Bab 1: Jejak di Hutan Terlarang
Langit di atas Desa Waringin tampak kelabu, seakan menyimpan rahasia kelam yang enggan diungkapkan. Udara lembap menyelimuti setiap sudut desa kecil yang terpencil itu, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Daun-daun trembesi tua berdesir lirih ketika angin menyusup pelan di antara celah pepohonan. Suasana yang ganjil namun menggugah rasa ingin tahu—itulah yang dirasakan Arga saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini.
Arga adalah seorang penulis muda yang tengah mencari inspirasi untuk novel barunya. Setelah mengalami kebuntuan kreatif selama berbulan-bulan, ia memutuskan untuk menjauh dari hiruk-pikuk kota dan mencari ketenangan di tempat yang jarang dijamah orang. Pilihannya jatuh pada Desa Waringin, sebuah tempat yang bahkan tidak tercantum dalam peta digital. Sebuah tempat yang, menurut cerita seorang teman lamanya, menyimpan banyak kisah tak biasa.
Baru dua hari di sana, Arga sudah merasakan ada yang tidak wajar. Tatapan penduduk desa seolah penuh kewaspadaan, terutama saat ia menyebut ingin berjalan-jalan ke hutan di sebelah timur. Mereka menatapnya dengan mata lebar dan suara tertahan, seakan kata “hutan” adalah kutukan yang tak boleh diucapkan sembarangan.
“Jangan ke sana, Nak,” kata Mak Inah, pemilik rumah tempat Arga menginap, sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Hutan itu… tempatnya bukan untuk orang luar. Bahkan kami, yang tinggal di sini sejak lahir pun, tidak berani sembarangan masuk.”
Arga mengerutkan kening. “Kenapa, Mak? Ada apa di sana?”
Mak Inah diam sesaat, menatap ke arah jendela yang mengarah ke utara, tempat hutan itu berada. Matanya tampak kosong, seakan sedang mengenang sesuatu yang jauh.
“Itu bukan hutan biasa,” bisiknya akhirnya. “Ada pohon tua di tengah sana. Orang sini menyebutnya ‘Pohon yang Menangis’. Tak seorang pun tahu asal usulnya, tapi mereka yang nekat datang ke sana… tak pernah kembali sama.”
Bukannya mundur, rasa penasaran Arga justru semakin menjadi-jadi. Ia tahu, sebuah cerita yang menarik selalu dimulai dari rahasia yang dikubur dalam-dalam. Dan rahasia itu kini menggoda dirinya dari balik rerimbunan hutan lebat.
Malam itu, ia menuliskan kesan pertamanya di jurnal kulit cokelatnya:
Hari pertama di Desa Waringin. Tempat ini sunyi, tapi menyimpan energi aneh yang tak bisa kujelaskan. Mereka bicara tentang pohon yang menangis. Mitos? Atau lebih dari itu? Aku akan cari tahu…
Arga menatap ke luar jendela. Di kejauhan, bayangan gelap dari barisan pepohonan tampak berdiri kaku seperti barisan penjaga malam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa keputusannya untuk datang ke tempat ini akan mengubah hidupnya. Tapi apa yang menantinya di balik semak-semak dan bayangan? Ia belum tahu. Yang pasti, langkah pertamanya menuju hutan terlarang baru saja dimulai.
Bab 2: Suara yang Menyeramkan
Langit pagi masih tertutup kabut saat Arga melangkahkan kakinya menuju hutan yang disebut-sebut sebagai tempat terlarang itu. Kabut tebal menggantung rendah, membuat pepohonan tampak seperti siluet-siluet asing yang mengintai. Hutan di sisi timur Desa Waringin memang tampak biasa saja dari luar, tetapi suasana di sekelilingnya memancarkan aura yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Dengan kamera tergantung di leher dan buku catatan di tangan, Arga memasuki hutan perlahan. Setiap langkah yang ia ambil menginjak ranting-ranting kering dan daun gugur, mengeluarkan bunyi gemeretak yang mengganggu keheningan. Tidak ada suara burung. Tidak ada desir angin. Hanya kesunyian yang pekat dan menyesakkan.
Semakin dalam ia berjalan, suasana menjadi semakin aneh. Pepohonan tampak semakin besar dan tua, seperti sudah berabad-abad berdiri di sana. Kulit batangnya penuh luka, bekas torehan seperti cakaran. Dan di antara pepohonan itu, ia melihat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
Sebuah pohon menjulang tinggi di tengah-tengah semak belukar. Pohon itu berbeda. Kulitnya hitam legam, cabangnya bengkok seperti tangan yang sedang mencengkeram langit. Tanpa daun. Tanpa burung. Tanpa suara.
Arga mendekat. Saat itulah ia mendengarnya.
Tangisan.
Suara itu lirih, namun begitu jelas di tengah sunyi. Seperti isak seorang perempuan—patah, lemah, dan penuh duka. Arga menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara, tetapi tak ada siapa pun. Hanya dirinya, dan pohon itu.
Tangisan itu semakin keras.
Tubuh Arga menegang. Ia mencoba berpikir logis—mungkin suara hewan, mungkin gema dari lembah. Tapi suaranya… terlalu manusiawi. Terlalu menyayat hati. Seperti jeritan seseorang yang kehilangan segalanya.
Ia mundur perlahan, tetapi suara itu mengikutinya. Seakan berasal dari dalam pohon. Ia sempat melihat permukaan batangnya bergetar halus, seperti merespons kehadirannya.
