Bab 1: Pembunuhan di Panggung
Panggung teater yang megah itu mulai hening. Layar besar yang biasanya menutupi ruang, kini terangkat perlahan, menampilkan sosok seorang aktor dengan pakaian hitam berkilau, wajahnya dihiasi dengan riasan dramatis. Tetesan keringat mengalir di pelipisnya, namun matanya, meski lelah, tetap memancarkan semangat. Malam ini adalah malam puncak dari pertunjukan yang sudah dipersiapkan berbulan-bulan.
Namun, detik berikutnya, sebuah teriakan memecah kesunyian malam. Bukan teriakan penonton, melainkan jeritan histeris yang berasal dari sisi panggung. Seorang perempuan muda, anggota kru, berlari tergesa-gesa ke depan, matanya terbelalak ketakutan. “Dia… dia mati!” suaranya tercekat, hampir tidak bisa dipahami.
Sekelompok orang berlarian menuju pusat keributan itu. Panggung yang semula penuh dengan kegembiraan, seketika berubah menjadi ladang kecemasan. Di tengah sorotan lampu yang masih menyinari panggung, tubuh sang aktor, Richard Satrio, tergeletak tak bergerak. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit membiru, dan tubuhnya kaku seperti patung. Dada yang biasanya terangkat dengan napas penuh semangat, kini tidak bergerak sedikit pun.
Polisi tiba di lokasi beberapa saat setelah kejadian, dan detektif utama, Aria Prasetya, segera dipanggil untuk menangani kasus ini. Aria adalah seorang penyidik yang terkenal dengan ketajaman insting dan kemampuannya dalam memecahkan kasus-kasus sulit. Namun, kali ini, dia merasa sedikit berbeda. Kasus ini, meskipun terkesan seperti kecelakaan tragis, meninggalkan rasa yang tak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang aneh di baliknya, sesuatu yang tidak sesuai dengan yang terlihat di permukaan.
“Siapkan laporan lengkap,” kata Aria kepada seorang petugas, suaranya tegas namun tidak terburu-buru. “Saya ingin tahu segala sesuatu tentang Richard Satrio—di luar karirnya sebagai aktor.”
Sementara itu, suasana di dalam teater semakin mencekam. Para aktor dan kru berkumpul di ruang belakang, saling berbisik dengan gugup, beberapa di antaranya tampak panik. Mereka semua mengenal Richard, aktor yang tak hanya terkenal di dunia teater, tetapi juga di layar kaca. Tidak ada yang menyangka pria seterkenal dia akan berakhir begitu tragis.
Aria melangkah ke panggung, memandangi tubuh Richard yang tergeletak. Dia mengamati setiap detail, dari posisi tubuh hingga pencahayaan yang masih menyala. “Apakah ini kecelakaan?” pikir Aria, namun rasa tidak nyaman semakin menggerogoti pikirannya.
Di meja samping, sebuah catatan kecil tergeletak, hampir tak terlihat oleh mata yang terburu-buru. Aria meraihnya, membaca dengan cepat. Catatan itu hanya berisi satu kalimat singkat yang membuat alisnya berkerut:
“Bukan kecelakaan. Ini baru permulaan.”
Dengan hati-hati, Aria menyimpan catatan itu dalam kantongnya, menyadari bahwa dia baru saja menginjakkan kaki dalam sebuah permainan berbahaya yang lebih besar dari yang dia bayangkan.
“Bersiaplah,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini baru dimulai.”
Bab 2: Dunia Teater yang Penuh Rahasia
Pagi itu, Aria Prasetya kembali berada di teater yang sama, dengan suasana yang berbeda. Semalam, panggung yang dulu penuh dengan tawa dan tepuk tangan kini tampak kosong dan suram. Bangunan tua itu, yang biasanya dipenuhi aroma cat dan kelamnya cahaya sorot lampu, kini terperangkap dalam kesunyian yang mencekam. Aria tahu, setiap sudut ruangan ini menyimpan cerita. Cerita yang tidak akan terungkap dengan mudah.
Dia berdiri di depan ruang ganti aktor, memandang sekelilingnya dengan seksama. Beberapa anggota kru masih terlihat tertekan, wajah-wajah yang biasanya ceria kini terbenam dalam kebisuan. Beberapa aktor duduk di sudut, berbincang dengan suara pelan. Namun, ada yang berbeda. Mereka berusaha menghindari tatapan Aria, seolah-olah setiap gerakan mereka mengandung rahasia yang terlalu gelap untuk diketahui.
Sutradara teater, seorang pria paruh baya bernama Satria Wijaya, datang menghampirinya dengan langkah lebar. Wajahnya tampak tertekan, tubuhnya sedikit membungkuk, seperti beban berat yang harus ditanggungnya. “Penyidik Aria, saya tahu Anda sedang mencari jawaban. Tetapi saya harap Anda mengerti, Richard adalah bagian dari keluarga besar kami di sini. Kami semua sangat terpukul.”
Aria memandang Satria dalam diam, sebelum akhirnya mengangguk. “Saya paham, Pak Satria. Namun, saya harus menanyakan beberapa hal yang mungkin tidak terlalu menyenangkan bagi Anda atau yang lainnya. Saya hanya butuh kejelasan.”
Satria terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah lantai panggung yang dingin. “Tentu, saya tahu. Kami akan memberikan apapun yang bisa membantu Anda, asalkan Anda tidak menyebarkan rumor yang lebih buruk. Richard adalah aktor besar, memang, tapi dia bukan orang yang sempurna. Setiap orang di sini punya alasan untuk… merasa cemas.”
Aria mengerutkan kening. “Alasan? Apa maksud Anda?”
Satria menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata. “Lihat, Richard memang sangat populer, tapi di balik ketenarannya ada banyak orang yang merasa tersaingi. Ada yang merasa terluka, ada yang merasa dikhianati. Di dunia teater ini, semuanya bisa berubah hanya dengan sebuah kalimat atau peran yang diambil alih orang lain. Persaingan ini sangat tajam, penyidik.”
Aria memandangnya dengan penuh perhatian. “Jadi Anda ingin mengatakan bahwa ini mungkin pembunuhan yang berhubungan dengan persaingan atau balas dendam di dunia teater?”
Satria mengangguk pelan. “Mungkin. Kami semua saling kenal sangat dekat, namun seringkali, hubungan ini lebih rapuh daripada yang terlihat. Richard bukan hanya aktor, dia juga memiliki banyak musuh. Dalam dunia teater, semuanya bisa berubah dalam semalam, dan Richard… dia punya banyak rahasia.”
Setelah percakapan itu, Aria mulai mewawancarai para anggota kru satu per satu. Semua menunjukkan reaksi yang sama: kebingungan, ketakutan, dan rasa kehilangan. Namun, di balik itu, ada sesuatu yang Aria rasakan—sebuah ketegangan yang tersembunyi.
Salah satu aktor utama dalam pertunjukan itu, Clara, seorang wanita muda dengan karisma yang kuat, tampak lebih tertekan dari yang lain. Aria menghampirinya setelah wawancara dengan beberapa kru. Clara terlihat gelisah, matanya menatap kosong ke arah ruangan. Saat Aria mendekat, ia tersentak, seolah-olah baru menyadari kehadiran penyidik itu.
“Clara, saya perlu berbicara dengan Anda,” kata Aria dengan suara lembut, berusaha membangkitkan kepercayaan.
Clara menatapnya, ragu-ragu. “Tentang apa, Pak Aria?”
“Richard,” jawab Aria. “Apa yang sebenarnya terjadi antara Anda dan dia?”
