Bab 1: Hujan Pertama di Bulan Juni
Langit di atas Jakarta tampak kelabu sore itu. Awan menggantung rendah, seakan bersiap mencurahkan isinya ke bumi yang sejak pagi sudah terasa lembap. Naya, yang berdiri di balik jendela kafenya, menghela napas panjang. Ia selalu bisa menebak kapan hujan akan turun, bukan dari berita cuaca atau aroma tanah yang mulai bercampur dengan udara, tetapi dari detak jantungnya sendiri—yang berdegup lebih kencang setiap kali mendung datang.
Kafe kecil yang ia kelola bersama sahabatnya, Lila, baru saja mulai ramai oleh pelanggan setia yang mencari tempat berteduh dari udara dingin. Aroma kopi bercampur dengan wangi kayu manis dari kue yang baru dipanggang memenuhi ruangan, menciptakan kehangatan tersendiri. Namun, bagi Naya, rasa hangat itu tidak cukup untuk mengusir dingin yang selalu menyelusup ke dalam hatinya setiap kali hujan turun.
“Kayaknya hujan bakal deras,” komentar Lila sambil membawa nampan berisi dua cangkir latte ke meja pelanggan.
Naya hanya mengangguk, matanya masih terpaku pada langit di luar. Mendung semakin pekat, dan beberapa tetes hujan mulai jatuh ke kaca jendela. Dengan cepat, rintik-rintik kecil itu berubah menjadi hujan deras, menciptakan aliran air yang mengaburkan pemandangan di luar.
Saat itulah bel pintu kafe berdenting, menandakan ada pelanggan baru yang masuk. Naya menoleh dan melihat seorang pria masuk dengan jaket hitamnya yang basah oleh hujan. Ia membawa sebuah kamera di tangan kanan, dan dengan gerakan santai, ia melepaskan tudung jaketnya, memperlihatkan rambut hitamnya yang sedikit berantakan.
Pria itu berjalan ke meja dekat jendela, tempat favorit pelanggan yang menyukai pemandangan hujan. Ia duduk dan meletakkan kameranya di atas meja, lalu menatap keluar dengan ekspresi yang sulit diterka.
Naya melangkah mendekat untuk mencatat pesanannya. “Selamat sore. Mau pesan apa?”
Pria itu menoleh dan menatapnya. Ada sesuatu di matanya—tatapan tajam yang terasa familiar, seakan ia bisa melihat lebih dalam dari sekadar permukaan.
“Kopi hitam, tanpa gula,” katanya dengan suara rendah.
Naya mencatat pesanan itu, lalu melirik kameranya. “Suka fotografi?” tanyanya, sekadar basa-basi.
Pria itu tersenyum samar. “Lebih tepatnya, aku suka memotret hujan.”
Jawaban itu membuat Naya terdiam sejenak. Ia tidak mengerti mengapa seseorang ingin mengabadikan sesuatu yang menurutnya penuh luka. Namun, ia tidak bertanya lebih lanjut.
Saat ia kembali ke meja pria itu dengan cangkir kopi, ia memperhatikan bahwa pria tersebut sudah mulai memotret jendela yang basah oleh rintik hujan. Cahaya dari luar menciptakan efek refleksi yang unik, seperti dunia di luar dan di dalam kafe bertabrakan dalam satu bingkai.
“Kau tidak suka hujan?” pria itu bertanya tiba-tiba, tanpa menoleh dari kameranya.
Naya sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Aku lebih suka langit cerah.”
Pria itu menurunkan kameranya dan menatapnya lagi. “Padahal hujan juga bisa indah,” katanya pelan.
Naya tersenyum tipis, tapi tidak membalas. Baginya, hujan tidak pernah indah. Hujan selalu membawa kenangan yang ingin ia lupakan—kenangan tentang seseorang yang sudah pergi, seseorang yang pernah ia cintai.
Tanpa sadar, ia menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Ia tidak tahu bahwa pria di depannya memperhatikannya.
“Aku Damar,” pria itu memperkenalkan diri.
“Naya,” jawabnya singkat.
