BAB 1: UNDANGAN KE DESA TANJUNG ASIH
1. Sebuah Surat Misterius
Hujan rintik-rintik membasahi jendela apartemen kecil Reza di Jakarta. Ia baru saja selesai menulis laporan untuk surat kabar tempatnya bekerja ketika matanya tertuju pada sebuah amplop kecokelatan yang terselip di bawah pintu. Tidak ada nama pengirim, hanya namanya yang tertulis di bagian depan dengan huruf-huruf miring yang rapi:
Untuk Reza Ananta.
Reza mengernyitkan dahi. Ia mengambil amplop itu, membukanya, dan mengeluarkan selembar kertas yang sedikit menguning. Isinya singkat, namun cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang:
“Jika kau ingin tahu kebenaran tentang kasus di Desa Tanjung Asih, datanglah. Seseorang menunggumu di sana.”
Tidak ada tanda tangan, tidak ada petunjuk lebih lanjut. Hanya sebuah alamat yang dituliskan di bagian bawah kertas itu—sebuah desa terpencil yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya.
Reza adalah seorang jurnalis investigasi yang terbiasa dengan hal-hal aneh. Namun, ini pertama kalinya ia menerima surat misterius seperti ini. Apa yang begitu penting tentang desa itu? Dan siapa yang mengundangnya?
Ia membuka laptopnya, mencari informasi tentang Desa Tanjung Asih. Tidak banyak yang bisa ditemukan. Satu-satunya berita yang menarik perhatiannya adalah sebuah kasus lama—serangkaian pembunuhan brutal yang terjadi sekitar dua puluh tahun lalu. Kasus itu tidak pernah terpecahkan.
Reza menutup laptopnya, menatap surat itu sekali lagi. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, dorongan yang sulit dijelaskan. Ia tahu ada risiko besar, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat.
Esok pagi, ia akan pergi ke sana.
—
2. Perjalanan Menuju Desa
Pagi itu, Reza berangkat dari Jakarta menuju sebuah kota kecil yang menjadi titik terakhir sebelum Desa Tanjung Asih. Dari sana, ia harus menyewa kendaraan untuk menempuh perjalanan selama dua jam melewati jalanan hutan yang sepi.
Sopir yang mengantar Reza, seorang pria tua bernama Pak Darto, terus-menerus meliriknya dari kaca spion.
“Kau yakin mau ke Tanjung Asih, Nak?” tanyanya dengan suara berat.
“Ya, saya ada urusan di sana,” jawab Reza singkat.
Pak Darto menghela napas. “Orang-orang jarang mau ke sana. Desa itu punya sejarah kelam.”
Reza mengangkat alisnya. “Maksud Bapak?”
Pak Darto tampak ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Dulu, ada serangkaian pembunuhan di sana. Kejadiannya aneh… korban ditemukan dengan tubuh membiru, seperti kehabisan darah, tapi tidak ada luka yang jelas.”
Reza mencatat dalam pikirannya. Ini semakin menarik.
“Siapa yang membunuh mereka?” tanyanya.
Pak Darto menggeleng. “Tidak ada yang tahu. Polisi menyelidiki, tapi tiba-tiba kasus itu ditutup begitu saja. Sejak itu, desa itu jadi sepi. Banyak orang pindah.”
Reza merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apa pun yang terjadi di desa itu, jelas ada sesuatu yang disembunyikan.
Saat mereka mendekati desa, suasana berubah. Hutan di sekitar semakin lebat, dan jalanan terasa lebih sunyi. Udara pun terasa lebih dingin, meskipun matahari masih bersinar.
Tiba-tiba, Pak Darto menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang kayu besar yang mulai lapuk.
“Saya cuma bisa mengantarmu sampai sini,” katanya. “Kalau butuh tumpangan kembali, kau bisa cari orang di desa, tapi jangan terlalu lama di sini.”
Reza mengangguk, mengambil ranselnya, dan melangkah masuk ke desa.
3. Sambutan yang Dingin
Desa Tanjung Asih tampak sepi. Rumah-rumah kayu berjajar di kedua sisi jalan utama, sebagian besar terlihat tua dan tak terawat. Beberapa penduduk desa menatap Reza dengan mata penuh curiga dari balik jendela.
Ia melangkah lebih jauh ke dalam desa, mencari tempat menginap. Akhirnya, ia menemukan sebuah rumah yang berfungsi sebagai penginapan sederhana. Seorang wanita tua bernama Bu Ratna menyambutnya dengan ekspresi penuh tanda tanya.
“Anda bukan orang sini,” katanya sambil memperhatikan Reza dari ujung kepala hingga kaki.
“Saya hanya berkunjung sebentar,” jawab Reza sopan. “Saya jurnalis, ingin mencari informasi tentang desa ini.”
