• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

RAHASIA DI BALIK TOPENG

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

by SAME KADE
May 17, 2025
in Romansa
Reading Time: 28 mins read

Bab 1 – Pertemuan yang Tak Direncanakan

Hujan turun deras sore itu, mengguyur atap halte yang sudah mulai berkarat. Langit kelabu seakan mewakili isi hati Nara, yang duduk diam di ujung bangku panjang dengan jaket cokelat tipis dan rambut sedikit basah. Ia menatap kosong ke jalanan, menunggu hujan reda, atau mungkin menunggu lebih dari sekadar cuaca yang membaik.

Sore seperti ini bukan hal yang asing baginya. Sejak kecil, hujan telah menjadi sahabat yang setia—membasuh air mata, menutupi tangis, dan menyamarkan sepi. Namun, hari ini, hujan terasa berbeda. Lebih berat, lebih tajam menusuk dada, seakan membawa beban yang belum selesai dicerna oleh hatinya.

“Numpang duduk, ya,” suara seorang pria memecah lamunan Nara.

Nara menoleh cepat, sedikit terkejut. Seorang pria dengan ransel besar dan rambut acak-acakan berdiri di depannya, mengenakan kaus putih dan jaket hitam yang sudah basah di bagian bahu.

“Silakan,” jawab Nara singkat, sedikit menggeser tubuhnya.

Pria itu duduk, menghela napas panjang, lalu tersenyum meski hujan masih deras. “Jakarta kalau hujan, rasanya semua jadi lambat, ya?”

Nara hanya mengangguk. Ia bukan tipe yang mudah membuka percakapan, apalagi dengan orang asing. Tapi pria itu, entah kenapa, tidak tampak asing. Bukan karena ia mengenalnya, melainkan karena aura kehangatan yang ia bawa.

“Nama saya Raka,” katanya, tanpa menoleh. Ia memandangi hujan dengan tatapan tenang.

Nara sempat ragu, tapi akhirnya menjawab, “Nara.”

“Hm, nama yang manis,” ujar Raka sambil tersenyum. “Kamu sering naik bus di halte ini?”

Nara menoleh, tatapannya penuh tanya. “Kenapa?”

“Ah, bukan apa-apa. Aku baru pindah ke sekitar sini. Masih belajar mengenal suasana. Tapi kalau sering ketemu kamu, mungkin hari-hari di sini nggak akan terasa sepi,” katanya sambil terkekeh pelan.

Nara merasa pipinya memanas. Entah karena malu, atau karena dadanya baru saja merasakan sensasi aneh yang tak bisa dijelaskan. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya yang sejak tadi tidak disentuh.

Raka tidak berbicara lagi. Ia hanya duduk di sana, menatap hujan, membiarkan keheningan menggantung. Tapi bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang damai, seperti hujan yang tak lagi menakutkan, melainkan menenangkan.

Lima belas menit berlalu. Hujan mulai mereda, menyisakan rintik yang jatuh lembut di atap halte.

“Kayaknya sebentar lagi reda,” kata Raka.

Nara mengangguk. Ia hendak berdiri, tapi Raka lebih dulu berdiri dan membentangkan payung biru tua.

“Kamu nggak bawa payung?” tanya Raka.

Nara menggeleng. Ia memang tidak membawa apa-apa, selain tas kecil dan jaket tipis. Ia terburu-buru keluar karena ingin menjauh dari keributan rumah yang selalu membekas di telinga.

“Yuk, bareng. Aku antar sampai halte depan. Ada ojek online biasanya nunggu di sana,” tawar Raka sambil memiringkan payung ke arah Nara.

Untuk sesaat, Nara ragu. Tapi ia tahu, menolak akan membuatnya berjalan sendirian di tengah sisa hujan, dan entah kenapa… ia tidak ingin sendiri sore ini.

Mereka berjalan beriringan, payung kecil memaksa mereka berjalan dekat. Aroma hujan di udara bercampur dengan aroma tubuh Raka yang segar, membuat jantung Nara berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

“Kamu suka hujan?” tanya Raka tiba-tiba.

Nara menoleh. “Suka. Tapi… kadang juga benci.”

“Kenapa?”

“Hujan itu… suka datang saat aku sedang ingin melupakan sesuatu,” jawabnya pelan.

Raka tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, seakan memahami jawaban itu tanpa perlu bertanya lebih lanjut.

Sesampainya di halte depan, Raka membuka aplikasi ojek daring di ponselnya dan memesankan kendaraan untuk Nara. “Udah, aku yang pesan. Nanti kamu bisa transfer,” katanya cepat.

Nara ingin menolak, tapi bibirnya lebih memilih diam. Ia hanya mengangguk dan menerima perhatian kecil itu tanpa perlawanan.

Sebelum ia naik ke motor yang datang beberapa menit kemudian, Raka berkata, “Senang bisa ketemu kamu hari ini, Nara. Semoga bukan pertemuan terakhir.”

Nara menatapnya sejenak. Hujan masih rintik, tapi jiwanya terasa lebih tenang.

“Semoga,” jawabnya.

Dan saat motor melaju meninggalkan halte, Nara tahu… sore itu bukan pertemuan biasa. Mungkin, itu adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

Bab 2 – Langkah Kecil yang Mendekatkan

Pagi itu, langit masih menyisakan jejak kelabu dari hujan semalam. Daun-daun masih basah, dan jalanan menyimpan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari yang baru saja muncul malu-malu dari balik awan. Nara berdiri di depan cermin, merapikan rambut panjangnya yang baru dikeringkan setengah hati. Matanya menatap bayangannya sendiri, mencoba menemukan sisa semangat yang mungkin tertinggal dari hari sebelumnya.

Pertemuan dengan Raka sore kemarin masih terpatri jelas di kepalanya. Bukan karena obrolan mereka yang mendalam—karena memang tak banyak yang dibicarakan—melainkan karena perasaan yang muncul tiba-tiba, yang tak bisa dijelaskan. Ada kehangatan yang menempel, seperti aroma hujan yang tinggal lama di jaket setelah reda.

Nara menggigit bibir bawahnya. Ia bahkan tak tahu mengapa nama itu begitu melekat dalam pikirannya. Raka. Seorang asing yang muncul di sela rinai hujan, dan entah bagaimana membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Jangan ngelamun terus, Nar. Telat nanti.” Suara ibu dari luar kamar membuyarkan lamunannya.

Nara buru-buru mengambil tas dan berjalan keluar kamar. Ia masih harus menjalani hari seperti biasa—bekerja, bertemu klien, dan menghadapi kemacetan ibu kota yang seolah tak pernah tidur. Tapi di antara rutinitas yang sudah hapal luar kepala itu, ada satu perubahan kecil: ia menantikan halte yang sama, tempat pertemuannya dengan Raka kemarin.

Sore hari, hujan kembali turun, meski tak sederas kemarin. Rintiknya halus, seperti bisikan yang membelai wajah. Nara berdiri di halte yang sama, dengan jas hujan tipis yang menggantung di tangan. Ia sengaja tidak membuka payung, berharap langit tidak sepenuhnya muram.

Dan seperti menjawab doa dalam diam, suara yang familiar kembali terdengar di telinganya.

“Nara?”

Nara menoleh cepat. Raka berdiri di sana, masih dengan jaket hitam yang sama, namun kali ini dengan senyum yang lebih lebar dari kemarin.

“Kamu sering banget ya di halte ini?” tanya Raka sambil menghampiri.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Nara, tersenyum kecil.

Raka duduk di sampingnya tanpa perlu diundang. “Aku juga mulai suka tempat ini. Mungkin karena kamu ada di sini.”

Ucapan itu membuat pipi Nara bersemu. Ia menoleh ke arah lain, berusaha menutupi rasa kikuk yang mendadak datang.

“Aku tahu ini mendadak,” lanjut Raka. “Tapi, kamu keberatan kalau besok sore kita ketemu lagi? Nggak harus di halte ini, bisa di mana saja. Aku ingin mengenalmu lebih dari sekadar pertemuan di tengah hujan.”