Damar mengangguk, lalu kembali memotret. Naya tidak tahu mengapa pria ini tertarik pada hujan, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu dalam sorot mata Damar yang membuatnya berpikir bahwa pria itu juga menyimpan sesuatu di balik kameranya—sebuah cerita yang mungkin tidak ingin ia bagikan begitu saja.
Ketika malam semakin larut, hujan masih turun dengan deras. Kafe mulai sepi, hanya tersisa beberapa pelanggan yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Damar masih di tempatnya, menikmati kopi hitamnya yang kini sudah hampir habis.
Saat Naya berjalan ke meja untuk mengambil cangkirnya, Damar tiba-tiba berkata, “Hujan selalu membawa cerita.”
Naya mengangkat alis. “Maksudmu?”
Damar menatapnya, lalu menunjuk ke luar jendela. “Lihat orang-orang di luar. Ada yang berlari mencari tempat berteduh, ada yang santai berjalan di bawah payung, ada yang malah menikmati hujan tanpa peduli basah. Setiap orang punya cerita sendiri tentang hujan.”
Naya mengikuti arah pandangnya. Ia melihat sepasang kekasih yang berlari sambil tertawa, seorang ibu yang melindungi anaknya di bawah payung kecil, dan seorang pria tua yang berjalan pelan dengan mantel panjangnya.
Damar melanjutkan, “Aku suka memotret hujan karena ia tidak pernah sama. Setiap tetesan yang jatuh punya caranya sendiri menyentuh bumi. Seperti kenangan—ada yang jatuh lembut, ada yang menghantam keras.”
Naya terdiam. Kata-kata Damar seolah menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Ia pernah berpikir bahwa hujan hanya membawa luka, tapi pria ini melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
“Tapi hujan juga bisa menyakitkan,” kata Naya akhirnya.
Damar menatapnya lama sebelum menjawab, “Mungkin, tapi bukan berarti kita harus membencinya.”
Hening melingkupi mereka. Naya tidak tahu harus berkata apa. Ia ingin menyangkal kata-kata Damar, tapi sebagian kecil dari hatinya tahu bahwa mungkin ada kebenaran di dalamnya.
Saat Damar akhirnya bangkit dari tempat duduknya, ia meraih kameranya dan memasukkannya ke dalam tas. “Terima kasih untuk kopinya, Naya,” katanya sebelum berjalan ke pintu.
Saat ia membuka pintu, angin dingin membawa aroma hujan ke dalam kafe. Damar menatap langit sejenak sebelum melangkah keluar, membiarkan dirinya diterpa gerimis yang mulai mereda.
Naya tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di tengah kabut hujan.
Ia tidak tahu bahwa pertemuan itu akan mengubah banyak hal dalam hidupnya.
Ia tidak tahu bahwa pria itu menyimpan rahasia yang akan menghubungkan mereka lebih dari yang ia bayangkan.
Yang ia tahu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak langsung menutup tirai jendela saat hujan turun.**
Bab 2: Kilas Balik yang Menyakitkan
Malam telah larut ketika Naya akhirnya menutup kafenya. Langit masih digelayuti mendung, dan sisa hujan meninggalkan genangan di jalanan. Aroma tanah basah memenuhi udara, mengingatkannya pada sesuatu yang selalu ia hindari—kenangan yang terjebak dalam hujan.
Dengan langkah pelan, ia masuk ke apartemennya yang terletak di lantai dua gedung yang sama dengan kafenya. Begitu pintu tertutup, ia melepaskan apron dan bergegas menuju dapur untuk membuat teh chamomile, satu-satunya hal yang bisa sedikit meredakan kegelisahannya.
Duduk di sofa dengan cangkir hangat di tangannya, matanya tanpa sadar tertuju pada jendela. Rintik-rintik air masih menempel di kaca, menciptakan pola abstrak yang bergerak perlahan. Seolah-olah hujan mencoba berbicara padanya.
Dan seperti yang sudah sering terjadi, pikirannya kembali ke masa lalu.
