• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PENGHUNI LANTAI TIGA

PENGHUNI LANTAI TIGA

April 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PENGHUNI LANTAI TIGA

PENGHUNI LANTAI TIGA

by SAME KADE
April 28, 2025
in Horor
Reading Time: 27 mins read

Bab 1: Kepindahan ke Rumah Lama

Langit senja tampak kusam ketika Lika tiba di depan bangunan tua yang akan menjadi tempat tinggal barunya. Rumah susun tiga lantai itu berdiri menjulang seperti raksasa bisu yang menyimpan ribuan rahasia. Dindingnya yang kusam dipenuhi lumut dan cat yang terkelupas, memberikan kesan bahwa bangunan itu telah lama tidak disentuh oleh tangan perawatan.

Lika menatap papan nama kayu yang tergantung miring di gerbang masuk: “Rumah Susun Kenanga.” Tulisannya hampir tak terbaca karena pudar. Udara di sekitarnya terasa dingin dan lembap, padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam.

“Akhirnya sampai juga,” gumamnya sambil membetulkan tali ransel.

Ia baru saja diterima di sebuah kampus negeri dan memutuskan untuk tinggal mandiri. Karena biaya kos di sekitar kampus sangat mahal, ia memilih rumah susun tua ini yang tarif sewanya jauh lebih murah—terlalu murah, sebenarnya.

Saat ia menaiki anak tangga menuju lantai dua, seorang perempuan tua yang mengenakan daster lusuh berdiri di depan salah satu unit. Matanya tajam mengamati Lika, lalu tanpa ekspresi berkata lirih, “Kamar dua belas… Sudah lama kosong.” Lika hanya tersenyum canggung dan mengangguk. Ucapan itu menggantung di udara seperti kabut yang enggan pergi.

Unit kamar Lika terletak di lantai dua, persis di bawah lantai tiga yang, menurut pemilik rumah susun, tidak lagi dihuni. “Sudah lama kosong, jadi jangan heran kalau terdengar suara dari atas. Mungkin tikus,” begitu penjelasannya saat memberikan kunci.

Begitu pintu terbuka, aroma lembap dan kayu lapuk langsung menyambut. Ruangan itu sederhana—hanya satu tempat tidur, meja belajar tua, dan lemari kayu yang sudah bengkok di bagian bawahnya. Namun yang paling menarik perhatian Lika adalah sebuah cermin besar yang menempel di dinding seberang ranjang. Cermin itu tidak terlalu bersih, namun entah mengapa, Lika merasa tertarik untuk menatapnya lebih lama dari yang seharusnya.

Setelah meletakkan barang-barangnya, Lika duduk di ranjang dan menghela napas panjang. Ia mencoba menepis kegelisahan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia mencoba berpikir rasional. “Mungkin karena tempat ini terlalu sepi,” pikirnya.

Namun saat malam tiba, kesunyian berubah menjadi sesuatu yang asing. Angin malam tidak sekadar membawa kesejukan, tapi juga suara-suara aneh yang berbisik di antara celah-celah kayu tua. Kadang seperti suara langkah kaki. Kadang seperti suara kursi yang diseret. Lika menahan napas, telinganya tajam mendengar. Ia melirik ke atas, ke arah langit-langit kamarnya yang terbuat dari kayu. Suara itu… datang dari atas.

Dari lantai tiga.

Lika mencoba mengabaikan. Ia menutup mata, membenamkan diri di bawah selimut. Tapi suara itu tak hilang. Ia justru semakin jelas. Dan di cermin tua yang menghadap tempat tidurnya, seolah ada bayangan yang bergerak pelan. Bukan bayangan dirinya.

Bab pertama ini tidak menjawab pertanyaan, melainkan membangkitkan rasa ingin tahu. Siapa penghuni sebelumnya? Kenapa lantai tiga dikosongkan? Dan mengapa cermin tua itu seperti… memperhatikan?

Malam pertama di rumah lama itu menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih menyeramkan dari yang bisa Lika bayangkan.

Bab 2: Suara dari Atas

Lika terbangun di tengah malam dengan napas terengah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Suara itu kembali terdengar—lebih jelas dan lebih dekat.

Langkah kaki.

Pelan, namun berat. Seolah seseorang sedang berjalan bolak-balik di atas kepalanya. Suara itu datang dari lantai tiga, tempat yang seharusnya kosong.

Ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul 02.47. Udara di dalam kamar terasa menyesakkan, seakan oksigen tersedot oleh sesuatu yang tak kasatmata. Lika menggenggam selimut lebih erat, tubuhnya bergetar. Ia mencoba meyakinkan diri.

“Itu hanya tikus… mungkin juga pipa tua…”

Namun saat suara langkah itu berhenti tepat di atas ranjangnya dan disusul suara benda jatuh—seperti vas keramik yang pecah—Lika sontak bangkit dari tempat tidur. Tidak mungkin itu tikus. Suara itu terlalu nyata. Terlalu manusiawi.

Ia memberanikan diri membuka pintu kamar. Koridor lantai dua lengang, hanya diterangi lampu redup kekuningan yang berkedip pelan. Lika mendongak, mencoba mengamati langit-langit. Tidak ada tanda-tanda kerusakan atau lubang. Namun perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Keesokan paginya, Lika memberanikan diri bertanya pada penjaga rumah susun, Pak Rahmat, seorang pria paruh baya yang terlihat enggan membicarakan hal-hal “aneh”.

“Lantai tiga?” Pak Rahmat menggaruk kepala. “Sudah lama nggak ada yang tinggal di sana. Dulu pernah, tapi…”

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sengaja disembunyikan.

Lika tak menyerah. Malam berikutnya, ia menaruh gelas berisi air di atas meja yang dekat dengan cermin. Ia membaca bahwa air bisa menangkap getaran dari energi tak kasatmata. Dan benar saja, saat suara langkah itu kembali datang, air dalam gelas bergetar pelan, seperti riak di permukaan danau ketika dilempar batu kecil.

Suara tangisan juga mulai terdengar—halus, nyaris seperti bisikan. Lika menutup telinga, namun suara itu justru bergema di dalam kepalanya.

“Kembalikan…”

“Tolong aku…”

Lika menjerit. Cermin di dinding berembun, padahal tidak ada perubahan suhu. Dan di embun itu, muncul tulisan samar:

“JANGAN NAIK.”

Lika terduduk lemas. Ketakutan kini tak bisa lagi ditepis. Ini bukan ilusi. Bukan tikus. Bukan pipa tua. Sesuatu—atau seseorang—ada di lantai tiga. Dan ia… tidak ingin diganggu.

Namun satu hal yang paling membuat Lika ketakutan bukanlah suara itu. Tapi dorongan dalam dirinya sendiri. Sebuah rasa penasaran yang tumbuh pelan tapi pasti, dan berbisik di lubuk hatinya:

“Naiklah, dan temui aku.”

Bab 3: Peringatan Tetangga

Matahari pagi baru saja menyelinap di balik pepohonan ketika Lika membuka pintu kamar. Wajahnya pucat, sisa malam penuh kegelisahan masih terpancar jelas. Ia berniat mencari udara segar di luar bangunan, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran.

Saat melewati koridor, seorang perempuan tua yang kemarin ia lihat berdiri di ambang pintu, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Rambutnya yang sudah memutih digelung rapi, dan bola matanya tampak cekung seperti telah lama menyimpan rahasia.

“Anak baru, ya?” sapanya lirih.

Lika mengangguk sopan. “Iya, Bu. Saya Lika.”

Perempuan tua itu mendekat dengan langkah pelan, kemudian berhenti persis di depan Lika. Ia memandang tajam, lalu berkata pelan, seolah takut ada yang mendengar.

“Jangan pernah naik ke lantai tiga… Sekali pun.”

Lika terdiam. Ada jeda canggung sebelum ia membalas, “Memangnya kenapa, Bu?”