“Ini… gila,” bisik Arga.
Ia berlari keluar hutan, napas terengah, jantung berdegup liar. Matahari mulai meninggi saat ia sampai kembali di desa, tetapi dingin dari dalam hutan masih menggigit kulitnya.
Malam itu, Arga tak bisa tidur. Suara tangisan itu masih terngiang di telinganya, terus mengusik pikirannya. Ia merasa… suara itu memanggilnya. Bukan dengan ancaman, melainkan dengan luka. Seolah pohon itu tidak ingin menyakitinya—hanya ingin didengar.
Arga membuka buku catatannya dan menulis:
Hari ini, aku mendengarnya. Suara itu nyata. Tangisan yang datang dari dalam pohon. Aku tak tahu apa yang kurasakan—takut, penasaran, atau keduanya. Tapi satu hal pasti: pohon itu menyimpan lebih dari sekadar mitos.
Di luar, angin kembali berembus. Dan di antara desirnya, terdengar lirih suara… tangisan yang sama.
Bab 3: Penglihatan Tak Terduga
Malam kedua di Desa Waringin terasa semakin mencekam. Arga berbaring di tempat tidurnya, tetapi mata tidak bisa terpejam. Di luar, angin berdesir kencang, membawa serta suara-suara aneh dari hutan yang tak bisa dijelaskan. Suara itu—seperti desiran langkah-langkah kaki yang terinjak perlahan, namun tidak ada siapa pun di sekitar rumah.
Ia memutuskan untuk tidak pergi ke hutan malam ini. Terlalu banyak yang mengganggu pikirannya sejak ia mendengar suara tangisan dari pohon itu. Tetapi, meskipun ia berusaha untuk tidur, ada sesuatu yang membuatnya terjaga—sebuah penglihatan yang tiba-tiba muncul di benaknya.
Seperti bayangan yang berkelebat cepat, sebuah gambar samar muncul dalam pikiran Arga: sebuah sosok perempuan, berdiri di samping pohon tua, wajahnya tertutup rambut panjang yang kusut, tubuhnya terbalut kain lusuh yang terbuai angin. Tidak ada suara, hanya matanya yang menatap kosong, menembus kegelapan. Pandangannya penuh keputusasaan, seolah memohon untuk dibebaskan.
Tanpa sadar, Arga terbangun dengan napas terengah-engah. Lampu kamar yang temaram tampak mengaburkan wajahnya yang pucat. Matanya terbuka lebar, mencari-cari kenyataan di sekitar ruangan. Itu hanya sebuah mimpi, batinnya meyakinkan diri. Namun, rasa takut yang merayap di dalam dadanya terasa terlalu nyata.
Arga memutuskan untuk berjalan-jalan di luar untuk menenangkan diri. Angin malam yang dingin menyapanya, membawa udara lembap dari hutan yang gelap. Di kejauhan, ia melihat cahaya temaram dari rumah penduduk desa yang masih menyala. Tidak ada yang berbeda—sehingga membuatnya sedikit lebih tenang.
Namun, saat langkahnya membawa dia lebih dekat ke area yang lebih sepi, ia melihat sesuatu yang tak terduga. Di antara pepohonan, tepat di tepi hutan, ia melihat bayangan perempuan itu lagi. Wajahnya tertutup rambut panjang yang basah, seolah ia baru saja keluar dari dalam hutan itu. Tubuh perempuan itu tampak kabur, seperti terbuat dari kabut yang bisa hilang kapan saja.
Arga terhenti di tempat. Jantungnya berdegup keras. Tubuhnya terasa kaku, tak bisa bergerak. Apa itu? Apakah ia sedang berhalusinasi? Mimpi yang sama datang lagi, ataukah ini nyata?
Perempuan itu perlahan menoleh. Pandangannya kosong, tanpa ekspresi. Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang lebih gelap. Mata perempuan itu, meskipun kosong, seolah menjerat perhatian Arga. Ia merasa seakan terhisap oleh tatapan itu, seperti ada kekuatan yang mengikatnya di tempatnya.
Tak bisa menahan rasa takut yang semakin menyesakkan dada, Arga melangkah mundur. Namun, seiring ia bergerak mundur, bayangan perempuan itu mulai bergerak juga, mengikuti setiap langkahnya. Setiap kali Arga mundur, bayangan itu bergerak lebih dekat, semakin jelas.
Dengan seluruh keberaniannya, Arga berbalik dan berlari. Kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan geraknya. Hatinya berdetak keras, suara napasnya hampir tak terdengar karena gemuruh ketakutan. Setiap langkahnya terasa semakin jauh dari kenyataan, seakan ia berlari menuju dunia yang berbeda, yang penuh dengan bayang-bayang kelam.
Akhirnya, dengan napas terengah-engah, Arga tiba kembali di rumah Mak Inah. Pintu kayu yang tertutup rapat seolah menjadi pelindung dari segala ketakutan yang membayangi dirinya.
Namun, saat ia menoleh untuk melihat ke hutan sekali lagi, pandangannya kembali tertumbuk pada sosok itu. Sosok perempuan yang sama, berdiri di batas hutan, menatapnya dengan mata yang penuh harapan dan kesedihan. Bayangan itu hanya berdiri diam, tidak bergerak, hanya menunggu—menunggu apa, Arga tidak tahu.
Saat itu, ia menyadari sesuatu yang lebih menakutkan dari segalanya: perempuan itu bukan hanya sekadar mimpi. Ia ada. Dan ia memanggil Arga.
