunianya terbalik. Semua kebisuan, semua tanggapan dingin dari ibunya beberapa tahun terakhir, semua itu ternyata bukan karena marah padanya. Tapi karena ibunya sedang menyembunyikan rasa sakit. Luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang lelah.
“Dia nggak mau kamu tahu. Karena dia tahu kamu akan merasa bersalah. Dan dia nggak pengin kamu datang pulang cuma karena kasihan,” lanjut Dion pelan.
Malam itu, Raya duduk sendiri di kamar ibunya. Di pangkuannya, surat terakhir yang belum ia buka.
Tangannya gemetar saat merobek amplopnya. Di dalamnya, tulisan tangan ibunya lebih besar, seperti ditulis dengan perlahan.
Raya,
Jika kamu sudah membaca ini, mungkin kamu sudah tahu tentang penyakitku. Aku mohon, jangan salahkan dirimu. Ini bukan tentang apa yang kamu lakukan atau tidak lakukan. Ini tentang hidup, yang terkadang memberi luka tanpa alasan.
Setiap ibu pasti ingin melihat anaknya tumbuh tanpa beban masa lalu. Tapi aku tahu, ada luka yang tak pernah aku obati—luka yang mungkin kuwariskan padamu.
Maaf jika aku pernah membuatmu merasa sendiri. Maaf jika aku tidak pernah bilang secara langsung bahwa aku bangga padamu.
Tapi aku bangga, Raya. Bukan karena gelar atau jabatanmu. Tapi karena kamu adalah kamu. Perempuan yang kuat, meski pernah rapuh. Perempuan yang berani, meski pernah takut.
Jika suatu hari kamu memilih untuk memaafkan dirimu sendiri, aku akan sangat bahagia.
Karena luka yang tidak disembuhkan, bisa berubah menjadi rantai yang menahanmu selamanya.
Jangan biarkan itu terjadi.
Dengan cinta yang tak pernah selesai, Ibu.
Tangis Raya mengalir pelan, tak histeris, tapi dalam. Surat itu seperti pintu yang perlahan terbuka dalam hatinya—pintu yang selama ini ia kunci rapat-rapat karena takut menghadapi rasa bersalah. Tapi malam itu, dengan surat di tangan, ia mulai belajar menerima kenyataan bahwa luka ibunya bukan tanggung jawabnya, tapi cintanya adalah warisan yang bisa ia peluk selamanya.
Dan dengan itu, luka yang belum sembuh mulai menemukan jalannya untuk mengering.
Bab 5 – Pertemuan di Bawah Pohon Kenanga
Langit sore itu berwarna keperakan, seperti menyimpan tangis yang belum tumpah. Hembusan angin membawa aroma tanah basah yang bercampur harum bunga kenanga dari halaman belakang rumah. Pohon kenanga itu berdiri tegak, tak pernah tumbang meski diterpa banyak musim. Ditanam oleh ayahnya saat Raya masih kecil, dan dirawat dengan penuh kasih oleh ibunya setelah ayah pergi.
Sejak kepulangan Raya, pohon itu seperti menjadi saksi bisu semua proses yang ia lalui. Ia sering duduk di bawahnya, membaca surat, memikirkan ulang tahun yang tak sempat dirayakan bersama, atau sekadar menatap langit sambil membiarkan kenangan datang dan pergi sesuka hati.
Sore itu, Raya kembali duduk di bangku kayu tua yang mulai lapuk, tepat di bawah naungan pohon kenanga. Ia membawa buku catatan kecil—tempat ia mulai menuliskan ulang potongan-potongan surat ibunya, dan refleksi pribadinya. Menulis adalah satu-satunya hal yang membuat napasnya terasa lebih ringan, meski kepalanya penuh sesak oleh kenangan.
Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah samping rumah. Pelan, ragu-ragu, tapi cukup jelas. Raya menoleh, dan sekejap hatinya seperti ditarik kembali ke masa lalu.