Perempuan itu menarik napas panjang, lalu menatap ke langit-langit, seperti membayangkan sesuatu yang mengerikan.

“Dulu, ada seorang gadis tinggal di kamar paling ujung lantai tiga. Cantik, pendiam, dan penyendiri. Tapi suatu malam, ia ditemukan meninggal… gantung diri, katanya. Tapi… tidak ada yang tahu kenapa. Seminggu setelahnya, semua penghuni lantai tiga pindah. Katanya, suara gadis itu masih sering terdengar menangis di malam hari.”

Lika menelan ludah, tubuhnya mulai merinding.

“Rumah susun ini mencoba menutup lantai tiga. Tapi pintunya selalu terbuka sendiri. Seperti ada yang menunggu,” lanjutnya dengan suara yang semakin mengecil.

“Tapi, suara-suara itu… saya dengar dari kamarku, Bu. Langkah kaki, suara tangisan…” Lika mencoba menjelaskan.

Perempuan tua itu menatapnya lama, kemudian berbisik, “Itu tandanya dia sudah tahu kamu ada di sini.”

Hening.

Angin pagi yang tadi sejuk kini terasa menggigit kulit. Lika tak sanggup menjawab. Pikirannya berkecamuk. Seharusnya ini menjadi tempat tinggal sementara yang tenang. Namun yang ia temukan justru bayang-bayang masa lalu yang menolak dilupakan.

Sebelum kembali masuk ke dalam kamar, perempuan tua itu menyentuh lengan Lika dan berkata, “Kalau malam tiba, jangan menatap cermin. Kalau kau melihat sesuatu yang bukan dirimu, jangan menyapanya. Pura-pura saja tidak melihat.”

Setelah wanita itu pergi, Lika berdiri terpaku cukup lama. Kata-katanya menusuk seperti jarum dingin yang tertanam di benaknya.

Sore harinya, Lika mengintip tangga menuju lantai tiga. Tangga itu gelap, berdebu, dan tampak seperti tidak pernah dilewati siapa pun. Namun di anak tangga kedua, ia melihat sesuatu yang membuatnya membeku.

Jejak kaki basah. Mengarah ke atas.

Dan sejak malam itu, cermin di kamarnya tidak lagi hanya memantulkan bayangannya sendiri.

Bab 4: Tangga yang Hilang

Sejak pertemuan dengan Bu Narti—tetangga tua yang memperingatkannya tentang lantai tiga—Lika semakin waspada. Malam-malamnya tak lagi sunyi, melainkan penuh waswas dan tanda tanya. Tapi rasa penasaran justru semakin membesar, mendorongnya untuk mencari jawaban atas suara-suara misterius dari atas.

Pada suatu siang yang gerah, Lika memberanikan diri naik ke lantai dua dan berdiri di hadapan tangga menuju lantai tiga. Tangga itu gelap, berdebu, dan seperti tak tersentuh waktu. Namun kali ini, ia memperhatikan sesuatu yang janggal.

Tangga itu… tidak ada.

Matanya membelalak. Tempat di mana seharusnya ada anak tangga kini hanya berupa dinding polos dan tembok batu tua. Seolah-olah tangga itu menghilang begitu saja, tertelan bangunan. Padahal semalam ia masih melihatnya. Bahkan jejak kaki basah yang ia temukan mengarah ke sana.

Lika meraba tembok itu. Dingin, kasar, dan nyata. Ia mengedipkan mata berulang kali, mencoba memastikan bahwa ini bukan ilusi atau pengaruh kelelahan. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin kuat perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang mempermainkannya.

Ia pun bertanya pada Pak Rahmat keesokan harinya, dengan nada hati-hati.

“Pak, tangga ke lantai tiga… kenapa sekarang nggak ada?”

Pak Rahmat terdiam sejenak. Mata tuanya tampak menghindari tatapan Lika.

“Lantai tiga itu… nggak semua orang bisa lihat, Nak,” ucapnya akhirnya. “Kadang ada. Kadang nggak. Tergantung siapa yang mencarinya, dan… kenapa mencarinya.”

“Bapak percaya hal kayak begitu?” tanya Lika, bingung.

Pak Rahmat hanya tersenyum samar. “Kau tinggal di tempat yang sudah lama dilupakan, Lika. Di sini, yang kasatmata bukan satu-satunya kenyataan.”

Jawaban itu justru membuat pikirannya semakin tak tenang. Ia kembali ke kamar dengan kepala penuh bayangan, lalu duduk di hadapan cermin. Cermin tua itu kini menjadi objek yang paling mengganggu pikirannya. Terutama karena akhir-akhir ini, bayangannya tidak selalu bergerak sesuai dirinya.

Kadang, saat ia bangun, ia melihat dirinya di dalam cermin… masih duduk.

Malam itu, ia kembali terjaga oleh suara ketukan—pelan, seperti dari jarak yang sangat dekat.

Tok. Tok. Tok.

Ia menatap langit-langit. Tak ada apa-apa.

Namun saat ia bangkit dan membuka pintu kamar, jantungnya hampir berhenti berdetak. Tepat di koridor, di tempat tangga seharusnya berada, tangga itu kembali muncul. Basah, seolah habis diguyur hujan. Dan di anak tangga paling atas, samar-samar terlihat sesosok gadis berpakaian putih… menatap lurus ke arahnya.

Namun saat Lika berkedip—hanya sekejap—tangga itu kembali menghilang. Koridor kosong. Sunyi. Dan hanya cermin di kamarnya yang tampak berkabut.

Lika tahu satu hal: lantai tiga bukan hanya menyimpan misteri, tapi juga memilih siapa yang boleh melihatnya.

Dan malam itu, lantai tiga mulai membuka dirinya.

Bab 5: Cermin Tua di Dinding

Cermin itu tak pernah benar-benar mencerminkan seperti seharusnya. Setiap malam, Lika mulai merasa bahwa benda tua berbingkai kayu itu lebih dari sekadar perabotan yang melekat di dinding kamarnya. Ia seakan hidup—mengamati, menunggu… dan kadang membalas tatapan.

Malam ini, Lika menatap dirinya di cermin lebih lama dari biasanya. Bayangan dirinya terlihat sama. Namun ada sesuatu yang ganjil. Terlalu diam. Terlalu kaku. Dan matanya—mata di dalam pantulan—seakan lebih dalam dari yang seharusnya.

Ia mengangkat tangan. Bayangannya mengikutinya. Tapi terlambat sepersekian detik.

Jantung Lika berdetak lebih cepat.

Ia mencoba tersenyum… dan wajah di dalam cermin tidak membalas senyum itu.

Lika mundur satu langkah. Tangannya meraba dinding, mencari pegangan. Ruangan seketika terasa lebih dingin. Cermin itu mulai berembun dari sisi dalam. Perlahan-lahan, di permukaannya muncul goresan samar seperti jari yang menulis pesan:

“AKU DI SINI.”

Lika menjerit dan menutupi cermin dengan kain. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ia tak bisa menyangkal lagi bahwa ada sesuatu yang menetap di balik cermin itu—menunggu momen untuk keluar, atau mungkin… menukar tempat dengannya.

Pagi harinya, ia kembali menemui Bu Narti. Wajah perempuan tua itu langsung berubah saat Lika menceritakan apa yang terjadi.

“Cerminnya masih asli dari penghuni pertama di lantai tiga,” ucap Bu Narti pelan. “Katanya, itu cermin warisan dari keluarganya. Tapi sejak ia meninggal, tak ada yang berani memindahkannya. Katanya… kalau dilepas, sesuatu yang terkunci di dalam bisa bebas.”

Lika menelan ludah. “Lalu… saya harus bagaimana?”

“Jangan biarkan cermin itu melihatmu saat kau sedang lemah… atau menangis,” kata Bu Narti. “Kalau kau melihat sesuatu yang bukan dirimu di sana, tutup mata dan jangan bergerak. Karena kalau dia tahu kau sadar akan keberadaannya… dia akan mencoba menjadi dirimu.”