Nara terdiam. Dalam hidupnya yang penuh kehati-hatian, ajakan seperti itu bukan hal yang mudah untuk disambut. Namun ada sesuatu dalam tatapan Raka yang membuatnya ingin menjawab “iya.” Bukan karena ingin bermain hati, tapi karena ingin merasakan hangatnya kebersamaan setelah sekian lama terjebak dalam kesendirian yang melelahkan.

“Baiklah. Tapi jangan terlalu berharap,” jawab Nara dengan senyum tipis.

Raka terkekeh. “Aku nggak berharap banyak. Cukup bisa duduk bersamamu lagi sudah lebih dari cukup.”

Dalam langkah kecil itulah, sebuah jarak mulai menyempit. Dua orang asing yang dipertemukan oleh hujan mulai merangkai sesuatu—mungkin bukan cinta seketika, tapi sebuah kenyamanan yang perlahan tumbuh. Hujan bukan lagi hanya tentang kesedihan bagi Nara. Kini, hujan juga membawa harapan, dan Raka hadir sebagai bagian dari itu.

Sebelum mereka berpisah, Raka mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah gantungan kunci kecil berbentuk tetesan hujan.

“Aku nemu ini tadi di toko buku dekat kantor. Entah kenapa, aku langsung kepikiran kamu,” katanya sambil menyerahkannya pada Nara.

Nara menerima gantungan kunci itu dengan hati yang hangat. Benda kecil itu mungkin tak bernilai mahal, tapi perhatian yang menyertainya terasa lebih berharga daripada apapun.

“Terima kasih,” bisiknya pelan.

Dan di bawah langit yang masih basah, dua hati mulai berjalan berdampingan. Langkah mereka kecil, tapi pasti. Mungkin itulah cara semesta bekerja—mempertemukan dua jiwa yang tak mencari, tapi saling menemukan.

Bab 3 – Percakapan di Bawah Payung

Hujan turun dengan irama yang tenang sore itu. Butirannya tidak lagi deras seperti kemarin, tapi cukup untuk membuat orang memilih berteduh atau membuka payung. Di salah satu sudut taman kota yang mulai sepi, dua orang berdiri berdampingan, hanya berlindung di bawah satu payung biru tua yang tampak sederhana namun menyatukan mereka dalam ruang kecil yang hangat.

Nara menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang basah dan dedaunan yang tertunduk karena air. Sementara Raka, yang berdiri di sebelah kirinya, tampak sesekali melirik wajah Nara yang diterpa cahaya senja dari sela mendung.

“Lucu ya,” kata Raka pelan, memecah keheningan. “Kita baru kenal beberapa hari, tapi rasanya… kayak udah pernah ngobrol sebelumnya.”

Nara menoleh, menatap Raka sekilas. “Mungkin karena kita sering memikirkan hal yang sama. Hujan, misalnya.”

Raka tersenyum. “Hujan memang romantis, tapi juga bisa jadi saksi kesedihan.”

“Setuju,” gumam Nara. “Tapi akhir-akhir ini, hujan terasa agak berbeda.”

“Berbeda bagaimana?”

“Lebih… menenangkan. Dulu setiap hujan datang, aku merasa kehilangan. Tapi sekarang, rasanya seperti ada yang menenangkan di balik setiap rintiknya.”

Raka mengangguk pelan. “Mungkin karena kali ini kamu nggak sendiri saat hujan turun.”

Ucapan itu membuat dada Nara menghangat. Ia tahu betul bahwa dirinya bukan tipe yang mudah terbuka pada orang baru. Tapi bersama Raka, segalanya terasa lebih ringan. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Hanya percakapan-percakapan sederhana yang perlahan membuka pintu-pintu yang selama ini ia kunci rapat.

“Kalau kamu sendiri,” tanya Nara, “kenapa selalu berdiri di halte itu? Apakah kamu juga punya cerita dengan hujan?”

Raka menatap jauh ke depan, sejenak terdiam sebelum menjawab. “Waktu kecil, aku suka main hujan sama adikku. Tapi setelah dia sakit dan… pergi, aku mulai membenci hujan. Rasanya seperti pengingat yang tak pernah usai.”

Nara mengalihkan pandangannya, merasa tak enak telah menanyakan sesuatu yang begitu pribadi. “Maaf, aku tidak bermaksud—”

“Tidak apa-apa,” potong Raka lembut. “Sudah lama aku menyimpannya sendiri. Tapi entah kenapa, hari itu saat kita ketemu, aku merasa… hujan nggak lagi menyakitkan.”

Keduanya terdiam lagi. Hanya suara hujan dan desah angin yang mengisi kekosongan. Tapi keheningan itu bukanlah kekosongan yang canggung. Justru terasa seperti ruang tenang di mana dua hati bisa saling mendengar meski tanpa kata.

Nara memutar gagang payung sedikit ke arah Raka agar tidak terkena rintik. “Aku kadang takut untuk merasa dekat dengan orang,” ucapnya pelan. “Karena setiap kali mulai nyaman, selalu saja ada yang pergi.”

Raka mengangguk pelan. “Aku juga pernah merasa begitu. Tapi mungkin, yang membuat kita terluka bukan karena mereka pergi… melainkan karena kita tidak siap saat mereka datang.”

Nara menatap Raka. Mata pria itu tidak sekadar melihat, tapi seolah memahami. Seperti langit yang tahu kapan harus hujan dan kapan harus mereda.

Di bawah payung itu, waktu seakan berjalan lebih lambat. Suara hujan menjadi musik latar yang menyatukan perasaan mereka. Mungkin belum cinta, mungkin belum janji, tapi percakapan itu adalah langkah kecil menuju pemahaman.

“Kalau suatu hari nanti kita berhenti bicara…” Nara berkata lirih, “apakah hujan akan kembali menyakitkan bagimu?”

Raka menoleh, menatap wajah Nara yang kini basah oleh rintik-rintik nakal yang menyusup dari samping payung.

“Kalau suatu hari nanti kita berhenti bicara, aku harap bukan karena kita saling menjauh, tapi karena kita sudah saling mengerti tanpa perlu banyak kata.”

Kalimat itu membuat dada Nara sesak dalam arti yang baik. Ia hanya bisa tersenyum, menatap hujan yang terus turun.

Saat payung itu mulai bergerak, mengikuti langkah mereka yang meninggalkan taman, ada sesuatu yang berubah dalam diam. Hujan masih sama, tapi maknanya kini berbeda.

Dan di bawah payung biru tua itu, dua orang melanjutkan langkah mereka—menembus rinai, menantang kenangan, dan menciptakan cerita baru satu percakapan demi satu percakapan.

Bab 4 – Kenangan yang Masih Basah

Langit masih mendung ketika Nara membuka jendela kamarnya pagi itu. Sisa hujan malam sebelumnya masih menggantung di daun-daun pohon flamboyan yang tumbuh di halaman belakang rumah. Udara yang menyusup masuk membawa aroma tanah basah yang akrab, aroma yang selalu membangkitkan ingatannya tentang masa lalu.

Dia menatap ke luar, matanya kosong namun pikirannya penuh. Percakapan di bawah payung bersama Raka beberapa hari lalu masih terngiang jelas. Ada sesuatu yang belum bisa ia definisikan, semacam kehangatan samar yang tertinggal dalam hatinya. Namun, di sisi lain, rasa takut juga ikut mengintai. Ia takut terlalu dalam, takut berharap, takut kecewa—seperti dulu.

Nara melangkah ke meja belajar, membuka laci paling dalam, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Kotak itu sudah lama tak dibuka, hampir berdebu, tapi masih utuh. Di dalamnya, ada beberapa foto lama, tiket bioskop yang sudah memudar, dan selembar surat tulisan tangan yang kini warnanya mulai menguning. Semuanya adalah peninggalan dari seseorang yang pernah mengisi ruang hatinya, seseorang yang juga pernah membuatnya jatuh cinta di bawah hujan—lalu pergi tanpa penjelasan.

Sambil memegang foto itu, Nara duduk di tepi ranjang. Di sana ada gambar dirinya bersama Rendy—mantan kekasihnya yang menghilang tiga tahun lalu. Mereka berdua tersenyum di bawah langit abu-abu, payung merah di tangan Rendy tampak seperti simbol perlindungan yang tak pernah benar-benar ada.