“Raya?” suara itu memecah senja.
“Gilang?” balas Raya, nyaris tak percaya.
Laki-laki itu berdiri di ujung taman, mengenakan kemeja abu-abu dengan lengan tergulung dan celana kain sederhana. Wajahnya masih sama—tenang, penuh keteduhan, meski ada kerutan baru di sekitar matanya. Ia berjalan mendekat dengan langkah pelan, seolah takut mengusik kesunyian yang suci.
“Maaf datang tanpa kabar. Dion bilang kamu di sini,” ucap Gilang, berdiri kikuk di sisi bangku.
“Kamu… masih di kota ini?”
Gilang mengangguk. “Masih. Aku nggak pernah benar-benar pergi.”
Raya memberi isyarat agar ia duduk di bangku kayu yang sama. Mereka diam beberapa saat, hanya membiarkan semilir angin memainkan rambut dan hati mereka yang masih berusaha mengenali satu sama lain.
Gilang adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu sisi terdalam dari diri Raya. Mereka bersahabat sejak SMA, saling mengisi ruang-ruang kosong yang tak bisa dijelaskan kepada keluarga. Namun segalanya berubah saat Raya memutuskan pergi ke Jakarta. Hubungan mereka mengambang, pesan tak terbalas, dan akhirnya… hening.
“Aku dengar tentang Ibumu. Aku turut berduka, Ray,” ucap Gilang dengan lembut.
Raya menunduk, jari-jarinya memainkan pinggiran buku catatan. “Terima kasih. Aku masih mencoba mengerti semuanya.”
“Dulu, waktu kamu pergi, aku selalu berharap kamu bakal balik. Bukan cuma untuk Ibumu, tapi untuk dirimu sendiri.”
“Aku terlalu takut. Aku pikir… aku harus benar-benar memutus semuanya kalau mau ‘sukses’ di luar sana. Termasuk kamu,” kata Raya lirih, nadanya penuh penyesalan.
Gilang tersenyum kecil. “Kita semua pernah mencoba lari. Tapi rumah—rumah yang sesungguhnya—selalu tahu cara menarik kita kembali.”
Raya menatap wajah laki-laki itu. Matanya penuh pemahaman, tanpa sedikit pun menghakimi. Dan untuk pertama kalinya, Raya merasa didengar. Dipahami. Ia ingin berkata banyak hal—tentang luka yang belum sembuh, tentang surat-surat dari ibunya, tentang rasa sesal yang membunuhnya pelan-pelan—tapi semua itu terasa tak perlu diucapkan. Gilang seolah sudah tahu semuanya, bahkan sebelum kata-kata keluar.
“Aku sering ke sini, tahu,” kata Gilang, memandangi pohon kenanga di atas mereka. “Waktu Ibumu masih sehat, dia suka duduk di sini. Kadang kami ngobrol. Kadang cuma diam. Tapi beliau selalu bilang, ‘Raya pasti balik suatu hari nanti. Dia cuma belum siap.’”
Raya menahan napas. “Ibu bilang begitu?”
Gilang mengangguk. “Beliau selalu percaya kamu akan kembali. Dan dia nggak pernah menyimpan marah. Dia cuma rindu.”
Air mata menetes perlahan di pipi Raya. Ia tak mencoba menyekanya. Biarkan saja. Biarkan hujan dalam dirinya turun sekali lagi, agar hatinya bisa benar-benar kering setelahnya.
“Makasih, Lang. Udah nggak pergi,” bisiknya.
Gilang menatapnya. “Aku mungkin nggak bisa menyembuhkan lukamu. Tapi kalau kamu butuh teman untuk berjalan pelan-pelan, aku masih di sini.”
Raya mengangguk, kali ini dengan senyum kecil yang mulai tumbuh di bibirnya. Pelan, tapi nyata.
