Bab 1 — Senja yang Berdarah
Langit mulai berubah warna saat tim Alpha-7 mendekati zona target. Awan kemerahan melayang rendah seperti pertanda buruk, dan di kejauhan, garis senja menyentuh bukit-bukit batu yang mengelilingi kamp gerilya di lembah. Angin membawa debu dan bisikkan bisu dari sisa-sisa pertempuran lama.
Raka memeriksa senjatanya sekali lagi. Tangannya kokoh, tapi matanya tajam penuh keraguan.
“Operasi hanya lima belas menit,” suara komando terdengar di headset-nya. “Masuk. Ambil paket. Keluar hidup-hidup.”
Ia melirik rekan-rekannya. Lima orang terbaik yang pernah ia kenal. Masing-masing sudah seperti saudara — atau bahkan lebih dari itu. Di antaranya adalah Guntur, sahabat karibnya sejak pelatihan pertama di Kaldera Hitam; dan juga Ardi, spesialis teknologi yang tak pernah gagal membobol sistem musuh. Mereka semua tahu risikonya malam ini. Tapi tak satu pun terlihat gentar.
“Kau merasa aneh dengan operasi ini, Rak?” tanya Guntur pelan saat mereka mendekati pagar kamp.
Raka hanya mengangguk. “Terlalu cepat. Terlalu gampang. Info masuk dua hari lalu, tapi sistem pertahanan musuh sudah melemah. Seperti… dijebak untuk dijemput.”
“Lalu kenapa kita tetap datang?”
“Karena kita selalu datang saat negara bilang begitu.”
Senyap.
Tim bergerak dalam formasi diam-diam, menyelinap lewat lorong irigasi tua yang mengarah ke dalam kamp. Guntur membuka jalan, diikuti Raka dan yang lainnya. Dalam waktu tujuh menit, mereka sudah berada di pusat kamp — dan justru di sinilah semuanya mulai terasa salah.
Tak ada penjaga.
Tak ada alarm.
Tak ada perlawanan.
Ardi mengakses panel pintu menuju bunker bawah tanah. “Paket seharusnya ada di dalam.”
Pintu terbuka dengan bunyi desis.
Raka melangkah pertama, senjata terangkat.
Apa yang ia temukan bukan paket, melainkan jebakan.
Ledakan pertama menghantam dari atas.
Api menyambar langit malam. Bunyi logam beradu, tanah bergetar, dan tubuh-tubuh beterbangan. Raka terlempar ke belakang, menabrak dinding beton. Telinganya berdenging. Matanya kabur. Tapi satu suara menembus semua kekacauan itu — suara Ardi yang berteriak panik.
“Kita dijual! Raka… kita dijual!”
Bunyi tembakan menyusul. Guntur mengangkat Raka, menyeretnya ke sudut yang lebih aman. Tapi tubuhnya sendiri sudah penuh luka. Peluru menghantam sisi perutnya. Ia roboh, tapi masih sempat menggenggam lengan Raka erat.
“Seseorang di dalam kita… yang berkhianat.”
“Siapa?”
“Nama itu… kutinggal… di surat.”
Dan Guntur tak lagi bernapas.
Raka membeku.
Tak ada waktu untuk tangis. Ia menyalakan flare darurat dan mencoba menarik Ardi, tapi tubuh temannya itu sudah remuk oleh ledakan kedua. Ia hanya bisa meraih lencana kecil milik Ardi — satu-satunya sisa identitas dari tim yang kini tinggal sejarah.
Dalam kekacauan, hanya Raka yang berhasil lolos. Ia berjalan limbung di tengah senja yang kini merah bukan karena matahari, tapi karena darah rekan-rekannya.
Tiga hari kemudian.
Raka duduk di tepi dermaga kota pesisir Lamura, menatap laut yang tenang—kontras dengan yang terjadi di dalam dirinya. Di tangan kirinya, sebuah amplop lusuh yang ia temukan tersembunyi di rompi Guntur.
Amplop itu berisi satu lembar kertas.
Dan satu nama.
“Jendra.”
Nama yang tak asing.
Seorang perwira tinggi.
Dan… kakak kandungnya sendiri.
Tangannya mengepal.
Di depan, langit mulai menguning. Senja menggantung di ujung cakrawala, seolah mengingatkan bahwa tak semua matahari tenggelam dalam damai.
Dan mungkin, akan ada peluru yang mengakhirinya.
Bab 2 — Surat Terakhir
Laut di Lamura tenang, seperti tak pernah tahu tentang darah yang jatuh beberapa hari lalu di lembah timur. Raka menatap ombak dari balkon penginapan kecil yang menghadap ke dermaga. Di tangannya, amplop cokelat lusuh yang mulai robek di sudutnya. Tulisan tangan Guntur di sudut kanan bawah: “Untuk Raka, kalau aku tidak kembali.”
Ia telah membaca surat itu lima kali. Tapi tetap saja, setiap kata terasa seperti tembakan pelan ke dadanya. Surat itu bukan hanya ucapan perpisahan, melainkan petunjuk.
