Bab 1: Kedatangan
Arya duduk di bangku belakang sebuah mobil van yang melaju di jalan berliku menuju sebuah desa terpencil. Luar biasa tenang, hampir tidak ada suara selain deru mesin dan gelegak ban yang menghantam permukaan jalan beraspal kasar. Tangan kirinya menggenggam erat undangan misterius yang dia terima beberapa hari yang lalu. Undangan itu datang tanpa alamat pengirim, hanya selembar kertas putih dengan tulisan tangan yang rapi, namun anehnya, tulisan itu tampak mengenalnya.
“Selamat datang di Rumah Terlarang,” tulisannya berbunyi. “Tugas Anda adalah menyelidiki rumah yang telah lama terlupakan. Saya tahu Anda akan mengungkap kebenaran yang tersembunyi di dalamnya.”
Berkali-kali Arya berpikir untuk membuang undangan itu, namun ada sesuatu yang menariknya. Sebagai seorang detektif muda yang baru memulai karirnya, tantangan ini mungkin menjadi peluang yang tak bisa dilewatkan. Apalagi, dia pernah mendengar tentang Rumah Terlarang itu, rumah tua yang telah lama kosong, tapi selalu dikelilingi rumor dan cerita misterius dari penduduk setempat.
Kaki Arya sudah mulai lelah, dan mobil van itu terasa semakin lambat seiring waktu. Tak lama, dia melihat desa kecil yang terlihat semakin mendekat. Sesampainya di sebuah persimpangan, mobil itu berhenti di depan sebuah papan kayu yang usang, bertuliskan “Desa Surya Loka.” Tidak ada yang menarik dari desa ini, selain kabar bahwa banyak yang percaya tempat ini penuh dengan cerita gelap dan misteri yang tidak pernah terungkap.
“Sampai sini saja, Pak,” kata Arya pada sopir van, meletakkan sejumlah uang di kursi depan. Sopir itu menatap Arya sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Arya yang berdiri di depan desa yang sunyi.
Tidak ada suara riuh khas desa yang bisa dia dengar. Semuanya tampak sangat sepi, seolah-olah waktu berhenti bergerak di sini. Arya menghela napas dan mulai melangkah menuju rumah yang dimaksud dalam undangan. Jalan setapak itu dipenuhi dedaunan kering dan semak belukar yang hampir menyembunyikan setiap jejak yang pernah ada di sana. Dari jauh, dia bisa melihat siluet sebuah rumah besar, gelap, dan sangat tua. Rumah itu terletak di ujung desa, jauh dari pemukiman warga.
Arya terus melangkah, berpikir tentang apa yang mungkin menantinya di dalam rumah itu. Langkahnya semakin berat, tapi rasa penasaran mendorongnya untuk terus maju. Begitu sampai di depan gerbang rumah, ia berhenti sejenak. Pintu gerbang yang sudah berkarat dan tertutup rapat memberikan kesan angker, meski tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang tinggal di sana. Di sekitar rumah, pohon-pohon besar dan rimbun seakan menciptakan dinding alami yang membatasi pandangan.
“Apa yang sebenarnya ada di balik semua ini?” pikir Arya, merasakan sebuah dorongan kuat untuk melanjutkan. Dengan susah payah, ia membuka pintu gerbang yang berderit, mengungkapkan jalan setapak menuju rumah yang tampaknya sudah lama tidak terjamah.
Langkah kaki Arya terdengar menggema di sepanjang jalan batu, seolah-olah rumah itu tengah mengawasinya, menantikan kedatangannya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya sampai di depan pintu utama rumah yang besar. Pintu itu, meskipun terkesan kuat, ternyata tidak terkunci. Seolah-olah rumah itu memang menunggu kedatangannya.
Pintu terbuka dengan sendirinya ketika Arya mendorongnya perlahan, menciptakan suara berderak yang menambah kesan angker di malam yang sunyi. Begitu masuk, bau lembab dan debu langsung menyapa indera penciumannya. Ruangan pertama yang ia masuki tampak seperti ruang tamu yang telah lama ditinggalkan. Lantai kayu yang dulunya pasti halus kini dipenuhi serpihan-serpihan kecil. Langit-langit yang tinggi dan tak terawat membuat kesan kosong dan gelap semakin terasa. Beberapa perabotan lama, seperti kursi dan meja, tampak terabaikan, ditutupi oleh lapisan debu tebal.
Arya mengeluarkan senter dari tasnya dan mulai menyinari sekeliling. Di atas meja, ada sebuah buku tua yang tergeletak begitu saja. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati meja tersebut dan membuka buku itu dengan hati-hati. Hal pertama yang ia temukan adalah sebuah tulisan tangan yang sudah memudar, namun masih bisa terbaca dengan jelas.