Clara menundukkan kepalanya. “Kami… kami tidak pernah terlalu dekat. Tapi saya tahu Richard punya banyak masalah. Dia sering mengurung diri, tampak bingung dan terkadang marah tanpa alasan yang jelas. Dia menghabiskan banyak waktu di luar panggung dengan hal-hal yang tidak pernah dia ceritakan pada kami.”
Aria mengamati Clara dengan seksama. Ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya, sebuah rasa takut yang tak bisa disembunyikan.
“Tapi, Clara,” kata Aria, “Ada satu hal yang saya tidak bisa mengabaikan. Seorang saksi melihat Anda berbicara dengan Richard beberapa menit sebelum ia ditemukan tewas. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?”
Clara menatap Aria dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca. “Saya… saya tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Ada hal yang lebih besar di balik semua ini, lebih dari sekadar persaingan di atas panggung. Saya hanya berharap Anda bisa menemukan kebenarannya, Pak Aria.”
Saat Clara berbalik dan pergi, Aria merasa semakin yakin bahwa setiap orang di tempat ini menyimpan rahasia yang akan membawa mereka pada jawaban yang lebih gelap. Di balik senyum, kedekatan, dan profesionalisme yang terlihat, ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang membunuh Richard Satrio.
Teater ini bukan hanya tempat untuk beraksi di atas panggung, tetapi juga tempat bagi orang-orang yang berperan dalam sebuah sandiwara yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan.
Bab 3: Jejak Misterius
Suasana pagi di kantor polisi terasa lebih berat daripada biasanya. Aria duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan berkas yang sudah mulai menumpuk. Kasus kematian Richard Satrio semakin membingungkan. Semalam, ia menghabiskan waktu berjam-jam memeriksa ulang laporan, namun jawabannya tetap sama: tidak ada petunjuk yang jelas, hanya kepingan-kepingan misteri yang belum terhubung.
Telepon di meja Aria berdering, mengalihkan perhatiannya. Dia segera mengangkatnya.
“Penyidik Aria?” suara di ujung sana terdengar tegas, namun sedikit gugup.
“Iya, saya Aria. Ada apa?”
“Saya, Dwi, anggota tim forensik. Ada sesuatu yang Anda harus lihat. Ini bukan sekadar kebetulan,” jawab suara itu. “Kami menemukan sesuatu di tubuh Richard yang mungkin bisa memberi petunjuk baru.”
Aria langsung berdiri, meraih jaketnya dan bergegas menuju ruang forensik. Ketika ia sampai, Dwi sudah menunggunya dengan ekspresi serius. Di meja forensik, tergeletak beberapa barang bukti yang baru saja ditemukan.
“Di bawah kuku Richard,” kata Dwi, menunjuk ke hasil analisis forensik, “kami menemukan potongan kecil kertas. Saat kami coba buka, ini yang ditemukan.” Dwi menyodorkan selembar kertas kecil yang tampak kusam. “Ini pesan.”
Aria mengamati kertas itu dengan cermat. Tulisannya sangat kecil dan hampir tidak terbaca. Setelah beberapa saat memeriksa, ia bisa membaca satu kalimat yang ditulis dengan tinta hitam:
“Jangan percaya pada siapa pun di sini.”
Aria terdiam, perasaan tidak nyaman kembali merayapi dirinya. Sebuah pesan seperti itu pasti ditulis oleh seseorang yang tahu lebih banyak dari yang terlihat. Siapa yang mengirimkan pesan itu? Dan mengapa Richard menulisnya sebelum kematiannya?
“Kami juga menemukan sesuatu yang lain,” lanjut Dwi dengan suara yang semakin serius. “Ini lebih mengkhawatirkan. Ada bekas goresan di pergelangan tangan Richard, seolah dia berusaha melepaskan diri dari sesuatu. Tetapi yang lebih mencurigakan, kami menemukan jejak-jejak yang sangat samar di sekitar area teater—seperti bekas kaki yang baru saja diinjak.”
“Jejak kaki?” Aria bertanya, mulai merasa bahwa teka-teki ini semakin dalam.
Dwi mengangguk. “Kami sudah menelusuri jejak itu, namun sepertinya jejak tersebut hilang begitu saja di tengah kerumunan. Ini sangat aneh, Penyidik. Jejaknya seperti sengaja disembunyikan.”
Aria menggigit bibirnya, berpikir keras. Semua petunjuk yang ada justru semakin menambah misteri, bukan menyelesaikannya. Pembunuhnya sepertinya tidak hanya cerdas dalam menyembunyikan jejak, tetapi juga pandai dalam memanipulasi orang-orang di sekitarnya.
“Punya sesuatu yang lain?” tanya Aria.
Dwi ragu sejenak sebelum mengeluarkan sebuah amplop dari laci meja. Di dalam amplop itu ada sebuah foto, dan ketika Aria melihatnya, napasnya tercekat.
Foto itu menunjukkan Richard berdiri di atas panggung, namun ada satu hal yang sangat mencolok: di belakang Richard, terlihat bayangan samar seorang pria yang sedang mengamati. Bayangan itu hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama. Seakan-akan, seseorang sedang mengintai dari kegelapan, menunggu momen yang tepat.
“Ini diambil beberapa hari sebelum dia ditemukan tewas,” jelas Dwi. “Tidak ada yang tahu siapa pria di belakangnya. Kami tidak dapat menemukan siapa pun yang mencocokkan sosok ini.”
Aria menyimpan foto itu di dalam saku jaketnya. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya, namun satu hal yang jelas: pembunuhan Richard Satrio bukanlah kecelakaan. Ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, sebuah sandiwara yang melibatkan banyak orang.
Aria kembali ke teater, kali ini dengan semangat baru. Ada sesuatu yang ia rasakan di tempat ini—suasana yang penuh dengan rahasia, kedekatan yang penuh kepalsuan, dan senyuman yang menyembunyikan niat jahat. Setiap sudut teater ini seolah berbicara, namun hanya mereka yang mampu mendengar dengan hati yang terbuka yang bisa memahami pesan-pesan yang tersembunyi.
Sutradara Satria Wijaya masih di ruang kerjanya, duduk termenung di balik meja. Wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya, kelelahan jelas terpancar di wajahnya.
“Penyidik Aria, apakah ada kemajuan?” tanya Satria dengan suara pelan, tapi ada nada cemas di dalamnya.
“Ada beberapa petunjuk baru,” jawab Aria, mendekat dan meletakkan foto Richard dan pesan yang ditemukan di tubuhnya di atas meja. “Sepertinya Richard telah menulis pesan terakhir sebelum kematiannya, dan kami juga menemukan foto yang cukup mencurigakan. Seseorang tampaknya sedang mengawasi Richard, bahkan sebelum ia ditemukan tewas.”
Satria memandang foto itu dengan mata yang semakin membesar. “Saya tidak tahu siapa orang ini, Penyidik. Namun, saya rasa… ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik ini.”
Aria mengangguk. “Ini bukan hanya tentang Richard. Ada permainan yang jauh lebih gelap di balik semua ini, dan saya rasa, kita baru saja menggores permukaan dari misteri ini.”
Teater ini bukan hanya tempat para aktor memainkan peran mereka. Kini, tempat ini juga menjadi arena bagi sebuah permainan berbahaya, di mana nyawa menjadi taruhannya.
Bab 4: Bayangan di Balik Tirai
Malam itu, Aria kembali ke teater. Suasana semakin tegang seiring berjalannya waktu, dan dia merasa ada sesuatu yang sangat gelap tersembunyi di balik tirai-tirai yang menutupi panggung. Semakin ia mendalami kasus ini, semakin ia merasa bahwa setiap orang di sekitar Richard memiliki alasan tersembunyi, dan mungkin, bahkan motif untuk membunuhnya.
