• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

March 14, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

POHON LONTAR KUTUKAN TAK TERLEPASKAN

by SAME KADE
March 14, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 17 mins read

Bab 1: Awal Mula

Desa Sumberlangit terletak di kaki sebuah pegunungan yang diselimuti hutan lebat. Desa yang sepi dan tenang ini tampaknya jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Di sepanjang jalan utama, tampak rumah-rumah sederhana dengan kebun yang luas dan halaman yang tertata rapi. Di balik keindahan alamnya, desa ini menyimpan sebuah misteri yang telah menghantui penduduk selama berabad-abad.

Arga, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa ini, tidak tahu apa yang sebenarnya menantinya. Ia dan keluarganya pindah ke Sumberlangit setelah ayahnya mendapat tawaran pekerjaan sebagai kepala sekolah di sekolah dasar setempat. Awalnya, Arga merasa gembira dengan perubahan ini. Ia menganggap kehidupan di desa akan lebih tenang, jauh dari kebisingan kota dan kesibukan yang tak pernah ada habisnya. Namun, ada sesuatu yang terasa ganjil di sini—sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Sejak kedatangannya, Arga merasa ada yang aneh dengan suasana desa. Meskipun penduduknya ramah, selalu ada bisikan yang terdengar di belakangnya, percakapan yang seakan dihentikan begitu ia lewat. Orang-orang akan cepat berbalik atau mengalihkan pandangan begitu ia melintas. Hal ini membuatnya merasa tidak sepenuhnya diterima di desa itu.

Suatu malam, saat Arga duduk di beranda rumah barunya, seorang pria tua yang sering terlihat duduk di bangku kayu dekat warung kopi desa, menghampirinya. Pria itu memakai topi hitam lusuh dan mengenakan mantel tebal meskipun udara cukup hangat.

“Arga, bukan?” pria tua itu memulai percakapan dengan suara berat yang penuh misteri. “Aku dengar kamu baru pindah ke desa ini.”

Arga mengangguk, merasa sedikit canggung. Ia mencoba tersenyum meskipun ada rasa tak nyaman yang menggerayangi hatinya.

“Iya, Pak. Kami baru saja pindah. Desa ini tampaknya sangat damai.”

Pria itu mengamati Arga dengan mata yang tajam. “Damai? Hm… bisa jadi begitu. Tapi hati-hati, Nak. Desa ini punya rahasia. Rahasia yang tidak bisa sembarangan diungkap.”

Arga terdiam sejenak, menatap pria itu dengan rasa penasaran. “Apa maksud Bapak?”

Pria itu menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, “Pohon Lontar. Jangan pernah mendekatinya. Jangan pernah mencoba mencari tahu lebih banyak tentangnya. Itu bukan pohon biasa. Ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya.”

Arga mengerutkan kening. “Pohon Lontar? Apakah itu salah satu pohon di hutan belakang desa?”

Pria itu mengangguk perlahan. “Ya, pohon itu sudah ada sejak zaman dulu. Pohon itu menjaga keseimbangan antara dunia ini dan dunia yang lain. Banyak orang yang sudah hilang, mencari tahu lebih jauh tentang pohon itu. Dan mereka… tidak pernah kembali.”

Arga menatap pria itu dengan rasa curiga. “Tapi Bapak sendiri sepertinya tidak percaya pada cerita-cerita seperti itu, kan? Mungkin itu hanya cerita rakyat saja.”

Pria itu tersenyum tipis. “Kamu boleh percaya atau tidak, Nak. Tapi ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Lebih baik kamu tidak mencampuri hal itu.”

Malam itu, Arga terjaga cukup lama. Kata-kata pria tua itu terngiang-ngiang di benaknya. Ia berpikir tentang pohon yang dimaksud—Pohon Lontar. Mengapa orang-orang di desa begitu takut dengan pohon itu? Apakah benar ada sesuatu yang mengerikan tersembunyi di dalamnya? Atau hanya sekadar cerita menakut-nakuti yang berkembang di kalangan penduduk desa?

Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk menjelajahi hutan yang mengelilingi desa. Hutan Lontar, tempat pohon itu berada, memang dikenal sebagai hutan yang misterius. Banyak orang yang bilang bahwa di dalam hutan itu ada tempat-tempat yang tak bisa dijelaskan, jalur-jalur yang berbelok tanpa arah, dan atmosfer yang bisa membuat siapa saja merasa cemas. Namun, rasa penasaran Arga lebih kuat dari rasa takut yang mulai muncul di dalam dirinya. Ia merasa perlu mencari tahu lebih banyak, mengungkapkan kebenaran di balik semua cerita itu.

Di pagi yang cerah, Arga mempersiapkan diri untuk memasuki hutan. Ia mengenakan sepatu boot, membawa senter, dan kamera untuk mengabadikan apa pun yang akan ditemuinya. Dengan sedikit ketegangan, ia melangkah memasuki hutan, mengikuti jejak yang telah ada, meski rasanya ada sesuatu yang mengawasi setiap langkahnya. Hutan itu tampak lebih sunyi dari yang ia bayangkan. Suara burung yang biasanya terdengar merdu kini terbungkam, digantikan oleh suasana yang hening, seolah dunia berhenti sejenak.

