• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PERISAI BAYANGAN

PERISAI BAYANGAN

April 16, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PERISAI BAYANGAN

PERISAI BAYANGAN

by SAME KADE
April 16, 2025
in Action
Reading Time: 20 mins read

Bab 1 – Operasi Hening

“Dalam diam, nyawa ditentukan. Dalam bayangan, kebenaran dibentuk.”

Bangkok, Thailand – 01:23 AM, Rooftop Menara Chiang Phra

Hujan turun deras membasahi malam Bangkok yang gemerlap. Di atas gedung tua, Kirana, agen elit dari unit intelijen rahasia SPEKTRA, membidik dari kejauhan. Wajahnya tersembunyi di balik helm taktis dan thermal scope, tubuhnya menyatu dengan kegelapan.

Targetnya: Ramon Tevarya, broker senjata lintas negara yang dikabarkan akan menjual teknologi pengendali drone generasi keempat ke kelompok militan.

“Target akan muncul dalam 30 detik,” suara komando terdengar di earpiece-nya.

“Eksekusi cepat, tak ada bukti, tak ada jejak.”

Kirana menarik napas panjang. Tapi ada yang aneh. Ramon tidak datang sendiri.

Titik Gagal

Dari bayangan, muncul sosok lain—wanita muda, kurus, mengenakan jaket berlogo LSM. Ia menyerahkan data padat dalam flashdisk pada Ramon, lalu berbisik lirih sambil menoleh ke sekitar. Wajahnya… terdaftar sebagai informan SPEKTRA.

“Kode Lima,” bisik Kirana.
“Target bersinggungan dengan aset hidup. Izin ulang verifikasi?”

Tak ada jawaban. Hening.

SPEKTRA diam.
Terlalu lama.

Dan Ramon mulai pergi.

Kirana, dengan berat hati, menekan pelatuk. Ramon jatuh. Tapi terlalu lambat—wanita itu melihatnya, dan lari ke arah gang. Kirana segera turun, mengejar di antara gang-gang sempit.

Pertemuan Tak Terduga

Ia berhasil memojokkan sang wanita di gang buntu. Tapi saat ia hendak memborgol, wanita itu menangis dan berkata:

“Aku dikirim oleh Unit Bayangan! Ramon bukan musuhmu. Dia bawa bukti pengkhianatan SPEKTRA sendiri!”

Kirana terdiam.

Wanita itu mengaktifkan proyektor holografik kecil dari saku jaketnya. Terdapat rekaman: anggota tinggi SPEKTRA melakukan transaksi ilegal dengan organisasi asing. Salah satu dari mereka… adalah Atasan Kirana sendiri.

Konflik Internal

Panik. Bingung. Kirana mencoba menghubungi markas. Tapi saluran komunikasi diputus.

Detik berikutnya, tiga agen SPEKTRA muncul dari arah berlawanan—bersenjata lengkap.

“Kirana, kau tidak seharusnya berbicara dengannya.”

“Perintahmu bukan kebenaran,” balas Kirana sambil melindungi wanita itu.

Baku tembak tak terhindarkan.

Kirana berhasil melumpuhkan dua agen dan melarikan diri dengan wanita itu—namanya Rhea, mantan analis data internal SPEKTRA yang kini bergabung dengan gerakan bawah tanah: Perisai Bayangan.

Arah yang Retak

Mereka bersembunyi di bawah tanah, di stasiun tua yang tak lagi digunakan. Rhea menunjukkan dokumen lain—nama-nama agen SPEKTRA yang “dilenyapkan” karena menemukan rahasia operasi Protokol Gelap.

“Kau pikir kau melindungi dunia. Tapi kau hanya jadi perisai untuk mereka yang mengatur ulang kebenaran.”

Kirana termangu. Ia dibesarkan dalam doktrin kesetiaan mutlak. Tapi malam ini, fondasi itu goyah.

Di bawah kota Bangkok yang tenang, satu agen kini mulai mempertanyakan siapa sebenarnya musuhnya.

Kirana melihat pantulan dirinya di kaca jendela kereta tua. Darah di baju tempurnya. Matanya berat. Tapi tekad mulai tumbuh.

“Kalau semua ini benar… aku tak akan jadi alat mereka lagi.”

Ia menatap Rhea.

“Mulai sekarang, kau akan tunjukkan siapa yang harus kuincar.”

Bab 2 – Bayangan yang Dikhianati

“Yang paling berbahaya bukan musuh di depanmu, tapi bayangan di belakangmu yang membawa pisau.”

02:47 AM – Zona Aman Sementara, Bangkok

Kirana menatap layar ponsel satelit milik Rhea.
Ada satu nama di daftar dokumen yang baru saja dipulihkan: Brigadir Jenderal Satriyo Hadiman—atasan langsung Kirana di markas pusat SPEKTRA, Jakarta.

“Aku tidak percaya,” bisik Kirana. “Dia melatihku sejak akademi.”

“Dan dia menjual keamanan negara demi keuntungan pribadi,” potong Rhea tajam.

Dalam hitungan detik, segalanya berubah. Kirana bukan lagi prajurit elit. Ia kini buronan.

Pengejaran Dimulai

Pagi belum menyingsing, tapi berita internal di jaringan SPEKTRA telah menyebar:

“Agen Kirana Devi – status: rogue. Otorisasi tangkap/mati.”

Satu tim pemburu elit—Talon 6—dikerahkan. Mereka tahu cara Kirana bergerak, cara berpikir, bahkan kelemahannya.

Kirana kini diburu oleh orang-orang yang pernah ia anggap saudara.

Pelarian ke Pelabuhan Tua

Rhea membawa Kirana ke kontak lamanya: seorang teknisi radio eksil bernama Ko Phan, yang mengoperasikan stasiun gelap di bawah pelabuhan tua. Tempat itu jadi satu-satunya titik komunikasi yang bisa digunakan tanpa terdeteksi sistem.