Tiga Tahun Lalu
Hujan turun lebih deras malam itu. Naya dan Raka duduk di dalam mobil, menunggu hujan sedikit reda sebelum keluar. Mereka baru saja pulang dari makan malam di restoran favorit mereka, merayakan hari jadi keempat hubungan mereka.
“Aku ingin memberi tahu sesuatu,” kata Raka tiba-tiba, tangannya menggenggam kemudi dengan erat.
Naya menoleh dengan senyum. “Apa?”
Pria itu menarik napas panjang sebelum menoleh padanya. “Aku diterima di program fellowship di London. Tiga tahun.”
Senyum Naya perlahan memudar. “Tiga tahun?”
Raka mengangguk. “Aku ingin kau ikut denganku, Naya. Kita bisa memulai sesuatu yang baru di sana.”
Hati Naya berdegup kencang. Ini seharusnya menjadi kabar baik, bukan? Tapi ada sesuatu yang membuatnya ragu.
“Aku… aku butuh waktu untuk memikirkan ini,” kata Naya akhirnya.
Raka mengangguk mengerti, meski ada sedikit kekecewaan di matanya. “Aku tahu ini mendadak. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak bisa membayangkan hidup di sana tanpamu.”
Naya tersenyum kecil, tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, sebuah cahaya terang datang dari arah kanan mereka.
Lalu semuanya terjadi dalam hitungan detik.
Bunyi klakson panjang, suara ban yang berdecit di atas jalan basah, dan hantaman keras yang membuat dunia seakan berputar.
Raka tidak sempat menghindar.
Teriakan Naya tenggelam dalam suara kaca pecah dan logam yang remuk.
Lalu semuanya menjadi gelap.
Kembali ke Masa Sekarang
Naya tersentak dari lamunannya, napasnya memburu. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri.
Tiga tahun berlalu, tetapi rasa sakit itu masih terasa nyata.
Raka meninggal malam itu, tepat di tengah hujan yang seakan menangisi kepergiannya.
Dan sejak saat itu, Naya tidak pernah bisa melihat hujan dengan cara yang sama lagi.
Ia bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela, menempelkan tangannya ke kaca yang dingin. Di luar, lampu jalan memantulkan cahaya di atas genangan air, menciptakan bayangan yang bergetar pelan.
Seandainya malam itu tidak hujan…
Seandainya ia tidak ragu-ragu…
Seandainya Raka masih ada di sini…
Tapi hidup tidak pernah memberi kesempatan kedua.
Ia menyesap tehnya perlahan, mencoba menelan kepahitan yang terasa jauh lebih berat dari sekadar teh tanpa gula.
Saat itulah matanya tertuju pada kamera Damar yang tadi siang ia lihat di kafe.
Mengapa pria itu begitu terobsesi dengan hujan?
Dan mengapa tatapannya seakan menyimpan sesuatu yang familiar?
Naya tidak tahu bahwa jawabannya akan segera datang—dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.**
Bab 3: Di Antara Kenangan dan Harapan
Pagi itu, hujan sudah reda, menyisakan udara yang lebih sejuk dari biasanya. Matahari mulai muncul di balik awan kelabu, cahayanya menembus dedaunan basah di trotoar. Tapi bagi Naya, udara sejuk ini tetap tidak mampu menghapus rasa sesak yang tertinggal dari malam sebelumnya.
Kenangan tentang Raka masih menghantui pikirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu ia cintai bisa pergi begitu cepat? Dan mengapa setiap kali hujan turun, perasaan kehilangan itu selalu terasa lebih nyata?
Saat ia sibuk membersihkan meja di kafenya, bel pintu berbunyi. Naya menoleh dan menemukan sosok yang tidak asing.
Damar.
Pria itu masuk dengan langkah santai, kameranya masih tergantung di lehernya seperti kemarin. Kali ini, ia mengenakan kemeja denim yang sedikit kusut dan membawa buku kecil di tangannya.
“Pagi,” sapanya dengan senyum tipis.
