Bab 1: Senyum di Tengah Hujan
Hujan turun deras sejak siang, membasahi trotoar dan jalan-jalan kota. Butiran air menghujam genting dengan irama yang monoton, menciptakan suasana dingin dan suram. Alya, seorang mahasiswi seni yang baru pulang dari galeri kampus, berlari kecil di tengah hujan sambil memeluk erat kanvas yang ia bawa. Ia lupa membawa payung pagi itu, dan mantel tipisnya tak mampu melindungi tubuhnya dari dinginnya hujan.
“Ah, kenapa harus hujan deras sekarang?” keluhnya pelan, menatap langit yang gelap. Di tengah gemuruh hujan, matanya mencari tempat berteduh. Untungnya, ia menemukan halte tua di dekat tikungan jalan. Dengan langkah tergesa, Alya berlari menuju halte itu.
Halte kecil itu hampir kosong, hanya ada seorang pria berdiri di sudut sambil menunduk, sibuk dengan kameranya. Alya sedikit ragu, tetapi akhirnya memutuskan untuk berteduh. Ia menggoyangkan rambutnya yang basah kuyup dan duduk di ujung bangku halte.
Pria itu, yang tampaknya lebih tua beberapa tahun darinya, mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Dia tersenyum tipis, senyuman yang terlihat hangat meski penuh misteri. Alya mencoba mengabaikannya, tetapi ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada pria itu. Dia mengenakan jaket hitam yang sederhana, dengan kamera tergantung di lehernya. Tangan pria itu dengan lincah membenahi pengaturan pada kameranya, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
“Hujan ini sepertinya belum akan berhenti,” kata pria itu tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya dalam, tetapi tidak terdengar mengintimidasi.
Alya sedikit terkejut. Ia menoleh, mencoba menutupi rasa gugup yang aneh. “Iya, sepertinya. Dan saya tidak bawa payung.” Ia tersenyum kecil, mencoba bersikap ramah.
Pria itu mengangguk, lalu diam sejenak sebelum berkata lagi, “Kanvas itu, apa yang sedang kamu lukis?”
Pertanyaan itu membuat Alya sedikit tertegun. Ia melirik kanvas yang ia peluk erat. “Oh, ini hanya sketsa. Belum selesai.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada rasa bangga yang samar.
Pria itu mendekat sedikit, menjaga jarak sopan. “Boleh saya lihat? Saya suka seni,” ujarnya sambil menunjukkan kameranya. “Saya fotografer.”
Rasa penasaran Alya mengalahkan keengganannya. Ia membuka kanvas itu perlahan, memperlihatkan sketsa kasar seorang wanita yang tengah menari di bawah pohon sakura. Pria itu mengamati dengan penuh perhatian, lalu tersenyum lagi. “Kamu punya bakat. Goresanmu penuh emosi.”
Alya terdiam, tidak menyangka mendapat pujian dari seorang asing. “Terima kasih,” jawabnya pelan. “Saya hanya mencoba menggambarkan apa yang saya rasakan.”
“Dan kamu melakukannya dengan baik,” katanya sambil memandang Alya. Tatapan itu membuat Alya sedikit salah tingkah. Ada ketenangan dalam matanya, tetapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti ada rahasia yang ia simpan.
Hujan mulai mereda, tetapi masih menyisakan gerimis. Pria itu melirik langit sebelum membuka tas kecilnya dan mengeluarkan payung hitam. Ia menyerahkannya kepada Alya tanpa banyak bicara.
“Ini untukmu. Sepertinya kamu membutuhkannya lebih dari aku,” katanya dengan senyum yang sama.
Alya terkejut. “Oh, tidak, saya tidak bisa menerimanya. Bagaimana dengan kamu?”
“Saya bisa menunggu sampai hujan benar-benar berhenti,” jawabnya santai. “Lagipula, saya sudah terbiasa.”
Alya ingin menolak, tetapi sesuatu dalam sikap pria itu membuatnya tak kuasa berkata tidak. “Baiklah, terima kasih. Saya akan mengembalikannya. Di mana saya bisa menemui kamu?”
Pria itu hanya tertawa kecil. “Kita pasti akan bertemu lagi, entah kapan. Dunia ini tidak sebesar yang kita pikirkan.” Ia melangkah mundur, memberikan ruang untuk Alya pergi.
Alya bingung, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, terima kasih sekali lagi.” Ia membuka payung itu dan melangkah pergi, meninggalkan halte. Namun, saat ia menoleh untuk melihat pria itu sekali lagi, dia sudah tidak ada. Entah ke mana perginya, seperti menghilang di tengah gerimis.
Di sepanjang perjalanan pulang, pikiran Alya dipenuhi dengan sosok pria itu. Senyumannya yang hangat, cara bicaranya yang tenang, dan misteri yang menyelimuti dirinya. Ia merasa seperti baru saja bertemu seseorang yang akan mengubah hidupnya, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya.
Hujan akhirnya berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang segar. Alya tiba di kosnya, masih memegang payung hitam itu. Ia menatap payung itu lama, seolah mencoba mencari jawaban atas rasa penasaran yang mulai tumbuh. “Siapa dia?” gumamnya pelan.
Tanpa ia sadari, pertemuan sederhana itu akan menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan rahasia, senyuman, dan cinta.*
Bab 2: Lukisan dan Kamera
Pagi yang cerah membawa semangat baru bagi Alya. Ia kembali ke rutinitasnya di studio kecil yang berada di sudut kota, tempat ia biasa mencurahkan segala ide dan emosinya ke atas kanvas. Studio itu dipenuhi berbagai lukisan, sebagian besar adalah karya yang belum selesai. Ada satu lukisan besar yang menarik perhatian di sudut ruangan—sketsa samar seorang pria dengan senyuman misterius. Lukisan itu adalah upaya Alya untuk menghidupkan kembali bayangan Dimas, pria yang memberinya payung hitam beberapa hari lalu.
Hari itu, Alya bertekad untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Ia mengambil kuas dan mulai mencampurkan warna-warna hangat yang sesuai dengan kesan senyuman pria itu di benaknya. Dalam proses melukis, pikirannya terus terisi oleh pertemuan mereka di taman. Ia tidak bisa mengabaikan kartu nama kecil yang Dimas berikan, dengan tulisan sederhana: “Setiap senyuman punya cerita.” Kata-kata itu seolah menjadi teka-teki yang ingin Alya pecahkan.
Di tengah fokusnya, pintu studio tiba-tiba terbuka. Alya menoleh dan melihat sahabatnya, Rina, masuk dengan senyum cerah. Rina adalah teman dekat Alya sejak SMA, dan ia selalu menjadi pendukung terbesar Alya dalam perjalanan seninya.
“Wow, lukisan ini baru, ya? Siapa pria ini?” tanya Rina sambil mendekati lukisan yang hampir selesai.
Alya tersenyum kecil. “Seseorang yang aku temui secara kebetulan. Dia memberikan payung saat hujan.”
Rina menaikkan alis. “Kebetulan atau takdir? Kamu sudah tahu namanya?”
Alya mengangguk. “Namanya Dimas. Dia seorang fotografer, dan aku bertemu lagi dengannya di taman. Dia memberiku kartu nama ini.” Alya menunjukkan kartu nama Dimas kepada Rina.
Rina memeriksa kartu itu dengan mata berbinar. “Fotografer, ya? Kedengarannya menarik. Mungkin dia bisa menjadi inspirasi untuk lukisanmu.”
Alya tersenyum tipis tetapi tidak mengatakan apa-apa. Inspirasi? Lebih dari itu, Dimas telah menciptakan rasa penasaran yang mendalam di hati Alya.
Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk menghubungi Dimas melalui nomor yang tertera di kartu namanya. Ia memberanikan diri untuk mengajaknya bertemu, ingin mengenalnya lebih jauh. Dimas dengan ramah menyetujuinya dan mengundang Alya untuk datang ke studio fotografinya, yang terletak di lantai dua sebuah gedung tua di pusat kota.
Ketika Alya tiba, ia terpesona dengan suasana studio Dimas. Dinding studio dipenuhi foto-foto perjalanan Dimas ke berbagai tempat. Ada gambar pegunungan yang megah, pemandangan desa yang tenang, hingga potret manusia dengan ekspresi yang penuh cerita. Di tengah ruangan terdapat meja besar dengan kamera, lensa, dan peralatan fotografi lainnya yang tertata rapi.
“Kamu suka?” tanya Dimas, yang muncul dari balik meja dengan senyum khasnya.
Alya mengangguk. “Foto-foto ini luar biasa. Kamu berhasil menangkap emosi di setiap gambar.”
Dimas tersenyum. “Fotografi adalah tentang menangkap momen yang tidak bisa diulang. Sama seperti lukisanmu, setiap gambar punya cerita sendiri.”
Obrolan mereka mengalir dengan mudah. Dimas menunjukkan beberapa karya terbaiknya, dan Alya membagikan cerita tentang lukisan-lukisannya. Mereka menemukan banyak kesamaan dalam cara mereka melihat dunia. Dimas melihat dunia melalui lensa, sementara Alya melihatnya melalui sapuan kuas.
Namun, di tengah percakapan, Alya tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang mengganjal di hatinya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Dimas, tentang kehidupan dan rahasia yang mungkin disembunyikannya di balik senyum ramahnya.