Malam harinya, Lika nekat membuka kembali kain penutup. Cermin itu tampak tenang. Tapi ia tahu ketenangan itu menipu. Dalam pantulan tersebut, dinding belakangnya tampak sedikit berbeda… lebih gelap, lebih suram.

Dan di ujung pantulan ruangan—yang seharusnya kosong—ia melihat bayangan seorang gadis berdiri membelakanginya.

Saat Lika berbalik, tidak ada siapa-siapa.

Tapi ketika ia kembali menatap cermin, gadis itu masih berdiri di sana. Perlahan-lahan berbalik… dan mulai tersenyum.

Bab 6: Catatan Lama

Hujan turun sejak pagi, membasahi genteng-genteng tua rumah susun itu dengan irama monoton yang mendalam. Lika duduk termenung di kamarnya, masih terguncang oleh kejadian malam sebelumnya. Cermin tua itu kini kembali ditutup rapat dengan kain hitam, tapi ketakutan yang tertanam di pikirannya belum juga pudar.

Saat ia hendak membereskan tumpukan kardus bekas pindahan yang belum sempat diatur, tangannya menyentuh sesuatu yang berbeda. Di sela-sela tumpukan, tersembunyi sebuah buku kecil dengan sampul kulit kusam. Tak ada nama di bagian depan, hanya noda tua yang menyerupai bercak darah mengering.

Dengan jari gemetar, Lika membuka lembaran pertama.

“Hari ke-1. Aku mendengar suara itu lagi. Dari atas. Selalu dari atas.”

Tulisan tangan yang rapi namun tampak tergesa-gesa. Lika memicingkan mata, mencoba membaca meski sebagian tinta telah memudar. Setiap halaman mengisahkan pergulatan batin seseorang—seorang perempuan muda yang perlahan kehilangan kewarasannya di dalam kamar ini.

“Hari ke-12. Aku mengunci cermin. Tapi ia tetap melihatku. Kadang… ia tersenyum.”

Lika membeku. Tubuhnya merinding. Kalimat-kalimat itu terdengar terlalu familiar dengan apa yang ia alami sekarang. Ia membalik halaman dengan panik, mencari akhir dari catatan tersebut.

“Hari ke-27. Aku tidak tidur. Dia sudah bisa meniru suaraku. Kadang aku memanggil namaku sendiri dari dalam cermin.”

Halaman-halaman berikutnya semakin kacau. Tulisan menjadi tak beraturan, ada coretan marah, ada bekas tetesan air yang membekas di kertas.

“Hari ke-32. Aku tidak bisa keluar. Tangga menghilang lagi. Dia bilang… aku akan tinggal di sini selamanya.”

Lika menutup buku itu dengan cepat. Napasnya memburu. Jantungnya berdentum keras seperti genderang perang. Ia tahu sekarang, bahwa yang ia hadapi bukan sekadar gangguan, tapi kutukan lama yang telah berakar dalam rumah ini.

Dan lebih buruk lagi—ia bukan orang pertama yang mengalaminya.

Lika menyadari bahwa penghuni sebelumnya, sang penulis catatan, kemungkinan besar adalah gadis yang kini menghuni lantai tiga, gadis yang namanya mungkin sudah lama dilupakan, tapi masih menolak dilenyapkan dari dunia ini.

Saat malam datang dan lampu mulai meredup, Lika duduk di tepi ranjang dengan buku catatan itu erat di pelukannya. Ia tahu, lembaran-lembaran berikutnya belum tertulis. Tapi seseorang harus menyelesaikannya.

Mungkin dirinya.

Bab 7: Pintu yang Tertutup Sendiri

Angin malam membawa aroma lembap dari dinding-dinding tua. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah menahan napas bersama Lika yang duduk kaku di sudut kamarnya. Setelah membaca catatan lama milik penghuni sebelumnya, pikirannya dipenuhi ketakutan—tapi juga tekad. Ia harus tahu lebih banyak. Ia harus mengungkap rahasia yang selama ini disembunyikan oleh lantai tiga.

Malam itu, saat jam menunjukkan pukul 00.44, suara derit kayu terdengar lagi. Kali ini bukan dari cermin, bukan dari loteng, melainkan dari… lorong di lantai dua.

Lika membuka pintu kamarnya perlahan. Langkahnya ringan, nyaris tak bersuara. Lampu lorong berkelip-kelip, memberikan cahaya redup yang tak nyaman. Ketika ia mendekati ujung lorong, pandangannya tertuju pada pintu kayu tua di pojok kiri—pintu yang katanya mengarah ke lantai tiga, tempat tangga misterius pernah muncul dan menghilang.

Saat ia menatapnya, pintu itu perlahan terbuka… sendiri.

Tidak ada angin. Tidak ada orang. Tapi engsel tua itu bergerak seperti digerakkan tangan tak terlihat. Lika menahan napas. Ia melangkah maju, hanya untuk mendapati ruangan gelap di balik pintu, kosong… dan dingin.

Namun, begitu ia menapakkan kaki ke ambang ruangan, pintu itu tertutup dengan keras di belakangnya.

BRAK!

Lika berlari ke arah pintu dan menarik gagangnya—terkunci. Tak peduli sekuat apa ia memutar, pintu itu tak bergeming. Ia menjerit memanggil, tapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab.

Dalam kegelapan, matanya mulai menyesuaikan. Ia melihat sesuatu di seberang ruangan: cermin besar berdiri tegak di ujung dinding, dikelilingi oleh lilin-lilin padam. Tapi kali ini, cermin itu memperlihatkan pantulan yang tidak sesuai.

Ruangan dalam pantulan terang, dan di dalamnya tampak… dirinya sendiri, duduk di atas ranjang, memeluk catatan lama.

“Bukan aku…” bisiknya ngeri.

Tiba-tiba, bayangan di dalam cermin menoleh padanya dan tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan perlahan.

Cahaya redup muncul dari langit-langit. Lilin-lilin satu per satu menyala, menyibak kegelapan. Di sisi kanan ruangan, tergantung bingkai-bingkai foto lawas. Lika mendekat dan melihat wajah-wajah perempuan muda dengan tatapan kosong.

Di bawah setiap foto tertulis satu nama, dan di bagian paling bawah… tertulis:

“Lika Saraswati – 2025”

Wajah dalam foto itu adalah dirinya.

Tubuhnya lemas. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana namanya bisa tertera di situ. Tapi satu hal jelas—ia bukan lagi pengamat dalam misteri ini.

Ia adalah bagian darinya.

Dan ketika ia menoleh ke belakang, cermin itu mulai bergetar… dan bayangan dirinya di dalamnya mulai berjalan keluar.

Bab 8: Pertemuan dengan Penghuni

Bayangan dari cermin itu melangkah semakin dekat, seolah tembok di antara dunia nyata dan pantulan tak lagi ada. Lika terpaku, tak mampu bergerak, seolah tubuhnya tertambat oleh tatapan kosong dari versi dirinya di dalam cermin.

Namun tepat sebelum bayangan itu keluar sepenuhnya, suara lain bergema dari sudut ruangan.

“Jangan biarkan dia masuk.”

Suara itu serak dan berat, seperti berasal dari tenggorokan yang telah lama tak digunakan. Lika menoleh. Di sudut gelap ruangan, sesosok tubuh muncul perlahan dari balik tirai lusuh yang hampir menyatu dengan dinding berjamur.

Perempuan tua, rambutnya panjang tak terurus, matanya cekung dan penuh luka. Namun sorotnya menyiratkan sesuatu yang berbeda dari makhluk-makhluk lainnya—kesadaran.

“Siapa… siapa kau?” tanya Lika lirih, setengah takut, setengah lega.