“Kalau kau baca ini, berarti kita gagal. Tapi kegagalan itu bukan karena kita lemah. Ada yang menjual kita dari dalam. Aku dengar percakapan terenkripsi sebelum operasi. Namanya disebutkan dengan kode ‘Bayang-01’. Tapi saat aku menyelidiki, semuanya mengarah ke satu nama: Jendra. Kau tahu siapa dia. Tapi aku tahu siapa dia sekarang. Dan aku yakin… dia bukan lagi orang yang sama seperti yang kau ingat.”
Nama itu terpatri di benak Raka. Jendra. Kakaknya sendiri. Perwira senior. Orang yang dulu ia hormati, panutannya dalam militer. Yang membawanya ke jalur pasukan khusus. Yang melindunginya saat kecil dari ayah mereka yang keras.
Tapi jika surat Guntur benar, maka semua yang ia tahu selama ini adalah kebohongan.
Raka menyandarkan kepalanya ke tembok. Angin laut membawa bau asin dan suara kapal-kapal kecil. Tapi di balik semua itu, pikirannya terus berputar.
Kalau Jendra adalah Bayang-01, apa motifnya? Siapa yang berada di belakangnya? Dan kenapa ia harus mengorbankan satu tim elite?
Siang harinya, Raka pergi ke rumah lama Guntur di pinggiran kota. Ia tidak masuk lewat pintu utama. Ia tahu sahabatnya terlalu paranoid untuk menyimpan sesuatu di tempat umum. Raka membuka jalan belakang—pintu kecil di dapur yang hanya mereka berdua tahu kodenya: 72694 — angka dari kemenangan pertama mereka dalam pelatihan.
Di dalam rumah, semuanya rapi. Terlalu rapi. Guntur bukan tipe orang yang merapikan segalanya. Itu berarti… seseorang sudah ke sini.
Raka langsung menuju ruang kerja tersembunyi di balik lemari buku. Di balik tumpukan dokumen biasa, ia menemukan satu perangkat USB kecil yang diselipkan dalam buku catatan tua. Isinya terenkripsi. Tapi nama file-nya cukup membuat darah Raka berdesir:
“JENDRA_LOG_A1.VOX”
Ia kembali ke penginapan dan menyalakan laptop bekas miliknya. Dengan perangkat lunak militer yang dulu mereka gunakan, ia berhasil membuka file itu.
Suaranya jelas. Tidak ada keraguan.
“Target operasi tim Alpha-7 telah disesuaikan. Mereka akan dikirim ke Lembah Merah sebagai bagian dari pembersihan aset lama. Satu dari mereka membawa bukti yang bisa membongkar proyek ‘Senja Hitam’. Tidak boleh ada yang kembali. Ulangi. Tidak boleh ada yang kembali.”
Suaranya adalah suara Jendra.
Hening.
Raka memejamkan mata. Sakit di dada tak lagi bisa ditahan. Guntur benar. Ini bukan pengkhianatan biasa. Ini adalah eksekusi dalam senyap terhadap orang-orang yang tahu terlalu banyak.
Malam itu, Raka kembali ke dermaga. Ia berdiri di bawah lampu jalan yang remang, memperhatikan kapal kargo tua yang tengah bersandar.
Dari arah berlawanan, seseorang muncul dari bayangan. Wanita, dengan rambut terikat ketat dan langkah ringan. Ia berhenti tiga meter di depannya.
“Sudah lama,” katanya.
Raka mengenalnya. Dira.
Mata mereka bertemu. Ada sejarah di sana. Dan luka.
“Kau yang mengirim info tentang tempat operasi?” tanya Raka dingin.
“Aku hanya meneruskan sinyal yang bocor. Tapi tak pernah menyangka kalian dijebak.”
“Kau tahu siapa yang di balik ini?”
Dira ragu. “Ada banyak lapisan dalam proyek Senja Hitam. Tapi jika benar Jendra terlibat, itu berarti kau masuk ke wilayah yang lebih dalam dari yang bisa kuakses.”
Raka mengangguk pelan. “Aku akan kejar ini. Sampai habis.”
“Kalau begitu… aku ikut.”
“Kenapa?”
Dira menatapnya, tajam namun penuh rasa yang tertahan. “Karena aku juga kehilangan orang-orangku. Dan karena aku tahu kau butuh lebih dari sekadar dendam. Kau butuh kebenaran.”
Pagi mulai menyingsing. Senja telah lewat, tapi bayangannya masih terasa di hati Raka.
Di tangan kirinya, surat terakhir dari Guntur. Di sampingnya, Dira — sekutu lama yang dulu ia tinggalkan karena terlalu takut kehilangan. Sekarang mereka berdua berdiri di titik yang sama: tak ada lagi yang bisa hilang… selain kebenaran itu sendiri.
Langkah pertama sudah diambil.
Dan peluru itu kini mulai mencari jalannya.
Bab 3 — Bayangan Lama
Langkah Dira terhenti di depan apartemen kecil yang ia sewa sejak beberapa bulan terakhir. Raka mengikutinya dari belakang, diam, hanya suara langkah mereka yang terdengar di koridor sempit berbau semen basah dan asap rokok yang mengendap. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan informan gelap yang hanya memberikan potongan kecil: “Bayang-01 bukan sendirian.”