Pohon kenanga di atas mereka bergoyang ringan diterpa angin sore. Aroma bunganya menguar, menenangkan, seolah ikut menyambut pertemuan dua jiwa yang pernah terpisah oleh jarak dan waktu. Pertemuan yang tak menuntut masa lalu untuk diulang, tapi memberi harapan bahwa masa depan bisa dimulai dari tempat yang sama—di bawah pohon kenanga, setelah hujan reda.
Bab 6 – Malam Tanpa Pelindung
Malam datang tanpa aba-aba. Seperti selimut hitam yang dilemparkan begitu saja ke atas kota kecil itu, tanpa kesempatan untuk menyiapkan pelita. Awan menggantung rendah, dan udara dingin mulai merambat dari celah-celah jendela tua yang tak pernah diganti sejak rumah itu dibangun. Raya duduk di ruang tengah, bersandar di sofa yang mulai kempes, membiarkan dirinya larut dalam suara detak jam dinding dan sesekali rengekan nyamuk di dekat telinganya.
Tak ada pelindung malam ini. Tak ada pelukan ibu. Tak ada suara yang berkata, “Kunci pintunya, Ray, dan jangan lupa pakai selimut.” Segalanya terasa terbuka—terlalu terbuka, bahkan untuk pikirannya sendiri.
Di atas pangkuannya, buku catatan berisi surat-surat ibunya sudah penuh dengan lipatan dan coretan. Ia mulai menuliskan fragmen kehidupannya di antara kalimat-kalimat peninggalan sang ibu. Tapi malam ini, ia hanya menatap kosong halaman kosong yang baru. Tangannya tak sanggup bergerak. Yang ada hanya perasaan rapuh yang menelannya perlahan, seakan kesedihan dan rindu kini menjadi bagian permanen dalam dirinya.
Malam itu, listrik mendadak padam. Rumah seketika berubah menjadi gelap total, hanya disinari cahaya temaram dari bulan yang terhalang awan. Raya menyalakan lilin kecil di meja makan, satu-satunya sumber cahaya yang tersisa.
Ia berjalan ke kamar ibunya, membawa lilin itu dengan hati-hati. Hatinya bergetar saat mendorong pintu yang mengeluarkan suara serak. Aroma kayu tua, kapur barus, dan sisa parfum mawar menyeruak begitu pintu terbuka. Ia masuk perlahan, menaruh lilin di meja rias, lalu duduk di tepi ranjang, tepat di mana ibunya biasa duduk sambil menyisir rambut.
Kamar itu terasa hangat, meski hawa dingin mulai menggigit. Hangat, karena setiap benda di dalamnya masih menyimpan jejak seseorang yang mencintainya tanpa syarat.
“Ma… aku takut,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Kata-kata itu keluar begitu saja, seperti anak kecil yang kembali mencari perlindungan. Selama ini ia berpikir dirinya kuat—mandiri, sukses, berdikari. Tapi di malam tanpa pelindung seperti ini, semua pencapaian itu terasa hampa. Tak ada yang bisa mengalahkan rasa aman yang dulu datang dari segelas susu hangat dan tangan ibu yang mengelus kepala.
Raya merebahkan diri di atas tempat tidur. Pandangannya menatap langit-langit kamar, mencoba menemukan pola yang bisa menenangkan pikirannya. Tapi tak ada. Yang ada hanya bayangan-bayangan masa lalu yang datang satu per satu: suara pertengkaran orangtuanya, langkah kaki ayahnya yang menjauh, ibunya yang berdiri di teras tanpa kata, dan dirinya yang memilih diam dan pergi.
Petir menyambar di luar. Jendela berguncang. Lilin hampir padam karena angin yang masuk dari sela ventilasi. Raya terduduk. Dadanya sesak. Ia merasa terjebak di antara ruang dan waktu yang tak memberinya jalan keluar.