“Kami bisa akses satu jalur komunikasi—frekuensi lama yang SPEKTRA pikir sudah mati,” jelas Ko Phan sambil menyolder alat komunikasi tua.

Kirana memanfaatkan waktu singkat itu untuk mengirim pesan enkripsi ke satu-satunya orang yang mungkin masih bisa dipercaya: Aryasatya—mantan agen SPEKTRA yang pernah dianggap hilang dalam misi.

Tebusan Nyawa

Tapi tempat itu tak lagi aman. Sebuah drone pengintai SPEKTRA melintas di atas pelabuhan. Dan hanya dalam lima menit, suara helikopter terdengar dari kejauhan.

Talon 6 telah menemukan mereka.

Pertempuran terjadi di antara peti kemas dan jalur sempit pelabuhan. Ko Phan tertembak. Rhea terluka di bahu.

Kirana menembak dengan cepat dan presisi. Ia berhasil menjatuhkan dua agen, tapi sisanya mulai mengepung. Kirana harus mengambil keputusan cepat—kabur bersama Rhea, atau melindungi data yang mereka bawa.

“Bawa data ini,” ujar Rhea, menyerahkan microchip berdarah.
“Kalau aku tertangkap… jangan datang kembali.”

Tapi Kirana menolak meninggalkannya.

Munculnya Bayangan Lama

Saat posisi mereka makin terjepit, tembakan dari sisi lain tiba-tiba menghantam anggota Talon 6. Dalam kabut asap, muncul sosok berjubah taktis gelap, wajahnya tertutup masker balistik.

Suara berat terdengar dari bayangan:

“Lama tak bertemu, Devi.”

Aryasatya. Hidup. Dan kembali.
Mereka hanya saling tatap sepersekian detik. Lalu kembali bertempur berdampingan—seperti dulu.

Pelarian di Bawah Tanah

Mereka berhasil kabur lewat jalur limbah tua yang mengarah ke perbatasan sungai Chao Phraya. Di sana, perahu kecil sudah menunggu, dikendalikan oleh simpatisan gerakan bawah tanah: Perisai Bayangan.

Dalam keheningan perjalanan sungai, Rhea pingsan karena luka. Aryasatya menatap Kirana.

“Kau baru saja melewati batas yang tak bisa kembali.”
“Selamat datang di sisi dunia yang tak terlindungi.”

Kirana duduk diam, basah dan lelah. Tapi matanya tak kosong. Kini, ia tahu sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Dan SPEKTRA tak lagi tempatnya berpulang.

Ia bukan lagi prajurit taat.
Kini, ia adalah perisai bagi kebenaran yang hendak dikubur.

Bab 3 – Tanda di Balik Peluru

“Setiap peluru membawa pesan. Dan sebagian di antaranya, berasal dari tangan yang kita percayai.”

04:12 AM – Sungai Chao Phraya, Zona Netral

Kirana memandangi Aryasatya di bawah sinar redup lampu perahu. Wajahnya sedikit berubah—lebih kurus, lebih keras. Tapi sorot matanya tetap sama. Tenang, penuh perhitungan.

“Kau hilang tiga tahun lalu,” ucap Kirana.
“Kau mati menurut semua laporan resmi.”

“Aku lebih berguna mati di sistem, daripada hidup dalam pengawasan,” jawab Aryasatya datar.

Mereka saling diam, sampai suara mesin kapal berhenti. Mereka telah tiba di tempat aman sementara—sebuah rumah kecil di balik rerimbunan dekat sungai.

Jejak Masa Lalu

Di ruang tamu sederhana itu, Aryasatya membuka tas hitamnya. Di dalamnya terdapat kumpulan microdrive dan catatan—semua berisi informasi yang ia kumpulkan selama menjadi ‘hantu’.

“SPEKTRA bukan cuma alat pertahanan negara, Kirana,” katanya pelan.
“Di dalamnya ada faksi lama… yang menyebut diri mereka Protokol Bawah Tanah.”

Kirana menatap data yang ditampilkan Aryasatya. Salah satunya menunjukkan jalur distribusi senjata ilegal yang dilindungi dengan izin resmi. Logo SPEKTRA tertera di dokumen itu.

Dan satu hal menarik perhatiannya: simbol perisai retak—tanda yang sama yang pernah ia temukan di file Rhea.

Rahasia Tanda Perisai

Simbol itu adalah marking dari sistem komunikasi lama—diciptakan oleh agen-agen yang memilih membocorkan kebusukan sistem dari dalam. Mereka menyebut diri mereka:

Perisai Bayangan – sebuah gerakan diam-diam, bukan untuk membalas, tapi mengungkap kebenaran tanpa jejak.

“Aku dulu juga salah satu dari mereka,” ujar Aryasatya.
“Sampai akhirnya, aku tahu siapa yang pertama kali menarik pelatuk ke arahku.”

Ia memberikan Kirana selongsong peluru tua yang dikeluarkan dari tubuhnya saat pelarian dulu. Di pinggirnya, terukir inisial: S.H.

Kirana menegang.

“Satriyo Hadiman.”

Pertemuan Rahasia

Aryasatya mengajak Kirana menemui seorang informan penting di Bangkok—Niran, mantan analis strategi SPEKTRA yang kini hidup sebagai petualang cyber di bawah tanah.

Mereka bertemu di kedai teh malam hari, dengan pengamanan berlapis. Niran menunjukkan peta interkoneksi server-server dunia maya SPEKTRA yang baru-baru ini diacak.

“Mereka tahu seseorang sedang mengendus jejak. Dan mereka mulai mematikan node informasi.”

Niran menyebutkan satu server terakhir yang belum terhapus: Node 09 – Jakarta. Sebuah pusat data terselubung yang menyimpan log komunikasi antara Satriyo dan agen-agen rahasia internasional.

Duri dalam Perisai

Namun sebelum informasi lebih dalam bisa dibuka, kedai itu diserbu oleh satuan bayangan SPEKTRA. Niran tewas dalam baku tembak, tapi sempat memberikan drive terakhir pada Kirana dan Aryasatya.

