Bab 1: Perpisahan yang Tak Terduga
Dika sudah mempersiapkan segala hal dengan sangat matang. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu, hari yang penuh harapan dan ketegangan. Dia mengenakan kemeja putih yang sedikit lebih rapi dari biasanya, celana hitam yang sudah disetrika dengan rapi, dan sepatu kulit yang baru dibeli beberapa hari lalu. Di kantong celananya, dia memegang sebuah kotak kecil berisi cincin yang sudah dia pilih dengan teliti selama berminggu-minggu. Semua itu untuk satu tujuan: melamar Lara, kekasih yang telah menemaninya selama dua tahun.
Malam sebelumnya, Dika tidak bisa tidur. Bayangannya dipenuhi oleh momen indah di masa depan—Lara yang akan menerima lamarannya dengan senyuman, mereka akan melangkah ke pelaminan, dan hidup bahagia selamanya. Di mata Dika, pernikahan itu adalah langkah yang sudah jelas, sebuah keputusan yang sempurna. Lara adalah segalanya bagi Dika, dan dia yakin bahwa mereka berdua siap memulai babak baru dalam hidup mereka.
Namun, saat Dika akhirnya tiba di tempat yang telah disiapkan, suasana yang semula tampak penuh harapan berubah menjadi lebih menegangkan. Dika memilih tempat yang sederhana namun indah, sebuah taman kecil yang diselimuti cahaya lampu hangat di tengah kota. Pikirannya penuh dengan ucapan yang akan ia sampaikan—kata-kata penuh kasih sayang yang sudah dipersiapkan sejak berbulan-bulan lalu. Di sana, di tengah bunga yang berwarna cerah, Dika berharap Lara akan merasa bahagia dan terkejut dengan kejutan yang telah dia rencanakan.
Saat Lara tiba, Dika tidak bisa menahan senyumannya. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana yang tetap terlihat anggun. Rambutnya tergerai indah, dan matanya yang besar menatap Dika penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa tempatnya begitu spesial, Dika?” tanya Lara dengan nada ceria.
Dika tersenyum, mengangguk, dan menatap Lara dengan penuh cinta. “Karena hari ini aku ingin membuat janji untuk masa depan kita,” jawabnya, seraya mengambil kotak kecil dari sakunya dan membuka cincin yang ada di dalamnya. “Lara, aku mencintaimu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kau menikah denganku?”
Mata Lara terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Dika menatapnya penuh harap, tapi Lara terlihat ragu-ragu. Sebuah keheningan aneh mengisi udara di sekitar mereka. Dika merasa detak jantungnya semakin cepat, tetapi dia tetap tersenyum, menunggu jawaban yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Namun, Lara akhirnya menghela napas dan memandang Dika dengan tatapan yang sangat berbeda. “Dika, aku… aku tidak bisa.”
Dika merasa seluruh dunia seperti runtuh. “Kenapa? Apa salahku?” tanyanya dengan suara serak. Tidak ada yang dia harapkan selain jawaban positif, dan kini dunia seakan runtuh di hadapannya.
Lara menghindari pandangan Dika dan menghela napas lagi. “Aku… Aku masih belum siap. Aku belum merasa siap untuk menikah, Dika. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena ada banyak hal yang belum aku pahami tentang diriku sendiri. Aku butuh waktu. Aku takut kalau kita melanjutkan hubungan ini tanpa aku benar-benar siap, itu akan menyakitkan kita berdua.”
Dika merasa tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Semua kata-kata yang sudah dipersiapkan terasa sia-sia. “Tapi kita sudah bersama selama dua tahun, Lara. Apa yang lebih kamu tunggu? Aku sudah merencanakan ini dengan sangat serius.”
Lara menunduk, terlihat sangat bingung dan kecewa, seperti dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. “Aku tahu, Dika. Aku tahu betapa seriusnya kamu. Tapi aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku harus jujur sama diriku sendiri, dan aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini dengan perasaan yang nggak jelas. Aku minta maaf.”
Dika terdiam, seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan. Cincin yang sedari tadi dia pegang terasa begitu berat di tangannya. Rasanya dia ingin melemparkannya jauh-jauh. Lara menghela napas panjang, dan Dika bisa melihat betapa beratnya keputusan ini untuknya. Tapi Dika merasa seperti dikhianati. Bagaimana mungkin wanita yang selama ini dia anggap segalanya, yang telah mengisi hari-harinya, tiba-tiba berkata seperti itu?
Lara melanjutkan, “Aku ingin kita berpisah dengan baik-baik, Dika. Aku nggak ingin ada yang terluka lebih lama lagi.”
Dika merasa seperti tubuhnya kosong. Dia merasa ingin berteriak, tapi suaranya serasa hilang. Hari ini seharusnya menjadi momen yang paling indah, namun kini berubah menjadi tragedi yang tak pernah dia bayangkan. Air mata perlahan menggenang di matanya, meski dia berusaha keras untuk menahannya.
“Jadi, ini benar-benar berakhir?” tanyanya pelan.
Lara mengangguk dengan wajah penuh penyesalan. “Aku minta maaf, Dika. Aku benar-benar minta maaf.”
Setelah momen yang sangat canggung dan penuh emosi itu, Dika menatap Lara untuk terakhir kalinya, berusaha menahan air matanya. Lara pergi begitu saja, meninggalkan Dika yang merasa terpuruk dalam kesendirian yang tak terbayangkan. Semua impian dan rencana mereka kini sirna, dan Dika harus menerima kenyataan pahit bahwa pernikahan yang dia impikan tidak akan pernah terjadi.