Lalu, terdengar ketukan di pintu depan. Lembut, tapi cukup kuat untuk membuatnya terjaga dari lamunan. Ia ragu sejenak, lalu berjalan cepat ke ruang depan. Ia membuka pintu perlahan.
Di sana, berdiri Gilang dengan mantel basah, rambutnya sedikit basah terkena gerimis.
“Aku lihat listrik padam dari rumah. Kamu baik-baik aja?” tanyanya tanpa banyak basa-basi.
Raya menelan ludah. “Masuklah.”
Gilang masuk, menepuk-nepuk jaketnya agar air tak menetes ke lantai. Ia membawa termos kecil dari rumah, dan dua cangkir dalam kantong kain.
“Ini jahe hangat,” katanya sambil menuangkan ke cangkir. “Kupikir kamu butuh sesuatu yang bisa menghangatkan malam yang dingin.”
Raya duduk di seberangnya. “Aku nggak nyangka kamu bakal ke sini.”
“Kadang, hati kita tahu ke mana harus pergi. Bahkan saat kita nggak punya alasan jelas,” ujar Gilang sambil tersenyum.
Mereka duduk berdua dalam hening yang nyaman, hanya ditemani suara gerimis dan aroma jahe. Pelan-pelan, Raya mulai bicara. Tentang malam-malam sepi di Jakarta. Tentang kecemasan yang ia sembunyikan di balik prestasi. Tentang perasaan bersalah yang tidak kunjung sembuh. Tentang kehilangan yang menyisakan lubang dalam dirinya.
Gilang tidak menyela. Ia hanya mendengarkan—dengan mata yang tidak menghakimi, dengan kehadiran yang cukup untuk membuat Raya merasa bahwa ia tidak sendiri.
“Malam ini aku sadar… betapa rapuhnya aku. Aku pikir aku sudah cukup dewasa untuk menerima semuanya. Tapi ternyata, kehilangan itu lebih dingin dari yang aku bayangkan.”
“Rasa kehilangan memang nggak pernah minta izin. Tapi dia juga yang mengajarkan kita cara mencintai lebih dalam,” kata Gilang.
Saat malam semakin larut, dan lilin mulai mengecil, Raya merasa sesuatu dalam dirinya perlahan menghangat. Ia masih merindukan ibunya. Ia masih merasa bersalah. Tapi di sisi Gilang, di malam tanpa pelindung itu, ia tahu bahwa pelindung bukan hanya tentang tangan yang membelai atau suara yang menenangkan.
Kadang, pelindung adalah kehadiran diam yang tidak pergi.
Dan malam itu, meski listrik padam dan hujan belum berhenti, Raya tak lagi merasa sendiri.
Bab 7 – Cahaya di Balik Tirai
Pagi datang perlahan, seperti seseorang yang mengetuk pelan pintu kamar, menunggu diizinkan masuk. Sinar matahari menyelinap dari sela-sela tirai putih yang menggantung setengah lusuh di jendela kamar ibunya. Tirai itu dulu dijahit tangan ibunya sendiri, dengan benang sisa dan kesabaran yang tak bisa dibeli. Saat diterpa cahaya, bayangan dedaunan dari luar menari pelan di permukaannya, seolah ingin ikut masuk dan membagikan secercah kehangatan.
Raya membuka mata, tubuhnya masih terasa berat. Ia tertidur di ranjang ibunya semalam, masih dengan pakaian kemarin. Lilin di meja rias telah padam, hanya menyisakan lelehan lilin kering yang membeku seperti jejak waktu yang terhenti.
Ia bangun perlahan, melipat selimut yang digunakan, lalu duduk di tepi ranjang. Dari posisi itu, ia bisa melihat cahaya pagi menyinari lantai kayu kamar yang sudah mulai menghitam dimakan usia. Anehnya, pagi itu terasa berbeda. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya yang selalu dibungkus sepi dan dingin. Ada sesuatu yang berubah—sebuah perasaan yang belum bisa ia beri nama.
Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.
“Ray?” suara Gilang dari luar.
Ia membuka pintu, dan menemukan Gilang berdiri dengan dua gelas kopi dalam tangan, rambutnya masih sedikit berantakan. Ia tersenyum kecil.
“Kamu ketiduran di kamar Ibumu,” ucapnya, menyerahkan secangkir kopi panas.
Raya menerimanya, dan untuk sesaat, mereka hanya berdiri di sana, menyesap hangatnya pagi dalam diam. Tak perlu banyak kata—kehadiran Gilang sendiri sudah menjadi penopang.
“Aku kepikiran sesuatu tadi malam,” kata Raya, akhirnya memecah sunyi. “Mungkin sudah saatnya aku membuka tirai itu.”
Gilang mengerutkan kening. “Tirai?”
Raya menunjuk ke pojok rumah—sebuah ruang kecil yang selama ini selalu ditutupi tirai kain abu-abu tua. Ruang itu dulunya tempat kerja ibunya. Di balik tirai itu, sang ibu biasa menjahit, menyulam, menulis resep, dan kadang… menangis.
“Sejak kecil, Ibu selalu bilang aku tidak boleh masuk ke sana. Bukan karena menyembunyikan sesuatu, tapi katanya, ‘nanti kalau kamu sudah siap, kamu sendiri yang akan membuka tirai ini.’ Aku pikir… sekarang waktunya.”
Gilang menatapnya, lalu mengangguk. “Kalau kamu siap, aku temani.”
Tirai itu berat, penuh debu dan aroma kapur barus. Raya menariknya perlahan. Di baliknya, terbuka sebuah ruang kecil yang hangat—penuh dengan rak-rak kayu, tumpukan kain warna-warni, dan di sudut ruangan, sebuah meja kecil dengan mesin jahit tua. Di dinding, ada foto-foto masa kecil Raya bersama ibunya yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Semuanya disusun rapi, seperti pameran kenangan pribadi.
Raya melangkah masuk. Jantungnya berdegup pelan, tapi stabil. Ia menyentuh kain-kain di rak—beberapa masih setengah jadi, beberapa sudah dipotong rapi dan ditandai dengan nama-nama orang.
Di meja kerja, ia menemukan sebuah kotak kecil. Di dalamnya, ada sekumpulan catatan—semacam jurnal harian ibunya. Tulisan tangan yang rapi dan lembut memenuhi halaman-halaman itu.
“Hari ini, Raya pertama kali membaca puisi di depan kelas. Aku menangis diam-diam di balik jendela sekolah.”
“Raya bilang dia ingin ke Jakarta. Aku senang dan takut bersamaan. Tapi aku harus membiarkannya pergi.”
“Malam ini, aku menjahit baju tidur untuk Raya. Entah dia akan memakainya atau tidak, tapi aku ingin ia tahu—aku selalu memikirkan kenyamanannya, bahkan saat dia jauh.”
Raya membaca dengan tenggorokan tercekat. Setiap kalimat adalah pelukan yang tertunda. Setiap kata adalah cahaya kecil yang kini menerangi ruang paling gelap dalam dirinya.
“Dia menulis semua ini untukku…” gumamnya.
Gilang berdiri di belakang, membiarkan Raya larut dalam emosi. Kemudian ia mendekat, menatap ruangan itu bersama-sama.
“Ini bukan ruang kerja. Ini tempat dia menyimpan cintanya,” ujar Gilang pelan.
Raya mengangguk, mata masih berembun. “Aku pikir, aku kehilangan segalanya. Tapi ternyata, dia meninggalkan begitu banyak cahaya.”
Ia mengangkat tirai itu sepenuhnya, menggulung dan mengikatnya di samping, membiarkan cahaya matahari masuk ke seluruh sudut ruang tersebut.
