Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga
Amelia berdiri di pelataran rumah lamanya, menatap sekeliling dengan perasaan campur aduk. Ia sudah bertahun-tahun meninggalkan desa ini—desa yang dulu penuh dengan kenangan masa kecilnya. Namun kini, ia kembali dengan tujuan yang berbeda. Hidup di kota besar, dengan segala hiruk-pikuknya, tak lagi memberikan kepuasan yang ia harapkan. Keputusan untuk pulang ke desa terbersit karena rasa lelah yang semakin menguasai dirinya. Mungkin, di sini, ia bisa menemukan kedamaian yang hilang.
Hembusan angin pagi menyapa wajahnya, membawa serta bau tanah yang lembap, khas desa yang selama ini hanya ia rindukan dalam bayangan. Amelia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi desa. Mengingat kembali jalan-jalan kecil yang dulu ia lewati bersama teman-temannya, atau saat ia bermain sepeda di tengah ladang hijau yang luas.
Namun, ketika ia melintasi jalan setapak yang menuju pasar desa, langkahnya terhenti sejenak. Ada sosok pria yang sedang berbicara dengan beberapa orang di dekat warung kopi. Pakaian yang dikenakan pria itu sangat sederhana: kaos oblong lusuh dan celana panjang bekas yang sudah sedikit robek di bagian lutut. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang membuat Amelia terpesona. Pria itu tidak tampak seperti kebanyakan orang di desa ini. Ada sesuatu yang khas, sesuatu yang berbeda dari pria-pria lain yang biasa ia lihat di sini.
“Arkan!” Terlihat seorang pria lain mendekati pria itu dan memberi salam hangat. Arkan? Nama itu terdengar familiar di telinga Amelia. Ia mulai berusaha mengingat, apakah ia pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Amelia?” Seorang wanita yang ada di dekat warung kopi menghampirinya, mengenali wajahnya yang sudah lama tak muncul di desa. Amelia tersenyum tipis, berusaha mengenali wajah wanita tersebut.
“Amelia, anak Pak Herman, kan? Sudah lama sekali, ya? Kami dengar kamu sudah menetap di kota besar,” ujar wanita itu sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah memberikan penghormatan yang dalam kepada gadis yang sudah tumbuh dewasa ini.
“Betul, Bu, saya baru saja kembali. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” jawab Amelia dengan nada yang lembut, meskipun ada rasa canggung yang tiba-tiba muncul.
Sebelum percakapan mereka berlanjut, wanita tersebut mengalihkan pandangannya ke arah Arkan, yang sedang berbincang dengan beberapa orang. “Itu Arkan, anak petani yang sekarang menjadi kepala desa muda di sini. Dia sudah lama tidak pulang, tapi beberapa bulan belakangan, dia aktif membantu banyak hal di desa,” ujar wanita tersebut dengan penuh kekaguman.
Amelia menoleh ke arah pria yang disebutkan, dan seketika matanya tertumbuk pada wajahnya. Arkan memiliki mata yang tajam, seolah bisa menembus kedalaman jiwa seseorang hanya dengan tatapan. Rambutnya yang hitam legam dan sedikit berantakan seolah mencerminkan kehidupan yang sederhana dan keras. Namun, ada kesan kuat dan tegas yang terpancar darinya. Amelia tidak bisa memungkiri, ada daya tarik yang sulit dijelaskan.
Beberapa detik berlalu sebelum Amelia sadar, bahwa ia terlalu lama menatap Arkan tanpa alasan yang jelas. Dalam hati, ia merasa agak canggung, namun juga penasaran. Kenapa ia merasa seperti mengenalnya, meskipun baru pertama kali melihatnya setelah bertahun-tahun?
Tiba-tiba, Arkan menoleh ke arahnya, dan mata mereka bertemu. Ada tatapan singkat yang membuat jantung Amelia berdegup lebih cepat dari biasanya. Arkan tersenyum, senyum yang sederhana, namun entah kenapa terasa begitu menenangkan. Amelia membalas senyuman itu, meskipun ia merasa sedikit kikuk.
“Selamat datang kembali, Amelia,” sapa Arkan dengan suara yang dalam dan hangat. Suaranya terdengar begitu akrab, meskipun mereka belum pernah berbicara sebelumnya.
“Terima kasih, Arkan,” jawab Amelia dengan suara yang sedikit tercekat, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam dirinya. “Sudah lama kita tidak bertemu, ya?”
“Ya, sudah cukup lama,” jawab Arkan, masih dengan senyum yang sama. “Semoga pulang kali ini membawa kedamaian untukmu.”
Amelia hanya tersenyum kecil, namun dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam ucapan Arkan. Seolah-olah pria itu tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia pikirkan. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti ada sesuatu yang terhubung di antara mereka meskipun baru pertama kali bertemu setelah sekian lama.
Pertemuan itu berlanjut dengan percakapan ringan yang melibatkan beberapa orang lain di sekitar mereka. Namun, meskipun percakapan berjalan dengan lancar, Amelia merasa pikirannya terus tertuju pada sosok Arkan. Setiap kata yang diucapkannya, setiap gerakan tubuhnya, terasa begitu familiar, namun juga penuh misteri. Ada banyak hal yang ingin Amelia ketahui tentang Arkan, tentang masa lalunya, tentang bagaimana ia bisa menjadi seperti sekarang. Namun, ia tahu bahwa itu bukan saat yang tepat untuk bertanya.
Setelah beberapa saat, percakapan pun selesai. Orang-orang mulai kembali ke aktivitas mereka masing-masing, dan Amelia merasa sedikit ragu untuk melanjutkan obrolan dengan Arkan. Ia merasa canggung, meskipun ada dorongan kuat untuk mendekatinya lebih jauh. Namun, akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Arkan di tengah keramaian pasar.
Namun, sebelum Amelia melangkah lebih jauh, Arkan menghampirinya lagi. “Amelia,” panggilnya dengan lembut.
Amelia menoleh. “Ya?”
“Jika ada waktu, mungkin kita bisa berbicara lebih banyak lagi,” ujar Arkan, dengan tatapan yang penuh harapan. “Saya senang bisa bertemu denganmu lagi.”
Amelia terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum. “Tentu, Arkan. Saya juga senang bisa bertemu denganmu lagi.”
Mereka saling tersenyum, dan meskipun pertemuan itu singkat, ada rasa yang berbeda yang muncul di hati Amelia. Sesuatu yang membuatnya merasa penasaran, sekaligus membuatnya merasa nyaman. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pria bernama Arkan.
Dengan langkah yang ringan, Amelia melanjutkan perjalanannya, namun hatinya tak bisa berhenti memikirkan pertemuan yang tak terduga itu. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dan mengapa pertemuan ini terasa begitu penting dalam hidupnya?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.*
Bab 2: Jejak Masa Lalu
Amelia duduk di bangku kayu di halaman rumah tua milik keluarganya, matanya mengamati sekeliling dengan rasa nostalgia yang menyelubungi hatinya. Di balik pohon mangga yang tumbuh besar di depan rumah, tampak ladang hijau yang dulu sering ia jelajahi bersama teman-temannya saat kecil. Suasana desa yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota besar membawa kembali memori-memori lama yang sempat terkubur dalam ingatannya.
Hujan gerimis mulai turun, membuat udara di sekitarnya menjadi lebih segar. Amelia menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi kedamaian yang mulai terasa di sekitarnya. Namun, meskipun desa ini terasa menyambutnya dengan tangan terbuka, ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang belum tuntas. Sesuatu yang harus ia hadapi.
Di sana, di tengah keramaian pasar dan kebiasaan lama yang tak berubah, Amelia teringat pada masa lalu yang selama ini ia coba lupakan. Masa lalu yang melibatkan seorang pria bernama Arkan. Nama itu kembali mengalir dalam pikirannya, membuat hatinya berdebar-debar tanpa bisa ia jelaskan. Pria itu—yang dulu pernah begitu dekat dengannya—kini telah berubah, sama seperti dirinya.
Ia teringat jelas, saat masih remaja, Arkan adalah anak petani yang tinggal di desa ini. Mereka tumbuh bersama, bermain, berbagi cerita di bawah pohon yang sama. Namun, hidup mereka berbeda. Arkan selalu menjadi anak yang penuh semangat, penuh harapan untuk merubah hidupnya. Sementara Amelia, yang dibesarkan dalam keluarga yang lebih mapan, merasa hidupnya berjalan terlalu mudah. Ia tak pernah tahu tantangan seperti yang dihadapi Arkan.
Waktu berlalu, dan kehidupan membawa mereka ke jalan yang berbeda. Amelia melanjutkan sekolah ke kota, mengejar impian-impian besar yang tak pernah ia bicarakan dengan siapapun. Ia ingin menjadi seseorang yang lebih, lebih dari sekadar gadis desa yang hidup dalam bayang-bayang tradisi. Arkan? Ia memilih untuk tinggal di desa, membantu orang tuanya, dan mengikuti jejak yang sudah ada.