Bab 2: Patah Hati dan Kejutan Tak Terduga
Dika berjalan pulang dengan langkah berat. Langit sore itu mendung, seolah-olah langit pun turut berduka atas keputusannya yang hancur. Di tangan kanannya, cincin yang baru saja dia beli untuk melamar Lara kini terasa sangat berat. Setiap langkah yang dia ambil seakan mengingatkannya pada momen yang baru saja terjadi, momen yang seharusnya menjadi salah satu titik puncak dalam hidupnya. Tetapi kenyataannya, itu justru menjadi momen yang paling memilukan.
Setelah Lara pergi, Dika hanya bisa berdiri terpaku di tempat itu, memandangi cincin yang ada di tangannya, seakan bertanya-tanya apakah dia salah memilihnya atau apakah ada yang salah dengan dirinya. Kata-kata Lara yang terakhir masih terngiang di telinganya, “Aku masih belum siap.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Apa yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kesiapan? Bukankah mereka sudah bersama selama dua tahun? Bukankah itu cukup untuk membuktikan bahwa mereka berdua siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius?
Namun, Dika tidak punya jawaban. Semua pertanyaan yang memenuhi kepalanya hanya berputar-putar tanpa arah. Dengan langkah lunglai, Dika kembali ke rumah, berharap bisa menemukan ketenangan. Tetapi, saat dia membuka pintu rumah, dia disambut oleh teman-temannya, yang sudah menunggunya di ruang tamu. Mereka sudah lama tahu bahwa hari ini Dika akan melamar Lara, dan mereka telah berjanji untuk merayakan keberhasilan tersebut—atau setidaknya untuk mendukungnya jika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.
“Tapi Dika, kenapa kamu pulang lebih cepat?” tanya Ardi, sahabat dekatnya, dengan penuh antusiasme, tanpa menyadari perasaan Dika yang hancur.
Dika hanya bisa menatap Ardi dengan tatapan kosong. Ia kemudian melemparkan cincin yang masih ada di tangannya ke atas meja. Keheningan sejenak menyelimuti ruangan, dan wajah teman-temannya langsung berubah cemas.
“Dika, ada apa?” tanya Lisa, teman perempuan mereka yang sejak dulu sangat peduli padanya. “Kamu nggak jadi lamar dia?”
Dika duduk di sofa dengan napas yang terengah-engah. “Aku ditolak,” jawabnya dengan suara yang terdengar lemah. “Lara nggak mau.”
Seketika suasana ruangan berubah. Teman-temannya saling berpandangan, tak tahu harus berkata apa. Mungkin mereka semua sudah menduga bahwa ada kemungkinan seperti ini, tapi melihat Dika begitu terluka, membuat mereka kesulitan mencari kata-kata yang tepat untuk menghiburnya.
“Apa… apa kamu nggak jelasin dengan baik, Dika?” tanya Ardi hati-hati. “Mungkin ada yang bisa kamu lakukan untuk meyakinkan dia.”
Dika menggelengkan kepala. “Dia bilang dia belum siap. Dia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Aku nggak tahu harus bagaimana.”
Lisa duduk di sebelah Dika, meletakkan tangan di pundaknya. “Kadang, kita nggak bisa memaksakan orang lain untuk siap. Kalau dia bilang nggak siap, ya mungkin itu yang terbaik untuknya. Mungkin juga untuk kamu.”
Dika menghela napas panjang. “Tapi aku sudah merencanakan semuanya. Aku sudah mempersiapkan diri untuk masa depan bersama dia. Sekarang, semuanya hancur.”
Malam itu, Dika mencoba tidur, meskipun rasanya sangat sulit. Pikirannya terus berputar, membayangkan Lara, membayangkan bagaimana semuanya bisa berakhir seperti ini. Dia mencoba menenangkan dirinya, namun di setiap sudut rumahnya, dia merasa kehilangan. Setiap kenangan indah bersama Lara, setiap tawa dan kebersamaan, kini terasa seperti ilusi.
Keesokan harinya, Dika merasa sedikit lebih baik. Namun, kenyataan masih menggerogoti hatinya. Dia menghabiskan pagi itu dengan menonton televisi dan berusaha mengalihkan perhatian. Namun, pikirannya terus kembali kepada Lara, pada saat-saat mereka berbicara tentang masa depan, tentang rumah bersama, tentang anak-anak yang mereka impikan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Dika menatap layar dengan enggan. Itu adalah pesan dari Lara.
“Dika, aku tahu kamu pasti marah dan kecewa. Tapi aku perlu memberitahumu sesuatu yang penting. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Arief. Maafkan aku kalau aku tidak memberitahumu lebih dulu.”
Dika terpaku membaca pesan itu. Arief? Siapa Arief? Dika merasa dunia seakan berputar lebih cepat. Arief adalah teman lama Lara, seorang pria yang Dika tahu sangat dekat dengan Lara, namun tidak pernah dia bayangkan akan ada hubungan lebih dari itu. Ternyata, Lara sudah memutuskan untuk bersama Arief, dan Dika hanya bisa terdiam membaca pesan itu.