Satria Wijaya, sutradara yang tampaknya terperangkap dalam sebuah drama yang lebih besar dari sekadar panggung teater, tampak semakin terbuka dengan Aria. Meski nada suaranya tetap tenang, ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan di matanya.
“Penyidik Aria, saya ingin menunjukkan Anda sesuatu,” kata Satria, seraya membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah map tebal. “Ini mungkin akan memberi Anda gambaran yang lebih jelas.”
Aria mengamati dengan seksama saat Satria meletakkan map itu di atas meja dan membukanya. Di dalamnya, terdapat foto-foto lama yang memperlihatkan Richard Satrio di berbagai kesempatan—dari pentas teater hingga acara-acara sosial. Namun, ada satu foto yang menarik perhatian Aria: foto Richard berdiri di depan sebuah pintu besar, dengan wajah yang tampak cemas, seolah-olah ia sedang menunggu seseorang. Di belakangnya, ada bayangan samar yang mirip dengan sosok pria yang terlihat di foto yang ditemukan di ruang forensik beberapa waktu lalu.
“Apa ini?” tanya Aria, menunjuk ke foto tersebut.
“Richard sering terlibat dalam proyek-proyek luar biasa,” jawab Satria, wajahnya terlihat dipenuhi keraguan. “Tapi ada satu proyek yang selalu ia sembunyikan—sebuah pertunjukan yang seharusnya tidak pernah ada. Saya rasa dia tidak pernah ingin orang lain tahu tentang ini.”
Aria mengamati foto itu lebih lama, merasa ada hubungan yang tak kasat mata antara gambar itu dan kematian Richard. “Apa maksud Anda dengan ‘pertunjukan yang tidak pernah ada’?” tanya Aria, mencoba menggali lebih dalam.
Satria menarik napas dalam-dalam. “Sebenarnya, sebelum Richard terlibat dalam teater ini, dia pernah bekerja di tempat lain. Pekerjaan yang lebih gelap. Saya tidak tahu banyak, tetapi saya mendengar ada sesuatu yang tidak beres di sana. Sesuatu yang berhubungan dengan kejahatan lama yang melibatkan orang-orang dengan pengaruh besar.”
Aria merasakan aliran ketegangan mengalir di antara mereka. Ini adalah petunjuk pertama yang mengarah pada sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak hanya berhubungan dengan dunia teater, tetapi juga dengan kekuatan yang tersembunyi di baliknya.
Aria kembali ke ruang teater, mencoba menenangkan pikirannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan—apakah Richard terlibat dalam sesuatu yang lebih gelap dari sekadar drama panggung? Apakah dia sengaja dibunuh karena sebuah rahasia besar yang ia simpan? Atau apakah ada pihak lain yang terlibat, mungkin orang-orang yang ada di balik layar teater ini, yang punya banyak alasan untuk menyingkirkannya?
Ketika Aria duduk di kursi belakang panggung, dia merasakan sebuah kehadiran yang tak terlihat. Seperti ada seseorang yang mengamati, menunggu momen yang tepat untuk bergerak. Seperti bayangan yang menyelinap di antara cahaya dan kegelapan.
Di sinilah, di balik tirai teater yang suram ini, permainan sebenarnya dimulai. Setiap kata, setiap gerakan di atas panggung, tampaknya telah dirancang untuk membawa mereka ke dalam sebuah labirin misteri yang lebih kompleks.
Aria memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut tentang masa lalu Richard, berfokus pada sisi kehidupan sang aktor yang selama ini tersembunyi. Ada banyak nama yang muncul dalam catatan yang ia temukan di markas, salah satunya adalah Clara, wanita muda yang sempat ia wawancarai sebelumnya. Aria merasa ada yang kurang jelas dengan cerita Clara, sesuatu yang tidak ia sampaikan sepenuhnya. Sepertinya Clara tahu lebih banyak dari yang ia ungkapkan, dan Aria bertekad untuk mencari tahu lebih dalam.
Keesokan harinya, Aria kembali menemui Clara di ruang latih. Clara terlihat lebih gelisah dari sebelumnya, matanya menghindar saat Aria memasuki ruangan.
“Clara,” panggil Aria lembut. “Saya harus bertanya lebih banyak tentang Richard. Ada sesuatu yang tidak beres, dan saya butuh jawaban.”
Clara menunduk, seakan terjebak dalam kebingungannya sendiri. “Saya… saya tidak tahu harus berkata apa lagi, Pak Aria,” jawabnya dengan suara yang terputus-putus. “Saya sudah mengatakan yang saya tahu, tetapi saya rasa ada banyak hal yang lebih baik tidak diungkapkan. Richard… dia terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang kita ketahui.”
Aria mendekat, menjaga jarak agar Clara merasa nyaman untuk berbicara. “Apa yang lebih besar itu, Clara? Apakah ada sesuatu yang terjadi sebelum Richard bergabung dengan teater ini?”
Clara terdiam, terlihat berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Aria dengan mata yang penuh kecemasan.
“Saya hanya ingin agar Anda tahu, Penyidik,” Clara berkata pelan, “Richard bukan hanya seorang aktor. Dia adalah bagian dari dunia yang sangat berbeda, yang saya rasa Anda tidak akan mudah memahami. Tapi jika Anda ingin tahu lebih lanjut, Anda harus mencari tahu siapa yang sebenarnya berperan di balik layar ini. Orang-orang di sini bukan hanya teman-teman biasa, mereka memiliki hubungan yang rumit—terutama dengan Richard.”
“Siapa yang Anda maksud?” tanya Aria dengan hati-hati.
Clara menatapnya sekali lagi, kemudian menunduk. “Saya tidak bisa memberitahukan lebih banyak, Pak Aria. Tapi saya tahu satu hal pasti: siapa pun yang membunuh Richard, mereka tidak akan berhenti di sini. Ada yang jauh lebih besar yang sedang berlangsung.”
Aria menghela napas panjang. Kata-kata Clara semakin memperjelas bahwa ini bukan hanya soal Richard. Ini adalah tentang sebuah dunia yang penuh dengan rahasia, pertarungan kekuasaan, dan sandiwara yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.
Dan dalam sandiwara ini, Aria harus memilih—apakah ia akan terus menyelidiki lebih dalam, ataukah ia akan menjadi bagian dari permainan yang sudah dimulai? Dunia teater, dengan segala dramanya, mungkin hanya permulaan dari sebuah kisah yang lebih kelam.
Bab 5: Kegelapan yang Meningkat
Aria merasakan ketegangan di setiap langkah yang ia ambil di dalam teater ini. Semakin ia menyelami dunia Richard, semakin ia merasa bahwa ini bukan sekadar tentang pembunuhan seorang aktor, tetapi tentang sebuah permainan besar yang melibatkan banyak pemain—dan yang terpenting, Aria baru menyadari, dia adalah salah satu bagian dari permainan itu.
Pagi itu, Aria memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang masa lalu Richard di luar teater. Ia mengunjungi rumah penyewaan Richard yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu sederhana, namun memiliki aura misterius yang menyelimuti setiap sudutnya. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, seorang wanita paruh baya yang mengenakan gaun rumahan membuka pintu.
“Maaf, saya mencari Richard Satrio,” kata Aria sopan, menunjukkan identitasnya sebagai penyidik. “Saya ingin bertanya tentang beberapa hal.”