Kini, ruang itu bukan lagi ruang tersembunyi. Bukan tempat yang tertutup karena takut dilukai oleh kenangan. Tapi tempat di mana cinta disimpan dan akhirnya ditemukan kembali.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak ibunya pergi, Raya merasa dirinya pulang bukan hanya secara fisik. Tapi secara utuh—dengan hati yang mulai sembuh, dan jiwa yang perlahan menemukan kembali cahaya di balik tirai kehidupannya.
Bab 8 – Hari Setelah Hujan
Hujan akhirnya reda. Setelah semalaman mengguyur tanpa henti, pagi itu langit memunculkan rona biru yang nyaris tak terlihat selama berhari-hari. Udara masih menyisakan aroma tanah basah, dan dedaunan tampak bersih seperti baru dicuci. Burung-burung mulai kembali bersiul, seakan menyambut dunia yang baru dilahirkan kembali.
Raya berdiri di depan jendela rumah ibunya, mengenakan sweater abu-abu tua yang ditemukan dalam lemari beberapa hari lalu. Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul, menambah kehangatan pada suasana yang masih basah oleh kenangan.
Hari setelah hujan, ia pikir, selalu memiliki nuansa yang berbeda. Ada jeda. Ada ruang. Seperti alam semesta memberi waktu untuk bernapas, untuk menyusun ulang apa yang telah berantakan.
Beberapa hari terakhir telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Kedatangannya yang semula hanya ingin mengurus rumah warisan, kini menjelma menjadi perjalanan pulang ke dalam dirinya sendiri. Ia tak menyangka rumah tua yang selama ini dihindarinya ternyata menyimpan kepingan jiwanya yang tertinggal.
Di dapur, Gilang sedang menyusun piring ke rak. Sejak malam tanpa listrik itu, ia nyaris tak pernah pulang ke rumahnya sendiri. Ia hadir seperti bayangan yang setia, tidak mendominasi, tidak mendesak, hanya ada—dengan kesabaran yang menenangkan Raya tanpa harus berkata apa-apa.
“Kopi atau teh?” tanya Gilang tanpa menoleh.
“Teh. Kayak pagi ini, tenang,” jawab Raya sambil duduk di meja makan.
Gilang menuangkan teh ke cangkir untuk dirinya, lalu duduk berhadapan. Ia menatap Raya beberapa saat sebelum berkata, “Kamu berubah.”
Raya tertawa kecil. “Berubah gimana?”
“Dulu kamu seperti orang yang sedang terus berlari. Sekarang… lebih seperti orang yang baru selesai berlari, dan mulai jalan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan.”
Raya terdiam. Ia menatap cangkirnya, lalu menatap keluar jendela. “Mungkin karena aku akhirnya berhenti melawan. Selama ini aku kira aku kuat karena bisa menolak ingatan. Tapi ternyata, kekuatan sebenarnya justru datang saat aku berani menengok ke belakang dan mengakui semuanya.”
Hari itu, Raya memutuskan untuk membersihkan halaman belakang rumah. Setelah bertahun-tahun ditinggalkan, rerumputan tumbuh tinggi, dan beberapa bagian pagar kayu sudah mulai lapuk. Ia mengenakan sarung tangan dan mengambil alat-alat kebun lama yang masih tersisa di gudang.
Gilang ikut membantu, tentu saja. Mereka bekerja dalam diam, kadang diselingi tawa kecil saat menemukan benda-benda aneh peninggalan masa kecil Raya: sandal satuan, bola karet yang sudah kempes, bahkan pot bunga yang pernah diwarnai dengan spidol.
Di salah satu sudut halaman, Raya menemukan sebuah pot kenanga yang masih berdiri, meski hampir tertutup semak. Ibunya pernah menanamnya bertahun-tahun lalu. Dan meski tak dirawat, tanaman itu tetap hidup—berdiri teguh, berbunga dengan tenang.
