Bab 1: Titik Awal Bencana
Malam itu, pelabuhan tua di ujung kota berselimut kabut tebal. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip, seperti berjuang menembus kegelapan yang pekat. Di antara deretan kontainer berkarat, Ares berjongkok, mengamati pergerakan sekelompok pria bersenjata yang tengah melakukan transaksi gelap.
Dari balik tumpukan peti kemas, ia menggenggam erat pistolnya, jantungnya berdetak kencang. Ini seharusnya menjadi operasi sederhana — mengumpulkan bukti, lalu pergi. Namun, nalurinya berkata lain. Ada sesuatu yang tidak beres.
“Objek di tempat. Siap untuk intervensi,” bisik Ares melalui alat komunikasi kecil di telinganya.
Tak ada balasan. Hanya desisan statis.
Ares mengerutkan kening. Ia mencoba lagi, namun hasilnya sama. Hubungan terputus. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara langkah-langkah berat mendekat dari belakang.
Refleks, Ares berguling ke samping. Tiga peluru menghantam tempat ia berjongkok tadi, menghamburkan serpihan kayu dan logam. Seketika, tempat persembunyiannya berubah menjadi zona maut.
“Dia di sini! Tangkap hidup-hidup!” teriak seseorang.
Ares tak menunggu aba-aba lain. Ia melompat keluar dari balik kontainer, berlari melintasi lorong-lorong sempit di antara peti kemas. Tembakan demi tembakan meletus di belakangnya, menggema memecahkan kesunyian malam.
Langkah-langkah kaki para pengejar semakin mendekat. Ares melompat ke atas sebuah kontainer, berlari di atasnya dengan kecepatan penuh. Dari ketinggian itu, ia bisa melihat lebih banyak: para pengejar tersebar, mengepung semua jalur keluar. Ini bukan kebetulan. Ini perangkap.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menyadari sesuatu yang lebih buruk: seseorang telah membocorkan operasi ini.
Ares menggertakkan gigi. Ia mengubah arah, berlari menuju dermaga tua. Satu-satunya jalan keluar hanyalah melompat ke laut, atau bertempur habis-habisan.
Saat ia mendekat ke tepi dermaga, sebuah kendaraan hitam melaju cepat dari sisi kiri. Lampu depannya membelah kabut, mengejutkan Ares yang segera menjatuhkan diri untuk menghindar.
Dengan nafas terengah-engah, Ares bangkit dan berlari lagi. Ia tahu, malam ini hanya punya dua pilihan: kabur atau mati.
Di kejauhan, sirene polisi mulai meraung, namun entah itu pertanda baik atau justru bagian dari permainan musuh, Ares tidak tahu. Yang ia tahu, pengejaran baru saja dimulai — dan tak akan ada jalan kembali.
Bab 2: Kota yang Tidak Pernah Tidur
Langit kota dilumuri cahaya keemasan dari lampu-lampu jalan yang tak pernah padam. Gedung-gedung pencakar langit menjulang seperti penjaga raksasa, menyaksikan hiruk-pikuk kehidupan malam yang tak pernah berhenti. Di tengah gemerlap dan kebisingan metropolitan, Ares membaur bersama arus manusia, menyembunyikan luka di bahunya yang terus mengucurkan darah.
Langkahnya cepat, namun terukur. Ia tahu terlalu lama berada di tempat terbuka hanya akan mengundang maut. Kota ini bukan tempat berlindung—ia adalah medan perang tersembunyi, dan setiap sudutnya bisa jadi mata-mata yang mengintai.
Di kejauhan, suara sirene kembali meraung. Tidak jauh. Mereka mengejar.
Ares menyelinap ke dalam gang sempit, melewati lorong gelap yang dipenuhi bau sampah dan sisa-sisa kehidupan yang dilupakan. Suara langkah-langkah tergesa terdengar dari belakang. Bukan satu, bukan dua—lebih. Mereka mengerahkan tim penuh untuk mencarinya.
Jantung Ares berdetak cepat, tapi pikirannya tetap jernih. Ia memanjat pagar besi tua, masuk ke halaman belakang sebuah bengkel yang tampak sudah lama ditinggalkan. Di dalamnya, gelap dan sunyi, hanya diterangi cahaya remang dari celah jendela retak.
Ia mengunci pintu, lalu menempelkan telinga ke dinding. Suara langkah mendekat, lalu berhenti. Beberapa detik yang terasa seperti seabad berlalu dalam diam.
Kemudian—bam! Sebuah granat kejut dilemparkan ke dalam.
Dengan refleks kilat, Ares menendang pintu belakang dan melompat keluar sebelum ledakan menyilaukan meluluhlantakkan ruang sempit itu. Ia berlari menyusuri gang lain, lompat ke pagar, masuk ke jalan utama yang penuh kendaraan dan manusia lalu-lalang.
Ia kini berbaur di antara keramaian. Lampu lalu lintas berkedip merah. Para pejalan kaki menyebrang tak sadar bahwa di antara mereka, ada seorang buronan yang sedang berpacu dengan maut.
Dari kaca etalase toko, Ares menangkap pantulan bayangan—dua pria berpakaian sipil dengan earphone tersembunyi, melirik ke arah yang sama: dirinya.
Ia langsung berbalik arah, menerobos kerumunan.
“Awas!” teriak seorang wanita saat Ares nyaris menabraknya.
Suasana langsung kacau. Orang-orang mulai panik saat dua pria tadi mengejar dengan senjata tersembunyi di balik jaket. Ares berbelok ke sebuah gang sempit, memanjat tangga darurat gedung apartemen tua, lalu naik ke atap.
Angin malam menyapu wajahnya saat ia berlari di atas genteng, melompati celah antarbangunan. Di bawah, suara klakson dan keramaian kota terus bergemuruh—Kota ini benar-benar tak pernah tidur.
Dari atap sebuah gedung tinggi, Ares berhenti. Matanya menyapu pemandangan: kota penuh cahaya, penuh kehidupan, namun kini menjadi labirin kematian baginya.
Ia menarik napas panjang. Tak ada waktu untuk istirahat. Tak ada ruang untuk kesalahan. Ini baru permulaan.
Pengejaran belum usai.
Bab 3: Jebakan di Tengah Malam
Hujan turun deras membasahi jalanan kota, mengguyur langit yang sejak sore mendung pekat. Lampu-lampu jalan memantul di aspal yang licin, menciptakan bayangan-bayangan ganjil yang seolah mengintai dari segala arah.
Ares berdiri di sudut jalan, mengenakan jaket gelap dan topi untuk menyamarkan identitasnya. Nafasnya mengembun di udara dingin. Di balik saku jaketnya, tangan kanan masih mencengkeram erat senjata kecil—siap digunakan kapan saja.
Ia menatap sebuah bangunan tua di seberang jalan. Hotel tua bernama Victoria, berdiri angkuh meski catnya mengelupas dan jendelanya dipenuhi debu. Tempat itu tampak mati, tapi justru itulah yang membuatnya ideal: tidak terlalu mencolok, cukup terpencil, dan minim pengawasan.
Namun, nalurinya berbisik lain.
Ares menyeberang, melewati genangan air dan masuk ke dalam lobi hotel. Meja resepsionis kosong. Lampu gantung menggoyang perlahan, menciptakan bunyi berdecit yang mengganggu. Ia menekan bel kecil di atas meja.
Tak ada jawaban.
Beberapa detik kemudian, seorang wanita tua keluar dari balik pintu samping. Wajahnya letih, namun sorot matanya tajam, terlalu tajam untuk seseorang yang bekerja di hotel sepi seperti ini.
“Ada kamar kosong?” tanya Ares pelan, suaranya terdengar parau karena kelelahan.
Wanita itu mengangguk tanpa bicara, mengambil sebuah kunci tua dan menyerahkannya. “Lantai dua. Kamar 206.”
Ares naik perlahan. Langkahnya waspada. Tangga kayu berderit setiap kali diinjak, seolah memperingatkan bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.
Sesampainya di kamar, ia segera memeriksa setiap sudut: bawah ranjang, balik tirai, dalam lemari. Semuanya tampak bersih, terlalu bersih untuk ukuran bangunan lama. Sesuatu tidak beres.
Ia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri, tapi kemudian menyadari—tidak ada cermin di kamar. Tidak ada remote televisi. Bahkan tidak ada telepon. Semua terasa… dibuat-buat.
Lalu, terdengar suara langkah kaki. Berat. Berirama.
Ares segera berdiri, mengarahkan senjata ke pintu. Tapi suara itu tidak berhenti di depan kamar—ia mendekat dari balkon. Perlahan, gagang pintu geser bergetar. Seseorang mencoba masuk dari luar.
Tanpa suara, Ares beringsut ke samping pintu, menahan napas. Begitu pintu terbuka, ia langsung menyergap sosok bertopeng yang masuk, menjatuhkannya ke lantai. Pergumulan singkat terjadi. Pukulan, tendangan, dan hantaman keras mengisi kamar yang gelap.
Ares menang. Ia menarik topeng penyerangnya—seorang pria muda, wajah asing. Namun, sebelum bisa diinterogasi, peluru menembus jendela dan menghantam kepala pria itu. Ares terhuyung mundur, kaca pecah beterbangan. Sniper.
Dengan cepat, ia membalik kasur sebagai perisai, melompat ke luar kamar dan berlari menuruni tangga. Namun di bawah, suara langkah lain menanti. Dua pria bersenjata telah mengepung pintu keluar.
Jebakan.
Ares melompat ke lorong samping, memecahkan jendela kecil dan menerobos keluar, tubuhnya tergores pecahan kaca. Ia terjatuh di gang belakang hotel, basah kuyup, luka-luka, tapi masih hidup.
Ia berlari lagi, kali ini tanpa arah pasti. Tapi satu hal kini lebih jelas dari sebelumnya: ini bukan pengejaran biasa.
Mereka tahu dia akan datang.
Dan mereka telah menyiapkan segalanya untuk membunuhnya.
Bab 4: Sekutu Tak Terduga
Tubuh Ares bergetar karena dingin dan kelelahan. Luka di bahunya mulai terasa perih, berdarah kembali setelah aksi pelarian dari jebakan mematikan di hotel tua. Dengan napas terengah-engah, ia bersembunyi di bawah jembatan layang, di antara tumpukan kardus dan kantong plastik yang berserakan.