“Foto-foto ini indah,” kata Alya sambil memandangi salah satu potret anak kecil yang sedang tersenyum di tengah lapangan hijau. “Tapi kenapa tidak ada foto tentang dirimu sendiri?”
Dimas terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Aku lebih suka berada di balik kamera. Aku tidak merasa nyaman menjadi subjek.”
Jawaban itu membuat Alya semakin penasaran, tetapi ia memutuskan untuk tidak mendesak. Ia tahu ada sesuatu yang Dimas sembunyikan, tetapi ia ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengetahuinya.
Ketika Alya hendak pulang, Dimas memberinya sebuah foto kecil. “Ini untukmu,” katanya.
Alya mengambil foto itu dengan rasa ingin tahu. Foto itu adalah gambar dirinya, sedang menggambar di taman. Alya terkejut. “Kapan kamu mengambil ini?”
“Ketika aku melihatmu di taman untuk pertama kali,” jawab Dimas dengan senyum. “Kamu terlihat begitu fokus dan damai saat menggambar. Aku pikir, momen itu layak diabadikan.”
Alya merasa hatinya berdebar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Foto itu begitu indah, penuh dengan emosi yang bahkan tidak ia sadari ketika momen itu terjadi.
“Terima kasih,” ucap Alya pelan, matanya masih terpaku pada foto itu.
“Sama-sama,” jawab Dimas. “Lukisan dan kamera punya satu kesamaan—keduanya bisa menangkap keindahan yang tersembunyi. Tapi aku rasa, kamu punya cara khusus untuk melihat dunia yang tidak bisa dilakukan oleh kamera.”
Kata-kata itu membuat Alya tertegun. Ada sesuatu dalam cara Dimas berbicara yang membuatnya merasa istimewa. Namun, ia juga tahu bahwa di balik lensa kamera Dimas, ada rahasia yang menunggu untuk ditemukan.*
Bab 3: Pertemanan yang Aneh
Hari itu, Alya kembali ke taman tempat ia pertama kali bertemu Dimas. Matahari bersinar hangat, dan angin berembus lembut, membuat suasana begitu nyaman. Ia membawa kanvas kecil dan perlengkapan melukisnya, berharap bisa menangkap keindahan taman dalam lukisan. Namun, pikirannya terus kembali pada pertemuannya dengan Dimas di studio fotografinya. Pria itu adalah teka-teki berjalan, penuh misteri di balik senyum ramahnya.
Saat Alya sedang sibuk mencampur cat di paletnya, suara familiar terdengar dari belakang. “Lukisan lagi, ya?”
Ia menoleh dan mendapati Dimas berdiri di sana, membawa kameranya seperti biasa. Senyumnya yang khas langsung membuat Alya merasa sedikit gugup, tetapi ia tetap membalas dengan senyuman kecil.
“Dimas? Kamu sering ke taman ini?” tanya Alya, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
Dimas mengangguk sambil mendekati Alya. “Taman ini tempat favoritku untuk mencari inspirasi. Kadang-kadang, aku hanya duduk dan mengamati orang-orang.”
Alya tertawa kecil. “Sepertinya kita punya kebiasaan yang sama. Aku juga suka mengamati orang di sini.”
Dimas tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit kilatan di matanya. “Tapi aku yakin, caramu melihat dunia jauh berbeda dariku. Kamu melihatnya melalui warna dan bentuk, sementara aku melihatnya melalui cahaya dan bayangan.”
Mereka duduk di bangku taman yang sama, melanjutkan percakapan mereka. Namun, di tengah obrolan itu, Alya mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Dimas berbicara. Ia tampak sangat terbuka untuk membahas seni dan pandangan hidup, tetapi setiap kali Alya mencoba menanyakan sesuatu yang lebih pribadi, Dimas selalu mengalihkan pembicaraan.
Misalnya, ketika Alya bertanya tentang keluarganya, Dimas hanya menjawab singkat, “Mereka baik-baik saja,” tanpa memberikan detail lebih lanjut. Ketika Alya menanyakan apakah Dimas memiliki teman dekat, ia hanya menjawab dengan tawa kecil, “Aku lebih suka berteman dengan kameraku.”
Jawaban-jawaban itu membuat Alya semakin penasaran. Mengapa Dimas begitu tertutup? Di sisi lain, ia merasa bahwa Dimas selalu hadir di saat yang tepat, seolah-olah mereka ditakdirkan untuk bertemu.
Hari itu, Dimas melakukan hal yang tidak terduga. Ia memotret Alya saat sedang melukis tanpa meminta izin terlebih dahulu. Suara klik kamera membuat Alya mendongak, sedikit kaget.
“Dimas! Kamu memotretku tanpa izin?” protes Alya sambil memasang wajah pura-pura marah.
Dimas tertawa kecil, tetapi ada kesan serius dalam nadanya. “Kamu terlihat sangat alami saat melukis. Aku ingin menangkap momen itu. Kamu tidak keberatan, kan?”
Alya menghela napas, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan memaafkanmu kali ini. Tapi setidaknya beri tahu aku jika kamu ingin memotretku lagi.”
Mereka tertawa bersama, tetapi dalam hati Alya, ia merasa ada sesuatu yang “aneh” tentang pertemanannya dengan Dimas. Dimas selalu hadir dengan cara yang tidak terduga, seolah-olah ia muncul begitu saja dari udara tipis.
Beberapa hari kemudian, Dimas mengundang Alya untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Ia ingin menunjukkan beberapa lokasi yang menurutnya memiliki “cerita tersembunyi.” Mereka mengunjungi lorong kecil yang dihiasi mural warna-warni, kafe tua yang penuh dengan furnitur antik, dan jembatan kecil yang menawarkan pemandangan matahari terbenam.
Selama perjalanan itu, Alya mulai memperhatikan pola dalam cara Dimas berbicara. Ia pandai membuat orang merasa nyaman, tetapi ia juga selalu menjaga jarak emosional. Setiap kali Alya mencoba mendekati Dimas secara personal, ia seperti membangun tembok tak terlihat di antara mereka.
Saat mereka berhenti di sebuah kafe kecil, Alya akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Dimas, aku penasaran. Kamu tampak seperti orang yang sangat ramah, tapi aku merasa kamu selalu menyimpan sesuatu untuk dirimu sendiri. Kenapa?”
Dimas terdiam, menatap cangkir kopinya untuk beberapa saat sebelum menjawab. “Mungkin karena aku sudah terbiasa begitu. Tidak semua hal perlu diketahui oleh semua orang, kan?”
Jawaban itu membuat Alya bingung. “Tapi bukankah pertemanan itu tentang saling berbagi? Aku merasa kita punya banyak kesamaan, tapi aku tetap merasa seperti ada jarak di antara kita.”
Dimas menatap Alya dengan senyuman tipis. “Pertemanan itu tidak selalu tentang mengetahui segalanya. Kadang, cukup dengan menerima orang lain apa adanya.”
Alya terdiam. Kata-kata Dimas masuk akal, tetapi tidak memuaskan rasa ingin tahunya. Ada sesuatu yang ia rasakan tentang Dimas, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Sepulang dari perjalanan itu, Alya mulai merenungkan hubungannya dengan Dimas. Ia merasa hubungan mereka seperti lukisan yang belum selesai—indah, tetapi penuh dengan ruang kosong yang perlu diisi.
Namun, ia juga sadar bahwa meskipun pertemanan mereka terasa “aneh,” ia tidak ingin menyerah untuk mengenal Dimas lebih dalam. Karena di balik semua misteri itu, Alya merasa Dimas adalah orang yang penuh dengan cerita menarik, cerita yang mungkin hanya bisa diceritakan dengan caranya sendiri.*
Bab 4: Surat Tanpa Nama
Malam itu, suasana apartemen Alya terasa hening. Hanya suara lembut hujan yang mengetuk jendela yang menemani dirinya yang sedang menyelesaikan lukisan terbaru. Lukisan itu menggambarkan sebuah taman yang penuh bunga, tempat ia dan Dimas sering berbincang. Namun, ada detail tambahan yang membuat lukisan itu terasa berbeda—sebuah bangku kosong yang tampak menunggu seseorang.
Ketika Alya tengah asyik memadukan warna di kanvas, ia mendengar suara ketukan di pintu. Ia menoleh dengan bingung. Jarang sekali ada tamu yang datang malam-malam seperti ini.
Setelah membuka pintu, ia hanya menemukan sebuah amplop cokelat kecil yang tergeletak di lantai. Tidak ada siapa pun di koridor apartemennya. Alya mengambil amplop itu, merasa sedikit waspada, tetapi juga penasaran.
Setelah menutup pintu, ia kembali ke ruang tamunya dan duduk di sofa. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya tertulis “Untuk Alya” di bagian depannya. Tulisan tangan itu terlihat rapi namun sederhana, seolah-olah ditulis dengan hati-hati.
Dengan jantung berdebar, Alya membuka amplop tersebut. Di dalamnya terdapat selembar kertas berwarna krem, dengan tulisan tangan yang sama. Isinya singkat, tetapi penuh dengan teka-teki:
“Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Namun, aku merasa kau mungkin mengerti sesuatu yang bahkan tak bisa kukatakan. Terima kasih telah mengisi hari-hariku dengan warna.”