Namun, meskipun jarak dan waktu memisahkan mereka, ada satu kenangan yang terus menghantui Amelia. Sebelum ia pergi ke kota, ada sebuah kejadian yang membuatnya tidak bisa melupakan Arkan. Suatu malam, saat mereka berdua duduk bersama di bawah bintang, Arkan berkata sesuatu yang hingga kini masih terngiang di telinganya.
“Aku ingin kita tetap bersama, Amelia,” kata Arkan saat itu, dengan mata penuh harapan dan ketulusan.
Amelia terdiam. Hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa Arkan adalah pria yang baik, yang mengerti dirinya lebih dari siapa pun. Namun, dia juga tahu bahwa hidupnya di kota akan jauh lebih sulit jika ia terikat dengan seseorang di sini. Ia takut akan menjadi seperti ibu dan ayahnya yang terjebak dalam rutinitas yang sama setiap hari. Dan yang paling ia takutkan adalah jika ia tidak bisa mengejar impian-impian yang sudah ia buat sendiri.
“Saya tidak bisa, Arkan. Kamu tahu itu,” jawabnya pelan, merasa ada beban di dalam dadanya. “Aku harus pergi. Aku harus melanjutkan hidupku.”
Arkan hanya terdiam, seolah menelan kata-kata itu dalam diam. Saat itu, Amelia merasa dunia seakan berhenti berputar. Hatinya terasa hancur, tapi ia tahu itu adalah pilihan yang harus ia buat. Sesuatu yang harus ia hadapi untuk masa depannya.
Setelah malam itu, mereka tak pernah lagi berbicara tentang perasaan mereka. Amelia pergi ke kota, dan Arkan melanjutkan kehidupannya di desa. Mereka berdua, meski sering teringat satu sama lain, tak pernah lagi berusaha untuk bertemu. Hingga beberapa tahun kemudian, ketika Amelia mendengar kabar bahwa Arkan kini menjadi kepala desa muda, ia merasa ada bagian dari dirinya yang belum selesai.
Sekarang, di tengah ketenangan desa ini, Amelia kembali bertemu dengan Arkan. Perasaan yang sempat terkubur dalam dirinya mulai muncul kembali, meskipun ia berusaha keras untuk menahannya. Arkan telah menjadi sosok yang sangat berbeda. Tidak hanya dari segi penampilan, tetapi juga cara dia berbicara dan melihat hidup. Semua itu menggugah Amelia untuk merenung kembali tentang hidupnya, tentang apa yang ia pilih, dan apakah keputusan yang ia ambil dahulu benar.
Amelia tahu, ia tidak bisa mengabaikan masa lalu begitu saja. Jejak-jejak yang ditinggalkan Arkan di hidupnya begitu dalam, meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan dan melanjutkan hidup. Arkan bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga bagian dari cerita yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.
Saat kembali ke rumah orangtuanya, Amelia merasa gelisah. Rumah ini, yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan, kini terasa kosong. Hanya ada kenangan-kenangan yang menghantui. Ia merasakan perasaan yang begitu dalam, seolah ada sesuatu yang belum ia selesaikan.
Pulang ke desa, berjumpa dengan Arkan lagi, mengingatkan Amelia pada satu hal yang selama ini ia hindari: bahwa kehidupan tidak selalu bisa diprediksi, bahwa setiap keputusan yang diambil memiliki konsekuensi. Tak ada yang bisa diubah, dan setiap jejak yang tertinggal di masa lalu akan selalu menjadi bagian dari diri kita.
Melihat Arkan tadi pagi, seolah memberikan sebuah tanda bahwa mungkin, ada kesempatan kedua bagi mereka. Namun, Amelia tahu bahwa ini bukan sekadar tentang perasaan, melainkan tentang perjalanan hidup yang harus mereka jalani masing-masing. Apakah mereka masih bisa menemukan jalan yang sama, ataukah setiap langkah mereka akan tetap terpisah oleh waktu dan keputusan-keputusan yang telah mereka ambil?
Pertemuan dengan Arkan membuka kembali pintu-pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Pintu yang membawa Amelia kembali pada pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya: Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dan apakah penantian itu sebanding dengan apa yang telah hilang dalam perjalanan hidupnya?
Amelia tahu satu hal: di balik setiap pintu yang tertutup, ada cerita yang masih harus diungkap. Dan mungkin, di balik pintu yang terbuka, ia akan menemukan jawabannya.*
Bab 3: Menggali Kenangan
Amelia melangkah dengan perlahan menyusuri jalan setapak di belakang rumah orangtuanya, yang dulu sering ia jelajahi saat masih kecil. Setiap langkah yang ia ambil membawa dirinya kembali ke masa lalu, ke waktu yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan yang tak tergantikan. Namun, kini suasana itu terasa begitu berbeda. Tepi jalan yang dulunya penuh dengan bunga warna-warni kini hanya menyisakan rerumputan yang tumbuh liar. Seiring dengan perubahan waktu, tak ada yang bisa menghindar dari kenyataan bahwa segala sesuatu pasti berubah.
Angin yang berhembus lembut menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah yang familiar. Ia berhenti sejenak di bawah pohon besar yang tumbuh di halaman belakang rumah. Pohon itu adalah saksi bisu perjalanan hidupnya, tempat ia dan Arkan sering berdiam diri di waktu-waktu senggang. Kenangan itu kembali terlintas dalam benaknya, seolah membawanya ke masa lalu yang penuh emosi.
Dulu, di bawah pohon inilah mereka berbicara tentang banyak hal—mimpi, harapan, bahkan ketakutan yang mereka simpan dalam hati masing-masing. Arkan selalu menjadi sosok yang mampu membuat Amelia merasa lebih hidup, meskipun waktu itu mereka masih muda dan belum sepenuhnya mengerti arti kehidupan. Tetapi, saat itu, mereka merasa tak ada yang bisa memisahkan mereka. Segalanya terasa begitu sederhana, begitu indah.
Tapi, sebagaimana setiap cerita, waktu tidak pernah bisa berhenti. Amelia teringat kembali pada hari yang memutuskan segalanya. Saat ia harus meninggalkan desa ini, meninggalkan Arkan dan semua kenangan yang ada. Ada rasa sesal yang mendalam ketika ia ingat bagaimana dirinya dulu menolak untuk bertahan, memilih jalan yang tak pasti di kota besar demi mengejar impian yang terkadang tak jelas. Waktu itu, semua yang ada di desa ini tampak terlalu sempit untuknya. Ia merasa harus keluar, untuk bisa berkembang, untuk bisa menjadi sesuatu yang lebih besar.
Namun, perasaan yang kini muncul dalam dirinya mengungkapkan sesuatu yang berbeda. Kembali ke desa ini, bertemu dengan Arkan lagi, membuat Amelia sadar bahwa ada banyak hal yang selama ini ia lewatkan. Mungkin, dalam keputusannya untuk mengejar cita-cita, ia telah mengabaikan bagian dari dirinya yang lebih penting: hubungan manusia, ikatan emosional yang tak tergantikan oleh apapun.
Dengan langkah yang semakin lambat, Amelia melangkah lebih dalam menuju rumah lamanya. Setiap ruangan di dalam rumah itu seolah menyimpan jejak-jejak kenangan yang tak bisa dihapus begitu saja. Dinding yang dulu penuh dengan foto-foto keluarga kini hanya menyisakan bingkai kosong. Meskipun demikian, setiap sudut rumah ini tetap menyimpan cerita. Ia bisa merasakan betapa kuatnya ikatan yang terjalin di sini, meskipun kini tinggal kenangan.
Amelia berjalan menuju ruang tamu yang dulu sering menjadi tempat berkumpul bersama orang tuanya. Ia duduk di salah satu kursi tua di sudut ruangan itu, menatap ruang kosong di depan mata. Di tempat inilah ia dan Arkan sering duduk bersama, berbicara tentang masa depan, meskipun mereka tahu bahwa masa depan itu penuh dengan ketidakpastian. Arkan selalu memberikan harapan dan keberanian, sementara Amelia lebih sering ragu dengan keputusan-keputusannya. Mereka saling melengkapi, saling mengisi, dan itulah yang membuat ikatan mereka begitu kuat.
Namun, takdir berkata lain. Ketika Amelia memutuskan untuk meninggalkan desa ini, Arkan tetap tinggal. Waktu berlalu, dan kehidupan mereka berjalan di jalannya masing-masing. Arkan tetap menjadi sosok yang ia kenal—tetap berjuang untuk masa depan desa dan keluarga. Namun, Amelia merasa bahwa Arkan telah menjadi bagian dari hidupnya yang terkubur dalam kenangan. Ada perasaan yang tak pernah benar-benar hilang, meskipun waktu dan jarak telah memisahkan mereka.