Mata Bu Ratna tampak sedikit membesar, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya menghela napas.
“Kamar ada di lantai atas. Tapi hati-hati, Nak,” katanya sambil menyerahkan kunci kamar.
Reza tidak menjawab. Ia sudah terbiasa dengan peringatan semacam itu.
Setelah meletakkan tasnya di kamar, ia memutuskan untuk berkeliling desa. Namun, hampir semua orang yang ia temui enggan berbicara. Setiap kali ia bertanya tentang masa lalu desa, mereka hanya menggeleng dan pergi.
Satu-satunya orang yang tampak bersedia berbicara adalah seorang dokter muda bernama Maya, yang bekerja di klinik kecil di desa itu.
“Kau satu-satunya orang luar yang datang ke sini dalam beberapa tahun terakhir,” kata Maya sambil menyeduh teh di teras rumahnya. “Kenapa kau tertarik dengan desa ini?”
Reza mengeluarkan surat misterius itu dan memberikannya pada Maya. Wanita itu membaca dengan alis berkerut.
“Saya tidak tahu siapa yang mengirimkan ini,” katanya akhirnya. “Tapi kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang desa ini, kau harus bertanya pada Pak Surya. Dia satu-satunya orang yang masih ingat apa yang terjadi dua puluh tahun lalu.”
Reza mengangguk. “Di mana saya bisa menemukannya?”
Maya menatapnya dengan ekspresi serius. “Dia tinggal di rumah tua di ujung desa. Tapi Reza… jangan pergi ke sana setelah matahari terbenam.”
4. Misteri yang Semakin Dalam
Hari mulai gelap saat Reza berjalan menuju rumah Pak Surya. Desa terasa semakin sunyi, hanya suara angin yang berhembus di antara pepohonan.
Saat ia mengetuk pintu rumah tua itu, tidak ada jawaban. Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, pintu berderit terbuka sedikit.
“Masuklah,” terdengar suara serak dari dalam.
Reza masuk dengan hati-hati. Ruangan di dalam rumah itu remang-remang, hanya diterangi lampu minyak. Seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan duduk di kursi kayu, menatapnya dengan mata tajam.
“Kau yang menerima surat itu?” tanya Pak Surya.
Reza mengangguk. “Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.”
Pak Surya menarik napas panjang, seolah ragu untuk berbicara.
“Mereka bilang pembunuhan itu dilakukan oleh manusia… tapi tidak ada manusia yang bisa melakukan hal seperti itu.”
Reza merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa maksud Bapak?”
Pak Surya menatapnya lekat-lekat. “Ada sesuatu yang tinggal di desa ini. Sesuatu yang tidak bisa kau lihat dengan mata biasa. Mereka belum pergi.”
Seketika, terdengar suara gemerisik di luar jendela. Reza berbalik, tetapi tidak melihat apa pun di luar selain kegelapan malam.
Pak Surya meraih tangan Reza dengan cengkeraman kuat. “Kalau kau ingin tetap hidup, jangan mencari jawaban terlalu dalam. Pergilah sebelum semuanya terlambat.”
Namun, Reza tidak akan mundur. Ia harus tahu kebenarannya.
Di luar rumah itu, malam semakin kelam. Dan di kegelapan itu, sesuatu tengah mengintai.***
BAB 2: JEJAK DI MALAM KELAM
1. Malam yang Mencekam
Angin malam bertiup lembut saat Reza berjalan kembali ke penginapan setelah pertemuannya dengan Pak Surya. Ucapan pria tua itu masih terngiang di telinganya.
“Ada sesuatu yang tinggal di desa ini… Mereka belum pergi.”
Apa yang dimaksud Pak Surya? Apakah pembunuhan di desa ini benar-benar bukan ulah manusia?
Reza mempercepat langkahnya. Jalanan desa begitu sunyi, seakan-akan seluruh kehidupan telah menghilang bersama gelapnya malam. Lampu-lampu di rumah-rumah penduduk sudah padam, hanya sesekali terdengar suara binatang malam yang berkeliaran.
Saat ia hampir mencapai penginapan, sesuatu menarik perhatiannya. Di kejauhan, di batas hutan yang mengelilingi desa, ada sebuah bayangan yang berdiri diam di antara pepohonan.
Reza menghentikan langkahnya. Ia menyipitkan mata, mencoba memastikan apa yang ia lihat. Bayangan itu tinggi dan kurus, tampak seperti seseorang yang sedang mengintainya. Namun, ketika ia mencoba berjalan lebih dekat, bayangan itu menghilang begitu saja.
Jantung Reza berdegup lebih kencang. Apakah itu hanya imajinasinya? Ataukah seseorang benar-benar mengawasinya?