Tidak ada tanda tangan di bawahnya. Alya membaca surat itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Kata-kata itu terasa akrab, tetapi ia tidak tahu siapa yang menulisnya.
“Siapa yang bisa mengirim ini?” pikir Alya.
Wajah Dimas muncul di benaknya. Kalimat-kalimat dalam surat itu terasa seperti sesuatu yang akan dikatakan Dimas. Namun, ia tidak yakin. Dimas bukan tipe orang yang meninggalkan petunjuk seperti ini, apalagi tanpa memberi tahu langsung.
Alya mencoba mengabaikan surat itu dan kembali melukis, tetapi pikirannya terus terganggu. Surat itu seperti misteri yang menuntut untuk dipecahkan.
Keesokan harinya, Alya pergi ke studio Dimas untuk mencari jawaban. Ia membawa surat itu bersamanya, berharap bisa membaca ekspresi Dimas saat melihatnya.
Dimas sedang duduk di mejanya ketika Alya masuk. Ia terlihat sibuk mengedit foto, tetapi langsung tersenyum ketika melihat Alya. “Alya! Apa kabar? Ada apa pagi-pagi begini ke sini?”
Alya mengeluarkan surat itu dari tasnya dan meletakkannya di meja Dimas. “Aku menemukan ini tadi malam. Kau tahu sesuatu tentang ini?” tanyanya, menatap wajah Dimas dengan penuh harap.
Dimas mengambil surat itu dan membacanya dengan seksama. Namun, reaksinya tidak seperti yang Alya harapkan. Ia hanya mengangkat alis, lalu menyerahkan surat itu kembali. “Ini bukan dariku, kalau itu yang kau pikirkan,” katanya dengan nada santai.
Alya menatapnya dengan curiga. “Serius? Kata-katanya terdengar seperti sesuatu yang akan kau katakan.”
Dimas tertawa kecil. “Aku memang suka berbicara dengan cara yang puitis, tapi aku tidak pernah menulis surat tanpa nama seperti ini. Mungkin ada orang lain yang mengagumimu diam-diam.”
Alya menghela napas, merasa kecewa tetapi juga bingung. Jika bukan Dimas, lalu siapa?
Hari-hari berikutnya, Alya mencoba mencari petunjuk tentang pengirim surat itu. Ia memeriksa apakah ada orang lain yang memperhatikan dirinya di taman tempat ia biasa melukis, tetapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan.
Namun, surat itu tidak berhenti di situ. Seminggu kemudian, Alya menerima amplop lain. Isinya lebih panjang dari yang pertama:
“Kau seperti warna biru pada kanvas—tenang, tetapi mampu menciptakan kedalaman yang tak terjelaskan. Aku berharap suatu hari nanti kau akan menemukan apa yang selama ini kucoba katakan melalui hal-hal kecil ini.”
Alya membaca surat itu dengan hati yang berdebar. Kali ini, ia merasa semakin yakin bahwa surat-surat ini datang dari seseorang yang mengenalnya dengan baik. Tetapi lagi-lagi, tidak ada petunjuk yang jelas tentang identitas pengirimnya.
Ketika Alya sedang melukis di taman, Dimas datang menghampirinya seperti biasa. Ia duduk di bangku sebelah dan mulai memotret. Alya memutuskan untuk membicarakan surat itu lagi, meskipun Dimas sudah menyangkal sebelumnya.
“Dimas,” kata Alya pelan, “jika kau memang tahu sesuatu tentang surat itu, bisakah kau memberitahuku?”
Dimas menurunkan kameranya dan menatap Alya dengan serius. “Alya, aku benar-benar tidak tahu. Tapi kalau kau merasa surat itu penting, mungkin kau harus menyimpannya. Siapa tahu, jawabannya akan datang di waktu yang tepat.”
Jawaban Dimas membuat Alya merasa sedikit lega, tetapi juga semakin bingung. Surat-surat itu mungkin hanyalah ungkapan dari seseorang yang mengaguminya dari jauh, tetapi mengapa rasanya begitu pribadi?*
Bab 5: Jejak Masa Lalu
Alya mengamati surat-surat misterius yang kini tersimpan rapi di dalam sebuah kotak kecil di atas mejanya. Ada empat surat, semuanya ditulis dengan gaya puitis yang membuat pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Ia belum tahu siapa pengirimnya, tapi ada sesuatu dalam surat-surat itu yang membuatnya merasa bahwa masa lalunya mungkin terlibat.
Ia tidak pernah benar-benar memikirkan masa lalunya terlalu dalam. Namun, kini ia merasa ada sesuatu yang berusaha menghubungkannya kembali ke tempat dan momen yang sudah lama ia tinggalkan. Pikirannya terus terlempar ke sebuah kota kecil di pinggiran, tempat ia menghabiskan masa kecil bersama keluarganya sebelum pindah ke Jakarta.
Pagi itu, Alya memutuskan untuk kembali ke kota itu. Rasanya seperti panggilan yang tak bisa diabaikan. Ia tidak memberitahu siapa pun, bahkan Dimas. Dengan membawa kamera kecilnya dan beberapa alat lukis, Alya berangkat menuju tempat yang sudah lama tidak ia kunjungi.
Perjalanan ke kota kecil itu membutuhkan waktu beberapa jam. Sepanjang perjalanan, Alya merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Ada rasa nostalgia yang manis, tetapi juga sedikit cemas. Ia bertanya-tanya apakah yang ia cari sebenarnya. Namun, dorongan untuk mengetahui lebih banyak tentang siapa yang mengirimkan surat-surat itu membuat langkahnya terus maju.
Ketika tiba di kota itu, Alya merasa seperti kembali ke masa lalu. Jalan-jalan kecil yang berkelok, toko-toko tua dengan papan nama yang pudar, dan taman kecil di tengah kota—semuanya masih tampak sama seperti yang ia ingat. Hanya saja, semuanya terasa lebih sunyi dan tenang dibandingkan dengan ingatannya.
Langkah Alya membawanya ke rumah tua yang dulu ia tinggali bersama keluarganya. Rumah itu kini tampak lusuh, dengan cat dinding yang mulai mengelupas. Pintu gerbangnya berderit ketika ia membukanya. Dengan ragu, Alya melangkah masuk ke halaman rumah itu, merasakan aroma rumput basah yang membangkitkan kenangan lama.
Alya berdiri di depan pintu rumah yang kini kosong. Ia memutuskan untuk mengetuk pintu, hanya untuk memastikan apakah ada seseorang yang tinggal di sana sekarang. Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya membuka pintu.
“Maaf, apakah Anda mencari seseorang?” tanya wanita itu dengan senyum ramah.
“Permisi, saya Alya. Dulu, saya pernah tinggal di rumah ini bersama keluarga saya,” jawab Alya.
Wanita itu tampak berpikir sejenak sebelum tersenyum lebih lebar. “Oh, tentu saja. Saya ingat. Anda putri dari Pak Rizal, bukan? Saya Ibu Nur, tetangga sebelah. Saya sering melihat Anda bermain di taman waktu kecil.”
Mendengar nama ayahnya disebut membuat hati Alya terasa hangat. Ia mengobrol sebentar dengan Ibu Nur, yang kemudian mempersilakannya masuk. Rumah itu memang sudah berubah, tetapi beberapa bagian masih terasa familiar.
Saat berbincang, Ibu Nur memberikan sebuah informasi yang mengejutkan. “Ada seseorang yang beberapa bulan terakhir sering bertanya tentang keluarga Anda. Orang itu tampaknya sangat tertarik dengan Anda, Alya. Saya tidak tahu siapa dia, tapi dia sering terlihat di taman kota.”
Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Siapa yang mungkin tertarik dengannya setelah bertahun-tahun? Ia berterima kasih kepada Ibu Nur sebelum memutuskan untuk pergi ke taman kota untuk mencari tahu lebih lanjut.
Taman kota itu adalah tempat favorit Alya ketika kecil. Ia sering bermain ayunan di sana, ditemani oleh angin sepoi-sepoi dan tawa teman-temannya. Kini, taman itu masih terasa sama, tetapi dengan lebih sedikit anak-anak yang bermain.
Alya berjalan perlahan, memperhatikan setiap sudut taman. Ia berhenti di depan sebuah pohon besar yang sudah ada sejak dulu. Di bawah pohon itu, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah amplop berwarna krem yang diletakkan di atas bangku taman.
Tangannya gemetar saat mengambil amplop itu. Isinya mirip dengan surat-surat sebelumnya, tetapi kali ini lebih panjang dan lebih emosional:
“Alya, ada sesuatu tentang masa kecilmu yang selalu membuatku merasa hangat. Kau selalu penuh warna, selalu ceria, bahkan ketika dunia tidak begitu ramah. Aku adalah bagian dari masa lalumu, seseorang yang selalu diam-diam mengagumimu. Aku tidak tahu apakah kau akan mengingatku, tetapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku masih ada, dan aku masih peduli.”
Alya membaca surat itu dengan hati yang penuh rasa penasaran. Ia mencoba mengingat siapa yang mungkin menulisnya, tetapi bayangan wajah-wajah dari masa kecilnya mulai bercampur menjadi satu.
Ia menyimpan surat itu di tasnya, lalu memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Perjalanannya ke kota kecil ini tidak memberikan jawaban yang jelas, tetapi ia merasa bahwa ia semakin dekat dengan sesuatu—sebuah rahasia yang terpendam di masa lalunya.