“Kenapa kamu pergi, Ren?” bisik Nara lirih, suara yang nyaris tenggelam oleh desah angin dari jendela. “Kenapa kamu tinggalkan semua ini tanpa kata?”

Kenangan itu memang masih basah. Luka yang belum kering sepenuhnya. Ia telah berusaha menutupinya dengan kesibukan, dengan jarak, dan dengan keengganan membuka hati kembali. Namun kehadiran Raka—dengan caranya yang lembut, tatapannya yang teduh, dan kalimat-kalimatnya yang penuh makna—membuat pertahanan Nara mulai runtuh sedikit demi sedikit.

Hatinya bimbang. Ia tak ingin membandingkan Raka dengan Rendy. Tapi bagaimanapun, masa lalu yang belum selesai selalu punya cara untuk mencampuri masa kini. Nara merasa seperti berada di antara dua musim—hujan yang telah berlalu, dan gerimis yang baru datang.

Di kafe tempat biasa ia menulis, Nara duduk di dekat jendela, menatap jalanan yang masih basah. Ia membuka laptop, berusaha melanjutkan naskah novelnya, tapi pikirannya terus melayang. Kata-kata sulit mengalir, seolah pikirannya menolak untuk fokus. Ia kembali menutup laptop dan memilih menulis di buku catatan kecil yang selalu ia bawa.

“Masa lalu bukan untuk dilupakan, tapi untuk dipahami. Agar ketika yang baru datang, kita bisa menyambutnya tanpa luka yang sama.”
Ia menulis kalimat itu sambil menarik napas panjang. Lalu menatap ke luar, ke arah seseorang yang baru saja datang dan berdiri di depan kafe—Raka.

Dia mengenakan jaket abu-abu dan memegang dua gelas kopi dalam kardus bawaan. Saat matanya bertemu dengan Nara, ia tersenyum. Senyum yang jujur, tanpa beban. Nara membalas dengan anggukan pelan, dan dalam hitungan detik, lelaki itu masuk dan duduk di hadapannya.

“Untuk kamu,” kata Raka, menyerahkan segelas kopi. “Kopi pahit kesukaanmu, tanpa gula, tapi dengan harapan.”

Nara terkekeh kecil, lalu menerima gelas itu. “Kamu makin pandai merangkai kalimat ya.”

“Biar bisa menyaingi penulis yang duduk di depanku.”

Hening sesaat. Tapi kali ini tidak canggung. Raka menatap Nara dengan mata yang tak menghakimi. Nara membalas tatapan itu, lalu berkata lirih, “Raka, kalau aku bilang… aku masih menyimpan kenangan yang belum tuntas, kamu akan pergi?”

Raka menggeleng pelan. “Kenanganmu adalah bagian dari dirimu. Dan aku ingin mengenalmu, lengkap—termasuk luka-lukamu.”

Kata-kata itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Menyentuh, menenangkan, menyadarkan bahwa mungkin, tidak semua orang datang untuk menyakiti. Beberapa datang untuk menemani menyembuhkan.

Nara menatap keluar jendela lagi. Hujan mulai turun perlahan. Namun kali ini, ia tidak merasa sendiri. Di hadapannya, duduk seseorang yang bersedia menunggu meski hati belum sepenuhnya terbuka. Dan di luar sana, kenangan yang masih basah mulai perlahan mengering, digantikan oleh harapan baru yang tumbuh satu kata, satu langkah, dan satu payung bersama.

Bab 5 – Getar yang Tak Bisa Dijelaskan

Langit sore itu berwarna jingga tembaga, menggantung rendah seakan hendak jatuh menimpa bumi. Suasana kampus perlahan mulai lengang. Hanya derap kaki yang sesekali terdengar memecah keheningan. Di sudut dekat taman kampus, Nara berdiri ragu sambil menatap layar ponselnya. Satu pesan dari Raka sudah terbaca sejak dua jam lalu:

“Ada festival musik di taman kota malam ini. Datang, ya. Aku tunggu.”

Nara menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, meski ia tak tahu pasti mengapa. Ia bukan tipe yang mudah tergerak oleh ajakan spontan, apalagi ke tempat ramai. Tapi entah mengapa, ajakan dari Raka terasa… berbeda.

Lampu-lampu taman kota menyala temaram, menghidupkan suasana yang penuh tawa dan musik. Aroma jajanan malam bercampur dengan udara lembab setelah hujan sore tadi, menciptakan suasana yang hangat sekaligus nostalgik. Di tengah kerumunan, Raka berdiri dengan jaket hitam dan senyum lebar yang langsung menghangatkan dada Nara saat melihatnya.

“Kukira kamu nggak akan datang,” ujar Raka sambil menyodorkan sebotol air mineral.

“Aku pun nggak yakin akan datang,” balas Nara dengan senyum ragu, namun tatapannya tak bisa lepas dari kerlip lampu di sekeliling mereka.

Mereka berjalan menyusuri deretan booth makanan dan panggung musik. Raka sesekali menyapa pengunjung lain dengan ramah, sementara Nara hanya mengangguk pelan. Meskipun begitu, ia tak merasa asing. Justru, ada ketenangan yang perlahan tumbuh dalam diamnya.

“Kamu tahu,” kata Raka tiba-tiba, memecah kesunyian di antara suara musik, “aku suka suasana seperti ini. Ramai, hidup, penuh warna.”

Nara hanya tersenyum tipis. “Aku lebih suka tempat sepi dan tenang. Tapi… hari ini entah kenapa tidak terasa terlalu ramai.”

Raka menoleh, menatapnya penuh arti. “Mungkin karena kamu datang bukan untuk suasananya, tapi untuk seseorang yang menunggumu di sana.”

Kalimat itu menghantam perasaan Nara lebih dalam dari yang ia duga. Ia menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Raka tak melanjutkan kata-katanya, hanya menyunggingkan senyum kecil, lalu menunjuk ke arah tenda pertunjukan seni.

Mereka duduk berdampingan di antara orang-orang asing. Lampu panggung redup, suara gitar akustik mulai terdengar. Seorang penyanyi membawakan lagu tentang kehilangan dan harapan. Saat bait-bait lembut mengalun, Nara memejamkan mata sejenak, membiarkan musik menyentuh bagian terdalam dirinya.

Tanpa sadar, jari-jarinya dan jari-jari Raka yang diletakkan di sisi yang sama perlahan bersentuhan. Hanya seujung kulit. Tapi dari sentuhan kecil itu, ada arus hangat yang menjalar ke seluruh tubuh Nara. Ia terkejut oleh sensasi itu—bukan karena tak mengenalnya, melainkan karena ia tak siap.

Saat Raka perlahan mencoba menggenggam tangannya, Nara langsung menarik tangannya. Refleks. Dingin. Tiba-tiba.

Raka menoleh, tampak kebingungan dan sedikit tersinggung. “Maaf… aku terlalu cepat, ya?”

Nara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang rasa bersalah yang mendadak muncul. “Bukan begitu… Aku hanya… belum siap.”

Hening mendadak turun di antara mereka. Musik masih mengalun, tawa masih terdengar dari kejauhan, tapi di antara dua hati itu, ada jarak yang baru saja terbentuk.

“Aku paham,” ujar Raka pelan, menatap ke depan. “Aku nggak akan memaksamu, Nara. Aku cuma ingin kamu tahu… kehadiranmu itu berarti buatku.”

Kata-kata itu menusuk seperti hujan pertama setelah musim kering. Lembut, namun menghunjam. Nara menatap sosok Raka di sampingnya—hangat, tulus, dan sabar. Hatinya terasa kacau. Ada getaran yang tak bisa dijelaskan. Rasa nyaman yang menakutkan. Rasa sayang yang belum sempat tumbuh, tapi sudah membuatnya ingin berlari.

Malam itu, saat kembali ke kamar, Nara duduk di dekat jendela. Hujan gerimis kembali turun. Ia menatap tetes-tetes yang membasahi kaca, mengingat genggaman yang belum sempat terjadi.

Dalam dirinya, ada dua suara yang bersaing—satu berkata untuk membuka hati, yang lain memintanya tetap waspada.

Namun di tengah keraguan itu, satu hal pasti: untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan.

Sesuatu yang membuat dadanya bergetar.

Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi nyata dalam setiap detaknya.

