Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Toko buku milik nenek Lia selalu menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun yang datang. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku yang berdebu, memberikan kesan hangat dan nostalgia. Lampu kuning temaram yang tergantung di langit-langit memberi suasana damai, seolah dunia di luar toko ini tidak pernah ada. Pada pagi hari yang cerah itu, Lia, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, tengah duduk di meja kayu di sudut toko, menulis di sebuah jurnal kecil. Matanya sesekali mengalihkan pandangannya ke rak buku yang berderet rapi, mengingatkan dia pada sebuah dunia yang penuh dengan cerita-cerita yang tak pernah habis untuk dijelajahi.
Hari itu terasa seperti hari-hari lainnya. Toko buku yang sederhana ini jarang sekali ramai, hanya beberapa pelanggan setia yang datang ke sini, sebagian besar untuk membeli novel lama atau mencari buku langka yang sulit ditemukan di tempat lain. Lia merasa nyaman dengan rutinitasnya, meskipun terkadang ia merasa kesepian. Neneknya, yang telah mengelola toko buku ini selama lebih dari empat puluh tahun, sedang sibuk di ruang belakang, mengurus pesanan dari penerbit.
Namun, hari itu berbeda.
Suara pintu toko yang terbuka mendadak membuat Lia mengalihkan perhatian. Dia mengangkat wajahnya, dan di ambang pintu, berdiri seorang pria muda yang tidak dikenalnya. Pria itu cukup tinggi, dengan rambut hitam gelap yang sedikit berantakan, dan pakaian yang terkesan sederhana, tapi tetap terlihat rapi. Ada aura misterius yang menyelubungi dirinya, seolah-olah ia baru saja keluar dari dunia lain.
Lia menatapnya sebentar, mencoba mencari tahu siapa dia. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan suara lembut, berusaha bersikap ramah, meskipun hatinya sedikit cemas. Tidak banyak orang asing yang datang ke desa ini, apalagi ke toko buku tua milik neneknya.
Pria itu tersenyum samar, namun senyum itu tidak mencapai matanya. “Pagi,” jawabnya singkat, kemudian melangkah masuk lebih jauh ke dalam toko.
Lia merasa agak aneh dengan cara pria itu bergerak, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu dengan sangat hati-hati. Terkadang dia berhenti di depan rak-rak tertentu, memandang buku-buku di sana, lalu melanjutkan langkahnya ke rak lainnya. Lia merasa gelisah. Biasanya, para pelanggan yang datang ke toko buku ini hanya ingin membeli satu atau dua buku saja, tetapi pria ini terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang lebih.
Setelah beberapa menit berkeliling tanpa berkata apa-apa, pria itu berhenti di depan sebuah rak besar yang berisi novel-novel klasik. Ia memandang sejenak ke arah buku-buku itu, kemudian menarik satu buku dengan sampul kulit tua. Lia mengamati gerak-geriknya. Ada sesuatu yang aneh dengan cara pria itu memegang buku itu, seperti ia sedang memegang barang yang sangat berharga.
“Apakah kamu sedang mencari sesuatu yang spesifik?” tanya Lia, berusaha membuka percakapan.
Pria itu menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya, Lia dapat melihat mata tajamnya yang berwarna cokelat gelap, seakan-akan menyimpan banyak rahasia. “Aku sedang mencari buku yang bisa membuatku melupakan sesuatu,” jawabnya, suara pria itu terdengar dalam dan penuh beban.
Lia terkejut mendengar jawabannya. Tidak sering seseorang datang dengan ungkapan yang begitu dalam. “Melupakan sesuatu?” ia mengulang dengan pelan. “Apa yang ingin kamu lupakan?”
Pria itu menatap Lia sejenak, seolah-olah mempertimbangkan apakah akan menceritakan kisahnya atau tidak. Akhirnya, ia menghela napas dan meletakkan buku yang tadi diambil kembali ke rak. “Mungkin itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata,” jawabnya singkat. “Aku hanya… mencari cara untuk melepaskan diri dari masa lalu.”
Lia diam sejenak, mencerna kata-katanya. Sebagai seseorang yang selalu dikelilingi buku, Lia tahu betul bahwa buku adalah pelarian yang baik untuk melupakan kenyataan, bahkan jika hanya sementara. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang membuatnya ingin tahu lebih jauh. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang belum ia temui sebelumnya di desa ini.
Lia melangkah mendekat. “Tapi terkadang, kita harus belajar untuk menerima masa lalu kita, bukan hanya melupakan. Buku-buku di sini bisa membantumu untuk itu,” katanya dengan suara lembut, mencoba memberikan sudut pandang yang berbeda.
Pria itu tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa sangat canggung, seolah-olah dia tidak tahu harus merespons bagaimana. “Mungkin kamu benar,” jawabnya. “Tapi… aku rasa aku belum siap untuk itu.”