Rasa sakit itu semakin menusuk. Dika merasa tertipu dan dipermainkan. Semua perasaan yang telah dia investasikan selama dua tahun kini terasa sia-sia. Dia merasakan perasaan yang sangat sulit untuk dijelaskan—seperti terperangkap dalam sebuah kebohongan yang tak bisa dia hindari.
Namun, saat Dika sedang merenung, ponselnya kembali berdering. Kali ini, itu adalah panggilan telepon dari Lara.
“Dika, aku tahu ini sulit. Tapi aku harus memberitahumu, aku… aku akan menikah dengan Arief dalam waktu dekat,” suara Lara terdengar cemas di ujung telepon.
Dika merasa ada yang tidak beres. “Kenapa, Lara? Kenapa Arief? Apa yang salah dengan hubungan kita?”
Lara terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku rasa kita memang tidak bisa melanjutkan hubungan ini, Dika. Aku tidak ingin menyakiti kamu, tapi aku merasa Arief lebih cocok untukku. Kami sudah berbicara tentang ini untuk beberapa waktu, dan aku merasa ini adalah keputusan yang tepat.”
Dika tak bisa berkata apa-apa lagi. Air mata yang tadi dia tahan kini mulai mengalir, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tegar. Namun, suara Lara yang semakin jauh dari hatinya membuat Dika sadar bahwa perpisahan ini adalah titik akhir dari segalanya. Dia pun menutup telepon itu dengan hati yang hancur.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat dan penuh kekosongan. Teman-temannya mencoba menghibur, tapi Dika merasa tak ada yang bisa mengobati rasa sakit ini. Bagaimanapun juga, hidupnya yang baru saja diatur dengan penuh harapan kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit: perasaannya ditolak, dan mantan kekasihnya kini akan melanjutkan hidup dengan orang lain. Semua impian yang dia bangun bersama Lara kini berantakan.
Bab 3: Undangan yang Mengagetkan
Setelah beberapa hari penuh keheningan dan perasaan campur aduk, Dika mencoba menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang terasa semakin berat. Pagi yang biasanya diisi dengan senyum Lara yang manis kini digantikan oleh kekosongan yang terasa begitu mencekam. Dika kembali bekerja seperti biasa, namun pikirannya selalu melayang kembali kepada Lara—kenapa semua harus berakhir begini?
Malam itu, Dika duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin, menatap layar ponselnya. Tak ada pesan masuk, tak ada kabar dari siapapun. Hanya kesunyian yang menyelimuti. Dika meraba dada sebelah kirinya, merasakan sakit yang masih terpendam, meskipun dia sudah berusaha mengatasinya. Semua terasa sia-sia. Semua kenangan bersama Lara hanya tinggal kenangan. Tapi saat dia mencoba untuk bergerak maju, bayangan itu datang lagi, mengingatkan bahwa perpisahan ini tidak mudah.
Saat Dika sedang asyik dengan pikirannya, ponselnya berdering. Awalnya, dia tak ingin mengangkatnya, merasa bahwa itu mungkin hanya panggilan dari teman-teman yang mencoba menghibur. Tapi begitu melihat siapa yang menelepon, ia terkejut. Itu adalah Lara. Sebuah perasaan canggung langsung muncul. Dika ragu sejenak, apakah harus mengangkatnya atau tidak. Namun akhirnya, dengan sedikit keberanian, ia menekan tombol hijau.
“Dika?” suara Lara terdengar di ujung sana, lebih hati-hati dari biasanya.
Dika menahan napas sejenak, “Iya, ada apa?”
“Aku… aku nggak mau kamu marah, tapi aku ingin memberitahumu sesuatu,” suara Lara terdengar cemas. Dika merasa ada yang tidak beres.
“Kenapa? Ada apa lagi, Lara?” tanya Dika dengan nada yang sedikit tegang. Meski rasa sakitnya masih ada, ia merasa harus tetap mendengarkan apa yang akan Lara katakan.
“Jadi gini,” Lara mulai, “Aku tahu kalau ini agak aneh, tapi aku udah nulis undangan pernikahan. Aku… aku pengen kamu datang. Aku berharap kamu bisa hadir.”
Dika terdiam. Hatinya seperti tercekik, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Pernikahan? Dengan siapa?” Suara Dika terdengar lebih tajam dari yang dia inginkan, namun dia tidak bisa menahannya.
Lara menghela napas, lalu menjawab pelan, “Aku dan Arief. Kami memutuskan untuk menikah, Dika. Aku berharap kamu bisa datang dan mendukung aku, walaupun aku tahu ini sangat sulit untukmu.”
Seketika, dunia Dika terasa berputar. Arief? Teman lama mereka? Dika merasa seakan-akan semuanya berjalan sangat cepat dan tidak adil. Begitu mudah Lara beralih ke Arief, sementara dirinya masih terjebak dalam perasaan yang belum bisa dia lepaskan. Sungguh, perasaan itu seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian.
“Kenapa sekarang? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” Dika merasa seolah-olah semua keputusan itu dibuat tanpa dia.
Lara terdiam sejenak. “Aku tahu kamu kecewa, Dika. Aku minta maaf. Tapi ini keputusan yang sudah kami pikirkan. Aku ingin kamu datang, meskipun aku tahu ini pasti sangat sulit untukmu. Aku nggak mau kehilangan pertemanan kita.”