Semakin dalam ia melangkah ke dalam hutan, semakin tebal pepohonan yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Cahaya matahari pun tampak enggan menembus celah-celah daun yang lebat. Ada sebuah aura yang aneh, berat, yang semakin terasa. Arga merasakan ketegangan yang semakin menyelimuti hatinya. Ia tidak tahu apakah itu hanya perasaannya saja atau memang ada yang tidak beres di sini.

Ketika akhirnya ia tiba di lokasi yang katanya sebagai tempat Pohon Lontar tumbuh, Arga tertegun. Pohon itu berdiri tegak di tengah hutan, lebih besar dan lebih mengerikan daripada yang ia bayangkan. Batangnya yang berwarna kehitaman, besar dan berkerut, menjulang tinggi, dengan akar-akar yang terlihat menembus tanah seperti ular yang berusaha merayap ke segala arah. Daun-daunnya tampak sudah menguning, beberapa di antaranya berguguran membentuk tumpukan kering di sekitar pohon.

Rasa takut mulai merayapi tubuh Arga. Di sekeliling pohon itu, suasana terasa aneh, seakan ada sesuatu yang menunggu untuk melompat keluar dari kegelapan. Namun, rasa penasaran yang lebih besar mengalahkan rasa takutnya. Arga mendekat, berusaha menekan perasaan cemasnya.

Begitu ia berdiri di dekat pohon, tiba-tiba angin berhembus kencang, membuat daunnya berdesir, dan seketika itu juga ia mendengar suara gemerisik yang terdengar seperti bisikan, pelan namun jelas. Suara itu terdengar begitu dekat, seolah-olah berasal dari dalam batang pohon itu.

“Jangan dekati aku, Arga…”

Arga terpaku. Suara itu seolah mengenalnya, namun ia tidak tahu dari mana datangnya. Jantungnya berdegup kencang. Apakah itu hanya angin? Atau ada sesuatu yang lebih besar, lebih menyeramkan, yang sedang mengawasinya dari dalam pohon itu?

Dengan tangan yang gemetar, Arga mengeluarkan kameranya dan memotret pohon tersebut. Lensa kamera berkilat-kilat di bawah sinar matahari yang redup. Saat hasil foto muncul di layar, Arga merasa ada sesuatu yang aneh. Di dalam gambar itu, di antara dahan-dahan pohon, tampak sebuah bayangan gelap yang tidak ada di tempat tersebut.

Arga pun memutuskan untuk segera meninggalkan hutan itu, tetapi langkahnya terasa berat. Ia tahu, ia baru saja menginjakkan kaki di dalam dunia yang lebih gelap dan lebih berbahaya daripada yang bisa ia bayangkan.

Apa yang baru saja ia temui di Pohon Lontar? Dan mengapa suara itu memanggil namanya?

Arga merasa bahwa perjalanan untuk mengungkap misteri pohon itu baru saja dimulai.**

Bab 2: Jejak di Hutan

Keheningan yang menguasai hutan Lontar terasa semakin mencekam setelah Arga meninggalkan Pohon Lontar. Langkahnya cepat, hati yang masih berdebar-debar dipenuhi rasa takut yang tak tertahankan. Suara bisikan yang baru saja didengarnya di antara angin sore itu, seperti terus mengikutinya. Apa yang barusan terjadi? Arga mencoba untuk menenangkan pikirannya, tetapi kegelisahan yang semakin kuat membuatnya tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang membelenggunya.

Di sepanjang jalan setapak yang dilalui, pepohonan besar menghalangi sinar matahari yang mencoba menembus celah-celah daun lebat. Hutan ini, meskipun tampak indah, menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Arga merasa seolah-olah hutan ini bukan hanya sekadar hutan. Ada yang lebih dari itu, entah apa yang ada di baliknya.

Sesampainya di rumah, Arga langsung masuk ke dalam dan menutup pintu dengan cepat. Ayah dan ibunya sedang sibuk mempersiapkan makan malam di dapur, namun Arga tidak bisa memikirkan apapun selain pohon yang ia temui. Meskipun ingin berbagi pengalamannya, ia merasa ragu. Rasa takut yang menguasai dirinya seakan memberinya perasaan bahwa ia harus merahasiakan apa yang baru saja terjadi. Mungkin semua ini hanya khayalan atau efek dari cerita yang ia dengar dari pria tua itu.

Namun, foto yang ia ambil di hutan tidak bisa ia abaikan. Bayangan gelap yang tampak di antara cabang-cabang Pohon Lontar menorehkan bekas yang sangat mendalam di dalam benaknya. Arga merasa harus mencari tahu lebih lanjut. Jika tidak, ia takut bahwa rasa ingin tahunya akan terus membayangi hidupnya.