Lia mengangguk pelan. Ada keheningan sesaat di antara mereka berdua, yang terasa lebih lama dari yang seharusnya. Lia merasa bahwa ia tidak hanya berbicara dengan seorang pria yang sedang mencari buku, tetapi juga dengan seseorang yang sedang berjuang dengan beban yang sangat berat. Ada sesuatu yang dalam dan gelap dalam diri pria itu, sesuatu yang membuat Lia merasa ingin membantunya, meskipun ia tahu betapa sedikitnya ia tahu tentang orang ini.
“Aku bisa membantu mencarikan buku yang mungkin bisa membantumu,” kata Lia akhirnya, berusaha memberikan tawaran yang ramah.
Pria itu menatap Lia dengan tajam, seolah-olah sedang menilai apakah tawarannya tulus atau sekadar basa-basi. Setelah beberapa detik, ia mengangguk perlahan. “Baiklah, aku percaya padamu,” katanya dengan suara pelan. “Aku akan mencari buku yang bisa mengubah semuanya.”
Lia merasa sedikit terkejut dengan kata-kata pria itu. Biasanya, para pelanggan hanya ingin membeli buku untuk hiburan atau pengetahuan. Tetapi kali ini, pria itu benar-benar mencari sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan. Lia merasa ada ikatan tak terucapkan yang mulai terbentuk antara mereka.
Setelah beberapa saat, Lia membimbing pria itu ke rak yang penuh dengan koleksi buku sastra, filosofi, dan psikologi. Dia mengambil beberapa buku yang menurutnya mungkin bisa membantu pria itu, meskipun ia tahu bahwa tak ada buku yang bisa menggantikan kenyataan hidup. Mereka berbicara sedikit lebih banyak, meskipun tetap ada jarak emosional yang terlihat jelas di antara mereka.
Pada akhirnya, pria itu memilih dua buku, satu tentang filsafat eksistensial dan satu lagi tentang psikologi trauma. Lia membungkus buku-buku itu dengan hati-hati dan menyerahkannya. “Semoga buku-buku ini bisa membantu,” katanya dengan lembut.
Pria itu memandang Lia dengan tatapan yang penuh makna, seolah-olah ada rasa terima kasih yang mendalam dalam dirinya. “Terima kasih,” ujarnya, suara itu kali ini lebih hangat.
Setelah membayar, pria itu melangkah menuju pintu, menoleh sejenak sebelum keluar. “Aku akan kembali,” katanya singkat, dan kemudian ia pergi.
Lia berdiri di sana, memandangi pria yang baru saja pergi. Ada sesuatu tentang dirinya yang terasa begitu misterius, sesuatu yang membuat Lia merasa bahwa pertemuan ini bukan hanya kebetulan. Terkadang, pertemuan yang tampak biasa bisa mengubah arah hidup seseorang, dan Lia merasa bahwa kali ini, pertemuan ini bisa jadi lebih dari sekadar kebetulan.**
Bab 2: Jejak Masa Lalu
Hari-hari setelah pertemuan pertama dengan Arka terasa agak berbeda bagi Lia. Toko buku milik neneknya masih sama seperti biasanya—tenang, damai, dan tidak banyak berubah. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Sosok Arka dengan mata tajam dan kata-katanya yang penuh beban selalu terngiang-ngiang di kepala Lia. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik pria itu, sesuatu yang membuatnya merasa gelisah dan penasaran.
Setiap kali Arka datang ke toko, Lia merasa seperti sedang menghadapi teka-teki yang semakin rumit untuk dipecahkan. Ia mulai datang lebih sering, hampir setiap sore, membeli buku, membaca sejenak di pojokan toko, dan kadang-kadang berdiam diri lama sekali, seolah tenggelam dalam pikirannya. Lia mulai memperhatikan perubahan-perubahan kecil dalam dirinya. Dari gerak-geriknya yang sedikit lebih santai hingga cara dia menyentuh buku-buku itu—semuanya seperti menunjukkan bahwa Arka sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah buku.
Namun, meskipun Arka datang hampir setiap hari, dia tidak pernah berbicara banyak. Kata-katanya selalu singkat dan penuh perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Lia, yang sebelumnya merasa cemas dan sedikit khawatir, mulai merasa iba. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran yang menggerakkan hatinya untuk lebih mengenal Arka. Ada luka di sana, luka yang tak terlihat, yang membuatnya merasa tertarik untuk membantu.
Satu sore, setelah sebulan lebih sejak pertemuan pertama mereka, Lia memutuskan untuk berbicara lebih banyak dengan Arka. Saat itu, Arka baru saja memasuki toko, seperti biasa. Hari itu langit tampak mendung, dan hujan perlahan mulai turun dengan lebat. Pria itu, seperti biasa, memilih rak yang jauh dari pandangan umum, berdiri di sana dalam diam. Lia mengamatinya dari balik meja kayu tempat ia bekerja. Hatinya sedikit berdebar, dan ia tahu ini adalah saat yang tepat untuk berbicara lebih dalam.