Sesuatu yang mungkin… adalah awal dari cinta.

Bab 6 – Jarak yang Mulai Tumbuh

Sejak malam festival itu, ada sesuatu yang berubah.

Bukan pada Raka, tetapi pada Nara. Seperti gerimis yang tak terdengar tapi membasahi perlahan, jarak antara keduanya tumbuh diam-diam. Tak kentara, namun nyata. Raka tetap mengirim pesan seperti biasa, tetap menunggu di halte dengan kopi hangat di tangan, tetap menjadi dirinya yang hangat dan terbuka. Namun Nara tak lagi menjawab secepat dulu. Bahkan kadang hanya membaca tanpa membalas.

Di kelas, ia lebih sering duduk di barisan paling belakang. Ketika Raka mencarinya dengan tatapan bertanya, Nara pura-pura sibuk membuka catatan. Saat Raka mengajak makan siang, ia berdalih harus mengerjakan tugas, meski sebenarnya hanya duduk diam di perpustakaan, menatap hujan di balik jendela.

Di dalam hatinya, perang sedang terjadi.

Raka terlalu dekat. Terlalu cepat. Terlalu hangat. Dan itu menakutkan. Nara belum siap kehilangan lagi. Ia belum pulih sepenuhnya dari luka yang dulu. Dan Raka—dengan segala kebaikan dan ketulusannya—hanya membuatnya merasa semakin rapuh, seakan dinding yang telah ia bangun selama bertahun-tahun bisa runtuh kapan saja.

Ia takut. Bukan pada Raka. Tapi pada dirinya sendiri.

“Kenapa kamu berubah, Nar?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Raka suatu sore di depan perpustakaan. Suaranya tak tinggi, tapi cukup untuk membuat Nara berhenti melangkah. Ia menoleh, menatap mata Raka yang terlihat letih namun penuh kejujuran.

“Aku nggak berubah,” jawab Nara pelan, meski dalam hati ia tahu itu dusta.

Raka menghela napas. “Kalau memang aku salah waktu itu… aku minta maaf. Tapi tolong, jangan buat aku merasa seperti orang asing.”

Nara menunduk. Angin sore meniup rambutnya yang tergerai, tapi ia tak peduli. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.

“Aku cuma… butuh waktu,” bisiknya nyaris tak terdengar.

Raka menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk. “Kalau itu yang kamu butuhkan, aku akan memberimu waktu. Tapi jangan larikan diri dariku, Nara. Aku cuma ingin kamu bahagia, meskipun itu bukan bersamaku.”

Kalimat itu menancap seperti duri di dada Nara. Ia ingin menjelaskan. Ingin berteriak bahwa ini bukan tentang tidak ingin bersama. Tapi tentang ketakutan yang belum reda. Tentang luka yang belum sembuh.

Namun yang keluar dari bibirnya hanya satu kata: “Maaf.”

Dan itu cukup membuat Raka tersenyum getir. Ia melangkah pergi, meninggalkan Nara yang tetap berdiri mematung di tempat.

Beberapa hari berikutnya, Nara menghindar lebih dalam. Ia mematikan notifikasi pesan. Ia tidak datang ke kantin tempat biasa mereka duduk bersama. Bahkan ketika melihat Raka dari kejauhan, ia memilih jalan memutar. Ada rasa bersalah yang membuncah, tapi juga ada ketenangan semu karena merasa “aman” di balik jarak itu.

Tapi benarkah ia merasa aman?

Malam-malamnya kini terasa lebih sunyi. Musik yang dulu menemani jadi terasa hambar. Buku-buku tak lagi menarik dibaca. Ia sering terbangun tengah malam, hanya untuk menatap langit-langit kamar sambil bertanya: Apakah aku sedang melukai seseorang yang sebenarnya ingin menyembuhkanku?

Dan setiap kali hujan turun, bayangan Raka muncul lagi. Wajahnya. Senyumnya. Cara ia menatap dengan mata yang penuh pengertian. Dan Nara mulai merindukannya—perlahan, tapi pasti.

Namun ia belum punya keberanian untuk kembali.

Suatu siang, saat Nara sedang duduk di taman kampus, seorang sahabatnya, Ayu, menghampiri. Tanpa basa-basi, Ayu duduk dan berkata pelan, “Kamu yakin nggak salah memperlakukan dia?”

Nara menoleh cepat. “Aku nggak… memperlakukan dia buruk.”

“Tapi kamu juga nggak memberi kejelasan. Raka bukan tipe cowok yang gampang nyerah, Nar. Tapi dia juga punya perasaan.”

Kata-kata itu menamparnya. Nara terdiam. Lama.

“Aku takut, Yu,” bisiknya lirih.

Ayu menggenggam tangannya. “Takut itu wajar. Tapi jangan sampai kamu menyesal hanya karena kamu terlalu sibuk menyelamatkan diri, sampai lupa siapa yang berusaha menyelamatkanmu.”

Nara tak menjawab. Tapi saat langit sore itu mulai mendung, dan hujan gerimis turun lagi, hatinya mulai terusik. Ada yang perlahan mencair. Mungkin bukan keberaniannya. Tapi setidaknya, ia mulai mengakui—ia tidak bisa terus seperti ini.

Dan di kejauhan, di tempat yang sama di mana mereka pertama kali berbagi tawa, Raka duduk sendirian, menatap langit yang menangis pelan.

Tanpa tahu, bahwa seseorang sedang berjuang dalam diam untuk kembali mendekat—meski jarak sudah terlanjur tumbuh.

Namun cinta, seperti hujan, selalu punya cara untuk kembali jatuh di tempat yang tepat.

Bab 7 – Rahasia yang Tak Pernah Diungkap

Senja mulai menyelimuti kota dengan rona oranye keemasan yang redup. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Nara duduk di hadapan Ayu, sahabatnya sejak lama. Wajah Nara tampak kusut, matanya sembab—tanda ia baru saja menangis. Gelas kopi di depannya dibiarkan dingin tanpa disentuh.

Ayu memandangnya penuh kekhawatiran. “Nara, kamu harus cerita. Apa sebenarnya yang membuatmu begitu tertutup? Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”

Nara menunduk, menekan tangannya di atas meja seolah berusaha menahan getar yang ada di dadanya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka suara.

“Aku… aku nggak pernah bilang ke siapa-siapa, bahkan ke keluarga,” katanya pelan. “Tentang adikku, Rafi.”

Ayu mengangguk, memberi ruang bagi Nara untuk melanjutkan.

“Rafi meninggal… saat hujan turun deras enam tahun lalu. Hari itu, seharusnya menjadi hari bahagia—hari ulang tahunku. Tapi semuanya berubah. Aku merasa seolah-olah hujan membawa serta segala kesedihan dan kehilangan yang tak pernah selesai.”

Nara mengusap air mata yang mengalir perlahan. “Rafi itu lebih dari sekadar adik bagiku. Dia sahabat terbaik, teman bermain, dan juga pelindungku waktu itu. Aku merasa sangat bersalah karena aku yang mengajak dia keluar rumah saat hujan mulai turun. Aku seharusnya menahannya, tapi aku terlalu egois.”

Ayu meraih tangan Nara, menggenggamnya erat. “Itu bukan salahmu, Nar. Cuaca dan keadaan di luar kendalimu.”

“Tapi aku yang bertanggung jawab. Aku yang membuatnya pergi dan tak pernah kembali,” suara Nara bergetar. “Aku menyimpan semua itu sendiri. Aku takut jika aku bilang ke orang lain, mereka akan melihatku berbeda. Sebagai seseorang yang ceroboh, yang kehilangan adik hanya karena satu keputusan bodoh.”

Suasana menjadi hening, hanya terdengar denting sendok dari meja tetangga dan suara musik lembut dari speaker kafe. Nara menghela napas, membiarkan luka itu sedikit terbuka.

“Makanya, aku sulit percaya pada orang lain, termasuk Raka. Aku takut lagi kehilangan seseorang yang kuanggap penting,” lanjutnya. “Raka itu… baik, terlalu baik. Aku takut dia juga akan pergi suatu hari nanti.”

Ayu mengangguk, penuh pengertian. “Jadi itulah alasan kamu menjauh? Karena takut terluka?”

Nara mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa.