Melihat foto-foto lama yang tergeletak di atas meja, Amelia teringat pada suatu pertemuan yang terjadi bertahun-tahun lalu. Saat itu, ia dan Arkan duduk bersama di bangku taman, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Arkan menceritakan tentang perjuangannya menghidupi keluarganya, tentang cita-cita yang ingin ia capai untuk desa ini, sementara Amelia menceritakan impian-impian besarnya di kota. Meskipun mereka saling mendukung, Amelia tahu bahwa jalan mereka tak akan selalu searah. Ia memilih untuk pergi, untuk mengejar sesuatu yang lebih besar, meskipun itu berarti meninggalkan Arkan di balik.
Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, Amelia merasa bahwa keputusan itu tak semudah yang ia bayangkan. Memilih untuk mengejar impian di kota bukanlah keputusan yang salah, tetapi ia mulai menyadari bahwa ia telah mengorbankan sesuatu yang tak ternilai. Arkan adalah bagian dari hidupnya yang ia coba lupakan, tetapi setiap kali kembali ke desa ini, kenangan itu selalu muncul kembali.
Amelia menutup matanya sejenak, merasakan perasaan campur aduk yang kini hadir dalam hatinya. Arkan bukan hanya seseorang yang pernah ia kenal di masa lalu. Ia adalah bagian dari dirinya, bagian dari cerita yang tak bisa dihapus meskipun berusaha sekeras apapun. Kenangan itu terus membekas, meskipun waktu telah berlalu begitu lama.
Ketika Amelia membuka matanya, ia menyadari bahwa meskipun ia telah memilih jalan hidup yang berbeda, perasaan itu tetap ada. Perasaan yang dulu ia rasa, perasaan yang dulu ia takutkan, kini kembali muncul dengan kuat. Sepertinya, ia belum sepenuhnya meninggalkan masa lalu itu. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin kembali, ingin memperbaiki apa yang telah hilang.
Ia bangkit dari kursi itu dan berjalan keluar, menyusuri halaman yang dulu ia kenal. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, seakan mengingatkannya pada hari-hari yang telah berlalu. Langkahnya terasa lebih ringan, namun hatinya dipenuhi dengan pertanyaan besar: Apakah sekarang saat yang tepat untuk menggali kenangan itu lagi?*
Bab 4: Cinta yang Tak Terucapkan
Amelia duduk di tepi jendela kamar, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Angin sore yang berhembus lembut menerpa wajahnya, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Di kejauhan, langit tampak memudar dengan warna jingga keemasan, menandakan senja yang datang perlahan. Sementara itu, di dalam hatinya, perasaan yang sama sekali tidak bisa ia ungkapkan terus menggelora.
Cinta. Kata itu terasa asing, sekaligus sangat akrab. Amelia tahu persis apa yang dirasakannya, tetapi ia tidak pernah bisa mengatakannya dengan kata-kata. Bukan karena ia tidak ingin, tapi karena perasaan itu terlalu besar, terlalu dalam, dan terlalu menakutkan untuk diungkapkan. Ada bagian dari dirinya yang merasa cemas, takut bahwa perasaan itu mungkin hanya akan menghancurkannya jika ia mengungkapkannya.
Di dalam dirinya, cinta ini selalu terpendam. Tumbuh dan berkembang dalam diam, seiring berjalannya waktu. Ini adalah cinta yang tidak pernah dia ungkapkan, bahkan meskipun perasaan itu begitu kuat. Arkan. Namanya muncul dalam pikirannya setiap saat, seperti bayangan yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. Tidak ada hari tanpa dia, dan tidak ada malam yang lengkap tanpa memikirkan tentangnya.
Amelia mengingat betapa sulitnya bagi dirinya untuk mengakui perasaan itu, bahkan kepada dirinya sendiri. Dia selalu menganggap bahwa mungkin cinta itu tidak seharusnya hadir, atau mungkin waktunya yang belum tepat. Sejak ia memutuskan untuk meninggalkan desa dan pergi ke kota besar, ia merasa bahwa dirinya harus fokus pada masa depan, pada cita-cita yang telah ia bangun. Namun, semakin lama ia mencoba untuk melupakan Arkan, semakin besar perasaan itu menguasai dirinya. Tidak ada yang bisa menghapusnya. Tidak ada yang bisa menggantikan tempat Arkan di hatinya.
Suatu ketika, di bawah pohon besar yang dulu sering mereka datangi bersama, Amelia mencoba untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Seolah ada dinding yang menghalangi, dan ia takut untuk merobohkannya. Arkan juga seolah tahu betul tentang perasaan yang tak terucapkan itu. Meskipun mereka tidak pernah berbicara langsung tentang cinta, ada sebuah keterhubungan yang begitu dalam di antara mereka. Keduanya hanya terdiam, membiarkan perasaan itu berkembang tanpa perlu kata-kata.
Namun, Amelia tahu bahwa meskipun perasaan itu ada, ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketakutan dan keraguan. Ia harus jujur kepada dirinya sendiri. Setelah sekian lama hidup dengan kebingungannya, Amelia memutuskan untuk kembali ke desa ini, berharap bisa menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Mungkin ini saat yang tepat, ia berpikir, untuk menghadapi perasaannya, meskipun itu berarti membuka kembali luka yang pernah ia coba tutup.
Ketika ia bertemu Arkan beberapa hari yang lalu, perasaan itu kembali muncul begitu kuat. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatapan yang penuh makna. Arkan seolah menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Amelia, meskipun dia tidak tahu apa itu. Namun, Amelia merasa bahwa ia tidak bisa lagi melarikan diri. Cinta ini sudah terlalu dalam untuk disembunyikan.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga, Amelia duduk di beranda rumah, menyaksikan bintang-bintang yang berkelip di langit. Arkan tidak jauh darinya, duduk di kursi kayu di sebelah rumah, menatap ke arah yang sama. Kedua hati mereka terhubung dalam diam, tanpa perlu berbicara. Amelia merasa ada kehangatan yang muncul di dalam dirinya, kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin ini saatnya.
Dengan langkah perlahan, Amelia mendekat dan duduk di samping Arkan. Mereka hanya terdiam, menikmati keheningan malam. Dalam keheningan itu, perasaan mereka seolah terhubung dalam cara yang tidak bisa dijelaskan. Mereka saling memandang, dan untuk pertama kalinya, Amelia merasa bahwa semua kata-kata yang selama ini ia tahan tidak lagi diperlukan. Cinta itu, meskipun tak terucapkan, ada di antara mereka.
“Amelia,” suara Arkan memecah keheningan malam. Amelia menoleh padanya, matanya bertemu dengan mata Arkan yang penuh dengan kehangatan dan kerinduan. “Aku tahu kamu pergi karena alasanmu sendiri. Aku tahu kamu punya impian yang harus dikejar, dan aku menghormati itu. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku di sini, menunggu.”
Kata-kata Arkan menyentuh hati Amelia. Betapa selama ini, ia merasa bahwa Arkan sudah melupakan dirinya, bahwa dia tidak lagi menjadi bagian dari hidup Arkan. Namun, ternyata, perasaan itu masih ada, bertahan meskipun waktu telah berlalu begitu lama.
Amelia menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Arkan,” jawabnya dengan suara serak. “Aku takut, aku takut jika aku mengungkapkan perasaan ini, itu akan menghancurkan semuanya. Aku takut jika kita mencoba untuk bersama, kita hanya akan menyakiti satu sama lain.”
Arkan mengulurkan tangannya, menangkup wajah Amelia dengan lembut. “Kadang-kadang, kita harus berani untuk menghadapi ketakutan kita. Jangan biarkan waktu yang terbuang sia-sia hanya karena ketakutan akan sesuatu yang belum tentu terjadi.”
Amelia menatap Arkan dengan mata yang penuh haru. Cinta yang selama ini ia sembunyikan kini terasa begitu nyata. Ia tahu, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan semua keraguan dan membuka hatinya. Dalam pelukan Arkan, ia merasa aman. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada cinta yang terucapkan dalam diam, yang kini akhirnya bisa ia terima dan rasakan sepenuhnya.*
Bab 5: Rintangan yang Menghadang
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun di dalam hati Amelia, ketidakpastian terus menggerogoti. Cinta yang telah ia pendam begitu lama, akhirnya ia ungkapkan dengan penuh harapan. Tetapi, seiring dengan itu, rintangan baru mulai bermunculan. Rintangan yang tidak hanya datang dari luar dirinya, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri, yang membuat semuanya terasa semakin sulit.
Amelia dan Arkan mencoba untuk melangkah bersama, meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus mereka hadapi, dan satu persatu, mereka mulai menyadari bahwa cinta mereka tidak hanya dibangun oleh rasa sayang, tetapi juga oleh perjuangan untuk mengatasi segala rintangan yang menghadang.