Naya hanya mengangguk, sedikit canggung. Masih teringat percakapan mereka kemarin tentang hujan, dan bagaimana kata-kata Damar berhasil mengusik pikirannya.
“Biasa?” tanyanya, mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Kopi hitam, tanpa gula,” jawab Damar seperti kemarin.
Naya berbalik untuk menyiapkan pesanannya, tapi tiba-tiba suara Damar membuatnya berhenti.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Naya menoleh, bingung. “Apa?”
Damar membuka buku kecilnya dan menyodorkannya ke arah Naya. Dengan ragu, ia menerimanya dan melihat isi halaman pertama—sketsa sederhana dari seorang wanita yang berdiri di depan jendela, menatap hujan.
Itu… dirinya.
Naya menatap Damar dengan penuh tanya.
“Kau melukis ini?”
Damar mengangguk. “Aku tidak hanya memotret hujan. Aku juga menggambarnya.”
Naya membalik beberapa halaman berikutnya. Ada berbagai sketsa tentang hujan—seorang anak kecil yang bermain di bawah rintik gerimis, seorang pria tua yang duduk di bangku taman dengan payungnya, dan berbagai siluet manusia yang tampak murung menatap langit kelabu.
“Hujan selalu membawa cerita,” kata Damar pelan. “Dan aku suka menangkapnya, baik lewat kamera atau kertas.”
Naya menutup buku itu perlahan. “Tapi kenapa aku?” tanyanya.
Damar menghela napas sebelum menjawab, “Karena sejak pertama kali aku melihatmu, aku bisa merasakan sesuatu yang tidak banyak orang miliki.”
Naya menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Kehilangan.”
Jantungnya berdegup lebih kencang.
“Aku bisa melihatnya di matamu,” lanjut Damar. “Kau memandang hujan bukan dengan kagum, tapi dengan rasa takut. Seolah-olah setiap tetesnya membawa sesuatu yang ingin kau hindari.”
Naya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Damar tersenyum kecil. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, dan aku tidak akan memaksa untuk mengetahuinya. Tapi aku ingin kau tahu bahwa hujan tidak selalu tentang kehilangan.”
Naya menelan ludah. “Tapi bagi sebagian orang, hujan memang menyakitkan.”
Damar mengangguk, seakan memahami. “Tapi juga bagi sebagian orang, hujan membawa harapan.”
Naya tidak bisa menyangkal kata-kata itu, tapi ia juga belum siap untuk menerimanya.
Ketika ia menyerahkan cangkir kopi ke tangan Damar, pria itu menatapnya sebentar sebelum berkata, “Mungkin suatu hari nanti, kau akan melihat hujan dengan cara yang berbeda.”
Naya tidak menjawab, hanya menatap pria itu yang kini tengah menyeruput kopinya dengan santai.
Mungkin. Tapi tidak hari ini.
Atau mungkin… tidak pernah.**
Bab 4: Rahasia di Balik Kamera
Malam itu, Naya duduk di kamarnya dengan secangkir teh di tangannya. Hujan baru saja berhenti, tapi sisa-sisanya masih terlihat di jendela—tetesan air yang bergerak perlahan, menciptakan pola yang tidak beraturan. Ia menatapnya lama, pikirannya kembali pada percakapan dengan Damar siang tadi.
Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya penasaran. Cara ia berbicara tentang hujan, cara ia memandangnya dengan penuh makna, dan yang paling mengusik—sketsa dirinya yang ia temukan di buku Damar.
Mengapa ia melukisnya?
Dan mengapa ia mengatakan bahwa Naya memiliki “kehilangan” di matanya?
Pikirannya terus berputar hingga akhirnya ia tertidur dengan segelas teh yang sudah mendingin di sampingnya.
### *Keesokan Harinya*
Pagi itu, kafe baru saja buka ketika Damar kembali datang. Kali ini, ia membawa kamera dengan lensa yang lebih besar.
Naya yang sedang menyusun kue di etalase meliriknya sebentar. Ada sedikit keraguan dalam dirinya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahu yang semakin besar.
“Kau datang pagi sekali,” komentar Naya sambil menghampiri meja tempat Damar duduk.