“Rumah ini bukan rumah biasa. Ada yang tinggal di sini, bukan manusia. Jika kamu sampai di sini, kamu telah mengundang mereka ke dalam hidupmu. Hati-hati, jangan biarkan mereka tahu kamu tahu.”
Jantung Arya berdebar hebat. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Tanpa membuang waktu, ia menaruh kembali buku itu dan melangkah lebih dalam ke dalam rumah. Di sepanjang lorong panjang, lampu yang telah lama mati membuat kegelapan semakin pekat. Namun, di ujung lorong, ia melihat kilatan cahaya samar yang datang dari sebuah ruangan di sisi kiri.
Ketika memasuki ruangan itu, Arya merasa angin dingin yang menembus tulang. Ruangan itu penuh dengan foto-foto lama yang tergantung di dinding, sebagian sudah usang dan pudar. Namun, satu foto menarik perhatiannya. Di foto itu, ada sekelompok orang yang tampak bahagia, tetapi ada satu wajah yang tampak buram, hampir seolah-olah foto itu mengandung sesuatu yang tersembunyi.
“Apa yang terjadi di sini?” bisik Arya, menatap foto itu dengan perasaan tak nyaman.
Tiba-tiba, Arya mendengar suara berderak di atas kepalanya. Ia menoleh ke atas, dan untuk sesaat, ia merasa ada yang mengintip dari balik langit-langit. Tanpa pikir panjang, Arya segera menuruni tangga yang terlihat rapuh menuju lantai bawah. Tetapi, tepat ketika ia hendak berbalik, ia merasa ada sesuatu yang menyentuh punggungnya. Dengan cepat, Arya menoleh, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
Angin bertiup keras, menggoyangkan jendela dan menambah suasana mencekam. Hati Arya mulai berdebar lebih cepat. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rumah kosong ini. Sesuatu yang gelap, sesuatu yang menunggu.
Dari kejauhan, dia bisa melihat sosok wanita tua berdiri di dekat jendela besar rumah itu. Matanya tampak kosong, penuh kesedihan dan kekhawatiran. Wanita itu membuka pintu dan melangkah keluar dengan langkah berat, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Arya.“Selamat datang, anak muda,” suara wanita itu terdengar lembut namun penuh keheningan. “Aku Nenek Sari, dan aku tahu mengapa kamu di sini.”**
Bab 2: Pencarian Jejak
Setelah pertemuan singkat dengan Nenek Sari, Arya merasa lebih bingung dari sebelumnya. Wanita tua itu mengaku tahu alasan kedatangannya, namun lebih banyak berbicara dengan cara yang misterius, seolah-olah dia menyembunyikan lebih banyak hal dari yang diungkapkan. Dengan wajah yang penuh tanda tanya, Arya meninggalkan rumah Nenek Sari dan kembali ke Rumah Terlarang, bertekad untuk mencari tahu lebih banyak.
Pintu besar rumah itu terbuka dengan sendirinya, seperti memberi jalan kepadanya untuk melanjutkan penyelidikan. Kali ini, Arya merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Setiap langkah yang ia ambil di dalam rumah itu terdengar seperti gema yang tidak ada habisnya, seolah-olah ada banyak mata yang mengintip dari sudut-sudut gelap.
Di ruang tamu yang tadi ia lewati, sesuatu tampak berbeda. Pijakan kakinya meninggalkan jejak debu yang lebih tebal, seperti ada yang memperhatikan gerakannya. Mata Arya terarah pada sebuah lukisan besar yang menggantung di dinding—lukisan keluarga yang tampaknya sudah berusia ratusan tahun. Namun, ada yang aneh dengan lukisan itu. Wajah di dalam lukisan tampak kabur, seperti terdistorsi, seolah sedang melarikan diri dari sesuatu yang tidak terlihat.
“Siapa mereka?” bisik Arya, mendekat untuk memeriksa lebih jelas. Ia merasa seakan-akan lukisan itu menyimpan lebih banyak cerita daripada yang terlihat. Mungkinkah keluarga ini adalah bagian dari misteri yang terpendam di rumah ini? Tapi mengapa wajah mereka tampak seperti buram, tak bisa dikenali?
Arya mengalihkan perhatiannya dan memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Ia menyusuri lorong sempit yang membawa ke bagian belakang rumah. Setiap langkah yang ia ambil di lantai kayu yang berderak semakin membawa ketegangan di dalam hatinya. Tidak ada suara lain, hanya detak jantungnya yang terdengar begitu jelas. Arya merasa seperti ada sesuatu yang mengintai, mengikuti setiap gerakannya.
Pintu kayu di ujung lorong terbuka tanpa disangka. Arya melangkah masuk ke sebuah ruang bawah tanah yang gelap. Lampu dari senter yang dibawanya memancarkan cahaya samar di dalam ruangan yang dingin dan lembab. Dinding ruangan itu dipenuhi dengan noda tua, dan udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang terperangkap di sana selama bertahun-tahun.