Pagi itu, langit tampak cerah, namun tidak ada yang bisa menghapus kegelisahan yang ada dalam dada Amelia. Dia duduk di meja makan, melihat piring yang sudah terisi, namun tidak ada nafsu untuk memakannya. Di luar, suara burung berkicau, seolah tak peduli dengan apa yang sedang dirasakannya. Amelia terdiam, berpikir panjang tentang keputusan yang telah ia buat. Ia ingin berjuang untuk cinta ini, namun ada hal-hal yang membuatnya merasa ragu.
Arkan, yang sudah berdiri di samping meja, menatapnya dengan penuh perhatian. “Amelia, ada yang mengganggumu?” tanyanya pelan, berusaha untuk tidak mengganggu.
Amelia menghela napas panjang. “Arkan, kita tahu bahwa jalan yang kita pilih ini tidak akan mudah, kan? Aku… aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih merasa cemas.”
Arkan duduk di hadapannya, menatapnya dengan serius. “Aku tahu kamu cemas. Aku juga merasakannya. Tapi kita tidak bisa biarkan ketakutan itu menghalangi kita untuk bersama. Kita harus menghadapi apa pun yang datang, bersama-sama.”
Amelia menundukkan kepalanya, menyentuh ujung jari telunjuknya pada permukaan meja. “Tapi tidak hanya itu, Arkan. Ada orang-orang yang tidak akan pernah bisa menerima hubungan ini. Kamu tahu betul siapa mereka, dan aku tahu kamu juga memikirkan hal itu.”
Arkan terdiam sesaat, memikirkan apa yang Amelia katakan. Mereka berdua tahu betul bahwa keluarga masing-masing memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap mereka. Keluarga Amelia menginginkan dia untuk fokus pada karirnya, mengejar cita-cita, sementara keluarga Arkan, meskipun lebih menerima, masih berharap agar Arkan tetap berada di jalan yang sudah ditentukan untuknya. Ketegangan itu sudah mulai terasa sejak awal mereka memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dekat, dan kini, itu mulai menekan mereka.
“Aku tidak bisa berpura-pura tidak melihat itu,” lanjut Amelia, suara sedikit serak. “Aku tidak ingin menjadi beban untukmu, Arkan. Aku tidak ingin hubungan ini menjadi masalah antara kamu dan keluargamu.”
Arkan menggenggam tangan Amelia dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahan yang terlihat jelas di wajahnya. “Jangan pernah berpikir seperti itu. Cinta ini bukan beban, ini adalah pilihan kita, dan aku tidak akan mundur hanya karena orang lain tidak setuju.”
Namun, meskipun kata-kata Arkan terdengar meyakinkan, Amelia tahu bahwa kenyataannya tidak akan semudah itu. Mereka tidak hanya harus melawan ketidakpastian perasaan mereka sendiri, tetapi juga harus menghadapi pandangan negatif yang datang dari luar. Keluarga mereka, teman-teman, bahkan masyarakat sekitar, semua punya pandangan yang bisa jadi bertentangan dengan apa yang mereka rasakan.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin diuji. Setiap kali mereka bertemu, ada semacam ketegangan yang tak bisa mereka hindari. Amelia merasakan kecemasan yang semakin besar. Dia merasakan perasaan terjebak di antara dua dunia yang berbeda—di satu sisi, ada Arkan, yang membuatnya merasa hidup, dan di sisi lain, ada dunia luar yang penuh dengan harapan dan ekspektasi yang harus ia penuhi.
Satu hari, ketika Amelia sedang duduk di taman kota, Arkan mendekat dan duduk di sampingnya. Hujan gerimis baru saja berhenti, meninggalkan udara yang segar dan tanah yang masih basah. “Aku tahu kamu merasa tertekan, Amelia,” kata Arkan dengan suara yang lembut. “Tapi kita harus bisa menemukan cara untuk menghadapi ini, bukan dengan menyerah, tapi dengan bersama-sama mencari jalan keluar.”
Amelia menatap Arkan dengan mata yang penuh keraguan. “Tapi bagaimana jika ini terlalu besar untuk kita? Bagaimana jika kita tidak bisa menghadapinya?”
“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, Amelia,” jawab Arkan dengan senyum tipis. “Yang kita tahu sekarang adalah kita saling mencintai, dan itu cukup untuk memulai. Semua yang lain akan kita hadapi bersama.”
Namun, rintangan itu ternyata tidak berhenti di situ. Sebuah pertemuan keluarga yang tidak terduga membuat segalanya semakin sulit. Di meja makan, tatapan penuh tanda tanya dan bisikan-bisikan kecil mulai terdengar. Ayah dan ibu Amelia sudah lama mengetahui tentang hubungan ini, dan meskipun mereka tidak mengungkapkan ketidaksetujuan mereka secara langsung, ada keraguan yang terlihat jelas di mata mereka. Mereka masih menginginkan Amelia untuk fokus pada karier dan masa depan yang lebih cerah, jauh dari hubungan yang dianggapnya tidak stabil.
Di sisi lain, keluarga Arkan pun tidak jauh berbeda. Ibunya, yang sangat mendukungnya, tetap mempertanyakan keputusannya untuk mengutamakan perasaan di atas semua yang telah mereka rencanakan. “Kamu tidak takut dengan kemungkinan masa depan yang tidak pasti?” tanya ibunya suatu malam.
Arkan hanya diam, memikirkan apa yang harus dikatakan. Amelia di sampingnya terlihat semakin ragu, merasa terasingkan oleh perbincangan yang tidak bisa ia hindari. “Aku tahu ini sulit, Ma,” jawab Arkan akhirnya, “tapi aku sudah memutuskan. Aku ingin ini. Aku ingin bersama Amelia, meskipun itu berarti menghadapi semua rintangan ini.”
Kedua keluarga saling diam, namun beban yang ada di hati mereka semakin terasa berat. Amelia bisa merasakan tekanan yang semakin besar, dan meskipun ia tahu bahwa Arkan berusaha untuk membuatnya merasa tenang, kenyataan tetap saja tidak bisa dielakkan.
Malam itu, setelah pertemuan keluarga yang penuh dengan ketegangan, Amelia berjalan sendirian di taman, merenung tentang keputusan yang harus ia ambil. Apa yang sebenarnya lebih penting—mencintai Arkan dan mengikuti hati nurani, atau mengejar impian yang sudah lama ia susun dan menghindari konflik?
Sementara itu, Arkan datang menghampiri, berdiri di sampingnya. “Amelia, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini. Aku akan berjuang untuk kita berdua. Jangan biarkan apapun menghentikan kita.”
Air mata mulai menetes dari mata Amelia, bukan karena rasa lemah, tetapi karena cinta yang begitu dalam, yang sekaligus penuh dengan ketakutan. Cinta ini mungkin penuh dengan rintangan, tetapi dengan Arkan di sampingnya, ia merasa sedikit lebih kuat. Namun, apakah itu cukup untuk menghadapi apa yang akan datang?*
Bab 6: Keputusan yang Menentukan
Waktu terus berjalan, dan setiap hari membawa serta kekhawatiran yang semakin mendalam bagi Amelia. Setiap pertemuan, setiap percakapan, selalu membawa pertanyaan yang belum terjawab. Akankah hubungan mereka bertahan? Akankah cinta yang mereka perjuangkan ini mampu mengatasi semua rintangan yang menghadang?
Amelia menatap cermin di kamarnya, mencoba mengamati wajahnya yang mulai terlihat lelah. Ada banyak yang harus diputuskan dalam hidupnya, dan hari ini, semuanya terasa lebih berat dari sebelumnya. Keputusan yang harus ia ambil akan menentukan tidak hanya masa depan hubungannya dengan Arkan, tetapi juga masa depannya sendiri.
Sejak pertama kali ia bertemu Arkan, hidupnya berubah. Pria itu datang seperti badai, mengusik keseimbangannya, namun juga memberinya kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta yang mereka jalin bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap detiknya, mereka merasa semakin dekat, semakin terikat satu sama lain. Namun, kenyataan hidup tak selalu seindah yang diharapkan.
Amelia mengingat kembali percakapan yang terjadi beberapa hari yang lalu, ketika ayahnya dengan tegas mengatakan bahwa dia harus membuat pilihan: antara mengejar karier yang sudah ia bangun bertahun-tahun atau melanjutkan hubungan dengan Arkan, yang dirasa masih penuh dengan ketidakpastian. Ayahnya, meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, jelas tidak menyetujui hubungannya dengan Arkan. Ia menginginkan Amelia untuk tetap fokus pada masa depannya, pada karier yang sudah ia susun dengan hati-hati, bukan terjebak dalam hubungan yang belum tentu akan berhasil.