Hujan belum juga reda, namun suara sirene sudah menjauh. Untuk sementara, ia aman. Tapi hanya untuk sementara.
Ares menyandarkan punggungnya ke tiang beton. Matanya mulai mengabur, dunia di sekitarnya berputar pelan. Ia tahu, jika terus kehilangan darah tanpa perawatan, ajal akan menjemput bukan karena peluru musuh—melainkan karena tubuhnya menyerah.
Dari kejauhan, langkah kaki mendekat. Seseorang berjalan cepat namun hati-hati. Ares menggenggam pistolnya, mengarahkan ke sumber suara. Namun, begitu sosok itu muncul dari balik pilar, jari Ares membeku.
“Tenang, kau masih bisa membunuhku nanti kalau memang perlu,” ucap wanita itu dengan nada datar.
Dia adalah Lira—mantan agen intelijen yang pernah menghilang tiga tahun lalu, disangka tewas dalam misi penyergapan. Ares mengenalnya terlalu baik. Dulu mereka rekan, pernah bertempur bersama. Namun Lira juga menyimpan banyak rahasia, termasuk yang mungkin telah menjebaknya ke dalam pusaran pengejaran ini.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Ares curiga, suara parau.
“Aku mengawasimu sejak kemarin malam. Kalau aku ingin kau mati, kau sudah mati,” jawab Lira sambil mendekat. Ia mengeluarkan tas kecil dan mulai membuka peralatan medis darurat.
Ares enggan. Tapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk menolak. Ia membiarkan Lira membuka jaketnya, membersihkan luka, dan menjahitnya dengan cekatan.
“Siapa yang membocorkan operasi?” tanya Ares setengah berbisik.
Lira berhenti sejenak. Pandangannya tajam, namun ragu. “Ada nama yang harus kau dengar… tapi kau belum siap. Yang jelas, ini lebih besar dari yang kau pikir. Mereka bukan cuma jaringan kriminal. Ini melibatkan orang-orang dalam.”
Ares menatapnya lekat-lekat. “Siapa mereka?”
Lira tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengulurkan sebuah ponsel kecil dan selembar kartu identitas.
“Nama samaran. Gunakan itu. Kita akan pergi dari kota malam ini.”
“Kita?” Ares mengangkat alis.
Lira menatapnya tajam. “Kau butuh sekutu. Dan aku butuh jawaban. Kita cari sama-sama.”
Hening sesaat. Hanya suara hujan dan deru kendaraan dari atas jembatan yang terdengar.
Ares tahu, mempercayai Lira berarti membuka kemungkinan dikhianati lagi. Tapi ia juga tahu, sendiri dalam pengejaran ini sama saja dengan bunuh diri.
Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Kalau kau berkhianat lagi… kau tahu akibatnya.”
Lira tersenyum tipis. “Kali ini, kita lawan musuh yang sama.”
Malam itu, mereka bergerak diam-diam keluar dari persembunyian. Dua sosok dalam bayang-bayang, menuju bahaya yang lebih besar. Dan meski Ares masih menyimpan luka lama yang belum sembuh, ia tahu satu hal pasti: dalam perang gelap ini, satu sekutu pun bisa menentukan hidup dan mati.
Dan terkadang, sekutu terbaik datang dari masa lalu yang paling ia ragukan.
Bab 5: Membelah Lintasan Maut
Gelap malam semakin mencekam saat Ares dan Lira melaju di jalanan kosong. Hanya suara mesin mobil yang menderu, mencuri kesunyian kota yang seharusnya sudah terlelap. Mereka melintasi jalan-jalan sempit dan lorong-lorong gelap, meninggalkan jejak yang nyaris tak terlihat.
Mobil yang mereka tumpangi berlari kencang, melewati setiap lampu lalu lintas yang berkelap-kelip. Hujan yang sejak sore tak kunjung reda kini mulai turun deras, membasahi kaca depan dengan suara gemericik yang meresahkan. Jalanan licin dan sepi, namun Ares tetap memegang kendali, matanya tak lepas dari setiap gerakan di sekitarnya.
Lira duduk di sampingnya, wajahnya serius. Ia tidak berbicara banyak, hanya sesekali melirik layar ponsel kecil di tangannya. Ada sesuatu yang tengah ia teliti, dan Ares tahu, itu bukan informasi yang bisa ia percayakan begitu saja.
“Kita hampir sampai,” kata Lira setelah beberapa saat, memecah keheningan.
Ares mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Ia merasa, sesuatu akan terjadi malam ini. Sesuatu yang akan mengubah arah pengejaran mereka. Dan yang lebih mengerikan, mungkin akan mengubah mereka selamanya.
Tak lama, mobil mereka tiba di persimpangan yang sepi. Di sisi kiri, terdapat sebuah gedung besar yang sudah terbengkalai. Tentu saja, Ares tahu bahwa tempat ini bukan tanpa alasan—mereka sudah dipantau sejak lama. Lira menekan rem, dan mobil berhenti di depan pintu besar yang terkunci rapat.
“Ini tempatnya,” kata Lira, menyimpan ponsel kembali ke tas.
Ares menatap gedung tersebut dengan cemas. Semua tanda-tanda ini menunjukkan bahwa jebakan besar sedang menunggu mereka. Namun, jika mereka ingin melangkah lebih jauh, ini adalah satu-satunya jalan yang tersisa.
“Pintu belakang,” bisik Ares.
Lira mengangguk, membuka pintu mobil dan melangkah keluar terlebih dahulu. Ares segera mengikuti, menyembunyikan senjata di balik jaketnya. Keduanya bergerak cepat, berlari kecil menuju pintu belakang gedung yang tampak usang, dengan tangan siap siaga.
Tiba-tiba, suara derap langkah datang dari arah kanan. Lira dan Ares menunduk, bersembunyi di balik tiang besi yang tergeletak di tanah. Tiga pria bersenjata berjalan melewati mereka, tanpa menyadari kehadiran dua sosok yang bersembunyi.
“Berhenti!” teriak salah seorang pria dari belakang mereka.
Lira langsung menarik Ares ke belakang sebuah kontainer, menekan tubuhnya rapat ke dinding. Jantung Ares berdetak kencang, matanya mengawasi pria-pria yang mulai menyebar mencari mereka.
“Apa rencanamu?” bisik Ares dengan suara rendah.
Lira menatapnya sesaat, sebelum menjawab, “Kita harus masuk ke dalam gedung itu. Sekarang juga. Ini satu-satunya cara untuk menemukan siapa yang memimpin mereka.”
Dengan cepat, Lira berlari menuju pintu belakang gedung. Ares mengikutinya, berlari dengan sigap meski harus berhati-hati menghindari sorotan lampu yang nyaris mencium keberadaan mereka.
Pintu belakang terbuka dengan cepat, memberi mereka jalan untuk masuk. Di dalam, suasana mencekam. Hanya ada suara angin yang merayap lewat celah-celah jendela pecah. Mereka melangkah pelan, menjaga setiap langkah agar tidak menimbulkan suara.
“Lantai bawah,” bisik Lira, menunjuk ke sebuah tangga yang terlihat suram.
Ares mengangguk, dan mereka mulai menuruni tangga gelap itu. Setiap langkah mereka terdengar begitu keras di telinga Ares, seolah mengingatkan mereka bahwa setiap detik yang berlalu adalah detik menuju bahaya.
Begitu mereka sampai di lantai bawah, aroma lembap dan bau besi berkarat menyambut mereka. Di depan, sebuah pintu besar yang terbuat dari baja menanti. Di sebelahnya, layar komputer besar yang menunjukkan peta kota. Lira mendekat, membuka salah satu terminal.
“Ini dia,” katanya dengan suara yang lebih tenang, meski Ares bisa melihat kecemasan di matanya. “Ini data yang kita butuhkan.”
Namun, saat Lira mulai mengetik, layar itu berubah tiba-tiba—pesan baru muncul dengan cepat, sebuah peringatan merah besar yang bertuliskan: “Terlambat.”
Dan di saat yang sama, pintu baja di hadapan mereka terbuka.
Bab 6: Jejak Darah di Rel Kereta
Langit masih gelap ketika Ares dan Lira berlari meninggalkan gedung besar yang kini dipenuhi oleh suara sirene dan langkah kaki yang semakin dekat. Ketika mereka menyentuh tanah, Ares merasakan tubuhnya semakin lelah. Namun, tidak ada waktu untuk berhenti. Setiap detik yang terlewat adalah kesempatan bagi musuh untuk mendekat.
Lira melangkah cepat di sampingnya, wajahnya terlihat serius. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya langkah kaki mereka yang mengiringi keheningan malam. Jalanan di sekitar mereka kini semakin sunyi, hanya ada suara derap sepatu mereka yang menghentak keras di atas trotoar yang basah oleh hujan.
Mereka menyusuri gang-gang sempit, berbelok ke kiri dan kanan, mencoba menghindari peringatan yang pasti datang. Tidak ada tempat yang aman, hanya bayangan yang mengejar dari segala arah. Ares merasakan ketegangan dalam setiap tarikan napasnya.
“Rel kereta di depan,” kata Lira, menunjuk ke arah sebuah persimpangan di ujung jalan.
Ares mengangguk. Rel kereta itu adalah jalur yang harus mereka ambil untuk melarikan diri. Mereka harus sampai ke stasiun kecil yang berada di ujung kota, tempat di mana seorang sekutu menunggu untuk membantu mereka keluar dari kota ini.
Namun, ketika mereka mencapai rel kereta yang terlantar itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ares melihat jejak-jejak darah yang membekas di atas rel, bercampur dengan genangan air yang mengalir. Ada sesuatu yang salah. Jejak darah itu mengarah ke sebuah gudang tua yang terletak di sisi kanan rel.
“Ada yang terjadi di sini,” gumam Ares, berhenti sejenak dan menatap Lira.
Lira mengangguk, tampaknya merasakan hal yang sama. “Kita harus periksa.”