Malam itu, setelah kembali ke kamar, Nara duduk di meja belajarnya. Di tangannya, sebuah foto lama yang sudah agak pudar. Foto dirinya bersama Rafi, tertawa di tengah hujan dengan payung warna-warni. Senyum mereka terlihat cerah, tanpa beban.

Ia menatap foto itu lama, lalu mulai menulis di buku hariannya:

“Rafi, aku tahu kamu tak pernah ingin aku bersedih selama ini. Aku tahu kamu ingin aku bahagia. Tapi aku belum bisa melepaskan rasa bersalah ini. Aku takut, takut kehilangan orang-orang yang kucintai. Tapi aku ingin belajar percaya lagi. Aku ingin berani membuka hatiku.”

Air matanya jatuh di atas halaman yang baru saja ia tulis. Ia menutup buku hariannya dengan pelan, membiarkan hujan di luar menjadi saksi betapa ia perlahan mulai menerima luka itu.

Keesokan harinya, saat Raka mengirim pesan seperti biasa, Nara tak langsung membalas. Namun malam harinya, ia duduk di depan layar ponselnya, melihat kata-kata Raka yang sederhana tapi penuh makna:

“Aku di sini. Jika kau ingin bercerita, aku akan mendengar.”

Nara tersenyum tipis. Ada harapan kecil yang mulai tumbuh di hatinya. Mungkin, bukan hanya hujan yang bisa membersihkan luka lama. Mungkin, kehadiran seseorang yang tulus juga bisa menjadi pelita dalam gelap.

Bab 8 – Surat dari Masa Lalu

Malam itu, hujan turun dengan ritme yang lembut namun konsisten, seperti irama yang mengajak jiwa untuk melayang ke kenangan lama. Di sebuah sudut perpustakaan kampus yang mulai sepi, Raka duduk termenung dengan sebuah buku tebal terbuka di depannya. Namun pandangannya tidak tertuju pada halaman-halaman itu, melainkan pada secarik kertas yang ditemukan di antara lembar-lembar buku tersebut.

Buku itu adalah milik Nara, yang secara tak sengaja tertinggal saat mereka belajar bersama beberapa hari yang lalu. Raka menemukan secarik surat yang terselip di antara halaman, dan ia merasa harus membacanya. Dengan hati-hati, ia membuka surat itu, yang tulisannya rapi namun penuh getar.

Surat itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri.

“Untuk diriku yang masih rapuh,
Aku tahu kau lelah berlari dari bayang-bayang masa lalu.
Aku tahu hujan selalu membawa luka yang belum sembuh.
Tapi ingatlah, kau bukan sendiri.
Rafi mungkin telah pergi, tapi cintanya masih hidup dalam tiap tetes hujan yang jatuh.
Jangan biarkan kesedihan membelenggu hatimu.
Beranilah membuka pintu yang selama ini kau kunci rapat.
Biarkan cahaya masuk, meski hanya secercah.”

Raka menatap surat itu dalam diam. Kata-kata itu bukan sekadar kalimat kosong. Ada kesedihan mendalam yang tersirat, sebuah doa yang tersembunyi di balik tinta. Ia mulai memahami betapa berat beban yang dipikul Nara selama ini.

Keesokan harinya, dengan hati-hati, Raka membawa buku itu kembali ke tempat biasa mereka belajar. Saat Nara datang, ia menatapnya dengan tatapan yang berbeda—lebih penuh pengertian dan kesabaran.

“Nara,” suara Raka lembut, “aku menemukan suratmu. Kamu tidak perlu takut atau menyimpan semuanya sendiri. Aku di sini, dan aku mau mendengarkan kapan pun kamu siap.”

Nara terdiam. Wajahnya yang biasanya dingin kini bersemu merah. Ada kehangatan aneh yang merayapi hatinya, sekaligus ketakutan akan apa yang mungkin akan terbuka.

“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” katanya akhirnya, suaranya bergetar.

Raka tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku tidak menuntut apapun. Aku cuma ingin kamu tahu, aku di sini untukmu.”

Mereka duduk bersama, membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka. Keheningan yang tidak lagi menakutkan, melainkan penuh harapan.

Hari-hari berikutnya, Raka semakin berusaha memahami dunia Nara yang penuh rahasia itu. Ia sering datang tanpa pamit, membawa kopi hangat, atau hanya duduk diam di samping Nara tanpa harus banyak bicara. Keberadaannya yang konsisten itu menjadi obat yang perlahan meredakan kecemasan Nara.

Sementara itu, Nara mulai menulis lagi. Tidak hanya di buku hariannya, tapi juga surat-surat yang tidak pernah ia kirim. Surat-surat yang ia tulis untuk Rafi, untuk dirinya sendiri, dan kini, untuk Raka.

Sebuah proses yang menyembuhkan sekaligus menakutkan.

Suatu sore, saat hujan turun deras, Nara dan Raka berteduh di bawah sebuah payung besar di taman kampus. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang segar. Nara memandang Raka dengan mata yang lebih terbuka, lebih tenang.

“Terima kasih,” bisiknya, “karena sudah mau sabar dengan aku, dengan semua kekuranganku.”

Raka menggenggam tangan Nara erat. “Aku tidak akan pergi, Nara. Tidak akan pernah.”

Hujan yang turun kali ini terasa berbeda. Tidak lagi dingin atau menakutkan, tapi seperti pelukan hangat yang menguatkan. Seolah hujan menjadi saksi bisu perjalanan dua hati yang berusaha menemukan kembali arti cinta dan keberanian untuk membuka diri.

Bab 9 – Luka yang Terbuka Kembali

Hujan sore itu turun dengan deras, membasahi kota yang mulai gelap oleh senja. Nara berdiri di bawah sebuah pohon rindang di taman kampus, tubuhnya sedikit menggigil. Angin dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terguyur air. Ia mencoba menenangkan diri, namun hatinya bergolak.

Beberapa menit yang lalu, Raka tanpa sengaja menyebut nama adiknya, Rafi, dalam sebuah percakapan. Kata-kata itu menusuk kedalam, membangkitkan luka lama yang selama ini ia usahakan tutupi rapat-rapat. Seolah semua rasa sakit yang telah terkubur dalam-dalam tiba-tiba kembali menghantui.

“Maksudmu, Rafi juga suka hujan, ya?” tanya Raka santai saat mereka berjalan bersama di taman itu.

Nara terdiam. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa kaku dan palsu. “Iya… dia suka hujan. Dia bilang hujan seperti teman yang setia,” jawabnya pelan, berusaha menguasai perasaannya.

Raka menoleh dan memandangnya dengan mata penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi aku ingin kau tahu, aku ada di sini. Aku ingin memahami semua tentangmu, termasuk Rafi.”

Namun, bagi Nara, kalimat itu malah menjadi pemicu. Ia merasakan dinding-dinding yang selama ini dibangunnya runtuh sedikit demi sedikit, menyisakan kerentanan yang sulit ia terima.

“Kenapa kamu harus membicarakan dia sekarang?” ucap Nara tiba-tiba dengan suara serak. “Aku sudah mencoba melupakannya, tapi kamu malah mengingatkanku lagi. Kenapa?”

Raka terkejut dengan reaksi Nara yang tiba-tiba berubah. Ia berhenti berjalan, menatap mata Nara dengan lembut.

“Nara, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kita bisa jujur satu sama lain. Aku ingin kamu percaya padaku,” ucap Raka tulus.

Namun Nara sudah tak mampu menahan tangis yang mengalir begitu deras. “Aku takut, Raka. Aku takut aku tidak bisa membiarkan siapa pun masuk ke dalam luka ini. Aku takut kamu juga akan pergi seperti dia.” Suaranya bergetar penuh kesedihan.

Raka segera memeluk Nara erat, mencoba memberikan rasa aman yang selama ini ia tahu sangat dibutuhkan Nara. “Aku tidak akan pernah pergi. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu di sini, melewati hujan dan badai bersamamu.”

Saat pelukan itu menghangatkan tubuhnya, Nara menyadari betapa besar keinginannya untuk sembuh. Namun, luka yang terbuka kembali ini menuntut keberanian lebih untuk dihadapi. Ia sadar, jalan menuju kepercayaan penuh dan penyembuhan tidak akan mudah.