Di sisi lain, Arkan juga tidak bisa memaksakan keadaan. Meskipun ia ingin bersama Amelia, ia tahu bahwa keluarganya, terutama ibunya, memiliki harapan besar untuk masa depan yang lebih terstruktur bagi dirinya. Mereka tidak bisa begitu saja menerima hubungan ini, yang menurut mereka terlalu berisiko. Arkan sering kali terjaga larut malam, memikirkan jalan yang harus ditempuh. Di satu sisi, ia ingin memenuhi harapan keluarganya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa Amelia adalah bagian penting dalam hidupnya.
Suatu pagi, setelah berhari-hari menahan keraguan, Amelia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Arkan. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe kecil tempat pertama kali mereka berkenalan. Tempat itu menyimpan banyak kenangan, tetapi juga banyak harapan yang belum terwujud.
Di meja yang sama, Arkan duduk menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Amelia, ada yang ingin aku bicarakan,” katanya pelan. Suaranya lebih tenang dari biasanya, seakan menyembunyikan kegelisahan yang begitu dalam.
Amelia menarik napas panjang. “Aku tahu, Arkan. Aku juga ingin membicarakan sesuatu.” Ia menatap Arkan, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
“Aku tahu ini bukan jalan yang mudah,” Arkan melanjutkan, “tapi aku ingin kita menghadapi ini bersama. Aku ingin kamu tahu bahwa aku siap berjuang untuk hubungan kita. Aku akan melakukan apa saja demi kita, Amelia. Aku tak bisa bayangkan hidupku tanpa kamu.”
Amelia terdiam. Perasaan itu begitu kuat, namun di saat yang sama, ketakutan juga datang menggerogoti hatinya. “Arkan, aku… aku merasa seperti berada di persimpangan jalan. Aku tidak tahu harus memilih apa. Jika aku memilihmu, aku harus siap meninggalkan banyak hal yang sudah aku bangun. Aku harus siap menghadapi keluarga dan teman-temanku yang tidak setuju. Dan aku… aku juga harus menerima kenyataan bahwa mungkin aku akan kehilangan sesuatu yang lebih besar.”
Arkan menggenggam tangannya dengan erat, berusaha memberikan ketenangan. “Aku tahu itu, dan aku tidak ingin kamu merasa terbebani oleh itu. Kita harus memilih dengan hati, Amelia. Aku tahu kamu punya impian besar, dan aku tidak ingin menjadi penghalang untuk itu. Tetapi aku juga ingin kamu tahu, jika kamu memilihku, aku akan selalu mendukung keputusanmu. Kita bisa menghadapinya bersama.”
Amelia merasa matanya mulai berkaca-kaca. Di satu sisi, ia merasa lega mendengar kata-kata Arkan, namun di sisi lain, rasa takut semakin dalam. Ini adalah pilihan yang tidak mudah. Sebagai seorang wanita yang selalu berjuang untuk meraih apa yang ia inginkan, keputusan ini akan sangat mempengaruhi arah hidupnya. Namun, apakah ia siap mengorbankan segala yang sudah ia perjuangkan demi sebuah hubungan yang belum pasti?
Di tengah kebingungannya, Amelia merasakan sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya—suatu panggilan untuk mengikuti hatinya. Mungkin hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana, tetapi cinta, jika itu adalah yang benar-benar ia rasakan, harus diperjuangkan. Ia tidak ingin menyesal karena tidak mengambil kesempatan ini.
“Arkan,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar, “aku mencintaimu. Aku tahu ini tidak mudah, dan aku takut. Aku takut kehilangan banyak hal, takut tidak bisa memenuhi harapan semua orang. Tapi aku juga tahu, aku tak bisa hidup tanpa mengetahui bagaimana hubungan ini akan berlanjut. Aku ingin berjuang untuk kita, untuk cinta ini.”
Arkan tersenyum, senyum yang penuh dengan kelegaan. “Amelia, itu semua yang aku harapkan. Aku juga ingin berjuang untuk kita, meskipun jalan ini penuh dengan rintangan.”
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap, merasakan kehangatan di antara mereka. Amelia tahu, ini adalah keputusan besar yang harus ia buat, tetapi pada saat itu, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Apa pun yang terjadi, ia akan menghadapi masa depan ini bersama Arkan, tanpa menoleh ke belakang.
Keputusan itu diambil, dan meskipun mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, Amelia dan Arkan berjanji untuk saling mendukung, untuk berjuang bersama menghadapi semua tantangan yang akan datang. Tidak ada lagi keraguan yang menghalangi langkah mereka. Mereka memilih untuk mengikuti cinta, dengan harapan bahwa itu akan menjadi jalan menuju kebahagiaan yang mereka cari.
Saat itu, Amelia menyadari bahwa kadang-kadang, keputusan yang paling sulit dalam hidup adalah keputusan yang menentukan siapa kita sebenarnya dan apa yang benar-benar kita inginkan. Dan sekarang, ia telah memilih jalan itu, bersama Arkan, dengan segala yang akan datang.*
Bab 7: Menanti di Bumi Langit
Hari-hari terus berlalu, namun Amelia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya. Keputusan yang ia ambil beberapa minggu lalu, untuk bersama Arkan, sepertinya tak membuat perasaan itu hilang begitu saja. Meskipun hubungan mereka berjalan dengan baik, ada rasa cemas yang terus menghantui, seolah waktu tidak pernah benar-benar memihak kepada mereka. Seolah segala sesuatu yang indah harus dibayar dengan kesulitan dan penantian yang tak terduga.
Sambil menatap langit senja yang tampak begitu luas dari jendela kamar, Amelia teringat akan janji Arkan—janji untuk selalu berjuang bersama. Namun, ia tahu, bahwa di balik janji tersebut, ada banyak hal yang harus mereka hadapi. Ada jarak yang memisahkan mereka, baik secara fisik maupun emosional, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa diatasi hanya dengan kata-kata.
Arkan, setelah keputusan yang mereka ambil, harus kembali ke kota asalnya untuk menyelesaikan urusan keluarga. Ia berjanji akan kembali, namun waktu yang ditentukan semakin lama, dan Amelia merasa semakin terjebak dalam penantian yang panjang. Meskipun Arkan selalu berusaha untuk tetap berhubungan, baik melalui pesan atau panggilan video, ada saat-saat ketika Amelia merasa bahwa dunia mereka semakin terpisah.
Penantian itu semakin terasa berat ketika Amelia harus menjalani kesehariannya tanpa kehadiran Arkan di sisinya. Meskipun ia tahu bahwa Arkan sedang berusaha menyelesaikan segala sesuatunya, hatinya tetap merasa kosong. Ia harus kembali menyesuaikan diri dengan rutinitas sehari-hari, yang kini terasa jauh lebih sepi tanpa Arkan. Ia sering kali membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiran, mencoba memahami apakah keputusan yang telah mereka buat benar-benar akan membawa mereka ke tempat yang mereka inginkan, atau apakah mereka justru semakin menjauh.
Suatu sore, Amelia duduk di bangku taman dekat apartemennya, menyaksikan sekelompok anak kecil bermain bola. Matahari mulai tenggelam, menyirami langit dengan warna oranye dan merah muda yang menenangkan. Di tengah keramaian itu, Amelia merasa seperti sedang berada di dunia yang sangat berbeda—dunia yang tak lagi memiliki hubungan dengan dirinya dan Arkan. Ini adalah dunia yang luas dan penuh dengan kemungkinan, tetapi tetap saja, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, seolah dunia ini terlalu besar untuk mereka.
“Amelia,” suara lembut yang familiar tiba-tiba terdengar di telinganya. Amelia menoleh, dan di sana, berdiri Arkan dengan senyum khas yang selalu mampu membuat hatinya berdegup kencang. Senyuman itu membawa angin segar ke dalam jiwanya, seperti hujan yang menenangkan setelah teriknya matahari.
“Kamu datang?” Amelia tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Tubuhnya terasa lebih ringan saat Arkan mendekat, duduk di sampingnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menunggu lebih lama,” katanya dengan suara yang bergetar. “Setiap hari terasa seperti beban yang semakin berat.”
Arkan memegang tangannya dengan lembut, seolah berusaha memberikan kekuatan. “Amelia, aku tahu ini sulit, dan aku minta maaf karena harus membuatmu menunggu begitu lama. Tetapi percayalah, kita akan melalui ini bersama. Aku akan segera kembali, dan ketika itu terjadi, kita akan berjalan bersama, tanpa ada lagi jarak yang memisahkan.”
Amelia menatap mata Arkan, mencoba mencari kejujuran dalam setiap kata-katanya. “Tapi, bagaimana jika aku mulai merasa bahwa penantian ini sia-sia? Aku takut kalau kita semakin jauh, Arkan. Aku takut kalau jarak ini membuat kita lupa satu sama lain.”
