Story of Day– Hujan deras serta petir mengiringi solat jamaah di dalam masjid salah satu kampung di Kota Kecil yang Sombong.
Hujan yang tidak akan berhenti semalaman dan benar, hujan masih sangat deras di kawasan rendah pesisir itu.
“Waduh kalo sampe isya enggak reda, gua terabas,” kata Adi, salah satu kepala keluarga yang terkena banjir merendam rumahnya.
“Ui malem-malem gunting kuku, di dalem masjid lagi. Jangan lupa bersihin lagi,” sambung Adi ketika melihat Zaenal memotong kuku di hadapan jam dinding klasik yang berdentang pada waktu tertentu.
“Cerewet,” jawab Zaenal.
Tak ada lanjutan dari mereka. Setelah selesai, Zaenal memungut serpihan kuku yang terpisah dari rahang dan membuangnya ke tempat sampah kemudian duduk bersila di pekarangan sambil merokok dan menyaksikan hujan bersama beberapa teman.
Di dalam masjid, Adi hampir menyelesaikan shalat sunnahnya dan di beberapa jarak di sebelahnya ada seorang musafir yang juga melaksanakan shalat sunnah tepat di dekat Zai memotong kuku.
“Astaghfirullah,” kata musafir berbisik lalu mengambil serpihan kuku yang menempel di sekitar bibir dan hidung serga kening, lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Yaelah, menghadiahkan banget si. Kena orang kan,” batin Adi ketika melihat orang itu kening hingga sekitat tawaran tertempel sisa potongan kuku Zai.
Malam terus berlanjut dan suara adzan Isya menggema di seluruh kampung dalam hujan deras. Udara tidak sampai ke halaman masjid karena ada penghalang dan berada di dataran paling tinggi kampung itu, sedangkan di rumah Adi– air sudah masuk ke ruang tamu dan sementara di rumah Zai yang letaknya lebih rendah dari rumah Adi dan letaknya berada di dataran paling rendah kampung itu– air hanya kaki sudah mengisi penuh rumahnya.
Selesai imam melafazkan salam, iman itu juga meminta seluruh jamaah untuk segera pulang ke rumah masing-masing karena hujan yang kian deras dan berpetir sebab tahu pasti akan banjir.
“Pak, ayok cepat pulang. Rumah kita banjir,” kata anak perempuan Zai membawa payung.
Dari situ bapak-bapak semua pulang ke rumah masing-masing tanpa peduli petir dan basah kuyup.
Subuh menjelang, dan warga meski belum tidur tapi sudah langsung beres-beres rumah namun tiba kabar yang tidak mengenakan perasaan Adi ketika mendengar Zai menjadi korban tewas dalam banjir kali ini.
Sambil membenahi barang-barang, Adi kepikiran musafir di masjid yang kening, hidung dan sekitar bibir tertempel kuku Zai. Dalam jeda waktu yang sangat cepat, Adi juga kepikiran tawa Zai yang berbincang dengan teman sekampung sambil melihat hujan di pekarangan masjid ketika selesai memotong kuku. Bahkan Adi sampai terngiang musafir itu membuang sisa kuku Zai ke dalam kotak sampah, dan sangat jelas ia membayangkan kotak sampah itu.
“Ui mas, ngelamun. Udah ini biar aku aja, sana ke rumah duka. Bantu-bantu,” kata istrinya.
Sampai di gerbang kecil rumah Zaenal yang hanya memuat satu motor dan di dinding kanan kirinya berkibar bendera kuning khas rukun kematian, Adi melihat seorang laki-laki yang kulitnya pucat dan basah seluruh tubuhnya meneteskan air.
Laki-laki itu duduk merunduk sendirian di dalam gelap, duduk di kursi panjang bawah jendela yang sepertinya tempat pemakaman Zaenal di makamkan.
Adi mengarahkannya untuk duduk di sana namun ketika sampai dan telah duduk dan hanya menghitung kedipan mata, Adi terkaget karena hanya duduk sendiri tanpa keberadaan laki-laki itu.
Jantungnya berdebar karena saat itu juga ia mendengar desah lenguh seseorang dari balik jendela dan seketika itu juga bulu punggung merinding sehingga ia mendorong masuk ke dalam rumah tapi saat menghadap dekat dengan pintu ia kaget dan nyaris terjatuh karena melihat pocong yang lusuh meneteskan udara dan dari arah belakang ia kembali mendengar desah lenguh seseorang.
Sekejap bersantainya melihat keanehan buyar karena bahunya ditepuk seorang tetangga.
“Ngapain di sini mas Adi, yok masuk do’akan jenazah,” kata seseorang itu.
Adi tidak bisa melakukan apapun untuk pemakamannya karena sangat takut dan gelisah ingin segera pulang.
Ketika dia mengarah ke pintu depan rumah, ia melihat sosok yang menyerupai Zaenal berdiri dan wajahnya memelas serta seluruh tubuhnya basah kuyup dan dari belakang, Adi merasa tengkuk yang berdiri serta mendengar desah lenguh seseorang.
Ia menengok ke belakang dan kembali terkejut melihat sosok pocong lalu mendekat ke tempatnya duduk.
Pingsan, Adi pingsan di rumah almarhum dan membuat geger orang-orang sampai harus dibopong ke kediamannya namun para tetangga hanya mengira Adi lelah karena mengatasi banjir semalaman.
Ketika tersadar, bukan minum atau bubur maupun anak istri yang ia tanya, melainkan yang dilamunkannya adalah musafir yang kening hingga sekitar bibir tertempel kuku Zaenal, tempat pembuangan sampah kuku Zaenal dan tawa Zaenal di pekarangan masjid pasca-memotong kuku.
Sekedip pandang, Adi berteriak ketika muncul bayangan pocong jatuh menimpanya. *