Pria itu tersenyum tipis. “Pagi adalah waktu terbaik untuk memotret cahaya.”
Naya diam sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Boleh aku melihat kameramu?”
Damar tampak terkejut, tapi kemudian ia mengangguk dan menyerahkan kameranya.
Dengan hati-hati, Naya mengambilnya dan mulai melihat-lihat foto yang ada di dalamnya.
Ada banyak foto hujan—tetesan air di kaca jendela, siluet orang-orang yang berteduh, bayangan cahaya yang memantul di jalanan basah. Semua gambar itu terasa begitu hidup, seolah-olah Damar tidak hanya memotret pemandangan, tetapi juga emosi yang tersembunyi di baliknya.
Namun, saat ia terus menekan tombol untuk melihat foto berikutnya, jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat.
Di layar kamera, sebuah foto muncul.
Foto itu diambil tiga tahun lalu, di malam yang penuh hujan.
Foto dirinya dan Raka.
Naya menegang. Itu adalah malam kecelakaan Raka. Foto itu diambil dari kejauhan—mobil mereka yang berhenti di lampu merah, refleksi cahaya dari jalanan basah, dan tak jauh dari situ, sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Tangannya sedikit gemetar saat ia menoleh ke Damar.
“Kau… kau ada di sana malam itu?” tanyanya, suaranya bergetar.
Damar menatapnya lama sebelum mengangguk. “Aku ada di sana.”
Naya merasa dunia di sekelilingnya berputar. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?”
Damar menarik napas dalam. “Karena aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku tidak mengenalmu saat itu, tapi aku melihat semuanya.”
Matanya dipenuhi rasa bersalah saat ia melanjutkan, “Aku berada di seberang jalan, memotret hujan seperti biasa. Aku tidak tahu bahwa dalam hitungan detik, sesuatu yang mengerikan akan terjadi.”
Naya merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak pernah tahu bahwa ada seseorang yang menyaksikan malam terburuk dalam hidupnya.
“Aku tidak bisa melakukan apa pun,” lanjut Damar, suaranya lirih. “Aku hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan semuanya terjadi. Dan sejak malam itu, aku tidak pernah bisa melupakan apa yang kulihat.”
Naya menutup matanya, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh.
Semua ini terlalu banyak untuk diproses.
“Tapi kenapa kau terus memotret hujan?” tanyanya akhirnya.
Damar tersenyum pahit. “Karena sejak malam itu, aku ingin memahami hujan. Aku ingin menemukan sesuatu di dalamnya—mungkin penebusan, atau mungkin jawaban.”
Hening menyelimuti mereka.
Naya menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun lagi, rintik-rintiknya jatuh perlahan di atas jalanan.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hujan tidak hanya membawa kenangan buruk.
Tapi juga sebuah kisah yang belum selesai.**
Bab 5: Cinta yang Jatuh Bersama Hujan
Hujan turun dengan lembut sore itu, menari di atas aspal yang mulai gelap oleh air. Kafe milik Naya dipenuhi aroma kopi yang menghangatkan, tetapi bagi Naya sendiri, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa lebih berat.
Percakapan dengan Damar kemarin masih menghantui pikirannya.
Fakta bahwa pria itu ada di sana, di malam kecelakaan Raka, membuatnya merasa seolah-olah takdir memang mempertemukan mereka dengan cara yang tak terduga. Naya tidak tahu harus merasa marah, sedih, atau justru berterima kasih karena akhirnya ada seseorang yang mengerti mengapa ia selalu menghindari hujan.
Ia menatap jendela, melihat tetesan air yang jatuh perlahan, menciptakan irama yang menenangkan. Tapi kali ini, hujan tidak hanya mengingatkannya pada kehilangan—ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang perlahan tumbuh, meski ia sendiri enggan mengakuinya.
Damar.
Apa yang pria itu lihat dalam dirinya hingga ia terus berusaha mendekatinya?
Apa yang ia lihat dalam Damar yang membuatnya mulai merasa… nyaman?