Perempuan itu mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa langkah dari Lika. “Aku dulu juga sepertimu,” bisiknya. “Penghuni sementara. Tapi dia—yang di dalam cermin—mengambil tempatku. Sekarang aku… tinggal di sela waktu.”

Lika mengerutkan kening. “Kau… korban dari kutukan ini?”

“Bukan hanya kutukan,” jawabnya. “Ini semacam siklus. Setiap dua puluh tahun, rumah ini memilih. Seseorang harus masuk ke dalam cermin, agar yang di dalam bisa bebas.”

Lika menoleh ke arah pantulan yang kini menunggu di balik kaca. Wajahnya kini tampak lebih dingin, lebih tak sabar. Senyuman yang sebelumnya samar kini berubah menjadi seringai.

“Lalu… bagaimana aku menghentikannya?” desaknya.

“Dengan pilihan,” jawab si perempuan sambil mengangkat tangan, memperlihatkan sebuah liontin perak yang menggantung dari lehernya. Di dalamnya, ada potongan kecil cermin retak.

“Pecahkan cermin itu… tapi bersiaplah. Saat kau memecahkannya, kau membuka semua yang terkunci. Termasuk rasa sakit, dendam, dan roh-roh yang tak sempat pulang.”

Lika menatap cermin besar di depannya. Refleksi dirinya kini berdiri dengan kepala miring, seolah menunggu keputusan. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Semua korban sebelumnya, semua jiwa yang terperangkap, akan tetap tinggal di dalam selamanya jika ia tidak bertindak.

Ia mengambil liontin itu. Tangannya gemetar, tapi tatapannya penuh tekad. Ia melangkah ke arah cermin.

“Kalau aku masuk,” katanya pelan, “kau yang jaga cahayaku.”

Perempuan itu mengangguk perlahan. “Jangan biarkan dia melihat ketakutanmu. Itu yang dia makan.”

Dan dengan satu hentakan—Lika melempar liontin itu ke arah cermin.

CRASH!

Cermin retak. Suara jeritan menggema dari dalamnya, seperti ratusan suara bersahutan dalam kesakitan. Pantulan Lika bergetar, memudar, lalu… menghilang.

Namun yang tersisa bukanlah kelegaan.

Udara menjadi dingin. Ruangan bergetar.

Dan dari sela retakan cermin, sesuatu mulai merayap keluar.

Sesuatu yang bukan Lika.

Bab 9: Kamar Terkunci

Setelah pecahan cermin berhamburan di lantai, rumah tua itu terasa berbeda. Dinding-dindingnya seperti bernafas, lantai berderit walau tak ada yang melangkah, dan udara mengandung aroma logam yang menyengat. Lika berdiri terpaku di tengah ruangan, matanya masih terfokus pada retakan cermin yang kini membentuk pola aneh seperti simbol kuno.

Namun yang paling mencolok adalah pintu tua yang kini muncul di dinding sebelah kanan ruangan—pintu yang sebelumnya tidak pernah ada.

Berkarat dan penuh goresan, pintu itu berdiri seolah telah menunggu selama bertahun-tahun. Di tengah kayunya yang lapuk, terukir samar angka “313”—angka yang tak pernah disebut dalam denah rumah ataupun catatan lama.

Jantung Lika berdegup cepat. Ia tahu, apapun yang ada di balik pintu itu, adalah inti dari semuanya.

Ia mencoba memutar gagang pintu—terkunci.

Dengan napas berat, Lika merogoh saku jaketnya. Ia mengingat satu kunci kecil yang ia temukan tersembunyi di balik bingkai foto pada malam pertama ia pindah. Ia tak pernah tahu kunci itu untuk apa… sampai sekarang.

Kunci itu masuk sempurna ke dalam lubang.

Klik.

Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan derit panjang dan menyakitkan. Dari celah pintu, aroma busuk menyambut—seperti bau kematian yang lama terpendam. Lika melangkah masuk, dan pintu menutup di belakangnya dengan sendirinya.

Ruangan itu lebih besar dari yang ia perkirakan. Dindingnya dipenuhi coretan simbol aneh, seakan digores oleh kuku. Di tengah ruangan, terdapat ranjang besi tua, dan di atasnya—sesosok tubuh terbaring.

Lika mendekat perlahan. Tubuh itu tak bergerak. Kulitnya pucat kehijauan, matanya tertutup rapat. Tapi yang paling mengerikan adalah… wajahnya mirip dengan dirinya sendiri.

“Dia… aku?” gumam Lika ngeri.

Tiba-tiba mata sosok itu terbuka. Matanya putih polos, tanpa bola mata. Ia membuka mulutnya perlahan dan dari dalamnya keluar bisikan serak yang mengerikan:

“Aku… penghuni… yang lama…”

Lika mundur, napasnya memburu. Suara tawa kecil terdengar dari sekeliling ruangan. Dinding bergema, bayangan menari di tiap sudut. Lalu, dari langit-langit turun gumpalan hitam seperti asap, membentuk sosok-sosok tak berbentuk yang melayang di sekeliling ranjang.

Sosok itu bangkit perlahan dari ranjang, tubuhnya melayang. Ia menunjuk ke arah Lika.

“Kau telah membuka pintu. Maka kau harus tinggal. Tukarkan jiwamu… atau semuanya akan ikut terbakar.”

Lika menatap sekeliling. Simbol di dinding mulai menyala, satu per satu, menciptakan lingkaran cahaya di sekeliling tubuhnya.

Ia sadar—ini bukan hanya tentang dirinya. Kamar ini adalah perangkap. Dan ia… mungkin bukan yang pertama, atau yang terakhir.

Dengan satu teriakan, Lika mencabut liontin dari lehernya dan melemparkannya ke tengah simbol.

Ledakan cahaya menyilaukan memenuhi ruangan.

Sosok-sosok hitam menjerit dan lenyap. Ranjang besi meleleh menjadi genangan hitam. Dan tubuh yang menyerupainya… hancur menjadi debu.

Saat Lika membuka mata, ia kembali berada di lorong rumah. Pintu kamar “313” menghilang, seolah tak pernah ada.

Namun… saat ia menoleh ke cermin di ruang tamu, bayangannya tidak mengikuti gerakannya.

Bab 10: Rahasia Penghuni Lama

Lika berdiri terpaku di depan pintu kamar yang terkunci rapat itu. Bau busuk yang menyengat tercium perlahan, datang dari arah ruang yang tak pernah dia masuki. Pintu yang seharusnya tersegel dengan kunci itu kini terbuka sedikit, seolah menyambutnya. Namun, ada sesuatu yang aneh di baliknya. Sebuah rasa tidak nyaman menggelayuti hatinya. Rasanya, sesuatu yang buruk sedang menunggu di balik pintu itu, tapi rasa penasaran yang mendalam membuatnya enggan untuk mundur.

Lika menarik napas dalam-dalam dan melangkah maju. Ketika ia membuka pintu lebih lebar, sebuah pemandangan yang mengerikan menyambutnya. Ruangan itu penuh dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang, seolah waktu di tempat itu berhenti. Di sudut ruangan, terdapat sebuah tempat tidur kayu yang sudah lapuk, dan di atasnya, sebuah benda yang menutupi permukaan kasur: sebuah kain putih yang terlipat rapi. Lika mendekat dengan hati-hati, merasa seolah setiap langkah yang diambilnya akan mengubah nasibnya.

Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada dinding yang kusam, di mana tulisan samar tergores. Itu bukan tulisan yang biasa, bukan huruf yang lazim ditemukan. Ada sesuatu yang tidak wajar. Seiring dia mendekat, matanya menangkap satu kata yang terukir dengan tinta merah yang kini sudah mengering: “Jangan.”