Wanita itu memandangnya dengan tajam, seolah sedang mengukur siapa yang berada di hadapannya. “Richard? Kenapa Anda mencarikannya? Dia sudah meninggalkan tempat ini beberapa waktu yang lalu,” jawab wanita itu dengan suara sedikit ragu.
“Apakah Anda tahu ke mana dia pergi?” tanya Aria, matanya tetap tajam menatap wanita tersebut.
“Tidak,” jawabnya singkat. “Tapi saya tahu dia bukan orang yang mudah ditebak. Selalu ada rahasia yang dibawa ke mana pun dia pergi.”
Aria mengangguk. Wanita itu tampak tidak ingin berbicara lebih banyak, jadi dia mengucapkan terima kasih dan meninggalkan rumah itu dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sesuatu di dalam dirinya merasa ada yang tidak beres. Mengapa Richard meninggalkan rumah ini tanpa memberi tahu siapa pun? Apakah itu hanya kebetulan ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang ia coba sembunyikan?
Kembali ke kantor, Aria menatap catatan yang telah ia kumpulkan. Ada beberapa hal yang mengusik pikirannya—terutama tentang dunia yang lebih gelap yang disinggung oleh Clara. Aria merasa seolah-olah ia sedang mengejar bayangan, langkah demi langkah, tetapi tidak pernah benar-benar bisa mendekatinya. Richard tampaknya bukan hanya seorang aktor, tetapi seseorang yang terlibat dalam lingkaran yang sangat tertutup, dan Aria merasa dirinya mulai terseret masuk ke dalamnya.
Sementara itu, Dwi, anggota tim forensik yang membantu Aria, menghubunginya. “Penyidik, kami menemukan sesuatu yang perlu Anda lihat. Sesuatu yang tidak ada dalam laporan awal.”
Aria merasa ada sesuatu yang penting di balik suara Dwi. Segera ia pergi ke ruang forensik untuk menemui Dwi. Begitu ia tiba, Dwi sudah menunggu dengan ekspresi serius di wajahnya. Di atas meja, ada sebuah barang yang dibungkus dengan kain putih. Dwi membuka kain tersebut dengan hati-hati, dan di bawahnya terdapat sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu gelap.
“Ini ditemukan di salah satu laci meja kerja Richard,” kata Dwi, matanya tidak lepas dari kotak tersebut. “Tapi ini bukan barang biasa.”
Aria meraih kotak itu, perasaannya mulai tidak enak. Ketika ia membukanya, ia menemukan sebuah jurnal tua yang sudah mulai usang. Namun, yang menarik perhatiannya adalah sebuah tanda yang terukir di sampul jurnal itu—sebuah simbol misterius yang terlihat seperti sebuah lingkaran dengan garis-garis yang saling bertautan, seperti sebuah diagram kuno.
“Ini… apa ini?” tanya Aria, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar catatan pribadi.
Dwi menghela napas. “Kami belum sempat menganalisisnya sepenuhnya, tapi jurnal ini mungkin menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang kita duga. Saya rasa, ini lebih dari sekadar buku harian.”
Aria membuka halaman pertama jurnal itu. Tulisan tangan Richard sangat jelas, meskipun ada beberapa kata yang tampaknya ditulis terburu-buru, seperti seseorang yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Di halaman pertama, tertulis:
“Panggung bukan hanya tempat untuk berakting. Ini adalah tempat di mana kebenaran bisa dimanipulasi, di mana takdir bisa diubah dengan satu kata, satu gerakan. Dan aku tahu bahwa aku telah terjebak dalam sandiwara yang lebih besar dari yang bisa kubayangkan.”
Aria menatap tulisan itu dengan serius, merasakan ketegangan yang semakin menekan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Richard? Apa yang ia coba ungkapkan lewat kata-kata ini?
“Penyidik, saya rasa kita harus memperhatikan lebih jauh tentang simbol ini,” kata Dwi, menunjuk ke gambar yang terukir di sampul jurnal. “Ada kemungkinan ini berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar. Bisa jadi, ini adalah petunjuk yang mengarah pada kelompok atau organisasi tertentu.”
Aria menyimpan jurnal itu dengan hati-hati di dalam tasnya. Meskipun mereka belum memiliki bukti yang cukup, ia merasa ada koneksi yang kuat antara Richard dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira. Ini lebih dari sekadar misteri pembunuhan; ini tentang sebuah jaringan yang lebih gelap.
Malam itu, Aria kembali ke teater, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia memutuskan untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang terlibat dalam sandiwara besar ini, dan bagaimana Richard terjebak di dalamnya. Namun, seiring ia berjalan melewati lorong-lorong gelap teater, ada perasaan yang menggerogoti hatinya—bahwa langkah-langkah ini mungkin akan membawanya ke dalam kegelapan yang lebih dalam, tempat di mana tak ada jalan keluar yang mudah.
Setiap ruangan yang ia masuki, setiap percakapan yang ia lakukan, Aria semakin merasa terperangkap dalam permainan ini. Tidak hanya sebagai penyidik, tetapi juga sebagai bagian dari kisah yang lebih besar yang sudah dimulai jauh sebelum kematian Richard.
Bab 6: Bayang-Bayang yang Mengintai
Langit malam itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang tampak samar di balik awan hitam. Aria berdiri di depan teater yang tampak semakin misterius setiap kali ia mendekatinya. Suasana semakin suram, dan ia merasa seperti ada sesuatu yang mengintainya dari balik bayangan. Langkahnya semakin mantap, meski perasaan waspada terus membayangi dirinya.
Pagi tadi, ia kembali memeriksa jurnal milik Richard yang ditemukan di ruang forensik. Setiap kata yang tertulis di sana semakin membuat Aria yakin bahwa kematian Richard bukanlah kebetulan. Ini adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap. Richard bukan hanya seorang aktor. Ia adalah pion dalam sebuah permainan yang melibatkan banyak pihak.
Aria memasuki ruang latih teater dengan langkah yang hati-hati. Suasana di dalam ruangan itu terasa mencekam, seolah ada sesuatu yang tak tampak, namun bisa dirasakan. Dia mendekati meja besar di sudut ruangan, tempat di mana para pemain sering berkumpul sebelum pertunjukan dimulai. Di sana, dia melihat beberapa orang, namun suasana mereka tampak berbeda—lebih tertekan dan cemas daripada biasanya.
Clara, yang sedang duduk di sudut ruangan, langsung menatap Aria begitu ia masuk. Ada ketegangan yang jelas terlihat di wajah wanita itu. “Penyidik Aria, ada yang ingin Anda bicarakan?” tanyanya, suara seraknya menandakan kecemasan yang tersembunyi.
Aria berjalan mendekat, mencoba menjaga jarak yang nyaman. “Clara, saya rasa saya tahu lebih banyak dari yang Anda pikirkan. Saya menemukan jurnal Richard, dan ada beberapa hal yang perlu Anda jelaskan,” jawab Aria dengan tegas. “Anda tidak perlu takut. Jika Anda tahu sesuatu, ini saatnya untuk berbicara.”
Clara terlihat ragu, namun akhirnya ia menghela napas dan mengangguk. “Saya… saya hanya ingin tahu apa yang terjadi padanya. Richard terlalu baik untuk berakhir seperti ini. Tapi saya takut, Penyidik. Anda harus tahu bahwa ada sesuatu yang sangat gelap di dalam teater ini. Sesuatu yang kita semua coba sembunyikan.”
“Sesomething?” Aria menajamkan pendengarannya, merasa ada lebih banyak yang disembunyikan. “Apa maksud Anda?”