Bab 4: Lahirnya Kutukan
Arga duduk terpaku di depan api unggun kecil yang menari-nari, sinarnya hanya mampu menerangi sebagian kecil ruang di rumah Mak Inah. Semalaman ia terjaga, pikirannya terperangkap dalam kabut ketakutan yang tak kunjung sirna. Tangisan itu, bayangan perempuan itu—semua seakan berputar-putar dalam kepalanya, menciptakan lingkaran yang semakin sempit. Ia tak tahu lagi apakah ini kenyataan atau hanya mimpi buruk yang tak berujung.
Pagi ini, Arga memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pohon itu, dan mengapa roh-roh yang terperangkap di sana tampak begitu nyata. Ia perlu berbicara dengan seseorang yang tahu tentang sejarah desa ini, dan satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban adalah Pak Rahman—seorang dukun tua yang tinggal di pinggiran desa.
Setelah memintanya dengan hati-hati, Pak Rahman akhirnya setuju untuk menceritakan kisah yang telah lama terkubur. Di sebuah ruangan sederhana yang penuh dengan bau dupa dan ramuan-ramuan aneh, Pak Rahman mulai berbicara dengan suara berat, seperti mengingat kembali kenangan lama yang penuh penderitaan.
“Pohon itu…” Pak Rahman memulai, suara seraknya mengisi ruang. “Bukan sembarang pohon. Itu adalah tempat bersemayamnya kutukan kuno yang dilahirkan oleh darah yang tumpah.”
Arga mendekat, mendengarkan dengan seksama. Pak Rahman melanjutkan ceritanya dengan perlahan, seolah menghindari setiap kata yang mungkin menambah rasa takut di hati Arga.
“Dahulu, banyak tahun yang lalu, ada seorang perempuan muda bernama Lestari. Ia adalah putri dari seorang pemimpin desa yang sangat dihormati. Namun, Lestari memiliki nasib yang sangat tragis. Ia jatuh cinta pada seorang pemuda yang berasal dari keluarga miskin, yang tak disetujui oleh ayahnya. Karena cinta itu, mereka melarikan diri dan menikah diam-diam.”
Pak Rahman berhenti sejenak, memandang Arga dengan tatapan tajam yang penuh arti. “Tapi, ada yang tak diketahui oleh Lestari. Pemuda itu bukanlah pria biasa. Ia adalah salah satu anggota kelompok penyihir hitam yang menginginkan kekuasaan lebih besar.”
“Kelompok penyihir hitam?” Arga bertanya, tak bisa menahan rasa penasaran.
“Ya. Mereka melakukan ritual jahat di desa ini. Mereka menyembelih banyak nyawa, mengorbankan darah untuk membuka pintu gerbang menuju kekuatan gelap. Lestari, yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak lelaki. Namun, saat bayi itu lahir, sesuatu yang mengerikan terjadi.”
Pak Rahman menatap Arga dengan serius. “Anak itu, Arga… bukan manusia biasa. Ia adalah hasil dari pengorbanan yang tak sempurna, dan dalam darahnya mengalir kutukan yang mengerikan. Ayahnya yang juga seorang penyihir hitam, melakukan ritual di bawah pohon itu—Pohon yang Menangis—untuk memanen jiwa-jiwa yang terperangkap, dan menyatukan mereka dalam kekuatan yang tak terbayangkan.”
Arga mendengarkan dengan seksama, seakan waktu berhenti bergerak.
“Pohon itu, Arga, adalah saksi dari semua penderitaan. Setiap kali seseorang mendekatinya, kutukan itu akan terbangun kembali. Roh-roh yang tak tenang akan selalu mencari cara untuk membalaskan dendam mereka pada yang masih hidup. Lestari, yang tahu akan hal itu, berusaha melarikan diri dari masa lalu, tetapi pohon itu… pohon itu menunggu.”
Pak Rahman menghela napas panjang. “Kutukan itu tidak pernah hilang. Dan sekarang, orang-orang yang nekat datang ke sana akan merasakannya. Termasuk kamu, Arga.”
Kata-kata Pak Rahman menggema di telinga Arga. Ia merasa dunia sekitarnya semakin gelap, seperti terperangkap dalam sebuah lingkaran yang tak bisa ia hindari. Ia telah terpilih—atau lebih tepatnya, terjebak—dalam takdir yang lebih besar dari dirinya sendiri.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Arga, suaranya bergetar.
“Tidak ada yang bisa mengubah takdir ini, Nak,” jawab Pak Rahman dengan nada rendah. “Hanya ada dua jalan: kamu bisa terus menghindar dan berharap kutukan itu tidak mengincarmu, atau kamu bisa menghadapi pohon itu, mencoba menghentikan kutukan yang terlanjur dilahirkan. Tapi ingat, harga yang harus dibayar mungkin lebih mahal dari yang bisa kamu bayangkan.”
Arga merasa tubuhnya lemas. Kutukan itu telah lama ada, dan kini ia tak bisa lari lagi. Entah itu takdir, ataukah sesuatu yang lebih gelap, ia tahu satu hal: pohon itu tidak hanya menangis—pohon itu menunggu. Dan ia adalah bagian dari cerita itu.