Mereka melangkah menuju gudang tersebut dengan hati-hati, bersembunyi di balik tiang besi dan gerbong kereta yang terparkir. Setiap langkah mereka terdengar begitu keras di tengah sunyinya malam, tetapi mereka tidak bisa mundur.
Begitu mereka mencapai pintu gudang, Ares membuka sedikit pintu kayu yang sudah rapuh itu. Pemandangan yang terbentang di dalamnya membuat mereka terdiam sejenak.
Di tengah gudang yang penuh dengan tumpukan barang bekas, seorang pria tergeletak di lantai, darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Matanya yang terbuka setengah tampak kosong, seperti sudah tidak ada harapan di sana.
“Dia satu dari mereka,” kata Ares dengan nada datar. “Sepertinya dia berusaha melarikan diri.”
Lira mendekat, memeriksa tubuh pria tersebut. “Dia tahu sesuatu yang penting.”
Ares menatap pria itu, merasakan sebuah perasaan aneh. Kejadian ini bukan kebetulan. Semua yang terjadi sejak mereka meninggalkan hotel tua itu adalah bagian dari sebuah permainan yang jauh lebih besar. Sepertinya, mereka hanya pawns dalam catur yang dimainkan oleh musuh tak terlihat.
“Ini jebakan,” kata Ares, merasa ada yang salah dengan situasi ini. “Mereka ingin kita datang ke sini.”
Lira mengangguk, wajahnya semakin tegang. “Kita harus keluar sekarang.”
Tapi, saat mereka berbalik untuk pergi, suara derap langkah kaki terdengar dari luar. Mereka sudah dikepung.
Lira menarik Ares ke balik tumpukan barang besar yang ada di dekat pintu. “Cepat, kita harus bersembunyi.”
Ares dan Lira bersembunyi di balik tumpukan kardus dan papan kayu, berusaha menahan napas mereka. Langkah-langkah itu semakin dekat. Ketika pintu gudang terbuka, dua sosok bersenjata masuk. Mereka berhenti sejenak, memeriksa ruangan dengan teliti.
Ares menahan napas, merasakan detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Mereka tahu, waktu mereka semakin sedikit.
Namun, sebuah suara keras terdengar dari luar—suara kereta yang melaju dengan kencang. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi kacau. Pintu gudang itu tertutup, dan dua pria bersenjata itu bergegas keluar, mengejar kereta yang baru saja melintas.
Ares dan Lira saling berpandangan. Ini adalah kesempatan mereka.
“Ayo,” kata Ares dengan cepat. Mereka berlari menuju rel kereta, mengikuti suara deru kereta yang semakin menjauh.
Namun, saat mereka berlari di atas rel yang sepi itu, Ares merasakan ada sesuatu yang mengintai dari belakang. Jejak darah yang mereka temukan tadi, itu bukanlah milik pria yang tergeletak di gudang. Itu adalah jejak mereka, jejak yang membawa mereka ke dalam pertempuran tanpa akhir.
Dan sekarang, mereka tak bisa mundur lagi.
Bab 7: Kota Mati
Kota itu tampak berbeda di bawah cahaya bulan yang pucat. Seperti sebuah dunia yang terhenti, waktu seolah membeku di antara gedung-gedung runtuh dan jalan-jalan kosong yang hanya dihiasi debu. Ares dan Lira melangkah perlahan, setiap langkah mereka disertai dengan gema yang menakutkan di lorong-lorong kota yang terabaikan ini.
Kota mati. Itulah sebutan yang tepat untuk tempat ini. Tidak ada suara kehidupan. Hanya kesunyian yang menggema, tercipta dari puing-puing masa lalu yang masih berdiri kokoh meskipun terlupakan.
“Apa ini tempatnya?” tanya Ares dengan suara rendah, matanya mengamati sekitar dengan penuh kewaspadaan.
Lira tidak menjawab segera. Ia hanya melangkah lebih cepat, menuntun Ares melalui jalan sempit yang dipenuhi dengan reruntuhan dan sampah. Di sekeliling mereka, tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya bayang-bayang panjang yang terlempar oleh cahaya bulan yang terpecah oleh celah-celah bangunan.
“Tempat ini… dulunya pusat operasi mereka,” jawab Lira akhirnya, suaranya penuh ketegangan. “Semua ini ditinggalkan setelah mereka gagal di sini. Kini, kita hanya berhadapan dengan sisa-sisa mereka.”
Ares menatapnya, sedikit bingung. “Gagal? Maksudmu apa?”
Lira berhenti sejenak, menatap sekeliling. “Ini bukan hanya tempat yang dilupakan. Ini adalah tempat yang disesuaikan dengan tujuan mereka—membuat orang melupakan apa yang terjadi di sini. Dan mereka melakukannya dengan sangat baik.”
“Jadi, siapa yang kita cari di sini?” tanya Ares, berusaha mengalihkan perhatian dari suasana yang semakin menakutkan.
“Seorang informan,” jawab Lira singkat. “Dia tahu lebih banyak tentang siapa yang ada di balik semua ini. Jika kita bisa menemukannya, kita akan tahu apa langkah kita selanjutnya.”
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara-suara aneh mulai terdengar. Sesuatu yang mengerikan di tengah keheningan malam. Ares menahan napasnya, matanya mencari-cari sumber suara itu.
Lira menariknya ke samping, menyembunyikan mereka di balik dinding yang retak. Mereka berdiri dalam hening, hanya terdengar detakan jantung masing-masing yang berdebar dengan cepat. Dari kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat, berat dan teratur. Seseorang—atau lebih—sedang mendekati mereka.
“Ada orang lain di sini,” bisik Ares, suara penuh waspada.
Lira mengangguk, wajahnya berubah serius. “Mereka tahu kita datang.”
Tak lama kemudian, sekelompok pria bersenjata muncul di tikungan jalan. Mereka mengenakan pelindung tubuh dan masker, wajah mereka tersembunyi dalam bayang-bayang malam. Mereka bergerak terkoordinasi, seakan memindai setiap sudut, siap menyerang siapa saja yang mereka anggap ancaman.
Ares menarik Lira mundur sedikit, menyelipkan dirinya di balik tumpukan puing. “Kita harus bergerak cepat.”
Lira menatapnya dengan tatapan tajam, lalu mengangguk. “Ikuti aku.”
Mereka bergerak cepat, berjalan memutar di antara reruntuhan, berusaha menghindari sorotan lampu senter yang berkelap-kelip di udara. Setiap langkah yang mereka ambil harus tepat, hati-hati. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan tua yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Di depan pintu masuk, ada dua penjaga yang tampak berjaga dengan senjata terhunus. Lira menatap pintu itu sebentar, lalu kembali melihat Ares.
“Di dalam sana, informannya. Tapi kita harus menyelinap masuk,” bisiknya.
Ares mengangguk, dan mereka mulai mencari jalan lain menuju ke dalam gedung. Mereka merangkak di sepanjang dinding, bersembunyi dari pandangan para penjaga yang tampak tidak terlalu waspada. Di atas atap gedung yang lebih rendah, mereka menemukan celah untuk masuk ke dalam.
Setelah memanjat dengan hati-hati, mereka akhirnya berada di dalam gedung. Lira mengisyaratkan Ares untuk mengikuti langkahnya. Mereka bergerak cepat melalui lorong sempit yang berbau lembap, dan di setiap sudut, Ares merasakan atmosfer suram yang semakin menebal.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruangan kecil yang terlihat usang dan tak terawat. Di dalamnya, seorang pria duduk terikat di kursi, wajahnya tampak tertekan, namun masih hidup.
Lira mendekat, berbicara dengan suara rendah. “Kau tahu apa yang kami cari.”
Pria itu mengangkat wajahnya yang pucat, matanya memandang penuh ketakutan. “Mereka akan membunuhku begitu kalian pergi… tetapi kalian harus tahu, ada orang di dalam yang lebih berbahaya daripada yang kalian bayangkan. Mereka sudah menyiapkan segala sesuatu.”
“Siapa mereka?” tanya Ares, suaranya keras dan penuh tekanan.
Pria itu menatap mereka, mulutnya bergerak-gerak seolah ingin berbicara, namun tak ada kata yang keluar. Dan sebelum Ares sempat bertanya lebih lanjut, sebuah ledakan keras mengguncang ruangan. Debu berterbangan, dan langit-langit mulai runtuh.
“Ada bom!” teriak Lira, menarik Ares untuk berlari keluar.
Mereka berlari keluar dari gedung yang mulai runtuh, menembus kabut asap yang menyelimuti kota mati itu. Jejak mereka kini tercatat di jalan-jalan hancur kota yang terabaikan, dan mereka tahu, pertempuran besar baru saja dimulai.
Bab 8: Teka-Teki dalam Gua
Kegelapan menyelimuti mereka begitu langkah pertama mereka memasuki gua itu. Suasana yang sunyi dan beku begitu berbeda dengan kekacauan yang baru saja mereka tinggalkan di kota mati. Ares menatap ke depan, hanya melihat bayangan samar dari dinding gua yang dipenuhi oleh stalaktit dan stalagmit yang mengerikan. Suara air yang menetes pelan menambah kesan mencekam, seakan mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan—waktu yang semakin sempit.
“Ini dia,” kata Lira, suara rendah dan tegas. “Tempatnya.”
Mereka telah tiba di tujuan yang telah ditetapkan, sebuah gua tersembunyi di balik pegunungan yang terlupakan, jauh dari hiruk pikuk pertempuran. Namun, meskipun kedamaian luar biasa yang melingkupi tempat itu, Ares merasa ketegangan yang begitu pekat. Gua ini menyimpan lebih dari sekadar kedamaian. Ada rahasia yang tersembunyi jauh di dalamnya—rahasia yang harus mereka pecahkan sebelum terlambat.
“Apa yang sebenarnya kita cari di sini?” tanya Ares, matanya menatap lurus ke dalam kegelapan yang menyelimuti gua. “Kenapa kita harus sampai ke sini?”
Lira menghela napas, menatap Ares dengan ekspresi yang penuh arti. “Ini bukan sekadar soal informasi. Ini soal pengkhianatan yang sudah disiapkan sejak lama. Di dalam gua ini ada sesuatu yang sangat penting—sesuatu yang bisa mengubah segala yang kita ketahui tentang musuh kita.”