Clara menatapnya dengan mata yang penuh kecemasan, seperti sedang berjuang dengan dirinya sendiri. “Teater ini bukan hanya tempat kami berakting. Ini adalah tempat di mana orang-orang dengan kekuatan besar bertemu—orang-orang yang memiliki kepentingan jauh lebih besar dari sekadar seni. Saya tidak tahu siapa mereka, tapi Richard tahu. Itu sebabnya dia mencoba menjauh, mencoba keluar, tapi mereka tidak membiarkannya pergi begitu saja.”
Aria merasa ada ketegangan yang meningkat di udara. “Siapa yang Anda maksud dengan mereka? Apa yang Richard coba ungkapkan lewat jurnalnya?” tanya Aria dengan lebih mendalam.
Clara menggigit bibirnya, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Richard terlibat dalam sebuah proyek yang sangat berbahaya. Dia tidak hanya seorang aktor. Dia terlibat dalam operasi yang menyentuh hal-hal yang sangat sensitif. Dia… dia tahu lebih banyak daripada yang bisa kami bayangkan. Ada orang-orang di belakang layar ini yang memiliki kekuasaan yang sangat besar, dan mereka akan melakukan apa saja untuk menjaga rahasia mereka tetap terkubur.”
Aria terdiam, mencerna kata-kata Clara. Ini bukan hanya tentang kematian Richard. Ini adalah tentang konspirasi besar yang menyelubungi dunia teater dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Aria tahu, untuk menyelesaikan kasus ini, ia harus menggali lebih dalam, meskipun itu berarti mengungkap kebenaran yang lebih gelap dan lebih berbahaya daripada yang pernah ia duga.
Sebelum Aria sempat melanjutkan pertanyaannya, Dwi tiba-tiba menghubunginya. “Penyidik, ada sesuatu yang baru. Kami menemukan sesuatu yang berkaitan dengan identitas Richard yang mungkin bisa membantu Anda,” kata Dwi dengan suara cemas. “Anda harus segera ke kantor forensik.”
Aria segera meninggalkan ruang latih dan bergegas menuju kantor forensik. Setibanya di sana, Dwi sudah menunggunya dengan ekspresi yang serius. Di atas meja, terdapat sebuah map tebal yang belum pernah dilihat oleh Aria sebelumnya.
“Kami memeriksa kembali rekam jejak Richard, dan ternyata dia pernah terlibat dalam sebuah organisasi rahasia. Sebuah organisasi yang memiliki koneksi internasional dan terlibat dalam berbagai aktivitas ilegal,” kata Dwi sambil membuka map tersebut. Di dalamnya, ada dokumen-dokumen yang berisi tentang Richard—dari catatan keuangan yang mencurigakan hingga laporan kegiatan yang tidak bisa dijelaskan.
Aria merasa darahnya mendidih. Richard, yang selama ini ia kenal sebagai seorang aktor, ternyata terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih gelap. Semua petunjuk itu mengarah pada satu hal: Richard dibunuh karena ia mengetahui terlalu banyak tentang organisasi ini, dan mungkin juga tentang apa yang sedang terjadi di balik layar dunia teater.
Dwi melanjutkan, “Kami juga menemukan catatan dari salah satu anggota organisasi ini yang menunjukkan bahwa Richard dipantau. Ada pesan terakhir yang diterima Richard sebelum kematiannya, yang sepertinya menunjukkan bahwa ia telah mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.”
Aria mengangguk, mencerna informasi itu dengan hati-hati. “Siapa yang mengirimkan pesan itu?” tanyanya dengan suara rendah.
“Kami sedang menyelidikinya,” jawab Dwi. “Namun, kami membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengungkap siapa yang ada di balik semuanya.”
Aria merasa semakin terperangkap dalam permainan ini, namun ia tahu satu hal pasti: ia tidak bisa mundur. Kebenaran harus terungkap, tidak peduli betapa berbahayanya itu.
Dengan tekad yang semakin kuat, Aria kembali ke teater. Kali ini, dia tahu, dia sedang berada di ujung sebuah misteri yang akan mengguncang lebih dari sekadar panggung teater. Di balik setiap tawa dan air mata yang terukir di atas panggung, ada bayang-bayang yang lebih gelap, dan Aria bersumpah untuk mengungkap semuanya.
Bab 7: Jejak yang Tertinggal
Aria menatap langit malam yang gelap, seolah merasakan beratnya misteri yang semakin menggantung di atas kepalanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, dan setiap detik yang berlalu semakin membuatnya merasa terperangkap dalam jaringan rahasia yang semakin kompleks. Meskipun ia sudah menemukan banyak petunjuk, Aria masih merasa bahwa jawabannya ada di ujung yang tak terjangkau. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan.
Kali ini, Aria menuju tempat yang jauh dari keramaian. Sebuah gudang tua yang terletak di luar kota, yang ia temukan setelah menelusuri salah satu dokumen yang ditemukan di ruang forensik. Dokumen tersebut menyebutkan alamat gudang ini, yang ternyata berkaitan erat dengan aktivitas Richard sebelum kematiannya. Aria merasa bahwa ini adalah petunjuk yang tak bisa ia abaikan.
Gudang itu terlihat sunyi dan terlupakan. Pintu besarnya berkarat, dan di sekelilingnya, hanya ada rumput liar yang tumbuh dengan liar. Aria merasakan ketegangan yang semakin menguat, meskipun hanya ada angin yang berbisik dan suara langkah kakinya yang memecah kesunyian malam. Ia tahu, malam ini, ia akan menemukan sesuatu yang mengubah semuanya.
Setelah beberapa detik menatap pintu gudang yang terkunci rapat, Aria mencari cara untuk masuk. Tak lama, ia menemukan celah kecil di sisi kiri bangunan, cukup besar untuk seseorang bisa merangkak masuk. Tanpa ragu, ia menyelinap melalui celah itu dan mendapati dirinya di dalam gudang yang gelap gulita. Hanya ada satu cahaya samar yang berasal dari celah-celah dinding yang rusak, dan angin yang berhembus membawa bau lembap khas tempat yang terlupakan.
Dengan hati-hati, Aria melangkah lebih dalam. Gudang itu tampak kosong, namun ada perasaan bahwa sesuatu yang penting telah terjadi di sini. Di sudut ruangan, Aria melihat sebuah meja tua yang dipenuhi debu. Di atasnya terdapat beberapa dokumen yang sudah mulai menguning, dan sebuah kotak kayu kecil yang tampak biasa saja. Namun, Aria tahu, segala sesuatu di sini mungkin memiliki arti yang lebih besar.
Ia mendekati meja itu, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Begitu membuka kotak kayu tersebut, matanya langsung tertuju pada sebuah kunci tua yang tergeletak di dalamnya. Tidak ada catatan, tidak ada petunjuk lain. Namun, kunci itu terasa penting. Aria memeriksa sekeliling ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberi penjelasan lebih lanjut.
Tiba-tiba, Aria mendengar suara langkah kaki dari luar gudang. Dengan sigap, ia menyembunyikan kotak kayu itu di balik jaketnya dan bersembunyi di sudut gelap, mematikan lampunya. Matanya menatap pintu yang kini perlahan terbuka. Seseorang masuk, dan Aria bisa mendengar perbincangan pelan antara dua orang.
“Sudahkah kita memastikan bahwa tidak ada yang tahu tentang ini?” suara yang tegas terdengar di tengah malam yang sunyi.
“Ya, semuanya sudah kami amankan. Tidak ada yang bisa menghubungkannya dengan kita,” jawab suara lain, lebih rendah namun jelas terdengar cemas.