Bab 5: Gangguan Menjadi Mengerikan
Sejak percakapan dengan Pak Rahman, Arga merasa hidupnya tak lagi sama. Setiap langkahnya di Desa Waringin terasa semakin berat, seakan ada sesuatu yang mengikuti—sesuatu yang tak terlihat, namun sangat nyata. Suara angin yang berhembus seakan membawa bisikan, dan bayang-bayang di sekitar rumah Mak Inah tampak bergerak lebih cepat, lebih gelap. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, rasa takut itu terus menggerogoti dirinya.
Malam itu, Arga terjaga oleh suara gemerisik dari luar jendela. Awalnya, ia mengira itu hanya angin yang menerpa dahan-dahan pohon di sekitarnya, tetapi suara itu semakin keras, semakin dekat. Tidak hanya itu—ia bisa merasakan getaran halus di lantai kamar, seperti ada yang berjalan di luar, dengan langkah yang berat dan tidak wajar. Arga meremas selimutnya, berusaha menenangkan diri.
Namun, tidak ada yang bisa menenangkan hatinya yang semakin panik.
Pintu kamar yang tak terkunci tiba-tiba berayun perlahan. Arga menatap pintu yang terbuka lebar, namun tidak ada satu pun yang terlihat di baliknya. Hanya kegelapan yang menyelimuti lorong sempit itu. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar dari tempat tidurnya dan mendekati pintu.
Tiba-tiba, ia mendengar sesuatu yang lebih menyeramkan dari sekadar langkah kaki. Suara itu seperti… tangisan. Tangisan yang teredam, seperti datang dari dalam dinding. Seolah ada seseorang yang menangis di baliknya, terjebak di tempat yang tak terlihat oleh mata manusia.
“Siapa di sana?” Arga memanggil dengan suara parau, namun jawabannya hanya hening yang semakin pekat. Ia mendekatkan telinganya ke dinding, berusaha mendengar lebih jelas. Suara tangisan itu semakin keras, semakin melengking, dan tak terhingga. Setiap isakannya mengiris hati, menembus ke dalam relung-relung terdalam Arga.
Seketika, suara tangisan itu berubah menjadi teriakan—teriakan yang mengguncang seluruh tubuhnya. Arga mundur, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun ia tahu, ini bukan hanya mimpi. Ini nyata.
Ia berlari keluar dari kamar, menuju lorong rumah yang remang-remang. Pintu depan yang tertutup rapat tiba-tiba terbuka lebar, seperti memanggilnya untuk keluar. Sesuatu di luar sana, di antara pepohonan yang gelap, seakan menunggu. Sebuah suara memanggil namanya—lembut, namun mengancam.
Tanpa berpikir panjang, Arga berlari keluar, meninggalkan rumah yang mulai terasa seperti penjara. Langkahnya semakin cepat, meskipun ia tidak tahu apa yang mengejarnya. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan kabut mulai turun dengan cepat, menyelimuti segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Lampu-lampu rumah di desa terlihat pudar, seolah diselimuti kegelapan yang lebih dalam.
Arga terus berlari menuju hutan, meskipun ia tahu itu adalah tempat yang harus dihindari. Semakin jauh ia melangkah, semakin tebal kabut itu, dan semakin dekat suara tangisan yang tak bisa diabaikan. Suara itu mengalun, tidak hanya dari satu arah, tetapi dari setiap sudut hutan yang gelap. Teriakan-teriakan mulai terdengar lebih jelas, penuh dengan kesedihan dan amarah yang terpendam.
Ketika Arga akhirnya sampai di pohon yang disebut-sebut oleh Pak Rahman—Pohon yang Menangis—ia merasa seakan seluruh dunia berhenti berputar. Pohon itu berdiri kaku, dengan cabang-cabang yang melengkung ke bawah, seakan menyambut kedatangannya. Tidak ada angin yang bergerak, namun udara di sekitar pohon terasa begitu berat, seperti menahan napas.
Tiba-tiba, suara tangisan itu berhenti.
Segalanya hening.
Arga berdiri di tempatnya, tubuhnya terperangkap dalam rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Namun, sebelum ia bisa berbalik untuk melangkah pergi, sebuah bayangan muncul di depan matanya. Bayangan itu semakin jelas, semakin dekat. Wajah perempuan yang ia lihat dalam penglihatannya kini tampak di depannya, dengan mata yang kosong dan tubuh yang terbalut kain lusuh.
Perempuan itu mengulurkan tangan, dan suara yang keluar dari mulutnya bukanlah suara manusia. Itu adalah suara yang lebih dalam, lebih gelap—suara yang penuh dengan kebencian dan penderitaan.
“Bantulah aku…” suara itu bergema di dalam kepala Arga. “Bantulah aku… atau kamu akan menjadi bagian dari kutukan ini selamanya!”
Arga tersentak mundur, hampir jatuh, namun ia tidak bisa bergerak. Ia terjebak dalam pandangan mata perempuan itu, yang kini mulai meresap ke dalam dirinya. Setiap kata yang diucapkan perempuan itu menggetarkan jiwa Arga, merasuki tubuhnya dengan rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, sebelum ia sempat merespons atau melarikan diri, semuanya tiba-tiba menghilang—bayangan itu, suara tangisan, dan bahkan Pohon yang Menangis. Hutan kembali sunyi. Hanya ada Arga yang berdiri di tengah kegelapan, dengan napas yang terengah-engah dan tubuh yang kaku.
Arga tahu bahwa gangguan ini baru saja dimulai. Dan semakin dalam ia terlibat, semakin mengerikan apa yang akan datang.