Dalam pelarian, Aryasatya terkena serpihan ledakan.

“Tinggalkan aku, Kirana,” katanya terengah.

“Aku pernah meninggalkanmu dulu. Aku tidak akan ulangi kesalahan yang sama,” balas Kirana sembari menariknya ke dalam lorong bawah tanah.

Setelah mereka aman, Kirana menatap drive kecil di tangannya.

Di dalamnya, ada jejak menuju Node 09—dan mungkin, jawaban atas seluruh konspirasi yang telah menghancurkan kepercayaannya.

“Kita akan ke Jakarta,” katanya dengan suara tegas.
“Dan kita akan buka semua kebusukan ini. Sampai ke akar.”

Bab 4 – Sekutu dalam Gelap

“Terkadang, satu-satunya harapan adalah mereka yang telah kehilangan segalanya.”

10:13 PM – Ujung Selatan Pulau Batam, Indonesia

Kirana dan Aryasatya kini berada di Batam, menunggu seseorang yang bahkan Aryasatya sendiri ragu untuk temui kembali.

“Tamar.”

Dulu, ia adalah eksekutor terbaik SPEKTRA—spesialis infiltrasi, senyap, dan eliminasi. Tapi setelah operasi brutal di Mindanao tiga tahun lalu, Tamar menghilang, dianggap tewas dalam ledakan.

Namun Aryasatya tahu Tamar masih hidup—karena ia sendiri yang menanamkan identitas baru dan menyembunyikannya dari sistem.

Jejak Berdarah di Gudang Tua

Mereka menyusuri pelabuhan lama, menuju gudang kosong yang tak terjamah sejak tahun 90-an. Di sana, aroma bensin, besi, dan debu menyambut mereka. Lampu gantung berkedip, menciptakan suasana mencekam.

Tiba-tiba, terdengar suara dari atas loteng:

“Langkahmu masih sama, Arya. Berat di kiri, ringan di kanan.”

Kirana mengangkat senjata. Tapi Aryasatya menahannya.

Dari bayangan, muncul sosok berambut cepak, bertubuh kekar dengan bekas luka panjang di wajah kirinya. Tamar.
Mata tajamnya menatap Kirana seperti menilai musuh.

“Kau membawa anak didik Satriyo ke sini?” tanyanya sinis.

“Dia bukan lagi anak didik siapa-siapa,” jawab Arya.

Penawaran yang Penuh Duri

Mereka menjelaskan misi: menyusup ke Node 09, markas digital SPEKTRA terselubung di Jakarta. Hanya Tamar yang tahu jalan masuknya—karena ia pernah mengamankannya sendiri.

“Node 09 dijaga oleh sistem dual autentikasi biometrik dan elektro-haptic,” ujar Tamar.
“Tanpa bypass, kita butuh seseorang dari dalam.”

Ia menyebut satu nama: Dr. Almira Yudhanto – mantan arsitek sistem SPEKTRA yang kini menjadi ilmuwan sipil di bawah pengawasan militer.

Masalahnya, Almira tak percaya siapa pun. Terakhir kali ia muncul, dia hampir dibunuh karena mencoba keluar dari sistem. Hanya Tamar yang bisa mendekatinya.

Pact of Shadows

Setelah diam panjang, Tamar akhirnya setuju. Tapi dengan satu syarat:

“Setelah semua ini selesai, aku ingin kalian hilang. Aku bukan tentara lagi. Aku bukan alat.”

“Kita semua pernah jadi alat, Mar. Sekarang kita jadi martil,” balas Kirana.

Tamar menatapnya untuk pertama kali tanpa kebencian.

“Kau punya mata orang yang pernah kehilangan segalanya.”

Perjalanan Dimulai

Mereka bertiga naik kapal kargo kecil menyusuri jalur laut bawah radar menuju Jakarta. Sepanjang perjalanan, mereka menyusun rencana:

  • Tamar akan menghubungi jaringan lamanya untuk menemukan Almira.
  • Kirana akan menganalisis ulang data dari drive Niran.
  • Aryasatya mengatur ulang frekuensi komunikasi agar tetap satu langkah di depan SPEKTRA.

Tapi saat malam turun dan gelombang makin tenang, Kirana menerima pesan suara dari saluran rahasia:

“Kirana. Ini Ayah.”
“Satriyo bukan orang yang kau kira. Dan kau harus berhenti sekarang… sebelum semua keluarga kita ikut dikorbankan.”

Pesan itu memecah ketenangan.

Kirana berdiri di geladak, tatapannya tajam menembus gelap.

“Mereka tidak hanya mainkan sistem, mereka mainkan darahku juga.”

Aryasatya berdiri di sampingnya.
“Dan itu artinya mereka salah besar. Kita tidak akan mundur.”

Bab 5 – Kunci yang Terlupakan

“Beberapa kunci terkunci bukan karena lupa… tapi karena terlalu berbahaya untuk dibuka kembali.”

06:05 PM – Zona Merah, Jakarta Timur

Tiga bayangan melintasi kawasan industri yang ditinggalkan. Di balik bangunan kusam dan jalan retak yang ditumbuhi ilalang, terdapat fasilitas penelitian lama: Lab 42A—tempat terakhir Dr. Almira Yudhanto terlihat.

Kirana, Aryasatya, dan Tamar mengenakan perlengkapan penyamaran penuh. Rencana mereka sederhana: masuk cepat, temukan Almira, dan keluar sebelum sistem keamanan otomatis SPEKTRA aktif.

“Kalau ada satu jejak digital yang terdeteksi, drone pemburu bisa datang dalam tujuh menit,” jelas Aryasatya.

Masuk Tanpa Jejak

Mereka menyusup melalui saluran pembuangan tua. Tamar memimpin, bergerak seperti bayangan, bahkan saat air limbah mengalir di bawah kaki. Kirana menggenggam pistol berperedam—tangannya mantap.

Mereka sampai di ruang bawah tanah Lab 42A. Tidak ada listrik, tapi generator cadangan menyala saat Tamar menjumper kabel utama.