“Ini dia…” Arya bergumam pelan. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang tersembunyi di ruang bawah tanah ini, sesuatu yang perlu ditemukan. Di salah satu sudut, ia melihat tumpukan benda-benda lama yang tertutup kain usang. Dengan hati-hati, ia menarik kain itu, mengungkapkan beberapa kotak kayu yang sudah mulai lapuk.
Salah satu kotak tersebut tampak lebih tua dari yang lainnya. Kotak itu tertutup rapat, namun ada tanda-tanda keausan di sekeliling tutupnya. Arya membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya, ia menemukan beberapa benda yang terlihat sangat usang: sebuah buku kecil dengan sampul yang sudah pudar, dan beberapa kunci kecil yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan rumah ini. Namun, satu benda menarik perhatian Arya: sebuah kunci besar yang tampaknya sangat berat dan antik.
Arya mengangkat kunci itu, merasa beratnya memberi kesan penting. Apa sebenarnya kunci ini membuka? Tanpa berpikir panjang, Arya memutuskan untuk membawa kunci itu bersama buku kecil yang ia temukan. Seiring dengan penemuan itu, ia mulai merasa semakin dekat dengan jawaban dari semua teka-teki yang berputar di kepalanya.
Kembali ke atas, Arya melanjutkan pencarian, kali ini menuju ke ruang lain yang sebelumnya tidak ia jelajahi. Di sebuah kamar yang lebih kecil, ia menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. Di tengah ruangan, ada sebuah meja tua dengan berbagai macam alat yang tidak dikenalnya. Namun, ada satu benda yang segera menarik perhatian Arya—sebuah gambar berbingkai yang terletak di atas meja. Gambar itu menunjukkan seorang pria paruh baya dengan ekspresi yang penuh kecemasan, berdiri di depan sebuah rumah besar, yang tak lain adalah Rumah Terlarang.
Di bawah gambar, ada tulisan yang tampaknya diukir dengan tangan. Dengan senter yang menyinari tulisan itu, Arya membaca kalimat yang tercetak di bawah gambar tersebut:
“Aku tahu mereka mengawasi kami, kami tidak bisa melarikan diri. Rumah ini akan menjadi penjara kami selamanya.”
Pesan itu membuat hati Arya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Siapa pria itu, dan mengapa dia merasa seperti terperangkap di tempat ini? Apa hubungan pria ini dengan keluarga yang tergambar di lukisan besar di ruang tamu? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikiran Arya, tapi jawabannya masih jauh dari jangkauan.
Dengan rasa waspada yang semakin tajam, Arya mengangkat gambar itu dan memeriksa bagian belakangnya. Di sana, dia menemukan sebuah catatan kecil yang tertulis dengan tangan, namun tampaknya tidak lengkap. Hanya ada beberapa kata yang tertulis dengan tinta yang hampir pudar:
“Jangan…” Arya membaca dengan suara pelan. “Jangan kembali setelah matahari terbenam.”
Penasaran dengan catatan tersebut, Arya memutuskan untuk menjelajahi lebih lanjut. Ia kembali menuju lorong panjang yang mengarah ke ruang tamu, tetapi kali ini ia merasa sesuatu yang berbeda. Ketegangan yang sebelumnya hanya bisa dirasakannya kini mulai terasa nyata. Suara langkah kaki terdengar samar dari belakangnya. Dengan cepat, Arya menoleh, hanya untuk menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana.
Tetapi begitu ia kembali menghadap ke depan, dia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut—pintu yang tadinya tertutup rapat kini terbuka lebar. Tidak ada angin, tidak ada yang menggerakkannya. Hanya suara angin yang terdengar di luar rumah yang semakin gelap. Arya tidak bisa menahan rasa takut yang tiba-tiba menyelimutinya, tetapi ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh, berpikir bahwa hanya dengan menemukan kebenaranlah ia bisa keluar dari rumah ini dengan aman.
Di ruang tamu, Arya melihat Nenek Sari berdiri di depan pintu besar. Wajahnya kini tampak lebih serius daripada tadi. “Kau sudah menemukan banyak hal, bukan?” tanya Nenek Sari dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Tapi, ada satu hal yang kau belum temukan.”
Arya mengerutkan kening, merasa semakin terjerat dalam misteri ini. “Apa itu?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu bahwa jawaban yang akan diberikan tidak akan mudah.
Nenek Sari menatapnya dengan tatapan yang dalam. “Rahasia rumah ini lebih besar dari yang kau kira,” katanya. “Tapi, sekali kau masuk, tidak ada yang bisa keluar tanpa mengungkap semuanya.”**
Bab 3: Misteri di Dalam
Arya berdiri diam, menatap Nenek Sari dengan perasaan bingung dan khawatir. Kata-kata wanita tua itu menggema di pikirannya: “Sekali kau masuk, tidak ada yang bisa keluar tanpa mengungkap semuanya.” Ada sesuatu yang sangat menakutkan dalam peringatan itu, namun rasa penasaran yang kuat membuatnya merasa terpaksa untuk melangkah lebih dalam.