Tanpa berpikir lebih jauh, ia memutuskan untuk masuk ke penginapan.
2. Kuburan Tua di Hutan
Reza terbangun tengah malam karena suara samar yang datang dari luar jendela kamarnya. Seperti langkah kaki yang berjalan pelan di tanah berkerikil.
Ia menahan napas, mendengarkan lebih seksama. Suara itu berhenti, namun ada perasaan aneh yang menggelitik instingnya—seakan ada sesuatu yang masih mengawasinya dalam kegelapan.
Rasa ingin tahu mendorongnya untuk bangun. Dengan hati-hati, ia membuka jendela. Udara dingin langsung menyergap wajahnya.
Di luar, cahaya bulan samar-samar menerangi desa yang sunyi. Tidak ada tanda-tanda pergerakan. Namun, jauh di ujung jalan, ia melihat sesuatu: sesosok bayangan berjalan menuju hutan.
Siapa itu?
Tanpa pikir panjang, Reza mengambil senter dari tasnya dan mengenakan jaketnya. Ia harus tahu apa yang sedang terjadi.
Ketika ia keluar dari penginapan, suasana desa semakin terasa mencekam. Ia melangkah perlahan-lahan, mengikuti bayangan yang kini sudah menghilang di dalam hutan.
Hutan itu gelap dan dingin. Pepohonan besar menjulang tinggi, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan di bawah sinar bulan yang redup.
Reza melangkah lebih dalam, menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup oleh dedaunan. Ia menyalakan senternya dan mengarahkannya ke depan.
Lalu ia melihatnya.
Sebuah kuburan tua tersembunyi di tengah hutan, ditandai dengan batu-batu nisan yang sudah tertutup lumut. Beberapa di antaranya tidak memiliki nama, hanya simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya.
Reza berlutut, mencoba membaca tulisan yang samar di salah satu batu nisan. Namun sebelum ia bisa memahami apa yang tertulis, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
Ia berbalik cepat.
Tidak ada siapa pun.
Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih dingin, seakan ada sesuatu yang tidak kasat mata berada di dekatnya.
Lalu, di sudut matanya, ia melihatnya—sesosok bayangan berdiri di antara pepohonan, mengawasinya.
3. Suara dari Masa Lalu
Reza menelan ludah. Ia ingin bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku.
Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam dalam kegelapan. Lalu, dalam sekejap, ia menghilang—seakan larut dalam udara malam.
Reza menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan ketakutannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Namun, sebelum ia sempat berbalik, kakinya tersandung sesuatu.
Ia menyorotkan senter ke bawah. Ada sebuah buku tua yang tergeletak di antara rerumputan, tertutup debu dan tanah.
Dengan tangan gemetar, Reza mengambil buku itu dan membukanya. Tulisan di dalamnya sudah memudar, tetapi ia masih bisa membaca beberapa kalimat:
“Mereka datang di malam hari. Mereka mengambilnya satu per satu. Aku tidak bisa melarikan diri. Jika seseorang menemukan ini… tolong, hentikan mereka.”
Hati Reza mencelos.
Siapa yang menulis ini? Dan siapa yang dimaksud dengan “mereka”?
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara aneh dari belakangnya. Seperti bisikan—pelan, tapi jelas.
“Pergi… sebelum terlambat…”
Reza merinding. Ia langsung berdiri dan berlari secepat mungkin keluar dari hutan, kembali ke desa.
Saat ia sampai di penginapan, tubuhnya masih gemetar. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Ada sesuatu di desa ini. Sesuatu yang bersembunyi dalam gelap, menunggu… mengawasi.
Dan Reza sadar, ia baru saja menginjakkan kaki lebih dalam ke dalam misteri yang jauh lebih berbahaya dari yang ia duga.
4. Rahasia yang Terkubur
Keesokan paginya, Reza pergi menemui Maya di klinik. Wanita itu terkejut saat melihat ekspresi wajahnya yang pucat.
“Ada apa?” tanya Maya.
Reza mengeluarkan buku tua yang ia temukan di kuburan. “Aku menemukannya di hutan tadi malam.”
Maya mengambil buku itu dan membacanya dengan seksama. Wajahnya berubah serius.
“Ini… milik salah satu polisi yang menyelidiki kasus pembunuhan dua puluh tahun lalu,” katanya pelan. “Namanya Pak Sarman. Dia menghilang tanpa jejak sebelum kasus ini ditutup.”
Reza merasakan kengerian merayapi tubuhnya. Jika buku ini milik Pak Sarman, berarti ia mungkin tahu sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui.
“Kau bilang dia menghilang?” tanya Reza.
Maya mengangguk. “Ya. Beberapa orang bilang dia melarikan diri, tapi banyak juga yang percaya bahwa dia… tidak pernah meninggalkan desa ini.”