Keesokan harinya, Arga memutuskan untuk kembali ke hutan, meskipun rasa takutnya semakin mendalam. Pagi itu, langit terlihat cerah, namun Arga merasa udara yang mengelilinginya tampak berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Di luar rumah, ia melihat seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan bola, dan tak jauh dari situ, seorang ibu sedang menyiram tanaman. Semua terlihat normal, tetapi Arga tahu bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kedamaian itu.

Dengan tekad yang bulat, Arga meninggalkan rumah dan berjalan menuju hutan Lontar sekali lagi. Ia membawa kamera dan senter, bertekad untuk menyelidiki lebih jauh mengenai apa yang terjadi di sekitar Pohon Lontar. Langkahnya semakin mantap saat ia memasuki hutan, meskipun ada perasaan tak nyaman yang mengikutinya. Angin yang berhembus kencang menambah rasa was-was yang semakin melingkupi dirinya. Seolah hutan ini bisa merasakan kehadirannya dan ingin mengusirnya.

Ketika Arga sampai di area di sekitar pohon, ia melihat sesuatu yang baru. Jejak-jejak kaki besar yang menyeret tanah tampak jelas di antara dedaunan yang berguguran. Jejak itu mengarah ke pohon yang sama, tempat di mana ia pertama kali merasakan ketegangan dan mendengar bisikan yang aneh. Arga merasa terkejut dan bingung. Siapa yang meninggalkan jejak-jejak ini? Mengapa mereka mengarah langsung ke Pohon Lontar?

Rasa penasaran semakin menguasainya. Dengan hati-hati, Arga mengikuti jejak itu, yang semakin jelas terlihat seiring ia melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Tanah di bawah kakinya terasa lembab, dan udara semakin dingin, meskipun matahari masih memancar cerah. Setiap langkah Arga semakin terasa berat, seperti ada sesuatu yang ingin menghalangi langkahnya. Namun, ia terus melangkah, rasa takutnya terkalahkan oleh rasa ingin tahu yang semakin menggebu.

Jejak kaki itu berakhir tepat di sekitar Pohon Lontar. Tanpa sadar, Arga berhenti sejenak, memandang ke sekeliling. Ada sesuatu yang aneh. Tidak ada suara binatang, hanya angin yang berdesir di antara dahan pohon-pohon lainnya. Seolah dunia ini tengah terhenti. Arga menatap Pohon Lontar dengan penuh perhatian. Begitu besar, begitu tua, dan begitu mengerikan. Namun, ada sesuatu yang berubah. Pohon itu tampaknya lebih hidup dari sebelumnya, lebih gelap, dan seakan-akan ada yang mengintipnya dari dalam batang pohon.

Dengan gemetar, Arga mendekati pohon itu lagi, berusaha mengesampingkan perasaan takutnya. Ia memotret lagi, kali ini dari sudut yang berbeda. Saat hasil foto muncul di layar kamera, matanya terbelalak. Ada bayangan lain yang muncul dalam foto itu. Bukan hanya bayangan gelap yang ia lihat sebelumnya, tetapi sekarang ada sosok lain, lebih jelas, lebih nyata. Sosok itu tampak seperti manusia, dengan mata kosong yang menatap lurus ke arahnya.

Arga menelan ludah, tubuhnya mulai bergetar. Ini bukan hal biasa. Ada yang sangat salah dengan pohon ini. Apa yang ia lihat di kamera bukan sekadar ilusi atau permainan cahaya. Sesuatu yang lebih gelap dan lebih menyeramkan tengah bersembunyi di baliknya.

Tiba-tiba, Arga merasa ada sesuatu yang menggerakkan pohon itu. Tanpa bisa mengontrol dirinya, ia mundur beberapa langkah. Tetapi, sesaat kemudian, suara bisikan yang lembut kembali terdengar, semakin jelas dan lebih mendalam, seolah berasal dari dalam pohon itu sendiri.

“Jangan lari, Arga…” suara itu bergema di seluruh hutan, membuat Arga terpaku. Suara itu terasa semakin dekat, seolah berada tepat di sampingnya. Arga merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia berbalik dan mulai berlari tanpa memikirkan arah. Kaki-kakinya terasa berat, seakan ada sesuatu yang membebani setiap langkahnya.

Namun, semakin ia berlari, semakin terasa ada yang mengejarnya. Hutan yang sebelumnya terasa sunyi kini dipenuhi dengan suara langkah kaki yang terdengar semakin dekat. Arga menoleh sekali lagi ke belakang dan melihat bayangan gelap yang mulai mengejarnya, bergerak cepat, hampir seperti mengejar mangsanya.

Tanpa bisa menahan diri, Arga terus berlari, hampir kehilangan keseimbangan. Nafasnya terengah-engah, tetapi ia tak berani berhenti. Hutan ini seolah berubah menjadi labirin yang tak berujung, dan setiap langkahnya terasa semakin jauh dari kenyataan. Seiring berlarinya Arga, suara bisikan itu semakin keras, semakin menakutkan.

