• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre

SAAT HUJAN MEMBAWAMU

January 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story

SAAT HUJAN MEMBAWAMU

by SAME KADE
January 28, 2025
in Drama Kehidupan
Reading Time: 31 mins read

BAB 1: Menyusuri Hujan

Maya memandang kaca jendela kereta api yang buram oleh tetesan air hujan. Hujan, yang seakan datang tanpa permisi, menjatuhkan butir-butirnya dengan deras di sepanjang perjalanan. Suasana sepi di dalam gerbong hanya dipecahkan oleh suara gerakan roda yang berdecit pelan, menyatu dengan suara hujan yang jatuh menghantam kaca. Maya memegang erat tas punggungnya, matanya kosong, terfokus pada rintikan air yang membasahi dunia luar. Tidak ada yang lebih menenangkan baginya selain mendengarkan hujan—meskipun, dalam beberapa tahun terakhir, hujan seringkali membawa perasaan yang lebih kompleks daripada ketenangan.

Maya telah lama meninggalkan kota kelahirannya. Keputusan untuk pergi ke kota besar dan mengejar impian terasa benar saat itu, bahkan jika itu berarti meninggalkan ibu dan rumah yang penuh kenangan. Tetapi, saat kabar tentang ibu yang sakit datang, keputusan untuk kembali terasa lebih berat daripada yang ia bayangkan. Ini bukan hanya tentang pulang—ini adalah tentang menghadapi kenangan lama yang ia coba kubur dalam-dalam.

Kereta bergerak melewati hamparan sawah yang membentang luas, menggambarkan desa yang telah lama ia tinggalkan. Di kejauhan, langit gelap dan awan mendung menandakan hujan yang semakin lebat. Maya menyandarkan punggungnya pada kursi, menutup mata sejenak, mencoba untuk meredakan pikiran yang kacau. Dalam pikirannya, ia bisa mendengar suara hujan yang menetes di atap rumah lama, suara yang dulu sering mengiringi malam-malamnya bersama ayah.

Hujan selalu mengingatkan Maya pada ayahnya—pria yang penuh semangat dan cerita-cerita tentang dunia yang lebih luas. Ayahnya adalah orang yang selalu mengatakan bahwa hujan adalah tanda berkah, sebuah rahmat dari alam yang harus disyukuri. Setiap kali hujan turun, ayah akan mengajak Maya dan ibunya keluar, berdiri di bawah pohon besar di halaman rumah dan merasakan tetesan air yang jatuh di kulit mereka. Itu adalah momen yang sederhana, tetapi penuh makna. Ayah mengajarkan Maya untuk menemukan keindahan dalam setiap hujan yang turun. Namun, sejak kepergiannya bertahun-tahun yang lalu, hujan terasa berbeda. Hujan tidak lagi menjadi sesuatu yang indah, tetapi sebuah pengingat akan kehilangan yang dalam.

Perjalanan kereta itu terasa lebih lama daripada yang seharusnya. Maya menatap ke luar jendela, menyaksikan gerakan cepat pepohonan dan rumah-rumah yang melintas, seolah-olah semuanya menunggu untuk ia kembali. Setiap detik yang berlalu seperti mengingatkannya pada kenangan masa kecil yang dulu ia coba lupakan. Rumah kecil di ujung jalan, pohon besar di halaman, dan tentu saja, suara tawa ayah yang mengisi udara. Tetapi semuanya sudah berubah. Kota kelahiran Maya kini hanya meninggalkan kenangan-kenangan yang semakin kabur, dan kepergian ayah adalah kenangan yang paling sulit untuk dilupakan.

Maya mengalihkan pandangannya ke samping. Di sebelahnya, seorang wanita tua sedang duduk dengan tenang, membaca buku dengan sorot mata yang tajam. Maya tersenyum kecil, berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi pikirannya terus melayang pada masa lalu. Terkadang, ia merasa seperti tidak pernah benar-benar meninggalkan rumah itu. Setiap langkahnya di kota besar terasa seperti pelarian, dan setiap keberhasilannya seperti upaya untuk membuktikan sesuatu—bahwa ia bisa lebih dari sekadar anak perempuan dari seorang petani sederhana.

Kereta melaju lebih cepat, menembus kabut yang tebal. Begitu banyak hal yang ia lakukan di kota besar—membangun karier, bertemu orang-orang baru, menghadapi tantangan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, meskipun begitu banyak yang ia capai, Maya tetap merasa kosong. Tidak ada yang bisa menggantikan rasa kedamaian yang ia rasakan di rumah, meskipun kini rumah itu terasa seperti tempat asing baginya.

Setelah beberapa jam, kereta akhirnya memasuki stasiun kota kecil yang familiar, yang kini tampak lebih kecil daripada yang ia ingat. Maya menggigit bibirnya, mengingatkan dirinya untuk tetap kuat. Ia tidak bisa membiarkan diri tenggelam dalam nostalgia. Ada hal yang lebih penting untuk dihadapi—ibunya. Meski jarak antara mereka semakin jauh, Maya tahu bahwa ia harus ada untuk ibunya. Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum keluar dari kereta.

Setibanya di stasiun, hujan masih turun dengan deras. Begitu keluar dari gerbong kereta, udara dingin menyambutnya. Maya merasakan air hujan yang jatuh membasahi rambutnya, meresap ke jaketnya yang tipis. Ia tidak membawa payung, karena hujan datang begitu tiba-tiba, tetapi ia merasa seolah-olah hujan ini mengingatkan dirinya bahwa ia tidak bisa melarikan diri. Hujan selalu datang begitu saja, tanpa permisi, sama seperti kenyataan yang harus ia hadapi.

Maya berjalan menuju taksi yang menunggu, dan meskipun tubuhnya basah, ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Rasa sepi dan kesendirian yang seringkali ia rasakan kini berbaur dengan perasaan lain—sebuah perasaan pulang. Hujan membawanya pulang, bukan hanya ke kota kelahirannya, tetapi juga ke perasaan yang selama ini ia hindari. Sesuatu yang belum ia temukan di kota besar, sesuatu yang mungkin ada di kota kecil ini, di tengah hujan yang turun dengan deras.

Saat taksi melaju meninggalkan stasiun, Maya menatap ke luar jendela, menyaksikan hujan yang semakin deras. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai—dan ia harus siap untuk menghadapi apa yang akan datang, meskipun hujan yang turun tetap membawa kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan.*

BAB 2: Kenangan yang Tertinggal

Setelah hampir sepuluh tahun tidak kembali, Maya akhirnya melangkahkan kaki ke jalan yang dulunya penuh dengan kenangan. Hujan yang turun masih mengguyur deras, membasahi tanah yang telah lama tidak ia injak. Begitu banyak hal yang berubah, tetapi beberapa hal tetap tidak berubah. Desa ini tetap sama, meski sedikit lebih sepi dan tertutup oleh waktu. Maya bisa merasakan kenangan masa kecilnya menyeruak kembali dengan setiap langkah yang ia ambil.

Taksi yang mengantarnya melewati jalan yang dikenal baik oleh Maya. Jalan yang dahulu dipenuhi tawa riang bersama teman-temannya, yang kini tampak lengang, sepi, dan mengingatkan Maya pada hari-hari yang telah lama berlalu. Sesekali ia melihat rumah-rumah yang sudah terlihat lebih tua, beberapa bahkan mulai rusak. Rumah yang dulu tampak ceria dengan warna cat yang cerah kini mulai pudar dan terkelupas. Begitu banyak perubahan yang terjadi, namun satu hal yang paling menonjol di benaknya adalah rumah orang tuanya—rumah yang telah lama ia tinggalkan.

Sesampainya di depan rumah, Maya merasa detak jantungnya seolah terhenti sejenak. Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia ingat, dengan halaman yang lebih luas, tetapi suasananya terasa hampa. Tidak ada suara tawa atau teriakan riang anak-anak yang bermain di halaman. Hanya ada kesunyian yang menyelimuti, seakan-akan rumah ini sedang menunggu kedatangannya.

Maya membuka pintu pagar yang kayunya sudah mulai lapuk, suara berderit dari engselnya mengingatkan Maya pada masa kecilnya yang penuh kebahagiaan. Ia melangkah masuk, menyusuri jalan setapak yang dulunya penuh dengan tanaman hias yang ibunya tanam dengan penuh cinta. Kini, tanaman-tanaman itu tampak layu dan terabaikan. Maya menunduk, menatap jejak kakinya yang terbuat dari tanah yang sedikit berlumpur akibat hujan. Hatinya terasa sesak.