Bab 6: Melawan Ketakutan
Pagi itu, kabut belum benar-benar menghilang dari desa. Sisa-sisa embun menggantung di ranting pohon dan rerumputan, seakan menolak pergi dari suasana muram yang menyelimuti Desa Waringin. Arga duduk diam di teras rumah Mak Inah, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Malam tadi terlalu nyata, terlalu menyesakkan. Gangguan-gangguan itu bukan lagi sekadar bayangan atau suara dari alam bawah sadar. Mereka hadir, menyentuh, bahkan memanggil namanya.
Mak Inah, yang memperhatikan gelagat Arga sejak ia kembali menjelang subuh, akhirnya duduk di sampingnya. Ia tidak langsung bertanya. Hanya diam, memberikan waktu bagi Arga untuk memulai.
“Aku melihatnya lagi…” gumam Arga pelan, nyaris seperti bisikan. “Perempuan itu… Dia mendekatiku. Dia meminta tolong, tapi… caranya seperti sedang mengutukku.”
Mak Inah menarik napas dalam, lalu memejamkan mata. “Kamu sudah melewati batasnya, Nak. Gangguan itu tidak akan berhenti sampai kamu benar-benar paham apa yang diinginkan roh itu. Tapi untuk itu… kamu harus melawan rasa takutmu.”
Arga memalingkan wajah, menatap kabut yang masih melayang pelan. “Bagaimana caranya melawan sesuatu yang tidak bisa kusentuh? Tidak bisa kulihat dengan jelas?”
Mak Inah menatapnya tajam. “Kamu tidak harus menyentuh atau melihatnya. Kamu hanya perlu percaya pada kekuatan dalam dirimu. Karena yang mereka incar bukan tubuhmu… tapi jiwamu yang lemah karena ketakutan.”
Siang itu, Arga memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Rahman. Ia tahu bahwa ia tak bisa terus-menerus lari atau bersembunyi. Ia ingin tahu lebih dalam tentang roh yang datang padanya, tentang perempuan yang menangis di balik pohon kutukan itu. Ia ingin tahu apa yang bisa dilakukan untuk menghentikan semuanya.
Pak Rahman menyambutnya dengan raut wajah yang lebih serius dari biasanya. Ia tampak sudah menunggu.
“Sudah waktunya kamu tahu semuanya,” ujar Pak Rahman. “Kutukan itu tidak hanya berkaitan dengan masa lalu desa ini. Tapi juga denganmu.”
Arga terdiam.
“Kamu adalah keturunan dari garis yang dulu pernah bersentuhan dengan kekuatan gelap itu. Mungkin kamu tidak tahu, tapi darahmu membawa sebagian dari apa yang pernah dibangkitkan oleh ayah dari anak yang dilahirkan Lestari.”
Jantung Arga berdegup kencang. Seluruh bagian dalam dirinya bergetar. “Maksudmu… aku ada kaitannya dengan mereka?”
Pak Rahman mengangguk. “Kamu adalah penentu. Entah untuk melanjutkan siklus kegelapan itu… atau mengakhirinya.”
Perkataan itu membakar semangat dalam dada Arga, tapi juga menyalakan rasa takut yang lebih besar dari sebelumnya. Ia tidak pernah menginginkan ini. Ia hanya seorang pria yang datang untuk menelusuri rahasia keluarganya, bukan menjadi bagian dari kutukan berabad-abad.
Namun di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Ketakutan yang semula membelenggu, perlahan-lahan berganti menjadi tekad.
Arga mulai mempersiapkan diri. Ia meminta Pak Rahman mengajarinya cara melindungi pikirannya dari pengaruh roh-roh jahat, cara membaca doa-doa pelindung, serta cara menenangkan jiwa di tengah godaan. Ia menyendiri selama dua hari, mempelajari setiap langkah dengan penuh kesungguhan.
Dan ketika malam ketiga tiba—malam purnama yang dikenal sebagai malam roh berkeliaran bebas—Arga sudah siap.
Ia berdiri di depan Pohon yang Menangis, dengan sebatang dupa menyala dan doa-doa yang terucap lirih dari bibirnya. Bayangan-bayangan mulai bermunculan. Tangisan itu terdengar lagi. Tapi kali ini, Arga tidak mundur. Ia memandang lurus ke depan.
“Aku tidak akan takut lagi,” bisiknya.
Perempuan itu muncul lagi, matanya masih dipenuhi kesedihan yang menyesakkan. Tapi kini, Arga tidak melihatnya sebagai sosok menakutkan. Ia melihat seorang jiwa yang terpenjara dalam dendam, tidak pernah dibebaskan.
“Jika kamu ingin dibebaskan…” kata Arga dengan mantap, “…aku akan membantumu. Tapi berhentilah mengganggu. Tunjukkan kebenarannya padaku.”
Angin berhenti bertiup.
Pohon itu berguncang pelan.
Dan dari akar-akar yang tersembunyi dalam tanah lembap, terdengar suara… seperti bisikan yang datang dari balik kematian.
Perjalanan melawan ketakutan telah dimulai. Namun Arga belum tahu—melawan roh bukan sekadar melawan kegelapan. Tapi juga melawan sisi tergelap dalam dirinya sendiri.
Bab 7: Pengorbanan Terakhir
Langit malam menghitam sempurna, seakan menolak memberi cahaya pada malam yang paling kelam dalam sejarah Desa Waringin. Udara terasa tebal, nyaris tak bisa dihirup. Kabut turun lebih cepat dari biasanya, dan angin tak lagi berbisik lembut—ia menderu, membawa aroma tanah basah dan bau kemenyan yang dibakar oleh para tetua desa. Malam ini, semua bersiap. Tapi bukan untuk bertahan. Melainkan untuk melepaskan.