Lika merasa hatinya berdebar hebat. Tak ada satu pun penghuni rumah susun itu yang pernah menceritakan soal kamar ini. Tidak ada yang berani mendekatinya, bahkan setelah Lika mulai bertanya-tanya tentang keberadaan kamar yang terkunci ini. Suasana di dalam ruangan semakin mencekam, dan seakan-akan ada mata yang terus memandangnya dari balik kegelapan. Sesaat, Lika teringat dengan sebuah catatan yang dia temukan sebelumnya, catatan yang ditinggalkan oleh penghuni lama rumah susun ini. Catatan itu mengisahkan seorang wanita yang mati mengenaskan di sini, terkunci di dalam kamar ini.

Wanita itu, yang tak pernah bisa Lika lupakan namanya: Rina. Dalam catatan itu, terungkap bahwa Rina adalah seorang wanita muda yang dibunuh perlahan, tak hanya oleh tubuhnya yang dikurung, tetapi juga oleh rasa sakit batin yang tak pernah terungkap. Rina terperangkap dalam hidupnya yang penuh penderitaan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya, dengan cara yang tak terbayangkan oleh orang lain. Bunuh diri, mungkin. Tetapi, ada yang lebih buruk lagi: arwahnya tak pernah pergi. Ia terjebak di antara dunia ini dan dunia yang lain.

“Lika…” suara itu, pelan dan berat, terdengar di telinganya. Lika menoleh dengan cepat, namun tak ada siapa pun di ruangan itu. Nafasnya tercekat. Kini, dia tahu siapa yang memanggilnya. Sosok yang selama ini mengintainya dari lantai tiga, yang ia temui beberapa malam yang lalu, kini hadir dalam bentuk yang jauh lebih nyata.

Semua kejadian yang ia alami selama ini, suara-suara aneh, bayangan gelap, dan gangguan tak kasat mata, bukanlah kebetulan. Lika adalah bagian dari takdir ini. Rina, penghuni lama, membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan apa yang tertunda. Rina membutuhkan keadilan, dan Lika kini tahu bahwa ia adalah reinkarnasi dari jiwa yang terperangkap itu. Namun, untuk menebus dosa yang dilakukan pada Rina, Lika harus menyelesaikan misteri yang lebih besar dari apa yang dia bayangkan.

Kamar ini, yang selama ini terkurung rapat, kini seolah membuka lembaran baru dalam hidupnya. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk arwah yang tersisa di sini. Hanya ada satu cara untuk mengakhiri ini semua: Lika harus menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalunya, dan mengungkapkan kebenaran yang terkubur di bawah lapisan debu dan waktu.

Dengan keteguhan hati, Lika menguatkan diri dan melangkah ke dalam, menjelajahi misteri yang tersisa dalam rumah yang penuh rahasia ini. Kamar itu bukan hanya sekadar ruang kosong, melainkan sebuah dunia yang penuh dengan kenangan kelam yang menunggu untuk dibuka.

Bab 11: Gangguan Meningkat

Lika terjaga dari tidurnya, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Jam dinding di ruang tamunya menunjukkan pukul tiga pagi, waktu yang selalu dipenuhi dengan ketegangan yang mencekam. Keheningan malam yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa menekan, seolah ada sesuatu yang mengawasi dari kegelapan. Suara detakan jam terdengar semakin keras, seakan memperburuk suasana yang semakin tidak nyaman.

Namun, yang lebih aneh lagi adalah suara tangisan yang samar, datang entah dari mana. Tidak ada orang lain di rumah susun itu pada jam seperti ini. Lika sudah terbiasa dengan suara-suara aneh yang mengganggu tidurnya belakangan ini, tetapi malam ini, tangisan itu terasa lebih nyata, lebih menyakitkan. Suara itu datang dari arah lantai tiga, tempat yang selalu dihuni oleh kesunyian dan misteri.

Lika duduk di ranjang, tubuhnya kaku. Matanya berusaha menyesuaikan diri dengan gelap, tapi tak ada yang terlihat. Hanya bayangan-bayangan hitam yang bergoyang di sudut-sudut ruangan. Dan kemudian, di antara bayang-bayang itu, ia melihatnya—sosok yang muncul dengan perlahan. Sebuah bentuk gelap yang bergerak, seperti tubuh yang terombang-ambing di dalam kegelapan. Sosok itu tak memiliki wajah yang jelas, hanya kabut hitam yang semakin mendekat, membuat Lika merasa tercekik.

“Siapa… siapa itu?” Lika bergumam, hampir tak terdengar. Suara itu, yang tak lebih dari bisikan angin, memenuhi telinganya, seolah datang dari dalam dirinya sendiri.

Suara itu menjawab dalam bisikan yang menggigilkan tulang. “Kamu tak bisa lari dariku, Lika.”

Lika menjerit, tubuhnya terbangun dari ranjang, melompat dengan tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah, mulutnya kering. Ia memandang sekelilingnya, hanya untuk menemukan dirinya kembali terjebak dalam kamar kecil yang sama, tanpa jalan keluar. Tidak ada sosok itu, tidak ada suara tangisan. Namun, rasa takut yang mendalam semakin meresap ke dalam jiwa.

Pagi-pagi sekali, Lika keluar dari kamarnya, berusaha mencari udara segar. Namun begitu melangkah ke luar, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Suasana rumah susun itu terasa lebih padat, lebih penuh dengan ketegangan yang tak terlihat. Suara-suara aneh semakin sering terdengar: ketukan pintu yang datang dari ruang kosong, jendela yang berderit tanpa sebab, dan bayangan-bayangan yang melintas begitu cepat, membuat setiap langkah terasa seperti langkah menuju kegelapan.

Tak hanya itu, benda-benda di sekelilingnya mulai bergerak dengan sendirinya. Lika pernah melihat cermin yang tiba-tiba pecah di pagi hari, atau lampu yang menyala dan mati tanpa sebab. Bahkan kadang, ia bisa merasakan udara di sekitar tubuhnya berubah menjadi dingin, begitu dingin hingga membuatnya menggigil. Setiap kali ia berpaling, seakan ada sesuatu yang mengintainya dari balik bayangannya.

Suatu malam, saat ia tengah duduk di meja makan, tiba-tiba ponselnya berdering. Lika meraih telepon itu, namun begitu layar ponsel menyala, nama yang tertera di layar membuat darahnya berhenti mengalir: Rina. Nama yang telah lama dia coba lupakan. Tidak mungkin. Itu pasti hanya lelucon. Tapi saat ia mengangkat telepon itu, hanya terdengar suara hening yang mencekam di ujung sana. Lika menggenggam ponselnya erat, ketakutan semakin menghimpit dada.

Sejak malam itu, gangguan-gangguan tak berhenti menghampirinya. Setiap langkah yang ia ambil, setiap sudut yang ia tengok, selalu ada sesuatu yang mengikutinya. Seperti bayangan hitam yang semakin besar, semakin mengintai. Tidak ada tempat aman di rumah ini. Lika tahu, bahwa setiap gangguan ini semakin mengarah pada sesuatu yang lebih besar, yang tidak dapat ia hindari lagi.

Rina, yang arwahnya terjebak di rumah susun ini, kini semakin mengungkapkan dirinya. Sosok itu tidak hanya bersembunyi di dalam bayangannya, tetapi seolah semakin hadir di dunia nyata. Lika tahu bahwa, di atas semua ini, ada satu hal yang pasti: gangguan-gangguan ini adalah pesan. Sebuah peringatan bahwa rahasia yang tersembunyi di lantai tiga tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

Lika merasa bahwa ia berada di ujung jurang, dan semakin lama ia bertahan, semakin besar ancaman yang mengancam jiwanya. Saat gangguan ini semakin meningkat, Lika tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan sebelum akhirnya dirinya sendiri menjadi bagian dari kegelapan yang menghantui rumah susun itu.

Bab 12: Upaya Pengusiran

Lika berdiri di tengah ruang tamu, dikelilingi oleh keheningan yang mencekam. Setiap sudut rumah susun itu terasa seperti jebakan, seolah-olah dinding-dindingnya memerangkapnya dalam dunia yang terpisah, jauh dari kenyataan. Suara-suara aneh yang terus mengganggunya semakin membuatnya merasa terisolasi. Gangguan yang semakin intens, mimpi buruk yang datang setiap malam, dan bayangan gelap yang mengikuti ke mana pun ia pergi, semuanya mulai meremukkan ketahanan mentalnya.