Aria menahan napas. Percakapan itu jelas bukan percakapan biasa. Mereka berbicara tentang sesuatu yang sangat penting—sesuatu yang berkaitan dengan kematian Richard. Siapa mereka? Apa yang mereka coba sembunyikan?
Dengan hati-hati, Aria memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, namun ia harus memastikan bahwa orang-orang itu tidak melihatnya. Ia bergerak dengan cepat menuju celah yang ia gunakan untuk masuk dan berhasil keluar dengan selamat tanpa terdengar. Kunci yang ia temukan di dalam gudang terasa semakin penting, dan ia tahu bahwa ini mungkin akan mengarah pada jawaban yang selama ini ia cari.
Kembali di kantor, Aria membuka kunci yang ia temukan dengan penuh kehati-hatian. Di dalamnya, terdapat sebuah dokumen yang terlipat rapi. Saat ia membukanya, ia mendapati sebuah foto Richard yang sedang duduk bersama beberapa orang yang tampaknya adalah tokoh penting. Di belakang foto itu, ada catatan kecil yang tertulis dengan tangan tangan Richard: “Ada yang salah. Mereka tidak akan membiarkanku pergi. Pintu ini adalah jalan terakhir.”
Aria menggigit bibirnya, mencerna kata-kata itu. Pintu ini adalah jalan terakhir. Apa yang dimaksud Richard? Pintu apa yang ia maksudkan? Apakah ini adalah petunjuk untuk mengungkap jaringan yang lebih besar di balik kematiannya?
Di sisi lain, Dwi yang kini kembali bergabung dengan penyelidikan juga menemui Aria. “Penyidik, kami mendapat informasi baru. Salah satu orang yang ada dalam foto itu—yang duduk di sebelah Richard—adalah seorang tokoh penting dalam dunia politik. Kami berhasil menemukan jejak keuangan yang mencurigakan, dan ternyata dia terhubung dengan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang energi dan keamanan.”
Aria mendengarkan dengan seksama. “Jadi ini bukan hanya tentang Richard. Ini melibatkan politik dan ekonomi juga,” katanya, semakin yakin bahwa misteri ini jauh lebih besar dari yang ia duga.
“Betul,” jawab Dwi. “Kami juga menemukan alamat sebuah gedung tua yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Kami bisa menyelidikinya lebih lanjut.”
Aria merasakan adrenalin yang mulai mengalir kembali dalam tubuhnya. Meskipun ancaman terus datang dari segala penjuru, ia tahu bahwa kali ini ia semakin dekat dengan jawaban yang selama ini ia cari. Pintu terakhir yang disebutkan Richard mungkin benar-benar ada, dan Aria bertekad untuk menemukannya.
Bab 8: Pintu yang Tertutup Rapat
Keheningan malam menyelimuti kota, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara pepohonan di sepanjang jalan. Aria duduk di depan meja kerjanya, matanya terfokus pada layar komputer yang memuat informasi terbaru tentang investigasi Richard. Setiap detail, setiap petunjuk yang ia temukan, semakin mengarah pada kesimpulan yang satu: Richard tidak hanya dibunuh karena ia tahu terlalu banyak, tetapi juga karena ia terjerat dalam sebuah konspirasi yang lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.
Di sisi lain, Dwi baru saja kembali dari penyelidikan terakhir mereka. Ia membawa segepok dokumen dan rekaman yang baru saja berhasil diungkap dari gedung tua yang terkait dengan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki keterkaitan dengan politik. Sesuatu yang besar sedang terjadi, dan mereka harus berhati-hati.
“Penyidik,” kata Dwi dengan suara yang penuh ketegangan, “kami baru saja menemukan informasi yang mengarah pada sebuah pertemuan penting. Para orang-orang yang terlibat dalam kematian Richard tampaknya memiliki agenda besar yang berhubungan dengan proyek yang melibatkan beberapa negara.”
Aria mengerutkan kening. “Proyek internasional? Apa maksudmu?”
Dwi meletakkan sebuah berkas di meja Aria. “Ini adalah dokumen yang kami temukan di gedung itu. Ternyata mereka sedang mempersiapkan suatu proyek besar yang melibatkan teknologi canggih, mungkin terkait dengan energi atau senjata. Dan Richard… Richard tampaknya mengetahui lebih banyak dari yang kita duga. Ia mungkin mengetahui titik lemah dari rencana ini.”
Aria memandangi dokumen tersebut dengan cermat. Ada beberapa nama yang ia kenal, dan di antara mereka, ada satu nama yang mencuri perhatiannya: Adrian Suharto, seorang pengusaha besar yang dikenal memiliki pengaruh kuat di dunia politik dan bisnis. Ia juga terhubung dengan berbagai organisasi yang memiliki jejak tangan dalam banyak operasi misterius di luar negeri.
“Apa hubungan Richard dengan Adrian Suharto?” tanya Aria, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Dwi menghela napas. “Kami masih belum bisa memastikannya, tetapi ada kemungkinan besar bahwa Richard terlibat dalam proyek ini sebelum ia dibunuh. Dan jika ini benar, berarti ada banyak orang yang akan melakukan apa saja untuk menjaga agar proyek ini tetap berjalan tanpa hambatan.”
Aria menggenggam dokumen itu dengan kuat, menyadari bahwa semakin dalam ia menggali, semakin banyak bahaya yang ia hadapi. Namun, ia tidak bisa mundur. Dia sudah terperangkap dalam misteri ini, dan kini, tak ada jalan lain selain terus mencari kebenaran.
“Adrian Suharto,” gumamnya, menyebut nama itu dengan penuh perasaan. “Ini semakin jelas. Richard mungkin sudah mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui, dan itu yang membuatnya menjadi target. Tapi kita masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik proyek ini.”
Sambil berpikir, Aria menghubungi Clara untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Clara tampak cemas ketika menerima panggilan Aria. “Penyidik, saya tahu Anda sedang mencari lebih banyak informasi tentang Adrian Suharto, tapi Anda harus berhati-hati. Dia bukan orang biasa. Dia memiliki banyak koneksi di dalam dan luar negeri. Jika Anda terlalu mendekat, Anda bisa terjebak dalam permainan yang lebih besar dari yang Anda bayangkan.”
Aria menatap ponselnya, merasakan ketegangan yang semakin menekan. Clara benar. Adrian bukanlah orang yang mudah dijangkau, dan jika dia terlibat dalam kematian Richard, maka Aria harus siap menghadapi risiko yang jauh lebih besar. Namun, ini adalah satu-satunya jalan untuk mengungkapkan kebenaran.
“Terima kasih atas peringatannya, Clara. Tapi saya sudah terlanjur terlibat. Saya akan melanjutkan penyelidikan ini,” jawab Aria dengan tegas.
Malam itu, Aria merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya, dorongan untuk terus maju meskipun ancaman semakin nyata. Ia tahu, untuk mengungkapkan kebenaran, ia harus lebih berhati-hati, lebih cerdik, dan lebih cepat daripada orang-orang yang menginginkan agar semuanya tetap terkubur dalam gelap.
Esok harinya, Aria kembali ke gedung tua tempat mereka menemukan petunjuk-petunjuk baru. Ia tahu, pertemuan yang disebutkan Dwi pasti ada di sana, dan ia harus menemukannya. Ketika ia tiba di depan gedung, ia merasakan atmosfer yang berbeda—lebih berat, lebih menakutkan. Seolah-olah gedung itu menyimpan rahasia yang jauh lebih besar.