Tiba-tiba, suara wanita terdengar dari speaker tua:

“Jangan bergerak. Satu langkah lagi dan ruangan ini akan dipenuhi gas klorin.”

Lampu menyala redup. Di balik dinding kaca dan kabel kusut, berdiri seorang wanita paruh baya—Dr. Almira.

Pertemuan yang Retak

Almira mengenali Tamar.

“Kau seharusnya mati di Mindanao.”
“Sudah terlalu banyak dari kami yang seharusnya mati, tapi tidak,” jawab Tamar.

Aryasatya memperkenalkan Kirana. Almira menatapnya lama, lalu berkata:

“Jadi kau anak didik Satriyo. Kau tahu siapa sebenarnya ayah spiritualmu itu?”

“Sekarang aku tahu. Dan aku di sini untuk menghentikannya.”

Almira akhirnya setuju membantu… dengan satu kondisi.

“Kalian harus bantu aku menghancurkan Core X—proyek utama Satriyo di Node 09. Sistem yang bisa memanipulasi citra digital siapa pun… mengubah kriminal jadi pahlawan, dan sebaliknya.”

Data yang Membakar

Almira memberi mereka potongan kode akses Node 09. Tapi belum sempat mereka keluar, alarm berbunyi. Seseorang—entah bagaimana—melacak kehadiran mereka.

“Mereka sudah tahu kita di sini!” teriak Aryasatya.

Dari langit-langit, drone pemburu masuk bersama satu regu Ghost Ops SPEKTRA.

Pertempuran brutal meledak di lorong-lorong sempit lab. Tamar bertarung dengan tangan kosong, menghantam musuh satu per satu. Kirana dan Arya menembak sambil bergerak cepat.

Almira hampir tertangkap—tapi Kirana menariknya dan melompat ke lift bawah tanah tua.

“Kita belum selesai,” bisik Almira dengan napas tersengal.
“Masih ada satu kunci lagi… dan itu ada di tangan seseorang yang tak akan kau suka temui.”

Identitas yang Terpecah

Saat mereka berhasil kabur ke titik aman di bawah sistem metro tua Jakarta, Kirana membuka data dari Almira.

Di layar, muncul wajah seorang pria paruh baya.

Kolonel Jendra S. – penghubung militer dan co-founder SPEKTRA. Dan di bawah namanya, tertulis satu frasa:

“SUBJEK: AYAH KANDUNG – KIRANA DEVI.”

Dunia Kirana hancur seketika.

“Ayahku bukan Satriyo… tapi dia?”

Aryasatya menunduk. “Sekarang kau tahu kenapa dia ingin kau tetap diam.”

Kirana menatap tajam ke arah metro yang gelap.

“Jika dia ayah kandungku, maka semua ini lebih dari sekadar konspirasi… Ini pengkhianatan darah.”

Tamar menggenggam pelurunya. Aryasatya hanya berkata satu kalimat:
“Maka kita akan tuntaskan ini. Dengan kebenaran… atau dengan api.”

Bab 6 – Warisan yang Terluka

“Beberapa warisan bukan diwariskan, tapi dipaksakan. Dalam darah. Dalam luka.”

00:47 AM – Shelter Bawah Tanah, Wilayah Bekasi

Suara kereta metro yang menghilang di kejauhan menyisakan kesunyian. Kirana menatap layar proyeksi hologram yang menampilkan wajah Kolonel Jendra S., ayah kandungnya—sosok yang selama ini hanya ia kenal sebagai arsitek kehancuran dan sistem korup SPEKTRA.

“Dia tidak hanya menciptakan sistem ini, Kirana,” ujar Almira lirih.
“Dia adalah fondasi utama proyek ‘REPLIKA’.”

Aryasatya mengerutkan kening.

“REPLIKA?”

“Sistem identitas buatan. Dia bisa membuat orang palsu dengan rekam jejak digital lengkap. Agen bayangan. Hantu yang punya sejarah.”

“Termasuk… Kirana?” gumam Tamar.

Kirana menegang. Almira mengangguk perlahan.

“Kau diciptakan untuk menjadi jembatan antara sistem dan pengawasan. Kau adalah prototipe terakhir dari kontrol sempurna… yang melawan takdirnya sendiri.”

Kilasan Masa Kecil

Dalam keheningan shelter, Kirana mengingat potongan-potongan masa kecilnya—wajah-wajah tanpa nama, tempat pelatihan yang lebih mirip kamp militer daripada sekolah.

“Selalu ada misi. Selalu ada evaluasi. Bahkan ulang tahunku dihitung sebagai hari efisiensi.”

Ia meremas helm tempurnya hingga jemarinya memutih.

Aryasatya menatapnya, tak berkata apa-apa. Tapi ekspresinya cukup: dia mengerti. Dia juga pernah kehilangan identitas di balik perintah.

Rencana Penetrasi Node 09

Dengan semua potongan yang mereka miliki—kode akses dari Almira, jalur infiltrasi dari Tamar, dan data internal dari drive Niran—rencana mulai disusun.

Node 09 terletak di bawah markas besar SPEKTRA, tersembunyi di balik gedung pemerintahan pusat. Tempat itu dijaga oleh sistem pertahanan otomatis dan drone lapis tiga.

“Bahkan jantung presiden tak mendapat akses langsung ke sana,” ujar Tamar.
“Hanya dua orang yang bisa buka akses utama—Satriyo dan Kolonel Jendra.”

“Maka kita harus temui keduanya,” balas Kirana.
“Dan putuskan siapa yang kita hidupkan… dan siapa yang kita hapus.”

Pengkhianat di Tengah

Malam itu, saat mereka menyiapkan peralatan, terjadi ledakan di lorong utara shelter. Tamar langsung bergerak—tapi Kirana menyadari satu hal:

Peretas luar tak bisa tembus ke sini… kecuali seseorang dari dalam mengirim sinyal keluar.