Arga berdiri di hadapan Pohon yang Menangis, bersama Mak Inah dan Pak Rahman. Ketiganya membawa sesajen yang diracik dari warisan leluhur: bunga tujuh rupa, kendi berisi air mata tujuh anak yatim, dan selembar kain putih yang dibordir doa-doa pengusir arwah penasaran. Semua disusun di bawah pohon yang kini tampak lebih besar, lebih hidup… atau justru lebih haus.
“Ini saatnya,” bisik Pak Rahman lirih, tatapannya tak lepas dari batang pohon yang mulai bergerak pelan, seperti bernapas. “Rohnya sudah terlalu lama terpenjara. Jika tak dibebaskan malam ini, ia akan menjelma menjadi amarah yang tak bisa dikendalikan.”
Mak Inah menambahkan, “Tapi pembebasan itu butuh pengorbanan… Darah dari yang terkait secara langsung.”
Semua menoleh ke Arga.
Ia sudah tahu ini akan datang. Ia telah mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan itu. Darah yang mengalir dalam tubuhnya bukan hanya warisan biasa, melainkan bagian dari ikatan tak kasatmata dengan kutukan yang telah diwariskan turun-temurun. Ia adalah kunci. Dan kunci, kadang harus dikorbankan agar pintu tak terbuka selamanya.
“Aku siap,” ucap Arga, meski suaranya bergetar.
Mak Inah menyodorkan sepotong belati kecil berukir simbol-simbol kuno. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk melepaskan. Satu tetes darah di atas akar pohon, satu niat tulus dalam hati, dan satu pengakuan akan kesalahan masa lalu yang tak pernah dia buat, tapi harus dia tanggung.
Saat Arga menggores telapak tangannya dan meneteskan darah di atas akar tua, terdengar jeritan dari dalam tanah. Bukan jeritan manusia, tapi jeritan jiwa yang terkurung terlalu lama. Tanah di sekitar pohon berguncang, dan kabut berubah menjadi pusaran yang mengelilingi mereka bertiga. Dari dalam pusaran itu, muncul sosok perempuan—samar, namun kini tidak lagi mengerikan. Wajahnya tenang, matanya basah oleh air mata.
Itu Lestari.
Ia berjalan mendekati Arga, tak menyentuh, hanya menatap.
“Aku… hanya ingin didengar,” ucapnya, suaranya lembut bagai hembusan angin pagi. “Aku tidak ingin membalas. Aku hanya ingin diakhiri.”
Arga mengangguk, air matanya jatuh bersamaan dengan darah yang masih menetes. “Aku mendengarmu. Dan aku memaafkan semuanya, atas nama mereka yang tidak pernah sempat melakukannya.”
Cahaya tiba-tiba muncul dari langit. Bukan cahaya matahari atau bulan, tapi cahaya putih yang hangat, membungkus tubuh Lestari perlahan. Rohnya mulai terangkat, tubuhnya memudar, dan tangisannya berubah menjadi senyuman.
Namun sebelum benar-benar menghilang, ia menoleh sekali lagi kepada Arga.
“Terima kasih… Tapi ingat, tidak semua kegelapan ingin dibebaskan. Beberapa… hanya ingin dikenang.”
Dan ia lenyap.
Ketika cahaya itu padam, kabut menghilang, dan udara menjadi tenang. Pohon yang Menangis tidak lagi bergerak. Air matanya—tetesan getah gelap yang selalu muncul tiap malam purnama—telah berhenti mengalir.
Arga jatuh berlutut, tubuhnya lelah, jiwanya hampa, namun ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tahu, malam itu, pengorbanan kecilnya telah menghentikan kutukan besar yang selama ini membebani tanah dan jiwa desa.
Dan di dalam hening yang baru, hanya satu hal yang terdengar: keheningan damai dari roh yang akhirnya dibebaskan.
Bab 8: Kebenaran yang Terungkap
Hari setelah malam purnama itu, Desa Waringin tampak berbeda. Kabut yang selalu turun setiap malam kini sudah jarang hadir, dan angin pun berhembus dengan lembut, seolah alam ikut merasakan kedamaian yang mulai mengisi setiap sudut desa. Pohon yang Menangis, yang dulu menjadi pusat ketakutan, kini berdiri dengan tenang, tak lagi menyisakan aura kegelapan yang pernah mengerikan.
Namun, ketenangan itu tidak mampu menghilangkan pertanyaan yang terus menghantui Arga. Meski kutukan telah terhenti, dan roh Lestari akhirnya dibebaskan, ada bagian dari sejarah yang masih terpendam dalam diri desa ini. Kebenaran yang belum sepenuhnya terungkap.
Arga tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia kembali ke rumah Pak Rahman, tempat yang kini menjadi satu-satunya saksi bisu bagi perjalanan panjangnya. Hatinya dipenuhi dengan kegelisahan, dan pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang sama: Kenapa kutukan itu terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu?
Pak Rahman menyambutnya dengan senyuman tipis, seolah sudah menunggu kedatangannya.
“Ada yang ingin kamu ketahui, Nak?” tanya Pak Rahman sambil menyodorkan secangkir teh hangat.