Ares mengangguk, meskipun hatinya penuh tanda tanya. “Baiklah, kita harus cepat. Jika musuh menemukan kita di sini, kita akan terperangkap.”
Lira berjalan lebih dulu, menerangi jalur mereka dengan senter kecil yang menggantung di pinggangnya. Cahayanya memantul di dinding-dinding gua yang lembab, menciptakan bayangan aneh yang bergerak seolah hidup. Setiap langkah mereka membawa ketegangan yang semakin menambah gelisah.
Mereka memasuki ruang yang lebih luas di dalam gua, dan tiba-tiba Ares berhenti. Di depannya, ada sebuah batu besar yang tampak berbeda dari batu-batu lainnya. Batu itu tampak seperti penutup sebuah pintu rahasia. Di atasnya terdapat ukiran-ukiran yang samar, hampir tak terlihat, seolah-olah sengaja disembunyikan.
“Lihat ini,” kata Ares, menunjuk ke ukiran yang hampir tersembunyi oleh lapisan debu dan lumut. “Ini… apa maksudnya?”
Lira mendekat, menyentuh ukiran itu dengan hati-hati. “Ini bukan sekadar ukiran biasa. Ini adalah pesan. Pesan yang dikirimkan oleh orang-orang yang tahu tentang gua ini—dan mereka yang sudah tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Pesan apa?” tanya Ares, semakin bingung.
Lira menatapnya dengan serius. “Pesan yang hanya bisa dibaca oleh orang yang benar-benar mengerti—dan hanya mereka yang siap menghadapi apa yang ada di baliknya.”
Ares merasakan perasaan aneh, sebuah firasat yang semakin kuat. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kenapa mereka harus melalui semua ini? Apa yang mereka cari sebenarnya? Lira tampak tahu lebih banyak, tetapi Ares merasakan bahwa ia hanya diberi petunjuk kecil-kecil, tanpa jawaban pasti.
Dengan hati-hati, Lira mulai menekan beberapa bagian dari batu tersebut. Ketika salah satu bagian tertekan, terdengar suara gemuruh yang dalam, dan batu itu mulai bergerak. Perlahan, sebuah pintu tersembunyi terbuka, memperlihatkan lorong gelap yang lebih dalam lagi. Mereka berdua saling pandang, dan tanpa kata-kata lagi, mereka melangkah maju.
Di dalam lorong tersebut, suasana semakin gelap dan sesak. Langkah kaki mereka menggema di dinding-dinding gua, dan semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak suara-suara aneh yang terdengar—seperti bisikan halus yang berasal dari kedalaman gua itu sendiri.
Ketika mereka tiba di ujung lorong, sebuah ruang terbuka muncul di hadapan mereka. Namun, ruang itu bukan ruang kosong. Di tengahnya, sebuah altar kuno berdiri tegak, dikelilingi oleh simbol-simbol yang tak bisa mereka pahami. Di atas altar itu, terdapat sebuah kotak besi yang terkunci rapat.
“Apa itu?” tanya Ares, suaranya serak karena rasa penasaran yang semakin dalam.
Lira mengangkat bahunya, matanya tajam menatap kotak itu. “Itulah yang kita cari. Tapi kita tidak bisa membukanya begitu saja. Hanya orang tertentu yang bisa mengaksesnya.”
Ares mendekat, matanya tertuju pada kotak itu. “Apa yang ada di dalamnya?”
Lira menatap Ares dengan serius. “Jawaban untuk semua pertanyaan kita. Semua yang terjadi selama ini. Semua yang mereka sembunyikan.”
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, terdengar suara keras dari belakang mereka. Suara langkah kaki yang berat, datang semakin dekat. Musuh mereka telah tiba.
“Waktu kita habis,” kata Lira, dengan nada yang penuh urgensi.
Ares menghela napas, merasakan tekanan yang semakin besar. Mereka tidak punya banyak waktu lagi untuk memecahkan teka-teki ini. Dengan cepat, Lira meraih sebuah kunci kecil yang tergantung di lehernya dan menghampiri altar. Di bawah cahaya senter, mereka melihat ada sebuah celah kecil di bawah kotak besi itu, tempat di mana kunci harus dimasukkan.
Namun, pada saat yang bersamaan, pintu gua di belakang mereka terbuka dengan suara gemuruh. Langkah-langkah berat menghentak tanah, dan Ares tahu, mereka sudah tidak memiliki pilihan lain selain melawan.
Bab 9: Serangan Balik
Gua itu kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, hanya suara langkah kaki musuh yang semakin dekat yang memecah kesunyian. Ares dan Lira berdiri tegang di depan altar kuno, tatapan mereka tertuju pada kotak besi yang terkunci. Namun, kegelisahan mereka semakin meningkat saat suara langkah itu semakin jelas terdengar, mendekat dengan cepat.
Ares menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Waktu mereka semakin habis. Mereka hanya memiliki beberapa detik sebelum para pengejar mereka tiba. “Lira, kita harus segera membuka kotak itu,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Lira mengangguk cepat, tangan gemetar saat meraih kunci kecil dari dalam saku jaketnya. “Aku tahu. Tapi… aku butuh waktu.”
Di belakang mereka, suara langkah kaki semakin keras, seolah ada ratusan orang yang mendekat, menggema di seluruh gua. Lira memasukkan kunci ke dalam celah kotak, namun pintu itu tidak terbuka dengan mudah. Ares merasakan ketegangan yang memuncak. Waktu terus berjalan, dan mereka semakin terpojok.
“Cepat, Lira!” desak Ares, matanya terus memindai ke arah pintu gua yang terbuka lebar, siap menampung pasukan yang semakin banyak. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama di sini!”
Lira menahan napas, memutar kunci dengan hati-hati. Suara deritan logam memenuhi udara seiring dengan pembukaan kotak tersebut. Ketika akhirnya kotak itu terbuka, sebuah cahaya redup menyinari wajah mereka. Di dalam kotak, terdapat sebuah dokumen yang tertulis dengan tinta merah, serta sebuah perangkat kecil yang terlihat seperti alat komunikasi.
Ares dengan cepat meraih dokumen itu, membacanya dengan terburu-buru. “Ini… informasi tentang operasi mereka! Semua yang kita cari!” Suaranya penuh kelegaan, namun ketegangan tetap meliputi suasana.
Namun, kelegaan itu hanya bertahan sekejap. Dari kejauhan, sebuah teriakan terdengar, menggeletar di udara, diikuti oleh dentuman keras yang memekakkan telinga. Pintu gua yang terbuka itu kini dipenuhi oleh bayang-bayang yang bergerak cepat—pasukan musuh telah tiba.
“Ares, kita harus pergi!” seru Lira, wajahnya berubah tegang.
Namun, Ares menatapnya, ragu. “Kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menghentikan mereka!”
Dengan mantap, Ares meraih senjata di pinggangnya dan memeriksa persiapannya. “Lira, buka jalan. Aku akan menahan mereka.”
Lira tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk, meskipun matanya penuh kekhawatiran. Dia tahu betul bahwa melawan musuh di sini berarti membahayakan nyawa mereka. Tetapi pilihan lain tidak ada. Mereka harus bertahan.
Dalam sekejap, kedua tangan mereka sudah menggenggam senjata, siap menghadapi serangan yang tak terhindarkan. Musuh sudah di depan mata. Bayang-bayang yang mereka lihat semakin mendekat, dan kini mereka bisa melihat dengan jelas—setidaknya sepuluh orang bersenjata lengkap, bergerak dengan teratur. Mereka adalah pasukan elit yang siap untuk menghabisi siapa pun yang menghalangi jalan mereka.
Lira bergerak cepat, memimpin Ares menyusuri sisi gua yang lebih sempit. Mereka mencari titik yang bisa dimanfaatkan untuk menyerang balik. Tanpa banyak bicara, mereka mulai bergerak dengan presisi, menghindari jebakan yang dipasang oleh musuh di jalan yang lebih terbuka.
Ketika pasukan musuh semakin dekat, Lira mengangkat tangannya sebagai isyarat. “Siap!”
Dengan kecepatan tinggi, Ares melompat ke depan, melepaskan tembakan pertama yang tepat mengenai salah satu penjaga yang tengah berjalan di barisan depan. Suara tembakan itu menggema, membelah kesunyian gua, diikuti dengan balasan tembakan dari arah musuh.
“Jaga jarak!” seru Lira, mengarahkan Ares ke tempat yang lebih terlindung. Mereka berdua melompat ke samping, bersembunyi di balik batu besar yang terletak di sisi gua. Suara tembakan terus bergema, namun Ares dan Lira berhasil menghindari sebagian besar peluru yang menghujam ke dinding gua.
Sementara itu, pasukan musuh mulai menyerang dengan lebih terkoordinasi, mencoba mengepung mereka dari beberapa arah. “Mereka semakin banyak,” kata Ares, suara penuh peringatan. “Kita tidak bisa bertahan selamanya.”
Lira menatap sekeliling dengan tajam, mencari celah yang bisa dimanfaatkan. “Kita harus bergerak! Ikuti aku!”
Lira memimpin, melompat dari tempat persembunyian, dan meluncurkan serangan balik yang cepat. Dengan akurasi tinggi, dia menembak satu per satu, menjatuhkan beberapa anggota pasukan musuh yang terlalu dekat. Sementara itu, Ares menahan tembakan dari sisi lain gua, memastikan agar musuh tidak mengepung mereka dari belakang.
Namun, meskipun mereka berhasil menjatuhkan beberapa pasukan, jumlah musuh yang datang semakin banyak. Mereka tidak bisa terus bertahan dalam posisi yang terpojok ini. Lira merasakan desakan waktu yang semakin mencekam. Mereka harus menemukan jalan keluar, dan cepat.
“Ke sana!” seru Lira, menunjuk ke lorong sempit di sisi gua yang seolah tak terlihat dari luar. “Ayo!”
Dengan cepat, mereka berlari menuju lorong itu, menyusuri jalan sempit yang semakin gelap dan tertutup. Suara tembakan terdengar semakin jauh, namun mereka tahu, pasukan musuh akan terus mengejar mereka.