Dika menghela napas panjang. Perasaan marah, bingung, dan patah hati bercampur menjadi satu. Namun, entah kenapa, ada rasa aneh dalam hatinya. Mungkin karena Lara meminta kehadirannya, meskipun dia tahu bahwa kehadiran Dika di pernikahannya bisa sangat canggung. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Perasaan sakit hati yang dalam tak membuatnya bisa melawan kenyataan.
“Baiklah,” jawab Dika dengan suara yang terdengar lelah. “Aku akan datang. Tapi aku nggak tahu apakah aku bisa menghadapi semua ini.”
Lara menghela napas lega, “Terima kasih, Dika. Aku benar-benar menghargai itu. Semoga kita bisa tetap berteman setelah ini.”
Setelah percakapan itu, Dika merasa seperti kehilangan semua arah. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana menghadapi pernikahan mantan kekasihnya dengan pria lain, yang ternyata adalah teman dekat mereka selama ini. Tidak ada yang lebih aneh dari itu. Dika merasa seolah-olah berada di tengah sebuah teka-teki yang tidak bisa dia pecahkan.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Dika menerima undangan pernikahan dari Lara dan Arief. Surat undangan itu sederhana, namun elegan, dengan warna putih dan sedikit hiasan bunga. Ketika Dika melihatnya, hatinya terasa semakin sesak. Apakah ini benar-benar akhir dari semuanya? Apakah benar dia harus menghadapi kenyataan ini?
Di dalam undangan itu tertulis nama mereka berdua, lengkap dengan tanggal dan tempat pernikahan. Dika menatap undangan itu lama, seakan-akan berusaha memahami apakah dia benar-benar akan menghadiri pernikahan itu atau tidak. Suasana di sekelilingnya terasa semakin berat, dan ia merasa seolah-olah dunia menertawakannya. Dia akan menjadi bagian dari acara yang paling canggung dalam hidupnya—menjadi saksi dari kebahagiaan orang lain, yang sebenarnya harusnya dia sendiri yang merasakannya.
Malam itu, Dika mencoba berbicara dengan teman-temannya, mencoba mencari sedikit keberanian. Mereka semua tahu tentang perpisahan Dika dengan Lara, dan saat mendengar bahwa Dika akan datang ke pernikahan itu, mereka semua merasa campur aduk.
“Serius kamu bakal datang, Dik?” tanya Ardi, sahabatnya. “Itu pasti bakal awkward banget.”
Dika hanya mengangguk. “Aku nggak tahu kenapa aku harus datang. Tapi Lara memintaku. Mungkin aku harus hadir, walaupun hati ini rasanya nggak kuat.”
Lisa, yang selama ini menjadi teman baik Dika, mencoba memberikan nasihat. “Dika, mungkin ini cara kamu untuk benar-benar merelakan semuanya. Dengan datang, kamu akan bisa menutup babak ini dan menerima kenyataan.”
Meskipun saran itu terdengar masuk akal, Dika tetap merasa ragu. Bagaimana bisa dia menghadapi semua itu? Bagaimana bisa dia berdiri di sana, tersenyum, sementara di dalam hatinya terasa begitu perih?
Namun, Dika sadar satu hal—keputusan untuk datang mungkin bukan soal apa yang dia inginkan, tetapi lebih kepada apa yang bisa dia pelajari dari situasi ini. Dia harus belajar melepaskan, bahkan jika itu terasa sangat sulit.
Hari pernikahan itu akhirnya tiba, dan Dika merasa hatinya masih penuh dengan keraguan. Ia mengenakan pakaian formal yang sederhana, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Namun, di dalam hatinya, dia sudah tahu bahwa perjalanan menuju hari itu tidak akan mudah. Dia akan menghadapi kenyataan bahwa cinta yang dia impikan kini telah berpindah ke pelukan orang lain.
Bab 4: Hari yang Tak Terlupakan
Dika berdiri di luar gedung pernikahan dengan hati yang penuh kecemasan. Suasana di sekitar sudah sangat ramai, para tamu undangan mulai berdatangan dengan pakaian terbaik mereka, tersenyum dan berbicara dengan antusias. Semua tampak seperti hari yang penuh kebahagiaan, namun bagi Dika, hari ini terasa seperti sebuah siksaan. Dia menatap gedung megah di depannya, merasakan detak jantung yang semakin kencang. Setiap langkah menuju pintu itu terasa semakin berat, dan rasa sakit di hatinya semakin dalam.
Dika menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan diri. “Ini bukan tentang aku,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini tentang Lara dan kebahagiaannya. Aku harus bisa menerima ini.” Namun, meskipun dia mencoba meyakinkan diri, rasa sakit itu tetap menggerogoti hatinya.
Sejak Lara menghubunginya beberapa hari lalu dan memintanya untuk hadir, Dika merasa ada bagian dari dirinya yang tak siap. Tapi dia tahu, jika dia tidak datang, maka perasaan tidak selesai ini akan terus mengganggu dirinya. Dia harus mengakhiri semuanya—sekaligus memberi Lara ruang untuk menjalani hidupnya dengan pilihan barunya. Mungkin kehadirannya di sini, meskipun canggung, adalah bagian dari proses menerima kenyataan.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Dika akhirnya menginjakkan kaki di dalam gedung. Lampu kristal yang berkilau di langit-langit, karpet merah yang membentang, dan meja-meja yang dihiasi bunga-bunga segar, semuanya seakan menyambutnya. Namun, apa yang paling Dika rasakan hanyalah ketegangan. Setiap detik yang berlalu semakin membuatnya merasa tidak nyaman. Semua orang tampak senang dan berbicara tentang kebahagiaan, sementara dia hanya bisa berpura-pura ikut senang.