Tidak ada pilihan lagi. Lika tahu bahwa jika ia ingin mengakhiri penderitaannya, ia harus menghadapi kegelapan itu secara langsung. Berdiri di hadapan sesuatu yang tak terlihat, namun bisa dirasakan, adalah tantangan yang harus dia hadapi. Dalam kepasrahan, ia memutuskan untuk mencari bantuan. Tidak ada lagi waktu untuk ragu. Ia tahu, hanya dengan bantuan seseorang yang lebih mengerti, ia bisa mengusir segala gangguan yang menghantui hidupnya.

Pagi itu, Lika menghubungi seorang spiritualis yang terkenal di kota. Namanya Arjuna, seorang pria berusia lebih dari lima puluh tahun dengan pengalaman dalam dunia mistik dan pengusiran roh. Setelah beberapa kali berbicara melalui telepon, Arjuna akhirnya setuju untuk datang. Lika berharap, dengan segala keyakinan yang dimilikinya, Arjuna bisa menjadi jawaban atas masalah yang selama ini menghantui.

Saat Arjuna tiba, suasana di rumah susun itu terasa berbeda. Seolah-olah ada sesuatu yang menyambutnya, sesuatu yang tak terlihat. Pria tua itu langsung merasakan adanya energi gelap yang menguar dari lantai tiga. Wajahnya yang tenang namun serius memberi isyarat bahwa ia sudah memahami situasi yang dihadapi Lika.

“Tempat ini terperangkap dalam kekuatan gelap,” kata Arjuna dengan suara berat, sambil menatap lantai tiga dari kejauhan. “Ada arwah yang tidak tenang. Dia terjebak, dan selama dia masih ada, tempat ini tidak akan pernah damai.”

Lika menggigit bibir, rasa takut dan harapan bercampur aduk dalam dadanya. “Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya dengan suara gemetar.

Arjuna mengeluarkan sebuah tas kecil dari dalam jubahnya dan membuka isinya. Di dalamnya, terdapat berbagai benda mistis: dupa, garam, lilin hitam, dan beberapa benda lainnya yang terlihat asing bagi Lika. Tanpa banyak bicara, Arjuna mulai mempersiapkan ritual pengusiran. Di sekitar ruang tamu, ia menempatkan lilin hitam dan mulai menyalakannya satu per satu, menciptakan atmosfer yang berbeda di dalam ruangan. Bau dupa yang menyengat mulai memenuhi udara, membawa Lika ke dalam suasana yang tidak bisa ia jelaskan.

“Lika,” Arjuna berkata dengan suara rendah namun penuh kekuatan, “kamu harus tenang dan mengikuti petunjukku. Jangan biarkan ketakutan menguasaimu. Ini adalah ujian terakhir. Jika kamu gagal, semuanya akan semakin buruk.”

Lika mengangguk, meskipun hatinya berdebar hebat. Arjuna mulai membaca mantra-mantra yang terdengar asing di telinganya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan mengguncang udara di sekitarnya, dan perlahan, Lika merasa perubahan itu terjadi. Seperti sebuah kekuatan besar yang mulai melawan kegelapan di dalam rumah susun itu.

Tiba-tiba, suara ketukan keras terdengar dari arah lantai tiga, diikuti oleh teriakan yang melengking tajam. Lika hampir melompat, namun Arjuna tetap tenang, hanya menatap ke arah suara itu.

“Ini baru permulaan,” katanya dengan suara yang lebih tegas. “Tahan dirimu, Lika. Jangan biarkan suara itu menguasaimu.”

Saat Arjuna melanjutkan mantranya, ruang di sekitar mereka terasa semakin dingin. Lika merasakan angin yang berputar, membawa suara-suara aneh dari lantai tiga. Tangisan, keluhan, dan suara langkah kaki yang berat mulai terdengar lebih jelas. Seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari kegelapan yang tersembunyi di balik dinding.

Tiba-tiba, cermin besar yang ada di ruang tamu pecah dengan sendirinya. Kepingan-kepingan kaca jatuh ke lantai, dan dari dalam cermin itu, Lika melihat bayangan seorang wanita berpakaian putih dengan mata kosong, menatapnya dengan tatapan yang penuh kebencian. Sosok itu terhanyut dalam kegelapan yang semakin mendekat.

“Selesaikan ritualnya, Arjuna!” Lika berteriak, tubuhnya gemetar. Arjuna memejamkan mata, menguatkan suara mantranya, dan perlahan energi di sekitarnya mulai berubah.

Tiba-tiba, udara yang terasa begitu berat itu mulai terangkat, dan suara-suara aneh yang mengganggu mulai mereda. Namun, suara tangisan wanita itu masih terdengar, semakin jauh dan semakin dalam, hingga akhirnya hilang sama sekali. Lika merasakan beban di hatinya berkurang sedikit, tetapi ia tahu bahwa ini belum berakhir. Ritual ini baru saja dimulai.

Arjuna membuka matanya dan melihat ke arah Lika. “Kita baru saja mengusir sebagian dari energi gelapnya. Tetapi, ada lebih banyak yang harus kita hadapi.”

Lika merasa seolah beban yang menindih tubuhnya mulai sedikit berkurang, namun perasaan takut itu tetap ada. Rumah susun ini masih menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap, dan Lika tahu bahwa pertarungan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Bab 13: Terjebak di Dimensi Lain

Lika merasakan perubahan yang sangat mendalam ketika ia melangkah lebih jauh ke dalam dimensi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semuanya dimulai setelah ritual pengusiran yang tampaknya berhasil meredakan gangguan di rumah susun itu. Namun, apa yang terjadi berikutnya jauh melampaui ekspektasinya. Setelah percakapan singkat dengan Arjuna yang memberi petunjuk, Lika kembali ke kamarnya dengan perasaan cemas. Namun saat ia membuka pintu, bukanlah ruang tamu yang ia lihat. Bukan pula kamar tidur yang biasa ia huni.

Yang ada di hadapannya adalah sebuah ruangan yang sangat asing—semuanya serba kabur, dengan udara yang terasa lebih tebal dan dingin. Dinding-dinding yang tampaknya retak dan rapuh tampak seolah memantulkan bayangan-bayangan yang bergerak tanpa arah. Lika mendekatkan langkahnya, mencoba memastikan bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi. Namun setiap langkahnya membawa suara yang aneh, seperti suara desiran angin yang datang dari dalam tubuhnya, bukan dari luar.

“Ini… apa?” bisiknya pelan, merasa ketakutan yang tak bisa dijelaskan.

Lika meraba-raba sekitar ruangan itu. Tidak ada jendela. Hanya ada pintu-pintu yang tertutup rapat, dan cahaya yang tak terang, hanya samar-samar mengalir melalui celah-celah dinding yang bolong. Lika melangkah maju, namun saat ia berputar, ia terkejut menemukan dirinya kembali di tempat yang sama. Ruangan itu berputar, berubah, seakan tidak ada ujung dan batasnya.

“Ini bukan rumah susun,” pikirnya. “Ini bukan dunia yang sama.”

Ia mendengar suara bisikan yang datang dari balik dinding, sangat dekat, tetapi tak terlihat siapa yang berbicara. Lika mencoba mencari arah, namun segala arah tampak salah. Ia berbalik dan menemukan dirinya berhadapan dengan pintu besar yang terbuat dari kayu hitam. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong pintu itu, berharap ada jalan keluar. Tetapi begitu pintu itu terbuka, yang ia lihat bukanlah jalan keluar, melainkan lorong yang sangat panjang, gelap, dan penuh dengan bayangan yang bergerak.