“Pak Rahman,” jawab Arga dengan suara yang tegas, meski hatinya bergetar, “ada sesuatu yang belum saya mengerti. Semua ini—kutukan, roh Lestari—apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang menyebabkan semua ini?”
Pak Rahman memandangnya lama, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang.
“Seperti yang sudah kamu ketahui, kutukan itu dimulai dari sebuah tragedi lama, jauh sebelum desa ini berdiri. Namun, yang kamu tidak tahu adalah, tragedi itu bukan hanya melibatkan Lestari dan ayahnya. Itu juga melibatkan keluarga yang lebih besar—keluarga kita.”
Arga menatap Pak Rahman dengan mata terbelalak. “Keluarga kita?”
Pak Rahman mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya, meskipun ada kesedihan yang mendalam di baliknya.
“Ya, Nak. Keluarga kita. Kamu bukan hanya keturunan dari garis darah yang tertutup, tapi juga yang terlibat dalam keputusan-keputusan gelap yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Kutukan itu—kutukan yang melibatkan Lestari—adalah akibat dari kesalahan besar yang pernah dilakukan oleh leluhur kita. Mereka yang tergoda untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih gelap demi ambisi pribadi.”
Arga terdiam, mencoba mencerna kata-kata Pak Rahman. “Tapi kenapa harus keluarga saya? Mengapa saya yang harus terlibat dalam kutukan ini?”
Pak Rahman menatapnya dengan pandangan penuh makna. “Karena kamu adalah penerusnya, Nak. Keluarga kita adalah garis keturunan yang memiliki ikatan kuat dengan kekuatan yang tidak terlihat—dan yang paling penting, kamu adalah satu-satunya yang dapat menghentikan semuanya. Lestari tidak sendirian dalam pertempuran itu. Dia, sama seperti kamu, adalah korban dari keputusan-keputusan yang diambil oleh leluhur kita. Tapi berbeda dengan kamu, dia terperangkap dalam kebencian yang terus tumbuh.”
Arga menggigit bibirnya. “Jadi, saya harus bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak saya buat?”
“Bukan tanggung jawab dalam artian biasa, Nak,” jawab Pak Rahman dengan bijaksana. “Kamu tidak bersalah, tapi darah yang mengalir di tubuhmu memiliki kekuatan untuk mengakhiri semua penderitaan itu. Kamu adalah penyeimbang, satu-satunya yang bisa mengubah takdir yang telah ditentukan.”
Keheningan meliputi ruangan itu. Arga memejamkan matanya sejenak, mencoba memahami kenyataan yang baru saja terungkap. Ketakutan, kebingungan, dan kelegaan bercampur menjadi satu. Selama ini, ia berpikir bahwa dirinya hanya terjebak dalam suatu tragedi yang tidak ia mengerti. Tetapi kini, ia tahu bahwa ia bukan hanya seorang saksi. Ia adalah bagian dari cerita itu—dan hanya dialah yang dapat mengubah akhir cerita ini.
Pak Rahman melanjutkan, “Jangan merasa terbebani, Nak. Kadang, untuk mengakhiri penderitaan, seseorang harus mengorbankan sesuatu. Dan kamu, lebih dari siap untuk itu. Kamu sudah membuktikan keberanianmu dengan membebaskan Lestari. Sekarang, kamu hanya perlu melangkah lebih jauh.”
Arga menatap Pak Rahman dengan tatapan penuh tekad. “Apa yang harus saya lakukan?”
Pak Rahman tersenyum, meskipun ada kegetiran dalam matanya. “Sekarang, kamu harus mengunjungi tempat yang paling terlupakan. Di sana, kamu akan menemukan kunci untuk mengakhiri kutukan ini. Tempat itu… adalah pemakaman tua di luar desa. Di sanalah semua dimulai. Di sanalah semuanya akan berakhir.”
Arga tahu, tidak ada waktu lagi untuk ragu. Ia harus pergi ke tempat itu, menggali lebih dalam lagi kebenaran yang selama ini tersembunyi. Dan di sanalah, di antara nisan-nisan yang terlupakan, ia akan menemukan jawabannya—jawaban yang bisa menghentikan kutukan abadi yang telah mengikat keluarganya.
Dengan langkah pasti, Arga berdiri dan berpamitan dengan Pak Rahman. Ia tahu perjalanan ini belum berakhir. Malah, perjalanan terberat baru saja dimulai.
Berikut adalah pengembangan Bab 9: Akhir yang Tak Terduga dari novel Pohon yang Menangis, disusun dengan gaya bahasa yang memikat dan atmosfer horor yang kental, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar:
Bab 9: Akhir yang Tak Terduga
Malam itu, langit di atas Desa Waringin tampak mencekam, lebih gelap dari biasanya. Arga melangkah dengan hati penuh keraguan, namun tekad yang semakin bulat. Pemakaman tua yang terletak di pinggir hutan, jauh dari keramaian desa, kini menjadi tujuan akhir perjalanan yang penuh misteri ini. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah di bawah kaki memanggilnya untuk berhenti. Namun, ia tahu, ia tak bisa mundur lagi. Kebenaran yang selama ini dicari harus segera terungkap, meski itu berarti mengorbankan lebih dari sekadar jiwa.
Pak Rahman sudah memberitahunya tentang tempat ini—tempat yang terlupakan oleh waktu dan oleh banyak orang. Pemakaman yang sudah lama ditinggalkan, di mana nisan-nisan tua dipenuhi lumut dan semak belukar yang menjalar di sekitarannya. Di sanalah, katanya, semuanya dimulai. Dan di sanalah, semuanya akan berakhir.