Ia berhenti di depan pintu rumah dan mengetuknya pelan. Setelah beberapa detik, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah, diikuti dengan pintu yang terbuka perlahan. Di sana, berdiri ibu, dengan wajah yang sudah tampak lebih tua dari yang ia ingat. Namun, matanya masih sama, penuh kasih dan perhatian. Maya merasa seolah ada yang menahan nafasnya, sebuah perasaan yang campur aduk antara rindu, takut, dan harapan.

“Ibu…” Maya akhirnya bisa menyebutkan kata itu dengan suara serak, matanya mulai berkaca-kaca. Ibu tidak berkata apa-apa. Ia hanya menarik Maya ke dalam pelukannya dengan penuh kasih. Maya merasa ada kehangatan yang menyelimuti dirinya begitu ia berada dalam pelukan ibu. Meski ada jarak waktu yang begitu panjang antara keduanya, pelukan itu terasa begitu akrab, seolah tidak ada waktu yang terlewat.

“Ibu… Maafkan aku sudah lama tidak pulang.” Maya berbisik, masih dalam pelukan ibu.

Ibu melepaskan pelukannya perlahan, menatap Maya dengan mata yang penuh keharuan. “Tidak apa-apa, Maya. Ibu tahu kamu sibuk, hidup di kota besar bukanlah hal yang mudah.” Suara ibu terdengar lembut, namun ada kesan kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Maya bisa merasakan betapa banyak waktu yang telah berlalu dan bagaimana waktu itu telah mengubah mereka berdua.

Setelah beberapa saat, ibu mengundang Maya masuk. Rumah itu tampak sama, meski ada beberapa perbedaan. Di ruang tamu, sofa lama yang selalu ada di sana kini terlihat lebih kusam, dan meja kayu yang dulunya terawat kini tampak sedikit berdebu. Semua kenangan masa kecil kembali muncul dalam ingatan Maya—keluarga yang selalu bersama, makan malam bersama, tawa yang selalu mengisi setiap sudut rumah ini.

Maya duduk di kursi yang dulunya adalah tempat ia dan ayahnya duduk bersama setiap malam. Ayahnya dulu selalu bercerita, menceritakan tentang kehidupan dan dunia di luar sana yang penuh petualangan. Maya selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah dunia mereka adalah satu-satunya dunia yang ada. Namun, semua itu berubah setelah kepergian ayah yang mendalam, yang meninggalkan rumah ini kosong dan penuh kesedihan.

“Ibu, bagaimana keadaanmu? Apakah semuanya baik-baik saja?” Maya bertanya, mencoba memecah keheningan yang mulai terasa canggung. Suaranya terdengar cemas, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya.

Ibu tersenyum, meski senyumnya tampak sedikit dipaksakan. “Ibu baik-baik saja, Maya. Hanya sedikit lelah, seperti biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Tetapi Maya bisa melihat ada kerutan di dahi ibu yang menunjukkan bahwa semuanya tidaklah seperti yang ibu katakan.

Seiring waktu berlalu, Maya menghabiskan hari-harinya di rumah itu, menemani ibu dan membantu dengan apa yang bisa ia lakukan. Namun, meskipun ia ada di sini, hatinya tidak bisa sepenuhnya merasa tenang. Kenangan tentang ayah selalu menghantuinya. Ia seringkali menemukan dirinya berdiri di dekat meja kerja ayah, atau menatap foto-foto keluarga yang tergantung di dinding. Semua itu mengingatkan Maya pada masa-masa indah yang telah lama hilang. Hujan yang terus turun seolah menjadi pengingat yang tak bisa ia hindari—semua kenangan yang tertinggal, semua cinta yang masih membekas, dan juga rasa kehilangan yang masih terasa begitu dalam.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun hujan tak berhenti mengguyur, Maya mulai merasakan bahwa ia harus menemukan cara untuk bergerak maju. Namun, untuk melakukan itu, ia harus menghadapi kenyataan bahwa kenangan yang tertinggal tidak akan pernah bisa sepenuhnya hilang. Mereka akan selalu ada, seperti jejak kaki yang tertinggal di tanah basah. Hanya saja, mungkin, saat ini, jejak-jejak itu bisa menjadi bagian dari perjalanannya yang baru.

Sambil duduk di beranda rumah, Maya menatap hujan yang terus turun. Ia tahu bahwa ia akan selalu membawa kenangan ini bersama dirinya, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus berani untuk melangkah maju. Sebab, meskipun hujan membawa kenangan, ia juga membawa kesempatan untuk memulai kembali—dan itu adalah harapan yang harus ia pegang teguh.*

BAB 3: Bertemu dengan Perubahan

Setelah beberapa hari berada di rumah orang tuanya, Maya merasakan perubahan yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Desa yang dulu terasa penuh dengan kehidupan kini tampak lebih sepi dan terabaikan. Halaman-halaman rumah yang dulu hidup dengan tawa anak-anak kini terlihat hanya sebagai sisa kenangan. Meski hujan yang turun masih memberikan nuansa yang akrab, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan oleh waktu.

Pagi itu, setelah sarapan bersama ibu, Maya memutuskan untuk berjalan-jalan ke sekitar desa. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk melihat lebih jauh, mencari tahu apa yang telah berubah, dan apakah ia masih bisa menemukan jejak-jejak kenangan yang dulu ada. Dengan mantel tebal yang melindunginya dari hujan, Maya keluar dari rumah dan melangkah ke jalan setapak yang dulu sering ia lewati bersama teman-temannya.

Desa ini seolah telah dipeluk oleh waktu yang tidak dapat dihentikan. Rumah-rumah lama yang dulunya berwarna cerah kini tampak pudar. Beberapa rumah bahkan sudah tidak berpenghuni lagi, dibiarkan kosong dan terlantar. Bahkan pohon-pohon yang dulu rimbun kini tampak gundul, seakan tak ada kehidupan yang tersisa. Maya merasa ada kekosongan yang melingkupi tempat ini, seolah seluruh desa telah berhenti bergerak.

Saat melewati jalan utama desa, Maya melihat sebuah bangunan baru yang mencolok di sebelah kanan jalan. Bangunan itu tampak modern dengan dinding kaca besar dan atap yang menjulang tinggi. Papan nama di depan bangunan itu menunjukkan bahwa itu adalah sebuah pusat komunitas baru yang didirikan oleh sebuah perusahaan yang tidak ia kenal. Keberadaan bangunan tersebut seperti duri yang tertancap di hati Maya. Bagaimana bisa, sebuah perusahaan datang dan mengubah wajah desa ini begitu cepat?

Ia mendekat, mencoba membaca lebih jelas tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Di dekat pintu masuk, ada beberapa petugas yang sedang sibuk berbicara dengan warga sekitar. Maya menghampiri mereka dengan rasa ingin tahu. Salah seorang petugas, seorang pria muda yang tampak sibuk dengan laptop di tangannya, menoleh padanya dan tersenyum.

“Selamat pagi, mbak. Ada yang bisa kami bantu?” tanya pria itu dengan ramah.

Maya tersenyum kaku, sedikit terkejut dengan keramahan yang diterimanya, meski suasana sekitar terasa agak canggung. “Saya cuma ingin tahu, apa yang sedang terjadi di sini? Desa ini, semuanya terlihat begitu berbeda dari yang saya ingat.”

Pria itu mengangguk, matanya berbinar. “Oh, kami sedang membangun pusat komunitas ini sebagai bagian dari program pengembangan desa. Perusahaan kami bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sini. Kami menyediakan fasilitas pelatihan keterampilan, ruang pertemuan, dan beberapa kegiatan sosial untuk memperbaiki perekonomian desa.”

Maya terdiam sejenak. Ia tidak tahu apakah ini sebuah kesempatan atau justru ancaman bagi desa yang pernah penuh dengan kebersamaan dan kehidupan sederhana. Perusahaan besar, dengan segala tujuannya, bisa saja membawa perubahan yang tak terduga. Tetapi di sisi lain, mungkin ada potensi positif yang tersembunyi di balik niat baik mereka.

“Apakah warga desa mendukung proyek ini?” tanya Maya, berusaha menggali lebih dalam.

“Banyak yang mendukung,” jawab pria itu. “Mereka melihat banyak manfaat, terutama dalam hal peluang kerja dan pelatihan. Tapi, tentu saja, ada juga yang merasa khawatir tentang perubahan yang datang begitu cepat.”

Maya mengangguk, memikirkan kata-kata pria itu. Memang, perubahan adalah hal yang tak bisa dihindari, namun kadang-kadang perubahan datang dengan harga yang tinggi. Ia merasa cemas, takut kalau-kalau kehadiran perusahaan ini akan menggusur tradisi dan budaya yang selama ini menjadi ciri khas desa ini.