Aria masuk melalui pintu belakang, yang sudah ia identifikasi sebelumnya sebagai jalur tersembunyi untuk menghindari pengawasan. Ia bergerak hati-hati di lorong-lorong sempit gedung itu, menghindari setiap suara dan bayangan yang muncul. Setelah beberapa menit, ia sampai di ruang bawah tanah gedung tersebut. Di sana, ia menemukan sebuah pintu besi yang tertutup rapat, dengan kode akses yang tertera di sampingnya.
“Ini dia,” bisik Aria, mengeluarkan kunci yang ia temukan di gudang beberapa hari yang lalu. Ia memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, dan pintu itu terbuka dengan suara berderak yang mengerikan. Apa yang ada di balik pintu ini? Apakah ini benar-benar jalan terakhir yang Richard maksudkan?
Begitu pintu itu terbuka sepenuhnya, Aria disambut oleh ruangan yang penuh dengan komputer-komputer besar, perangkat komunikasi canggih, dan layar-layar yang menampilkan peta dunia. Semua ini menunjukkan bahwa proyek yang sedang direncanakan bukan hanya berhubungan dengan satu negara, tetapi dengan banyak negara sekaligus.
“Ini lebih besar dari yang saya kira,” gumam Aria, menyadari bahwa ia baru saja menginjakkan kaki di dalam pusat dari sebuah konspirasi global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar.
Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aria menyembunyikan dirinya di balik sebuah rak, tubuhnya kaku menahan napas. Beberapa orang muncul, mereka berbicara dengan suara rendah, namun Aria dapat menangkap beberapa kata yang cukup jelas.
“…kita harus pastikan bahwa semua bukti ini hilang. Tidak ada yang boleh tahu apa yang sedang kita kerjakan.”
Mata Aria terbelalak. Apakah ini yang terjadi pada Richard? Apakah dia telah mencoba mengungkapkan apa yang sedang mereka rencanakan, dan itulah yang menyebabkan kematiannya?
Dengan hati-hati, Aria kembali mundur, menyusun rencana untuk keluar dari gedung itu tanpa terdeteksi. Waktu semakin sempit, dan ia tahu, setiap langkah yang ia ambil semakin mendekatkannya pada kebenaran yang sangat berbahaya.
Bab 9: Bayangan yang Menyusup
Langit pagi itu tampak kelabu, seolah mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Aria masih terjaga, matanya terbuka lebar meskipun baru beberapa jam yang lalu ia tertidur. Perasaan tak tenang terus menghantui pikirannya. Apa yang ia temukan di dalam gedung itu lebih gelap dari yang ia bayangkan. Meskipun ia berhasil menghindari deteksi, ia tahu bahwa semakin dalam ia menggali, semakin besar risikonya.
Sebuah suara keras terdengar di luar apartemennya, memecah kesunyian yang hampir membuatnya terlelap. Ia terbangun, menatap ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan singkat masuk dari Dwi.
“Ada perkembangan baru. Pertemuan besar akan berlangsung malam ini. Kami butuh kamu.”
Aria mengerutkan kening, merasakan adrenalin yang kembali mengalir dalam tubuhnya. Semakin ia menggali, semakin banyak lapisan misteri yang terbuka. Tapi siapa yang bisa dipercaya sekarang? Semua orang tampaknya terlibat dalam permainan besar yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan.
Tanpa menunggu lebih lama, Aria segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengenakan jaket hitam dan menyiapkan perlengkapan yang diperlukan—kamera tersembunyi, ponsel cadangan, dan alat pendengar kecil yang ia sembunyikan di saku. Ia tahu, malam ini bukan hanya tentang menemukan bukti, tetapi tentang mengungkap sebuah konspirasi yang lebih besar dari sekadar pembunuhan Richard.
Di luar, angin malam yang dingin menyambutnya. Aria melangkah cepat, menghindari keramaian, menyusuri jalan-jalan sempit yang jarang dilalui. Malam ini, ia tahu ia akan menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.
Setibanya di tempat yang telah disepakati, Aria menemukan Dwi yang sudah menunggunya di sudut gelap dekat sebuah gedung tua. Wajah Dwi terlihat serius, dan Aria bisa merasakan kecemasan yang ada di balik matanya.
“Penyidik, ini bukan sekadar pertemuan biasa,” kata Dwi, menyampaikan pesan yang seakan memadatkan udara di sekitar mereka. “Malam ini, mereka akan mengungkapkan sesuatu yang besar, dan kita harus tahu apa itu.”
Aria mengangguk, matanya tertuju pada gedung yang ada di depan mereka. Gedung itu terlihat biasa saja, namun Aria tahu, ada lebih dari sekadar tampilan luar yang sederhana. Di dalamnya, sesuatu yang sangat penting sedang dipersiapkan. Sesuatu yang bisa mengubah arah penyelidikan ini selamanya.
Dwi menambahkan, “Kami sudah menyiapkan jalur masuk. Namun, kami perlu bergerak cepat. Jika mereka tahu kita ada di sini, kita bisa terjebak tanpa jalan keluar.”
Aria menghela napas. Semakin banyak orang yang terlibat dalam permainan ini, semakin sedikit yang bisa ia percayai. Tapi ia tahu, ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Mereka bergerak perlahan menuju pintu belakang gedung, yang sudah disiapkan untuk mereka. Pintu itu terbuat dari besi tua yang tampaknya sudah lama tidak dibuka. Namun, dengan sedikit usaha, mereka berhasil membuka pintu tersebut dan memasuki ruang bawah tanah yang tampak luas dan gelap.
Di dalam, suasana berbeda. Terdengar suara bisikan dari jauh, dan cahaya remang-remang dari lampu-lampu kecil memberikan kesan misterius pada ruangan yang penuh dengan meja-meja panjang, kabel-kabel yang berkelindan, dan layar-layar besar yang menampilkan peta-peta dan grafik yang tak jelas.
Aria dan Dwi bergerak lebih dalam, menatap setiap sudut dengan cermat. Mereka harus menemukan bukti yang bisa menghubungkan Richard dengan pertemuan ini. Tanpa sepengetahuan mereka, sebuah bayangan gelap menguntit mereka dari belakang, bergerak tanpa suara.
Tiba-tiba, sebuah suara parau terdengar dari kejauhan. “Kalian pikir kalian bisa lari dari ini?” kata suara itu, tegas dan penuh ancaman. Aria menoleh cepat, tetapi hanya menemukan kegelapan yang menyelimuti ruang tersebut.
“Sembunyi!” bisik Dwi, menarik Aria ke sisi lain ruangan. Mereka berlindung di balik tumpukan kotak-kotak besar yang tergeletak di sudut ruangan. Jantung Aria berdetak lebih kencang, dan ia bisa merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Ada sesuatu yang tidak beres. Mereka sudah terdeteksi.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, mereka melihat sekelompok orang berpakaian hitam memasuki ruangan. Beberapa di antaranya mengenakan pelindung wajah dan membawa peralatan canggih. Mereka jelas bukan orang sembarangan.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” bisik Dwi lagi. “Mereka sedang melakukan sesuatu yang sangat besar di sini, dan Richard tahu lebih banyak dari yang kita kira.”
Aria mengangguk, matanya menatap layar besar yang ada di depan mereka. Di layar itu, tampak gambar-gambar Richard yang sedang duduk di meja yang sama, berbicara dengan beberapa pria yang Aria kenali dari foto-foto yang ia temukan sebelumnya. Mereka bukan hanya orang biasa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan besar, dan Richard—terjebak di tengah-tengah mereka—mungkin tahu lebih dari yang seharusnya.