Dika mencari kursi kosong, berharap bisa duduk dan hanya diam selama acara berlangsung. Namun, teman-teman Lara, yang sudah mengetahui tentang hubungan mereka, menyapanya dengan penuh perhatian. “Dika, kamu datang juga! Wah, kita nggak nyangka kamu bakal hadir,” ucap salah satu teman Lara sambil memberikan senyuman hangat.
Dika hanya tersenyum kaku, mencoba tidak terlalu terlihat canggung. “Ya, aku diundang, jadi aku datang. Semoga semuanya lancar,” jawabnya dengan suara yang sedikit serak.
Beberapa saat kemudian, acara pernikahan dimulai. Musik pelan mengalun dari panggung, menambah kesan romantis. Dika melihat ke sekeliling, mencoba mengalihkan perhatian dari segala emosi yang bergejolak dalam dirinya. Tiba-tiba, pintu besar di ujung ruangan terbuka, dan seluruh perhatian beralih ke arah sana. Lara muncul, mengenakan gaun pengantin putih yang indah, dengan wajah penuh kebahagiaan. Dika tertegun sejenak. Sejak pertama kali mereka bertemu, dia tahu Lara adalah wanita yang menawan, tapi kali ini, dia terlihat berbeda—lebih cantik, lebih anggun, lebih bahagia.
Dika merasa hatinya teriris saat melihatnya berjalan menuju altar. Setiap langkah Lara membawa dirinya lebih jauh dari kenangan indah mereka berdua, dan Dika tahu, itu adalah langkah yang tak bisa dia ikuti. Lara kini benar-benar milik orang lain, dan Dika hanya bisa menyaksikan dari kejauhan.
Saat Lara akhirnya berdiri di sisi Arief, Dika merasakan rasa cemburu yang menyengat. Arief berdiri dengan penuh percaya diri, tampak tenang, seakan-akan dunia ini hanya milik mereka berdua. Dika mencoba menenangkan dirinya, mengingatkan dirinya bahwa ini bukan saatnya untuk merasakan cemburu. Namun, tetap saja, perasaan itu datang begitu saja—perasaan bahwa seseorang yang dia cintai kini memilih untuk bersama orang lain.
Prosesi pernikahan berjalan dengan lancar, dan Dika hanya bisa duduk dengan diam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Sementara itu, di depan sana, Lara dan Arief saling bertukar janji suci, mengikatkan diri mereka dalam sebuah pernikahan yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Dika hanya bisa menyaksikan tanpa bisa melakukan apa-apa.
Setelah ijab kabul, ketika pengantin baru itu resmi menjadi pasangan suami istri, mereka berdua disambut dengan tepuk tangan meriah dari para tamu. Dika tak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa sedikit terasing di tengah keramaian ini. Rasanya seperti semua kebahagiaan di dunia ini berpusat pada mereka, sementara dirinya hanyalah orang luar yang tak bisa ikut merasakan kebahagiaan itu.
Setelah upacara selesai, Dika memutuskan untuk segera meninggalkan gedung. Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, seseorang memanggil namanya. Dia menoleh dan melihat Lara berjalan menghampirinya, mengenakan gaun pengantin yang masih bersinar. Dika merasa dadanya sesak, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.
“Dika, tunggu!” Lara memanggil dengan suara lembut. “Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu, tapi aku ingin berterima kasih karena kamu datang.”
Dika menatapnya, merasakan rasa sakit yang tak terungkapkan. “Aku cuma ingin kamu bahagia, Lara. Itu saja.”
Lara mengangguk, tetapi Dika bisa melihat ada rasa bersalah di matanya. “Aku tahu, Dika. Aku tahu ini berat buatmu. Tapi aku nggak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya… aku hanya merasa ini yang terbaik.”
Dika menahan napas. “Aku tahu, Lara. Aku tahu. Aku cuma nggak bisa lagi menghalangi kebahagiaan kamu, walaupun itu berarti aku harus melepaskan.”
Lara menunduk, kemudian mengangkat wajahnya dengan senyuman yang penuh pengertian. “Terima kasih sudah datang, Dika. Aku harap kita bisa tetap berteman setelah semua ini.”
Dika tersenyum pahit. “Kita lihat saja nanti, Lara.”
Dengan itu, Dika berpaling dan berjalan menuju pintu keluar. Di luar, udara malam terasa lebih sejuk, dan meskipun dunia di sekelilingnya penuh dengan kebahagiaan, Dika merasa ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Lara telah menikah, dan dia harus menerima kenyataan bahwa perpisahannya dengan Lara adalah langkah yang tak bisa dia mundurkan.
Sesampainya di luar gedung, Dika berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap. Perasaan sedih dan kesepian menyelubungi dirinya, tapi di dalam hatinya, dia tahu, kehidupan harus terus berjalan. Sakit hati ini akan berlalu, dan mungkin suatu hari nanti, dia akan menemukan kebahagiaannya sendiri. Namun, untuk saat ini, dia hanya bisa berjalan sendiri, membawa kenangan itu bersama dia, seperti bayangan yang tak bisa dia lepaskan.