“Aku ingat… Ibu bilang bunga kenanga itu lambang keikhlasan. Dia tidak wangi menyengat, tapi lembut, seperti doa,” kata Raya sambil menyentuh kelopaknya.
“Mungkin karena itu dia tetap tumbuh. Karena dia nggak butuh dilihat untuk tetap hidup,” jawab Gilang.
Kata-kata itu menampar pelan. Raya merasa seolah bunga itu adalah dirinya—atau ibunya. Bertahan dalam diam, memberi makna dalam senyap. Ia berlutut dan membersihkan rumput di sekeliling pot itu, seolah ingin memberi ruang kembali bagi sesuatu yang pernah terlupakan.
Menjelang sore, setelah halaman mulai rapi, Raya duduk di bangku taman kecil di dekat pohon mangga. Angin sore membawa aroma kenanga yang samar. Ia menutup mata sejenak, membiarkan semuanya masuk ke dalam dirinya.
Di momen itu, ia merasa damai. Bukan karena semua luka telah sembuh, bukan karena semua persoalan selesai, tapi karena akhirnya ia bisa menerima—bahwa hidup memang tidak selalu memberi jawaban, tapi selalu memberi kesempatan untuk memulai ulang.
Gilang duduk di sebelahnya, membawa dua botol air mineral. Ia menyerahkannya ke Raya, lalu berkata, “Setelah ini, kamu mau ke mana?”
Raya menatap langit yang mulai keemasan. “Aku belum tahu pasti. Tapi aku tahu, aku nggak akan lari lagi.”
Ia menoleh pada Gilang, lalu tersenyum. “Dan mungkin… aku ingin tinggal lebih lama di sini. Ada banyak hal yang belum selesai. Banyak kenangan yang masih ingin aku kenali.”
Gilang tersenyum. “Rumah ini… sepertinya juga senang kamu pulang.”
Raya mengangguk pelan. “Dan aku senang akhirnya berani pulang.”
Hari setelah hujan memang tak menjanjikan langit yang selalu cerah. Tapi ia membawa harapan. Seperti tanah yang kembali subur, seperti daun yang lebih hijau, seperti langkah yang lebih ringan. Raya tahu, hidup tidak akan sempurna. Tapi ia juga tahu, selama ia bisa menerima dirinya sendiri—dan semua masa lalu yang membentuknya—ia akan baik-baik saja.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raya tak hanya percaya pada hari esok, tapi juga bersyukur pada hari ini.
Hari setelah hujan.
Bab 9 – Pelangi yang Terlambat
Langit menjelang sore itu tak sepenuhnya biru. Ada sisa awan abu-abu tipis yang menggantung malas di atas desa kecil itu. Hujan tak lagi turun, tapi tanah masih basah, dan dedaunan masih meneteskan sisa-sisa air yang tertahan. Di cakrawala, warna-warna mulai muncul perlahan. Merah muda samar, jingga lembut, lalu garis kuning yang malu-malu—pelangi.
Raya menatap langit dari jendela kamarnya. Jendela yang sama tempat ibunya biasa duduk sore hari, dengan secangkir teh dan sulaman di tangan. Hatinya seperti udara sore itu—tenang, jernih, tapi masih membawa aroma kenangan.
Sudah dua minggu sejak ia memutuskan tinggal lebih lama di rumah ini. Banyak yang berubah, termasuk dirinya. Ia tidak lagi bangun dengan perasaan ingin pergi. Tidak lagi merasa rumah ini seperti museum dari masa lalu yang menakutkan. Kini, rumah itu menjadi ruang baru—ruang penyembuhan.
Ia berjalan pelan menuju ruang kerja ibunya yang dulu tertutup tirai. Kini ruang itu sudah dibuka sepenuhnya, terang oleh cahaya pagi dan sore. Di meja kerjanya, Raya menaruh sebuah jurnal—jurnal kosong yang mulai ia isi sendiri. Ia menulis dengan tangan, seperti ibunya. Menuliskan tentang hari-hari baru, tentang proses berdamai, tentang orang-orang yang datang dan pergi.