Saat Arga sampai di pintu gerbang pemakaman, angin yang tiba-tiba berhembus keras menyambutnya. Angin itu terasa dingin, seakan membawa aroma tanah kuburan yang menyesakkan dada. Suara daun-daun yang bergesekan dengan angin seakan membisikkan sesuatu, tetapi Arga tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan. Ia hanya merasakan getaran yang mengalir ke seluruh tubuhnya.
Ia melangkah memasuki area pemakaman yang terlantar, setiap nisan yang ia lewati seakan memandangnya dengan tatapan kosong, seolah menunggu sesuatu yang belum datang. Tetapi Arga tahu, ini bukan tentang apa yang bisa ia lihat. Ini tentang apa yang akan ia temui di dalam dirinya sendiri.
Setelah beberapa menit berjalan, Arga berhenti di depan sebuah nisan besar yang tertulis nama Lestari dengan huruf yang sudah hampir hilang dimakan waktu. Di bawah nisan itu, ada sebuah batu besar yang tertutup rumput dan lumut, seolah menutupi sesuatu yang tersembunyi. Tanpa ragu, Arga mulai menggali tanah di sekitar batu itu, merasakan beban yang semakin berat di dadanya.
Tiba-tiba, ia merasakan sensasi dingin yang luar biasa, seperti ada sesuatu yang menyentuh kulitnya dari bawah tanah. Tangan Arga gemetar, namun ia terus menggali, sampai akhirnya sebuah peti kayu kecil muncul dari dalam tanah. Peti itu tertutup rapat, dengan ukiran-ukiran aneh yang tidak bisa dikenali. Arga merasakan bahwa inilah yang ia cari. Di dalam peti inilah kunci untuk mengakhiri semua ini.
Dengan tangan gemetar, Arga membuka peti itu. Namun, begitu tutup peti terbuka, bukan benda yang ia temui, melainkan sebuah cahaya putih yang menyilaukan. Cahaya itu bukanlah cahaya biasa—ia terasa hidup, penuh dengan energi yang tak bisa dijelaskan. Seketika, Arga merasa tubuhnya terangkat, seakan ia terhisap oleh kekuatan yang sangat besar.
Dalam kilatan cahaya itu, Arga mendengar suara yang sangat familiar. Suara itu bukan suara dari dunia ini, melainkan suara dari dunia lain—dari roh yang sudah lama terpenjara.
“Arga… terima kasih…” suara Lestari terdengar, lembut dan penuh harapan. “Kamu… sudah membebaskan aku… dan juga… masa lalu kita.”
Tiba-tiba, tubuh Arga terjatuh kembali ke tanah, tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Ketika ia membuka mata, ia melihat sosok Lestari di depannya, tetapi kali ini, wajahnya tidak lagi murung atau penuh amarah. Wajahnya cerah, seperti jiwa yang baru saja dibebaskan dari belenggu. Di sekelilingnya, ada cahaya yang bersinar terang, memancarkan kehangatan.
“Ini adalah akhir yang tak terduga, Arga,” kata Lestari dengan senyum yang tulus. “Aku tidak lagi terperangkap dalam kebencian. Semua yang terjadi selama ini… bukanlah kehendakku. Itu adalah akibat dari pilihan yang salah dari orang-orang di masa lalu. Tapi kamu telah mengakhiri semuanya dengan cara yang benar.”
Arga menatap Lestari dengan mata penuh kebingungan. “Tapi… apa yang terjadi pada semua ini? Pada desa ini? Pada kutukan yang menghantui kita?”
Lestari mengangguk perlahan. “Kutukan itu bukan sekadar kutukan biasa. Itu adalah hasil dari sebuah kesalahan besar yang melibatkan banyak orang—termasuk leluhurmu dan leluhurku. Namun, pengorbananmu, kesediaanmu untuk melawan ketakutan, itulah yang memutuskan siklus ini. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, Arga. Desa ini, keluarga kita, kini bisa memulai hidup baru. Kamu sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan.”
Arga terdiam, perasaannya campur aduk. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, namun juga ada kedamaian yang mulai mengisi ruang kosong dalam dirinya. Ia tahu, ini adalah akhir dari perjalanan panjang, tapi juga awal dari sesuatu yang baru. Sebuah hidup tanpa kutukan. Sebuah hidup yang lebih baik.
Ketika Lestari mulai menghilang dalam cahaya, ia menoleh sekali lagi. “Ingatlah, Arga. Kebenaran sering kali tersembunyi di balik kabut yang tebal. Tapi jika kita berani melihatnya, kita bisa melihat jalan menuju kebebasan.”
Cahaya itu akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan Arga sendirian di tengah pemakaman yang kini terasa lebih tenang, lebih hidup. Semua yang ia temui selama ini—kutukan, roh, sejarah yang terlupakan—telah selesai. Arga bisa merasakan beban berat yang selama ini menghambat jiwanya perlahan-lahan hilang. Ia telah melawan, bertahan, dan akhirnya menang.
Dengan langkah mantap, Arga meninggalkan pemakaman itu. Tanpa melihat ke belakang, ia tahu bahwa desa ini, dan hidupnya, akan selamanya berubah. Dan meskipun akhir ini tak terduga, ia tahu bahwa ia telah menemukan kedamaian yang sejati.***
————————THE END————————