Lika menyadari bahwa ia terperangkap—terperangkap dalam dimensi lain, di luar kendali, terkurung di dalam dunia yang terbuat dari kegelapan dan ketakutan. Dimensi ini tidak hanya mengubah ruang dan waktu, tetapi juga mengubah dirinya sendiri. Setiap gerakannya terasa lambat, setiap napas yang ia tarik terasa berat, seolah setiap inci udara mengandung beban yang tak terjangkau oleh akal sehat.

Langkah demi langkah, Lika bergerak menyusuri lorong tersebut. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan gelap tampak seperti melayang, mengikuti gerakannya tanpa suara. Semakin lama, bayangan itu mulai membentuk sosok-sosok yang pernah ia lihat dalam mimpi-mimpinya—wanita berpakaian putih dengan mata kosong, wajah yang menyeringai dengan ekspresi penuh kebencian. Lika mengatur napas, berusaha tetap tenang, namun ketakutan semakin merasuki jiwanya. Sosok-sosok itu mulai mendekat, perlahan namun pasti.

“Lika… kamu harus menyelesaikan apa yang belum selesai…” suara itu terdengar, penuh desahan, berbaur dengan suara bisikan yang berulang-ulang.

Tiba-tiba, sebuah suara keras menghentikan langkah Lika. Seperti dentingan logam yang jatuh, lalu diikuti oleh suara langkah kaki berat yang mendekat. Lika menoleh ke belakang, namun tak ada siapa-siapa. Hanya gelap yang semakin pekat. Dan kemudian, ia merasakan adanya tangan yang tiba-tiba mencengkeram lengannya, dengan kekuatan yang luar biasa. Lika menjerit, namun suara itu terpendam dalam ruang yang aneh ini.

“Selesaikan kami!” suara itu berbisik di telinganya, kali ini lebih jelas, penuh ancaman.

Dalam keadaan terpojok, Lika tahu ia tak bisa lari. Ia mencoba mengingat apa yang telah dikatakan Arjuna tentang dimensi ini. Di dunia yang terperangkap ini, waktu tidak berjalan seperti seharusnya. Dimensi ini tidak hanya membelenggu fisik, tetapi juga jiwa—sebuah tempat di mana arwah yang terjebak di rumah susun ini bisa menguji siapa pun yang datang. Lika bukan hanya bertarung melawan roh-roh itu, tetapi juga bertarung melawan dirinya sendiri, melawan ketakutan yang semakin menguasai pikirannya.

Dengan usaha keras, Lika berteriak, mencoba mengusir tangan yang mencengkramnya. “Kalian tak akan bisa menguasai aku!” teriaknya, meskipun suaranya pecah karena ketegangan. Namun, seketika itu juga, bayangan-bayangan yang mengelilinginya tampak mundur. Mereka berhenti sejenak, seolah terkejut dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul dari dalam diri Lika.

Lika tahu ini adalah momen penting. Jika ia tidak dapat melawan rasa takut itu, ia akan terperangkap selamanya. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa, ia berlari menuju lorong yang lebih dalam, berharap dapat menemukan ujung dari dunia ini—sebuah jalan keluar, atau bahkan jawaban atas semua yang terjadi. Namun saat ia melangkah lebih jauh, seakan ruang itu kembali bergerak, melipat, mengubah dirinya menjadi lebih kacau dan membingungkan.

Dimensi ini tak memberi jalan keluar. Ia harus mencari jalan sendiri—menemukan kebenaran, menghadapinya, dan menyelesaikan apa yang belum selesai. Lika sadar, hanya dengan cara itu, ia bisa keluar dari dunia ini, dan menghentikan kegelapan yang menunggu di setiap sudut.

Bab 14: Pengungkapan Kebenaran

Lika terjatuh ke tanah. Tubuhnya lemah dan tubuhnya menggigil, tetapi hatinya bergejolak. Kegelapan di sekelilingnya semakin menebal, menutupi pandangannya dengan kabut tebal yang tampak tidak akan pernah hilang. Di sekelilingnya, suara langkah kaki semakin dekat, semakin jelas, dan semakin memekakkan telinga. Suara itu begitu familiar, seolah telah lama ia dengar dalam setiap mimpi buruknya, dalam setiap teriakan yang menghantui tidurnya.

Dan saat itulah, di tengah kegelapan yang semakin membungkus dirinya, Lika mendengar suara itu. Suara yang tidak asing lagi, yang membawa kenangan akan masa lalu yang ia coba lupakan. Suara itu penuh amarah, kesedihan, dan kebencian yang terpendam.

“Lika… akhirnya kamu datang juga,” suara itu terdengar lembut namun penuh dengan kepahitan. “Aku menunggu terlalu lama.”

Lika menoleh, mencoba mencari sumber suara tersebut di tengah kegelapan yang menelan segalanya. Bayangan seseorang mulai muncul, perlahan namun pasti. Wajah wanita itu, yang dulu tampak kabur, kini mulai terlihat jelas di hadapan Lika. Wajah yang penuh luka, dengan mata yang kosong, menatapnya dengan sorot penuh penyesalan.

Wanita itu, berpakaian putih, terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berbicara lagi. “Kamu tidak ingat siapa aku, bukan? Atau mungkin kamu tidak ingin ingat. Tapi aku adalah bagian dari dirimu, Lika.”

Nama Lika terasa aneh terdengar dari bibir wanita itu, seolah menyentuh bagian terdalam dari dirinya. Lika ingin lari, namun kakinya seolah terikat pada tanah. Sungguh tidak mudah untuk berhadapan dengan arwah yang tak pernah pergi, dengan kebenaran yang telah lama terkubur.

“Kebenaran yang selama ini kamu hindari, Lika,” suara itu melanjutkan, “adalah kenyataan yang harus kamu terima. Kamu bukan hanya seorang mahasiswa yang kebetulan pindah ke sini. Kamu lebih dari itu. Kamu… adalah aku.”

Perasaan terkejut, takut, dan bingung bercampur aduk dalam benaknya. Lika merasa dunia sekitarnya berguncang. Ia tidak mengerti, tidak bisa menerima apa yang baru saja didengarnya. Tapi sesuatu dalam dirinya tahu bahwa kata-kata itu memiliki arti yang jauh lebih dalam. Wanita itu, arwah yang menghantui rumah susun ini, ternyata ada kaitannya dengan dirinya.

“Lika… kamu adalah reinkarnasi dari aku,” kata wanita itu dengan suara yang semakin melembut, namun penuh dengan kesedihan. “Aku yang terkurung, aku yang mati dalam kesendirian dan penderitaan. Itu adalah takdir kita, Lika. Takdir yang menuntutmu untuk kembali menyelesaikan urusan yang belum selesai.”

Lika terdiam, mencoba memahami kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak ada ujungnya. “Tapi… bagaimana mungkin? Aku hanya… seorang mahasiswa biasa.”

“Tidak, Lika,” wanita itu menjawab, suaranya penuh penekanan. “Kamu bukan hanya mahasiswa. Kamu adalah bagian dari diriku yang tak pernah mendapatkan kesempatan untuk hidup dengan damai. Aku terkurung, disiksa oleh keluargaku sendiri, dan akhirnya… aku mati di tempat ini. Namun, jiwa aku tak pernah bisa tenang, karena aku tahu ada yang belum selesai.”

Lika merasakan perasaan yang luar biasa mencekam, seolah kebenaran yang baru diungkapkan itu menghancurkan segala keyakinannya tentang siapa dirinya. “Tapi, kenapa aku? Kenapa aku yang harus menghadapinya?” tanyanya dengan suara yang hampir pecah.

Wanita itu mendekat, wajahnya semakin dekat dengan wajah Lika, dan Lika merasa seluruh tubuhnya seperti dibekukan oleh tatapan itu. “Karena kamu adalah aku yang terlahir kembali. Aku adalah masa lalumu, Lika. Kamu harus menyelesaikan takdirmu untuk bisa membebaskan kami berdua.”