Setelah berbicara sebentar dengan pria itu, Maya melanjutkan langkahnya, menuju pusat desa. Di sepanjang jalan, ia melihat lebih banyak lagi tanda-tanda perubahan—perumahan baru yang dibangun untuk para pendatang, toko-toko yang lebih modern, dan jalan yang kini lebih lebar, semuanya menunjukkan kemajuan yang tak bisa dipungkiri. Namun, semakin banyak Maya melihat, semakin ia merasa terasing.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita tua yang sedang duduk di bawah pohon besar di dekat pasar. Wanita itu mengenakan kain tenun yang sudah usang, tampak sedang menunggu sesuatu. Maya mengenali wanita itu, meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Namanya Bu Siti, seorang penduduk asli desa yang dikenal sangat bijaksana dan memiliki banyak cerita tentang masa lalu desa ini. Maya mendekat dengan penuh rasa hormat.

“Bu Siti, apa kabar?” Maya menyapa dengan lembut.

Wanita itu menoleh, matanya masih tajam meski tubuhnya sudah semakin renta. “Maya, anakku. Lama tak berjumpa. Apa kabar di kota?”

Maya tersenyum, tapi di matanya ada kesedihan. “Saya baik, Bu. Hanya saja, saya melihat desa ini berubah begitu cepat. Saya merasa seakan-akan desa ini bukan lagi desa yang saya kenal.”

Bu Siti tertawa kecil, meskipun ada kegetiran di dalamnya. “Semua hal di dunia ini memang berubah, Maya. Seperti hujan yang datang dan pergi. Tapi ada yang tetap, ada yang tidak bisa diganti. Hanya saja, kita yang harus belajar menerima perubahan itu dengan hati yang lapang.”

Maya menunduk, merenungkan kata-kata Bu Siti. Sebuah perasaan yang sulit digambarkan menghampirinya—rasa kehilangan, rasa rindu pada masa lalu yang sederhana, dan juga rasa cemas terhadap masa depan yang tak pasti.

“Apakah kita masih bisa menyelamatkan desa ini dari semua perubahan yang datang?” tanya Maya dengan suara pelan.

Bu Siti tersenyum bijak. “Yang bisa kita lakukan adalah menjaga hati kita tetap terbuka, menjaga yang baik dari masa lalu, dan menerima yang baru dengan bijaksana. Itu yang saya pelajari selama ini.”

Maya mengangguk, seolah mendapatkan pencerahan. Ia tahu bahwa perubahan tak dapat dihindari, dan mungkin memang inilah jalannya. Namun, apa yang bisa ia lakukan adalah menemukan cara untuk tetap menghubungkan masa lalu dengan masa depan, menjaga kenangan yang berharga, dan menciptakan ruang bagi masa depan yang penuh harapan.

Saat langkah Maya berlanjut meninggalkan Bu Siti, ia menyadari bahwa ia bukan lagi orang yang sama dengan yang dulu meninggalkan desa ini. Banyak hal yang telah berubah, tetapi perubahan itu bukanlah akhir. Justru, mungkin ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang, penuh dengan pelajaran dan peluang yang belum terungkap.*

BAB 4: Perubahan yang Menantang

Maya kembali ke rumah orang tuanya dengan pikiran yang penuh gejolak. Hujan yang terus turun sejak pagi seolah menggambarkan suasana hatinya—berat dan penuh dengan keraguan. Sejak percakapan dengan Bu Siti dan melihat berbagai perubahan yang terjadi di desa ini, Maya mulai merasa bahwa dirinya harus memutuskan sesuatu yang besar. Kehidupan yang dulu terasa begitu sederhana dan nyaman kini berhadapan dengan perubahan yang datang begitu cepat. Namun, apa yang seharusnya dipertahankan? Apa yang perlu dibiarkan pergi?

Pagi itu, setelah sarapan bersama ibu, Maya memutuskan untuk pergi ke pusat komunitas yang baru dibangun. Seiring langkahnya yang mantap menuju bangunan itu, ia merasakan ada kekuatan yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana perubahan ini bisa memengaruhi masa depan desa yang pernah ia tinggalkan. Mungkin, melalui pemahaman lebih dalam, ia bisa mencari jalan tengah antara tradisi dan modernitas.

Setibanya di pusat komunitas, Maya disambut dengan tampilan yang lebih megah daripada yang ia bayangkan. Sebuah bangunan bertingkat dengan desain modern yang memadukan kaca dan baja, menunjukkan bahwa di balik konstruksi ini terdapat visi besar yang sedang dijalankan. Di lobi, beberapa warga tampak sedang mengikuti pelatihan keterampilan yang diselenggarakan oleh perusahaan yang membiayai pembangunan tersebut. Ruangan-ruangan lain tampak sibuk, dengan beberapa petugas yang mengarahkan mereka yang datang untuk mengikuti pelatihan atau acara yang ada.

Maya berjalan masuk, berusaha mencerna atmosfer yang cukup asing bagi dirinya. Begitu banyak wajah baru—wajah-wajah pendatang yang datang mencari peluang. Maya merasa seperti ada jurang pemisah yang semakin dalam, jurang antara mereka yang membawa visi baru dan mereka yang bertahan dengan cara hidup lama. Sebuah pertanyaan besar menggantung dalam pikirannya: apakah perubahan ini benar-benar membawa kebaikan untuk desa ini, atau justru mengikis esensi dari apa yang telah ada?

Tidak lama setelah memasuki ruang utama, seorang pria muda mendekatinya. Pria itu mengenakan pakaian yang rapi dan tampak seperti salah satu petugas yang bekerja di pusat tersebut. Dengan senyuman yang ramah, dia mengulurkan tangan kepada Maya.

“Selamat pagi, saya Ardi. Apa yang bisa saya bantu?” katanya dengan suara yang tenang, namun penuh antusiasme.

Maya menjawab dengan ragu, meskipun dalam hatinya ada keinginan besar untuk mengetahui lebih banyak. “Saya Maya. Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di sini. Ini semua terasa begitu cepat. Saya tak tahu apakah perubahan ini membawa kebaikan atau justru mengubah segalanya.”

Ardi mengangguk, menunjukkan bahwa dia memahami keraguan Maya. “Saya paham apa yang Anda rasakan. Memang, kadang perubahan bisa datang begitu cepat hingga kita merasa tidak siap. Namun, kami di sini berusaha memberikan pelatihan yang bisa membantu masyarakat untuk lebih siap menghadapi tantangan zaman. Kami ingin melihat desa ini berkembang dengan tetap menjaga nilai-nilai yang ada.”

Maya menatap pria itu, mencoba mencerna apa yang ia katakan. Namun, di dalam hatinya, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. “Tapi apakah perubahan ini akan membuat desa kehilangan jati dirinya? Bukankah desa ini dulu dikenal karena kearifan lokal dan kehidupan yang sederhana?”

Ardi tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Memang, ada kekhawatiran seperti itu. Namun kami tidak bermaksud menghapuskan tradisi atau budaya yang ada. Kami hanya ingin memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk berkembang, belajar keterampilan yang bisa membantu mereka membangun masa depan yang lebih baik. Kami juga berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan sosial yang telah ada.”

Maya terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Tetapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa bahwa semua ini adalah tantangan yang sulit. Ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa dunia kini semakin maju, dan perubahan adalah bagian dari perjalanan hidup. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa tradisi yang telah diwariskan turun-temurun oleh para pendahulu harus dijaga. Jangan sampai kehadiran teknologi dan modernitas malah menggantikan nilai-nilai yang telah lama tumbuh subur di desa ini.

Maya melangkah lebih jauh ke dalam pusat komunitas, menyaksikan lebih banyak lagi aktivitas yang terjadi. Beberapa warga tampak terlibat dalam pelatihan komputer dan keterampilan digital, sementara yang lainnya mengikuti kursus manajemen bisnis. Semua hal ini memang memberikan harapan bagi desa yang semakin terpinggirkan oleh kemajuan zaman. Namun, Maya juga melihat bahwa tidak semua warga desa tertarik dengan perubahan ini. Banyak yang masih merasa terasing, merasa bahwa dunia mereka semakin dijauhkan dari apa yang mereka kenal.

Di ruang lain, Maya bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang mengikuti pelatihan keterampilan menjahit. Ibu itu mengenakan hijab yang sederhana dan tampak sedikit canggung. Maya menghampirinya dan duduk di sampingnya.

“Apakah Anda merasa nyaman dengan pelatihan ini?” tanya Maya, mencoba memulai percakapan.

Ibu muda itu tersenyum kecil dan mengangguk. “Ya, saya merasa bisa belajar banyak di sini. Dulu, saya hanya membantu suami bertani, tapi dengan adanya pelatihan ini, saya bisa menambah keterampilan dan mungkin membuka usaha sendiri suatu saat nanti.”