Sesampainya di dalam, Dira langsung mematikan semua perangkat komunikasi di ruangan. Ia tahu betapa mudahnya informasi bocor sekarang, apalagi jika mereka sedang menyelidiki sesuatu sebesar Proyek Senja Hitam.
“Aku nggak pernah sangka kita akan duduk di ruangan yang sama lagi,” kata Dira sambil membuka jaket dan melemparkannya ke kursi. “Terakhir kali, kau pergi tanpa pamit.”
Raka diam. Ia berdiri di sudut ruangan, memandangi tumpukan berkas di meja Dira, sebagian besar bertanda kode: operasi rahasia, korupsi militer, penghilangan paksa. Isinya seperti neraka yang diketik rapi.
“Aku pikir kalau aku pergi… kau akan tetap aman.”
Dira menatapnya, lalu tertawa pendek, getir. “Lucu. Karena yang terjadi justru sebaliknya.”
Hening.
Raka menarik napas. “Aku tahu aku salah. Tapi aku kembali bukan untuk memperbaiki masa lalu.”
“Kau kembali karena Guntur mati.”
Raka menunduk. Ada rasa bersalah yang ia tahan sejak ledakan itu. Rasa yang belum bisa ia maafkan.
Dira berjalan ke meja, menarik satu map dari bawah tumpukan. Ia meletakkannya di hadapan Raka.
“Ini tentang Jendra,” katanya. “Aku sudah lama curiga padanya. Tapi aku tak punya cukup bukti. Hingga akhirnya Guntur menghubungiku tiga minggu lalu.”
Raka membuka map itu. Di dalamnya ada foto-foto satelit, potongan email terenkripsi, dan catatan transfer dana ke rekening-rekening tersembunyi. Nama Jendra tidak tertulis langsung, tapi semuanya mengarah ke kode yang sama: Bayang-01.
“Dia punya orang dalam di Badan Operasi Intelijen. Mereka mengaburkan data, memalsukan laporan. Proyek Senja Hitam dulunya program penghentian jaringan separatis. Tapi sekarang? Itu proyek pembersihan internal. Mereka singkirkan siapa pun yang tahu terlalu banyak.”
“Mereka membunuh orang-orang kita,” bisik Raka, pelan tapi tegas.
Dira menatap Raka dalam-dalam. “Dan mereka tidak akan berhenti. Apalagi setelah tahu kau selamat.”
Raka menggenggam map itu. Jemarinya gemetar menahan amarah.
“Kau tahu di mana Jendra sekarang?”
“Tidak. Tapi aku tahu siapa yang bisa bawa kita ke dia. Namanya Rivan. Dia mantan analis lapangan yang pernah kerja langsung di bawah Jendra, lalu menghilang. Kabarnya dia sekarang sembunyi di kawasan utara, di atas bukit tua dekat Stasiun Argama.”
“Rivan bisa jadi kunci,” gumam Raka.
Dira mengangguk. “Tapi dia tak percaya siapa pun. Dia hanya akan keluar kalau kau yang datang.”
Raka memandang Dira. “Kenapa aku?”
“Karena dia menganggapmu mati. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri.”
Malam menurunkan selimutnya saat Raka dan Dira duduk di balkon, berbagi segelas kopi dingin yang nyaris basi. Tapi tak ada dari mereka yang peduli. Suasana seperti jeda di antara dua ledakan — tenang tapi tegang.
“Kau masih suka senja?” tanya Dira tiba-tiba.
Raka menatap langit barat yang kemerahan.
“Aku masih suka… walau sekarang setiap senja mengingatkanku pada darah.”
Dira diam sejenak. “Waktu kau pergi dulu, aku benci semua yang berbau matahari terbenam. Rasanya seperti melihat sesuatu menghilang. Seperti kau.”
Raka tak menjawab. Tapi ia tahu, luka itu tak bisa sembuh hanya dengan kata maaf. Ia memilih menatap mata Dira dan berkata pelan, “Kali ini aku nggak akan pergi lagi.”
Dira menoleh, matanya mengunci pandangan Raka. “Kalau kau bohong lagi, aku sendiri yang akan memburumu.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir mereka, tapi hanya sebentar. Mereka tahu esok hari akan membawa bahaya yang lebih besar. Tapi malam itu, di antara sisa bayangan masa lalu dan lampu kota yang redup, dua orang lama yang dulu terpisah oleh senyap kini kembali berada di sisi yang sama.
Dan bayangan lama… akhirnya mulai bergerak kembali.
Bab 4 — Jejak dalam Debu
Kabut pagi menyelimuti jalanan berbatu menuju bukit tua di Argama. Angin yang bertiup membawa aroma tanah basah dan suara burung-burung liar yang jarang muncul di kota. Raka memegang setir dengan mantap, sementara Dira duduk di samping, matanya menatap jalanan kecil yang semakin sempit di depan mereka.
“Ini tempat yang kau bilang Rivan sembunyi?” tanya Raka, menyipitkan mata ke arah gubuk kayu di puncak bukit.