Bab 5: Menerima Kenyataan, Menatap Masa Depan
Bab 5: Menerima Kenyataan, Menatap Masa Depan
Beberapa minggu setelah pernikahan Lara dan Arief, Dika merasa hidupnya mulai kembali normal, meskipun perasaan kosong itu masih sering muncul di dalam dirinya. Semua kenangan yang pernah mereka bagi kini terasa seperti bayangan yang samar, berusaha menghilang seiring berjalannya waktu. Dika tahu, proses untuk melupakan tidak akan instan, tetapi dia bertekad untuk menjalani hari-harinya tanpa terus-menerus terjebak dalam masa lalu.
Namun, meskipun dia berusaha untuk tidak memikirkan Lara, setiap kali melihat pasangan yang bahagia, Dika tak bisa menghindari perasaan cemburu yang tiba-tiba muncul. Dia mencoba mencari pelarian dengan menyibukkan diri. Pekerjaan di kantornya semakin banyak, dan meskipun itu tidak sepenuhnya mengalihkan pikirannya, setidaknya itu memberinya alasan untuk terus maju.
Pada suatu hari, Dika menerima pesan dari teman lamanya, Ardi. “Dik, gue udah janjian sama beberapa teman kita. Kita nonton bola di kafe malam ini. Lo ikut, nggak?”
Dika menatap layar ponselnya sejenak, ragu-ragu. Menghadapi keramaian, tertawa bersama teman-teman—semuanya terasa terlalu berat. Namun, dia tahu bahwa jika dia terus menghindar dari pertemuan sosial, dia akan semakin terjebak dalam kesedihan. Mungkin ini adalah kesempatan untuk membuka lembaran baru, untuk sedikit merasa normal lagi. Setelah beberapa detik, Dika membalas pesan itu.
“Oke, gue ikut. Tapi jangan berharap gue senyum-senyum terus ya.”
Ardi segera membalas dengan emoji tertawa, “Santai aja, Dik. Kita kan cuma nonton bola, bukan terapi.”
Malam itu, Dika pun pergi ke kafe yang sudah disepakati. Di sana, teman-teman lama mulai berkumpul. Meskipun suasana penuh tawa dan kegembiraan, Dika merasa sedikit asing. Dia duduk di meja dengan Ardi, Lisa, dan beberapa teman lainnya, berusaha untuk ikut terlibat dalam percakapan. Namun, perasaan kosong itu tetap ada, selalu mengintai di balik setiap obrolan yang terjadi.
“Dik, lo kenapa? Kok kayaknya lo lagi nggak mood?” tanya Lisa dengan perhatian, menyadari bahwa Dika tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan.
Dika tersenyum, meskipun itu bukan senyuman yang tulus. “Gue cuma capek aja, Li. Banyak kerjaan di kantor.”
Lisa tidak terlihat puas dengan jawaban itu, tetapi dia tidak memaksakan pertanyaan lebih lanjut. Ardi, yang juga melihat perubahan sikap Dika, mencoba menyelipkan humor ke dalam percakapan untuk menghiburnya. Beberapa lama kemudian, Dika mulai merasa sedikit lebih baik, walau masih ada kekosongan yang tak bisa diisi.
Lama-kelamaan, Dika mulai menyadari bahwa menghadapi kenyataan tidak seburuk yang dibayangkannya. Walaupun perasaannya belum sepenuhnya pulih, dia mulai bisa menghadapinya dengan lebih tenang. Dia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Ada kalanya kita harus melepaskan orang yang kita cintai, dan meskipun itu terasa sangat sulit, kehidupan tetap berjalan.
Di hari berikutnya, Dika kembali bekerja. Meski hatinya masih penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan, dia mencoba fokus pada tugas-tugas yang ada. Sambil mengerjakan laporan, Dika berpikir tentang langkah selanjutnya dalam hidupnya. Apa yang harus dia lakukan untuk melanjutkan hidup setelah semua ini? Apakah dia masih bisa jatuh cinta lagi? Ataukah perasaan ini akan terus menghantui dirinya?
Dika menyadari bahwa tidak ada yang bisa memaksanya untuk melupakan, tetapi dia bisa memutuskan untuk tidak membiarkan masa lalu menghancurkan masa depannya. Mungkin sudah saatnya untuk membuka hati lagi, untuk memberi kesempatan bagi hal-hal baru yang mungkin datang. Tapi apakah dia siap untuk itu?
Suatu sore, ketika Dika sedang berjalan pulang setelah bekerja, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Lara. Hatinya berdegup kencang begitu melihat nama Lara muncul di layar. Setelah beberapa detik, dia membuka pesan itu.
“Dika, aku harap kamu baik-baik saja. Aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting. Bisa kita bicara?”
Dika terdiam. Apa yang harus dia lakukan? Sudah lama sejak terakhir kali mereka berbicara. Rasanya seperti ada ketegangan yang menggantung di antara mereka, meskipun Lara sudah menikah dengan Arief. Apa lagi yang perlu dia katakan? Tapi meskipun perasaan canggung itu ada, Dika merasa ada sesuatu yang belum selesai. Mungkin ini adalah kesempatan untuk benar-benar menutup babak kehidupan mereka, untuk benar-benar melepaskan.
Dengan sedikit keraguan, Dika membalas pesan Lara. “Oke, kita bisa bicara. Kapan?”
Beberapa menit kemudian, Lara membalas. “Bagaimana kalau besok sore? Kita bertemu di kafe yang biasa kita datangi?”