Maya mendengarkan dengan seksama. Di balik wajah ibu muda itu, ia melihat harapan yang terpancar—harapan untuk bisa memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Namun, ada juga rasa takut yang mendalam, sebuah kecemasan tentang apakah pelatihan ini benar-benar akan membantu mereka atau justru membuat mereka semakin terlepas dari akar budaya yang sudah mereka kenal.

“Kami memang banyak beradaptasi dengan hal-hal baru, tapi saya juga khawatir jika kami harus meninggalkan cara hidup yang dulu,” kata ibu muda itu dengan suara pelan, seolah berbicara tentang ketakutan yang sama yang dirasakan Maya.

Maya mengangguk, merasa bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang wajar. Semua orang pasti merasa terombang-ambing antara harapan dan ketakutan saat menghadapi perubahan. Namun, ia tahu bahwa jalan yang harus diambil adalah jalan yang tidak mudah. Setiap perubahan pasti datang dengan tantangan, tetapi di balik tantangan itu juga terdapat kesempatan baru yang bisa membawa kebaikan, asalkan kita mampu menyeimbangkan antara yang lama dan yang baru.

Dengan perasaan campur aduk, Maya meninggalkan pusat komunitas itu. Langkahnya terasa lebih berat, seiring dengan kesadaran bahwa desa yang dulu ia kenal kini berada di persimpangan jalan. Perubahan ini datang dengan tantangan besar, namun juga membawa peluang untuk masa depan yang lebih cerah. Yang bisa ia lakukan hanyalah mencari cara untuk tetap menghargai nilai-nilai lama, sambil membuka diri untuk menyambut masa depan yang penuh kemungkinan.

Saat hujan semakin deras, Maya menyadari satu hal: perubahan adalah bagian dari kehidupan, dan kita tidak bisa menghindarinya. Namun, bagaimana kita merespons perubahan itu—dengan hati yang terbuka atau dengan ketakutan—akan menentukan apakah perubahan tersebut akan menjadi berkah atau malah bencana.*

BAB 5: Hujan yang Mengungkapkan

Maya duduk di beranda rumah orang tuanya, menatap langit yang mulai mendung. Hujan yang tiba-tiba turun seolah menyampaikan pesan yang tak bisa diabaikan. Suara gemericik air di atap membuatnya merenung, seolah memberi kesempatan bagi pikirannya untuk meresapi semua kejadian yang telah berlangsung. Setiap tetes hujan yang jatuh seakan mengingatkannya pada perasaan-perasaan yang telah lama ia pendam, yang kini mulai mengemuka dengan kuat. Apa yang selama ini ia lupakan, kini kembali mengisi ruang hatinya.

Maya tahu bahwa hidupnya sedang berada di persimpangan, di antara masa lalu yang penuh kenangan dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Hujan itu, meskipun sederhana, membawa banyak makna. Ia ingat bagaimana dulu hujan selalu menjadi bagian dari setiap kenangan indah bersama teman-teman masa kecilnya, bagaimana hujan memberi ketenangan bagi jiwa yang gelisah. Namun, saat ini, hujan justru mengungkapkan lebih banyak hal yang mungkin belum ia sadari sebelumnya—tentang dirinya, tentang desa ini, dan tentang apa yang harus ia pilih.

Hujan juga menjadi saksi bisu bagi perjalanan hidupnya. Saat hujan pertama kali menyapa tanah desa ini, Maya merasa seolah semuanya akan berubah. Waktu seolah mempercepat langkahnya, membawanya pada titik di mana ia harus memilih untuk bertahan atau melangkah maju. Hujan yang mengungkapkan banyak hal ini bukan hanya tentang alam yang memberi kehidupan, tetapi juga tentang bagaimana kehidupan itu sendiri bisa berubah begitu cepat.

Hari itu, Maya memutuskan untuk mengunjungi beberapa rumah warga yang sudah lama ia kenal. Dia merasa perlu untuk berbicara dengan mereka, menggali lebih dalam tentang perubahan yang terjadi di desa ini dan bagaimana mereka merasakannya. Hujan yang turun sejak pagi membuat suasana di desa menjadi semakin tenang, dengan aroma tanah yang basah menyatu dengan udara sejuk yang membawa kedamaian. Namun, di balik kedamaian itu, Maya merasakan ada ketegangan yang tersisa di hati setiap orang yang ia temui.

Di rumah Bu Siti, seorang wanita yang dulu pernah menjadi gurunya, Maya duduk di ruang tamu yang sederhana. Perbincangan mereka dimulai dengan cerita-cerita lama, namun tak lama kemudian Bu Siti mengungkapkan kekhawatirannya tentang perubahan yang terjadi.

“Banyak yang bilang desa kita ini semakin maju,” kata Bu Siti dengan suara pelan. “Tapi saya khawatir, kita sudah terlalu jauh meninggalkan apa yang dulu ada. Semua hal yang dulu kita banggakan—kearifan lokal, kebersamaan, gotong royong—sekarang mulai terkikis. Semua orang terlalu sibuk dengan teknologi dan kegiatan baru.”

Maya mendengarkan dengan seksama, merasakan kerisauan yang ada di hati Bu Siti. Meskipun ia tidak bisa sepenuhnya sepakat dengan pandangannya, Maya tahu bahwa ada kebenaran dalam kata-kata itu. Hujan yang turun seolah menjadi metafora bagi kerisauan itu—sesuatu yang datang dengan membawa kenyataan yang sulit dihindari. Perubahan yang datang begitu cepat seringkali membuat banyak orang terkejut, bahkan kehilangan arah.

“Apakah menurut Ibu, ada jalan tengah untuk menjaga keduanya?” tanya Maya, mencoba memahami apa yang bisa dilakukan untuk membawa kedamaian di antara perbedaan itu.

Bu Siti tersenyum tipis, matanya tampak jauh, seolah memikirkan hal yang lebih dalam. “Saya kira, yang kita perlukan bukan hanya kemajuan, tapi juga kesadaran untuk tetap menjaga apa yang penting. Kita harus bisa berjalan beriringan, tanpa mengorbankan nilai-nilai yang sudah kita jalani bertahun-tahun.”

Perbincangan mereka berlanjut, dan Maya semakin merasa bahwa proses perubahan ini bukanlah hal yang mudah. Ada banyak pihak yang merasa terpinggirkan, merasa bahwa tradisi mereka sedang dihancurkan tanpa adanya perhatian yang cukup. Di sisi lain, ada juga mereka yang berusaha untuk membuka diri terhadap dunia baru, berharap bisa meraih peluang lebih baik. Maya merasa terjebak di antara kedua dunia itu.

Sore itu, ketika hujan semakin lebat, Maya berjalan pulang dengan perasaan yang campur aduk. Langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang terus mengikutinya. Hujan yang semula menenangkan hatinya kini berubah menjadi simbol dari ketidakpastian yang mengintai di setiap sudut kehidupan.

Sesampainya di rumah, Maya duduk di depan jendela, memandang curahan hujan yang semakin deras. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, ke saat-saat indah di mana ia dan teman-temannya bermain di tengah hujan, berlarian tanpa beban. Semua itu terasa jauh, seperti mimpi yang tak bisa digapai lagi. Sekarang, semuanya berubah. Desa yang dulu terasa begitu dekat, kini terasa begitu asing. Maya bertanya-tanya apakah ia masih bisa menemukan bagian dari dirinya yang dulu, yang bisa bersatu dengan alam, yang bisa merasa bahagia dengan hal-hal sederhana.

Saat itulah Maya menerima telepon dari Ardi. Suaranya terdengar lebih serius dari biasanya, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan.

“Maya, ada yang ingin kami bicarakan,” kata Ardi dengan nada hati-hati. “Ada beberapa perubahan besar yang akan segera diterapkan di desa ini. Kami ingin mendengarkan pendapatmu.”

Maya merasakan ketegangan dalam suaranya. Ini adalah momen yang sangat penting. Keputusan-keputusan besar akan segera diambil, dan Maya harus memutuskan apakah ia akan terlibat dalam proses tersebut atau memilih untuk mundur dan mengikuti jalan hidup yang lebih sederhana. Hujan di luar semakin keras, seolah menciptakan ketegangan yang semakin dalam dalam dirinya.

Dengan perlahan, Maya menjawab, “Saya akan datang. Saya ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang akan terjadi.”

Setelah menutup telepon, Maya menatap ke luar jendela lagi, memandangi tetesan hujan yang jatuh dengan begitu bebas, seolah membawa pesan yang jelas: hidup memang tidak bisa dihindari, dan perubahan adalah hal yang pasti. Namun, apakah ia akan mampu menerima perubahan itu dengan lapang dada, ataukah ia akan terus berjuang untuk mempertahankan masa lalu yang kini terasa semakin jauh?