Lia memberanikan diri untuk menghampirinya. “Arka,” sapanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. “Kamu tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang berat lagi.” Ia mencoba membuka percakapan dengan kalimat yang tidak langsung menekan.
Arka menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Oh, Lia,” jawabnya dengan suara yang agak kaku, seakan tidak siap untuk berbicara lebih banyak. Namun, kali ini ada keheningan yang berbeda, seolah-olah dia tidak bisa menghindar lagi dari percakapan ini. Dia tampaknya mulai membuka sedikit dirinya.
“Aku bisa merasakannya, Arka,” Lia melanjutkan. “Sepertinya ada yang mengganggumu. Kamu bisa bercerita padaku, jika kamu mau. Toko ini adalah tempat yang aman.”
Arka diam sejenak, seolah menimbang-nimbang apakah akan membuka dirinya lebih jauh. Ia meletakkan buku yang sedang dipegangnya di rak dan menarik napas panjang. “Kamu benar, Lia,” katanya akhirnya. “Ada sesuatu yang membuatku merasa terjebak, seperti ada beban yang tak bisa aku lepaskan.”
Lia menunggu, memberikan ruang bagi Arka untuk melanjutkan ceritanya, dan tak lama kemudian, dia melanjutkan.
“Aku kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupku. Seseorang yang sangat aku cintai. Sebuah kecelakaan—sebuah kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi, tetapi itu tetap terjadi. Dan sejak saat itu, hidupku berubah.” Arka berbicara perlahan, seolah setiap kata yang keluar darinya memerlukan usaha besar untuk diungkapkan.
Lia tidak tahu harus berkata apa. Dalam sekejap, dia merasa begitu dekat dengan pria ini, meskipun kata-katanya penuh dengan kesedihan. Dia tahu bahwa rasa sakit yang Arka rasakan bukan hanya kehilangan seseorang, tetapi juga rasa bersalah yang mungkin mengikatnya.
“Jika boleh tahu,” kata Lia hati-hati, “siapa yang kamu kehilangan?”
Arka menatap lantai sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. “Adikku. Namanya Dira. Kami sangat dekat. Dia selalu ada di sana untukku, seperti sahabat sekaligus saudara. Tapi satu malam, dia pergi tanpa aku bisa melindunginya. Sebuah kecelakaan mobil—aku tidak bisa melupakan perasaan itu, perasaan tidak bisa melakukan apa-apa,” jawabnya dengan suara bergetar.
Lia bisa merasakan kesedihan dan penyesalan yang sangat dalam dalam kata-kata Arka. Dia tahu betul bahwa kehilangan seseorang yang sangat dekat akan meninggalkan luka yang sangat dalam. “Aku… aku sangat menyesal mendengarnya,” kata Lia dengan lembut, berusaha menunjukkan empati.
“Kadang, aku merasa seperti dia masih ada di sini,” lanjut Arka dengan suara yang sedikit gemetar. “Setiap malam aku terbangun dengan perasaan seakan-akan dia ada di sampingku. Tapi ketika aku membuka mata, aku menyadari dia sudah pergi. Dan setiap hari, perasaan itu semakin kuat—tapi aku tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.”
Lia menghela napas, berpikir sejenak. “Perasaan itu sangat berat, Arka,” katanya, berusaha menenangkan. “Tapi aku ingin kamu tahu, kamu tidak harus menghadapinya sendirian. Semua perasaan itu, meskipun terasa menyakitkan, adalah bagian dari proses penyembuhan. Tidak ada yang salah dengan merasa kehilangan atau merasa bersalah. Tapi itu bukanlah sesuatu yang harus kamu tanggung sendirian.”
Arka menundukkan kepala, seolah kata-kata Lia menyentuh sesuatu di dalam dirinya yang selama ini dia coba hindari. “Aku tidak tahu apakah aku akan pernah bisa melupakan dia,” katanya dengan lirih. “Tapi aku rasa aku ingin belajar untuk berdamai dengan kenyataan itu.”
Lia tersenyum, meskipun hatinya merasa berat. “Mungkin kamu tidak perlu melupakan dia, Arka. Mungkin yang kamu butuhkan adalah belajar menerima kenyataan, untuk bisa mengenang dia dengan cara yang lebih baik, tanpa perasaan bersalah yang terus menghantui.”
Arka menatap Lia, seakan kata-katanya mulai meresap dalam dirinya. Ada kedalaman yang terlihat dalam tatapannya, seolah ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang besar. “Aku… aku akan mencoba,” jawabnya akhirnya, dengan nada yang sedikit lebih lega.
Percakapan itu berakhir, tetapi dalam hati Lia, perasaan ingin membantu Arka semakin besar. Dia tahu bahwa untuk membantu pria itu, ia harus lebih banyak berbicara dengannya, menggali lebih dalam lagi tentang perasaannya. Namun, saat itu, Lia juga merasa dirinya sedang belajar sesuatu yang lebih penting—bahwa cinta dan kehilangan adalah dua hal yang saling terkait, dan hanya dengan menerima keduanya seseorang bisa menemukan kedamaian dalam hidupnya.