“Bukan gubuk. Itu pos pantau lama yang sudah dinonaktifkan. Tapi orang dalamku bilang dia masih ada di sana… kadang keluar cari logistik. Tapi dia paranoid. Kita harus hati-hati.”
Mobil berhenti beberapa ratus meter dari pos. Mereka melanjutkan dengan berjalan kaki, menyusuri jalan setapak berbatu dan tanah merah yang tertutup lumut. Sepi. Hening.
Tiba-tiba Raka mengangkat tangan. Ia melihat benang tipis nyaris tak terlihat melintang di antara dua pohon kecil.
“Perangkap,” bisiknya.
Dira mengangguk. “Dia masih hidup, dan dia tahu kita datang.”
Raka mengambil ranting dan memutuskan benang itu pelan-pelan. Sebuah ranjau kecil muncul dari semak. Bukan untuk membunuh — tapi cukup untuk memperingatkan. Rivan tidak main-main.
Mereka tiba di depan pos. Pintu kayu setengah lapuk, jendela tertutup seng. Raka melangkah ke depan, lalu berbicara lantang, “Rivan. Ini Raka. Aku tahu kau mendengar. Aku tidak datang untuk menyakitimu. Aku datang karena kita butuh jawaban. Karena Guntur sudah mati.”
Beberapa detik tak ada jawaban.
Lalu bunyi klik senapan dari dalam. Pintu terbuka perlahan. Seorang pria dengan rambut kusut, janggut lebat, dan mata tajam berdiri di ambang pintu. Senapannya diarahkan tepat ke dada Raka.
“Kau mati di Lembah Merah,” katanya pelan.
“Seharusnya begitu,” jawab Raka. “Tapi aku disisakan. Mungkin untuk dijadikan bukti kematian. Atau pengalih perhatian.”
Rivan menatap Dira, lalu kembali ke Raka. Perlahan ia menurunkan senjatanya.
“Masuk.”
Interior pos pantau itu sederhana: kasur tipis, meja berantakan dengan puluhan catatan dan peta, serta satu komputer tua yang masih menyala dengan suara kipas berderit. Rivan menuangkan kopi dari termos yang tampaknya sudah seminggu tak dibersihkan.
“Aku tahu Jendra akan memburuku. Karena aku tahu terlalu banyak,” katanya. “Tapi kalian… kalian seharusnya sudah mati. Lalu kenapa sekarang?”
“Karena seseorang berkhianat,” jawab Dira. “Dan kami yakin itu Jendra.”
Rivan tertawa pelan. “Yakin? Dia pembuatnya.”
“Maksudmu?”
Rivan berjalan ke meja dan mengambil satu berkas. Ia membukanya dan menunjukkan serangkaian nama kode dan tanggal.
“Proyek Senja Hitam awalnya adalah unit pelacak. Tujuannya memantau infiltrasi asing. Tapi Jendra mengalihfungsikan unit itu menjadi alat bersih-bersih internal. Ia menggunakan nama-nama seperti Bayang-01, Bayang-02, dan sebagainya. Mereka tidak hanya mengawasi, tapi juga… mengeksekusi.”
“Jadi… Guntur—”
“Adalah target,” potong Rivan. “Karena dia menemukan dokumen pengiriman senjata ilegal dari Jendra ke kelompok bersenjata di utara. Bukti itu cukup untuk menjatuhkan Jendra. Tapi dia terlalu percaya sistem. Dia terlalu jujur.”
Raka mengepalkan tangannya. “Dan kami… adalah collateral damage.”
“Tidak. Kalian adalah ancaman langsung. Alpha-7 bukan tim sembarangan. Kalian terlalu kompeten. Itu masalah bagi mereka.”
Dira melangkah maju. “Kau punya bukti? Rekaman, dokumen, apapun yang bisa menghubungkan Jendra ke semua ini?”
Rivan mengangguk. “Ada. Tapi aku menyembunyikannya. Di kota tua Parnala. Dalam ruang bawah tanah rumah ibuku yang sudah lama kosong. Hanya aku yang tahu letaknya.”
Raka berdiri. “Kalau begitu, kita pergi sekarang.”
Rivan mengangkat tangan. “Tunggu. Kalau kita ke sana, kita akan menarik perhatian. Mereka pasti sudah menebar mata-mata di sana. Kita harus menyamar. Jalan masuknya dari jalur selokan tua di sisi timur kota. Tapi satu hal…”
“Apa?”
“Kalian harus siap kalau ternyata… yang kalian cari bukan hanya soal pengkhianatan. Tapi tentang apa yang siap kalian lakukan ketika kebenaran itu akhirnya muncul.”
Saat matahari mulai condong ke barat, Raka, Dira, dan Rivan menuruni bukit. Jejak kaki mereka meninggalkan garis samar di tanah kering yang berdebu. Tapi Raka tahu, jejak mereka tak hanya di tanah. Mereka baru saja menginjak sesuatu yang lebih dalam — jaringan rahasia yang bisa menjatuhkan sistem. Atau menghancurkan mereka lebih dulu.