Dengan satu lompatan terakhir, Arga terjatuh ke tanah. Ia menoleh dan melihat bayangan itu—sebuah sosok yang tampaknya dari dunia lain, dengan mata merah yang menyala, mendekat ke arahnya. Sesaat sebelum bayangan itu menjangkau dirinya, Arga merasa tubuhnya terhenti, seakan ditahan oleh kekuatan tak terlihat. Di saat itu pula, seberkas cahaya terang menyinari hutan, dan Arga terbangun di sebuah tempat yang tidak dikenalnya.

Ia terbaring di tanah, tubuhnya lemas, namun selamat—untuk sementara waktu. Hutan itu kembali tenang, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Namun, Arga tahu ini bukan mimpi. Semua yang ia alami adalah kenyataan. Dan kenyataan itu jauh lebih mengerikan dari apa pun yang bisa ia bayangkan.

Dengan napas yang terengah-engah, Arga tahu bahwa perjalanannya untuk mengungkap misteri Pohon Lontar baru saja dimulai. Tetapi kali ini, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Namun, pertanyaan yang terus menghantui dirinya adalah—apakah ia masih bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini.**

Bab 3: Suara dari Pohon

Arga terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya terasa lelah dan seluruh tubuhnya diliputi keringat dingin. Hutan itu kini terlihat begitu sunyi, tidak ada lagi bisikan yang mengerikan, tidak ada lagi bayangan yang mengejarnya. Sebuah rasa bingung dan takut menguasai dirinya, tetapi ia merasa sedikit lega karena sepertinya ancaman yang ia rasakan telah berlalu. Namun, tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang kacau membuatnya tak bisa segera bangkit. Ia hanya bisa terbaring sejenak, mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi beberapa saat sebelumnya.

Bagaimana ia bisa tiba-tiba terjatuh dan terbaring di sini? Apa yang sebenarnya terjadi di dalam hutan? Ia merasa ingatannya mulai kabur, seperti ada yang menutupi bagian penting dari pengalamannya.

Dengan berat, Arga bangkit perlahan, mencoba berdiri dan menstabilkan tubuhnya. Hutan di sekitarnya terasa sangat asing. Pohon-pohon raksasa yang biasanya tampak rapat dan mencekam kini tampak lebih teratur, dengan cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan. Namun, meskipun terlihat lebih terang, ada sesuatu yang masih terasa salah. Suasana ini terlalu tenang, hampir seperti dunia ini sedang menunggu sesuatu yang buruk.

Arga memutuskan untuk segera meninggalkan hutan itu. Dengan langkah hati-hati, ia mulai berjalan menuju jalan setapak yang familiar. Namun, saat melangkah beberapa meter, langkahnya terhenti. Di depan mata, di antara pohon-pohon besar, ia melihat sesuatu yang tidak ia harapkan—sebuah sosok berdiri tegak menghadap ke arahnya. Sosok itu tampak kabur, seolah terbuat dari kabut tebal, tetapi Arga tahu itu bukan halusinasinya. Sosok itu jelas, dan lebih nyata dari apapun yang pernah ia lihat sebelumnya.

Tiba-tiba, suara bisikan yang ia dengar sebelumnya kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih jelas. “Jangan lari, Arga. Kamu tak akan bisa keluar dari sini.”

Arga merasa tubuhnya kembali terjebak dalam cengkraman ketakutan yang begitu dalam. Ia ingin lari, tetapi tubuhnya terasa seperti dipasung, tak mampu bergerak. Suara itu semakin dekat, dan Arga bisa merasakan kehadiran sosok itu semakin kuat. Bayangan yang membentuk sosok itu kini tampak lebih jelas. Mata merah yang menyala, wajah yang pucat, dan senyum yang penuh dengan kebencian. Sosok itu tampak familiar, tetapi Arga tidak bisa mengingat darimana ia mengenalnya.

Ketakutan yang luar biasa merasuki tubuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apakah ini bagian dari kutukan Pohon Lontar yang selalu dibicarakan orang-orang? Arga merasa seolah-olah ia terjebak dalam suatu dunia lain, dunia yang tidak bisa ia pahami. Suara bisikan itu terus mengikutinya, semakin keras dan semakin menakutkan. “Jangan lari. Kamu akan menjadi bagian dari kami.”

Dengan sekuat tenaga, Arga mencoba untuk mengabaikan bisikan itu dan berlari, meskipun tubuhnya terasa sangat lemah. Langkahnya goyah, namun ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk keluar adalah menjauhkan dirinya dari sosok itu dan pohon yang sepertinya menyimpan segalanya.

Namun, semakin ia berlari, semakin terasa berat. Langkahnya semakin lambat, dan udara semakin padat, seperti ada yang menahannya di setiap langkahnya. Tiba-tiba, hutan itu seolah berubah. Semua pohon tampak bergerak, berputar-putar, seolah mengikuti langkahnya. Arga merasa seolah-olah ia terjebak dalam suatu lingkaran yang tak berujung. Ia terus berlari, tetapi semakin lama semakin ia merasa dekat dengan pohon itu. Pohon Lontar.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Arga terjatuh di atas tanah yang basah. Tubuhnya lemas, dan rasa lelah serta ketakutan yang mencekam membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Dalam keadaan yang hampir tak sadar, Arga mendengar suara bisikan yang terdengar semakin dekat. “Kamu sudah datang ke sini, Arga. Tidak ada jalan kembali.”