Damar dan Kenangan yang Tak Pernah Hilang
Saat pintu kafe berbunyi, menandakan seseorang masuk, Naya sudah tahu siapa yang datang bahkan sebelum ia menoleh.
Damar berdiri di sana, kameranya tergantung di lehernya seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda. Lebih dalam. Lebih lembut.
“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya, menunjuk meja di dekat jendela.
Naya mengangguk tanpa bicara, tangannya sibuk mengeringkan gelas yang baru dicuci, mencoba mengalihkan perhatiannya dari degup jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
Damar duduk dan mulai membuka bukunya lagi. Sketsa hujan memenuhi halaman-halamannya, tetapi kali ini Naya bisa melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia melihat keindahan dalam setiap garis yang dibuat Damar, bagaimana pria itu menangkap emosi dalam setiap guratan pensilnya.
“Apa yang kau lihat dalam hujan?” tanya Naya akhirnya, memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sejak lama ingin ia ketahui.
Damar mengangkat wajahnya, tersenyum samar. “Dulu, aku hanya melihatnya sebagai sesuatu yang biasa. Tapi setelah malam itu, aku mulai melihatnya sebagai sesuatu yang lebih.”
Naya terdiam, membiarkan Damar melanjutkan.
“Hujan bisa menjadi saksi atas banyak hal. Kebahagiaan, kesedihan, perpisahan, bahkan cinta.”
Kata terakhir itu membuat Naya menahan napas.
Damar melanjutkan, “Setelah malam itu, aku sering datang ke tempat ini. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya merasa bahwa aku harus berada di sini.”
Naya menatapnya, sedikit bingung. “Kenapa?”
Damar menatapnya dalam, seolah mencari sesuatu di matanya sebelum akhirnya berkata, “Karena aku ingin tahu bagaimana kau bertahan.”
Hening menyelimuti mereka.
Naya tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada seseorang yang memerhatikannya sedalam itu. Ia selalu berpikir bahwa ia menjalani hari-harinya sendirian, menanggung kesedihannya tanpa ada yang benar-benar memahami.
Tapi Damar…
Pria ini telah melihatnya lebih dari siapa pun.
Cinta yang Jatuh Bersama Hujan
Hujan semakin deras di luar, menciptakan suara yang menenangkan di atap kafe. Damar meletakkan kameranya di atas meja, lalu menatap Naya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Aku tahu kau masih mencintainya,” kata Damar pelan, seolah membaca isi hati Naya.
Naya menunduk, tangannya menggenggam erat lap kain yang ada di tangannya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa mencintai lagi setelah kehilangan Raka.”
Damar mengangguk pelan, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Aku tidak meminta kau melupakan.”
Naya mengangkat wajahnya, menatap pria di depannya dengan penuh pertanyaan.
Damar tersenyum tipis. “Aku hanya ingin kau memberi ruang untuk sesuatu yang baru. Sesuatu yang mungkin berbeda, tapi tetap berharga.”
Jantung Naya berdegup lebih cepat.
Ia tidak pernah berpikir untuk membuka hatinya lagi. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang kenangan, takut melangkah maju karena merasa itu berarti mengkhianati Raka.
Tapi sekarang, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ada seseorang yang membuatnya ingin mencoba.
Mencoba untuk melihat hujan tanpa rasa sakit.
Mencoba untuk menerima bahwa kehilangan tidak selalu berarti akhir.
Mencoba untuk memberi dirinya kesempatan untuk mencintai lagi.
Damar tidak menuntut apa pun. Ia hanya ada di sana, menunggu dengan kesabaran yang tak pernah Naya temui sebelumnya.
Dan saat itu, di tengah hujan yang terus turun, Naya menyadari sesuatu.
Mungkin, cinta tidak selalu datang dengan cara yang sama.