Malam harinya, Nara duduk di kamar dengan jendela yang terbuka, membiarkan suara hujan menjadi pengiringnya. Ia membuka buku hariannya dan menulis:

“Luka lama datang kembali dengan cara yang tak terduga. Tapi aku tahu, aku tidak harus menghadapinya sendiri. Raka mungkin adalah cahaya di tengah gelapku, walau aku masih takut untuk percaya sepenuhnya.”

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka mengalami pasang surut. Ada saat di mana kehangatan dan tawa kembali hadir, namun ada pula momen ketegangan yang sulit dihindari.

Raka dengan sabar terus mendampingi Nara, tanpa menuntut atau memaksa. Ia tahu betul bahwa setiap langkah yang diambil Nara adalah perjuangan besar.

Suatu sore, saat hujan baru reda, mereka duduk di sebuah bangku taman. Raka menggenggam tangan Nara, menatap dalam-dalam matanya.

“Kita akan melalui ini bersama. Tidak peduli seberapa dalam luka itu, aku yakin kita bisa menyembuhkannya,” katanya penuh keyakinan.

Nara mengangguk pelan, merasakan hangatnya genggaman itu menguatkan hatinya.

Bab 10 – Diam dalam Hujan

Hujan turun dengan derasnya, membasahi setiap sudut kota yang mulai gelap oleh senja. Suara rintik air yang jatuh ke tanah dan dedaunan menciptakan melodi alam yang sendu. Di tengah hujan itu, Nara berdiri sendiri di trotoar yang sepi, tanpa payung, membiarkan butiran air menyentuh wajahnya.

Raka sudah tidak ada di sana.

Beberapa hari terakhir hubungan mereka terasa berbeda. Setelah ledakan emosi di babak sebelumnya, Raka perlahan mulai menjauh. Bukan karena ia ingin, melainkan karena ia mengerti bahwa Nara butuh ruang dan waktu. Namun, jarak itu terasa menusuk hati.

Sejak pertengkaran kecil itu, komunikasi mereka menjadi minim. Pesan yang biasanya cepat dibalas kini hanya berakhir dengan tanda centang dua abu-abu. Telepon yang dulu selalu diangkat sekarang jarang dijawab. Nara merasa kosong sekaligus bingung.

Ia ingin meminta maaf, ingin mengulang waktu, tapi kata-kata seperti terperangkap di tenggorokannya. Takut jika dia kembali menyakitinya, seperti dulu.

Di sebuah sudut kafe kecil yang biasa mereka kunjungi, Raka duduk termenung memandangi hujan yang membasahi jendela. Cangkir kopi di depannya hampir tak tersentuh. Matanya kosong, tapi pikirannya sibuk merangkai kembali kenangan manis dan pahit bersama Nara.

“Aku rindu,” bisiknya lirih, “tapi aku tidak tahu bagaimana harus memperbaikinya.”

Ia tahu Nara menyimpan banyak luka, dan kehadirannya mungkin terasa seperti angin dingin yang malah menyakiti. Namun, ia tak bisa berdiam diri selamanya. Hatinya mendesak untuk tetap bertahan, walau dalam keheningan.

Di luar, hujan mulai reda, tapi udara masih basah dan dingin. Nara berjalan pelan menyusuri jalanan yang basah. Hatinya penuh gejolak, ingin sekali bertemu Raka, tapi rasa takut dan gengsi menahan langkahnya.

Ia berhenti di bawah sebuah pohon besar, membiarkan hujan menetes dari daun-daun ke tubuhnya. Perlahan air mata bercampur dengan air hujan, tak bisa dibedakan.

Dalam keheningan itu, ia menyadari sesuatu yang selama ini disembunyikannya dari diri sendiri.

Raka telah mengisi ruang kosong yang selama ini ia hindari. Keberadaannya membawa kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Keesokan harinya, Nara mengirim pesan singkat kepada Raka.

“Aku ingin bertemu. Ada banyak yang ingin aku bicarakan.”

Raka membalas dengan cepat.

“Di tempat kita biasa, jam lima?”

Nara tersenyum kecil, hatinya berdebar sekaligus lega.

Malam itu, mereka duduk berhadapan di kafe kecil itu, di meja sudut yang hangat dan remang. Suara hujan yang turun perlahan di luar menambah suasana intim. Raka menatap mata Nara dengan penuh harap, sementara Nara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian.

“Aku minta maaf, Raka. Aku takut terlalu dekat, takut kalau aku terluka lagi. Aku tak ingin kehilanganmu,” ucap Nara dengan suara yang hampir berbisik.

Raka menggenggam tangan Nara lembut. “Aku mengerti ketakutanmu. Tapi aku di sini bukan untuk pergi. Aku mau berjalan bersamamu, melewati hujan dan badai. Kita bisa pelan-pelan, tanpa terburu-buru.”

Nara menatap tangan mereka yang saling menggenggam, merasakan hangatnya sentuhan yang sudah lama ia rindukan.

Bab 11 – Menemukan Arti Kehadiran

Sore itu, langit masih mendung meski hujan telah berhenti sejak beberapa jam lalu. Udara terasa segar, namun ada kesejukan yang menggetarkan hati Nara. Ia berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak menuju taman kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu memiliki kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan — sebuah tempat di mana dulu ia dan adiknya, Rafi, sering menghabiskan waktu bersama.

Langkahnya terasa berat, namun hatinya semakin kuat untuk menghadapi masa lalu yang selama ini ia hindari. Ia membawa selembar kertas dan pulpen, bersiap menulis surat untuk dirinya sendiri, sebuah surat yang belum pernah ia tulis sejak lama.

Taman itu tak banyak berubah. Rumput hijau yang masih segar tersapu embun, bunga-bunga kecil bermekaran dengan lembut di sudut-sudut tanah. Nara duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk, menatap kosong ke arah danau kecil yang tenang. Bayangan dirinya tercermin di permukaan air, namun ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Nara hari ini — ada keberanian yang mulai tumbuh.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka lembaran kertas putih yang dibawanya.

“Untuk diriku sendiri, yang pernah terluka dan takut membuka hati… Aku tahu perjalanan ini tidak mudah. Aku tahu aku pernah tersesat dalam bayang-bayang rasa bersalah dan kehilangan. Tapi aku ingin belajar memaafkan, bukan hanya orang lain, tapi juga diriku sendiri.”

Tangan Nara bergetar halus saat ia menulis, air mata mulai menetes di sudut matanya. Namun bukan air mata kesedihan, melainkan air mata pengharapan yang mulai tumbuh dari luka lama.

Ketika malam mulai menyelimuti, Nara menatap langit yang perlahan gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, seolah menjadi saksi bisu perjuangannya. Ia merasakan hangat di dadanya, seolah ada cahaya kecil yang mulai menyinari jalannya.

Di saat yang sama, Raka berdiri di dekat gerbang taman. Ia mengamati Nara dari kejauhan dengan penuh kekaguman dan rasa hormat. Ia tahu bahwa Nara sedang berjuang melawan bayang-bayang masa lalunya, dan kehadirannya malam ini bukan sekadar menemani, tapi juga menjadi penguat.

Raka melangkah mendekat perlahan, duduk di samping Nara tanpa berkata apa-apa. Keheningan mereka terasa penuh arti, diiringi suara alam yang lembut dan aroma tanah basah.

“Kadang, aku merasa sulit menerima diriku sendiri,” suara Nara pecah dalam kesunyian. “Tapi aku mulai sadar, bahwa kehadiran seseorang, seperti kamu, Raka, membuat aku ingin mencoba lagi. Aku ingin membuka hati, meski takut terluka.”

Raka menggenggam tangan Nara, memberikan sentuhan lembut yang penuh pengertian. “Aku akan selalu ada, Nara. Tidak hanya di saat bahagia, tapi juga di saat kamu merasa rapuh dan lelah. Kita jalani semuanya bersama-sama.”

Nara mengangguk pelan, tersenyum dengan mata yang masih basah oleh air mata. Ia merasakan bahwa hari ini adalah titik balik. Titik di mana ia mulai menemukan arti kehadiran bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari dirinya sendiri.