Arkan mengangguk perlahan, memahami rasa cemas yang Amelia rasakan. “Aku juga merasakannya, Amelia. Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain, tapi kita harus percaya. Kita harus mempercayai cinta ini, bahwa meskipun jarak memisahkan kita, kita tetap akan saling mengingat dan mendukung. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi aku tidak akan menyerah.”
Amelia terdiam, merenung sejenak. Waktu terasa berjalan lambat, dan meskipun kehadiran Arkan memberi sedikit ketenangan, hatinya masih merasa gelisah. Namun, dalam diam, ia menyadari sesuatu. Penantian bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama. Mungkin penantian ini adalah ujian yang harus mereka jalani, bukan hanya untuk menguji kekuatan cinta mereka, tetapi juga untuk memperkuat keyakinan mereka bahwa cinta yang sejati tidak akan tergoyahkan oleh waktu dan jarak.
“Arkan,” Amelia akhirnya berkata, suaranya lebih tenang. “Aku akan menunggu. Aku tidak tahu berapa lama, dan mungkin akan ada banyak momen sulit, tapi aku tahu aku ingin menunggu untukmu. Aku percaya bahwa kita bisa mengatasi semua ini.”
Arkan tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan yang tulus. “Aku janji, Amelia. Aku akan kembali secepatnya, dan ketika aku kembali, aku akan memastikan bahwa tak ada lagi jarak yang memisahkan kita. Kita akan bersama, dan cinta ini akan menjadi cerita indah yang tak terlupakan.”
Langit malam mulai menyelimuti mereka dengan lembut, membawa kedamaian yang langka. Di bawah langit yang sama, mereka duduk berdampingan, berjanji untuk tetap saling menunggu. Amelia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan akan ada banyak hal yang harus mereka hadapi. Namun, saat itu, ia merasa lebih kuat, karena ia tahu bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang bertahan, meskipun waktu terus berlalu dan segala hal berubah.
Dengan Arkan di sisinya, meskipun secara fisik terpisah, Amelia merasa seolah-olah mereka masih bersama, seperti langit dan bumi yang selalu menyatu meskipun terlihat terpisah oleh horizon. Di sinilah Amelia akhirnya menemukan jawabannya. Penantian bukanlah tentang menunggu dengan pasif, melainkan tentang mengisi waktu dengan harapan dan cinta yang tak pernah padam.*
Bab 8: Cinta yang Tumbuh
Pagi itu, Amelia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Beberapa bulan telah berlalu sejak ia dan Arkan saling berjanji untuk menunggu, dan meskipun waktu terus berjalan, ada sesuatu dalam dirinya yang perlahan berubah. Sebuah kedamaian yang sebelumnya tidak pernah ada, sebuah keyakinan bahwa cinta yang mereka miliki akan berkembang seiring berjalannya waktu. Bahkan dalam penantian yang terasa panjang, ia merasakan bahwa cinta itu mulai tumbuh, bukan dalam arti yang terburu-buru atau memaksakan, tetapi tumbuh dengan cara yang indah dan alami.
Ia membuka jendela kamar, membiarkan udara pagi masuk dengan lembut. Di luar, langit cerah menyambut hari baru. Tak jauh dari sana, taman kecil yang biasa ia kunjungi menampilkan pemandangan yang menenangkan. Setiap bunga yang bermekaran, setiap daun yang bergoyang tertiup angin, semuanya mengingatkannya pada Arkan. Tumbuhan yang tumbuh perlahan, memerlukan waktu dan perhatian, tetapi pada akhirnya akan menunjukkan keindahan yang tak terbantahkan. Begitu juga dengan cinta mereka.
Seminggu sebelumnya, Arkan akhirnya kembali, dan meskipun pertemuan itu penuh dengan kebahagiaan, ada beberapa hal yang tak terucapkan, seperti adanya kekhawatiran yang masih menggelayuti keduanya. Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini bukan tanpa tantangan, tetapi mereka berusaha untuk tidak membiarkan masa lalu atau ketakutan masa depan merusak apa yang sudah mereka bangun. Cinta mereka, meskipun diuji oleh waktu dan jarak, telah berkembang dengan cara yang tak terduga.
Pagi itu, Amelia memutuskan untuk pergi ke taman seperti yang biasa ia lakukan. Ia ingin menyendiri sejenak, untuk berpikir dan merenung tentang apa yang telah terjadi selama ini. Ketika ia tiba, Arkan sudah ada di sana, duduk di bangku yang selalu mereka pilih. Matanya yang hangat menatapnya saat ia mendekat. Tidak ada kata-kata yang diperlukan untuk memahami satu sama lain. Cukup dengan sebuah tatapan, mereka tahu bahwa perasaan yang mereka miliki satu sama lain semakin dalam.
“Amelia,” Arkan berkata, suaranya penuh kelembutan, “Aku tahu kita sudah banyak melalui hal-hal yang sulit, tetapi aku merasa bahwa kita telah sampai pada titik yang penting. Aku merasa cinta ini semakin kuat, semakin nyata.”
Amelia duduk di sampingnya, menatap matahari yang mulai menghangatkan pagi. Ia merasakan perasaan yang sama. Cinta mereka tidak lagi terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi seperti sebuah jalan yang sudah mereka pilih bersama, dengan penuh keyakinan.
“Aku merasa begitu juga,” jawab Amelia, tangannya meraih tangan Arkan. “Aku merasa kita sudah tumbuh, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai individu. Aku belajar untuk lebih percaya, untuk lebih sabar. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa cinta itu bukan hanya tentang bersatu dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam kesabaran.”
Arkan tersenyum mendengar kata-kata Amelia. “Aku merasa kita saling melengkapi. Meskipun kita terpisah, meskipun kita mengalami banyak keraguan, kita tetap saling mendukung. Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa ada kamu di dalamnya.”
Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, sebuah keheningan yang membawa kedamaian. Cinta yang mereka miliki telah berkembang menjadi lebih dari sekadar perasaan yang lahir dari ketertarikan. Itu adalah ikatan yang lebih dalam, yang terjalin oleh waktu, pengertian, dan komitmen untuk tetap bersama meskipun segala tantangan datang menghampiri.
“Arkan,” Amelia akhirnya membuka mulut, “apa menurutmu, cinta kita akan terus bertahan seperti ini? Meskipun kita tahu dunia ini terus berubah dan kita harus menghadapi banyak hal yang belum kita ketahui?”
Arkan menatap langit, seolah mencari jawaban di antara awan-awan yang berarak. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Amelia. Kita tidak bisa meramalkan apapun. Tapi aku yakin, jika kita terus saling mendukung dan mencintai, kita akan bisa melewati apapun yang ada di depan kita. Kita sudah melewati begitu banyak hal, dan kita selalu kembali pada satu hal—kita ingin tetap bersama.”
Amelia mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa begitu beruntung memiliki Arkan di sisinya. Cinta mereka tidak sempurna, tetapi itu adalah cinta yang tumbuh dari dasar hati, melalui setiap liku kehidupan yang penuh dengan tantangan. Cinta itu telah terbukti kuat, tak tergoyahkan oleh jarak, waktu, atau ketakutan. Bahkan di saat-saat terburuk sekalipun, mereka selalu menemukan cara untuk bersama, untuk saling menguatkan.
“Aku juga merasa seperti itu,” jawab Amelia dengan suara lembut. “Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku percaya bahwa kita bisa melewatinya, asalkan kita tidak menyerah pada cinta kita.”
Arkan meraih wajah Amelia, menyentuh pipinya dengan lembut, seolah ingin menghapus segala kekhawatiran yang masih ada. “Aku janji, Amelia, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu berjuang untuk kita, untuk cinta ini.”
Amelia menutup matanya sejenak, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang Arkan ucapkan. Di sana, di bawah langit yang sama, mereka merasa bahwa cinta mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih kuat dan lebih indah daripada yang pernah mereka bayangkan. Cinta yang tidak hanya tumbuh melalui kebersamaan, tetapi juga melalui penantian, pengorbanan, dan pengertian.
Mereka duduk di sana, di taman yang sunyi, menikmati kedamaian yang datang bersama cinta yang mereka bagikan. Cinta itu tidak lagi hanya sebuah janji, tetapi kenyataan yang sudah ada di antara mereka. Cinta yang tumbuh perlahan, penuh dengan keindahan, dan selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Dan di situlah mereka sadar, bahwa cinta yang tumbuh dengan alami adalah cinta yang paling tahan lama.*
Bab 9 : Waktu yang Berbeda
Hari itu, waktu seakan berjalan lebih lambat dari biasanya. Amelia menatap jam dinding yang berdetak perlahan, suara detik yang jelas terdengar dalam keheningan kamar. Pikirannya teralihkan ke Arkan, yang beberapa waktu lalu kembali ke kota setelah perjalanan panjangnya. Namun, meskipun jarak antara mereka tidak lagi sejauh dulu, rasanya ada sesuatu yang berubah. Mereka masih berada dalam ruang yang sama, tetapi waktu yang mereka jalani terasa berbeda.