Ketika ia akhirnya berhasil membuka matanya, ia mendapati dirinya kembali berada di dekat Pohon Lontar. Tetapi kali ini, pohon itu tampak berbeda. Daun-daunnya tidak lagi berwarna hijau atau kekuningan, tetapi berwarna hitam pekat. Akar-akar yang menjulur ke tanah kini tampak bergerak, seperti hidup. Pohon itu tidak hanya berdiri diam seperti sebelumnya, tetapi tampaknya memiliki kekuatan untuk berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.

Arga terkejut dan langsung duduk, berusaha untuk bangkit meskipun tubuhnya terasa berat. Rasa bingung dan cemas kembali menyelimuti pikirannya. Apa yang sedang terjadi? Mengapa ia kembali ke sini, setelah ia berlari jauh dari pohon itu? Apakah ini dunia yang berbeda, ataukah ia terjebak dalam suatu kenyataan yang lebih gelap dari sebelumnya?

Saat itulah, suara bisikan itu kembali terdengar, lebih jelas dan lebih menggema di seluruh tubuhnya. “Kamu telah memilih, Arga. Tidak ada yang bisa kembali. Pohon ini akan mengikat jiwa-jiwa yang datang kepadanya. Kamu sudah menjadi bagian dari kami.”

Arga menoleh, mencoba mencari sumber suara itu. Sosok yang sama, dengan mata merah yang menyala, kini muncul di depannya. Sosok itu tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan kebencian. “Kami adalah bagian dari pohon ini. Setiap jiwa yang datang akan terjebak, menjadi bagian dari kutukan ini selamanya.”

Arga merasakan tubuhnya semakin berat, seakan kekuatan tak terlihat sedang mengikat dirinya. Tubuhnya seperti tertahan, dan seiring dengan itu, pandangannya mulai kabur. Ada rasa dingin yang meresap ke dalam tubuhnya, dan perlahan-lahan ia merasa semakin lemah.

“Siapa kamu?” Arga berusaha bertanya, suaranya tercekat. Ia ingin tahu lebih banyak. Apa yang dimaksud dengan kutukan ini? Mengapa ia harus menjadi bagian dari ini?

Sosok itu tertawa pelan, dan suara tertawanya menggema di seluruh hutan. “Aku adalah salah satu dari mereka yang terperangkap di dalam pohon ini. Aku adalah bagian dari mereka yang telah lama mati. Pohon ini mengikat jiwa-jiwa yang datang mendekat, mengikat mereka dalam kutukan yang tak terlepas. Dan kamu, Arga, sudah menjadi bagian dari mereka.”

Arga merasa tubuhnya semakin terhimpit, semakin tak bisa bergerak. Sosok itu melangkah mendekat, dan matanya yang merah menyala semakin dekat. Dalam kesadarannya yang semakin kabur, Arga merasa seolah-olah ia mulai kehilangan segalanya. Dunia ini, dunia nyata, mulai kabur dan berganti dengan bayangan yang semakin mengancam.

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar. “Jangan biarkan dia pergi begitu saja!”

Suara itu bukan berasal dari sosok yang mengancamnya, melainkan dari seseorang yang datang dari luar. Namun, sebelum Arga bisa melihat siapa yang berbicara, ia terjatuh kembali ke tanah, kesadarannya hilang seketika.

Namun, meskipun ia terjatuh, perasaan ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, mengawasi dirinya, terus menghantui pikiran Arga.**

Bab 4: Jeritan yang Terpendam

Arga terbangun dengan tubuh yang kaku dan tak berdaya. Kepalanya berdenyut-denyut, seakan-akan ada sesuatu yang menekan pikirannya. Perlahan, matanya terbuka dan ia mendapati dirinya kembali terbaring di tanah, namun kali ini dalam posisi yang lebih berbeda. Sepertinya ia telah terjatuh lagi, tetapi kali ini lebih jauh dari Pohon Lontar.

Hutan di sekitarnya terasa sepi, namun ada sesuatu yang tidak beres. Udara yang sebelumnya tampak kental dan berat kini terasa lebih ringan, meskipun Arga masih bisa merasakan ketegangan yang mencekam, seperti sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya. Ia berusaha untuk bangkit, tetapi tubuhnya terasa sangat lemah. Bahkan sekadar untuk mengangkat tubuhnya dari tanah membutuhkan tenaga yang luar biasa.

“Di mana aku?” gumamnya pelan, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan yang terdampar di udara.

Rasa takut masih membekas di dalam dirinya. Kejadian yang baru saja ia alami—dengan sosok yang menakutkan dan bisikan yang tidak henti-hentinya mengganggu—seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Arga menggigil, mencoba mengingat dengan lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi, namun pikirannya terasa begitu kusut dan kabur.