Kadang, cinta jatuh bersama hujan—pelan, tak terduga, tetapi akhirnya menemukan jalannya sendiri.****
Prolog: Hujan, Kenangan, dan Pertemuan
Hujan pertama di bulan Juni selalu memiliki makna tersendiri bagi Naya. Bukan karena ia menyukai suara rintik hujan yang jatuh di atas atap atau aroma tanah basah yang memenuhi udara setelahnya. Justru sebaliknya, hujan di bulan Juni selalu mengingatkannya pada sesuatu yang ingin ia lupakan—malam itu. Malam di mana segalanya berubah, ketika hidupnya yang sempurna hancur dalam hitungan detik.
Tiga tahun telah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa sakitnya masih terasa nyata.
Sejak malam itu, hujan bukan lagi tentang kesejukan atau ketenangan. Hujan adalah luka. Hujan adalah kehilangan.
Dan hari ini, ketika hujan pertama di bulan Juni kembali turun, Naya masih belum bisa berdamai dengannya.
Sebuah Kenangan yang Tak Terhapuskan
Tiga tahun yang lalu, di malam yang sama, Naya duduk di dalam mobil bersama Raka. Mereka baru saja selesai makan malam untuk merayakan empat tahun kebersamaan mereka. Semuanya terasa begitu sempurna—sampai Raka mengatakan sesuatu yang mengubah segalanya.
“Aku diterima di program fellowship di London, Naya. Tiga tahun.”
Naya masih ingat bagaimana ia menatap Raka dengan terkejut, mencoba memahami kata-kata yang baru saja ia dengar.
“Tiga tahun?” ulangnya pelan.
Raka mengangguk, wajahnya penuh harap. “Aku ingin kau ikut denganku.”
Naya menelan ludah. Ini adalah kesempatan besar bagi Raka, tetapi bagi Naya, itu berarti meninggalkan segalanya—keluarganya, mimpinya, dan kafe kecil yang selama ini ia bangun.
“Aku… aku butuh waktu untuk memikirkan ini,” katanya akhirnya.
Raka mengangguk, meskipun Naya bisa melihat sedikit kekecewaan di matanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak bisa membayangkan hidup di sana tanpamu.”
Tapi sebelum Naya bisa berkata apa pun lagi, cahaya terang tiba-tiba datang dari arah kanan mereka.
Bunyi klakson panjang, suara ban yang berdecit di atas jalanan basah, lalu hantaman keras yang membuat dunia seakan berputar.
Raka tidak sempat menghindar.
Teriakan Naya tenggelam dalam suara kaca yang pecah dan logam yang remuk.
Dan dalam hitungan detik, hidupnya berubah selamanya.
Tiga Tahun Kemudian
Kafe kecil yang ia kelola menjadi tempat berlindungnya dari dunia luar. Ia menghabiskan hari-harinya menyusun cangkir, menyeduh kopi, dan melayani pelanggan yang datang dan pergi. Rutinitas ini memberinya kenyamanan, memberinya perasaan bahwa ia masih memiliki kendali atas sesuatu dalam hidupnya.
Tapi meskipun ia mencoba melupakan, bayangan masa lalu selalu kembali.
Dan hari ini, hujan di bulan Juni kembali turun, membawa serta kenangan yang selama ini ia coba kubur.
Ia berdiri di balik meja bar, menatap butiran air yang menempel di kaca jendela kafenya. Saat itulah bel pintu berbunyi, menandakan ada pelanggan yang masuk.
Naya menoleh, dan pandangannya bertemu dengan seorang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Ia tinggi, dengan rambut sedikit berantakan dan mata tajam yang seakan menyimpan banyak rahasia. Kamera tergantung di lehernya, dan ia tampak basah kuyup karena hujan.
Pria itu berjalan mendekat dan duduk di dekat jendela, tepat di kursi yang biasa ditempati Raka dulu.
Naya tidak tahu mengapa dadanya tiba-tiba terasa sesak.
Ia berjalan mendekat dan mencoba bersikap profesional. “Mau pesan apa?” tanyanya singkat.
Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan.
“Kopi hitam, tanpa gula,” jawabnya.
Naya mengangguk dan berbalik untuk membuat pesanannya. Tapi saat ia menuangkan kopi ke dalam cangkir, ia bisa merasakan tatapan pria itu masih tertuju padanya.