Sepanjang perjalanan pulang, Alya tidak bisa berhenti memikirkan siapa pengirim surat-surat itu. Apakah benar seseorang dari masa kecilnya? Ataukah ini semua hanya kebetulan yang aneh? Meski banyak pertanyaan yang belum terjawab, Alya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Surat-surat itu, meskipun penuh misteri, mulai membuka lembaran-lembaran lama yang selama ini ia abaikan.*
Bab 6: Senyum yang Pudar
Alya duduk di sudut kafe favoritnya, dengan segelas latte yang sudah hampir dingin. Matahari sore menembus jendela kaca besar di depannya, memantulkan cahaya hangat yang kontras dengan suasana hatinya yang sedang dipenuhi kebingungan. Surat-surat misterius, perjalanannya ke kota kecil, dan ingatan-ingatan yang bermunculan tiba-tiba—semua itu mulai membentuk sebuah teka-teki yang belum memiliki potongan lengkap.
Senyuman Alya, yang biasanya menjadi ciri khasnya, kini terlihat pudar. Bahkan Dimas, yang baru saja duduk di depannya, menyadari perubahan itu. “Kamu kelihatan beda hari ini,” ujar Dimas sambil menyeruput kopi hitamnya.
Alya menoleh dengan senyum tipis. “Beda gimana?”
“Gak tahu, kamu biasanya lebih ceria. Sekarang kelihatan… kosong,” jawab Dimas, suaranya terdengar pelan, seolah ia takut menyinggung perasaan Alya.
Alya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gelas latte-nya, mengaduk-aduk busa yang sudah mulai mencair. Akhirnya, ia berkata, “Aku lagi banyak mikir aja, Mas. Kamu pernah ngerasa kayak ada bagian hidupmu yang hilang? Kayak… ada sesuatu yang penting, tapi kamu gak tahu apa?”
Dimas terdiam sejenak, merenungi pertanyaan itu. “Mungkin. Tapi biasanya, kalau aku merasa seperti itu, aku berusaha ngeliat apa yang ada di depan. Kadang kita terlalu fokus sama hal-hal yang udah lewat.”
Kata-kata Dimas membuat Alya berpikir. Namun, kali ini ia tidak bisa hanya melihat ke depan. Masa lalu yang sepertinya sedang menghampirinya kini terlalu nyata untuk diabaikan.
Malam itu, Alya memutuskan untuk membuka kembali kotak berisi surat-surat misterius itu. Ia membaca setiap kata dengan lebih saksama, berharap menemukan petunjuk yang sebelumnya terlewatkan. Ada pola tertentu dalam cara surat-surat itu ditulis, seolah-olah pengirimnya sedang mencoba membawa Alya pada kenangan tertentu.
Salah satu surat berbunyi:
“Ada saat-saat dalam hidup kita yang begitu indah, tapi kadang-kadang kita tidak menyadarinya sampai semuanya berubah. Aku ingin kembali ke masa itu, meski hanya sebentar. Aku berharap kamu juga ingin mengingatnya.”
Alya memejamkan matanya, mencoba mengingat momen-momen yang pengirim surat itu mungkin maksudkan. Namun, tidak ada yang jelas muncul di benaknya. Ia hanya merasa samar-samar bahwa ini semua ada hubungannya dengan masa kecilnya.
Saat pikirannya terus berkecamuk, teleponnya berdering. Nama Dimas muncul di layar. “Mas, kenapa telepon malam-malam?” tanya Alya setelah menjawab panggilan.
“Aku cuma kepikiran kamu. Kamu baik-baik aja?” suara Dimas terdengar tulus, penuh perhatian.
Alya tersenyum tipis meski Dimas tidak bisa melihatnya. “Aku baik, kok. Cuma lagi banyak pikiran aja.”
“Kalau kamu butuh teman buat cerita, aku di sini, ya,” ujar Dimas.
Kebaikan hati Dimas selalu berhasil membuat Alya merasa lebih tenang, meski untuk kali ini, ia tahu bahwa ini adalah perjalanan yang harus ia tempuh sendiri.
Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk pergi ke galeri seni tempat ia biasa menghabiskan waktu untuk mencari inspirasi. Lukisan-lukisan di galeri itu sering kali memberinya ketenangan, tetapi kali ini ia merasa resah. Salah satu lukisan di sudut ruangan menarik perhatiannya.
Lukisan itu menggambarkan seorang gadis kecil yang berdiri di bawah pohon besar, memegang balon merah. Di belakangnya, ada pemandangan kota kecil dengan rumah-rumah tua yang berjajar rapi. Alya merasa lukisan itu sangat familiar, seolah-olah ia pernah melihat pemandangan itu sebelumnya.
“Indah, ya?” suara seorang pria membuat Alya tersentak dari lamunannya.
Ia menoleh dan melihat seorang pria paruh baya dengan senyum ramah berdiri di sampingnya. “Lukisan ini mengingatkan saya pada sesuatu, tapi saya gak yakin apa,” ujar Alya.
Pria itu tersenyum lebih lebar. “Ini lukisan dari salah satu sudut kota kecil di Jawa. Judulnya ‘Kenangan yang Hilang.’ Kadang seni punya cara aneh untuk membawa kita ke masa lalu.”
Kata-kata pria itu membuat Alya tertegun. Ia kembali menatap lukisan itu, mencoba menghubungkan ingatan-ingatan yang terpencar dalam pikirannya. Apakah mungkin pemandangan ini ada hubungannya dengan surat-surat yang ia terima?
Malam itu, Alya kembali terjaga hingga larut. Ia membuka laptopnya dan mulai mencari lebih banyak informasi tentang kota kecil tempat ia dulu tinggal. Ia menemukan beberapa foto lama yang memancing kenangan-kenangan yang selama ini terkubur. Salah satu foto menampilkan taman kota dengan pohon besar di tengahnya—pohon yang sama dengan yang ada di lukisan tadi.
Alya merasa seperti sedang menyusun puzzle besar. Semua petunjuk ini, mulai dari surat-surat hingga lukisan, seolah-olah mendorongnya untuk kembali ke akar dari siapa dirinya. Tapi, semakin ia mendekat ke jawaban, semakin ia merasa bahwa senyum hangat yang dulu menjadi ciri khasnya semakin pudar.
Senyum itu hilang, seolah terbawa oleh beban misteri yang belum terpecahkan. Namun, di tengah semua kebingungan ini, Alya tahu bahwa ia harus terus mencari. Karena di balik senyuman yang pudar itu, ada sesuatu yang penting—sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
Bab 7: Festival Seni
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Festival seni tahunan di kota Alya digelar dengan meriah. Jalan utama kota dipenuhi dengan tenda-tenda penuh warna, dihiasi lampu gantung dan berbagai dekorasi yang mencerminkan kreativitas para seniman. Di sudut-sudut jalan, terdengar suara musik live dari musisi lokal yang menghidupkan suasana. Aroma makanan khas festival—seperti jagung bakar, sate, dan es serut—menguar di udara, menambah semarak perayaan.
Alya berjalan perlahan di antara keramaian, menyerap setiap detail suasana festival. Dia terpesona oleh berbagai lukisan, kerajinan tangan, dan karya seni yang dipamerkan di setiap sudut. Meski senyum belum sepenuhnya kembali ke wajahnya, ia merasa sedikit lebih ringan berada di tengah-tengah keramaian yang penuh dengan energi positif ini.
Namun, ada sesuatu yang berbeda tentang festival ini. Seolah-olah festival ini memiliki makna yang lebih besar baginya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Alya merasa bahwa ini bukan sekadar ajang seni biasa, melainkan sebuah kesempatan untuk menemukan jawaban atas teka-teki yang selama ini mengganggunya.
Saat Alya berjalan melewati salah satu tenda seni, ia melihat sebuah karya yang membuatnya berhenti seketika. Di atas kanvas besar tergambar sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di tengah taman kota. Pohon itu dikelilingi oleh balon-balon warna-warni yang terikat di cabang-cabangnya. Karya itu mengingatkan Alya pada lukisan yang ia lihat di galeri beberapa hari yang lalu.
“Indah, ya?” suara seorang pria mengagetkan Alya.
Ia menoleh dan melihat seorang pelukis muda dengan senyum ramah di wajahnya. “Kamu suka lukisan ini?” tanya pria itu.
Alya mengangguk pelan. “Lukisan ini… terasa akrab. Aku merasa seperti pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.”
Pelukis itu tersenyum. “Banyak orang bilang begitu. Lukisan ini memang terinspirasi dari taman kota tua di daerah sini. Tempat itu punya banyak cerita, terutama untuk orang-orang yang pernah tinggal di sini di masa lalu.”
Kata-kata pelukis itu membuat hati Alya berdebar. Taman kota tua itu pernah menjadi bagian dari hidupnya ketika ia kecil, tetapi ingatan tentang tempat itu sudah lama terkubur. Alya mendekat ke lukisan itu, memperhatikan setiap detailnya dengan saksama. Ada sesuatu yang terasa familier, tetapi ia tidak bisa menjelaskan apa.