Lira dan Ares melanjutkan pelarian mereka, seolah tak ada lagi jalan mundur. Namun, di dalam kegelapan gua ini, satu hal yang pasti—serangan balik mereka baru saja dimulai.
Bab 10: Mata-mata di Antara Kita
Keheningan menyelimuti mereka begitu mereka melangkah keluar dari lorong sempit gua itu. Ares dan Lira, dengan nafas terengah-engah dan tubuh yang penuh dengan keringat, akhirnya sampai di sebuah tempat yang lebih terbuka. Namun, meskipun mereka selamat dari pertempuran di dalam gua, ketegangan belum berakhir. Ares masih merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak beres. Seperti ada mata yang mengawasi mereka dari jauh, sebuah perasaan yang meresahkan dan tak bisa diabaikan.
“Di sini aman… untuk sementara,” kata Lira, namun nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Dia sendiri merasa gelisah, ada sesuatu yang tak beres. Ares dapat merasakannya.
“Tapi itu cuma sementara, kan?” jawab Ares, matanya tajam memeriksa sekeliling mereka. “Mereka pasti akan segera menemukan kita.”
Lira mengangguk, tetapi dalam hati, dia merasakan keresahan yang lebih dalam lagi. “Ada sesuatu yang lebih buruk dari itu, Ares. Kita tidak hanya dikejar oleh musuh, tapi juga mungkin… ada seseorang di antara kita yang bekerja untuk mereka.”
Ares menatapnya tajam. “Maksudmu, ada mata-mata di dalam tim kita?”
Lira hanya mengangguk pelan, wajahnya serius. “Kita tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Semua orang tampak seperti sekutu, tapi bisa jadi salah satu dari mereka telah berkhianat. Dan itu bisa berakhir dengan kematian kita.”
Ares merasakan hawa dingin merayap di tubuhnya. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat. Mereka telah berada dalam bahaya sejak lama, tetapi ancaman yang lebih besar—pengkhianatan di dalam barisan mereka sendiri—adalah sesuatu yang lebih mengerikan lagi. Apakah mereka telah salah mempercayai orang-orang di sekitar mereka?
“Jadi, siapa yang kita curigai?” tanya Ares, nada suaranya mengandung ketegangan.
Lira diam sejenak, menatap tanah, seolah mencari jawaban yang tak mudah ditemukan. “Ada banyak kemungkinan. Beberapa orang dalam tim kita memiliki hubungan yang tidak jelas dengan musuh. Dan kita tahu bahwa mereka tidak akan ragu untuk memanfaatkan orang-orang seperti itu.”
Ares merasakan ketegangan yang semakin memuncak. “Jika ada mata-mata, bagaimana kita bisa tahu siapa dia? Apakah kita harus memeriksa setiap orang?”
Lira menggelengkan kepala. “Itu bukan solusi, Ares. Kita tidak bisa langsung menuduh tanpa bukti. Tapi satu hal yang pasti, kita harus lebih berhati-hati. Setiap langkah kita harus dipertimbangkan dengan matang.”
Di tengah obrolan mereka, sesuatu yang mencurigakan terjadi. Dari arah belakang mereka, terdengar suara langkah kaki. Langkah yang cepat, teratur—seperti seseorang yang tahu persis di mana mereka berada. Ares dan Lira langsung terdiam, saling bertukar pandang. Suara itu datang semakin dekat.
Dengan gesit, mereka bersembunyi di balik batu besar yang ada di samping jalan. Ares menggenggam senjatanya dengan erat, siap jika terjadi serangan mendadak. Lira juga tidak kalah siap. Keheningan yang mencekam memenuhi udara, setiap detik terasa begitu lama.
Akhirnya, sosok yang mereka curigai muncul di depan mereka—seorang pria yang mengenakan jaket hitam, dengan wajah yang terbalut bayangan. Dia melangkah tanpa suara, seakan tahu persis ke mana harus menuju.
“Siapa dia?” bisik Ares, matanya tetap waspada.
“Dia salah satu anggota tim kita,” jawab Lira dengan suara rendah, tetapi matanya penuh keraguan. “Dia… seharusnya tidak berada di sini.”
Ares merasakan ketegangan yang mengalir ke seluruh tubuhnya. “Dia bukan bagian dari tim kita. Dia orang yang bekerja untuk musuh.”
Lira menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. “Kita tidak bisa langsung bertindak tanpa bukti. Kita harus menyelidiki lebih dalam.”
Namun, Ares sudah tidak sabar lagi. Ketika sosok itu semakin dekat, dia menahan napas dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya. “Hey!” teriaknya, menegur pria itu dengan keras. “Berhenti!”
Pria itu terkejut dan berbalik, namun ekspresinya tidak menunjukkan ketakutan. Sebaliknya, wajahnya malah terlihat tenang, seolah dia sudah tahu akan ada yang menghadangnya. Dalam sekejap, dia mengeluarkan senjata, mengarahkannya ke Ares.
“Jangan bergerak,” kata pria itu dengan suara datar, namun tegas. “Kalian sudah terjebak.”
Lira, yang telah siap dengan senjatanya, menanggapi dengan cepat. “Kau pikir kami bodoh?” katanya, matanya tajam. “Kami tahu kau bukan bagian dari tim ini. Kami tahu kau bekerja untuk mereka.”
Pria itu hanya tersenyum, senyum yang penuh kecemasan. “Kalian terlalu terlambat. Sudah ada yang mengawasi kalian sejak awal. Kini, semuanya berakhir.”
Ares merasa darahnya berdesir. Mereka benar-benar terperangkap. Mata-mata itu bukan hanya salah satu dari mereka, tetapi seseorang yang telah merencanakan semuanya dari awal—sebuah pengkhianatan yang jauh lebih besar dari yang mereka kira.
Namun, sebelum mereka bisa bertindak lebih lanjut, suara tembakan terdengar, dan tubuh pria itu ambruk ke tanah. Lira berdiri tegak, senjata masih terarah ke tubuh pria itu. “Tidak ada tempat untuk pengkhianat di sini,” katanya dengan dingin.
Ares memandang Lira dengan perasaan campur aduk—kaget, lega, tetapi juga semakin khawatir. Siapa lagi di antara mereka yang bisa jadi pengkhianat? Dan seberapa dalam musuh mereka telah menyusup ke dalam barisan mereka?
“Ini baru permulaan, Ares,” kata Lira, tatapannya penuh tekad. “Kita harus menggali lebih dalam, dan kita harus lebih hati-hati. Mereka tidak akan berhenti di sini.”
Dengan langkah yang mantap, mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka, kini lebih berhati-hati dan waspada. Tetapi bayang-bayang pengkhianatan yang mengintai mereka akan terus membayangi, dan mereka tahu bahwa setiap langkah berikutnya bisa jadi yang terakhir.
Bab 11: Pengepungan Neraka
Pagi itu, udara terasa lebih tebal dari biasanya, seolah ada sesuatu yang menyelimuti kota dengan kegelapan. Ares dan Lira berjalan dengan cepat menyusuri jalan sempit di distrik yang sudah lama terlupakan. Di antara gedung-gedung yang tampak seperti bangunan tua yang hampir runtuh, mereka merasa semakin dekat dengan tujuan mereka. Tetapi kegelisahan di hati Ares tidak dapat disembunyikan. Mereka tahu bahwa waktu mereka semakin habis.
“Lira, kita harus bergerak lebih cepat. Kalau tidak, kita akan terperangkap di sini,” kata Ares dengan nada tegas, matanya melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada ancaman yang mendekat.
Lira menatapnya, wajahnya serius. “Aku tahu, Ares. Tapi kita tidak tahu apa yang menunggu di depan sana. Kita sudah dihadang beberapa kali, dan mereka semakin pintar.”
Ares mengangguk, merasakan ketegangan yang membungkus tubuhnya. Mereka tahu musuh sudah mengetahui jejak mereka. Kali ini, bukan hanya sebuah serangan biasa yang mereka hadapi—ini adalah pengepungan yang terencana dengan cermat. Mereka telah jatuh ke dalam perangkap.
Suara-suara berat terdengar dari ujung jalan, sebuah tanda bahwa pasukan musuh mulai bergerak. Di atas mereka, langit yang biasanya cerah kini dipenuhi awan kelabu, menambah kesan mencekam yang semakin mengintensifkan ketegangan.
“Ares, kita tidak punya banyak pilihan lagi,” kata Lira dengan suara rendah, mengeluarkan senjata dari sabuk pinggangnya. “Jika mereka sudah mengetahui keberadaan kita, kita harus siap melawan.”
Ares menarik napas dalam-dalam. “Kita sudah berada di dalam zona mati. Mereka sudah mengepung seluruh area ini. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan terperangkap tanpa bisa melarikan diri.”
Lira mengangguk setuju. Mereka telah merencanakan ini, tetapi tak seorang pun di antara mereka yang siap menghadapi kenyataan bahwa musuh mereka begitu dekat dan semakin kuat. Dinding-dinding kota ini terasa semakin menutup, dan suara tembakan dari kejauhan semakin jelas terdengar, tanda bahwa pasukan musuh sudah mulai menyerbu.
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Lira dengan penuh penekanan.
“Kita harus menuju ke markas yang terletak di belakang gedung ini. Itu satu-satunya tempat yang bisa kita gunakan untuk bertahan. Kita akan menyusun serangan balik dari sana,” jawab Ares, suaranya penuh keyakinan meskipun keadaan semakin suram.
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara langkah kaki yang berat terdengar semakin dekat. Mereka tahu, musuh sudah mendekat dan tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi. Dari atas gedung-gedung tinggi, bayang-bayang pasukan musuh mulai terlihat. Mereka sudah mengepung setiap sudut kota ini dengan taktik yang begitu rapi.
Ares dan Lira mengendap-endap menuju sisi belakang gedung yang mereka tuju, berusaha untuk tidak terlihat oleh para penjaga musuh. Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah ledakan keras mengguncang tanah. Debu dan puing-puing beterbangan, menambah kekacauan di sekitar mereka. Tanpa peringatan, tembakan mulai menghujani area itu, memaksa mereka bersembunyi di balik sebuah dinding besar.