Sejak hari itu, Arka mulai lebih terbuka. Setiap kali dia datang ke toko buku, dia tidak hanya membeli buku, tetapi juga berbicara lebih banyak dengan Lia. Mereka mulai berbagi lebih banyak tentang hidup, tentang kehilangan, dan tentang bagaimana cara menghadapinya. Lia merasa hubungan mereka semakin erat, meskipun ia sadar bahwa Arka masih berjuang untuk menemukan kedamaian dalam hatinya. Namun, sedikit demi sedikit, Lia melihat perubahan dalam diri Arka. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa membantu Arka untuk melewati masa kelam itu.**
Bab 3: Bintang yang Jatuh
Malam itu, langit desa terlihat begitu gelap dan penuh dengan bintang. Lia berdiri di luar rumah kecilnya, memandangi pemandangan langit yang tenang, penuh dengan bintang yang berkilauan. Udara malam terasa segar, membawa aroma tanah basah setelah hujan tadi sore. Lia memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba merasakan ketenangan alam. Namun, meskipun alam di sekitarnya begitu damai, hatinya tidak sepenuhnya tenang.
Pikirannya kembali tertuju pada Arka. Setiap kali dia melihat pria itu, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan ingin membantu, namun juga rasa khawatir yang muncul tanpa bisa dia kendalikan. Arka telah banyak berbicara tentang kehilangan adiknya, tentang rasa bersalah yang menekan dirinya. Lia bisa merasakan beban yang dibawa Arka, dan meskipun dia berusaha untuk membantu, dia juga merasa bahwa ada banyak hal yang belum Arka sampaikan kepadanya.
Lia menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit, seolah berharap menemukan jawaban atau petunjuk tentang bagaimana dia bisa lebih membantu Arka. Dia teringat dengan apa yang dikatakan oleh Arka beberapa waktu lalu, tentang bagaimana dia merasa terjebak dalam masa lalunya, seolah-olah tidak bisa melupakan kejadian tragis yang telah merenggut adiknya. Dia ingin Arka bisa melepaskan diri dari rasa sakit itu, tapi dia tahu bahwa itu bukanlah hal yang mudah. Semua orang memiliki cara mereka sendiri dalam menghadapi kehilangan.
Tiba-tiba, mata Lia tertuju pada sebuah bintang yang tampak lebih terang dari yang lain, yang melintas di langit dengan cepat. Sebuah bintang jatuh. Dengan reflek, Lia menutup matanya dan membiarkan hatinya berbisik sebuah permohonan, meskipun dia tahu itu hanyalah kebiasaan yang sering dilakukan orang saat melihat bintang jatuh.
“Semoga aku bisa membantu Arka menemukan kedamaian dalam dirinya,” gumamnya pelan, berharap agar permohonannya menjadi kenyataan.
Lia menatap langit selama beberapa detik lagi sebelum akhirnya kembali ke dalam rumah. Ia merasa bahwa semesta memberinya sedikit rasa harapan malam itu, meskipun kenyataannya, perasaan bimbang dalam hatinya tetap ada. Dalam perjalanan kembali ke dalam, ponselnya bergetar, mengalihkan pikirannya. Dia mengambil ponsel dari dalam saku jaketnya dan melihat layar yang menampilkan nama yang sudah cukup familiar—Arka.
Lia terkejut, tetapi segera menjawab panggilan itu. “Halo, Arka? Ada yang bisa aku bantu?” suaranya penuh rasa ingin tahu.
Di sisi lain, Arka terdengar sedikit cemas, seolah ada yang membuatnya merasa gelisah. “Lia… aku perlu bicara denganmu. Bisa kau datang ke rumahku? Aku… aku tidak bisa menghadapinya sendirian lagi,” ujar Arka dengan nada yang terburu-buru dan penuh beban.
Lia merasakan kegelisahan dalam suara Arka, dan tanpa berpikir panjang, dia segera mengenakan jaketnya. “Tentu, aku akan segera datang,” jawabnya, berusaha menenangkan Arka meskipun hatinya sendiri mulai berdebar.
Tak lama kemudian, Lia tiba di rumah Arka. Rumah itu berada di ujung desa, agak terpencil, dengan pekarangan yang luas namun kosong. Ada suasana yang mencekam di sana, seolah rumah itu menyimpan kenangan yang cukup berat bagi Arka. Pintu depan terbuka sedikit, dan Lia melangkah masuk, menggapai handle pintu yang agak berdebu.
Arka menunggunya di ruang tamu yang sederhana. Hanya ada sebuah sofa panjang dan beberapa meja kopi kayu tua. Pencahayaan di dalam rumah itu redup, dengan hanya beberapa lampu yang menyala. Arka berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang, terlihat seperti sedang memandang jauh, namun tidak ada yang bisa dia lihat dengan jelas di luar sana.