Setelah meninggalkan tenda seni itu, Alya melanjutkan eksplorasinya ke area lain dari festival. Di salah satu sudut, ia melihat sebuah panggung kecil yang dikelilingi oleh penonton. Seorang pemain biola sedang membawakan sebuah lagu yang indah, suaranya menggema di udara malam. Lagu itu terdengar sangat emosional, seolah-olah sedang bercerita tentang kehilangan dan harapan.
Alya berdiri di pinggir kerumunan, membiarkan melodi itu mengalun dalam hatinya. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu—sebuah memori lama yang muncul dalam pikirannya seperti kilatan cahaya. Ia teringat pernah mendengar lagu itu dimainkan oleh seseorang di taman kota, bertahun-tahun yang lalu. Waktu itu, ia masih anak kecil, dan ia duduk di bawah pohon besar, mendengarkan dengan penuh takjub.
Saat lagu selesai, pemain biola itu membungkuk, menerima tepuk tangan meriah dari penonton. Alya mencoba mendekatinya untuk bertanya, tetapi kerumunan terlalu padat. Meski begitu, kenangan yang muncul dalam pikirannya terus bermain seperti film pendek, mengingatkannya pada masa kecilnya yang penuh kebahagiaan.
Malam semakin larut, tetapi Alya belum ingin pulang. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia temukan di festival ini, meskipun ia belum tahu apa. Saat berjalan-jalan di area lain, ia menemukan sebuah tenda kecil yang terlihat sederhana dibandingkan dengan yang lain. Di atas pintu tenda itu terdapat papan bertuliskan “Galeri Ingatan.”
Penasaran, Alya masuk ke dalam. Di dalam tenda itu, terdapat berbagai foto lama yang dipajang di dinding, sebagian besar menggambarkan suasana kota kecil di masa lalu. Salah satu foto menarik perhatiannya—foto sebuah keluarga yang sedang piknik di bawah pohon besar di taman kota.
Hati Alya berdebar. Pohon itu kembali muncul, seperti simbol yang terus mengikuti perjalanannya belakangan ini. Ia mendekati foto itu dan membaca keterangan di bawahnya: “Taman Kota, 1998. Kenangan bersama keluarga.”
Alya terpaku. Tahun itu adalah tahun terakhir ia dan keluarganya tinggal di kota ini sebelum mereka pindah ke Jakarta. Ia merasa ada hubungan yang kuat antara taman itu, surat-surat yang ia terima, dan kenangan masa kecilnya yang mulai bermunculan.
Saat keluar dari tenda, Alya melihat Dimas berdiri di dekat gerbang festival. “Aku cari-cari kamu dari tadi,” kata Dimas dengan nada khawatir. “Kamu gak apa-apa?”
Alya mengangguk. “Aku baik, Mas. Tapi aku merasa… ada sesuatu yang harus aku cari tahu. Sesuatu tentang masa kecilku dan taman kota itu.”
Dimas mengangguk pelan, seolah memahami apa yang Alya rasakan. “Kalau kamu butuh bantuan, aku ada di sini.”
Alya tersenyum, meski senyum itu masih tipis. “Terima kasih, Mas. Aku rasa aku semakin dekat dengan jawabannya.”
Malam itu, festival seni tidak hanya menjadi tempat bagi Alya untuk menikmati keindahan seni, tetapi juga menjadi titik penting dalam perjalanannya untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya. Di tengah keramaian, ia merasa bahwa masa lalu mulai memanggilnya, membawa potongan-potongan kenangan yang selama ini tersembunyi ke permukaan.*
Bab 8: Pengakuan yang Tertunda
Kehangatan malam festival seni masih terasa di udara. Namun, meski suasana di sekitar Alya begitu semarak, hatinya terasa dingin. Ia berdiri di pinggir jalan, matanya menatap bintang-bintang yang tersebar di langit malam, seolah berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Festival yang seharusnya menjadi tempat untuk merayakan seni dan kebahagiaan malah menjadi ruang penuh teka-teki yang tidak kunjung terpecahkan.
Setiap langkah Alya membawa kembali kenangan tentang taman kota tua itu, tentang pohon besar, dan tentang surat-surat yang ia terima. Ada perasaan yang membekas di hatinya, rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun selalu hadir saat ia merasa dekat dengan jawabannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tertinggal—sesuatu yang harus diungkapkan, meski tak mudah.
Dimas yang sejak tadi mengikuti langkahnya akhirnya menghampiri. “Kamu kelihatan tidak tenang,” katanya dengan nada khawatir. “Ada apa, Alya?”
Alya memandangnya sejenak, lalu menghela napas. “Aku merasa ada sesuatu yang belum selesai, Mas. Sesuatu yang sudah lama aku simpan. Dan malam ini, aku rasa aku sudah terlalu lama mengabaikannya.”
Dimas terdiam, seolah memahami bahwa Alya sedang berjuang melawan perasaan yang berat. Ia tahu betul bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dipendam oleh sahabatnya itu. Alya, yang selama ini selalu kuat dan penuh senyum, kini tampak rapuh.
Alya menatap Dimas dengan pandangan yang penuh kebingungan. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Mas. Semua ini… terasa seperti mimpi yang tidak pernah selesai. Setiap kali aku merasa semakin dekat dengan jawabannya, ada sesuatu yang membuatku mundur.”
Dimas melangkah lebih dekat, matanya menatap Alya dengan penuh pengertian. “Terkadang, kita memang harus berhenti sejenak untuk mencari tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Jangan terburu-buru, Alya. Waktu akan memberi jawabannya.”
Namun, kata-kata Dimas seakan tidak cukup menenangkan hati Alya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang terus menariknya kembali ke masa lalu, dan itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
Saat mereka melanjutkan langkah, Alya memutuskan untuk kembali ke taman kota tua, tempat yang selama ini selalu menjadi titik singgung dalam pikirannya. Pikirannya yang penuh dengan kebingungan itu akhirnya menemukan arah. Taman itu, pohon besar itu, dan surat-surat yang ia terima—semuanya terhubung dengan satu titik: pengakuan yang belum pernah diungkapkan.
Tiba di taman, suasana malam semakin larut, hanya ada beberapa orang yang masih menikmati suasana sejuk di bawah pohon. Alya berhenti di depan pohon besar yang selalu ia kenang. Semua itu seperti sebuah panggilan, dan kali ini ia siap untuk menemui jawabannya.
“Alya, kamu masih berpikir tentang itu?” suara Dimas terdengar lembut di belakangnya.
Alya menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Dimas yang sudah berada di dekatnya tanpa ia sadari. “Aku merasa seperti… ada yang hilang, Mas. Aku harus menyelesaikan ini.”
Dimas mengangguk pelan, memahami betapa beratnya perjalanan emosional yang sedang dilalui oleh sahabatnya itu. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi aku akan ada di sini, selalu ada untukmu.”
Alya tersenyum tipis. “Terima kasih, Mas.”
Ia kemudian melangkah lebih dekat ke pohon besar itu, meraba kulit pohon yang kasar dengan tangannya. Begitu banyak kenangan yang tertanam di sini. Alya teringat betul saat masih kecil, ia sering bermain di sekitar pohon ini bersama ibunya. Taman kota itu adalah tempat yang penuh kebahagiaan, namun kini terasa sepi dan sunyi, seakan menyimpan banyak cerita yang belum selesai.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari arah belakang. Alya menoleh dan melihat seorang wanita tua yang tampak mengenalinya. “Alya, sudah lama ya?” suara itu terdengar penuh kehangatan.
Alya terkejut. “Ibu…?”
Wanita itu tersenyum, wajahnya tampak lebih tua dari yang Alya ingat, namun senyumannya tetap sama. “Iya, sayang. Sudah lama kita tidak bertemu. Aku tahu kamu pasti datang ke sini suatu saat nanti.”
Alya merasa tubuhnya kaku. “Ibu, kenapa… kenapa ibu tidak memberitahuku?”
Wanita itu menatap Alya dengan tatapan penuh kasih. “Aku tahu kamu sudah dewasa, Alya. Ada banyak hal yang harus kamu temui sendiri. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di sini, di taman ini, selalu untuk kamu. Ada sesuatu yang selama ini aku simpan, sebuah pengakuan yang harus aku ungkapkan kepadamu.”
Alya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa bahwa ini adalah momen yang sudah lama ditunggu-tunggu, momen di mana semua pertanyaan dan rasa bingungnya akan menemukan jawabannya.
“Alya, kamu adalah anak yang luar biasa. Tapi ada hal yang selama ini aku simpan. Saat aku dulu memutuskan untuk pergi, itu bukan karena aku tidak mencintaimu. Itu karena aku ingin kamu tumbuh dengan kebahagiaanmu sendiri, tanpa terbelenggu oleh masa lalu yang penuh luka,” kata wanita itu dengan suara lembut.
Alya terdiam. Semua kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya, namun juga memberikan sedikit kelegaan. “Ibu, aku… aku tidak tahu harus bagaimana.”
Wanita itu mengangguk pelan. “Aku tahu, sayang. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu. Aku akan selalu ada, meski tidak selalu di sini.”
Tetesan air mata mulai mengalir di pipi Alya. Ia merasa beban yang selama ini ia tanggung, yang telah menahannya dari pengakuan yang sebenarnya, akhirnya sedikit terangkat. Ia memeluk ibunya erat, merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
“Terima kasih, Ibu,” bisik Alya dengan penuh rasa syukur.