“Ini dia,” Aria berkata dengan suara rendah. “Inilah yang Richard coba ungkapkan. Dia tahu tentang proyek ini—tentang mereka. Ini lebih dari sekadar pembunuhan. Ini adalah bagian dari konspirasi global.”
Namun, saat Aria dan Dwi bersiap untuk melanjutkan penyelidikan, mereka mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Wajah mereka terpantul di layar dengan bayangan samar. Mereka harus keluar—secepatnya.
Dengan hati-hati, mereka kembali bergerak menuju pintu belakang, namun kali ini langkah mereka lebih cepat. Setiap detik terasa berharga, karena Aria tahu, jika mereka terlambat, mereka mungkin tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini dengan hidup-hidup.
Bab 10: Jejak yang Hilang
Malam itu terasa semakin kelam. Langit yang diselimuti awan mendung seolah mencerminkan ketegangan yang semakin meruncing. Aria berjalan cepat menyusuri gang sempit di pusat kota, perasaan waspada menguasai setiap langkahnya. Seolah-olah setiap bayangan yang bergerak di sudut matanya mengancam. Pikirannya terus berputar, membayangkan apa yang ia temui malam sebelumnya—sebuah konspirasi yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan, lebih berbahaya daripada sekadar pembunuhan Richard.
“Jangan sampai kita kehilangan jejak,” bisik Dwi yang berjalan di belakang Aria. Suaranya penuh dengan kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.
Aria mengangguk, menatap sekeliling. Ia tahu, jika mereka lengah sedikit saja, orang-orang yang ingin menutup rapat semua rahasia ini akan segera mengetahui kehadiran mereka. Mereka harus bergerak cepat. Jika tidak, mereka akan menjadi bagian dari misteri yang tak terpecahkan.
“Ini bukan hanya soal Richard lagi,” ujar Aria, suara matanya tajam dan penuh keyakinan. “Ini jauh lebih besar dari itu.”
Mereka berhenti di depan sebuah gedung lama yang tampak terlantar. Aria menatap Dwi, mengisyaratkan agar ia membuka pintu yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Pintu itu berderak keras saat dibuka, menandakan bahwa mereka sedang menginjakkan kaki di tempat yang penuh dengan rahasia gelap.
“Dari sini, kita bisa mencari tahu lebih banyak tentang siapa yang terlibat,” kata Aria. “Pintu-pintu ini, Dwi… mereka seperti menjaga sesuatu yang tak boleh ditemukan.”
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, menembus gelap yang menyelimuti gedung itu. Lantai berdebu dan udara pengap membuat Aria merasa seolah ia sedang berjalan dalam mimpi buruk yang terus memburunya. Setiap suara langkah mereka terdengar begitu keras di ruang yang kosong ini.
Tiba-tiba, suara ponsel Dwi berbunyi, memecah keheningan. Dwi dengan cepat mengambil ponselnya dan membaca pesan yang masuk. Wajahnya langsung berubah pucat. “Aria,” suara Dwi gemetar, “ini dari Clara. Dia mengatakan kalau ada seseorang yang mengawasi kita. Mereka sudah tahu kita ada di sini.”
Aria menelan ludah, menatap Dwi dengan serius. “Tidak ada waktu. Kita harus menemukan bukti yang bisa menghubungkan mereka. Jika Clara benar, kita harus keluar sebelum terlambat.”
Mereka melangkah cepat menuju ruang bawah tanah gedung itu. Setiap sudut ruangan terasa semakin menekan, semakin gelap. Namun, mereka tahu, semakin dekat mereka dengan tujuan, semakin besar bahaya yang mengintai. Di ruangan itu, Aria melihat beberapa tumpukan arsip lama yang tampaknya belum pernah disentuh. Dengan cepat, ia membuka beberapa berkas yang tersembunyi di balik lemari besi. Di antara tumpukan dokumen itu, ada sebuah folder yang menarik perhatian.
“Ini dia,” ujar Aria, membuka folder tersebut. Di dalamnya terdapat dokumen yang memuat rincian proyek besar yang melibatkan beberapa nama terkenal. Nama-nama yang selama ini ada dalam daftar orang-orang yang patut dicurigai.
Dwi mendekat, membaca dengan seksama. “Jadi Richard benar-benar terlibat dalam semua ini. Dia tahu apa yang sedang direncanakan.”
Aria mengangguk, matanya terfokus pada sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara berbagai pihak yang terlibat dalam proyek itu. Ada nama Adrian Suharto di sana, bersama dengan nama-nama besar lainnya—orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam politik dan bisnis global. Di bawah nama-nama ini, terdapat rencana untuk memanipulasi pasar internasional dan menguasai sumber daya alam tertentu. Semua ini menunjukkan bahwa Richard benar-benar tahu lebih dari yang ia perkirakan—dan itu yang membuatnya menjadi target.
Namun, saat mereka sedang membaca dokumen itu, tiba-tiba mereka mendengar langkah kaki yang mendekat. Tanpa memberi peringatan lebih lanjut, mereka segera menutup folder dan bersembunyi di balik rak buku besar yang terletak di sudut ruangan. Aria bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, sementara Dwi berusaha menahan napas agar tidak terdengar.
Beberapa pria berseragam hitam memasuki ruangan itu, wajah mereka tersembunyi di balik masker. Mereka memeriksa setiap sudut ruangan dengan penuh perhatian, mencari sesuatu yang tidak mereka ketahui. Aria menahan napas, tubuhnya semakin kaku di balik rak buku. Dwi pun terlihat gelisah, mencoba untuk tetap diam.
“Kita harus cepat,” bisik Aria setelah beberapa menit. “Jika kita tertangkap, semua yang telah kita temukan ini akan sia-sia.”
Dengan hati-hati, mereka bergerak mundur, menuju pintu yang sudah mereka lewati sebelumnya. Namun, langkah mereka terhenti ketika salah seorang pria berseragam hitam tiba-tiba menoleh ke arah mereka, seolah merasakan sesuatu yang tidak beres. Aria dan Dwi saling berpandangan, ketegangan memuncak di udara.
“Lari!” Aria berteriak dalam hati, namun ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka harus keluar dari tempat itu, dan mereka harus keluar hidup-hidup.
Pintu yang mereka tuju sudah hampir terbuka, namun saat mereka melangkah keluar, seorang pria dengan wajah dingin muncul di hadapan mereka. Pria itu mengenakan jas hitam rapi, wajahnya sangat familiar bagi Aria.
“Dari mana kalian tahu tentang ini?” suara pria itu tegas dan penuh ancaman. “Kalian sudah terlalu jauh.”
Aria menatap pria itu, mengenalinya sebagai salah satu orang yang ada dalam daftar pengusaha besar yang terlibat dalam konspirasi global ini. Adrian Suharto. Tidak ada waktu untuk berbicara panjang lebar. Aria tahu, ini adalah saat yang paling menentukan.
“Jika kau ingin bertahan hidup, sekaranglah waktunya untuk memilih pihak,” ujar Adrian, suara halus namun mengandung ancaman. “Tapi ingat, sekali kau memilih, tidak ada jalan kembali.”
Aria menarik napas dalam-dalam, matanya menatap tajam ke arah Adrian. Semua yang ia lakukan, semua yang ia hadapi, membawa ia pada titik ini. Sekarang, ia harus memilih: terus melawan dan membuka semua rahasia ini, atau mundur dan meninggalkan semuanya.
“Pilihannya sudah jelas,” kata Aria, suara tegas dan penuh keyakinan. “Saya akan melawan.”
Dan dengan itu, pertempuran untuk mengungkapkan kebenaran baru saja dimulai.***
———————-THE END——————-