Hujan itu, dengan segala maknanya, telah mengungkapkan lebih banyak hal daripada yang ia duga sebelumnya. Hujan itu adalah cermin dari hatinya—terselubung oleh keraguan, namun penuh dengan harapan. Apa yang terjadi selanjutnya akan menguji sejauh mana ia bisa melangkah dengan berani, sambil tetap menghargai apa yang telah membentuknya hingga saat ini.*

BAB 6: Dalam Kesunyian Hujan

Di tengah kesunyian malam yang dihiasi hujan deras, Maya duduk di sudut kamar, memandang jendela yang diselimuti tetesan air. Hujan yang turun sejak sore itu tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Suasana sekitar rumah terasa semakin hening, hanya ada gemericik air yang memecah keheningan malam. Di luar, lampu jalan yang samar terlihat melalui tirai air hujan, menciptakan bayangan kabur yang meresap dalam pikirannya.

Maya merasa seolah dunia di sekelilingnya begitu jauh, seakan hanya ada dirinya yang terperangkap dalam ruang ini, dikelilingi oleh suara hujan yang tak pernah berakhir. Hujan, yang dulu selalu menjadi teman yang menenangkan, kini terasa begitu berat. Setiap tetesnya seperti menggugah kenangan yang selama ini ia coba lupakan. Dalam kesunyian malam itu, semuanya kembali mengingatkan dirinya pada masa lalu yang penuh dengan pertanyaan tak terjawab.

Dia mengenang bagaimana dulu hujan selalu membawa kehangatan dalam hatinya. Hujan adalah pelipur lara, teman yang selalu ada ketika hatinya rapuh. Namun, seiring berjalannya waktu, hujan berubah menjadi simbol kesendirian yang tak bisa disembunyikan. Di balik hujan yang terus menerus mengguyur desa ini, Maya merasakan sebuah kesepian yang semakin dalam. Kenangan tentang keluarga, tentang teman-teman lama, dan tentang dirinya yang pernah berbeda, datang begitu cepat, seolah tak memberi ruang untuk bernafas.

Maya meraih buku catatannya yang tergeletak di meja. Halaman-halaman yang penuh dengan coretan ide dan pemikiran tentang masa depan, tentang perubahan, tentang apa yang seharusnya ia pilih, terasa tak berarti saat ini. Ia tak bisa menepis perasaan gelisah yang semakin menguasai pikirannya. Hujan, dalam segala ketenangannya, seakan mengungkapkan sisi dirinya yang belum pernah ia hadapi—sisi yang selama ini ia sembunyikan di balik tawa dan langkah maju.

Pada saat-saat seperti ini, Maya sering merenung tentang perubahannya yang begitu cepat. Hujan yang datang tanpa diundang seperti simbol dari perubahan itu sendiri—sesuatu yang tak bisa diprediksi, namun tetap harus dihadapi. Setiap pilihan yang ia buat selalu membawa konsekuensi yang tak mudah diterima. Kadang, ia merasa berada di antara dua dunia yang saling bertolak belakang: dunia yang ia tinggalkan di desa dan dunia yang baru ia masuki di kota.

Hari-hari di kota, dengan segala hiruk-pikuknya, terasa begitu asing. Awalnya, Maya merasa senang bisa kembali ke kehidupan yang lebih modern, yang penuh dengan peluang. Namun, semakin lama, ia merasa bahwa ada bagian dari dirinya yang hilang. Dunia yang penuh dengan kebisingan itu, dengan segala kemajuan dan fasilitas yang ada, terasa semakin jauh dari jati dirinya. Ia merindukan desa, tempat yang dulu memberikan kenyamanan meski tidak banyak yang ia miliki. Namun, di balik kerinduan itu, ada perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Maya merasa telah meninggalkan sesuatu yang sangat berarti—sesuatu yang tidak akan bisa ia temui lagi di kota.

Maya menutup buku catatannya, meraih secangkir teh yang sudah dingin. Ia tak merasa lapar atau haus; yang ia rasakan hanya kebingungan yang melanda. Waktu seakan berjalan begitu lambat, namun pada saat yang sama, setiap detik terasa begitu berat. Ia menatap hujan di luar jendela, mencoba mencari jawaban dalam setiap tetes yang jatuh, tetapi jawabannya tetap tak ada.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang terbuka, dan Ardi masuk ke dalam kamar. Maya menoleh, sedikit terkejut, namun tak mengatakan apa-apa. Ardi sudah beberapa kali menunggu hujan reda sebelum datang ke rumah. Ia duduk di sebelah Maya, memandang hujan yang tak kunjung berhenti.

“Hujan sepertinya tak akan berhenti,” kata Ardi, mencoba memecah keheningan. “Seperti kita, Maya. Terkadang, ada hal-hal yang tidak bisa kita hentikan begitu saja.”

Maya menatapnya, merasakan kehangatan dari kata-kata itu, meskipun hujan tetap membawa kesendirian dalam hati. Ia tahu, Ardi memahami lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia sadari. Namun, kesunyian di dalam hatinya tetap tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Apakah kamu merasa kita telah salah memilih jalan?” tanya Maya, suaranya terdengar pelan, hampir hilang ditelan suara hujan. “Aku merasa semakin jauh dari diri sendiri, Ardi. Aku rindu dengan yang dulu, rindu dengan desa itu, meskipun aku tahu itu bukan pilihan yang bisa aku ambil lagi.”

Ardi terdiam, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Perubahan memang sulit, Maya. Tapi kita tidak bisa hidup dalam kenangan. Kita harus berani menghadapi kenyataan, bahkan jika itu membuat kita merasa kehilangan.”

Maya menarik napas panjang, matanya menatap hujan yang terus mengguyur tanpa henti. Setiap tetesnya seakan membawa banyak hal yang belum bisa ia terima. Kenangan tentang desa, tentang keluarganya, tentang masa kecil yang indah, semuanya datang begitu cepat. Tapi, apakah ia bisa kembali? Apakah ada tempat untuk dirinya di dunia yang baru ini? Ataukah semua ini hanya sebatas bayangan yang akan terus mengikuti dalam kesunyian malam?

“Hujan ini seperti tak pernah berhenti, ya?” kata Maya lagi, suaranya hampir hilang ditelan gemuruh air. “Seperti pikiranku yang terus-menerus berputar, mencari jawaban, tapi tak pernah menemukan ujungnya.”

Ardi menatapnya dengan lembut. “Maya, kadang kita memang perlu waktu untuk menemukan jawaban. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Semua akan ada waktunya.”

Namun, kata-kata itu tidak bisa menghapuskan keraguan yang terus ada di dalam diri Maya. Hujan yang terus turun seolah membawa beban yang semakin berat untuk dipikul. Dalam kesunyian malam itu, Maya menyadari bahwa meskipun hujan bisa mengungkapkan banyak hal, ada hal-hal yang tetap tersembunyi di dalam dirinya, yang mungkin hanya bisa terungkap seiring berjalannya waktu.

Setelah beberapa saat, Maya berdiri dan mendekati jendela. Ia memandangi hujan yang tak kunjung reda, mencoba meresapi setiap tetes yang jatuh. Dalam kesunyian yang menenangkan, ia tahu bahwa dalam dirinya, ada banyak hal yang harus ia hadapi, dan hujan ini mungkin adalah awal dari perjalanan panjang untuk menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.*

BAB 7: Jalan yang Menyatu

Hujan masih menyirami bumi dengan lembut, tapi terasa seperti menitipkan beban yang semakin berat pada hati Maya. Selama beberapa hari terakhir, dia merasa dunia ini berputar begitu cepat, sementara dirinya terhenti di tempat yang sama. Kota yang dulunya dia anggap sebagai tempat untuk mencari peluang kini terasa seperti labirin tanpa arah, penuh dengan jalan-jalan yang membingungkan dan keputusan-keputusan yang membuatnya kehilangan pegangan. Namun, dalam perjalanan ini, ada satu hal yang tak pernah dia lupakan—jalan yang menyatukan dirinya dengan Ardi.

Maya melangkah pelan menyusuri trotoar yang dipenuhi dengan tetesan hujan. Ada kekosongan yang menguar dalam dirinya, tetapi juga perasaan hangat yang menyelinap dari dalam hatinya saat memikirkan Ardi. Ia tahu, meskipun banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya, ada satu hal yang tetap, dan itu adalah hubungan yang terbentuk antara mereka.

Sejak pertama kali mereka bertemu, Maya sudah merasakan adanya koneksi yang kuat, meski tak langsung diungkapkan dengan kata-kata. Ardi bukanlah seseorang yang mudah diajak berbicara, tetapi ada cara-cara halus yang membuat Maya merasa dihargai dan dipahami. Tidak seperti orang lain yang selalu ingin mendengar cerita tanpa memberi ruang untuk Maya berbicara, Ardi lebih memilih untuk mendengarkan dan memberi Maya waktu untuk menemukan suaranya sendiri.