Amelia duduk di meja belajarnya, menatap lembaran-lembaran catatan yang sudah berantakan, tetapi matanya tak pernah lepas dari pintu yang tertutup. Dia merasa ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk benar-benar mendekat dengan Arkan, meskipun hati mereka sudah lama saling terhubung. Sejak pertemuan mereka yang tak terduga beberapa waktu lalu, banyak hal yang telah berubah. Cinta mereka tumbuh, berkembang, namun juga dipenuhi dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala perbedaan waktu yang ada?
Terkadang, Amelia merasa seperti sedang hidup di dunia yang berbeda dengan Arkan, meskipun mereka berada di bawah langit yang sama. Waktu mereka berbeda. Arkan sudah lama berjuang untuk mewujudkan impian dan cita-citanya, meniti jalan yang penuh dengan tantangan, sementara Amelia masih berusaha menemukan jalannya sendiri. Terkadang, dia merasa seperti tertinggal, seperti berada di luar orbit kehidupannya yang penuh dengan harapan dan kebebasan.
Tak lama setelah Arkan kembali, mereka mulai sering menghabiskan waktu bersama lagi. Namun, setiap pertemuan seakan terasa berat, karena mereka tidak lagi bisa berbicara dengan bebas seperti dulu. Ada perasaan canggung yang muncul, meskipun hanya sesaat, di antara percakapan-percakapan mereka. Waktu yang pernah menjadi milik mereka bersama kini terasa seperti sebuah ruang yang penuh dengan batasan-batasan.
Suatu sore, setelah beberapa minggu bertemu dengan intensitas yang lebih sedikit, Amelia mengajak Arkan untuk pergi ke sebuah kafe yang mereka sukai sejak dulu. Tempat itu selalu menjadi saksi bisu bagi banyak percakapan mereka yang tak terucapkan, banyak mimpi yang mereka impikan bersama. Saat duduk berhadapan di meja kecil di pojok kafe, suasana terasa berbeda.
“Aku merasa seperti ada sesuatu yang menghalangi kita,” kata Amelia, memulai percakapan yang sudah lama ingin dia ungkapkan. “Kita seperti hidup di dunia yang berbeda, Arkan. Semua yang kita jalani kini terasa seperti terpisah oleh waktu. Aku merasa kita berada di titik yang berbeda.”
Arkan menatapnya dengan tatapan yang dalam. “Aku tahu apa yang kamu rasakan, Amelia. Aku juga merasakannya. Waktu yang kita miliki semakin sedikit, dan aku mulai merasa kita mulai terlalu jauh. Tapi ini bukan tentang seberapa jauh jarak kita, bukan?”
Amelia mengangguk pelan, matanya mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. “Aku tahu kita tidak bisa mengubah waktu, tetapi aku merasa kita kehilangan banyak hal. Ketika aku melihatmu, aku masih merasa seperti dulu, tapi aku juga merasa ada banyak hal yang belum kita bicarakan.”
Arkan menarik napas dalam-dalam. “Aku juga merasa waktu kita terpecah-pecah. Saat aku pergi, aku membawa harapan dan impian yang besar, dan ketika aku kembali, aku merasa banyak yang berubah. Aku ingin kembali ke tempat itu, ke waktu itu, tetapi kenyataan membawa kita ke tempat yang berbeda.”
Ada kesepian dalam kata-kata Arkan, yang tak bisa disembunyikan meskipun suaranya tetap tenang. Amelia bisa merasakannya, sebuah rasa kehilangan yang samar namun jelas. Mereka telah melewati waktu yang berbeda, dan meskipun cinta mereka tidak pernah pudar, perbedaan itu mulai mempengaruhi hubungan mereka.
“Satu hal yang aku tahu,” lanjut Arkan, “adalah bahwa aku ingin berjuang untuk kita. Aku tahu kita berbeda, dan kita hidup di waktu yang berbeda, tapi aku yakin kita bisa menemukan cara untuk tetap bersama. Kita hanya perlu memberi waktu untuk memahami apa yang kita butuhkan.”
Amelia diam sejenak, membiarkan kata-kata Arkan meresap ke dalam hati. Waktu yang berbeda, kehidupan yang berbeda, tetapi perasaan mereka satu. Mungkin itu adalah kunci untuk menemukan jalan mereka kembali. Mungkin mereka harus lebih sabar, lebih terbuka untuk belajar menerima perbedaan yang ada.
“Aku tidak ingin kita terjebak dalam waktu yang berbeda, Arkan,” kata Amelia akhirnya. “Aku ingin kita melangkah bersama, meskipun dunia ini kadang terasa tidak sesuai dengan yang kita harapkan.”
Arkan tersenyum kecil, matanya berbinar dengan ketulusan. “Aku juga ingin itu. Kita memang hidup di waktu yang berbeda, tetapi aku percaya, kita bisa menemukan cara untuk menyelaraskan langkah kita.”
Sore itu, mereka duduk di sana, di kafe yang penuh kenangan, membiarkan waktu berlalu tanpa perlu terburu-buru. Amelia merasa lebih tenang. Arkan, dengan segala ketulusannya, berhasil memberikan sedikit kedamaian di hatinya yang sempat dilanda kebingungannya. Waktu mereka memang berbeda, tetapi cinta mereka tetap sama. Mereka hanya perlu waktu untuk menemukan cara agar dapat berjalan berdampingan, meskipun dunia mereka tidak selalu sesuai dengan yang mereka harapkan.
Saat mereka meninggalkan kafe itu, Arkan meraih tangan Amelia, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, mereka berjalan beriringan tanpa ada rasa canggung. Mereka menyadari bahwa, meskipun waktu terus berjalan, cinta mereka akan selalu ada, siap untuk menyatu dan mengatasi perbedaan waktu yang ada. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi bersama-sama, mereka akan menemukan jalan menuju masa depan yang lebih baik.*
Bab 10: Di Bawah Langit yang Sama
Amelia menatap langit sore yang cerah, biru dengan semburat oranye di ufuk barat. Waktu itu, ia dan Arkan duduk di tepi sungai yang mengalir perlahan. Keheningan di antara mereka tidak terasa canggung seperti beberapa minggu sebelumnya. Ada ketenangan yang datang setelah perjalanan panjang penuh dengan pertanyaan dan kebingungannya sendiri. Seperti ada sebuah pemahaman baru yang terbentuk di antara mereka, sebuah kesadaran bahwa meskipun mereka menjalani waktu yang berbeda, mereka masih berada di bawah langit yang sama.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Arkan, memecah keheningan yang nyaman itu. Matanya yang teduh menatap Amelia dengan penuh perhatian. Di bawah langit yang sama, dalam keheningan ini, ia merasa ada kedamaian yang mulai mengisi ruang di antara mereka. Tidak ada lagi beban dari masa lalu yang menggantung, tidak ada lagi rasa takut yang menghalangi jalan mereka.
Amelia menoleh ke Arkan, mengangkat sedikit wajahnya. “Aku sedang berpikir, bagaimana rasanya jika kita bisa berjalan bersama tanpa takut lagi. Tanpa perlu melihat ke belakang, tanpa merasa terbebani oleh waktu yang terus berjalan.”
Arkan tersenyum, senyum yang hangat dan penuh arti. “Kita tidak bisa menghentikan waktu, Amelia. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani setiap detiknya. Waktu yang berbeda mungkin ada, tetapi selama kita berada di bawah langit yang sama, aku percaya kita bisa menemukan cara untuk berbagi langkah.”
Amelia mengangguk pelan, lalu memandangi langit yang semakin gelap. Meskipun jarak dan perbedaan waktu kadang terasa berat, ia merasa ada kenyamanan dalam keberadaan Arkan di sampingnya. Mereka pernah berada di titik yang begitu jauh, namun kini, mereka bisa berbicara dengan hati yang lebih terbuka.
Di bawah langit yang sama, perasaan itu tumbuh tanpa terbebani. Waktu yang terlewati tidak lagi menjadi halangan, karena Amelia mulai menyadari bahwa cinta mereka, yang dulunya tersembunyi di dalam lubuk hati, kini mulai berkembang dengan cara yang berbeda. Mereka tidak perlu terburu-buru untuk mencapai sesuatu, karena mereka telah belajar untuk menikmati setiap detik yang ada bersama.
“Amelia, aku ingin kamu tahu,” kata Arkan pelan, memecah keheningan kembali. “Aku mungkin pernah membuatmu merasa jauh. Aku mungkin pernah membuatmu merasa kita tidak berada di waktu yang sama. Tapi aku ingin berjanji, bahwa di setiap langkahku, aku akan selalu mencari cara untuk tetap ada bersamamu.”