Reza menelan ludah.
Apakah Pak Sarman adalah salah satu korban? Ataukah sesuatu yang lebih mengerikan telah terjadi padanya?
Maya menatap Reza dengan ekspresi cemas. “Kau harus berhati-hati. Jika benar ada seseorang atau sesuatu yang tidak ingin rahasia ini terungkap, kau bisa dalam bahaya.”
Reza menghela napas. Ia tahu Maya benar. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
Malam tadi, ia telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat. Dan sekarang, ia harus mencari tahu kebenaran sebelum semuanya terlambat.
Di luar klinik, angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Dan di kejauhan, di batas hutan, sesuatu sedang mengawasinya dalam diam.**
BAB 3: SAMBUTAN YANG DINGIN
1. Penduduk yang Tertutup
Pagi di Desa Tanjung Asih terasa begitu suram. Matahari bersinar redup di balik awan kelabu, seakan enggan menerangi desa yang penuh dengan rahasia kelam.
Reza melangkah keluar dari penginapan dengan kepala penuh pertanyaan. Ia belum bisa melupakan apa yang terjadi semalam—sosok bayangan di hutan, buku tua milik Pak Sarman, dan bisikan yang terdengar jelas di telinganya.
Ia berjalan menyusuri jalan desa yang masih sepi. Beberapa penduduk tampak keluar dari rumah mereka, tetapi begitu mereka melihat Reza, mereka segera menghindar atau menutup pintu rumah mereka rapat-rapat.
Reza mengernyit. Ini aneh. Bahkan di desa terpencil sekali pun, sikap warga setempat biasanya lebih ramah terhadap pendatang. Tapi di sini, mereka seolah tidak ingin terlibat dengannya.
Ia mencoba menghentikan seorang wanita tua yang sedang membawa keranjang berisi sayuran.
“Permisi, Bu. Saya ingin bertanya tentang desa ini,” katanya sopan.
Wanita itu menatapnya dengan wajah tegang. “Pergilah dari sini, Nak. Jangan cari tahu apa pun.”
Reza terkejut. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang disembunyikan di desa ini?”
Wanita itu menggeleng cepat, lalu berbisik dengan suara gemetar, “Mereka tidak suka orang luar.”
Sebelum Reza bisa bertanya lebih jauh, wanita itu buru-buru berjalan pergi, meninggalkan Reza dalam kebingungan.
Sikap penduduk desa semakin membuatnya yakin bahwa ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tapi apa?
2. Seorang Pria Misterius
Saat Reza melanjutkan langkahnya, ia melihat seorang pria tua duduk di bangku kayu dekat pasar desa. Tidak seperti yang lain, pria ini tidak menghindarinya. Sebaliknya, ia menatap Reza dengan tatapan tajam.
Reza mendekat. “Selamat pagi, Pak.”
Pria itu mengangguk pelan. “Kau orang luar yang datang ke sini mencari jawaban?”
Reza sedikit terkejut. “Bapak tahu saya sedang mencari sesuatu?”
Pria itu mengangguk lagi, lalu menepuk bangku di sebelahnya, mengisyaratkan Reza untuk duduk.
“Aku sudah lama menunggu seseorang seperti kau datang ke sini,” katanya.
Reza duduk dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa maksud Bapak?”
Pria itu menarik napas panjang. “Namaku Pak Wirya. Aku salah satu dari sedikit orang yang masih ingat apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.”
Jantung Reza berdegup lebih kencang. “Apa yang terjadi?”
Pak Wirya menatap lurus ke depan, matanya menerawang jauh. “Dua puluh tahun lalu, desa ini mengalami teror. Orang-orang menghilang satu per satu. Ada yang ditemukan dengan tubuh membiru, ada yang tidak pernah ditemukan sama sekali.”
Reza mengingat kembali apa yang dikatakan sopir yang mengantarnya ke desa ini. “Tapi kasus itu tidak pernah terpecahkan, kan?”
Pak Wirya mengangguk. “Ya. Karena polisi yang menyelidikinya juga menghilang.”
Reza merasakan bulu kuduknya meremang. Ia teringat buku tua milik Pak Sarman.
“Lalu kenapa semua orang di desa ini seakan takut untuk membicarakannya?” tanyanya.
Pak Wirya tersenyum kecil, tapi senyumnya terasa pahit. “Karena mereka tahu kebenaran, tapi mereka memilih diam. Mereka takut sesuatu yang lama terkubur akan bangkit kembali.”
Reza menelan ludah. “Apa yang sebenarnya terkubur di desa ini?”
Pak Wirya menggeleng. “Aku tidak bisa memberitahumu. Kau harus menemukan jawabannya sendiri.”