Dan peluru itu… masih menunggu ujungnya.
Bab 5 — Peluru Tak Bernama
Malam menggulung langit kota tua Parnala dalam selimut pekat, hanya diterangi oleh lampu jalan yang mati suri dan kilau lampu toko tua yang nyaris tak pernah buka. Raka menyusuri lorong sempit bersama Dira dan Rivan, menyamar sebagai gelandangan kota—pakaian compang-camping, wajah kotor abu, dan langkah tak pasti yang penuh kewaspadaan.
“Jalan selokan ada di belakang gedung tua ini,” bisik Rivan sambil menunjuk bangunan yang dulunya adalah bioskop. “Kita masuk lewat sana. Tapi hati-hati… mereka mungkin sudah menunggu.”
“Kita nggak punya pilihan,” balas Dira. “Kalau bukti itu sampai hilang, kita nggak bisa sentuh Jendra bahkan dengan peluru sekalipun.”
Raka menggenggam erat senjata pendek yang tersembunyi di balik jaket lusuhnya. “Dan aku yakin mereka tidak akan membiarkan kita keluar dengan mudah.”
Mereka menuruni lorong gelap di samping gedung. Di ujungnya, sebuah pintu besi berkarat menutupi terowongan selokan tua. Rivan membuka gembok dengan kunci yang tergantung di kalungnya—satu-satunya warisan dari ibunya yang masih tersisa.
Begitu pintu terbuka, aroma busuk dari kelembaban dan besi tua menyambut mereka. Derap langkah bergema dalam terowongan, diselingi suara air yang menetes dari pipa karatan di atas kepala.
“Berapa jauh?” tanya Raka.
“Lima ratus meter. Ada pintu masuk tersembunyi ke ruang bawah tanah di bawah rumahku,” jawab Rivan.
Mereka berjalan cepat. Raka tak suka tempat gelap sempit seperti ini. Terlalu banyak titik buta. Terlalu banyak tempat untuk jebakan.
Benar saja—suara kecil “klik” di bawah kaki Dira membuat mereka berhenti seketika.
“Jangan gerak,” bisik Raka, menunduk.
Dira berdiri di atas pelat kecil. Perangkap tekan.
“Matikan dari samping. Ada panel kecil di dinding,” kata Rivan cepat. “Empat digit. Kodenya ulang tahun ibuku.”
“Serius, Riv?” bisik Dira dengan keringat menetes.
“18.06.”
Dengan cekatan, Raka membuka panel logam kecil dan memasukkan kode. Bunyi desis terdengar—perangkap mati. Dira langsung melangkah mundur dan menghela napas berat.
“Selamat datang di nostalgia,” gumam Rivan getir.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di ujung terowongan. Di sana, dinding batu menutupi jalur, tapi Rivan menyibakkan satu batu besar dan menekan tuas tersembunyi di belakangnya. Dinding bergeser pelan, memperlihatkan tangga menurun ke ruang bawah tanah.
Raka memimpin masuk. Tempat itu gelap, lembab, tapi masih utuh. Di tengah ruangan, sebuah brankas tua menyatu dengan lantai beton.
“Dia bilang hanya sidik jari dan suara Rivan yang bisa buka itu,” kata Dira.
Rivan melangkah maju, meletakkan telapak tangannya di pemindai, lalu bicara pelan: “Senja tak akan diam selamanya.”
Bunyi klik logam terdengar. Brankas terbuka.
Di dalamnya ada tiga hal: satu hard drive, satu berkas fisik, dan… satu peluru.
Raka mengambil peluru itu dan memeriksa. Tak ada tanda. Tak ada nama.
“Ini…?”
“Peluru khusus. Hanya dibuat oleh pabrikan gelap yang bekerja untuk jaringan Bayang-01. Siapa pun yang terbunuh olehnya… dianggap ‘tidak tercatat’. Takkan pernah ada laporan otopsi resmi,” jelas Rivan.
Dira mengambil berkas dan membuka isinya. Foto-foto. Daftar transaksi. Nama-nama penting—termasuk pejabat yang masih aktif. Dan di antara mereka… potret Jendra, duduk berdampingan dengan sosok berjubah hitam yang belum dikenal.
“Ini bisa menumbangkan mereka semua,” bisik Dira.
Tapi sebelum mereka bisa beranjak, dor!—sebutir peluru menghantam dinding beton di belakang Raka.
“Sniper!” seru Rivan.
Mereka langsung merunduk.
“Dia di atas! Jendela belakang!”
Raka mengayunkan meja tua untuk jadi tameng. Peluru kedua menembus kayu, nyaris mengenai bahunya.
“Kita harus keluar dari jalur biasa. Jalur ventilasi!” teriak Rivan, menunjuk ke atas ruangan.
Mereka memanjat dengan cepat. Suara peluru terus menghantui telinga mereka, seperti desahan kematian yang tak mau pergi. Mereka berhasil keluar dari ventilasi sempit dan berlari ke arah gedung tua yang kosong.
Begitu mereka berhasil lolos dan kembali ke jalan gelap, napas mereka terengah. Raka menggenggam peluru tak bernama itu erat.