Dika mengangguk meskipun Lara tidak bisa melihatnya. Besok sore, di kafe itu, mereka akan bertemu lagi. Dika merasa ada ketegangan yang belum terpecahkan, tetapi dia juga merasa bahwa ini adalah langkah yang perlu diambil untuk bisa benar-benar melepaskan dan melangkah maju.
Keesokan harinya, Dika datang ke kafe yang biasa mereka datangi. Suasana di dalam kafe terasa hangat, namun ketegangan yang ada di antara mereka berdua membuat ruangan itu terasa sepi. Lara sudah duduk menunggunya di meja dekat jendela. Ketika Dika duduk di hadapannya, ada secercah keraguan di mata Lara, namun dia segera menguatkan diri.
“Dika, aku ingin bicara tentang semuanya. Aku tahu mungkin kamu merasa bingung, atau bahkan kecewa. Tapi aku merasa kita harus menyelesaikan ini,” kata Lara dengan suara pelan.
Dika menatap Lara, merasakan beban yang sama-sama mereka pikul. “Apa yang ingin kamu katakan, Lara?”
Lara menghela napas. “Aku tahu pernikahanku dengan Arief mungkin membuatmu merasa terkhianati. Tapi, Dika, aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Aku cuma merasa itu adalah keputusan yang tepat untukku.”
Dika memandangi wajah Lara. Ada penyesalan di sana, tetapi dia juga bisa melihat bahwa Lara sudah membuat keputusan yang pasti. “Aku mengerti, Lara. Aku nggak bisa memaksakan kehendakku. Mungkin ini jalan yang terbaik buat kita berdua. Aku cuma… aku cuma butuh waktu untuk menerima.”
Lara tersenyum, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku tahu itu. Aku ingin kamu tahu, meskipun aku sudah menikah, aku akan selalu mengingatmu. Kamu adalah bagian penting dalam hidupku, Dika.”
Dika menunduk, menghela napas panjang. “Aku juga akan mengingatmu, Lara. Tapi kita harus bisa move on. Kita harus belajar menerima dan melanjutkan hidup.”
Perlahan, mereka berdua menyadari bahwa ini adalah akhir dari cerita mereka. Tapi itu bukan akhir dari hidup mereka. Dika tahu, meskipun sulit, dia harus melepaskan, dan memberi ruang untuk dirinya sendiri untuk tumbuh. Mungkin ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, sebuah perjalanan yang penuh dengan kemungkinan baru.
Dengan senyuman tipis, Dika dan Lara akhirnya berpisah. Dika keluar dari kafe dengan perasaan campur aduk, tapi ada sedikit rasa lega. Dia tahu, meskipun perasaan itu tak akan pernah hilang sepenuhnya, dia kini siap untuk membuka lembaran baru.
Bab 6: Langkah Baru di Depan Mata
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah pertemuan terakhir Dika dengan Lara. Sejak itu, perasaan kesedihan yang terus menggerogoti hatinya mulai berkurang. Walaupun ia merasa ada ruang kosong yang tak bisa sepenuhnya diisi, Dika tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Setelah berbicara dengan Lara, ia merasa sedikit lebih lega—seakan sebuah beban yang berat telah sedikit terangkat dari pundaknya. Namun, perasaan lega itu tidak berarti bahwa semua masalahnya selesai begitu saja. Dika masih harus berjuang untuk melangkah maju.
Pekerjaan di kantor mulai kembali padat, namun kali ini Dika bisa menghadapi semuanya dengan kepala yang lebih jernih. Ia lebih fokus, lebih bersemangat menjalani rutinitas sehari-hari. Meski begitu, di waktu-waktu tertentu, Dika masih merasa ada sesuatu yang kurang. Ia sering kali merindukan masa-masa ketika hidupnya lebih sederhana—sebelum segala hal yang terjadi dengan Lara. Tetapi Dika sadar, perasaan itu takkan membawa perubahan. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah melanjutkan hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pada suatu sore yang cerah, Dika sedang duduk sendirian di sebuah kafe setelah rapat kantor selesai. Ia menatap layar laptopnya, mencoba menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Tiba-tiba, seorang teman lama muncul di depannya.
“Dik! Lama nggak ketemu, bro,” suara itu membuat Dika menoleh, dan ia melihat Irfan, sahabat lama yang sudah lama tak ia jumpai.
Dika tersenyum lebar. “Irfan! Wah, udah lama banget nggak lihat lo. Ada apa nih, nyasar ke sini?”
Irfan tertawa kecil, lalu duduk di depan Dika. “Gue nggak nyasar, bro. Kebetulan lewat sini, dan gue tahu lo pasti sering nongkrong di sini kalau lagi ada waktu kosong.”
Mereka mulai ngobrol tentang berbagai hal, mulai dari kehidupan kerja, sampai kenangan masa lalu. Tanpa sadar, Dika mulai merasa lebih ringan. Irfan selalu punya cara untuk membuatnya tertawa, bahkan di tengah kesulitan sekalipun. Sebuah percakapan santai yang membuat Dika merasa lebih hidup.
“Aduh, gue jadi ingat waktu kita masih kuliah dulu, ya. Kita pernah ngomongin soal gimana caranya jadi orang sukses, tapi ternyata hidup malah ngasih kejutan-kejutan yang nggak pernah kita duga,” kata Irfan sambil tertawa.
Dika mengangguk, meskipun hatinya sedikit teriris. “Iya, emang hidup nggak bisa diprediksi. Kadang kita harus siap terima kenyataan yang nggak kita harapin.”