Gilang datang membawa beberapa bingkai kayu yang ia buat sendiri. “Kamu yakin ingin memajang foto-foto ini di ruang tamu?” tanyanya.
Raya mengangguk sambil tersenyum. “Sudah cukup lama rumah ini hanya berisi dinding kosong. Waktunya memberi wajah pada kenangan.”
Foto-foto itu adalah foto masa kecil Raya bersama ibunya, ayahnya, bahkan foto-foto kecil yang ditemukannya dari laci tua di kamar belakang—beberapa bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya. Ada satu foto yang paling disukainya: ibunya tertawa lepas di tengah kebun kenanga.
Hari itu, Raya berkunjung ke makam ibunya seorang diri. Ia membawa sekeranjang bunga kenanga, tak ada upacara atau ritual khusus. Hanya ia, tanah basah, dan nisan sederhana bertuliskan nama perempuan yang telah mengajarkannya mencintai dalam diam.
Ia duduk bersila, menaruh bunganya, lalu menghela napas panjang.
“Bu…” suaranya pelan, “aku nggak datang untuk menangis lagi. Aku datang karena aku mau bilang terima kasih.”
Tangannya meraba permukaan nisan. Dingin, tapi tak lagi membuat hatinya beku.
“Maaf karena butuh waktu lama untuk pulang. Maaf karena sempat marah. Tapi sekarang aku paham… semua diam Ibu, semua larangan, semua kata-kata yang tertahan, semuanya ternyata bentuk cinta yang belum bisa aku mengerti dulu.”
Ia tersenyum kecil, walau matanya berkaca-kaca.
“Aku nggak tahu akan tinggal di sini sampai kapan, tapi aku tahu… aku nggak akan lari lagi. Aku akan merawat rumah ini, dan juga kenangan tentang Ibu. Terima kasih sudah tetap mencintaiku, bahkan ketika aku terlalu keras kepala untuk melihatnya.”
Ia berdiri, memandang langit. Pelangi telah muncul sepenuhnya kini. Lengkung sempurna dengan warna-warna cerah yang tampak seperti hadiah dari langit.
Sore itu, ketika kembali ke rumah, Gilang sedang menata taman kecil yang mereka bersihkan bersama. Ia menanam bibit kenanga baru, berharap suatu hari akan tumbuh dan mekar seperti yang lama. Raya menghampirinya, membawa dua gelas es teh.
“Pelangi hari ini telat muncul, ya,” ucapnya.
Gilang menoleh, menghapus keringat di dahinya. “Tapi tetap muncul, kan?”
Raya mengangguk. “Iya. Kadang yang terlambat itu justru yang paling indah. Karena kita sudah belajar sabar menunggunya.”
Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Tidak saling memegang, tidak juga bicara banyak. Tapi suasana di antara mereka sudah lebih dari cukup. Ada rasa tenang yang sulit dijelaskan—seperti pelukan dari semesta.
Di malam hari, ketika semua sudah sunyi, Raya membuka jendela kamarnya. Udara malam masuk perlahan, membawa aroma basah dan dingin yang menenangkan. Di kejauhan, cahaya-cahaya kecil dari rumah-rumah tetangga tampak seperti bintang di bumi. Ia duduk di meja, mengambil pena, dan menulis di jurnalnya.
“Hari ini, pelangi muncul terlambat. Tapi aku tidak kecewa. Aku justru bersyukur bisa melihatnya dengan hati yang utuh. Kadang, hidup butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan luka, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, kita tetap percaya pelangi akan datang. Meskipun terlambat.”
Ia menutup jurnalnya, meniup lilin kecil di samping meja, lalu berbaring di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, kosong tapi damai. Esok adalah hari baru. Dan untuk pertama kalinya, Raya tidak takut menyambutnya.***