Saat itu, ia mendengar suara gemerisik daun yang begitu pelan, seolah berasal dari jauh. Arga menoleh ke sekeliling, berusaha mencari asal suara tersebut. Hutan itu kini berbeda. Meski terlihat sama, ada aura yang berbeda—sesuatu yang menyiratkan bahwa hutan ini bukanlah tempat yang bisa dia kenal lagi.

Ketegangan semakin memuncak. Tiba-tiba, dari balik pepohonan yang tinggi, sebuah suara menggelegar terdengar jelas, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Arga… Arga… Kembalilah.”

Suara itu begitu dalam, dan seruan itu terasa seperti panggilan yang datang dari dalam dirinya sendiri. Arga terkejut, tubuhnya menegang. Apa itu? Suara yang begitu familiar, tetapi terasa asing dan mengerikan pada saat yang bersamaan.

Dengan langkah tertatih, Arga berusaha bergerak menuju arah suara tersebut, meskipun perasaan takut kembali merasuki dirinya. Setiap langkah yang diambil seakan disertai dengan suara bisikan yang terus mengikutinya, semakin dekat dan semakin jelas.

“Jangan takut, Arga,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut, namun tetap menyimpan sesuatu yang membuatnya merinding. “Kami tidak akan menyakitimu. Kami hanya ingin kamu tahu kebenaran.”

Langkah Arga semakin berat, meski ia berusaha untuk mengabaikan perasaan takut yang terus menggerogoti dirinya. Ia tahu, meskipun ada suara yang terdengar begitu menenangkan, bahwa ini adalah perangkap. Sebuah jebakan yang akan membawa dirinya lebih dalam ke dalam kegelapan hutan ini.

Ketika ia menembus semak-semak dan melihat lebih jauh, ia berhenti sejenak, terpaku dengan apa yang dilihatnya. Di depan matanya, di tengah hutan yang gelap, terdapat sebuah lingkaran yang terbentuk dari pohon-pohon besar. Lingkaran itu tampak sangat tidak wajar, seakan-akan alam itu sendiri dipaksa untuk berputar, membentuk suatu bentuk yang aneh dan mengerikan.

Di tengah lingkaran pohon itu, terdapat sebuah cahaya yang berpendar lemah, tetapi cukup untuk mengungkapkan apa yang ada di dalamnya. Di dalam cahaya itu, Arga melihat sosok-sosok yang tampaknya seolah terperangkap dalam ruang yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Sosok-sosok itu tidak tampak sepenuhnya manusia. Mereka terdiri dari bayangan, hanya sebagian tubuh mereka yang tampak kabur dan terdistorsi, bergerak seolah terperangkap dalam dimensi lain. Namun, meskipun tak terlihat sepenuhnya jelas, Arga bisa merasakan ketegangan di dalam dirinya yang semakin menguat. Mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap, jiwa-jiwa yang hilang, dan tak ada satu pun dari mereka yang bisa bebas.

“Ini… ini bukan nyata,” desis Arga, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meskipun suaranya tak begitu meyakinkan. Ia tahu, ini adalah kenyataan yang mengerikan, yang lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.

Tiba-tiba, di tengah lingkaran tersebut, sosok yang ia kenali muncul. Sosok itu tampak lebih jelas, dan untuk pertama kalinya, Arga bisa melihat dengan jelas siapa dia. Itu adalah wajah yang ia kenal—wajah seorang pria dengan tatapan yang penuh kebingungan dan ketakutan. Tetapi, ada sesuatu yang aneh. Wajah itu terlihat pucat, bahkan lebih pucat dari wajah orang yang baru saja mati. Dan matanya—matanya yang kosong, tanpa kehidupan—tergantung di dalam tatapan yang kosong.

“Jangan… jangan datang ke sini,” suara pria itu terdengar seperti seruan terakhir yang penuh dengan keputusasaan. “Kamu tidak bisa keluar lagi. Ini adalah tempat yang tidak bisa dilarikan. Pohon Lontar telah menunggu kami. Kami terperangkap di sini selamanya.”

“Siapa kamu?” Arga bertanya, suaranya tersendat karena ketakutan. “Apa yang terjadi dengan kalian?”

Pria itu terdiam sejenak, seperti tidak ingin menjawab, atau mungkin tidak bisa menjawab. Tapi akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, “Kami adalah mereka yang datang ke sini… dan terperangkap dalam kutukan ini. Pohon Lontar menunggu kita. Semua yang datang akan diikat di sini, menjadi bagian dari kutukan yang tak bisa lepas. Setiap jiwa yang terperangkap akan hidup dalam bayangannya, tak akan pernah menemukan jalan keluar.”

Arga menggigil. Kata-kata itu seolah menggerogoti pikirannya, menanamkan rasa takut yang lebih dalam. Ia mencoba mundur, mencoba melangkah menjauh dari lingkaran itu, tetapi langkahnya tak kunjung bergerak. Seolah ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang tak terlihat namun cukup kuat untuk menahannya di tempat itu.