Sebelum Reza bisa bertanya lebih jauh, Pak Wirya berdiri.
“Berhati-hatilah, Nak. Malam di desa ini tidak sama seperti di tempat lain.”
Lalu, pria tua itu berjalan pergi, meninggalkan Reza dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.3. Keanehan di Rumah Maya
Merasa buntu, Reza memutuskan untuk menemui Maya di klinik. Saat ia tiba, Maya sedang memeriksa seorang anak kecil yang tampak sakit.
“Reza,” kata Maya setelah selesai dengan pasiennya. “Kau terlihat gelisah.”
Reza menghela napas. “Aku baru bertemu seorang pria bernama Pak Wirya. Dia bilang penduduk desa ini tahu sesuatu, tapi mereka memilih diam.”
Maya mengangguk pelan. “Itu benar. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan.”
Reza menatap Maya dengan serius. “Kau tahu apa yang terjadi, Maya?”
Maya terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tahu sebagian, tapi tidak semuanya. Yang jelas, ada sesuatu yang terjadi dua puluh tahun lalu yang membuat desa ini berubah selamanya.”
Reza semakin penasaran. “Apa maksudmu?”
Maya tampak ragu, lalu akhirnya berkata, “Lebih baik kau ikut aku ke rumah. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
Reza mengikuti Maya ke rumahnya, yang terletak agak jauh dari pusat desa. Rumah itu sederhana, tetapi tampak lebih terawat dibandingkan rumah-rumah lain di desa.
Saat mereka masuk, Maya menuju ke sebuah lemari tua dan mengeluarkan sebuah kotak kayu. Ia membukanya, mengeluarkan beberapa foto hitam putih yang sudah mulai pudar.
Reza mengambil salah satu foto dan melihatnya dengan seksama. Foto itu menunjukkan sekelompok orang—mungkin sekitar delapan atau sembilan orang—berdiri di depan sebuah bangunan tua. Wajah mereka tampak serius, dan ada sesuatu yang aneh dalam ekspresi mereka.
“Siapa mereka?” tanya Reza.
Maya menatap foto itu dengan ekspresi muram. “Mereka adalah orang-orang yang mencoba mengungkap misteri desa ini dua puluh tahun lalu.”
Reza menelan ludah. “Apa yang terjadi pada mereka?”
Maya menatapnya dengan mata penuh ketakutan. “Mereka semua menghilang.”
Reza merasakan hawa dingin merayapi tengkuknya.
Sebelum ia bisa berkata apa pun, sesuatu terjadi.
Lampu di rumah Maya tiba-tiba berkedip, lalu padam.
Maya langsung berdiri. “Tidak mungkin. Listrik di sini jarang mati.”
Reza merasa ada yang tidak beres. “Apa ada senter?”
Maya mengangguk dan mengambil senter dari rak. Mereka berjalan ke luar rumah untuk memeriksa keadaan.
Saat mereka keluar, angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Desa tampak lebih gelap dari sebelumnya, dan suara binatang malam menghilang sepenuhnya.
Kemudian, terdengar suara.
Sebuah bisikan pelan, datang entah dari mana.
“Pergi… Pergi sekarang…”
Maya menggenggam tangan Reza erat-erat. “Kau dengar itu?” bisiknya.
Reza mengangguk. Suaranya pelan, tetapi jelas.
Lalu, dari kejauhan, mereka melihat sesuatu.
Di ujung jalan desa, berdiri sosok bayangan yang sama seperti yang Reza lihat semalam di hutan.
Bayangan itu berdiri diam, tidak bergerak. Tetapi aura yang dipancarkannya begitu menekan, membuat Reza merasakan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Maya menelan ludah. “Kita harus masuk ke dalam.”
Mereka berdua bergegas masuk dan mengunci pintu.
Di luar, suara bisikan masih terdengar, semakin jelas.
Maya menatap Reza dengan wajah pucat. “Ini baru permulaan.”
Dan Reza tahu, ia baru saja melangkah lebih jauh ke dalam misteri yang jauh lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.**
BAB 4: RAHASIA YANG TERKUBUR
1. Peringatan yang Terlambat
Keesokan paginya, suasana Desa Tanjung Asih terasa lebih suram dari biasanya. Matahari yang biasanya malu-malu menembus kabut kini sepenuhnya tersembunyi di balik awan tebal. Udara terasa lebih dingin, dan suasana desa seakan diliputi oleh sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang mengawasi, menunggu.
Reza duduk di meja makan rumah Maya, memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin di depannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian semalam—bisikan misterius, bayangan hitam di ujung jalan, dan ketakutan yang tampak jelas di mata Maya.
“Kau belum tidur, ya?” suara Maya memecah keheningan.