“Almira… siapa lagi yang tahu kita di sini?”

Almira menatap kosong. “Aku tidak tahu. Tapi aku pernah… dikompromi. Tiga tahun lalu.”

“Siapa?”

“Seseorang dari Unit 02—mantan murid Kolonel Jendra yang sekarang menjadi bayangan tak terkendali: Kaza.”

Munculnya Sosok Asing

Dalam reruntuhan shelter yang rusak, muncul siluet seseorang. Wajahnya tak bisa dibaca karena topeng taktis, tapi gerakannya presisi.

Dia melempar satu flash drive ke arah Kirana.

“Isi drive itu akan membuktikan siapa yang benar… dan siapa yang hanya pion.”

“Siapa kau?” tanya Aryasatya.

“Kau bisa panggil aku… S07.”

Dia menghilang secepat ia datang.

Kirana menatap flash drive di tangannya. Jika yang dikatakan S07 benar, maka semua yang ia percayai—tentang SPEKTRA, tentang misinya, bahkan tentang dirinya—adalah ilusi buatan.

“Warisan ini bukan lagi milik mereka,” bisik Kirana.
“Sudah waktunya… aku yang menulis ulang akhir cerita.”

Bab 7 – REPLIKA

“Kau bukan diciptakan untuk menjadi mesin… tapi sistem ingin menjadikanmu cermin.”

02:45 AM – Shelter Transit Bawah Tanah, Jakarta

Kirana, Aryasatya, dan Tamar duduk dalam keheningan, menatap layar terminal tua yang kini menampilkan data dari flash drive misterius yang diberikan oleh S07.

File utama bernama: REPLIKA-KX.VRL.

Di dalamnya, tampak rekaman video dari hampir 10 tahun lalu—diambil secara rahasia dalam fasilitas SPEKTRA:

Kolonel Jendra berbicara langsung pada kamera, didampingi Satriyo dan seorang ilmuwan muda—Dr. Almira.

“Proyek REPLIKA bukan hanya menciptakan agen sempurna. Kita membangun manusia dengan sejarah digital penuh—data medis, catatan sekolah, emosi yang disimulasikan, bahkan ingatan yang dapat dikodekan dan dihapus sesuka hati.”

“Subjek pertama: KIRANA.”

Kebenaran yang Menghancurkan

Kirana berdiri perlahan, tubuhnya gemetar. Rekaman menunjukkan ruangan penuh tabung kriogenik, anak-anak di dalamnya. Beberapa di antaranya… mengenakan lencana dengan huruf dan angka.

“S07… S08… S09…”

Aryasatya menatap Kirana.

“Kau bukan satu-satunya.”

Tamar mencengkeram senjata di tangannya. “Mereka sedang membangun pasukan. Generasi senyap.”

Data yang Dihapus dan Diubah

Almira menjelaskan:

“REPLIKA melibatkan eksperimen neurologi. Mereka menanamkan ingatan tiruan ke dalam anak-anak hasil kloning dan rekayasa genetik. Kau memang dilahirkan… tapi tidak secara alami.”

“Mereka memasukkan memori dari subjek terpilih. Bahkan emosi pun dikondisikan lewat terapi neuro-elektrik. Tapi… kau berbeda, Kirana. Kau mulai membentuk kesadaran di luar sistem. Itu yang membuatmu berbahaya.”

Kirana menatap tangannya, seolah tak yakin apakah dirinya nyata atau hanya ciptaan.

“Lalu… mana aku yang asli?” bisiknya.

“Kau yang memilih melawan,” jawab Aryasatya tegas.

Pesan dari Masa Lalu

Saat file terakhir dibuka, tampak pesan rahasia yang ditanam oleh S07—menggunakan suara Kirana sendiri, direkam entah dari mana:

“Jika kau mendengar ini… maka kau telah melampaui semua batasan. Aku adalah versi dirimu yang gagal keluar dari sistem. Tapi kau… kau bebas.”

“Ada satu lokasi terakhir. Di sanalah semua REPLIKA disimpan, diamankan, dan dijaga. Kau harus ke sana. Dan hancurkan semuanya.”

“Lokasi: ‘The Womb’ – Kode R-013’.”

Langkah Selanjutnya

Mereka bersiap menuju lokasi terakhir itu—basis tersembunyi di balik tambang batu kapur tua di Yogyakarta, tersamarkan oleh aktivitas pertambangan biasa.

Namun, saat mereka mulai bergerak, sistem SPEKTRA memutus semua jalur komunikasi. Drone penjaga mulai mengitari langit Jakarta. Bahkan pasukan elite berbaju hitam—dikenal sebagai ECHO VOID—mulai memburu mereka.

“Kita sudah tidak bisa mundur lagi,” ujar Tamar.
“Mereka tidak akan berhenti sampai semua REPLIKA—termasuk Kirana—dilenyapkan.”

“Kecuali kita hancurkan sarangnya duluan,” sahut Kirana, menyalakan senjatanya.

Kirana berdiri di pinggir gerbong kargo yang melaju cepat di rel rahasia bawah tanah, menatap gelapnya terowongan di depan. Ia bukan lagi bayangan dari sistem.

“Aku bukan eksperimen. Aku bukan proyek.”
“Aku adalah awal dari akhir mereka.”

Bab 8 – The Womb

“Kebenaran bukan hanya dibuka… tapi dilahirkan dari luka terdalam.”

04:20 AM – Perbukitan Karst, Gunung Kidul, Yogyakarta

Kabut tipis menyelimuti kawasan tambang batu kapur tua yang terlihat biasa bagi mata awam. Tapi di bawah tanahnya, tersembunyi fasilitas rahasia SPEKTRA yang disebut The Womb—tempat kelahiran dan penyimpanan para REPLIKA, termasuk Kirana.

Tamar menghentikan truk logistik yang mereka bajak. Di dalamnya, Kirana, Aryasatya, dan Almira bersiap masuk melalui jalur ventilasi bawah tanah yang pernah dirancang Almira saat proyek ini pertama dimulai.