Lia mendekat perlahan. “Arka,” panggilnya, “apa yang terjadi? Kenapa kamu menelepon aku tadi?”
Arka menoleh, wajahnya terlihat lelah dan penuh dengan rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. “Lia… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Aku merasa seperti terjebak. Semua perasaan ini, semuanya… terlalu berat untuk aku tanggung sendirian,” kata Arka, suaranya penuh dengan keputusasaan.
Lia bisa melihat betapa dalamnya rasa sakit yang dirasakan Arka. “Apa yang kamu rasakan, Arka? Ceritakanlah padaku. Aku di sini untukmu,” katanya dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan.
Arka menarik napas dalam-dalam, seolah menenangkan dirinya sebelum mulai bercerita. “Aku mulai merasa seperti hidupku hanya dihantui oleh masa lalu. Dira… adikku. Setiap kali aku teringat padanya, aku merasa bersalah. Aku merasa seolah aku tidak cukup melindunginya. Meskipun aku tahu itu bukan salahku, aku tetap merasa ada yang hilang dalam diriku. Seperti aku tidak pantas melanjutkan hidup tanpa dia. Tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara untuk melepaskan semua ini.”
Lia mendekat dan duduk di sampingnya, mencoba memberikan kenyamanan. “Kehilangan memang tidak mudah, Arka. Tidak ada yang bisa memberi kita jawaban langsung tentang bagaimana cara menghadapinya. Tapi kamu tidak harus menghadapinya sendirian. Aku ada di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”
Arka menatap Lia dengan tatapan kosong, seolah tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Aku merasa seperti aku sedang berusaha melepaskan sesuatu yang tidak bisa aku lepaskan. Seperti sebuah luka yang tidak bisa sembuh,” katanya, dan kali ini suara Arka benar-benar terdengar putus asa.
Lia mengangguk pelan. “Aku mengerti. Luka itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, Arka. Tapi seiring waktu, luka itu akan menjadi bagian dari dirimu. Kamu bisa belajar untuk hidup dengannya, dan mungkin, dengan waktu, kamu bisa merasa lebih ringan. Tapi yang terpenting, kamu harus tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang harus kamu tanggung sendirian.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Lia bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul Arka, dan meskipun dia ingin mengatakan sesuatu yang bisa meringankan rasa sakitnya, dia tahu bahwa tidak ada kata-kata ajaib yang bisa mengubah semuanya begitu saja.
Tiba-tiba, Arka berdiri dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke halaman belakang. Lia mengikutinya dengan pandangan. “Aku merasa seolah-olah hidup ini terus berjalan tanpa aku bisa mengendalikannya. Seperti sebuah sungai yang terus mengalir, dan aku hanya terbawa arus.”
Lia merasa bahwa saat itu adalah momen yang tepat untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. “Arka, aku pernah membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa meskipun kita tidak bisa menghentikan arus sungai, kita bisa memilih untuk berenang dan menemukan jalan kita sendiri. Mungkin kamu tidak bisa menghentikan rasa sakit itu, tapi kamu bisa memilih untuk menerima dan belajar darinya. Hidup ini tidak akan pernah adil, tapi kita selalu memiliki pilihan untuk bagaimana kita menghadapinya.”
Arka terdiam, matanya memandang jauh ke luar jendela. Kemudian, dia menoleh dan melihat Lia dengan tatapan yang lebih lembut. “Terima kasih, Lia. Aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku merasa sedikit lebih tenang. Aku rasa, aku bisa mencoba untuk hidup lagi.”
Lia tersenyum, meskipun hatinya masih penuh dengan perasaan campur aduk. “Kamu tidak perlu terburu-buru, Arka. Setiap langkah kecil yang kamu ambil menuju penerimaan itu sudah cukup. Aku akan ada di sini untuk mendukungmu.”
Di luar jendela, bintang-bintang kembali bersinar terang, seolah memberi mereka sedikit harapan, meskipun
Bab 4: Melangkah Bersama
Waktu terus berjalan, dan hubungan antara Lia dan Arka semakin kuat seiring berjalannya hari. Meskipun Arka masih sering dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya, kehadiran Lia memberinya secercah harapan bahwa mungkin ada cara untuk menghadapinya. Lia sendiri tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ada sesuatu yang menarik dalam diri Arka—sesuatu yang tidak hanya berhubungan dengan masa lalunya yang gelap, tetapi juga tentang bagaimana dia berusaha untuk melanjutkan hidup meskipun terasa begitu berat.