Reza mengangkat bahu. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi.”
Maya menghela napas, lalu duduk di seberang Reza. “Aku mengerti. Aku juga merasakannya.”
Reza menatapnya serius. “Kau bilang tadi malam bahwa semua ini baru permulaan. Apa maksudmu?”
Maya terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku menemukan sesuatu beberapa tahun lalu. Sebuah petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.”
Reza langsung menajamkan perhatian. “Apa itu?”
Maya berdiri dan berjalan ke lemari kayunya. Ia mengeluarkan sebuah map tua dan meletakkannya di meja. Dengan hati-hati, ia membuka map tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tampak rapuh.
“Ini adalah catatan yang ditulis oleh seseorang yang pernah tinggal di desa ini,” jelas Maya.
Reza mengambil salah satu kertas itu dan membaca tulisan tangan yang hampir pudar:
“Mereka menguburnya di bawah tanah. Mereka pikir dengan menyembunyikan kebenaran, semuanya akan berakhir. Tapi mereka salah. Mereka hanya menunda sesuatu yang tak terhindarkan.”
Reza merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Apa maksudnya?” tanyanya.
Maya menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku yakin ini ada hubungannya dengan kuburan tua yang kau temukan di hutan.”
Reza langsung teringat buku tua milik Pak Sarman yang ia temukan di kuburan itu. Jika semua petunjuk ini saling berhubungan, maka rahasia desa ini benar-benar lebih besar dari yang ia bayangkan.
Tiba-tiba, terdengar ketukan keras di pintu depan.
Maya dan Reza saling berpandangan. Ketukan itu terdengar terburu-buru dan keras, seakan seseorang sedang dalam bahaya.
Maya segera membuka pintu, dan di depan mereka berdiri Pak Wirya dengan wajah panik.
“Kalian harus pergi dari sini sekarang juga!” katanya dengan suara bergetar.
2. Kuburan yang Disembunyikan
Reza dan Maya mengantar Pak Wirya masuk dan menutup pintu.
“Ada apa, Pak?” tanya Maya cemas.
Pak Wirya mengusap wajahnya yang berkeringat. “Mereka tahu kalian sudah terlalu jauh menyelidiki ini.”
Reza mengerutkan kening. “Mereka? Siapa yang Bapak maksud?”
Pak Wirya menatapnya dengan mata penuh ketakutan. “Penduduk desa ini. Mereka bukan hanya sekadar diam karena takut. Mereka adalah bagian dari semua ini.”
Maya menutup mulutnya, terkejut. “Tidak mungkin…”
Pak Wirya menggeleng cepat. “Dulu, saat pertama kali kejadian ini terjadi, ada sekelompok orang yang mencoba mengungkap kebenaran. Mereka menghilang satu per satu. Penduduk desa tahu apa yang terjadi, tapi mereka memilih menutup mata.”
Reza merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?”
Pak Wirya menghela napas panjang. “Mereka menguburkan sesuatu. Atau lebih tepatnya… seseorang.”
Reza dan Maya membeku di tempat mereka.
“Apa maksud Bapak?” tanya Maya dengan suara gemetar.
Pak Wirya menatap mereka dalam-dalam. “Ada seseorang yang dibunuh dua puluh tahun lalu. Bukan oleh makhluk gaib, tapi oleh manusia—oleh penduduk desa ini sendiri.”
Reza terdiam. Jika ini benar, berarti selama ini semua orang di desa ini terlibat dalam kejahatan mengerikan yang mereka sembunyikan bersama.
“Siapa yang mereka bunuh?” tanya Reza pelan.
Pak Wirya terdiam sejenak, lalu berkata, “Seorang wanita bernama Sari.”
Maya tampak kebingungan. “Sari? Aku belum pernah mendengar nama itu.”
Pak Wirya menatap Maya. “Karena mereka menghapus semua jejak tentangnya. Mereka tidak ingin ada yang tahu.”
Reza merasa ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa mereka membunuhnya?”
Pak Wirya menggeleng. “Itulah yang harus kita cari tahu.”
Reza menghela napas dalam. “Lalu bagaimana caranya?”
Pak Wirya menatap mereka dengan serius. “Kita harus menggali kuburannya.”
3. Penggalian di Malam Hari
Malam itu, di bawah langit yang gelap dan tanpa bintang, Reza, Maya, dan Pak Wirya menyelinap ke hutan. Mereka membawa sekop dan lampu senter, siap untuk menggali rahasia yang telah terkubur selama dua dekade.
Suasana begitu hening, hanya terdengar suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin.
“Apa Bapak yakin ini tempatnya?” tanya Maya sambil mengarahkan senter ke tanah yang tampak sedikit berbeda dari sekitarnya.