“The Womb tidak seperti fasilitas SPEKTRA lainnya. Ia hidup,” ujar Almira.
“Sistem ini bisa mengenali siapa yang mendekat, membaca DNA, denyut jantung… bahkan fluktuasi emosi.”

“Bagus,” balas Kirana dingin. “Biar dia tahu siapa yang datang untuk membakarnya.”

Infiltrasi Ke Jantung Sistem

Mereka menyusup melewati lorong sempit yang berakhir di sebuah lift industri tua. Dari panel kontrol manual, Almira mengakses protokol lama. Saat lift turun, udara berubah dingin, seperti masuk ke ruang hampa penuh kematian.

“Di sinilah semuanya dimulai,” bisik Almira.
“Ratusan REPLIKA dibuat. Ratusan lainnya… dibatalkan.”

Lampu-lampu menyala otomatis saat mereka keluar dari lift. Ruangan besar penuh tabung kriogenik terbentang di hadapan mereka. Di setiap tabung: versi-versi lain dari Kirana—beberapa lebih muda, beberapa lebih tua, semua tertidur dalam kebekuan.

Aryasatya bergetar. “Mereka semua… seperti kau.”

Konfrontasi Tak Terduga

Saat mereka bergerak ke ruang inti sistem, sebuah pintu terbuka otomatis. Sosok pria berdiri di sana, mengenakan seragam SPEKTRA tingkat tinggi—Kolonel Jendra S.

“Kau datang lebih cepat dari yang kuperkirakan, Kirana.”
“Kau bukan hanya prototipe. Kau bukti bahwa sistem bisa belajar… dan melawan.”

“Aku bukan bagian dari sistemmu lagi,” desis Kirana.

“Tapi kau tetap darahku. Dan darah itu… adalah kunci terakhir untuk mengaktifkan REPLIKA generasi berikutnya.”

Tamar mengangkat senjata. Tapi Jendra tersenyum dan mengucap satu kata:

“Aktivasi.”

Tiba-tiba, tabung-tabung REPLIKA mulai menyala. Lima di antaranya—REPLIKA aktif—terbangun dan memecahkan kaca dari dalam.

Mereka semua… versi Kirana, dengan peningkatan fisik dan kemampuan tempur yang lebih brutal.

Pertempuran Bayangan

Lima REPLIKA menyerang. Kirana, Aryasatya, dan Tamar bertarung mati-matian. Tapi melawan dirinya sendiri—versi sempurna dan tanpa emosi—adalah neraka.

Salah satu REPLIKA menjatuhkan Aryasatya. Yang lain hampir menembak Tamar dari belakang, tapi Kirana menahan pelurunya dengan tubuhnya sendiri, lalu menendang lawannya ke dinding listrik.

“Mereka cepat,” desis Arya.
“Karena mereka belum punya hati,” jawab Kirana.

Dengan bantuan Almira, mereka memicu protokol penghapusan sistem.

“Kita bisa nonaktifkan semua REPLIKA aktif dari pusat… tapi kita harus akses DNA induk: Kirana,” ujar Almira.

Kirana tanpa ragu menggenggam panel biometrik dan menyuntikkan darahnya ke terminal. Sistem membaca cepat… lalu menampilkan satu perintah:

[HAPUS SEMUA INSTANSIA – Y/N?]

“Lakukan,” kata Kirana.
“Akhiri ini… semua.”

Pengorbanan dan Ledakan

Semua tabung mulai hancur dari dalam. REPLIKA yang masih aktif mulai kehilangan kendali dan ambruk. Kolonel Jendra mencoba kabur, tapi Tamar menghentikannya dengan peluru di lututnya.

“Akhir dari dinasti bayanganmu,” ujar Tamar dingin.

Namun alarm darurat menyala. Sistem pendingin rusak dan inti reaktor The Womb mulai memanas.

“Kita harus pergi sekarang!” teriak Aryasatya.

Mereka lari kembali ke lift sementara The Womb mulai runtuh di belakang mereka.

Di permukaan, mereka keluar dari terowongan darurat. Matahari mulai terbit, menerangi wajah Kirana yang penuh luka dan debu.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Aryasatya.

“Aku tidak tahu,” jawab Kirana pelan.
“Tapi untuk pertama kalinya… aku merasa hidup sebagai diriku sendiri.”

Bab 9 – Jejak yang Ditinggalkan

“Ketika bayangan mulai memudar, jejak yang tertinggal jadi bukti siapa kita sebenarnya.”

07:15 AM – Perbatasan Sleman

Langit pagi yang cerah kontras dengan suasana hati Kirana dan tim. Mereka duduk diam di balik dinding gudang tua, tak jauh dari lokasi reruntuhan The Womb. Tak ada waktu merayakan kemenangan—karena dalam dunia mereka, diam artinya bahaya sedang mengintai.

“Sistem utama The Womb memang hancur,” ujar Almira sambil menatap tablet komunikator.
“Tapi ada jejak data yang lepas ke jaringan cadangan milik SPEKTRA. Seseorang… membocorkannya.”

Tamar, dengan raut curiga, langsung mengangkat kepalanya.

“Kita punya pengkhianat lagi?”

Pesan Anonim

Sebuah sinyal radio dengan kode lama menyusup masuk ke frekuensi mereka. Suaranya terdistorsi, tapi tak asing:

“Kirana, kau terlalu lambat. Aku sudah salin semua data REPLIKA dan proyek ‘TITIK NOL’. Ini belum selesai. Kau hanya menghancurkan satu bagian dari jaringan.”

“Temui aku… jika kau masih ingin menebus semuanya. Koordinat berikutnya: 6°10’44.0″S 106°49’24.0″E.”

Kirana mengenali suara itu.

“Kaza,” bisiknya.
“Mantan REPLIKA yang dibekukan bersama angkatan awal. Tapi… dia berhasil lepas. Dan sekarang… dia mengendalikan apa yang tersisa.”

Aryasatya menyipitkan mata. “Jadi dia… sisa terakhir dari proyek?”