Selama beberapa bulan terakhir, Arka mulai lebih sering datang ke toko buku, tidak hanya untuk membeli buku, tetapi juga untuk berbicara. Lia merasa bahwa percakapan mereka semakin dalam. Mereka mulai berbicara tentang lebih banyak hal—tentang kehidupan, tentang impian yang belum tercapai, dan tentang bagaimana cara menghadapi kenyataan yang tak terhindarkan. Lia menyadari bahwa dalam setiap percakapan, Arka tidak hanya mencari solusi untuk melupakan masa lalunya, tetapi juga berusaha memahami dirinya sendiri.
Suatu sore, ketika toko buku agak lebih sepi dari biasanya, Arka datang dengan wajah yang tampak sedikit lebih cerah. Lia melihatnya dan tersenyum, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Arka, yang biasanya datang dengan wajah penuh kekhawatiran, kini terlihat lebih tenang. Ia duduk di kursi kayu di dekat jendela, memandang keluar ke arah hujan yang jatuh dengan perlahan.
“Apa yang membuatmu tampak lebih ringan hari ini?” tanya Lia dengan senyum lembut, duduk di sebelahnya.
Arka menoleh, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lia melihat senyum yang lebih tulus di wajahnya. “Aku merasa sedikit lebih baik,” jawabnya dengan suara yang lebih ringan. “Aku mulai belajar untuk melepaskan perasaan bersalah itu.”
Lia merasa lega mendengar kata-kata itu. Meskipun dia tahu perjalanan Arka masih panjang, dia juga tahu bahwa ini adalah langkah besar baginya. “Itu kabar yang sangat baik,” kata Lia, dengan nada yang penuh kebahagiaan. “Apa yang membuatmu bisa merasa seperti itu?”
Arka memandang keluar jendela sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku mulai membaca lebih banyak buku yang mengajarkanku tentang penerimaan. Salah satu buku yang kamu berikan tentang filosofi eksistensial banyak membantuku. Aku mulai memahami bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, dan meskipun aku tidak bisa mengendalikan segalanya, aku masih bisa mengendalikan cara aku meresponsnya.”
Lia mengangguk, merasa bangga dengan pencapaian Arka. “Kamu sudah melangkah jauh, Arka. Itu bukan hal yang mudah.”
“Aku tahu,” jawab Arka, menatap Lia dengan pandangan penuh rasa terima kasih. “Tanpamu, mungkin aku masih terjebak dalam kesedihan dan penyesalan. Kamu memberiku ruang untuk berpikir, untuk menyembuhkan diri. Aku merasa seperti aku menemukan kembali diriku sendiri.”
Lia tersenyum, hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu. “Aku hanya memberikan sedikit dorongan. Tapi semuanya berasal dari dirimu sendiri, Arka. Kamu yang memilih untuk melangkah maju.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap. Lia bisa merasakan perubahan dalam diri Arka, dan itu memberinya harapan bahwa mungkin mereka bisa melalui segala hal bersama. Mungkin ada masa depan untuk mereka berdua, meskipun jalan yang mereka tempuh tidak akan mudah.
Setelah beberapa menit, Arka memecah keheningan. “Lia, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”
Lia menoleh, merasa sedikit terkejut dengan perubahan nada suara Arka. “Apa itu?”
“Setelah semua yang kita lalui, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita. Aku tahu ini mungkin terdengar cepat, tapi aku tidak bisa menahannya lagi,” kata Arka, dengan nada yang serius. “Aku ingin tahu apakah kamu merasakan hal yang sama.”
Lia terdiam, mencoba mencerna kata-kata Arka. Hatinya berdebar, dan ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Sejak pertama kali bertemu Arka, dia merasa ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin membantu seseorang. Arka, dengan segala kekurangannya, telah menjadi bagian dari hidupnya. Dan seiring berjalannya waktu, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih dari sekadar simpati.
“Aku… aku juga merasa ada sesuatu yang lebih, Arka,” jawab Lia dengan suara yang sedikit gemetar. “Tapi aku takut jika kita melangkah terlalu cepat, kita bisa merusak apa yang sudah kita bangun.”
Arka tersenyum, meskipun ada sedikit keraguan di matanya. “Aku paham, Lia. Aku tidak ingin terburu-buru. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku. Dan aku ingin tahu apakah kamu juga merasakannya.”
Lia menghela napas, lalu meraih tangan Arka yang terletak di atas meja. “Aku tidak tahu ke mana ini akan membawa kita, Arka. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak ingin kehilanganmu. Apa pun yang terjadi, aku ingin kita berjalan bersama, tidak hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu.”
Arka menatap Lia, matanya penuh dengan kehangatan dan harapan. “Kita akan berjalan bersama, Lia. Aku janji.”
Mereka saling memandang dalam diam, dan dalam keheningan itu, keduanya merasakan sebuah koneksi yang tak terucapkan. Meskipun ada banyak ketidakpastian dalam hidup, mereka tahu bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk melangkah bersama.
Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan bagi mereka berdua. Arka semakin sering datang ke toko, tidak hanya untuk membeli buku, tetapi juga untuk menghabiskan waktu bersama Lia. Mereka mulai melakukan lebih banyak hal bersama—berjalan-jalan di taman, duduk di kafe kecil di sudut kota, dan berbicara tentang segala hal, mulai dari buku favorit hingga impian yang mereka simpan jauh dalam hati. Meskipun keduanya tahu bahwa hubungan mereka masih sangat baru, mereka merasa seperti menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka.
Suatu malam, setelah seharian menghabiskan waktu bersama, Arka mengajak Lia untuk pergi ke puncak gunung yang terletak di luar desa. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu,” kata Arka dengan senyum misterius di wajahnya.
Lia merasa penasaran, namun ia juga merasa sedikit gugup. Apa yang akan terjadi di sana? Namun, kehadiran Arka memberinya rasa aman, dan ia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan mereka bersama.
Setibanya di puncak, mereka berdiri di sana, memandang langit yang dipenuhi dengan bintang. Suasana malam itu begitu tenang, hanya ada angin yang berbisik dan suara alam yang jauh di bawah. Arka meraih tangan Lia, dan untuk sesaat, mereka berdua hanya terdiam, menikmati keindahan langit malam.
“Aku ingin kamu tahu, Lia,” kata Arka akhirnya, memecah keheningan. “Apa pun yang terjadi, aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Kamu memberi warna baru dalam hidupku.”
Lia menoleh, merasakan kelembutan dalam kata-kata Arka. “Aku juga merasa sama, Arka. Aku tidak pernah berpikir akan ada seseorang yang bisa mengubah hidupku seperti ini.”
Di bawah langit yang penuh bintang, mereka saling memandang. Ada kedamaian di sana, kedamaian yang mereka ciptakan bersama. Tak ada lagi masa lalu yang mengikat, tak ada lagi rasa takut akan kehilangan. Hanya ada dua hati yang saling menyayangi, melangkah bersama menuju masa depan yang penuh kemungkinan.
itu terasa panjang dan penuh dengan kenangan yang sulit untuk dilupakan.**
Bab 5: Langkah Baru
Hari-hari yang berlalu terasa lebih cerah bagi Lia dan Arka. Meskipun masih ada banyak kenangan pahit dalam hidup Arka, keduanya menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan mereka. Setiap percakapan, tawa, dan momen kecil yang mereka bagikan membawa mereka semakin dekat, tidak hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai pasangan yang saling mendukung.
Namun, meskipun keduanya merasa lebih kuat bersama, masa lalu tetaplah sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Bagi Arka, kehilangan Dira adalah luka yang akan selalu ada, meskipun ia mulai belajar untuk menerima kenyataan dan melepaskan rasa bersalahnya. Lia bisa merasakan perubahan dalam dirinya, dan itu adalah hal yang memberinya harapan. Arka kini lebih sering tersenyum, lebih sering berbicara tentang masa depan, dan meskipun ada keraguan kecil yang terkadang muncul di matanya, ia tidak lagi merasa terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Sore itu, setelah seharian menghabiskan waktu di toko buku, Lia duduk di belakang meja kayu sambil menyusun beberapa buku yang baru datang. Hujan ringan kembali turun, menciptakan suasana yang menenangkan. Dari jendela, ia bisa melihat pemandangan jalanan yang sepi, dihiasi oleh cahaya lampu yang memantul di genangan air.
Pintu toko buku terbuka dengan lembut, dan Lia menoleh. Arka masuk dengan langkah pelan, dan senyumnya langsung menyapa Lia, menghangatkan suasana yang cukup dingin.
“Hujan lagi,” kata Arka sambil melepas jaketnya dan menggantungnya di belakang pintu.
“Ya, seperti biasa. Musim hujan selalu datang lebih lama di sini,” jawab Lia sambil tersenyum.
Arka berjalan mendekat dan duduk di kursi kayu yang biasa mereka tempati. Matanya yang biasanya penuh dengan keraguan kini tampak lebih tenang. Ada perubahan yang terasa, perubahan yang menunjukkan bahwa Arka sudah mulai menghadapinya—masa lalu, rasa sakit, dan bahkan kebingungan tentang apa yang akan datang.
“Lia,” panggil Arka, suaranya lembut, namun ada ketegangan yang bisa dirasakan dalam nada itu. “Aku berpikir tentang sesuatu yang sudah lama ingin aku lakukan, sesuatu yang mungkin akan mengubah banyak hal.”
Lia menatap Arka, merasa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan. “Apa itu, Arka?”
Arka menarik napas dalam-dalam, seolah menenangkan dirinya sebelum akhirnya berbicara. “Aku ingin pergi ke tempat yang selama ini aku hindari. Aku ingin mengunjungi makam Dira. Aku ingin memberinya salam perpisahan yang benar. Aku ingin memaafkan diriku dan memberinya ruang untuk pergi dengan tenang.”