“Sekarang, kau sudah melihat sedikit dari apa yang ada di sini,” kata Nenek Sari dengan suara serak namun penuh makna. “Tapi jangan salah, ini baru permulaan.”
Arya menelan ludah, mencoba untuk menenangkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, Nenek?”
Nenek Sari menghela napas panjang, seolah-olah mengumpulkan keberanian untuk berbicara lebih lanjut. “Rumah ini bukan hanya sekadar bangunan kosong. Ini adalah penjara yang dibangun oleh mereka yang dahulu tinggal di sini. Ada kekuatan gelap yang mengikat tempat ini, dan mereka yang datang untuk menyelidikinya, atau sekadar tinggal, biasanya tidak akan bisa pergi sebelum mereka tahu seluruh kebenarannya.”
Arya merasakan dingin yang merayap di tubuhnya. “Apa yang terjadi pada mereka yang tidak pernah kembali?”
Nenek Sari hanya menatapnya lama, seolah-olah mencoba mengukur apakah Arya siap untuk mengetahui lebih banyak. “Mereka menjadi bagian dari rumah ini. Sebagian besar dari mereka tidak bisa meninggalkan tempat ini, bahkan setelah kematian. Jiwa mereka terjebak di sini, dan mereka menjadi bagian dari kutukan yang menghantui rumah ini.”
Arya tidak bisa menahan rasa takut yang mulai menguasainya. “Lalu bagaimana cara menghentikannya? Apa yang harus saya lakukan?”
Wanita tua itu mengangkat bahunya. “Itu tergantung pada seberapa banyak yang kau siap ketahui. Kau harus menggali lebih dalam, menemukan semua yang tersembunyi. Rumah ini memiliki banyak pintu yang belum terbuka, banyak rahasia yang belum terungkap.”
Dengan perasaan yang berat, Arya berjanji untuk melanjutkan pencariannya. Ia merasa bahwa hanya dengan menemukan kebenaran di balik semua ini, ia bisa meninggalkan tempat ini dengan aman. Namun, saat ia melangkah kembali ke dalam rumah, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya. Mungkin itu hanya perasaannya, tetapi dia tidak bisa menepis perasaan bahwa rumah itu sedang mengujinya.
Melangkah menuju ruang tamu, Arya melihat foto besar keluarga yang tergantung di dinding, yang ia perhatikan sebelumnya. Kini, foto itu tampak lebih mencurigakan, seperti ada sesuatu yang berubah. Wajah orang yang ada di dalam foto itu, yang sebelumnya buram, kini terlihat lebih jelas, meskipun samar-samar. Semua wajah tampak saling menghadap, terkecuali satu wajah yang tertunduk, seolah-olah ingin menghindari pandangan mata orang lain.
Arya mendekati foto itu, menatapnya dengan penuh perhatian. Dia yakin wajah yang tertunduk itu adalah orang yang ada dalam gambar yang ia temukan di ruang bawah tanah—seorang pria yang tampaknya terperangkap dalam ketakutan yang mendalam. Apa hubungan pria itu dengan keluarga ini?
Arya mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu. Setiap sudut ruangan tampaknya menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. Tidak ada barang yang terlihat normal di sini—semua perabotan yang ada, meskipun tampak kuno, memiliki aura yang tidak wajar. Ada sebuah jam dinding yang berhenti berfungsi, dan di sudut ruangan lain, sebuah kursi goyang yang tidak pernah bergerak meskipun tidak ada angin yang menyentuhnya.
Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Dia harus menemukan lebih banyak petunjuk. Melangkah ke sebuah pintu kayu kecil di sebelah ruang tamu, Arya menemukan dirinya memasuki sebuah ruang yang jauh lebih gelap. Di dalam ruangan itu, tidak ada jendela, hanya beberapa rak buku yang sudah usang dan penuh debu. Namun, ada satu rak yang menarik perhatiannya—rak buku yang terlihat lebih baru, seolah-olah seseorang sengaja menyembunyikannya di sana.
Tanpa ragu, Arya melangkah mendekat dan membuka rak tersebut. Tiba-tiba, ia mendengar suara berderak keras dari dalam dinding. Arya terkejut, namun terus melanjutkan usahanya. Dengan tangan yang gemetar, ia menarik buku-buku yang tergeletak di rak tersebut. Di bagian paling belakang, ia menemukan sebuah buku besar yang terlihat lebih berat dari yang lainnya. Halaman sampul buku itu tampak tua dan berlapis debu, tetapi ada simbol aneh yang tertulis dengan tinta yang memudar di atasnya.