Kata-kata itu menggetarkan hati Amelia. Ia menatap Arkan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Meski dulu ia sempat ragu, meski pernah merasakan kebingungannya sendiri tentang perasaan mereka, kini ia tahu bahwa keputusan untuk terus bertahan bersama adalah pilihan yang terbaik. Mereka mungkin telah melewati waktu yang berbeda, tetapi sekarang mereka berdiri di bawah langit yang sama, dengan hati yang bersatu.
“Arkan,” kata Amelia dengan suara lembut, “Aku juga ingin kita tetap bersama. Aku ingin kita berjalan melewati setiap hari, tidak terhalang oleh waktu atau rasa takut. Aku tahu kita punya banyak perbedaan, tapi aku percaya kita bisa menghadapinya bersama.”
Arkan meraih tangan Amelia, menggenggamnya erat, seolah ingin memastikan bahwa keduanya tidak akan pernah terpisah lagi. “Tidak ada yang lebih aku inginkan selain itu, Amelia. Kita sudah melalui begitu banyak hal bersama, dan aku yakin kita bisa melalui apapun ke depannya. Di bawah langit ini, aku tahu kita bisa bertahan.”
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai menghiasi langit. Suasana semakin romantis, dengan desiran angin yang lembut dan suara alam yang menemani setiap kata yang mereka ucapkan. Mereka duduk bersama, menikmati keheningan yang penuh makna, saling menguatkan tanpa perlu banyak kata. Di bawah langit yang sama, mereka merasa terhubung lebih dalam dari sebelumnya. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi waktu yang terbuang. Hanya ada mereka berdua, dengan cinta yang tumbuh dalam hati.
“Waktu akan terus berjalan, Amelia,” Arkan berkata perlahan, menatap langit yang penuh bintang. “Tapi kita akan tetap berjalan bersamanya. Kita akan melalui setiap perubahan, setiap rintangan, bersama-sama.”
Amelia mengangguk setuju. Ia merasa, meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, mereka masih memiliki satu sama lain. Di bawah langit yang sama, mereka memiliki kesempatan untuk menciptakan masa depan mereka sendiri, masa depan yang penuh dengan harapan dan cinta.
“Aku siap untuk itu, Arkan,” jawab Amelia dengan senyuman yang tulus. “Aku siap untuk berjalan bersamamu, di bawah langit ini, menghadapi apapun yang ada di depan.”
Saat mereka bangkit untuk pulang, berjalan berdampingan menyusuri jalan yang diterangi oleh cahaya bulan, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua. Mereka tidak perlu lagi mencari-cari alasan untuk bertahan. Cinta yang mereka miliki sudah cukup menjadi alasan untuk terus berjalan, meskipun waktu terus bergerak dan segala sesuatu di sekitar mereka berubah.
Di bawah langit yang sama, Amelia dan Arkan tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak tergoyahkan. Mereka siap untuk menatap masa depan, berdua, tanpa rasa takut, karena kini mereka telah menemukan tempat mereka di dunia ini, satu sama lain.*
Epilog: Penantian yang Berakhir Bahagia
Tahun-tahun berlalu dengan begitu cepat, seperti air yang mengalir tanpa henti. Langit yang dulu tampak begitu luas dan penuh dengan pertanyaan kini terasa lebih terang, penuh dengan harapan. Amelia duduk di balkon apartemennya, menatap ke kejauhan. Matanya yang lelah namun penuh ketenangan menatap langit senja yang indah, di mana perpaduan warna oranye dan merah muda menciptakan suasana yang menenangkan hati. Rasanya, semua penantian yang ia jalani selama ini telah berbuah manis, membawa kedamaian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Amelia menarik napas panjang, mengingat kembali perjalanan panjang yang telah ia tempuh. Dulu, ia hanya bisa memandang langit dengan harapan yang tidak pasti. Setiap hari berlalu dengan keraguan, memikirkan apakah segala pengorbanannya selama ini akan membuahkan hasil yang indah. Ada masa-masa ketika ia merasa hampir menyerah, ketika waktu seolah bergerak terlalu cepat, dan ia merasa tertinggal. Tetapi sekarang, di bawah langit yang sama, di tempat yang penuh kenangan, ia tahu bahwa segala yang telah terjadi adalah bagian dari perjalanan yang indah.
Di balik senyumnya yang manis, ada banyak cerita yang tersimpan. Ada cinta yang dulu terhalang oleh ketidakpastian, ada rasa sakit yang perlahan berubah menjadi kekuatan, dan ada penantian yang akhirnya berakhir bahagia. Dan yang paling penting, ada Arkan—pria yang telah menjadi bagian dari hidupnya, yang telah menuntunnya melalui setiap perjalanan yang penuh liku, dan yang akhirnya memberikan Amelia sebuah rumah di dalam hatinya.
Amelia tertawa kecil, mengenang bagaimana dulu ia sering meragukan perasaan Arkan, bagaimana ia merasa bahwa cinta mereka tak akan bertahan karena perbedaan yang ada. Tetapi Arkan selalu meyakinkannya bahwa waktu dan jarak bukanlah halangan yang besar jika mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Dan kini, di sini, di balkon yang sama tempat ia dulu sering merenung, Amelia tahu bahwa apa yang mereka rasakan bukanlah sekadar perasaan semata. Itu adalah ikatan yang kuat, yang melewati segala rintangan dan kesulitan.
Tiba-tiba, suara pintu dibuka dan Arkan muncul dari dalam rumah, membawa secangkir kopi hangat. Matanya yang selalu penuh dengan ketulusan dan kasih sayang menatap Amelia dengan senyum yang menenangkan. “Kamu masih memikirkan hari-hari lama?” tanyanya lembut, duduk di samping Amelia dan menyodorkan cangkir kopi itu.
Amelia menerima kopi itu dan menyeruputnya perlahan, merasakan hangatnya yang menyebar ke seluruh tubuhnya. “Aku hanya sedang merenung, Arkan. Tentang betapa berartinya setiap langkah yang kita ambil bersama.”
Arkan tersenyum, memandang langit yang sama, dan mengangguk. “Aku tahu, Amelia. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Tapi aku yakin, semua itu terjadi karena kita ditakdirkan untuk berada di sini, di titik ini, bersama.”
Amelia menoleh pada Arkan, matanya berbinar. “Penantian yang panjang, yang penuh keraguan dan kebimbangan, akhirnya berakhir dengan kebahagiaan, kan?”
Arkan menggenggam tangan Amelia dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa mereka benar-benar ada di sini, di dunia ini, bersama. “Ya, penantian kita telah berakhir, Amelia. Dan sekarang, kita hanya perlu menikmati setiap detiknya. Karena hidup kita bukan lagi tentang penantian, melainkan tentang perjalanan yang akan kita jalani bersama.”
Amelia tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu, Arkan. Aku tahu. Semua yang kita lalui, semua yang kita rasakan, semuanya mengarah pada kebahagiaan yang sejati.”
Di bawah langit yang sama, mereka duduk berdua, menikmati keheningan yang penuh makna. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi penantian yang membebani. Semua rasa takut dan cemas yang dulu pernah menghalangi kini telah hilang, berganti dengan rasa syukur dan kebahagiaan yang tak terucapkan. Mereka telah melewati perjalanan yang panjang dan sulit, namun semuanya terasa sepadan dengan apa yang mereka miliki saat ini.
Malam semakin larut, tetapi mereka tetap duduk di balkon itu, berbicara tentang masa depan yang cerah. Tak ada lagi perasaan terjaga oleh waktu yang terus berjalan, tak ada lagi keinginan untuk memburu sesuatu yang belum pasti. Mereka tahu bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari, melainkan sesuatu yang harus dijalani bersama, dengan penuh cinta.
“Arkan,” kata Amelia dengan suara lembut, “Aku sudah siap untuk masa depan kita. Kita akan menjalani setiap hari bersama, membangun mimpi kita, dan menikmati setiap detik yang ada.”
Arkan menatapnya dengan tatapan penuh kasih, mengusap lembut pipi Amelia. “Aku juga siap, Amelia. Kita akan melalui semuanya bersama, dan tidak ada yang akan menghalangi kita.”
Mereka berdua tertawa bersama, dalam kebahagiaan yang sejati. Di bawah langit yang sama, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tak ada yang lebih penting daripada menjalani kehidupan ini bersama, dalam cinta yang tak pernah pudar. Penantian yang panjang dan penuh harapan kini telah berakhir, dan kebahagiaan yang mereka impikan akhirnya menjadi kenyataan.
Di bawah langit yang sama, mereka menemukan rumah satu sama lain—tempat di mana cinta mereka tumbuh, berkembang, dan akan selalu bertahan.***
———THE END——–