Dimas yang berdiri di belakang mereka tersenyum lembut, merasa lega melihat sahabatnya menemukan kedamaian dalam hati. Pengakuan yang tertunda itu akhirnya terungkap, dan Alya bisa merasakan bahwa perjalanan emosionalnya telah sampai pada titik yang seharusnya. Ia tahu, meski ini bukan akhir dari pencariannya, namun langkah pertama menuju penyembuhan sudah terambil.*
Bab 9: Jarak dan Rindu
Alya duduk di kursi kamarnya yang menghadap jendela, matanya menerawang jauh ke arah langit sore yang mulai berubah warna menjadi jingga. Sudah beberapa minggu berlalu sejak malam di taman kota itu, ketika ia akhirnya bertemu kembali dengan ibunya dan mendengar pengakuan yang selama ini tertunda. Namun, perasaan tenang itu perlahan tergantikan oleh sebuah kerinduan yang mendalam.
Ibu Alya memutuskan untuk tinggal di kota lain, melanjutkan kehidupannya yang tenang di sebuah desa kecil di pinggiran. Meski pertemuan mereka membawa rasa lega, keberadaan jarak fisik antara mereka kini justru membuat Alya merasa hampa. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, tetapi hati kecilnya tidak dapat menutupi betapa ia merindukan kehangatan ibunya.
Di sisi lain, hubungannya dengan Dimas pun mulai terasa berbeda. Setelah malam itu, Dimas tampak lebih sering menjaga jarak, seolah-olah ia sedang memendam sesuatu. Alya menyadari perubahan ini, tetapi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Rasa canggung yang hadir di antara mereka menambah beban pikiran Alya.
Hari itu, Alya memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil yang biasa ia datangi bersama Dimas. Kafe itu selalu menjadi tempat favorit mereka untuk berbincang dan bertukar cerita, namun akhir-akhir ini Alya sering datang sendirian. Dengan secangkir cokelat panas di tangannya, ia mencoba menikmati suasana sore yang tenang.
“Sendirian lagi?” suara yang sudah sangat dikenalnya terdengar dari belakang.
Alya menoleh, dan di sana berdiri Dimas dengan senyuman kecil di wajahnya. Namun, ada sesuatu dalam matanya yang tampak berbeda—seperti sebuah kerinduan yang ia coba sembunyikan.
“Mas Dimas,” jawab Alya dengan senyuman lembut. “Iya, cuma pengen cari suasana baru. Kamu kenapa jarang ke sini lagi?”
Dimas duduk di kursi di depan Alya tanpa menunggu undangan. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Mungkin aku cuma butuh waktu. Banyak hal yang harus kupikirkan.”
Jawaban itu membuat Alya sedikit tertegun. Ia memandang Dimas dengan penuh perhatian, mencoba membaca pikirannya. “Apa ada hubungannya sama aku?” tanyanya pelan.
Dimas menatapnya, dan untuk beberapa detik tidak ada kata-kata yang terucap. Akhirnya, ia berkata, “Bukan kamu, Alya. Ini tentang aku sendiri. Kadang aku merasa seperti… aku terlalu banyak berharap.”
Alya mengernyit, tidak sepenuhnya memahami maksud Dimas. “Berharap apa, Mas?”
Dimas tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak mampu menyembunyikan kegelisahan di matanya. “Aku berharap bisa jadi seseorang yang lebih berarti untukmu. Tapi setelah apa yang terjadi dengan ibumu, aku sadar bahwa ada bagian dari dirimu yang aku mungkin tidak akan pernah bisa sentuh.”
Kata-kata Dimas membuat Alya terdiam. Ia tidak pernah berpikir bahwa Dimas merasa seperti itu. Baginya, Dimas selalu menjadi orang yang ada di sisinya, sahabat yang selalu mendukungnya dalam setiap langkah. Tetapi sekarang, ia mulai melihat bahwa Dimas mungkin merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
“Mas Dimas,” Alya memulai dengan suara lembut, “kamu selalu berarti untukku. Kamu sahabatku, dan aku nggak pernah meragukan itu. Tapi kalau kamu merasa aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri sampai nggak sadar sama perasaanmu, aku minta maaf.”
Dimas menggeleng pelan. “Kamu nggak salah, Alya. Aku yang salah karena terlalu berharap. Tapi aku nggak menyesal. Aku senang bisa ada untukmu, bahkan kalau itu artinya aku harus tetap seperti ini.”
Alya terdiam, hatinya terasa berat. Ia tidak ingin kehilangan Dimas, tetapi ia juga tidak yakin apakah ia bisa memberikan jawaban yang diinginkan Dimas. Jarak di antara mereka terasa semakin nyata, bukan karena ruang fisik, tetapi karena perasaan yang belum tuntas.
Malamnya, Alya duduk di meja kerjanya, menatap surat-surat lama yang pernah ia terima dari pengirim misterius. Dalam salah satu surat itu, ada satu kalimat yang tiba-tiba terasa begitu relevan dengan situasinya sekarang: “Jarak adalah ujian. Bukan hanya tentang seberapa jauh kita bisa bertahan, tetapi juga seberapa dalam kita bisa merindu.”
Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya. Ia tahu bahwa ia merindukan banyak hal—ibunya, kebersamaannya dengan Dimas yang dulu penuh tawa, dan mungkin, dirinya yang lebih bahagia sebelum semua ini terasa rumit.
Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Dimas.
“Mas, aku tahu semuanya terasa sulit sekarang. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu salah satu bagian terbaik dalam hidupku, dan aku nggak mau jarak ini membuat kita kehilangan itu. Kalau kamu masih mau, aku ingin kita tetap seperti dulu—tanpa beban, tanpa rahasia.”
Namun, sebelum pesan itu terkirim, Alya kembali ragu. Ia membaca ulang kata-katanya, merasa bahwa mungkin itu belum cukup untuk menjelaskan semuanya. Ia meletakkan ponselnya, membiarkan pesan itu tetap ada di layar tanpa terkirim.
Rindu memang rumit. Bukan hanya soal jarak, tetapi juga tentang keberanian untuk mengungkapkan apa yang benar-benar dirasakan. Alya tahu, cepat atau lambat, ia harus menemukan cara untuk menjembatani semua ini—antara dirinya, Dimas, dan hatinya sendiri.*
Bab 10: Surat dari Nadia
Hari itu, langit tampak mendung, seperti menggambarkan perasaan Alya yang sedang galau. Ia duduk di kamarnya, memandangi surat-surat lama yang pernah dikirimkan oleh pengirim misterius. Sejak malam pertemuannya dengan Dimas di kafe, pikirannya terus dipenuhi oleh percakapan mereka. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca lagi surat-surat tersebut, berharap menemukan petunjuk yang bisa memberinya jawaban atas semua kegelisahannya.
Namun, saat ia membuka laci mejanya, sebuah amplop putih bersih menarik perhatiannya. Amplop itu tidak seperti yang lain. Tidak ada coretan di permukaan, hanya tulisan sederhana yang berbunyi: Untuk Alya.
Alya mengernyit. Ia yakin tidak pernah melihat amplop ini sebelumnya. Tangan gemetar, ia membuka surat itu dengan hati-hati. Di dalamnya, ia menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan yang terasa begitu akrab.
*Alya,
Jika kamu membaca ini, mungkin aku sudah tidak ada lagi di sisimu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada di dekatmu, dalam setiap langkahmu. Maafkan aku karena selama ini aku menyembunyikan sesuatu darimu. Aku ingin sekali menceritakannya, tapi aku terlalu takut. Takut kamu akan membenciku, takut kamu akan menganggapku sebagai orang yang egois.*
Ada banyak hal yang mungkin belum kamu ketahui tentang hidupku dan juga tentang ibumu. Tapi aku harap kamu tidak akan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu selalu punya hati yang besar, Alya, dan aku tahu kamu akan memahami semuanya pada waktunya.
Jika suatu saat kamu merasa rindu atau kehilangan, ingatlah bahwa kamu tidak pernah benar-benar sendirian. Selalu ada orang-orang di sekitarmu yang mencintaimu—bahkan jika mereka tidak selalu bisa menunjukkannya dengan cara yang kamu harapkan.
Salam sayang,
Nadia.
Air mata Alya mulai menetes ketika ia selesai membaca surat itu. Tulisan itu jelas milik Nadia, sahabat masa kecilnya yang sudah lama meninggal dalam kecelakaan tragis. Alya memejamkan mata, mencoba mengingat kembali wajah Nadia yang selalu ceria. Surat itu seperti menghidupkan kembali kenangan mereka yang penuh tawa, canda, dan juga rahasia.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Bagaimana mungkin surat ini muncul sekarang? Siapa yang meletakkannya di sini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi Alya tidak menemukan jawabannya.
Malamnya, Alya mencoba mencari tahu lebih banyak tentang surat itu. Ia memutuskan untuk menghubungi ibunya, yang sekarang tinggal di desa kecil itu. Telepon berdering beberapa kali sebelum suara lembut ibunya terdengar.
“Halo, Alya?”
“Halo, Bu. Apa Ibu baik-baik saja di sana?” tanya Alya, berusaha terdengar biasa.
“Baik, sayang. Kamu sendiri bagaimana? Ada yang ingin kamu ceritakan?”