Arya membuka buku itu perlahan, dan membaca halaman pertama yang tertulis dengan tangan yang rapat dan rapi. Tulisan itu berbunyi:
“Ketika pintu yang benar dibuka, kebenaran akan terungkap, tetapi bukan tanpa harga. Rumah ini akan melawan siapa saja yang mencoba mencari tahu terlalu banyak.”
Seketika, Arya merasa ada yang bergerak di balik tembok, seperti sesuatu yang bangkit dan memperhatikan setiap gerakan. Dia menutup buku itu dengan cepat, merasakan kehangatan yang menyebar di seluruh tubuhnya. Terdengar suara lembut dari atas, seperti langkah kaki yang menggema di lantai kayu.
Mata Arya terfokus pada tangga yang menuju ke lantai dua. Ia merasa dorongan kuat untuk menuju ke atas, walaupun rasa takut dan ketegangan terus menguasainya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ada tangan tak terlihat yang berusaha menariknya kembali. Begitu ia mencapai lantai atas, ia menyadari bahwa seluruh rumah terasa lebih gelap, lebih mencekam. Setiap sudutnya tampak penuh dengan bayangan yang bergerak.
Di ujung lorong, ia melihat sebuah pintu kayu tua yang sedikit terbuka. Pintu itu tampaknya mengarah ke ruang lain, namun ia tidak tahu apa yang akan ia temui di dalamnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu, dan ketika ia masuk, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang besar yang lebih menyerupai ruang penyimpanan. Di tengah ruang itu, ada sebuah meja yang tertutup kain putih.
Arya mendekat ke meja itu dan menarik kain putih yang menutupi meja. Di atasnya terbaring sebuah benda besar yang dibungkus dalam kain tebal. Tanpa ragu, ia membuka kain itu dan melihat apa yang ada di dalamnya—sebuah peti kayu dengan ukiran yang sangat rumit, mirip dengan peti yang ia temukan di ruang bawah tanah sebelumnya.
Tiba-tiba, Arya merasa ada sesuatu yang sangat salah. Ketika ia menyentuh peti itu, sebuah suara gemuruh terdengar dari lantai bawah. Tanpa peringatan, pintu ruangan itu tertutup dengan keras, membuat Arya terkejut. Ia segera berbalik, dan saat itulah ia melihatnya—di balik peti itu, ada sebuah pintu kecil yang tersembunyi, hampir tidak terlihat oleh mata manusia.
Arya merasa dorongan kuat untuk membuka pintu itu, meskipun suara bisikan di dalam rumah semakin keras. Pintu kecil itu berderit saat dibuka, dan Arya melangkah masuk, hanya untuk menemukan dirinya berada di sebuah ruang gelap yang dipenuhi dengan catatan-catatan tua, foto-foto yang sudah pudar, dan berbagai benda yang tampaknya diabaikan.
Di tengah ruangan itu, ada sebuah cermin besar yang tergeletak begitu saja, dengan bingkai kayu yang penuh ukiran. Ketika Arya mendekat dan melihat bayangannya di cermin, ia terkejut—bayangan itu bukan dirinya, tetapi seorang pria yang tampak gelisah dan ketakutan.
Bayangan itu menatapnya dengan mata yang kosong, seolah mencoba memberi peringatan. Tanpa peringatan, cermin itu bergetar dan suara berbisik terdengar semakin keras.**
Bab 4: Jejak yang Terlupakan
Arya terperangah di depan cermin besar itu. Bayangannya yang terlihat di sana bukan lagi dirinya, tetapi sosok pria yang tampak penuh ketakutan, seolah ingin memperingatkan dirinya tentang bahaya yang mengancam. Kegelapan yang menutupi ruangan itu semakin mencekam, dan suara bisikan yang terus berulang di telinganya membuat Arya merinding. Dengan tubuh yang gemetar, ia berbalik dan mencoba untuk mencari jalan keluar dari ruang sempit itu.
Namun, setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya untuk tetap berada di tempat itu. Seiring dengan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat, Arya merasa seperti ada sesuatu yang mengintai dari dalam rumah ini—sesuatu yang lebih besar dan lebih jahat daripada yang ia duga sebelumnya.
Dengan tangan yang masih gemetar, ia berusaha mencari pintu keluar. Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat bahwa cermin itu kembali memantulkan bayangannya yang berbeda, kali ini lebih jelas. Pria dalam bayangan itu berdiri tegak, menatapnya dengan mata yang kosong. Tiba-tiba, sosok itu mulai bergerak—mendekat, dan semakin dekat. Arya merasa seperti cermin itu menelan ruang di sekelilingnya.
Dengan panik, Arya berlari keluar dari ruang sempit itu, berusaha untuk meninggalkan bayangan yang terus menghantuinya. Ia menyusuri lorong gelap, melangkah cepat, tetapi tak kunjung menemukan jalan keluar. Setiap pintu yang ia buka hanya mengarah ke ruangan lain yang lebih gelap dan lebih penuh dengan misteri. Arya merasakan bahwa rumah ini memiliki cara untuk menghalanginya, seolah-olah ia sedang tersesat dalam sebuah labirin tanpa ujung.