“Dari arah mana?” tanya Ares dengan suara gemetar, matanya berkeliling, mencari sumber tembakan.
Lira merespons dengan cepat, menunduk dan memeriksa kondisi sekitar. “Dari atas gedung! Mereka menyergap kita dari udara!”
Ares merasakan darahnya mendidih. “Kita harus melawan. Jika kita biarkan mereka mengambil alih, semuanya akan berakhir.”
Tanpa banyak bicara, keduanya segera berlari menuju titik strategis di sudut jalan, tempat mereka bisa melawan. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan ketegangan, sementara tembakan dari atas terus membombardir tempat mereka bersembunyi. Ares tahu bahwa musuh kini semakin dekat, namun dia tidak punya pilihan selain bertarung.
“Pasukan musuh pasti datang dalam jumlah besar,” kata Lira, suara penuh peringatan. “Kita harus bertahan lebih lama, Ares. Tidak ada lagi waktu untuk mundur.”
Ares mengangguk, dan mereka berdua mulai mempersiapkan diri. Senjata sudah terpasang di tangan, penuh tekad untuk bertahan hidup. Beberapa pasukan musuh mulai bergerak turun dari gedung tinggi, menyebar di sepanjang jalan yang mereka lewati.
Dengan cepat, Ares dan Lira beraksi. Serangan pertama yang mereka lancarkan begitu tepat sasaran—dua pasukan musuh terjatuh sebelum mereka sempat memberi perlawanan. Namun, musuh terus datang, semakin banyak dan semakin terorganisir.
Serangan itu seperti memicu badai. Ledakan demi ledakan mengguncang tanah, tembakan yang membabi buta menghujani setiap sudut kota yang kini berubah menjadi medan perang. Dalam sekejap, mereka terjebak di tengah pengepungan yang tak terhindarkan.
Ares menyarankan agar mereka berlari ke sudut jalan yang lebih sempit, mencoba menghindari serangan dari berbagai arah. Namun, mereka tahu bahwa pilihan mereka semakin terbatas. Pasukan musuh semakin mendekat, dan waktu mereka semakin habis.
“Ini adalah pertarungan hidup mati, Lira,” kata Ares dengan suara penuh tekad. “Jika kita tidak bisa keluar hidup-hidup dari sini, maka kita akan mati di tempat ini.”
Lira menatapnya, matanya penuh ketegangan. “Aku tahu. Tapi kita akan bertarung sampai titik darah penghabisan.”
Dengan semangat yang sama, mereka berdua melawan dengan sekuat tenaga. Setiap tembakan, setiap langkah, mereka rasakan sepenuhnya. Tidak ada jalan mundur lagi. Mereka hanya punya satu pilihan—bertahan dan melawan.
Ketika pertempuran semakin intens, Ares merasa tubuhnya semakin lelah. Namun, satu hal yang terus membara dalam dirinya adalah tekad untuk melindungi Lira dan misi mereka. Mereka sudah begitu dekat dengan tujuan, dan jika mereka bisa bertahan sedikit lebih lama, ada harapan di ujung terowongan ini.
Saat pasukan musuh semakin mendekat, Ares dan Lira saling bertukar pandang, tahu bahwa ini adalah ujian terbesar mereka. Dalam pengepungan neraka ini, mereka akan menguji keberanian, kekuatan, dan kelangsungan hidup mereka.
Namun, di balik semua ini, sebuah pertanyaan yang tak terjawab terus menghantui Ares: Siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini?
Bab 12: Menuju Perbatasan
Matahari mulai merunduk di balik pegunungan yang jauh, memberi tanda bahwa malam akan segera menyelimuti tanah yang gersang ini. Ares dan Lira melangkah dengan hati-hati di sepanjang jalan berbatu yang terjal. Debu yang beterbangan membuat udara terasa semakin kering, dan setiap langkah yang mereka ambil terasa begitu berat. Namun, mereka tahu bahwa perbatasan yang mereka tuju adalah satu-satunya harapan yang tersisa.
“Masih jauh, Ares?” tanya Lira, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin yang menusuk kulit.
Ares menatap peta usang di tangannya, mengendus bau tanah yang pecah akibat kekeringan. “Sekitar lima belas kilometer lagi,” jawabnya singkat, meskipun ia tahu bahwa rintangan yang mereka hadapi tidak akan semudah itu. “Tapi kita harus berhati-hati. Wilayah ini sudah dipenuhi patroli musuh.”
Lira mengangguk, matanya berkeliling, memastikan tidak ada yang mengintai. Setiap suara yang terdengar membuatnya lebih waspada. Wilayah yang mereka masuki bukan hanya rawan karena keberadaan musuh, tetapi juga karena kondisi alam yang keras. Wilayah perbatasan ini adalah tempat yang tidak ramah bagi siapa pun yang berusaha melintasinya.
“Jika mereka sudah mendekat, kita tidak punya banyak waktu,” kata Lira, menambah ketegangan yang sudah menyelimuti mereka.
Ares menatap jauh ke depan, memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Mereka sudah melewati banyak rintangan, tapi perbatasan ini adalah ujian terakhir yang harus mereka lewati. Jika mereka berhasil melewati ini, mungkin saja mereka bisa mendapatkan sedikit harapan untuk keluar hidup-hidup dari pengejaran yang tak berkesudahan ini.
Di kejauhan, mereka melihat bayangan yang bergerak cepat. Mungkin patroli musuh, mungkin bukan. Namun, mereka tidak bisa mengambil risiko. Dengan gerakan yang terlatih, Ares dan Lira menepi ke sisi jalan, bersembunyi di balik tumpukan batu yang besar. Mereka berbaring diam, menahan napas, berharap agar bayangan itu tidak menyadari keberadaan mereka.
Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Suara langkah kaki semakin mendekat, namun akhirnya bayangan itu berhenti. Ares merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Mereka harus tetap diam, menunggu kesempatan yang tepat untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sebuah teriakan tiba-tiba memecah keheningan malam.
“Di sana! Ada dua orang!” suara itu datang dari belakang mereka, menandakan bahwa musuh telah menemukan jejak mereka.
Ares dan Lira tidak punya pilihan lagi. Mereka melompat dari tempat persembunyian dan berlari cepat menuju lereng yang curam. Di belakang mereka, suara tembakan terdengar, menderu seperti hujan peluru yang mengincar tubuh mereka. Tanpa menoleh, mereka terus berlari, memanfaatkan setiap kesempatan untuk bersembunyi di balik bebatuan besar.
“Lari! Jangan berhenti!” teriak Ares, meskipun suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh tembakan. Mereka harus cepat, atau mereka akan tertangkap.
Namun, tanah yang mereka pijak semakin terjal, dan tidak ada tempat yang aman untuk bersembunyi. Di depan mereka, sebuah lembah terbuka muncul, namun melintasinya akan membuka mereka ke posisi yang lebih buruk. Ares tahu mereka harus mencari jalan lain, meskipun itu berarti harus menghindari pertempuran langsung.
“Sebelum kita mencapai lembah itu, kita harus mengalihkan perhatian mereka,” kata Lira, wajahnya tegang namun penuh tekad.
“Apa rencanamu?” tanya Ares, tetap berlari namun sambil memperhatikan pergerakan musuh.
Lira berhenti sejenak, menatap sekitar dengan cermat. “Ada sebuah gua kecil di sebelah kanan. Jika kita bisa mencapai sana tanpa terlihat, kita bisa mengecoh mereka.”
Ares memandangnya sejenak, membaca tekad di matanya. Tanpa kata, mereka berdua berbelok ke kanan, berlari sejauh mungkin menuju gua yang Lira sebutkan. Suara tembakan semakin dekat, dan rasa cemas semakin menghantui mereka. Gua kecil itu tidak akan bisa menahan musuh untuk waktu yang lama, tapi itu adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk bertahan.
Saat mereka tiba di pintu gua, Ares memeriksa sekitar. Mereka berada di tempat yang cukup tersembunyi, tetapi bukan berarti aman. Lira memeriksa senjatanya, memastikan semuanya dalam kondisi siap.
“Kita harus bertahan di sini sampai mereka lewat,” bisik Lira, meskipun suaranya penuh kecemasan.
Namun, Ares tahu bahwa waktu mereka semakin habis. Patroli musuh sudah terlalu dekat. Mereka tidak bisa terus bersembunyi selamanya. “Kita harus bergerak lagi,” katanya dengan suara rendah. “Kita akan menuju lembah itu. Itu satu-satunya jalan ke perbatasan.”
Lira mengangguk, meskipun keraguan masih ada di matanya. “Tapi kita tidak bisa langsung ke lembah itu tanpa strategi. Kita harus menyusun serangan balik.”
Ares menghela napas. “Kita tidak punya banyak pilihan lagi, Lira. Ini adalah satu-satunya cara.”
Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, mereka akhirnya keluar dari gua dan melanjutkan perjalanan. Namun, kali ini mereka tidak hanya berlari; mereka bergerak dengan hati-hati, menggunakan setiap bayangan dan setiap lekukan tanah untuk bersembunyi.
Lima kilometer lagi menuju perbatasan, dan Ares tahu bahwa mereka harus bertahan hidup lebih lama lagi. Setiap langkah yang mereka ambil semakin berat, tetapi harapan mereka untuk sampai ke perbatasan adalah satu-satunya pendorong mereka saat ini.
Di kejauhan, lampu-lampu patroli musuh mulai terlihat. Tembakan demi tembakan terdengar lagi, dan Ares bisa merasakan keringat mengalir di tengkuknya. Ini adalah saat terakhir bagi mereka—perbatasan yang sudah mereka impikan kini begitu dekat, tetapi juga begitu jauh.
“Ini adalah perjalanan terakhir kita, Lira,” kata Ares, suaranya tegas meskipun ada rasa cemas yang menggantung di udara. “Kita akan tembus.”
Dengan semangat yang membara, mereka melangkah maju, menembus kegelapan malam yang semakin tebal, menuju perbatasan yang sudah menunggu di depan mereka—tempat di mana semuanya bisa berakhir, atau justru dimulai kembali.