Hari-hari yang mereka jalani bersama adalah seperti perjalanan dua jiwa yang berusaha saling memahami dan menerima kekurangan masing-masing. Perbedaan antara Maya dan Ardi sangat mencolok—dia seorang yang lebih tertutup, lebih memilih berada dalam kesendirian, sementara Ardi adalah pribadi yang lebih terbuka dan percaya pada kekuatan berbagi. Namun, justru dari perbedaan itulah mereka menemukan cara untuk saling mengisi.

Pada malam yang hujan ini, Maya berusaha mengingat kembali percakapan mereka beberapa malam yang lalu, saat mereka duduk berdua di bangku taman, menikmati kedamaian yang datang setelah hujan reda. Ardi, dengan tatapan lembutnya, berkata bahwa setiap perjalanan pasti memiliki ujung, dan terkadang, untuk menemukan arah, kita harus melewati jalan yang penuh liku. Kata-kata itu menyentuh hati Maya, karena ia menyadari, selama ini dia terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia merasa terjebak dalam pilihan-pilihan yang dia buat tanpa mempertimbangkan bahwa setiap langkah yang diambil merupakan bagian dari jalan yang lebih besar, jalan yang membawa mereka menjadi lebih kuat.

Hujan malam itu, yang semula terasa begitu asing dan menyesakkan, kini terasa seperti sahabat lama yang kembali menyapa. Maya menyadari, hujan ini tidak hanya membawa kenangan, tetapi juga kesempatan baru untuk menyatukan hati dan pikirannya. Dalam kesunyian yang ada, dia merasa lebih tenang, lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Ardi telah menjadi bagian dari perjalanan panjang ini, meski mereka belum sepenuhnya tahu kemana jalan ini akan membawa mereka. Mereka hanya tahu bahwa mereka akan berjalan bersama, dengan penuh kepercayaan bahwa setiap langkah, sekecil apapun itu, akan mengarah pada sesuatu yang lebih baik. Seperti hujan yang membasahi bumi, mereka akan terus bersama-sama meskipun terkadang harus merasakan kesulitan dan hambatan.

Maya menatap jalanan yang sepi, hanya ada suara gemericik air hujan yang membasahi atap dan jalanan di sekitarnya. Ardi tiba-tiba muncul dari balik sudut jalan, mendekat ke arah Maya dengan senyuman yang hangat. Dia mengenakan jaket hitam yang tampak basah oleh hujan, tetapi senyumannya tetap terlihat cerah di tengah kegelapan malam.

“Jalan-jalan sepi malam ini,” kata Ardi, suaranya lembut, tetapi terdengar hangat di telinga Maya.

Maya tersenyum kecil, merasakan ketenangan yang muncul setiap kali Ardi ada di dekatnya. Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka serasi dengan detak waktu yang tidak terburu-buru. Dalam kebersamaan mereka, Maya merasa bahwa meskipun banyak hal yang belum mereka pahami, jalan yang mereka pilih telah membawa mereka ke tempat yang lebih baik. Di jalan yang penuh hujan ini, Maya dan Ardi berjalan bersama, menapaki setiap detik yang ada.

“Kadang aku merasa, kita terlalu memikirkan kemana jalan ini akan mengarah,” Maya akhirnya membuka suara. “Tapi sekarang, aku menyadari, kita tidak perlu tahu pasti. Yang penting adalah kita terus berjalan bersama, bukan?”

Ardi menatapnya, kemudian mengangguk pelan. “Iya, Maya. Kadang kita terlalu fokus pada tujuan akhir, sampai lupa menikmati perjalanan. Tapi yang lebih penting adalah siapa yang kita temui sepanjang perjalanan itu.”

Maya merasakan kehangatan dalam kata-kata Ardi, seperti ada sebuah harapan baru yang tumbuh dalam dirinya. Mungkin selama ini dia terlalu terjebak dalam ketakutan akan ketidakpastian, terlalu khawatir tentang apa yang akan datang. Namun, Ardi telah mengajarkannya bahwa perjalanan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang menikmati setiap langkah yang diambil, bahkan dalam hujan dan kesulitan sekalipun.

Seiring mereka melanjutkan perjalanan bersama, Maya merasa hatinya semakin lapang. Setiap langkah mereka terasa semakin ringan, seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Hujan yang semula terasa seperti penghalang kini menjadi simbol dari perjalanan mereka yang tak terduga. Mereka berjalan dalam kesunyian, tetapi bukan dalam kesendirian. Hujan itu menghapus semua keraguan yang ada dalam hati Maya, menyadarkannya bahwa kebersamaan mereka adalah jalan yang paling berarti.

“Apakah kamu takut?” tanya Maya setelah beberapa saat, menghentikan langkah mereka.

“Takut?” Ardi bertanya balik, sedikit bingung.

“Takut kalau kita tidak tahu kemana jalan ini akan membawa kita,” jawab Maya pelan.

Ardi tersenyum, kemudian mengangkat bahu dengan santai. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, Maya. Tapi aku yakin, selama kita bersama, kita bisa melewati apapun.”

Maya terdiam sejenak, kemudian tersenyum. Rasanya, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Mereka sudah menemukan jalan mereka—jalan yang menyatu dalam kebersamaan dan pemahaman. Hujan yang membasahi jalan di depan mereka hanyalah bagian dari perjalanan yang tak terelakkan, dan mereka akan menghadapinya bersama, satu langkah demi satu langkah, sampai akhirnya menemukan tujuan yang baru, yang lebih berarti.*

BAB 8: Langkah Baru di Tengah Hujan

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, seperti seolah langit menghapus semua jejak yang tersisa di bumi. Maya berdiri di depan jendela apartemennya, menatap butir-butir air yang membasahi kaca, membiarkan pikirannya terombang-ambing oleh suara gemericik yang menenangkan. Hujan selalu membawa ketenangan, tetapi malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan, meskipun perasaan itu mengendap begitu dalam di hati. Sejak beberapa hari terakhir, Maya merasa seperti ada titik balik dalam hidupnya, sebuah persimpangan yang mengharuskannya memilih antara melanjutkan atau meninggalkan apa yang sudah dimulai.

Dia memutar kunci di tangannya, melangkah menjauh dari jendela, dan berjalan menuju meja kerjanya. Di atas meja itu tergeletak sebuah surat, dengan tulisan yang sudah tidak asing lagi di matanya. Itu adalah surat pemberitahuan dari perusahaan tempatnya bekerja, yang memberitahukan bahwa posisi yang dia impikan kini terbuka—sebuah kesempatan besar yang dapat membawa Maya ke level karier yang lebih tinggi. Namun, meskipun surat itu seharusnya membawa kebahagiaan, Maya merasa kosong. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Keinginan untuk maju bertabrakan dengan keragu-raguannya tentang masa depan.

Maya pernah mendengar pepatah bahwa setiap langkah baru pasti disertai dengan keraguan. Namun, keraguan yang dia rasakan kali ini terasa berbeda. Sebelum ini, setiap keputusan yang diambilnya selalu didorong oleh keyakinan yang kuat, tetapi sekarang, ada rasa takut yang begitu dalam menggelayuti dirinya. Takut gagal, takut jika langkah itu ternyata membawa ke arah yang salah. Dia bertanya-tanya apakah keputusan ini akan membuatnya kehilangan segala yang sudah dia capai, termasuk hubungan yang dia jalani bersama Ardi.

Ardi, pria yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya selama setahun terakhir, kini tampak lebih jauh darinya. Dalam beberapa waktu terakhir, komunikasi mereka mulai menipis, terutama setelah Maya menerima tawaran pekerjaan di luar kota. Awalnya, mereka merasa yakin bahwa jarak tidak akan memisahkan mereka, tetapi kenyataan terkadang lebih rumit daripada perkiraan. Maya merasakan betul adanya perbedaan pandangan antara dia dan Ardi—mungkin juga perbedaan tujuan hidup yang semakin terasa, meski tak pernah mereka bicarakan dengan jelas.

Namun, perasaan cemas itu bukanlah satu-satunya hal yang mengganggu Maya. Ada suara lain yang lebih dalam, suara yang memberitahunya bahwa dia sedang berada di ambang perubahan besar dalam hidupnya, sebuah langkah yang tidak hanya akan memengaruhi kariernya, tetapi juga cara dia melihat dunia ini.

“Apakah ini langkah yang benar?” Maya bertanya pada bayangannya di kaca jendela. Hujan semakin deras, seolah membenarkan pertanyaan yang mengendap dalam hatinya.