“Namamu Naya, kan?”
Tangannya sedikit gemetar saat mendengar namanya disebut oleh orang asing itu. Ia menoleh, menatap pria itu dengan alis terangkat.
“Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga.
Pria itu tersenyum tipis, lalu mengangkat kameranya. “Aku pernah melihatmu sebelumnya.”
Naya menelan ludah. “Di mana?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar dan berkata, “Di bawah hujan.”
Rahasia di Balik Kamera
Nama pria itu adalah Damar, seorang fotografer yang tampaknya memiliki ketertarikan aneh terhadap hujan. Setiap kali turun hujan, ia akan keluar dengan kameranya, memotret setiap tetesan, setiap refleksi, setiap bayangan yang diciptakan oleh air yang jatuh dari langit.
“Apa yang kau lihat dalam hujan?” tanya Naya suatu hari.
Damar tersenyum, menatap hujan yang turun di luar jendela. “Kehidupan. Kesedihan. Harapan.”
Naya mengernyit. “Harapan?”
Damar mengangguk. “Bagi sebagian orang, hujan adalah perpisahan. Tapi bagi sebagian yang lain, hujan adalah awal dari sesuatu yang baru.”
Naya tidak tahu bagaimana harus merespons. Baginya, hujan selalu membawa kehilangan.
Tapi semakin sering ia menghabiskan waktu dengan Damar, semakin ia menyadari bahwa pria itu menyimpan sesuatu.
Sampai akhirnya, suatu hari, ia melihat sesuatu di dalam kamera Damar yang membuatnya terkejut.
Sebuah foto.
Foto dirinya dan Raka, di malam kecelakaan itu.
Tangannya gemetar saat ia menatap gambar itu. Itu diambil dari kejauhan—mobil mereka, lampu jalan yang memantulkan cahaya di jalan basah, dan tak jauh dari sana, sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Ia menoleh ke Damar, matanya penuh dengan pertanyaan dan keterkejutan.
“Kau ada di sana malam itu?”
Damar terdiam sebelum akhirnya mengangguk. “Aku ada di sana.”
Naya merasa dadanya semakin sesak. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?”
Damar menatapnya dengan sorot mata penuh rasa bersalah. “Karena aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku tidak mengenalmu saat itu, tapi aku melihat semuanya.”
Naya merasa dunianya berputar. Ia selalu berpikir bahwa ia sendirian dalam penderitaan ini. Tapi ternyata, ada seseorang yang menyaksikan malam terburuk dalam hidupnya.
“Kau selalu memotret hujan,” kata Naya pelan. “Apakah itu caramu menebus sesuatu?”
Damar tersenyum pahit. “Mungkin. Aku selalu berpikir bahwa jika aku bisa menangkap sesuatu yang indah dalam hujan, aku bisa menemukan makna di balik malam itu.”
Naya menatapnya lama.
Untuk pertama kalinya, ia melihat hujan dengan cara yang berbeda.
Cinta yang Jatuh Bersama Hujan
Waktu berlalu, dan tanpa sadar, Naya mulai terbiasa dengan kehadiran Damar.
Pria itu tidak pernah memaksanya untuk melupakan, tidak pernah meminta lebih dari apa yang bisa Naya berikan. Ia hanya ada di sana, dengan kesabarannya, dengan tatapan matanya yang penuh pemahaman.
Hingga suatu hari, di tengah hujan yang turun lebih deras dari biasanya, Damar berkata, “Aku tahu kau masih mencintainya.”
Naya menatapnya, hatinya bergetar.
“Aku tidak meminta kau untuk melupakan,” lanjut Damar. “Aku hanya ingin kau memberi ruang untuk sesuatu yang baru.”
Dan saat itu, di tengah hujan yang membasahi dunia di luar sana, Naya menyadari sesuatu.
Mungkin, cinta tidak selalu datang dengan cara yang sama.
Kadang, cinta jatuh bersama hujan—pelan, tak terduga, tetapi akhirnya menemukan jalannya sendiri.***