Bab 13: Musuh dalam Bayangan
Malam semakin gelap, dan suhu udara di perbatasan semakin menurunkan suhu tubuh Ares dan Lira. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar, berirama pelan namun pasti. Meski mereka telah berhasil meloloskan diri dari serangan sebelumnya, ketegangan tidak pernah hilang. Mereka tahu, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pasukan musuh yang mengincar mereka.
“Aku merasa ada yang mengawasi kita,” kata Lira, sambil menatap ke arah hutan yang gelap di sebelah kiri mereka. Matanya menyipit, waspada, seolah-olah bayangan yang tak terlihat dapat muncul kapan saja.
Ares menanggapi dengan anggukan pelan. “Aku juga merasakannya. Musuh kita kali ini bukan hanya manusia biasa. Mereka tahu bagaimana bersembunyi, dan mereka tidak akan memberikan perlawanan langsung.” Suaranya rendah, namun penuh keyakinan. Ia sudah menghadapi banyak musuh, namun kali ini berbeda. Musuh yang mereka hadapi seakan bisa muncul dari mana saja, menjadikan setiap langkah mereka terasa seperti permainan tebak-tebakan yang mematikan.
Mereka berjalan melalui semak-semak yang semakin lebat, suasana semakin mencekam. Hanya cahaya dari lampu kecil yang mereka bawa yang menerangi jalan. Tiba-tiba, Ares menghentikan langkahnya. Ia menyentuh bahu Lira dengan gerakan yang sangat hati-hati. “Diam.”
Lira langsung berhenti, menyadari ada yang tidak beres. Mereka berdiri di tengah hutan, terdiam sejenak, menunggu. Tidak ada suara kecuali desiran angin yang membawa aroma tanah basah dan daun yang berguguran.
Ares perlahan menunduk, memeriksa jejak di tanah. “Ini baru saja dibuat,” katanya, menunjuk pada jejak kaki yang samar di tanah lembab. Jejak itu tidak biasa. Mereka tidak menyerupai jejak manusia biasa, melainkan lebih cermat dan terarah, seolah sengaja dibuat untuk mengelabui.
“Tunggu,” Lira berkata sambil merasakan suhu udara yang aneh. Ada getaran di udara, seolah ada sesuatu yang sedang mengintai mereka. “Kita sedang diburu,” ucapnya, semakin yakin.
Ares menarik napas panjang. Musuh kali ini tidak akan terperangkap oleh jebakan atau pengepungan biasa. Mereka sudah terbiasa bersembunyi di bayangan, menunggu peluang untuk menyerang. Keberadaan mereka akan tetap tersembunyi sampai saat yang tepat untuk bergerak.
“Jika mereka tahu kita dekat, mereka pasti sudah menyiapkan serangan,” kata Ares sambil menatap sekeliling. Hatinya berdebar kencang. Tidak seperti biasanya, ia tidak bisa merasakan kehadiran musuh secara langsung. Bahkan dengan indra tajam yang ia miliki, semuanya terasa kabur, seolah mereka dikelilingi oleh bayangan yang tak dapat dijangkau.
Di saat itu, sebuah suara keras terdengar, seperti sesuatu yang terjatuh di antara pepohonan. Ares dan Lira segera mengalihkan perhatian mereka, bersembunyi di balik pohon besar. Mereka berbaring datar, menahan napas, berusaha menyatu dengan kegelapan.
Beberapa detik berlalu, namun tidak ada gerakan apapun. Hanya keheningan yang terasa semakin menekan dada mereka. “Kita harus cepat,” bisik Lira. “Mereka sedang memerangkap kita.”
Ares mengangguk, namun sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara pelan terdengar dari arah belakang mereka. “Kalian pikir kalian bisa melarikan diri?”
Keduanya langsung berbalik, namun tidak ada siapa-siapa di depan mereka. Angin malam berhembus kencang, menyapu dedaunan yang berguguran. Namun, Ares tahu, suara itu berasal dari seseorang yang berada di dekat mereka—sangat dekat, bahkan mungkin dalam jarak beberapa meter.
Dengan sigap, Ares menarik Lira menuju semak-semak yang lebih lebat, berlindung di balik akar pohon yang besar. Mereka berbaring dalam diam, menunggu gerakan musuh yang semakin mendekat.
Sekelompok bayangan bergerak di antara pepohonan. Mereka bergerak dengan terampil, seolah bagian dari hutan itu sendiri. Ares mengerutkan kening. Itu bukan pasukan biasa. Mereka adalah spesialis, para pemburu yang terlatih dalam menghilang dalam bayangan. Mereka bukan hanya bertarung dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan kecerdikan dan kemampuan untuk menghilang di dunia yang penuh perangkap ini.
Lira mengusap pelan pelipisnya. “Musuh kita… mereka adalah bayangan.”
“Aku tahu,” jawab Ares, dengan nada yang lebih tegas. “Mereka tidak akan menyerang langsung. Mereka ingin kita merasa terpojok dulu.”
Dengan strategi yang sudah teruji, Ares mulai menyusun rencana. Ia menarik pedang dari pinggangnya dan memberikannya kepada Lira. “Kita harus berpisah. Aku akan mengalihkan perhatian mereka, sementara kamu mencari tempat yang lebih aman.”
Lira menatapnya, wajahnya penuh keraguan. “Ares, jangan. Kita harus menghadapi mereka bersama.”
Ares tersenyum tipis, meskipun ketegangan terasa. “Aku tahu apa yang harus dilakukan. Jangan khawatir. Aku akan kembali.”
Sebelum Lira bisa berkata lagi, Ares sudah bergerak, melompat keluar dari tempat persembunyian mereka, berlari menuju tempat yang lebih terbuka. Gerakannya cepat dan terarah, menyadari betul bahwa inilah kesempatan untuk mengalihkan perhatian musuh.
Begitu Ares membuat gerakan besar, musuh langsung bereaksi. Tembakan pertama melesat ke arahnya, tetapi ia sudah menghindar, bergerak lebih cepat dari bayangan yang mengintai mereka. Lira berlari ke arah lain, memanfaatkan kesempatan itu untuk menjauh dan mencari posisi yang lebih baik.
Perangkap pun dimulai.
Dalam kegelapan malam, pertempuran antara manusia dan bayangan ini berlangsung dalam diam yang mematikan. Terkadang, hanya sebuah suara gesekan ranting yang terdengar sebelum tembakan dilepaskan. Namun, meskipun sepertinya mereka bisa melihat bayangan musuh, kehadiran mereka tetap terasa jauh dan tidak terjangkau.
Ares tahu bahwa malam ini akan menjadi ujian terberat bagi mereka. Musuh yang mereka hadapi kali ini tidak akan menyerah begitu saja. Mereka akan terus mengintai, mengikuti jejak mereka, dan membuat mereka semakin terpojok. Tetapi Ares dan Lira juga tidak akan mundur. Mereka sudah terlalu jauh untuk berhenti.
Ketegangan terus meningkat, dan saatnya untuk menghadapi musuh dalam bayangan ini semakin dekat. Apakah mereka akan berhasil keluar dari perangkap ini, ataukah mereka akan terperangkap di dalamnya?
Bab 14: Perhitungan Terakhir
Hujan turun deras di malam yang kelam, seperti aliran darah yang menyapu bumi. Keheningan malam itu dipenuhi dengan suara derasnya air yang jatuh, menutup segala suara yang dapat membeberkan posisi mereka. Ares berdiri tegak di tengah-tengah reruntuhan bangunan, menatap garis batas yang semakin mendekat.
Di hadapannya, pasukan musuh sudah siap. Mereka mengenakan pelindung tubuh yang kuat dan membawa senjata yang sudah dipersiapkan untuk pertempuran terakhir. Namun, kali ini, Ares tidak merasa takut. Di dalam dirinya, hanya ada satu tujuan: mengakhiri semua ini.
Lira berdiri di sampingnya, matanya tajam menatap ke depan, siap untuk bergerak. Mereka telah menyiapkan segala sesuatu untuk momen ini—perhitungan terakhir. Tidak ada lagi ruang untuk kesalahan.
“Aku sudah menyiapkan segala sesuatu,” kata Ares sambil memeriksa kembali senjatanya. Tangannya terampil meraih peluru dan memasukkannya ke dalam chamber senjata. Matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan tekad yang bulat. “Malam ini, kita akan mengakhiri semuanya.”
Lira mengangguk, meskipun rasa cemasnya masih jelas di wajahnya. Ia tahu betul apa yang ada di depan mereka. Musuh kali ini bukan hanya berjumlah lebih banyak, tetapi mereka juga dipimpin oleh seseorang yang sudah lama menjadi bayangan dalam hidup mereka—seseorang yang mereka kenal baik, namun harus dilawan. Sang pemimpin, seorang mantan rekan Ares, yang kini menjadi musuh yang paling berbahaya.
“Dia akan datang,” Lira berkata, suaranya bergetar, namun matanya menunjukkan keberanian yang luar biasa. “Kita harus siap untuk apa pun.”
Ares mengalihkan pandangannya ke arah jauh, tempat musuh telah mulai bergerak maju. Bayang-bayang pasukan yang tersembunyi di balik kabut dan reruntuhan semakin mendekat. Setiap langkah mereka terdengar seperti dentuman jantung Ares. Tidak ada yang bisa disembunyikan sekarang. Tidak ada jalan mundur.
Ares meraih radio kecil yang terhubung dengan pasukan mereka yang tersebar di sekitar area. “Bersiaplah. Ini adalah pertempuran terakhir. Jangan biarkan satu pun dari mereka lolos.” Suaranya dalam, namun penuh komando. Setiap kata yang diucapkan adalah instruksi yang harus dijalankan dengan ketepatan penuh.
Lira menatap Ares dengan penuh keyakinan. “Kita akan menang. Tidak ada yang bisa menghentikan kita sekarang.”
Namun, Ares hanya tersenyum tipis. “Kemenangan tidak akan datang tanpa pengorbanan.” Kata-katanya itu seperti menandakan bahwa ia sudah siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Pertempuran dimulai. Ledakan pertama terdengar menggelegar saat pasukan musuh melepaskan tembakan pertamanya. Ares dan Lira segera berlari menyelamatkan diri, bersembunyi di balik bangunan yang hancur. Dengan gerakan gesit, mereka menghindari tembakan yang datang dari berbagai arah, namun mereka tahu bahwa musuh sudah mengetahui posisi mereka. Waktu mereka semakin terbatas.