Lika akhirnya mengerti. Selama ini, semuanya memang mengarah ke satu tujuan. Ia bukan sekadar mahasiswa yang tinggal di rumah susun itu, ia adalah kunci untuk mengakhiri siklus takdir yang tak pernah selesai. Untuk menghentikan roh yang terjebak dan memberi kedamaian pada arwah yang sudah lama menderita. Semua hal yang terjadi—suara-suara, bayangan, mimpi buruk—semua itu adalah bagian dari perjalanan panjang yang harus ia jalani untuk menemukan kebenaran.

Dengan perasaan yang tercampur aduk, Lika akhirnya mengumpulkan keberaniannya. “Apa yang harus aku lakukan untuk menyelesaikannya?” tanyanya, suaranya serak.

Wanita itu tersenyum tipis, meski senyum itu penuh dengan kesedihan. “Ada satu hal yang harus kamu lakukan, Lika. Kamu harus membuka pintu terakhir… pintu yang membawamu pada kenyataan yang tidak pernah kamu terima. Itu adalah pintu ke takdirmu. Kamu harus pergi ke lantai tiga, ke tempat di mana semuanya dimulai. Di sana, kamu akan menemukan jawaban yang kamu cari.”

Lika menatap wanita itu, kemudian menunduk, merasa beban yang begitu besar tiba-tiba menyelimuti hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk arwah yang terperangkap dan terlupakan. Pintu itu, pintu yang ia takuti, kini menjadi satu-satunya jalan keluar—satu-satunya jalan untuk membebaskan semua jiwa yang terperangkap di dalamnya.

Dengan langkah perlahan namun penuh tekad, Lika berbalik arah, menuju lantai tiga yang menjadi pusat dari segala kekeliruan dan penderitaan. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, tetapi di dalam hatinya ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menuntaskan takdir yang selama ini ia hindari.

Bab 15: Penghuni yang Baru

Lika berdiri di ambang pintu lantai tiga, merenung sejenak. Semuanya telah berakhir—arwah wanita yang terperangkap, takdir yang menuntut untuk diselesaikan, dan rumah susun yang kini tampak lebih tenang dari sebelumnya. Tidak ada lagi suara langkah kaki yang mengganggu tidur malam, tidak ada lagi bisikan misterius yang terdengar dari balik dinding. Lantai tiga, yang dulu menjadi tempat penuh kegelapan, kini terasa sepi. Namun, dalam sepi itulah ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati Lika.

Dengan langkah berat, Lika menuruni tangga menuju pintu keluar. Ia merasa lega, meskipun rasa lelah dan emosional tak mudah hilang. Ia telah mengungkap kebenaran, telah menyelesaikan urusan yang seharusnya diselesaikan—tapi ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang tertinggal, seperti sebuah bayangan yang masih mengintai.

Malam itu, ketika Lika akhirnya menutup pintu kamarnya dan bersandar di dinding, ia berpikir tentang semua yang telah terjadi. Tentang rumah susun yang tak lagi menyimpan misteri, tentang arwah yang kini bisa beristirahat dengan tenang. Ia merasa lega, tetapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Lika tahu, kehidupan yang baru saja ia lalui tak akan pernah bisa dilupakan. Tapi apakah itu benar-benar akhir?

Hari-hari berlalu, dan Lika mencoba melanjutkan hidupnya dengan perlahan. Ia kembali ke rutinitas kuliah, bertemu teman-temannya, dan mulai melupakan bayang-bayang rumah susun itu. Namun, rasa aneh yang datang di malam hari masih menyelinap. Ada yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengawasi, sesuatu yang mengikutinya tanpa bisa ia hindari.

Suatu pagi yang cerah, saat Lika sedang berjalan ke kampus, ia melihat sebuah mobil baru diparkir di depan rumah susun itu. Sebuah mobil yang belum pernah ia lihat sebelumnya, dengan plat nomor yang tampak baru. Tak lama kemudian, pintu rumah susun itu terbuka, dan seorang pria muda, tampak sedikit canggung, keluar. Ia mengenakan jaket kulit dan membawa tas besar di pundaknya.

Lika hanya melirik sekilas, tetapi entah kenapa, pandangannya terasa tertarik. Ada sesuatu yang aneh dalam diri pria itu, sesuatu yang membuat Lika merasa seolah-olah pria itu bukan orang biasa. Seperti ada yang misterius dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Saat pria itu melangkah menuju pintu rumah susun, Lika merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.

“Penghuni baru,” gumamnya pelan.

Pagi itu, Lika tidak tahu mengapa, tapi perasaan tak nyaman kembali hadir. Seolah ada siklus yang belum benar-benar berakhir. Sejak pria itu muncul, rumah susun itu tampak berbeda. Meskipun lantai tiga sudah kosong, meskipun semuanya sudah selesai, Lika merasa ada yang mengintai. Suara-suara halus, langkah kaki yang terdengar samar dari lantai tiga, kembali menghantuinya.

Lika mencoba untuk mengabaikannya, berpikir bahwa itu hanya perasaan aneh yang muncul setelah semua yang telah terjadi. Namun, malam hari itu, suara itu terdengar jelas. Langkah kaki, seperti biasa, terdengar di atas plafon. Suara yang selalu ada, tak pernah menghilang. Lika berdiri dari tempat tidurnya dan mendekat ke jendela, menatap ke arah lantai tiga.

Di sana, di balik jendela yang tak tampak dari luar, ia melihat siluet seorang wanita berdiri di ujung koridor. Wajahnya samar, tetapi Lika bisa merasakan bahwa itu adalah sosok yang sudah lama ia kenal—wanita berpakaian putih, mata kosong. Arwah yang terperangkap. Namun, kali ini ada yang berbeda. Bayangan itu seperti mengarah pada sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan.

Tiba-tiba, pintu kamar Lika terbuka dengan sendirinya. Hati Lika berdegup kencang, dan ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—sebuah ancaman yang datang dari dalam rumah. Lika menahan napas, mencoba mengendalikan dirinya, tetapi saat itu, suara langkah kaki semakin jelas, semakin mendekat.

Di luar jendela, pria muda yang baru saja pindah itu muncul di depan rumah susun. Dengan tatapan kosong, ia menatap ke lantai tiga—seperti tahu apa yang terjadi, seolah ia sudah menunggu saat itu.

Lika merasa tubuhnya kaku. “Tidak mungkin…” bisiknya pelan. Pria itu—penghuni baru—bukan hanya datang untuk tinggal. Ia datang untuk suatu tujuan yang jauh lebih besar. Suatu tujuan yang belum terungkapkan.

Saat Lika mencoba mengalihkan pandangannya, sebuah suara terdengar di telinganya, sangat dekat. Suara yang seolah mengingatkan tentang segala sesuatu yang telah terjadi.

“Kamu tidak bisa melarikan diri,” suara itu berbisik. “Lantai tiga tidak pernah benar-benar kosong.”

Lika tahu, bahwa setelah kejadian ini, rumah susun itu akan kembali menjadi tempat yang penuh dengan kegelapan, penuh dengan rahasia yang belum terpecahkan. Dan saat pria itu melangkah masuk ke dalam rumah susun, sebuah babak baru dimulai—sebuah siklus yang tak akan pernah berakhir.***

————————THE END——————-

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Kegelapan#reinkarnasi#Supranatural#ThrillerARWAHhorormisteriRumahTua
Previous Post

SURAT TERAKHIR DARI ORANG MATI

Next Post

RINDU YANG TAK SEMPAT PULANG

Next Post
RINDU YANG TAK SEMPAT PULANG

RINDU YANG TAK SEMPAT PULANG

KISAH SANG PENYIHIR DAN PEDANG KEGELAPAN

KISAH SANG PENYIHIR DAN PEDANG KEGELAPAN

MATA ELANG DI ZONA MERAH

MATA ELANG DI ZONA MERAH

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In