Akhirnya, Arya sampai di sebuah ruangan yang sebelumnya belum pernah ia jelajahi—ruangan yang terletak di lantai dua. Ruangan itu lebih luas daripada yang lainnya, dengan jendela-jendela besar yang tertutup rapat oleh tirai tebal. Di tengah ruangan, ada sebuah meja panjang yang dipenuhi dengan tumpukan kertas-kertas kuno. Di atas meja itu, ada beberapa gambar yang tampaknya merupakan sketsa arsitektur rumah ini, dan di antara gambar-gambar itu, ada satu yang menarik perhatian Arya.
Sebuah sketsa menunjukkan bagian rumah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—sebuah ruang bawah tanah yang lebih dalam dari yang ia temukan. Sketsa itu menggambarkan sebuah lorong panjang dengan pintu-pintu tertutup, dan di ujungnya, ada sebuah ruangan besar yang tampaknya menyimpan sesuatu yang sangat berbahaya. Di atas gambar itu, ada tulisan yang tertulis dengan tinta merah, yang hanya bisa dibaca oleh Arya saat ia mendekatkan wajahnya ke gambar tersebut.
“Pintu Terlarang: Hanya yang terpilih yang dapat melaluinya, tetapi ada harga yang harus dibayar.”
Mata Arya terbeliak, dan jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang ada di balik pintu terlarang itu? Mengapa rumah ini begitu terobsesi dengan “terpilih”? Adakah hubungannya dengan pria yang ia lihat dalam cermin tadi, atau dengan keluarga yang pernah tinggal di rumah ini?
Saat ia merenung, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari belakangnya. Arya segera menoleh, namun hanya ada keheningan yang menyelimuti ruangan. Tidak ada sosok, hanya bayangan-bayangan yang bergerak di balik tirai. Namun, Arya tahu bahwa ia tidak sendirian. Suara langkah kaki itu semakin dekat, dan tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka perlahan.
Di ambang pintu, berdiri Nenek Sari dengan wajah yang tampak lebih serius dari sebelumnya. “Kau sudah menemukan gambar itu, bukan?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh peringatan.
Arya mengangguk, merasa bahwa ia tidak bisa lagi menahan rasa takut yang semakin menyelimuti dirinya. “Apa yang ada di balik pintu itu, Nenek? Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?”
Nenek Sari melangkah masuk, matanya penuh dengan keprihatinan. “Pintu Terlarang adalah tempat di mana banyak rahasia yang telah lama terkubur. Itu bukan hanya bagian dari rumah ini, tetapi juga bagian dari sejarah yang lebih gelap. Banyak yang datang ke sini untuk mencari jawaban, tapi tidak semua yang menemukan kebenaran bisa kembali dengan selamat.”
“Apakah itu ada hubungannya dengan keluarga yang dulu tinggal di sini? Dengan pria yang aku lihat dalam cermin?” tanya Arya, suaranya terdengar penuh kecemasan.
Nenek Sari menghela napas panjang. “Pria yang kau lihat dalam cermin itu adalah salah satu dari mereka—salah satu penghuni rumah ini yang terperangkap dalam kegelapan. Dia adalah bagian dari keluarga yang dulu tinggal di sini, keluarga yang terikat dengan kutukan rumah ini. Setiap generasi, mereka yang terpilih akan kembali, dan rumah ini akan menuntut mereka untuk mengungkap semua rahasia yang tersembunyi.”
Arya merasa seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. “Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara keluar dari rumah ini?”
Nenek Sari menatapnya dengan tatapan yang penuh peringatan. “Untuk keluar, kau harus membuka Pintu Terlarang. Tapi hati-hati, karena sekali kau memasuki ruangan itu, kau akan dihadapkan pada pilihan yang sulit—pilihan yang mungkin tidak akan kau sukai.”
Arya menggigit bibirnya, merasakan ketegangan yang semakin menguasainya. “Apakah ada cara lain? Atau aku harus melanjutkan pencarianku?”
Nenek Sari hanya menggelengkan kepala. “Kau sudah terjebak di dalamnya, Arya. Tidak ada jalan kembali kecuali kau menemukan jawaban yang benar. Namun, ingatlah, harga yang harus dibayar bisa sangat mahal.”
Arya merasa seperti dikelilingi oleh bayangan gelap yang semakin menekan, namun rasa ingin tahu yang kuat mendorongnya untuk melanjutkan. “Aku tidak punya pilihan selain terus mencari. Aku harus tahu apa yang terjadi di sini.”
Nenek Sari tidak menjawab. Ia hanya menatap Arya dengan tatapan yang penuh penyesalan, seolah tahu bahwa pencarian ini akan membawa konsekuensi yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.