“Jangan lari, Arga,” suara yang sama dari sebelum-sebelumnya kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih menakutkan. Sosok dengan mata merah menyala muncul lagi, menghadapinya dengan senyum penuh kebencian. “Kami sudah menunggumu. Tak ada jalan kembali.”

“Kenapa aku?” Arga berusaha bertanya, suaranya serak. “Apa yang aku lakukan? Kenapa aku harus terjebak di sini?”

Sosok itu tertawa pelan, suara tawanya menggema di sekelilingnya, membungkusnya dalam gelap. “Kamu tidak tahu? Pohon ini akan memilih siapa saja yang layak datang ke sini. Dan kamu, Arga… kamu sudah menjadi bagian dari kami. Tidak ada jalan keluar. Kamu akan hidup bersama kami selamanya.”

Tubuh Arga terasa semakin lemah. Ia ingin berteriak, ingin berlari, tetapi tubuhnya tidak mau bergerak. Semua itu semakin gelap. Rasanya, seperti ada kekuatan yang semakin menekannya, semakin menariknya masuk ke dalam kedalaman yang tak bisa ia jelajahi.

Semua menjadi hening. Suara bisikan itu hilang. Dan dengan itu, Arga terjatuh ke tanah, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan apa yang ada di sekelilingnya.

Saat kesadarannya hampir hilang, ia mendengar satu kalimat terakhir, lebih keras dari sebelumnya: “Kamu sudah menjadi bagian dari kami, Arga. Selamanya.**

Bab 5: Terakhir yang Terperangkap

Arga terbangun dalam kegelapan. Tidak ada cahaya yang menerangi ruang itu, hanya keheningan yang mengikatnya di dalam kesunyian yang lebih berat daripada apapun yang pernah ia rasakan. Tubuhnya masih terasa kaku, lemah, dan seluruh perasaan di dalam dirinya bercampur aduk antara kebingungan, ketakutan, dan keputusasaan.

Ia tidak tahu berapa lama ia terbaring di sana, tidak tahu berapa lama kesadarannya hilang dalam kegelapan itu. Namun, yang ia tahu adalah bahwa dunia yang ada di sekitarnya tidak lagi terasa sama. Hutan yang pernah ia kenal kini tampak seperti sebuah dimensi yang terbalik, penuh dengan bayangan dan rasa tak terjangkau. Arga merasa seolah-olah ia tidak lagi berada di tempat yang sama.

Ketika ia mencoba menggerakkan tubuhnya, seolah ada sesuatu yang menahannya. Kekuatan yang entah dari mana datang, menahannya dengan begitu kuat. Ia merasa seperti terikat, tak bisa bergerak.

Lama-lama, tubuhnya mulai terbiasa dengan keheningan itu, dan suara bisikan yang sering ia dengar mulai terdengar lagi. Kali ini lebih dekat, lebih intens, dan seolah datang dari dalam dirinya sendiri.

“Arga… kamu tidak bisa melarikan diri. Kamu sudah menjadi bagian dari kami.”

Suara itu penuh dengan kelegaan yang mengerikan. Ia tahu, itu bukan suara dari sosok yang ia lihat sebelumnya, melainkan suara yang lebih besar, lebih menguasai, dan lebih mengerikan. Suara itu berasal dari dalam dirinya, dari kutukan yang mengikatnya.

Di sekelilingnya, ia mendengar langkah-langkah yang datang mendekat. Bukan langkah manusia, melainkan langkah yang berat dan penuh dengan ketegangan. Sesuatu yang bergerak dengan tujuan, mengarah kepadanya.

Dengan penuh perjuangan, Arga mencoba membuka matanya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dunia di sekitarnya, meskipun gelap, tidak sepenuhnya hampa. Ada bayangan-bayangan yang bergerak perlahan, seperti siluet yang tidak bisa ia pahami. Suasana itu terasa sangat asing, dan hawa dingin yang menyentuh kulitnya membuat tubuhnya menggigil.

Tiba-tiba, di hadapannya muncul sosok yang sudah ia kenal. Sosok yang dengan senyum penuh kebencian itu, kini terlihat lebih jelas. Tidak hanya wajahnya, tetapi juga tubuhnya. Tubuh itu kini lebih nyata, lebih menyeramkan, dan lebih mendekati kenyataan daripada sebelumnya.

“Sudah saatnya kamu menerima takdirmu, Arga,” kata sosok itu dengan suara yang lebih dalam dari sebelumnya, seolah suara itu datang dari dalam tanah. “Pohon Lontar sudah memilihmu. Kamu adalah bagian dari kami sekarang.”

Arga merasa tubuhnya semakin tertarik ke dalam dunia ini, dunia yang tidak bisa ia pahami. Ia merasakan ada kekuatan yang menariknya, semakin dalam ke dalam jaring-jaring kutukan yang mengikat jiwa-jiwa yang terperangkap di dalam pohon itu. Namun, meskipun ada rasa terjebak yang semakin kuat, ada juga rasa yang aneh, sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Apakah itu keputusasaan? Ataukah justru ada bagian dari dirinya yang mulai menerima kenyataan ini?