“Ada di atas!” Lira berteriak sambil menunduk. Ares melihat ke arah yang ditunjuk Lira, dan dalam sekejap, sebuah tembakan sniper melesat, hampir mengenai kepalanya. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah melompat ke samping, menghindar dari serangan mematikan tersebut.
“Dua sniper di atas atap. Kita harus menghilangkan mereka dulu,” kata Ares dengan cepat.
Lira mengangguk. Mereka sudah merencanakan setiap gerakan mereka. Dengan cepat, mereka bergerak menuju bangunan yang lebih tinggi, menembus hujan dan kegelapan. Setiap detik, darah mereka semakin dipenuhi dengan adrenalin, setiap napas yang diambil semakin mengarah pada perhitungan yang sudah lama mereka tunggu.
Ares melompat ke atas atap pertama, menjejakkan kaki dengan hati-hati. Matanya menyapu seluruh atap, mencari tanda-tanda pergerakan. Tiba-tiba, sebuah bayangan gelap muncul di sisi kanan, dan Ares langsung mengarahkan senjatanya. Dua ledakan keras terdengar, dan dua sniper tersebut terjatuh ke bawah, tak bergerak lagi.
“Sekarang giliran kita,” Ares berbisik pada dirinya sendiri. Ia melompat turun, bergabung kembali dengan Lira. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, keduanya bergerak menuju pusat pertempuran.
Namun, saat mereka tiba di pusat, ada sesuatu yang mereka tidak perhitungkan. Sosok yang sangat mereka kenal, sosok yang telah lama menjadi bayangan dalam hidup mereka, kini berdiri di hadapan mereka—Reynard, mantan rekan Ares yang kini menjadi pemimpin musuh.
Reynard tersenyum sinis, matanya memancarkan kebencian yang tak terbayangkan. “Ares, Lira… kita akhirnya bertemu lagi. Sudah lama kita tidak saling berhadapan. Kalian benar-benar pikir kalian bisa melarikan diri dariku?”
Ares menatapnya dengan dingin, meskipun dalam hatinya ada perasaan campur aduk. Reynard adalah sahabatnya, dan sekarang ia adalah musuh yang harus dihentikan. Namun, rasa sakit di dalam hati Ares tak bisa dihindari. Ini adalah pertempuran yang jauh lebih berat, karena melawan Reynard berarti menghancurkan sebagian dari dirinya sendiri.
“Kita tidak melarikan diri, Reynard,” Ares menjawab tegas. “Kita akan mengakhiri semua ini malam ini.”
Dengan cepat, Reynard memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Namun, Ares dan Lira sudah siap. Senjata mereka terarah, dan dengan perhitungan yang matang, mereka mulai melawan.
Ledakan demi ledakan menghantam medan pertempuran. Kecepatan, kecerdikan, dan ketepatan gerakan mereka menjadi kunci dalam pertempuran ini. Namun, saat Reynard melompat ke tengah pertempuran, ia memegang senjata yang berbeda—senjata yang sangat personal. Sebuah pisau yang terbuat dari baja hitam, pisau yang pernah mereka gunakan bersama dalam misi pertama mereka.
“Ares, kau tahu ini bukan sekadar pertempuran. Ini adalah penghianatan,” kata Reynard, suaranya penuh emosi.
Ares menggenggam pedangnya lebih erat. “Semua ini tidak ada hubungannya dengan pengkhianatan. Ini tentang siapa yang benar.”
Saat mereka saling berhadapan, kilatan pedang dan pisau bersilang di udara, saling menembus kegelapan malam yang penuh dengan hujan. Tidak ada lagi jalan mundur, hanya ada satu perhitungan terakhir yang harus dilakukan.
Perhitungan terakhir—di mana hanya satu yang bisa keluar hidup-hidup.
Bab 15: Bebas atau Mati
Hujan semakin deras, seolah langit pun ikut merasakan ketegangan yang mencekam di bumi. Ares berdiri tegak di tengah medan pertempuran yang kacau balau, tubuhnya basah kuyup, darah bercampur lumpur menempel di wajahnya. Waktu terasa berjalan sangat lambat, detak jantungnya terdengar jelas di telinga, berpadu dengan deru hujan dan suara letusan tembakan yang semakin mendekat. Di hadapannya, hanya ada satu pilihan: bebas atau mati.
Reynard, musuh yang dulunya sahabat, berdiri tak jauh darinya. Tatapan mereka saling bertemu—ada kebencian yang mendalam di dalam mata Reynard, sementara Ares hanya bisa menatapnya dengan tekad yang bulat. Ini adalah saat yang mereka tunggu-tunggu. Perhitungan terakhir, di mana hanya satu yang bisa bertahan hidup.
“Ares, kau memang tidak tahu diri,” kata Reynard, suaranya penuh dengan kebencian yang terpendam selama ini. “Kau tidak tahu apa yang benar. Kau terlalu terikat dengan kode moralmu yang ketinggalan zaman. Dunia ini sudah berubah, Ares. Ini bukan lagi tentang benar atau salah. Ini tentang siapa yang bisa bertahan hidup.”
Ares mengangkat dagunya, matanya menyala dengan kemarahan yang tak terkendali. “Kau benar, Reynard. Dunia ini memang berubah. Tapi tidak semua perubahan itu harus mengorbankan kemanusiaan kita. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan apa yang masih tersisa dari dunia ini.”
Ares merasakan bebannya semakin berat. Keputusan untuk melawan Reynard bukanlah hal yang mudah. Meskipun ia tahu bahwa musuhnya itu adalah seorang pria yang pernah ia percayai, ia juga tahu bahwa perjuangan mereka sudah tidak bisa lagi dihentikan. Hanya ada satu jalan untuk mengakhiri semua ini—menghentikan Reynard selamanya.
Reynard tertawa, suaranya penuh amarah dan ironi. “Kau pikir itu mudah? Kau kira aku akan menyerah begitu saja? Kau bisa saja mati di sini, seperti yang sudah aku rencanakan. Semua ini adalah permainan yang sudah kuatur sejak awal. Kau hanya tinggal menghadapinya.”
“Tapi aku tidak akan kalah, Reynard. Ini bukan permainan, ini adalah kenyataan. Dan kenyataan adalah aku akan hidup, dan kau akan mati,” jawab Ares, suaranya tegas, penuh tekad.
Dengan gerakan cepat, Ares melompat ke depan, pedang terhunus, bersiap untuk serangan terakhir. Reynard juga bergerak dengan cepat, menghindari serangan Ares dan memanfaatkan setiap celah yang ada untuk melawan. Pertarungan mereka menjadi semakin sengit, dengan kilatan pedang yang saling beradu di tengah kegelapan malam.
Setiap gerakan mereka seperti tarian maut—serangan demi serangan silih berganti, cepat dan mematikan. Hujan yang terus mengguyur membuat medan pertempuran semakin licin, namun mereka tetap bergerak dengan kecepatan yang tak terbayangkan, seolah dunia sekitar mereka tak ada artinya selain fokus pada satu tujuan: saling mengalahkan.
Lira yang berada di sisi Ares, meskipun terluka, terus memberikan dukungan dengan menembakkan senjatanya ke arah musuh yang mendekat. Tembakannya tepat sasaran, melumpuhkan beberapa pasukan Reynard yang berusaha mendekat. Namun, Ares tahu bahwa ia harus segera menyelesaikan pertarungan ini, karena semakin lama mereka bertarung, semakin banyak pasukan musuh yang akan datang.
Ares bergerak cepat, memanfaatkan momentum serangan Reynard yang terlalu percaya diri. Dalam sekejap, ia berhasil mengalahkan senjata musuh dan mendekati Reynard. Hanya dalam hitungan detik, mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. Ares tahu ini adalah momen yang menentukan.
“Reynard… ini adalah akhir dari perjalanan kita,” kata Ares dengan suara yang penuh kelelahan, namun mantap.
Reynard menatap Ares dengan tatapan penuh kebencian, namun di matanya juga terlihat keputusasaan. “Kau tidak bisa membunuhku, Ares. Aku adalah bagian dari dirimu. Tanpa aku, kau bukan siapa-siapa.”
Ares merasakan perasaan aneh memenuhi dadanya—perasaan yang bercampur antara kasih sayang, rasa bersalah, dan kebencian. Reynard memang bagian dari masa lalunya, namun bukan berarti ia harus dibiarkan hidup untuk terus merusak masa depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Ares menembus pertahanan Reynard, menyelesaikan pertempuran ini dengan satu tusukan yang mengakhiri nyawa musuhnya. Saat tubuh Reynard terjatuh ke tanah, sebuah keheningan yang mencekam menyelimuti medan pertempuran. Hujan masih turun dengan deras, namun Ares merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya. Kemenangan ini terasa hampa.
Lira mendekat dengan langkah lemah, menatap Ares dengan mata yang penuh pengertian. “Kau berhasil, Ares. Kita bebas.”
Ares hanya mengangguk, merasa berat di hatinya. Kebebasan itu memang teraih, tetapi dengan harga yang sangat tinggi. Banyak yang telah hilang, dan banyak yang harus dibayar dengan darah. Dia menatap ke langit yang masih dipenuhi awan gelap, dan menyadari bahwa perjuangannya belum berakhir. Bebas, ya—tetapi harga kebebasan itu adalah sebuah harga yang tak bisa dihitung dengan mudah.
“Apa sekarang kita bebas, Ares?” tanya Lira dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Aku tidak tahu, Lira,” jawab Ares pelan. “Tapi kita masih hidup. Itu saja yang penting.”
Mereka berdiri di tengah medan pertempuran yang sunyi, di antara reruntuhan dan tubuh yang bergelimpangan. Bebas, atau mati—mereka telah memilih untuk hidup. Dan meskipun dunia di sekitar mereka hancur, ada secercah harapan di ujung gelapnya malam.***
——————————–THE END——————————–