Alya terdiam sejenak, ragu apakah ia harus menceritakan tentang surat itu. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya. “Bu, aku menemukan surat. Dari Nadia. Tapi aku tidak tahu bagaimana surat itu bisa ada di kamarku. Apa Ibu tahu sesuatu tentang ini?”
Ibunya terdiam lama, sebelum akhirnya berkata, “Alya, mungkin ini saatnya kamu tahu sesuatu yang selama ini Ibu simpan. Surat itu, Ibu yang meletakkannya di kamarmu. Nadia memberikannya kepada Ibu sebelum kecelakaan itu terjadi. Dia bilang, surat itu hanya boleh diberikan kepadamu jika dia sudah tidak ada.”
Penjelasan itu membuat Alya tertegun. “Kenapa Ibu tidak pernah memberikannya sebelumnya?” tanyanya dengan nada pelan, hampir berbisik.
“Ibu pikir kamu belum siap. Kamu masih terlalu kecil saat itu, Alya. Ibu tidak ingin surat itu menjadi beban untukmu. Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, Ibu rasa ini waktu yang tepat.”
Alya merasa emosinya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega akhirnya mengetahui asal-usul surat itu. Namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan rasa sedih yang kembali muncul setiap kali mengingat Nadia.
Keesokan harinya, Alya memutuskan untuk mengunjungi tempat favoritnya dan Nadia di masa kecil, sebuah taman kecil di dekat rumah lamanya. Ia membawa surat itu bersamanya, membacanya kembali di bawah pohon besar tempat mereka dulu sering bermain.
Saat membaca ulang surat itu, Alya merasa seolah-olah Nadia benar-benar ada di sana, duduk di sampingnya sambil tersenyum. Kata-kata dalam surat itu seperti pelukan hangat yang mengingatkan Alya bahwa ia tidak sendiri.
Namun, surat itu juga membangkitkan rasa penasaran yang lebih besar. Apa yang sebenarnya ingin Nadia sampaikan? Apa yang selama ini ia sembunyikan? Alya merasa bahwa ini bukan akhir dari pencariannya, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.
Ketika malam tiba, Alya kembali ke kamarnya dengan tekad baru. Ia tahu bahwa untuk menemukan jawaban, ia harus kembali ke masa lalu dan mengungkap jejak yang selama ini ia abaikan. Surat dari Nadia telah membuka pintu menuju babak baru dalam hidupnya—babak yang penuh misteri, tetapi juga penuh harapan.*
Bab 11: Keberanian untuk Mencinta
Malam itu, hujan turun dengan lembut, menambah kehangatan suasana di dalam kafe kecil tempat Alya dan Dimas sering bertemu. Namun, kali ini, Alya duduk sendiri di pojok ruangan, memandangi segelas cokelat panas yang mulai mendingin. Surat dari Nadia yang ia temukan beberapa waktu lalu terus terngiang di pikirannya, membangkitkan banyak pertanyaan yang tak kunjung terjawab.
Dimas tiba tak lama kemudian, membawa udara dingin dari luar. Ia tersenyum kecil saat melihat Alya, namun senyum itu meredup ketika ia menyadari raut wajah sahabatnya yang tampak lelah dan penuh pikiran.
“Kamu baik-baik saja, Alya?” tanyanya sambil duduk di seberang meja.
Alya menatapnya sejenak sebelum menghela napas. “Entahlah, Dim. Aku merasa… ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
Dimas memiringkan kepalanya, memperhatikan Alya dengan serius. “Apakah ini tentang surat dari Nadia?”
Alya mengangguk pelan. Ia lalu menceritakan semua yang ia rasakan sejak membaca surat itu—rasa kehilangan yang kembali muncul, kerinduan yang mendalam, dan juga pertanyaan-pertanyaan tentang rahasia yang mungkin disimpan oleh sahabatnya.
“Tapi bukan hanya itu,” lanjut Alya. “Aku juga merasa… ada sesuatu yang selama ini aku abaikan. Perasaan yang aku coba tutupi, tapi sekarang semakin sulit untuk diabaikan.”
Dimas terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, namun ia tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan. “Perasaan seperti apa, Alya?” tanyanya hati-hati.
Alya menunduk, menggenggam gelas cokelat panasnya dengan erat. “Aku takut untuk mengatakannya, Dimas. Takut kalau ini akan mengubah segalanya. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tidak bisa terus berpura-pura.”
Suasana di antara mereka menjadi hening. Dimas menunggu dengan sabar, memberi Alya ruang untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Akhirnya, Alya mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata Dimas. “Dimas, aku… aku menyukai kamu. Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya, tapi aku menyadarinya semakin jelas setiap kali kita bersama.”
Pengakuan itu keluar dengan suara bergetar, namun Alya merasa beban besar terangkat dari dadanya. Ia menunggu reaksi Dimas dengan cemas, takut kalau pengakuannya akan merusak hubungan mereka yang selama ini begitu nyaman.
Dimas tertegun sejenak, namun kemudian senyumnya perlahan muncul kembali. “Alya,” katanya dengan suara lembut, “aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, aku ingin kamu tahu satu hal: aku juga punya perasaan yang sama.”
Kata-kata itu membuat Alya terpaku. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega, terkejut, atau bahkan bingung.
“Benarkah?” tanyanya dengan nada tak percaya.
Dimas mengangguk. “Aku sudah lama menyukaimu, Alya. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Aku takut perasaan ini akan merusak persahabatan kita, jadi aku memilih untuk diam.”
Hati Alya seperti diselimuti kehangatan yang sulit dijelaskan. Selama ini, ia dan Dimas saling menyimpan perasaan yang sama, namun keduanya terlalu takut untuk mengambil langkah pertama.
“Aku juga merasa takut,” kata Alya akhirnya. “Tapi setelah membaca surat Nadia, aku menyadari satu hal: hidup ini terlalu singkat untuk terus menahan diri. Kalau aku tidak punya keberanian untuk mencinta, aku akan terus hidup dalam penyesalan.”
Dimas tersenyum hangat. “Dan aku bersyukur kamu akhirnya punya keberanian itu, Alya. Karena aku pun ingin mengambil langkah yang sama.”
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak dari biasanya, membuka diri dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Mereka saling bercerita tentang ketakutan, harapan, dan mimpi mereka. Pengakuan itu tidak hanya mengubah hubungan mereka, tetapi juga membawa kedekatan yang lebih dalam, seolah-olah mereka telah menemukan bagian dari diri mereka yang hilang selama ini.
Keesokan harinya, Alya merasa lebih ringan dari sebelumnya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri saat berdiri di depan kanvas besar di ruang studionya. Perasaannya yang selama ini terpendam akhirnya memiliki tempat untuk dituangkan, baik dalam kata-kata maupun seni.
Ia mulai melukis, menggoreskan warna-warna cerah yang mencerminkan kebahagiaan dan keberaniannya. Lukisan itu menjadi cerminan perasaannya terhadap Dimas—sebuah perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat, namun kini ia biarkan bersinar.
Sementara itu, Dimas yang sedang duduk di meja kerjanya juga tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia membuka kamera miliknya dan mulai memikirkan ide untuk proyek fotografi baru. Ia ingin mengabadikan setiap momen penting bersama Alya, sebagai cara untuk menunjukkan perasaannya yang selama ini ia pendam.
Mereka tahu perjalanan ini tidak akan selalu mudah, tetapi mereka berdua telah membuat keputusan untuk tidak lagi takut menghadapi perasaan mereka. Keberanian untuk mencinta telah membuka babak baru dalam hidup mereka, dan mereka siap menjalaninya bersama, tanpa ada lagi rasa ragu atau takut.
Di dunia yang penuh ketidakpastian, keberanian untuk mencinta adalah langkah pertama menuju kebahagiaan sejati. Dan bagi Alya dan Dimas, langkah itu adalah awal dari kisah mereka yang sesungguhnya.*
Bab 12: Rahasia di Balik Senyuman
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah jendela studio Alya, menciptakan bayangan indah di dinding. Alya berdiri di depan kanvas besar yang sudah hampir selesai. Lukisan itu adalah puncak dari perjalanan emosionalnya, menggambarkan seorang perempuan dengan senyum samar yang penuh misteri. Namun, bukan hanya lukisan itu yang membuat pikirannya penuh pagi ini—melainkan sebuah kotak kecil yang ia temukan kemarin di gudang rumahnya.
Kotak itu berdebu, tersembunyi di antara tumpukan barang lama milik ibunya. Saat pertama kali melihatnya, Alya merasa ada sesuatu yang istimewa. Di dalamnya, ia menemukan surat-surat tua, foto-foto usang, dan sebuah jurnal kecil dengan sampul kulit cokelat. Ketika ia membuka jurnal itu semalam, ia mendapati nama Nadia tertulis di halaman pertama.
Hari itu, Dimas datang ke studio seperti biasa. Namun, kali ini ia mendapati Alya duduk termenung di depan mejanya, memandangi jurnal tersebut.
“Ada apa, Alya?” tanya Dimas, mendekat.
Alya mengangkat wajahnya, menunjukkan jurnal itu. “Aku menemukan ini kemarin. Jurnal milik Nadia.”
Dimas tertegun. Ia duduk di sebelah Alya, memandangi benda itu dengan campuran rasa penasaran dan kehati-hatian. “Kamu sudah membacanya?”
Alya mengangguk pelan. “Beberapa bagian. Dan… aku merasa ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu.”