Pak Wirya mengangguk. “Dulu aku melihat mereka menguburnya di sini.”
Tanpa membuang waktu, Reza mulai menggali. Tanahnya lebih keras dari yang ia perkirakan, seolah-olah sesuatu di dalamnya tidak ingin diungkap.
Maya ikut membantu, sementara Pak Wirya berjaga.
Beberapa menit kemudian, sekop Reza mengenai sesuatu yang keras.
Jantungnya berdegup kencang. Ia menyingkirkan tanah dengan tangan, dan perlahan-lahan sesuatu mulai terlihat—sebuah peti kayu yang telah lapuk dimakan waktu.
Maya menahan napas. “Kita menemukannya.”
Reza dan Maya saling pandang. Tidak ada jalan kembali.
Dengan hati-hati, Reza membuka peti itu.
Dan apa yang mereka lihat membuat mereka membeku.
Di dalam peti itu terbaring kerangka manusia, dengan kain yang masih menempel di tubuhnya. Tapi yang membuat mereka semakin ngeri adalah sesuatu yang ada di tengkoraknya—sebuah lubang besar di bagian dahi, seolah-olah seseorang telah menembaknya dari jarak dekat.
Maya menutup mulutnya, hampir muntah. “Ini mengerikan…”
Pak Wirya berlutut di samping peti. “Ini dia… Sari.”
Reza menelan ludah. “Jadi dia dibunuh.”
Pak Wirya mengangguk. “Dan mereka menguburnya di sini, berharap tidak ada yang pernah menemukannya.”
Tapi sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, sesuatu terjadi.
Angin bertiup lebih kencang, dan tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari balik pepohonan.
Mereka semua membeku.
Dari kegelapan, muncul beberapa sosok. Mereka adalah penduduk desa.
Dan mereka tidak terlihat senang.
4. Ancaman yang Nyata
Pak Surya, kepala desa, berdiri di depan mereka dengan wajah dingin.
“Kalian sudah terlalu jauh,” katanya dengan suara rendah, tetapi penuh ancaman.
Reza berdiri, mencoba tetap tenang. “Kenapa kalian menyembunyikan ini?”
Pak Surya menatapnya tajam. “Demi desa ini. Demi ketenangan kami.”
Maya melangkah maju. “Kalian membunuh seorang wanita dan mencoba menghapus jejaknya. Itu bukan ketenangan, itu kejahatan.”
Pak Surya menghela napas, lalu memberi isyarat pada beberapa pria di belakangnya. “Kubur kembali. Dan pastikan mereka tidak pernah membicarakan ini.”
Reza menyadari bahaya yang mereka hadapi. Jika mereka tidak segera bertindak, mereka akan menjadi korban berikutnya.
Ia menggenggam sekopnya erat-erat.
Ia tidak akan membiarkan rahasia ini tetap terkubur
BAB 5: MALAM KELAM YANG TERAKHIR
1. Ketakutan yang Nyata
Pintu depan rumah Maya terhempas terbuka dengan keras, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mendobraknya.
Reza, Maya, dan Pak Wirya membeku. Angin dingin menyusup ke dalam rumah, membawa serta suara bisikan lirih yang menggema di setiap sudut ruangan.
“Mereka harus membayar…”
Maya mencengkeram lengan Reza erat-erat. “Dia masuk…” bisiknya dengan suara gemetar.
Pak Wirya berdiri dengan wajah pucat. “Jangan bergerak…” katanya pelan.
Reza menelan ludah. Ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekadar kisah hantu.
Kemudian, lampu di rumah mulai berkedip-kedip sebelum akhirnya padam sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam kegelapan total.
Dalam kegelapan itu, mereka mendengar langkah kaki—pelan, menyeret, mendekat ke arah mereka.
Tap… tap… tap…
Suara itu berhenti tepat di depan mereka.
Reza merasa jantungnya berdetak kencang. Ia bisa merasakan sesuatu berdiri di hadapannya, begitu dekat hingga ia bisa merasakan hawa dingin menusuk ke kulitnya.
Lalu, terdengar bisikan lagi.
“Dimana mereka?”
Maya terisak. “Siapa?”
Hening.
Lalu tiba-tiba, suara jeritan menggema di luar rumah.
Jeritan penuh ketakutan.
Reza langsung tersadar. “Penduduk desa!”
Pak Wirya mengangguk. “Dia memburu mereka.”
2. Pembalasan Dimulai
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga berlari keluar rumah.
Pemandangan yang menyambut mereka di luar membuat bulu kuduk meremang.
Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka melihat beberapa penduduk desa berlarian ke sana kemari, wajah mereka penuh ketakutan.
Pak Surya dan beberapa pria yang tadi mengancam Reza di kuburan kini berlutut di tanah, tubuh mereka gemetar hebat.