Lia terdiam sejenak, meresapi kata-kata Arka. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar, sebuah perjalanan emosional yang tidak mudah. Tapi ia juga tahu, ini adalah langkah yang sangat penting bagi Arka. “Aku akan menemanimu,” kata Lia akhirnya, dengan penuh keyakinan. “Tidak perlu pergi sendirian. Aku akan ada di sana bersamamu, apapun yang terjadi.”
Arka menatap Lia, matanya penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Lia. Aku merasa, denganmu di sini, aku bisa melangkah lebih ringan.”
Malam itu, mereka berdua mempersiapkan perjalanan menuju tempat peristirahatan terakhir Dira. Lia bisa merasakan betapa pentingnya momen ini bagi Arka. Mereka berkendara dengan tenang, di bawah hujan yang semakin deras. Sepanjang perjalanan, Arka hanya terdiam, tetapi Lia bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat. Ia meraih tangan Arka yang menggenggam setir dengan erat.
“Jangan takut, Arka,” kata Lia lembut. “Kamu tidak perlu merasa terbebani. Apa yang kamu lakukan ini adalah langkah yang sangat berani.”
Arka tersenyum kecil, meskipun wajahnya tampak sedikit tegang. “Aku tahu. Tapi rasanya… aku merasa seperti aku meninggalkan bagian dari diriku di tempat itu. Aku merasa seolah aku meninggalkannya di masa lalu, dan aku takut tidak bisa kembali.”
Lia mengeratkan genggaman tangannya. “Itulah tujuan dari perjalanan ini, kan? Untuk memberi dirimu kesempatan untuk kembali, untuk berdamai dengan masa lalu.”
Akhirnya, mereka sampai di tempat pemakaman yang terletak di sebuah bukit kecil di luar kota. Tempat itu sunyi, dikelilingi oleh pepohonan yang lebat dan udara yang sejuk. Di sana, mereka berdiri di depan makam Dira. Arka terdiam beberapa saat, matanya tertutup seolah menyerap setiap kenangan yang ada. Lia berdiri di sampingnya, memberikan ruang bagi Arka untuk berbicara dengan dirinya sendiri, dengan kenangannya yang telah lama terkubur.
Setelah beberapa saat, Arka akhirnya membuka matanya. “Dira, aku tahu kamu selalu ada di sini,” katanya pelan, tangannya diletakkan di atas batu nisan. “Aku berharap kamu bisa melihatku sekarang. Aku harap kamu tahu bahwa aku akhirnya bisa memaafkan diriku. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita sudah berpisah.”
Lia bisa merasakan betapa besar rasa sayang dan penyesalan yang dirasakan Arka. Ia tahu bahwa meskipun Arka berbicara kepada makam itu, ia sebenarnya sedang berbicara kepada dirinya sendiri—mencoba melepaskan sesuatu yang telah membelenggunya begitu lama.
Arka menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Lia melihatnya tersenyum dengan tulus. “Aku merasa lebih ringan,” katanya dengan suara yang lebih tenang, namun penuh dengan kelegaan. “Terima kasih, Dira. Aku akan melanjutkan hidup, tapi aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Lia merasakan air mata menggenang di matanya, namun dia tahu ini adalah momen yang tepat. “Aku bangga padamu, Arka,” bisiknya. “Kamu berhasil melalui ini. Kamu tidak lagi terjebak dalam rasa bersalah itu.”
Mereka berdiri di sana, berdua, dalam diam. Lia merasakan kedamaian yang mengalir melalui dirinya, merasakan bahwa mereka akhirnya bisa melangkah maju, meskipun kenangan itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Arka telah melakukan perjalanan emosional yang sangat berat, dan meskipun jalannya masih panjang, ia kini merasa siap untuk menghadapinya.
Setelah beberapa saat, mereka kembali ke mobil, dan Arka merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin, langkah pertama yang dia ambil untuk memaafkan dirinya adalah awal dari perjalanan baru mereka—perjalanan menuju masa depan yang penuh dengan kemungkinan.
“Lia,” kata Arka, suaranya lebih ringan dari sebelumnya. “Aku ingin mengajakmu merencanakan sesuatu. Aku tahu ini mungkin terdengar agak aneh, tapi aku ingin kita mulai hidup lebih penuh. Mungkin, kita bisa pergi berkeliling, menjelajahi dunia. Aku ingin melihat apa yang ada di luar sana, dan aku ingin melakukannya bersamamu.”
Lia menatap Arka, merasakan kegembiraan dan harapan yang meluap dalam hatinya. “Aku akan senang sekali, Arka. Aku ingin melakukannya bersamamu, juga. Karena aku tahu, ini adalah perjalanan baru kita, perjalanan yang tidak hanya berakhir di sini.”
Di luar, hujan masih turun dengan lembut, tetapi untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa langit yang gelap tidak lagi menghalangi mereka. Mereka akan berjalan bersama menuju masa depan, berdua, dengan harapan baru dan kebahagiaan yang lebih besar.***