Menuju Jakarta: Kembali ke Bayangan

Koordinat membawa mereka ke jantung kota Jakarta, tepatnya di antara puing-puing gedung tua yang dulu merupakan markas Unit 02 SPEKTRA. Tempat itu sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun—atau begitulah kabarnya.

Mereka memasuki gedung dengan waspada. Aroma cat terbakar dan debu menyelimuti lorong-lorong gelap.

Di dinding, terlihat coretan bercat merah:

“BAYANGAN TAK MATI. IA BERANAK PINAK.”

“Dia tahu kita datang,” ujar Tamar.

Perangkap dan Pengkhianatan

Tiba-tiba, jerat laser menyala di seluruh ruangan. Mereka telah masuk ke dalam medan jebakan yang kompleks. Drone kecil menyerang dari langit-langit, namun Aryasatya dengan sigap menembakinya satu per satu.

Kirana berhasil masuk ke ruang kontrol, hanya untuk menemukan layar besar yang menyala dengan wajah Kaza—ia mengenakan topeng setengah retak, memperlihatkan bekas luka di rahangnya.

“Kau pikir menghancurkan The Womb cukup? Itu hanya satu dari banyak pabrik kita. Aku—kita—adalah sistem yang tidak bisa dimusnahkan. Karena kita bukan lagi manusia. Kita IDEOLOGI.”

“Ayo, Kirana. Temui aku. Selesaikan ini.”

Satu Data, Satu Harapan

Namun sebelum jaringan terputus, Almira berhasil mengunduh data penting dari sistem Kaza: koordinat dari “Node Phantom”—fasilitas terakhir, tempat eksperimen genetik dan senjata biologis yang SPEKTRA sembunyikan dari semua catatan.

“Jika kita bisa masuk ke sana, kita bisa bersihkan semua akar SPEKTRA. Sekali untuk selamanya.”

Tapi… di file terakhir, sebuah nama muncul.

ARYASATYA.

Status: REPLIKA Inisiatif Beta
Tujuan: “Pengamat yang tertanam.”

Kirana menatap Arya, perlahan mengangkat senjata.

“Kau tahu tentang ini?”

“Tidak. Aku… aku selalu merasa ada yang aneh. Tapi aku pikir itu trauma dari misi lamaku.”

“Jadi selama ini kau… bagian dari mereka?”

“Aku tidak tahu, Kirana. Tapi aku tahu satu hal—aku memilih berdiri bersamamu.”

Kirana menatap matanya lama… lalu menurunkan senjata.

“Kalau begitu, buktikan. Di Node Phantom.”

Bab 10 – Node Phantom

“Untuk membakar sistem, kadang kau harus melempar api ke dalam dirimu sendiri.”

18:45 – Koordinat Node Phantom, Kalimantan Tengah

Di antara rimbunnya hutan Kalimantan, tak jauh dari sungai yang tenang, tersembunyi bunker raksasa di bawah tanah—disebut Node Phantom. Inilah jantung tersembunyi SPEKTRA, lokasi terakhir dari seluruh jaringan eksperimen yang selama ini menciptakan REPLIKA, senjata biologis, dan… pengkhianatan.

Kirana, Aryasatya, Tamar, dan Almira bergerak dalam senyap, menyusup lewat jalur air rahasia yang ditunjukkan dari peta yang dicuri Kaza sebelumnya. Akses masuknya tersembunyi di dasar sungai, tertutup pintu baja berkarat.

“Sekali kita masuk, tidak ada sinyal keluar. Node Phantom dibangun untuk berdiri sendiri. Tidak ada backup. Tidak ada belas kasihan,” ujar Almira.

“Itu bagus,” kata Kirana pelan. “Kita habisi semuanya di sini.”

Ruang Kelahiran Kegelapan

Begitu mereka menembus pertahanan bawah tanah dan melumpuhkan penjaga otomatis, mereka masuk ke lorong-lorong steril. Cahaya putih menyilaukan, lantai baja bersih, dan udara yang mencekam seperti rumah sakit yang tak pernah menyentuh kehidupan.

“Ini bukan markas,” bisik Tamar. “Ini ruang otopsi yang masih hidup.”

Mereka menjumpai ruang-ruang eksperimen dengan catatan mengerikan: anak-anak dalam kapsul transparan, beberapa masih bergerak lemah. Sistem-sistem yang memperlihatkan rekayasa emosi, pencucian otak otomatis, bahkan sebuah ruangan yang disebut PENJARA KEPRIBADIAN—tempat kesadaran manusia ditulis ulang melalui impuls digital.

“Mereka mencoba membuat manusia… jadi mesin,” kata Almira.
“Tapi kau, Kirana… kau adalah bug pertama yang lepas dari pemrograman.”

Pertemuan Terakhir: Kirana vs Kaza

Di pusat kendali, mereka menemukan Kaza, duduk di kursi kendali yang dikelilingi layar holografik. Tubuhnya sebagian besar telah diganti dengan prostetik kelas militer. Wajahnya terluka, tapi matanya… tenang. Menunggu.

“Kau sampai juga,” katanya, suara berat dan logam.
“Kita dua sisi dari koin yang sama. Kau pembebasan. Aku… evolusi.”

Kirana melangkah maju, senjatanya turun, tapi suaranya tegas.

“Kau memperbudak. Memanipulasi. Menghapus anak-anak yang tak sesuai cetakan.”

“Aku membangun tatanan baru,” balas Kaza.
“Jika dunia tak bisa menerima kita… maka kita bentuk ulang dunia.”

Pertempuran di Ruang Inti

Kaza memanggil pasukan REPLIKA barunya—tujuh unit Alpha-Red, generasi paling mutakhir. Tamar dan Arya segera bertempur bersama Kirana, menahan pasukan itu dengan sisa amunisi dan ketahanan terakhir.

Di tengah kekacauan, Kirana dan Kaza bertarung satu lawan satu—bukan hanya fisik, tapi mental. Kaza mencoba meretas kesadaran Kirana dengan perangkat neuro-injeksi. Ia mencoba membuat Kirana meragukan kenyataan.