“Kenapa? Kenapa aku?” suara Arga terdengar parau, lemah. Ia tidak bisa lagi melawan, tetapi pertanyaan itu keluar begitu saja. Ia ingin tahu mengapa ia harus terperangkap di sini, mengapa ia yang harus menjadi bagian dari kutukan ini. “Aku tidak ingin menjadi seperti kalian. Aku ingin keluar.”

Sosok itu tersenyum lebar, senyum yang membuat Arga merasa semakin tak berdaya. “Kamu tidak bisa keluar. Tidak ada yang bisa keluar dari sini. Pohon Lontar adalah tempat yang tak terlepas dari dunia yang kita kenal. Setiap jiwa yang datang akan terikat selamanya. Tak ada lagi pilihan setelah kamu masuk ke dalam kutukan ini.”

Arga tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tubuhnya semakin terasa kaku, semakin tak bergerak, seolah ada sesuatu yang menahannya lebih dalam. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi tidak ada lagi tenaga yang tersisa di dalam dirinya. Hanya keputusasaan yang semakin menenggelamkan dirinya.

“Ini bukan akhir, Arga,” suara lain terdengar, lebih dalam dari sebelumnya. “Ini adalah awal dari segalanya. Ketika kamu sudah memilih untuk datang ke sini, ketika kamu sudah melewati batas, tak ada yang bisa membebaskanmu. Pohon ini akan selalu menunggu jiwa-jiwa yang datang padanya.”

Sosok itu bergerak lebih dekat, dan kali ini, Arga bisa melihat bahwa tubuh sosok itu mulai menghilang, hanya meninggalkan bayangannya yang menyatu dengan kegelapan. Sosok itu bukan lagi manusia, melainkan bagian dari pohon itu sendiri—mereka adalah bagian dari kutukan yang tak pernah berakhir.

“Ini adalah takdirmu,” kata sosok itu, suaranya menghilang ke dalam hutan yang semakin gelap. “Jiwa-jiwa yang datang tidak pernah pergi. Kamu akan terjebak, seperti kami, selamanya.”

Pada saat itu, Arga merasa ada sesuatu yang mengalir ke dalam dirinya. Bukan darah, bukan kekuatan, tetapi sebuah kesadaran baru yang datang dengan sangat tajam. Ia merasa, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, bahwa ia telah memilih untuk datang ke sini. Ia telah memilih untuk terperangkap dalam kutukan ini. Mungkin bukan hanya karena nasibnya, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang entah mengapa menariknya ke sini, ke dalam hutan yang penuh dengan penderitaan.

Kesadaran itu datang begitu jelas, meskipun perasaan itu begitu mengerikan. Apakah ia telah jatuh ke dalam jebakan kutukan ini? Apakah ia sudah terlambat untuk keluar? Ia ingin melawan, tetapi tubuhnya sudah tak mampu bergerak. Dan yang lebih menakutkan lagi, ia merasa bagian dari dirinya sudah mulai menghilang, semakin menyatu dengan dunia ini.

Akhirnya, Arga terdiam. Ia tidak lagi merasakan ketakutan yang menggigit. Tidak ada lagi usaha untuk melawan, tidak ada lagi perasaan ingin lari. Yang ada hanyalah keheningan, sebuah keheningan yang dalam, seakan-akan seluruh dunia itu telah menghilang, meninggalkan dirinya terjebak dalam bayang-bayang pohon yang tak pernah terlepas dari kutukan itu.

Lama-kelamaan, ia merasakan tubuhnya semakin lemah, semakin hilang. Semua yang ada di dalam dirinya mulai terhapus satu per satu, hingga akhirnya ia hanya menjadi bagian dari hutan itu. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam kutukan Pohon Lontar.

Dan dengan itu, Arga pun menghilang, terjatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung, menjadi bagian dari pohon itu, seperti jiwa-jiwa lain yang telah terperangkap. Tidak ada lagi jalan keluar, hanya keheningan yang abadi.***

—————–THE END———–

Source: AGUSTINA RAMADHANI
Tags: #Misteri #Horor #Kutukan #HutanGelap #JiwaTertawan
Previous Post

MATAHARI TERTUNDA

Next Post

Fans Manchester United Ngunyah Tumpukan Tahi Kucing Basah, Rayakan Kemenangan Besar di Europa League

Next Post
Wajah Fans Manchester United Berlumur Tahi Kucing Basah Pasca-Imbang Lawan Everton

Fans Manchester United Ngunyah Tumpukan Tahi Kucing Basah, Rayakan Kemenangan Besar di Europa League

SMA RIMBARAYA PINTU DIMENSI LAIN

SMA RIMBARAYA PINTU DIMENSI LAIN

KACA  BAYANGAN

KACA BAYANGAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In