Di luar sana, di jalanan yang sepi, ada kehidupan yang terus berjalan. Ada orang-orang yang tidak pernah berhenti, yang tidak ragu mengambil setiap kesempatan yang datang. Maya teringat pada kata-kata Ardi beberapa waktu lalu, ketika mereka sedang duduk di taman, menunggu hujan reda. “Maya, hidup itu penuh dengan ketidakpastian, dan kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi satu hal yang pasti—kita harus memilih untuk melangkah, bukan tetap diam.”

Kata-kata itu kembali mengingatkan Maya akan tujuan yang lebih besar. Hidup bukan hanya tentang menghindari kegagalan atau ketakutan, tetapi tentang memilih untuk terus bergerak maju meskipun segala ketidakpastian mengelilingi kita. Mungkin inilah saat yang tepat untuk melepaskan keraguannya, melepaskan rasa takut akan perubahan, dan mengambil langkah baru yang selama ini dia hindari.

Setelah beberapa menit merenung, Maya merasa sebuah dorongan kuat dalam dirinya untuk tidak terjebak dalam ketakutan. Dia harus memilih, dan keputusan itu tidak bisa ditunda lagi. Segala hal yang sudah dia rencanakan selama ini, semua usaha yang telah dia bangun, tidak boleh sia-sia. Jika ingin mencapai impian, dia harus berani menghadapi tantangan dan mengambil risiko.

Maya mengangkat surat pemberitahuan itu, membacanya sekali lagi, kali ini dengan lebih teliti. Setiap kata yang tertulis seperti menyemangati dirinya untuk melangkah ke depan. Sebuah kesempatan yang tidak datang dua kali, sebuah pilihan yang bisa mengubah jalannya hidup. Apa pun yang terjadi, dia tahu bahwa tidak ada langkah yang bisa diambil tanpa biaya, tetapi yang lebih penting adalah kesediaannya untuk menghadapi apa pun yang datang.

Dia menuliskan beberapa kalimat di selembar kertas, sebuah surat balasan untuk perusahaan yang akan membuka jalan bagi kariernya. Maya mengonfirmasi keputusannya untuk menerima tawaran tersebut. Di saat yang sama, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi dalam hidupnya—perubahan yang tidak hanya berbicara tentang pekerjaan atau karier, tetapi tentang dirinya sendiri.

Maya kemudian mengambil ponselnya dan mengetik pesan kepada Ardi. Perasaannya kini campur aduk antara kegembiraan dan kesedihan. Dia tahu bahwa keputusan ini mungkin membuat hubungan mereka semakin sulit, tetapi dia juga menyadari bahwa perjalanan hidup tidak bisa dihentikan begitu saja hanya karena ada ketakutan akan kehilangan.

“Ardi,” tulis Maya, “Aku memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan itu. Aku tahu ini bisa mengubah banyak hal, dan aku ingin kamu tahu aku membuat keputusan ini setelah mempertimbangkan banyak hal. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tetapi aku ingin kita tetap berjalan bersama, meskipun jalannya tidak selalu mudah. Aku harap kamu mengerti.”

Maya menatap layar ponselnya sejenak, menunggu balasan dari Ardi. Namun, dia merasa sedikit lega setelah mengirimkan pesan tersebut. Keputusan besar sudah diambil, dan kini dia harus menghadapi apa pun yang akan datang dengan kepala tegak. Hujan di luar masih belum reda, tetapi Maya merasa seperti ada cahaya yang menyinari jalan yang akan dia tempuh. Langkah baru ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan kemungkinan—dan kali ini, dia akan melangkah dengan keberanian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Sambil menunggu balasan, Maya menghela napas panjang, merasakan kedamaian yang perlahan mulai meresap ke dalam dirinya. Tidak ada yang pasti dalam hidup, tetapi satu hal yang dia yakini—dia tidak akan lagi mundur. Di tengah hujan, Maya melangkah maju.*

BAB 9: Menyambut Hari Baru

Pagi itu, langit di luar apartemen Maya terlihat cerah meskipun semalam hujan deras mengguyur kota. Udara segar yang terbawa oleh hujan semalam kini memenuhi ruang tamunya. Maya duduk di dekat jendela, menatap dunia yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui tirai yang tergerak lembut, menyinari wajahnya yang terlihat lebih tenang daripada sebelumnya. Dia merasakan bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.

Setelah beberapa minggu penuh dengan kecemasan, keraguan, dan pilihan-pilihan yang tak pernah mudah, akhirnya Maya memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan yang selama ini terpendam di pikirannya. Keputusan itu datang setelah pertimbangan panjang, percakapan hati dengan diri sendiri, dan tentu saja, dukungan dari orang-orang terdekat. Ardi, meskipun ragu dan penuh dengan pertanyaan, akhirnya memberi restu, meski dengan berat hati. Namun, Maya tahu bahwa ini adalah langkah yang harus dia ambil untuk berkembang, untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

Sambil menyeduh secangkir kopi, Maya kembali memikirkan semuanya. Begitu banyak hal yang telah berubah dalam hidupnya sejak keputusannya untuk menerima pekerjaan di luar kota. Keputusan itu tidak hanya tentang karier atau uang. Lebih dari itu, ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali dirinya sendiri, untuk mencari makna lebih dalam dalam hidup yang selama ini hanya dia jalani dengan rutinitas.

Maya teringat pada percakapan terakhirnya dengan ibunya beberapa malam lalu. Mereka berbicara tentang perubahan yang sedang terjadi, tentang perasaan cemas yang selalu mengiringi setiap langkah besar dalam hidup. Ibunya dengan bijak mengingatkan Maya bahwa hidup adalah tentang pilihan—pilihan yang akan membawa kita ke tempat yang lebih baik meskipun penuh dengan tantangan. “Jangan takut untuk memilih, Maya. Karena terkadang, langkah pertama adalah yang paling menakutkan, tapi itu juga yang akan membawa kamu lebih dekat ke kebahagiaan yang sejati,” kata ibunya.

Dengan kenangan itu, Maya merasa lebih siap menyambut hari baru. Pagi ini adalah kesempatan baru, dan dia ingin memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Meskipun ada rasa takut yang masih menyelinap di dalam dirinya, dia tahu bahwa itu adalah hal yang wajar. Setiap orang merasa takut ketika dihadapkan dengan perubahan besar. Tapi, Maya juga tahu, tak ada yang bisa mengubah masa depan jika kita hanya terus terjebak dalam rasa takut.

Setelah menyiapkan kopi, Maya duduk di meja kerjanya, menatap laptop yang terbuka dengan berbagai e-mail dan dokumen pekerjaan yang perlu ditangani. Sebagai seseorang yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, Maya tahu bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan baru, tetapi juga tentang tanggung jawab yang lebih besar. Dia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia mampu menghadapi apa pun yang datang.

Namun, meskipun Maya merasa optimis, dia juga tahu bahwa perubahan ini tak akan mudah. Di luar sana, dunia menunggu, tetapi ada banyak hal yang masih harus dia pelajari. Dalam pekerjaan barunya, dia akan bekerja dengan tim baru, menghadapi tantangan baru, dan beradaptasi dengan budaya yang mungkin berbeda. Di satu sisi, dia merasa siap, tetapi di sisi lain, dia tak bisa menepis perasaan cemas yang datang tiba-tiba.

Pekerjaan baru ini adalah langkah besar, namun Maya sudah memutuskan untuk menaruh kepercayaan pada dirinya sendiri. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar dan berkembang, dan meskipun ada rintangan yang harus dihadapi, dia yakin bahwa semua itu akan membuatnya lebih kuat. Apalagi, langkah ini juga akan membawa Maya lebih jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Dia akan lebih mandiri, lebih terbuka, dan lebih siap untuk menghadapi kehidupan.

Hari itu, setelah beberapa hari beradaptasi dengan rutinitas baru, Maya merasakan ada perubahan dalam dirinya. Di kantor, ia bertemu dengan orang-orang baru, beberapa di antaranya bahkan sudah menjadi teman baik. Awalnya, Maya merasa asing dan terisolasi di lingkungan baru ini, tetapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan kenyamanan. Mereka saling berbagi pengalaman, belajar satu sama lain, dan membangun ikatan yang tidak hanya sekadar hubungan profesional, tetapi juga persahabatan.

Bertemu dengan orang-orang baru juga membuka pandangannya tentang banyak hal. Dia menyadari bahwa hidup ini tidak hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang kontribusi yang kita berikan untuk orang lain. Maya merasa diberkati karena bisa berada di tengah-tengah orang-orang yang mendukungnya dan yang percaya pada potensi dirinya. Mereka memberi semangat dan motivasi setiap kali dia merasa lelah atau kecewa. Kehangatan itu mengingatkannya bahwa, meskipun terkadang kita merasa sendirian dalam perjalanan hidup, kita selalu memiliki orang-orang yang siap membantu, jika kita bersedia menerima bantuan mereka.