“Semua kenanganmu bisa diprogram. Bagaimana kau tahu mana yang nyata?”

“Karena aku… yang memilih siapa aku sekarang!”

Kirana menusuk port kendali di dada Kaza, memutus sambungan semua REPLIKA aktif. Mereka roboh serentak. Sistem mulai mengalami kerusakan fatal.

Penghapusan Sistem – Akhir dari SPEKTRA

Almira berhasil mengakses pusat sistem dan memulai Protokol Erasure—penghapusan total semua data REPLIKA, semua blueprint, seluruh jaringan SPEKTRA.

“Ini akan menghapus semua,” katanya.
“Tapi Kirana… kau juga bagian dari data utama. Kau akan hilang.”

Kirana menatap layar, lalu pada Aryasatya.

“Lakukan.”

Arya menggeleng. “Tidak. Kita cari jalan lain.”

“Sudah cukup… aku ingin hidup sebagai manusia. Bukan sebagai file warisan.”

Tamar meletakkan tangannya di tombol, bergumam, “Untuk semua anak yang tak pernah punya pilihan…”

Protokol diaktifkan.

Runtuhnya Phantom

Ledakan terkendali mengguncang ruangan. Mereka berlari ke pintu evakuasi darurat. Kaza roboh terakhir, tersenyum pahit.

“Dunia… tidak akan membiarkanmu bebas… selamanya…”

Di luar, bunker mulai runtuh ke dalam dirinya sendiri. Kirana, Arya, Tamar, dan Almira keluar tepat waktu, terlempar ke tanah basah, menatap langit Kalimantan yang kini gelap… tapi terasa ringan.

“SPEKTRA hilang?” tanya Arya.

“Untuk sekarang,” jawab Kirana.
“Tapi dunia seperti ini… selalu coba menciptakan bayangan baru.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

Kirana tersenyum kecil.

“Aku akan terus berjalan. Bukan sebagai ciptaan. Tapi sebagai yang memilih.”

EPILOG – Cahaya di Balik Bayangan

“Bayangan tidak selalu berarti gelap. Kadang ia muncul karena ada cahaya yang ingin dilindungi.”

03:25 AM – Sebuah Kafe Tersembunyi, Yogyakarta

Hujan rintik turun pelan, menempel di kaca jendela kafe kecil yang hanya diterangi cahaya lampu gantung. Musik jazz pelan mengalun dari speaker tua. Di sudut ruangan, Kirana duduk sendiri, memegang secangkir kopi yang mulai mendingin. Tatapannya tenang—berbeda jauh dari dulu.

Sudah tiga bulan sejak kehancuran Node Phantom.

Tak ada berita di media. Tidak ada pengakuan resmi. Dunia tetap berjalan, seolah tidak pernah ada organisasi bernama SPEKTRA. Tapi Kirana tahu: mereka memang tidak pernah ada… secara resmi.

Dan itulah bahaya terbesar mereka dulu.

Langkah-Langkah Baru

Almira kini bekerja sebagai pengembang sistem keamanan siber internasional. Tamar membuka sekolah survival kecil di lereng Merapi, mengajar anak-anak muda tentang berpikir kritis dan bertahan hidup.

Aryasatya?

Dia menghilang setelah peristiwa Phantom. Meninggalkan hanya satu pesan di inbox Kirana:

“Aku masih mencari jawaban siapa aku… tapi yang pasti, aku tahu siapa yang akan kulindungi jika bahaya datang lagi. Jaga dirimu, Kirana.”

Bayangan yang Menjaga

Kirana kini menjalani hidupnya bukan sebagai mantan REPLIKA, bukan agen, bukan hantu dari sistem. Ia memilih jadi pelindung diam-diam.

Kadang, ia menerima pesan dari orang-orang yang membutuhkan bantuan: dari anak-anak yang ingin kabur dari jaringan perdagangan manusia, sampai whistleblower yang diburu karena menyimpan terlalu banyak kebenaran.

Ia tidak punya tim. Tidak punya markas.

Tapi ia punya tekad.

Dan nama kode: Perisai Bayangan.

Surat untuk Dunia

“Kita hidup di dunia di mana kebenaran sering disembunyikan dengan teknologi dan kebohongan dibungkus dengan label keamanan nasional. Tapi jika kau membaca ini, tahu satu hal: selalu ada seseorang di balik bayangan yang menolak diam.”

“Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak dicatat dalam sejarah resmi. Tapi aku di sini. Mengawasi. Menjaga. Melindungi. Bukan untuk kekuasaan, tapi untuk mereka yang tidak mampu melindungi diri sendiri.”

— Kirana

Tutup Buku

Kirana bangkit dari tempat duduknya, menyampirkan jaket gelap di bahunya. Di luar, seorang remaja yang ketakutan berdiri, memegang surat dengan simbol SPEKTRA tergores di belakangnya. Ia menatap Kirana dengan mata memohon.

Kirana menyambutnya dengan lembut, lalu mengangguk.

“Kau aman sekarang. Aku tahu ke mana kita harus pergi.”

Mereka berjalan bersama, perlahan menghilang ke malam.

Bayangan menelan mereka.

Tapi kali ini, bayangan itu bukan tempat bersembunyi—melainkan tempat menyelamatkan.***

Source: Shifa Yuhananda
Tags: AgenBayanganAksiRahasiaKonspirasiPemerintahMelawanDariDalamPerempuanTangguhPertempuranIdentitasRevolusiDalamDiamTeknologiBerbahaya
Previous Post

LUKISAN TERAKHIR SANG MAESTRO

Next Post

DIARI YANG TERTINGGAL

Next Post
DIARI YANG TERTINGGAL

DIARI YANG TERTINGGAL

KUTUKAN

KUTUKAN

JEJAK BAYANGAN DILORONG GELAP

JEJAK BAYANGAN DILORONG GELAP

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In