“Sekarang aku tahu… ini bukan sekadar misi,” gumamnya. “Ini eksekusi.”
Malam itu, mereka bersembunyi di sebuah rumah tua di pinggiran kota. Dira mulai menyalin data dari hard drive ke dua perangkat cadangan. Rivan membersihkan luka di lengannya.
Raka duduk di jendela, memandangi jalan yang sepi. Peluru itu kini ada di saku bajunya.
Tak ada nama. Tapi ia tahu, satu-satunya tempat yang layak untuk peluru itu… adalah jantung Bayang-01.
Bab 6 — Tiga Nama, Satu Luka
Angin dingin pagi itu menyelinap masuk lewat celah jendela kayu tua, menggigit kulit dan membekukan kenangan. Raka duduk sendirian di ruang tengah, menatap foto usang yang baru saja ditemukan Dira dalam berkas lama milik Rivan—foto lama dari tim Alpha-7. Di sana, ada tiga orang berdiri berdampingan: Raka, Dira, dan… Genta.
Nama yang tak pernah lagi disebut sejak Lembah Merah.
Langkah kaki pelan terdengar. Dira masuk, rambutnya diikat cepat, wajahnya lelah tapi tegas. Ia menatap foto itu, lalu duduk di sebelah Raka.
“Kau belum pernah tanya soal Genta, ya?” tanyanya lirih.
Raka mengangguk pelan. “Karena kupikir dia sudah mati… seperti yang lain.”
Dira menarik napas dalam, lalu berbicara. “Genta tidak mati di Lembah Merah. Dia… diselamatkan. Tapi oleh orang yang salah.”
Raka menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
“Dia tertangkap sebelum ledakan. Bukan terbunuh… tapi ditukar.”
Rivan masuk membawa secangkir kopi hangat. “Genta adalah satu dari tiga orang pertama yang tahu tentang manipulasi Proyek Senja Hitam. Tapi waktu itu, dia tidak tahu bahwa Jendra sudah mengendalikan segalanya dari balik layar.”
“Dan dia… menyerahkannya?” suara Raka menegang.
Dira menunduk. “Bukan menyerah. Genta dihadapkan pada pilihan. Menjadi martir yang tak akan pernah dikenang, atau bergabung dengan mereka dan menyelamatkan satu-satunya orang yang dia anggap keluarga.”
“Maksudmu…”
“Kau, Rak.”
Dunia Raka seperti membeku. Ia menatap kembali foto itu, seolah mencari jawaban di dalam tatapan beku masa lalu.
“Genta memberi informasi palsu tentang posisi kita ke musuh, sebagai imbalan untuk keselamatanmu. Mereka membiarkanmu hidup, membawa tubuhmu yang terluka untuk dijadikan ‘bukti mati’. Tapi pada akhirnya, mereka tak pernah berniat menyelamatkan Genta. Mereka hanya menggunakan dia—sama seperti mereka menggunakan kita.”
“Dan sekarang?” tanya Raka dengan suara berat.
“Sekarang Genta ada di sisi mereka. Mungkin karena sudah terlalu dalam, atau karena dia yakin ini satu-satunya cara bertahan,” jawab Rivan. “Namanya sekarang ada dalam daftar: Bayang-03.”
Hening menelan ruangan.
Raka berdiri perlahan. “Tiga nama, satu luka,” gumamnya.
Dira menatapnya, bingung. “Apa maksudmu?”
“Genta… kau… dan aku. Kita bertiga adalah korban dari satu luka besar—pengkhianatan. Tapi setiap dari kita menyembuhkan luka itu dengan cara berbeda. Genta memilih menjadi pisau, kau jadi mata pisau, dan aku? Aku cuma pecahan silet yang tercecer.”
Rivan menatap mereka berdua. “Masih ada satu hal lagi.”
Ia berjalan ke meja dan mengeluarkan foto lain. Di foto itu, tampak Jendra dalam pertemuan rahasia dengan dua sosok berjubah gelap. Salah satunya sudah teridentifikasi sebagai Bayang-02. Tapi yang satu lagi, lebih tinggi, lebih tegap… wajahnya buram.
Rivan menunjuk. “Aku punya alasan kuat untuk percaya, orang ini adalah Bayang-03. Dan kupikir itu… Genta.”
“Lokasinya?” tanya Raka cepat.
“Ada koordinat GPS yang tertanam di metadata foto ini. Dira bisa lacak lebih lanjut, tapi jika benar… mereka berada di salah satu pos rahasia Bayangan di perbatasan timur. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka pindah.”
Dira berdiri. “Aku akan siapkan senjata dan kendaraan. Kita bergerak malam ini.”
Saat Rivan keluar, Raka memandangi foto lama itu sekali lagi. Kali ini, ia merobeknya menjadi dua. Separuh dengan dirinya, dan separuh lagi… tempat Genta berdiri.
“Kalau benar Genta masih hidup,” katanya pelan. “Maka aku harus jadi orang yang menemukannya dulu. Entah untuk mengingatkannya… atau mengakhirinya.”