Tanpa mengatakan kata-kata lain, Nenek Sari berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Arya dengan pertanyaan yang semakin menggelayuti pikirannya. Arya menatap gambar sketsa itu sekali lagi, merasa semakin dekat dengan jawaban, meskipun setiap langkahnya semakin membawanya menuju kegelapan yang lebih dalam.
Dengan tekad yang bulat, Arya melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. Ia tahu bahwa ia harus membuka Pintu Terlarang, meskipun ia belum tahu apa yang akan ia hadapi di baliknya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, tetapi ia tidak bisa mundur. Sesuatu yang lebih besar dari rasa takutnya telah menguasai dirinya, dan ia tahu bahwa hanya dengan mengungkapkan rahasia-rahasia gelap itu, ia akan bisa keluar dari rumah ini.
Saat ia sampai di ruang bawah tanah, pintu besar yang ia temui sebelumnya kini tampak lebih mencurigakan. Arya mendekati pintu itu, merasakan energi yang kuat memancar dari baliknya. Tanpa ragu, ia menarik gagang pintu, dan perlahan membuka pintu itu, membawa dirinya ke dalam kegelapan yang lebih dalam.**
Bab 5: Akhir dari Segalanya
Arya merasa keringat dingin mengalir di sepanjang punggungnya. Ia berdiri di depan pintu besar yang berderit pelan saat ia membukanya. Di dalam ruangan yang gelap itu, aura yang begitu berat dan misterius menyelimuti setiap sudutnya, seolah ruang tersebut tidak pernah disentuh oleh cahaya matahari. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti diseret ke dalam kedalaman kegelapan yang tidak bisa dijelaskan.
Saat ia melangkah masuk lebih jauh, pintu yang baru saja ia buka menutup dengan sendirinya, memberi kesan bahwa rumah ini memiliki kekuatan untuk mengurungnya. Ruangan itu tidak luas, namun penuh dengan simbol-simbol aneh yang terukir di dinding. Di tengah ruangan, ada sebuah altar kuno dengan lilin-lilin yang menyala, meskipun tidak ada yang tampak menyalakan mereka. Keheningan ruangan itu sangat mencekam, dan Arya bisa merasakan ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya.
Di atas altar, sebuah buku besar tergeletak terbuka, halaman-halamannya tampak berdebu dan terkoyak. Di sekitar buku itu, ada benda-benda ritual yang sudah usang—sebuah pedang kecil yang tampaknya digunakan dalam upacara, serta beberapa potongan kain yang tampaknya pernah digunakan untuk menyembuhkan atau menyegel sesuatu. Semua benda itu memberi kesan bahwa tempat ini digunakan untuk tujuan yang jauh lebih gelap daripada yang bisa dipahami Arya.
Dengan perasaan cemas yang terus menghantui, Arya mendekati altar dan melihat lebih dekat ke halaman buku itu. Tertulis di halaman pertama sebuah kalimat yang mengerikan:
“Bukan hanya yang hidup yang terikat oleh tempat ini, tetapi juga mereka yang telah mati. Yang terperangkap di antara dua dunia akan selalu mencari jalan keluar, namun hanya satu yang bisa melangkah melewati gerbang.”
Arya membaca kata-kata itu berulang kali, mencoba memahami makna yang tersembunyi di baliknya. Kata-kata itu seperti menggambarkan dirinya sendiri—seorang yang terperangkap di antara dua dunia, dunia yang nyata dan dunia yang penuh dengan rahasia gelap rumah ini. Di tengah perasaan bingung dan ketakutan yang semakin menguasai dirinya, Arya menyadari sesuatu—sesuatu yang selama ini ia coba hindari. Ia mungkin telah terjebak dalam kutukan rumah ini, tetapi ia juga adalah bagian dari cerita yang lebih besar.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya, dan Arya berbalik dengan cepat. Sosok pria yang pernah ia lihat dalam cermin kini muncul di depan altar, menatapnya dengan mata kosong yang penuh penderitaan. Itu adalah sosok yang sama—pria yang tampaknya terperangkap dalam kegelapan rumah ini.
“Kenapa kau kembali?” suara pria itu terdengar serak, penuh dengan kebingungan dan kesedihan. “Kenapa kau tidak pergi? Mengapa kau terus mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan?”
Arya merasa mulutnya kering, namun ia berusaha mengumpulkan kata-kata. “Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin tahu kebenaran. Apa yang terjadi di rumah ini?”
Pria itu menghela napas panjang, seolah sudah tidak memiliki banyak waktu. “Ini bukan hanya rumah, ini adalah tempat di mana roh-roh terperangkap. Mereka yang pernah tinggal di sini, seperti keluarga yang dulu mendirikan tempat ini, terperangkap dalam kutukan yang tak bisa dihindari. Rumah ini dibangun dengan tujuan untuk menyegel kekuatan yang tidak bisa dipahami. Mereka yang mencarinya, yang menginginkan kebenaran, akan terperangkap selamanya.”