Dimas menunggu dengan sabar, sementara Alya membuka halaman-halaman jurnal itu. Ia menunjuk sebuah entri dengan tulisan tangan Nadia yang rapi.
“Lihat ini,” kata Alya, membacakan entri tersebut.
“Alya selalu tersenyum, meski aku tahu ada banyak hal yang ia sembunyikan. Kadang aku merasa ia terlalu kuat untuk seorang gadis seusianya. Tapi aku ingin menjadi teman yang bisa ia andalkan, meski aku sendiri sering merasa rapuh.”
Mata Dimas melembut. Ia bisa merasakan emosi dalam kata-kata itu, seolah Nadia sedang berbicara langsung dengan mereka.
“Tapi bukan hanya itu,” lanjut Alya. Ia membuka halaman berikutnya, menunjukkan sebuah foto kecil yang diselipkan di antara halaman jurnal. Foto itu menunjukkan Alya, Nadia, dan seorang laki-laki yang berdiri di tengah mereka.
Dimas memandangi foto itu dengan alis berkerut. “Siapa dia?”
Alya menarik napas dalam. “Itu kakakku, Armand.”
Dimas tersentak. “Kamu tidak pernah cerita kalau kamu punya kakak.”
Alya tersenyum lemah. “Karena aku tidak pernah siap untuk membicarakannya. Armand meninggal ketika aku masih kecil. Dia adalah bagian besar dari hidupku, tapi juga bagian terbesar dari rasa sakitku.”
Alya mulai bercerita, suaranya bergetar namun mantap. Armand adalah sosok yang selalu mendukungnya, mengajarkannya melukis, dan menjadi inspirasinya untuk mengejar seni. Namun, sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawanya, meninggalkan luka yang mendalam di hati Alya.
“Aku mencoba melupakan rasa sakit itu,” kata Alya. “Aku berpikir, kalau aku terus tersenyum, aku bisa menyembunyikan semua luka itu. Tapi Nadia tahu. Dia selalu tahu.”
Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari bahwa senyuman Alya yang selama ini ia kagumi ternyata menyimpan banyak cerita yang belum pernah ia ketahui.
“Dan sekarang,” lanjut Alya, “aku merasa aku harus melanjutkan apa yang Armand mulai. Bukan hanya melukis, tapi juga menjalani hidup dengan jujur, tanpa menyembunyikan apa yang aku rasakan.”
Dimas mengangguk, matanya penuh dengan pengertian. “Alya, kamu tidak sendiri. Aku ada di sini untuk mendukungmu, apa pun yang terjadi.”
Alya tersenyum, kali ini dengan kehangatan yang tulus. “Terima kasih, Dimas. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melalui semua ini tanpa kamu.”
Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk memamerkan lukisan barunya di sebuah galeri seni lokal. Lukisan itu adalah potret perempuan dengan senyuman yang penuh makna—sebuah penghormatan untuk Armand, Nadia, dan dirinya sendiri.
Saat pameran berlangsung, Dimas berdiri di samping Alya, menggenggam tangannya dengan erat. Ia tahu betapa pentingnya momen ini bagi Alya, dan ia merasa bangga melihat keberanian sahabatnya.
“Lukisan ini punya cerita yang kuat,” kata seorang pengunjung kepada Alya. “Apa inspirasinya?”
Alya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ini tentang keberanian untuk menghadapi luka dan menemukan kebahagiaan di baliknya. Tentang bagaimana setiap senyuman punya cerita, dan setiap cerita layak untuk dihargai.”
Dimas memandang Alya dengan penuh kekaguman. Ia tahu bahwa perjalanan Alya belum selesai, tetapi ia juga tahu bahwa Alya kini memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya.
Rahasia di balik senyuman itu telah terungkap, membawa Alya menuju babak baru dalam hidupnya—babak yang penuh dengan keberanian, cinta, dan harapan.*
Bab 13: Langit Baru
Langit pagi di kota itu terlihat cerah, membentang biru dengan sentuhan awan putih seperti lukisan yang diciptakan dengan tangan yang penuh cinta. Alya berdiri di balkon studionya, memandang ke cakrawala. Hari ini terasa berbeda—lebih ringan, lebih bebas. Ada rasa lega yang menyelimuti hatinya setelah pameran seni beberapa hari lalu. Lukisan itu, potret perempuan dengan senyuman penuh makna, telah menjadi simbol transformasi dirinya.
Namun, meski pameran telah usai, Alya tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Ada rasa antusias yang menggelitiknya, memacu semangatnya untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.
“Alya, aku sudah selesai!” seru Dimas dari dalam studio.
Alya menoleh dan melihat Dimas berdiri di depan kanvasnya sendiri. Selama beberapa minggu terakhir, mereka mulai melukis bersama. Dimas, meski awalnya hanya seorang fotografer, mulai mencoba menuangkan imajinasinya melalui cat dan kuas. Hasilnya jauh dari sempurna, tapi ada kejujuran dalam setiap sapuan warnanya.
“Kamu yakin itu selesai?” tanya Alya sambil tersenyum menggoda.
Dimas mengangguk mantap. “Aku tahu ini tidak sebagus lukisanmu, tapi aku bangga dengan ini.”
Alya mendekat dan memandangi lukisan itu. Lukisan Dimas adalah gambaran sebuah taman dengan langit senja yang berwarna jingga. Meski sederhana, ada kehangatan yang terpancar dari lukisan itu, seperti rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di tempat yang akrab.
“Kamu tahu?” kata Alya. “Ini mungkin salah satu karya paling tulus yang pernah aku lihat.”
Dimas tersenyum lebar. “Mungkin aku harus mempertimbangkan karier baru sebagai pelukis.”
Alya tertawa. “Atau mungkin kamu tetap jadi fotografer, tapi sesekali melukis untuk mengekspresikan diri. Lagipula, kamu berbakat.”
Dimas merasa hatinya hangat mendengar pujian itu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa Alya, yang selama ini ia kagumi, akan menjadi orang yang mendorongnya untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru.
Hari itu, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah bukit kecil di pinggiran kota. Bukit itu adalah tempat yang dulu sering Alya kunjungi bersama Nadia untuk mencari inspirasi. Dimas ingin melihat tempat itu dan merasakan sendiri apa yang membuatnya begitu istimewa bagi Alya.
Ketika mereka tiba di puncak bukit, pemandangan yang menakjubkan menyambut mereka. Hamparan rumput hijau, angin yang sejuk, dan langit biru yang terasa tak berujung membuat tempat itu terasa seperti dunia lain.
Alya duduk di atas selimut kecil yang mereka bawa, sementara Dimas sibuk memotret pemandangan di sekitarnya. “Ini indah sekali,” kata Dimas sambil melihat hasil jepretannya.
“Dulu, aku sering datang ke sini bersama Nadia,” cerita Alya. “Dia bilang tempat ini seperti pengingat bahwa kita selalu punya langit baru untuk kita jalani. Meski hari ini sulit, selalu ada hari esok yang membawa harapan.”
Dimas menatap Alya, melihat bagaimana matanya memancarkan kedamaian. “Kamu benar-benar terinspirasi oleh Nadia, ya?”
Alya mengangguk. “Dia adalah sahabatku. Tapi bukan hanya itu, dia adalah orang yang selalu percaya padaku, bahkan ketika aku sendiri tidak percaya pada diriku.”
Dimas duduk di samping Alya, merasakan angin yang menyapu wajah mereka. “Aku rasa aku mulai memahami kenapa kamu dan Nadia begitu dekat. Kalian berdua sama-sama memiliki kekuatan yang luar biasa. Kamu hanya perlu waktu untuk menyadarinya.”
Alya tersenyum mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Dimas. Aku bersyukur kamu ada di sini sekarang.”
Mereka duduk dalam diam sejenak, menikmati keindahan alam di sekitar mereka. Langit mulai berubah warna menjadi jingga saat matahari perlahan tenggelam di cakrawala.
“Alya,” kata Dimas tiba-tiba, memecah keheningan.
“Hm?” Alya menoleh ke arahnya.
“Aku tahu aku sering bercanda dan mungkin terlihat tidak serius. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar peduli padamu. Apa yang kamu lalui, apa yang kamu rasakan—aku ingin selalu ada di sampingmu.”
Alya tertegun. Kata-kata Dimas terdengar tulus, dan matanya memancarkan kesungguhan yang jarang ia tunjukkan.
“Dimas…” Alya tidak tahu harus berkata apa. Ia bisa merasakan hatinya bergetar, tetapi ia juga takut untuk melangkah lebih jauh.
“Tidak perlu menjawab sekarang,” kata Dimas dengan senyuman kecil. “Aku hanya ingin kamu tahu. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap di sini, mendukungmu.”
Alya mengangguk pelan, merasa hatinya mulai membuka diri untuk sesuatu yang baru.
Malam itu, saat mereka kembali ke kota, Alya memandang ke luar jendela mobil. Langit malam bertabur bintang, seolah menunjukkan bahwa selalu ada keindahan setelah kegelapan.
Dalam hatinya, Alya tahu bahwa hari-hari ke depan mungkin tidak akan mudah. Tapi dengan Dimas di sisinya, dan keberanian yang telah ia temukan dalam dirinya, ia yakin bisa menjalani langit baru yang menantinya.***
———THE END——-