Malam itu, ketiganya bersiap. Di luar, suara hutan dan binatang malam seperti orkestra yang menyambut langkah mereka menuju takdir yang tak bisa dihindari. Dira memeriksa peluru, memastikan setiap butir punya alasan.
Raka menyelipkan satu peluru di saku dadanya—peluru tak bernama yang mereka temukan di ruang bawah tanah. Kini, ia tahu untuk siapa peluru itu disiapkan.
Genta.
Nama yang pernah menjadi saudara. Kini mungkin menjadi sasaran.
Dan di ujung senja nanti, hanya satu dari mereka yang akan berjalan keluar dari bayangan.
Bab 7 — Kode Terakhir
Langit timur masih gelap ketika kendaraan tak berlampu milik Dira melaju pelan di jalanan berbatu perbatasan. Di kejauhan, siluet pegunungan berdiri seperti penjaga bisu terhadap rahasia yang tertanam dalam gelap.
Rivan menunjuk layar tablet di pangkuannya. “Pos itu ada di balik tebing utara. Disamarkan sebagai stasiun radar militer yang sudah ditinggalkan. Tapi satelitku menangkap pola panas dari dalam. Aktivitas minimal, tapi konstan. Mereka tidak sendirian.”
“Berapa penjaga?” tanya Raka.
“Empat di luar, dua di dalam. Tapi bisa lebih. Mereka suka pakai sensor gerak dan drone senyap.”
Dira melirik kaca spion. “Kalau begitu kita masuk lewat jalur lama. Terowongan teknis yang digunakan untuk saluran listrik dan udara. Aku sudah simulasikan lintasannya.”
Mereka berhenti sejauh dua kilometer dari titik utama. Langit mulai berubah biru, tapi bayang-bayang masih panjang. Waktu paling tepat untuk menyerang: saat pagi belum bangkit, dan malam belum benar-benar pergi.
Jalur masuk berada di bawah pondasi batu besar. Raka mencongkel pelat baja berkarat, mengungkap lubang gelap selebar tubuh manusia. Dira masuk lebih dulu, diikuti Rivan dan Raka terakhir.
Terowongan sempit dan berliku, penuh dengan sarang laba-laba dan kabel mati yang menggantung seperti benang kusut masa lalu. Tapi di ujungnya, ada cahaya redup: ruang kontrol lama yang kini dijadikan ruang penyimpanan data cadangan.
Rivan duduk di depan terminal. “Kalau benar ini markas Bayangan, maka sistemnya masih punya protokol darurat. Dan kalau aku benar, kode terakhir yang pernah dibuat Jendra untuk aktivasi protokol pembersihan… masih tersimpan di sini.”
“Pembersihan?” tanya Dira.
“Ya. Sistem ‘hapus jejak’ otomatis. Ketika misi Bayang-01 gagal atau terdeteksi oleh pihak luar, sistem akan menghapus semua jejak digital, identitas, dan bahkan orang-orang yang terlibat.”
Raka menyipitkan mata. “Termasuk Genta?”
Rivan mengangguk. “Kalau dia masih di daftar. Tapi kita bisa ubah. Kalau kita temukan kode terakhir, kita bisa balas dengan cara yang tak bisa mereka hindari.”
Jari-jarinya menari di atas papan ketik. Beberapa kali sistem menolak akses, tapi akhirnya… klik. Sebuah jendela terbuka. Di layar, muncul:
PROTOKOL B-0: AKSES KODE TERAKHIR
“Ini dia,” bisik Rivan. “Tapi butuh satu lagi…”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari koridor. Lalu suara—tegas, rendah, dan sangat dikenal.
“Kalian tidak berubah. Masih suka bermain dengan waktu.”
Raka berbalik. Di ambang pintu, berdiri seseorang dengan pakaian hitam tak bercorak. Rambutnya kini pendek, wajahnya lebih keras. Tapi matanya… tetap sama.
Genta.
“Genta…” bisik Dira, antara marah dan rindu.
“Aku tidak datang untuk berkelahi,” kata Genta tenang. “Aku datang karena aku tahu kalian akan sampai di sini. Dan karena aku yang menyimpan kodenya.”
“Kenapa?” tanya Raka, suaranya dingin.
“Karena aku ingin mengakhiri ini. Bukan sebagai Bayang-03. Tapi sebagai Genta… teman kalian.”
Mereka saling menatap. Senjata masih tergenggam, tapi tak ada peluru yang dilepas.
“Aku lakukan banyak hal buruk. Tapi semua karena satu alasan: kalian,” lanjut Genta. “Aku coba melindungi, tapi aku jadi alat mereka. Sekarang aku punya kesempatan membalikkan keadaan. Aku bawa kode terakhir ini.”
Ia berjalan ke komputer, memasukkan sandi. Di layar, muncul satu kalimat:
Aktivasi Protokol B-0: Masukkan Nama Sasaran Utama.
“Kau tahu ini akan membuatmu buruan,” kata Raka.
“Aku sudah buruan sejak aku memilih jalan itu. Sekarang aku hanya ingin satu hal… balas dendam yang adil.”