Di depan mereka berdiri sosok samar—tinggi, kurus, dengan mata kosong yang menatap tajam ke arah mereka.
Sari.
Atau lebih tepatnya, roh Sari yang telah kembali untuk menuntut balas.
Pak Surya merangkak mundur, wajahnya pucat pasi. “Ampuni aku… tolong…”
Tapi sosok itu tidak bergerak.
Lalu, tiba-tiba, tubuh Pak Surya terangkat ke udara—seperti ada tangan tak terlihat yang mencengkeram lehernya.
Dia menjerit, tetapi suaranya terputus saat tubuhnya melayang lebih tinggi.
Kemudian, dengan gerakan cepat, dia terlempar ke tanah dengan keras.
Terdengar bunyi tulang patah. Pak Surya terdiam, tidak bergerak lagi.
Reza, Maya, dan Pak Wirya hanya bisa menatap dengan ngeri.
Roh Sari menoleh ke arah penduduk desa lainnya, yang kini hanya bisa menangis ketakutan.
“Dia… dia tidak akan berhenti,” bisik Maya.
Reza mengangguk. “Kita harus melakukan sesuatu.”
3. Cara Menghentikannya
Pak Wirya menghela napas dalam. “Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan menyelesaikan apa yang belum selesai.”
Reza menoleh padanya. “Maksud Bapak?”
Pak Wirya menatap roh Sari yang semakin mengamuk. “Dia mencari keadilan. Jika kita bisa membuat dunia tahu tentang apa yang terjadi, mungkin dia bisa pergi dengan tenang.”
Maya mengangguk cepat. “Buku tua yang kita temukan! Itu bisa menjadi bukti!”
Reza berpikir cepat. “Tapi itu belum cukup. Kita butuh lebih banyak bukti, lebih banyak saksi.”
Pak Wirya mengangguk. “Aku akan berbicara. Aku akan menceritakan semuanya.”
Reza menoleh ke arah para penduduk desa yang masih ketakutan. “Dan mereka juga harus mengaku.”
Maya memandang sosok roh Sari yang masih berdiri di tengah kegelapan. “Tapi bagaimana kita meyakinkannya untuk berhenti?”
Pak Wirya menarik napas panjang. “Biarkan aku bicara dengannya.”
4. Konfrontasi Terakhir
Dengan langkah hati-hati, Pak Wirya berjalan mendekati sosok roh Sari.
“Sari…” suaranya bergetar, tetapi penuh kejujuran.
Roh Sari menoleh, matanya yang kosong menatap pria tua itu.
“Kami telah melakukan kesalahan besar…” lanjut Pak Wirya. “Dan sekarang, aku akan memastikan kebenaran ini tidak lagi disembunyikan.”
Suasana mendadak hening.
Angin yang tadinya bertiup kencang kini mereda sedikit.
Roh Sari menatapnya dalam diam, seolah menimbang kata-kata itu.
Reza melangkah maju. “Kami akan membawa kisahmu keluar dari desa ini. Kami akan memberitahu dunia.”
Maya menambahkan dengan suara penuh tekad. “Kau tidak akan dilupakan.”
Sosok Sari masih diam. Tapi kemudian, perlahan, ia mulai menghilang.
Kabut yang menyelimuti desa mulai menipis. Udara dingin yang menusuk mulai menghangat.
Roh Sari menatap mereka untuk terakhir kalinya.
Lalu, dia menghilang.
Malam yang kelam akhirnya mereda.
5. Akhir dari Teror
Keesokan harinya, Reza dan Maya meninggalkan desa dengan membawa semua bukti yang mereka temukan—catatan tua, saksi hidup, dan kisah yang tak terbantahkan.
Mereka segera melaporkan semua yang terjadi ke pihak berwenang.
Kasus Sari akhirnya dibuka kembali. Para penduduk desa yang terlibat dalam pembunuhannya diinterogasi dan banyak yang akhirnya mengakui perbuatan mereka.
Desa Tanjung Asih yang dulu penuh dengan rahasia kini tak lagi sama.
Pak Wirya, meskipun sudah tua, tetap bersedia menjadi saksi utama dalam kasus ini.
Maya menatap desa itu untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
“Apakah kau pikir dia sudah tenang?” tanyanya pelan.
Reza mengangguk. “Aku harap begitu.”
Mereka berdua masuk ke dalam mobil, meninggalkan desa itu di belakang.
Dan untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, Desa Tanjung Asih tidak lagi dikepung oleh kegelapan.
Tapi jauh di dalam hutan, jika seseorang mendengarkan dengan saksama, mereka masih bisa mendengar bisikan di angin malam…
“Aku akhirnya bebas.”***
———————THE END —————