Malam semakin larut, namun Nara merasa lebih ringan. Surat yang ia tulis malam itu menjadi pengingat bahwa luka lama bukanlah akhir dari segalanya. Dengan perlahan, ia belajar memaafkan, membuka hati, dan menerima cinta yang tulus.

Di tengah malam yang hening, hujan kembali turun dengan lembut, membasahi taman dan menambah kesejukan. Nara dan Raka berjalan bersama di bawah hujan, tanpa payung, membiarkan air hujan menjadi saksi bisu dari awal baru mereka.

Bab 12 – Payung yang Sama, Hati yang Berbeda

Hujan turun lagi, lembut dan tenang, seperti bisikan yang mengantar malam. Suasana kota menjadi sepi, hanya suara tetesan air yang membasahi aspal dan daun-daun yang gugur. Di tengah hujan yang membasahi seluruh penjuru, Nara berdiri dengan payung di tangan. Payung yang sama yang dulu pernah Raka pinjamkan padanya, kini terasa penuh makna.

Langkah kakinya terhenti di depan halte bus tempat mereka pertama kali bertemu. Tempat itu menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang penuh suka dan duka. Nara menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menghapus jarak yang selama ini memisahkan mereka.

Tak lama kemudian, Raka muncul dari balik bayangan pepohonan, dengan senyum yang sama hangat seperti yang pertama kali membuat Nara terpikat. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada ribuan kata yang tak perlu diucapkan.

“Aku datang seperti yang kamu minta,” ujar Raka dengan suara yang lembut namun penuh harap.

Nara membalas senyum itu, walau hatinya masih penuh dengan rasa canggung dan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia melangkah mendekat, dan tanpa sadar payung yang selama ini ia pegang terjatuh ke tanah. Tanpa pikir panjang, Raka segera menunduk mengambilnya, lalu membukakan payung itu dan mengulurkan tangannya untuk Nara.

Mereka berjalan bersama di bawah satu payung yang sama, meski hati mereka kini terasa berbeda dari sebelumnya. Payung itu bukan hanya melindungi mereka dari hujan, tapi juga menjadi simbol dari sebuah pengertian dan kedekatan yang mulai mereka rajut kembali.

“Maafkan aku, Raka. Aku tahu aku terlalu lama menjauh. Aku takut,” kata Nara akhirnya, suaranya pelan namun penuh kejujuran.

Raka menggenggam tangan Nara lebih erat, “Aku juga minta maaf kalau selama ini membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tak akan pergi.”

Mereka berjalan menyusuri jalan yang mulai becek, membiarkan tetesan hujan membasahi wajah tanpa tergesa. Sesekali, Raka memandang Nara dengan penuh kasih, dan Nara pun merasakan hangatnya kehadiran yang selama ini ia rindukan.

Malam itu, payung yang sama itu tidak hanya menjadi pelindung dari hujan, tapi juga menjadi saksi bisu bagaimana dua hati yang pernah terluka kini perlahan membuka diri untuk saling memahami dan menerima.

Nara merasa ada ketenangan yang luar biasa dalam pelukan sederhana Raka, seolah semua rasa takut dan luka yang pernah ia bawa mulai menghilang. Hujan yang jatuh kali ini terasa berbeda — bukan lagi simbol kesedihan, melainkan pembaharuan dan harapan.

Raka berhenti di sebuah taman kecil, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Ia menatap Nara dengan serius, “Aku ingin kita mulai dari awal. Tidak lagi menyimpan rahasia dan rasa takut. Aku ingin kau tahu, aku di sini untuk selamanya.”

Nara menunduk, merasakan air mata hangat yang mengalir di pipinya. Ia mengangguk pelan, “Aku ingin percaya itu, Raka. Aku ingin mencoba lagi.”

Di bawah payung yang sama, mereka duduk di bangku taman, membiarkan hujan meresap ke seluruh jiwa mereka. Malam itu, tanpa kata-kata panjang, keduanya berbicara melalui keheningan, tatapan, dan sentuhan tangan yang erat. Sebuah janji tersimpan di antara mereka — janji untuk menjaga hati dan merawat cinta yang perlahan tumbuh dari luka.

Bab 13 – Saat Hujan Tak Lagi Menyakitkan

Mendung yang menggantung berat di langit kota sejak pagi akhirnya membuka tirainya. Hujan turun perlahan, menari-nari di antara dedaunan dan membasahi jalanan yang mulai sepi. Bagi sebagian orang, hujan mungkin hanya sebuah gangguan, tetapi bagi Nara, hujan adalah sesuatu yang dulu membawa kesedihan dan luka.

Namun, kali ini berbeda. Ada rasa hangat dan kedamaian yang mengalir dalam dada Nara, yang membuatnya tersenyum tanpa alasan yang jelas.

Hari itu, Nara memutuskan untuk tidak membawa payung. Ia ingin merasakan hujan jatuh langsung ke kulitnya, seperti dulu ia pernah melakukannya bersama adiknya, Rafi. Namun, bukan kenangan lama yang ingin dihidupkan, melainkan sebuah awal yang baru.

Raka menunggu di depan pintu, membawa jaket tebal untuknya. “Kau yakin tidak mau payung?” tanyanya sambil tersenyum.

Nara menggeleng, “Aku ingin hujan ini menyentuhku. Kali ini, aku tidak takut.”

Mereka berjalan berdampingan menyusuri trotoar, membiarkan butiran hujan menempel di wajah dan rambut mereka. Suara riak air mengiringi langkah kaki mereka, seolah menjadi melodi yang menyambut awal baru yang sedang mereka rajut bersama.

Ketika tetesan hujan menyentuh pipi Nara, bukan lagi air mata yang menyakitkan, melainkan embun kehidupan yang membasahi setiap sudut hatinya. Ia merasakan kehangatan yang berbeda, seolah luka lama mulai tertutup oleh cinta yang perlahan tumbuh.

Raka menggenggam tangan Nara erat-erat, memberikan rasa aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Kau tahu, aku bahagia kau berani membuka diri lagi,” ujarnya dengan suara pelan.

Nara menoleh, menatap mata Raka yang tulus. “Aku juga bahagia bisa berjalan bersamamu, tanpa rasa takut,” jawabnya dengan senyum yang tulus.

Mereka berdua berjalan tanpa kata, membiarkan hujan dan kesunyian menjadi bahasa hati yang paling jujur. Di tengah hujan yang semakin deras, Nara merasakan sesuatu yang sebelumnya mustahil — sebuah kedamaian yang selama ini ia cari.

Malam mulai menyelimuti, namun hujan tidak kunjung reda. Mereka berhenti di sebuah jembatan kecil yang menghadap ke sungai. Air mengalir deras, membawa serta daun-daun yang jatuh dari pepohonan.

Nara menatap air sungai itu, membiarkan pikirannya mengalir bersama arusnya. “Dulu, aku takut akan hujan. Karena hujan mengingatkanku pada kehilangan,” katanya lirih.

Raka mengangguk mengerti, “Tapi sekarang, hujan tidak lagi membawa luka. Hujan menjadi saksi cinta kita yang baru.”

Mereka berdua tertawa kecil, merasakan kehangatan yang membungkus mereka meski tubuh basah kuyup.

Saat hujan mulai mereda, Raka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk tetesan hujan yang berkilauan.

“Ini untukmu, Nara. Sebuah pengingat bahwa hujan bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga tentang kebahagiaan dan kehidupan yang terus berlanjut,” ucapnya dengan penuh makna.

Nara menerima kalung itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Raka. Aku akan mengenakannya sebagai simbol bahwa aku sudah siap untuk cinta dan kebahagiaan.”

Mereka berjalan pulang dengan hati yang ringan dan penuh harapan. Hujan yang dulu menjadi momok, kini berubah menjadi teman setia yang selalu hadir di setiap langkah mereka.

Bab 14 – Janji yang Dibisikkan Awan

Langit sore itu tidak seperti biasanya. Awan kelabu menggumpal tebal, membawa janji hujan yang belum juga jatuh. Suasana menjadi sunyi, seolah menunggu sesuatu yang istimewa. Raka menggenggam tangan Nara dengan lembut, menariknya masuk ke sebuah taman rahasia yang tersembunyi di balik hiruk-pikuk kota. Tempat itu penuh dengan bunga yang hanya mekar saat hujan turun — sebuah keajaiban yang jarang diketahui banyak orang.