Maya juga mulai menulis di jurnalnya setiap malam. Setiap hari, dia menuliskan pencapaian kecil yang dia raih, dari hal-hal sederhana seperti bisa menyelesaikan tugas dengan baik hingga perasaan yang lebih dalam, seperti rasa syukur atas kesempatan baru yang datang. Jurnal itu menjadi cara bagi Maya untuk mengingatkan dirinya sendiri tentang kemajuan yang telah dia buat. Dalam setiap tulisan, dia menulis tentang harapan dan cita-citanya, tentang impian yang masih jauh di depan sana.

Ketika malam tiba, Maya duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang kini mulai hidup dengan lampu-lampu yang berkelip. Hujan tidak turun lagi malam ini, tetapi udara segar masih menyertai setiap hembusan angin yang lewat. Maya merasa damai, meskipun hidupnya masih penuh dengan ketidakpastian. Namun, dia tahu satu hal yang pasti—setiap hari baru adalah kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Dengan sebuah senyuman di wajah, Maya menghadap ke depan. Dia tahu perjalanan ini baru dimulai, dan setiap langkah yang diambilnya adalah bagian dari sebuah cerita besar yang sedang ditulis. Hari baru telah datang, dan Maya siap untuk menyambutnya dengan penuh harapan dan keyakinan.*

BAB 10: Harapan di Ujung Hujan

Pagi itu, hujan kembali turun dengan derasnya. Butir-butir air yang jatuh dari langit membentuk riak kecil di permukaan tanah, membasahi jalanan dan rerumputan yang sudah lama kekurangan air. Maya berdiri di balik jendela apartemennya, menatap dunia yang kembali diselimuti kabut tipis. Hujan yang datang tak hanya menyegarkan, tetapi juga memberikan kedamaian yang seolah datang dari dalam hatinya sendiri. Setiap kali hujan turun, Maya merasa seolah alam mengajaknya untuk merenung lebih dalam, melihat kembali perjalanan yang telah ditempuh, dan menyambut masa depan dengan penuh harapan.

Sejak beberapa bulan terakhir, hidupnya telah banyak berubah. Dia datang ke kota ini dengan banyak keraguan, mempertanyakan arah hidupnya, dan bahkan merasa tidak yakin dengan keputusan-keputusan besar yang telah dia buat. Namun, kini, semua itu terasa berbeda. Maya merasa dirinya telah berkembang, mengatasi berbagai tantangan, dan bahkan menemukan kedamaian yang selama ini dia cari. Perubahan yang dia alami bukan hanya tentang pekerjaan baru atau kehidupan yang lebih mandiri, tetapi tentang perjalanan batin yang membawa kesadaran akan arti sejati dari hidup.

Maya menatap pantulan dirinya di kaca jendela, seolah mencoba berbicara dengan sosok yang ada di sana. Dia tersenyum pada dirinya sendiri, merasa bangga dengan perjalanan yang telah ditempuh. Dulu, dia adalah seseorang yang mudah ragu, yang sering dibayangi ketakutan akan kegagalan. Namun sekarang, dia telah belajar untuk menerima setiap tantangan sebagai bagian dari proses hidup yang harus dijalani. Hujan yang turun di luar jendela hanya menjadi latar belakang bagi kisah hidupnya yang terus berkembang, dan Maya siap menulis bab berikutnya.

Maya mengambil secangkir teh hangat dari meja dan duduk di dekat meja kerjanya. Di depan layar laptop, ada beberapa tugas yang harus diselesaikan, namun pikiran Maya tidak sepenuhnya terfokus pada pekerjaan itu. Dia teringat pada percakapan terakhirnya dengan Ardi, pacarnya, beberapa minggu lalu. Ardi selalu menjadi salah satu orang yang paling mendukungnya, namun ada kalanya dia merasa bahwa hubungan mereka mulai menghadapi ujian. Dalam perjalanan mereka, Maya sadar bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, dan hubungan yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar cinta—itu membutuhkan komunikasi, pengertian, dan waktu untuk tumbuh bersama.

Namun, Maya juga tahu bahwa segala sesuatu yang baik membutuhkan proses. Dalam beberapa bulan terakhir, mereka berdua telah berusaha lebih keras untuk saling mengerti dan mendukung satu sama lain. Meskipun ada masa-masa sulit, Maya percaya bahwa mereka akan bisa melewati semuanya bersama. Mereka telah berkomitmen untuk tumbuh bersama, dan meskipun tidak ada yang sempurna dalam hubungan, Maya merasa bahwa ada harapan yang dapat ditemukan di dalam setiap kesulitan yang mereka hadapi.

Pikiran Maya kembali melayang ke masa lalu, ke saat-saat di mana dia merasa terjebak dalam ketidakpastian. Waktu itu, dia hanya tahu satu hal: dia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan. Ketakutan akan kegagalan, ketakutan akan masa depan, ketakutan akan keputusan yang salah. Namun, dengan setiap langkah yang dia ambil, ketakutan itu mulai memudar. Maya menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang mendapatkan jawaban yang pasti, tetapi tentang bagaimana kita menjalani setiap langkah dengan hati yang terbuka dan penuh harapan.

Maya membuka buku catatannya, tempat dia menulis segala pikiran dan perasaannya selama ini. Hal pertama yang dia tulis dalam jurnalnya beberapa bulan lalu adalah tentang harapan. Harapan untuk menemukan kedamaian dalam hidupnya, harapan untuk bisa menjalani hidup dengan lebih bermakna, dan harapan untuk menemukan tujuan yang lebih besar daripada sekadar pencapaian pribadi. Dia ingin hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk memberi dampak positif bagi orang lain.

Sekarang, setelah melewati berbagai rintangan, Maya merasa bahwa harapan itu mulai menjadi kenyataan. Perubahan yang dia alami tidak datang dengan mudah, tetapi setiap prosesnya telah memberi pelajaran yang berharga. Di tempat kerjanya, Maya tidak hanya bekerja, tetapi dia juga belajar banyak tentang dirinya sendiri, tentang bagaimana mengelola emosi, berinteraksi dengan orang lain, dan menghadapi situasi yang penuh tekanan. Setiap hari, dia merasa semakin dekat dengan cita-cita yang selama ini dia impikan.

Namun, di balik semua pencapaian ini, Maya tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Banyak tantangan yang menunggu di depan, dan dia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi satu hal yang dia yakini: dia tidak perlu takut menghadapi masa depan. Dengan segala harapan yang dia miliki, Maya tahu bahwa dia akan selalu mampu menghadapinya, karena dia telah belajar untuk menghadapi ketakutan dan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk tumbuh lebih kuat.

Pagi itu, hujan semakin reda, dan sinar matahari mulai menyelinap masuk ke dalam ruangan. Maya menyimpan buku catatannya dan bangkit dari kursinya. Dia membuka jendela, merasakan udara segar yang kini mengalir ke dalam ruangan. Dunia di luar sana kembali hidup, seperti halnya hidupnya yang terus berkembang. Ada banyak hal yang menanti, banyak tantangan yang harus dihadapi, tetapi Maya merasa siap. Dengan tekad yang semakin kuat, dia melangkah menuju hari yang baru, menyambut setiap kesempatan yang datang dengan penuh harapan.

Hujan mungkin telah berhenti, tetapi dalam hati Maya, hujan itu akan selalu mengingatkannya bahwa setiap perubahan membawa harapan baru. Setiap perjalanan yang dimulai dengan keraguan akan selalu memiliki ujung yang penuh dengan kesempatan, dan di ujung hujan, Maya tahu ada cahaya yang menunggu untuk diterima. Dengan langkah mantap, Maya melangkah ke depan, menyambut dunia yang penuh dengan kemungkinan. Harapan di ujung hujan bukan hanya sebuah impian—itu adalah kenyataan yang dia ciptakan dengan setiap langkah yang dia ambil.***

———–THE END———-

Tags: #ImpianDanPerjuangan#MitologiLokal#Persahabatan#PetualanganMisteri#RahasiaMasaLalu
Previous Post

JEJAK AIR MATA DI BAWAH

Next Post

JEJAK TAKDIR DI LEMBAH HUJAN

Next Post
JEJAK TAKDIR DI LEMBAH HUJAN

JEJAK TAKDIR DI LEMBAH HUJAN

JEJAK TAKDIR DI DUNIA

JEJAK TAKDIR DI DUNIA

AWAL DARI SEBUAH KETERTARIKAN

AWAL DARI SEBUAH KETERTARIKAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In