Irfan menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak serius. “Lo ngomong gitu, kayaknya ada masalah, Dik. Apa kabar lo sebenarnya?”
Dika terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa meskipun dirinya sudah merasa lebih baik, ia masih belum sepenuhnya jujur dengan dirinya sendiri. Keadaan hatinya, perasaan yang selama ini ia pendam, masih perlu untuk dikeluarkan.
“Jujur, gue masih merasa agak kosong, Irfan. Semua yang gue jalanin setelah perpisahan itu… rasanya nggak seperti dulu lagi. Tapi gue juga nggak mau terus-terusan hidup di masa lalu,” kata Dika, mencoba menjelaskan.
Irfan mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk. “Gue ngerti, bro. Tapi lo harus inget, kadang kita nggak bisa terlalu keras sama diri sendiri. Proses buat move on itu memang nggak gampang, tapi lo nggak sendirian. Gue di sini kok, siap bantu kapan aja.”
Dika tersenyum kecil. “Makasih, Irfan. Lo emang teman yang baik.”
Percakapan itu membuat Dika merasa sedikit lebih ringan. Walaupun tidak langsung mengubah perasaannya, setidaknya ia tahu bahwa masih ada orang yang peduli dan siap mendukungnya. Dika tidak lagi merasa sepenuhnya terisolasi.
Beberapa hari kemudian, Dika mulai kembali mencari cara untuk mengisi hidupnya dengan hal-hal positif. Ia mulai mencari hobi baru, mencoba aktivitas yang sebelumnya tak pernah ia coba. Ia mulai bergabung dengan komunitas lari di pagi hari, yang membuatnya merasa lebih sehat dan segar. Meski awalnya terasa berat, lama kelamaan ia mulai menikmati setiap langkahnya. Lari pagi memberi Dika kesempatan untuk berpikir lebih jernih, merenung tentang masa depan, dan menenangkan pikirannya.
Di kantor, Dika juga mulai menunjukkan perubahan. Dia menjadi lebih berani mengemukakan pendapat, lebih aktif dalam rapat, dan mulai mengambil lebih banyak tanggung jawab. Rasanya seperti sesuatu yang baru bagi dirinya—mungkin inilah bentuk lain dari pemulihan yang tak selalu terlihat. Dika sadar bahwa meskipun hidupnya tidak sempurna, ia masih memiliki banyak kesempatan untuk berkembang.
Suatu hari, saat Dika sedang duduk di ruang tamu apartemennya setelah pulang kerja, ponselnya berdering. Ternyata itu adalah pesan dari Ardi.
“Dik, lo nggak mau coba dating app nggak? Gue pikir lo butuh kenalan baru.”
Dika mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Sejujurnya, ia merasa aneh dengan ide untuk mencoba aplikasi kencan. Tapi di sisi lain, ia merasa bahwa mungkin sudah saatnya untuk membuka diri kepada orang lain. Mungkin tidak sekarang, tapi tidak ada salahnya mencoba.
Setelah beberapa detik berpikir, Dika membalas pesan Ardi. “Oke, gue coba deh. Tapi jangan expect gue langsung jadi jagoan ya.”
Ardi membalas dengan cepat, “Tenang aja, bro, ini bukan lomba. Cuma buat seru-seruan. Gue yakin lo bakal ketemu yang seru kok.”
Malam itu, Dika akhirnya mengunduh aplikasi kencan. Ia memulai dengan membuat profil yang sederhana, menambahkan beberapa foto, dan menulis sedikit tentang dirinya. Dika merasa sedikit canggung, namun juga merasa sedikit tertantang. Setelah beberapa menit, ia mulai menyelam lebih dalam ke dalam aplikasi itu, melihat profil-profil orang yang mungkin bisa dia ajak berkenalan.
Setelah beberapa minggu, Dika mulai bertemu dengan beberapa orang baru. Beberapa pertemuan itu berakhir dengan obrolan ringan dan saling bertukar cerita. Meskipun belum ada yang membuatnya benar-benar jatuh hati, Dika merasa bahwa ia sedang memulai langkah baru. Ia tidak lagi terjebak dalam kenangan lama, meskipun masih ada perasaan yang tak bisa dia lepaskan sepenuhnya.
Pada suatu akhir pekan, Dika diundang oleh salah satu temannya dari aplikasi kencan untuk bertemu di sebuah kafe. Wanita itu, Maya, tampak ramah dan terbuka. Mereka mengobrol dengan nyaman tentang berbagai hal—film, musik, pekerjaan, dan kehidupan. Meskipun Dika tidak merasa ada “klik” yang luar biasa, ia merasa senang bisa berbicara dengan seseorang tanpa rasa canggung. Itu sudah menjadi kemajuan besar bagi dirinya.
Setelah pertemuan itu, Dika menyadari satu hal penting: meskipun ia belum siap untuk jatuh cinta lagi, ia sudah mulai bisa membuka diri untuk hal-hal baru. Dika tahu bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Masih ada banyak kesempatan di luar sana yang menunggu untuk dijelajahi.
Dengan senyuman di wajah, Dika berjalan keluar dari kafe, merasa sedikit lebih optimis tentang masa depan. Ia tahu bahwa langkah-langkah kecil ini akan membawanya menuju perubahan besar—dan mungkin, suatu hari nanti, kebahagiaan yang sejati.
————————–THE END———————-