Nara mengangkat wajahnya, menatap langit yang mulai gelap. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya dengan suara lembut, penuh rasa ingin tahu.

Raka tersenyum, matanya berkilau seperti memantulkan harapan. “Karena di sini, aku ingin mengucapkan sesuatu yang sangat penting untukmu. Tempat ini punya makna yang sama dengan hatiku—indah dan penuh harapan meski diliputi awan kelabu.”

Mereka melangkah perlahan menyusuri jalan setapak di antara bunga-bunga yang mulai mengembang, beberapa di antaranya terlihat seperti menari mengikuti hembusan angin yang hangat. Udara segar dan aroma tanah basah menciptakan suasana yang menenangkan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.

“Aku tahu perjalanan kita tidak mudah,” kata Raka sambil berhenti di tengah taman, menatap langsung ke mata Nara. “Ada masa lalu yang kau bawa, ada luka yang belum sembuh. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak akan pernah menyerah untuk berada di sisimu.”

Nara menunduk sejenak, merasakan betapa kata-kata itu menggetarkan hati yang selama ini dipenuhi rasa takut dan ragu. “Aku takut, Raka. Takut jika aku membuka hatiku, aku akan terluka lagi.”

Raka menggenggam dagu Nara dengan lembut, mengangkat wajahnya agar bisa bertatapan. “Cinta bukan tentang sempurna atau tanpa luka, tapi tentang keberanian untuk terus mencoba dan percaya meski ada ketidakpastian.”

Tiba-tiba, butiran hujan mulai turun perlahan. Bunga-bunga di sekitar mereka semakin mekar, seolah merayakan momen yang indah itu. Raka meraih sebuah kotak kecil dari saku jaketnya dan membuka isinya—sebuah cincin sederhana dengan desain unik yang menyerupai tetesan air hujan.

“Nara, maukah kau menjadi bagian dari hidupku, dalam segala cuaca yang kita hadapi? Aku janji akan selalu melindungimu, seperti payung yang melindungi dari hujan deras, dan seperti awan yang membawa kehidupan.”

Nara terdiam, air mata kebahagiaan mengalir pelan di pipinya. Ia mengangguk dengan penuh haru, suara yang hampir tak terdengar keluar dari bibirnya, “Ya, aku mau.”

Mereka berdua berpelukan di tengah hujan yang kini turun dengan lembut. Tak ada payung, tak ada pelindung lain kecuali kehangatan di antara mereka. Awan yang tadinya gelap kini seakan ikut tersenyum, membisikkan janji-janji yang hanya mereka yang mengerti.

Nara merasa, hujan yang dulu menyakitkan kini berubah menjadi saksi bisu sebuah janji yang terukir di dalam hati. Janji tentang keberanian, cinta, dan sebuah harapan baru yang akan mereka jaga bersama.

Malam itu, ketika mereka berjalan pulang dengan tangan yang masih saling menggenggam, Nara tahu satu hal pasti: hujan bukan lagi musuh baginya, melainkan pembawa berkah yang selalu mengingatkannya pada cinta sejati.

Bab 15 – Ketika Hujan Jatuh di Hatimu

Hujan turun pelan di sore itu, mengiringi langkah Nara dan Raka yang berjalan beriringan di bawah langit kelabu. Tidak ada payung yang menghalangi tetesan air yang jatuh ke kulit mereka, dan itu bukanlah kebetulan. Bagi Nara, hujan kini bukan lagi sebuah ancaman, melainkan sebuah saksi yang setia atas perjalanan hati yang telah dilalui.

Nara menarik nafas dalam, menghirup udara segar yang bercampur aroma tanah basah. Hatinya terasa ringan, seperti beban yang selama ini menempel perlahan terlepas, hanyut bersama aliran hujan. Jari-jari Raka yang menggenggam tangannya erat membuatnya merasa aman—sebuah rasa yang dulu terasa mustahil untuk ia percaya kembali.

“Raka,” suara Nara lirih, penuh kehangatan, “aku ingat saat pertama kali kita bertemu. Saat itu aku takut sekali pada hujan dan pada semua kenangan yang dibawanya.”

Raka menatapnya dengan mata yang lembut, “Dan sekarang?”

Nara tersenyum, “Sekarang, aku tahu, hujan tidak pernah menyakitkan. Yang menyakitkan adalah aku yang pernah menutup diri dari harapan dan cinta. Tapi berkatmu, aku belajar membuka hati, menerima luka, dan menyambut bahagia.”

Mereka berhenti di bawah sebuah pohon besar yang rindang, daun-daunnya basah dan berkilau diterpa cahaya redup senja. Nara mengeluarkan jurnal kecil dari tasnya, halaman-halaman yang penuh coretan dan kisah yang pernah ia tulis selama masa-masa sulit.

“Aku ingin membacakan satu hal,” katanya pelan, “ini tentang hujan dan bagaimana aku belajar mencintainya.”

Raka duduk di bawah pohon, menarik Nara untuk duduk di pangkuannya. Dengan suara yang tenang dan penuh perasaan, Nara mulai membaca:

“Hujan dulu datang sebagai air mata langit, yang membasahi luka-luka tersembunyi di hati. Aku takut akan derasnya, takut akan dinginnya, takut akan kenangan yang kembali menerpa. Namun kini, hujan adalah peluk hangat yang menenangkan jiwa, adalah bisikan lembut yang membawa kedamaian. Saat hujan jatuh di hatiku, aku tahu aku tidak lagi sendiri. Ada seseorang yang berjalan bersamaku, menghapus kesedihan dengan cinta yang tulus.”

Mendengar itu, Raka menatap wajah Nara yang basah oleh air mata haru. Ia mengusap lembut rambutnya, “Aku bangga padamu, Nara. Kau telah melewati badai, dan kini kau berdiri di sini, kuat dan penuh cinta.”

Nara menunduk, “Terima kasih sudah menjadi hujan yang tak pernah membuatku tenggelam, melainkan menguatkanku.”

Mereka terdiam beberapa saat, membiarkan hujan yang turun perlahan menjadi saksi bisu cinta yang telah mereka rajut dari luka dan harapan. Di kejauhan, suara gemericik hujan yang jatuh di atas dedaunan membentuk simfoni yang menenangkan.

Hari-hari berikutnya, Nara dan Raka semakin dekat. Mereka belajar memahami satu sama lain lebih dalam, membangun kenangan baru yang jauh dari bayang-bayang masa lalu. Hujan yang dahulu menjadi pengingat kesedihan, kini menjadi simbol cinta dan harapan.

Suatu sore, Nara menulis dalam jurnalnya:
“Cinta sejati bukan tentang sempurna, tapi tentang keberanian menerima segala kekurangan dan luka. Hujan di hatiku kini adalah hujan yang membasahi kebahagiaan, bukan kesedihan. Terima kasih, Raka, karena telah menjadi pelangi setelah hujan yang lama.”

Ketika hujan kembali turun pada malam itu, Nara dan Raka berdiri di balkon apartemen kecil mereka, berpegangan tangan, membiarkan air hujan menyentuh kulit dan jiwa mereka. Nara tersenyum dan berkata, “Kau tahu, aku dulu mengira hujan adalah musuh, tapi sekarang aku tahu, hujan adalah anugerah.”

Raka membalas senyumannya, “Dan aku akan selalu ada untukmu, seperti hujan yang datang membawa kehidupan dan cinta.”

Hujan malam itu menjadi saksi bisu bahwa luka bisa menjadi kekuatan, dan cinta bisa tumbuh dari setiap tetes kesedihan yang pernah jatuh. Nara dan Raka tidak hanya menemukan cinta, tetapi juga menemukan makna hidup yang baru, sebuah perjalanan yang dimulai dari hujan, namun berakhir dengan kebahagiaan yang tak tergantikan.***

————————–THE END———————–

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #PenyembuhanHatiCintaDalamHujanHujanDanCintaKisahCintaHangatPerjalananMemaafkanPertemuanTakdirRomansaEmosionalTraumaDanHarapan
Previous Post

GERBANG DUNIA TERLARANG

Next Post

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

Next Post
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In