Arya merasa kegelapan itu semakin mendekat. “Aku tidak bisa tinggal di sini, aku harus keluar. Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan semua ini?”
Pria itu menggelengkan kepala, ekspresinya penuh dengan kesedihan. “Tidak ada cara untuk menghentikan ini. Kamu sudah berada di titik ini, dan sekarang kau harus memilih—melangkah lebih dalam untuk mengetahui kebenaran, atau menyerah dan terjebak di sini seperti kami.”
Perasaan cemas menghantui Arya. Ia bisa merasakan kekuatan tak terlihat yang menariknya ke dalam lorong gelap rumah ini, tetapi hatinya tetap berusaha untuk bertahan. “Aku tidak ingin menjadi bagian dari kutukan ini. Aku ingin kembali.”
Sosok pria itu menggelengkan kepala lagi, matanya penuh penyesalan. “Tidak ada kembali. Pintu gerbang sudah terbuka. Kini, hanya satu hal yang bisa kau lakukan. Temukan kunci terakhir yang tersembunyi di balik lapisan gelap ini. Hanya dengan kunci itu, kau bisa menutup pintu gerbang yang telah terbuka. Hanya dengan itu kau bisa keluar.”
Arya menatapnya dengan tatapan bingung, namun pria itu hanya mengangkat tangannya dan menunjuk ke sebuah sudut ruangan yang lebih gelap. Di sana, tersembunyi di balik tumpukan kertas-kertas kuno, ada sebuah kotak kecil yang terbuat dari logam. Arya melangkah mendekat, merasa bahwa kotak itu adalah satu-satunya petunjuk yang dapat membantunya keluar dari tempat ini.
Ketika Arya membuka kotak itu, ia menemukan sebuah kunci kecil, yang terlihat sangat tua, namun sangat kuat. Pada ujung kunci itu ada simbol yang tampaknya sangat familiar—simbol yang sama dengan yang ada di dinding rumah ini, yang sudah ia lihat sebelumnya. Dengan perasaan yang penuh harapan dan ketegangan, Arya menyadari bahwa kunci ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini.
Namun, saat ia menggenggam kunci itu, ruangan itu mulai bergetar. Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar terdengar dari dalam tembok, seperti suara gerbang yang terbuka. Arya merasa ada kekuatan yang sangat besar berusaha untuk menahan langkahnya. Kegelapan mulai menyelimuti seluruh ruangan, dan suara-suara aneh semakin terdengar di sekelilingnya.
Saat ia mendekati pintu besar yang menuju keluar, ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Rumah ini seolah menyatu dengan dirinya, seolah tempat ini telah menjadi bagian dari tubuhnya. Setiap langkah yang ia ambil membawa lebih banyak rasa takut, namun juga rasa tekad yang semakin besar. Arya tahu bahwa ini adalah saat terakhirnya—apakah ia akan terjebak selamanya dalam kutukan ini, atau apakah ia akan berhasil menutup pintu gerbang yang telah terbuka?
Dengan hati yang penuh keteguhan, Arya menyisipkan kunci itu ke dalam lubang kunci pintu besar. Begitu kunci itu terpasang, sebuah suara gemuruh terdengar, dan pintu itu terbuka perlahan. Namun, di balik pintu itu, tidak ada jalan keluar yang tampak. Yang ada hanyalah sebuah lorong gelap yang seolah menunggu Arya untuk melangkah lebih jauh.
Namun, saat Arya melangkah masuk, ia merasakan cahaya yang mulai menerangi jalan di depannya. Keheningan yang menyelimuti rumah itu akhirnya mulai terpecah, dan suara-suara aneh yang sebelumnya menghantui dirinya mulai menghilang. Arya terus berjalan, dan semakin jauh ia melangkah, semakin terang cahaya yang menerangi jalannya. Hingga akhirnya, ia melihat sebuah pintu keluar yang terbuka lebar, di luar sana, dunia yang ia kenal menanti.
Dengan langkah terakhir, Arya melangkah keluar dari rumah itu. Pintu besar tertutup dengan sendirinya, dan suara gemuruh itu hilang. Rumah itu, dengan semua rahasia dan kutukannya, akhirnya tertinggal di belakangnya.
Arya menghela napas panjang, merasa beban berat yang selama ini menghantuinya akhirnya terlepas. Ia telah berhasil keluar, meninggalkan rumah misterius itu dengan segala kejahatan yang telah dipendam selama bertahun-tahun. Namun, meskipun ia telah bebas, bayangan rumah itu tetap terukir dalam ingatannya—sebuah tempat yang pernah menguji kekuatan tekad dan keberanian.****
——————–THE END————–