Genta mengetik:
NAMA: JENDRA ARDIAN
Layar bergetar. Sistem mulai proses pengumpulan data, lokasi, transaksi. Semua jejak yang bisa mengarah pada Jendra—semuanya akan diekspos otomatis ke seluruh jaringan intelijen, sipil dan militer.
“Sekarang tinggal satu langkah lagi,” kata Genta.
Rivan memverifikasi prosesnya. “Dalam 10 menit, seluruh sistem Bayang-01 akan kolaps. Tapi… mereka akan tahu kita yang mulai ini.”
Tiba-tiba sirine berbunyi. Sistem mendeteksi akses tidak sah. Lampu merah menyala.
“Waktu kita habis,” kata Raka. “Kita keluar sekarang!”
Mereka berlari menuju jalur ventilasi saat suara langkah berat mengejar dari belakang. Peluru mulai bersiul di udara. Dira membalas dengan tembakan penutup, Rivan menutup akses data, dan Genta… berhenti di tengah lorong.
“Kalian pergi. Aku tahan mereka di sini.”
“Genta, jangan—!” seru Raka.
Tapi Genta hanya tersenyum. “Ini luka yang harus kututup sendiri.”
Pintu baja ditutup dari dalam. Raka hanya bisa menatap lewat celah, melihat sahabat lamanya melempar granat asap dan mengangkat senjata.
Di luar, mereka lolos ke balik hutan pinus. Cahaya pagi mulai menembus langit. Raka jatuh terduduk, memegang peluru tak bernama di tangannya.
Kini, peluru itu tak perlu ditembakkan.
Karena Genta telah memilih jalan terakhirnya.
Dan di belakang mereka, sistem yang selama ini membunuh dalam diam—akhirnya mulai runtuh… satu kode terakhir yang menyala di layar.
“Keadilan Tak Butuh Nama.”
Bab 8 — Di Ujung Laras
Langit sore di atas kota Seruni dibalut warna jingga keemasan, seolah ikut menyaksikan babak terakhir dari drama berdarah yang telah memakan begitu banyak jiwa. Di sebuah apartemen tua di lantai paling atas, Raka berdiri menghadap jendela, laras senjatanya disandarkan ke dinding. Dira duduk di meja kecil, merakit kembali perangkat pengacak sinyal milik Rivan.
“Jadi… ini tempatnya,” gumam Raka sambil memandangi gedung kaca tinggi di seberang jalan. Di puncaknya, berkibar bendera dengan lambang organisasi intelijen—di balik dinding itu, Jendra bersembunyi.
“Bukan hanya tempat persembunyian,” jawab Rivan, masuk dengan membawa berkas. “Ini markas utama barunya. Setelah sistem Bayangan runtuh kemarin, dia memindahkan semua datanya ke sini. Tapi yang paling penting… dia membawa dirinya sendiri.”
Dira menatapnya cepat. “Kau yakin?”
Rivan mengangguk. “Dia pikir tempat ini cukup aman. Dikelilingi pengawal bersenjata, dinding anti-ledakan, dan sistem keamanan terbaru. Tapi satu hal yang dia lupa: saat sistem runtuh, semua mata yang selama ini tertutup mulai terbuka. Termasuk mata para mantan sekutu.”
Raka mengambil senjatanya dan memeriksa peluru terakhir di dalam magasin. Bukan peluru tak bernama yang dibawanya selama ini—yang sudah ia tinggalkan di tempat Genta jatuh. Tapi peluru baru, berukir satu inisial: “J.A.”
Inisial Jendra Ardian.
“Bagaimana kita masuk?” tanya Raka.
Rivan menggeser layar laptop. Sebuah peta tiga dimensi terbuka, menampilkan denah gedung.
“Ada jalur servis dari bawah tanah yang terhubung langsung ke lift pribadi. Jendra menggunakannya untuk keluar-masuk tanpa melewati pos utama. Tapi sistemnya pakai sensor retina.”
“Dan kau bisa bajak?”
Rivan mengangguk, lalu mengangkat kotak kecil berisi lensa plastik. “Dengan ini. Genta pernah menyelundupkan rekaman retina Jendra ke dalam chip darurat. Dia mungkin tahu suatu saat kita akan membutuhkan ini.”
Dira mendekat, menatap peta. “Kalau kita gagal… tidak akan ada kesempatan kedua.”
“Justru karena itu kita harus berhasil,” jawab Raka datar. “Kita semua kehilangan seseorang karena pria itu. Ini bukan sekadar misi. Ini penebusan.”
Malam turun perlahan. Di lorong bawah tanah, ketiganya bergerak dalam diam. Hanya suara langkah dan detak jantung yang terdengar. Di depan pintu logam besar, Rivan menyambungkan kabel ke panel retina, menempelkan chip.
Klik. Pintu terbuka.
Lift kecil membawa mereka ke lantai 80, ruang pribadi Jendra. Begitu pintu terbuka, mereka mendapati ruangan gelap, hanya diterangi cahaya dari lampu gantung kristal.
“Sudah sampai,” bisik Raka, menaikkan laras senjatanya.
Tapi langkah mereka terhenti saat suara berat terdengar dari balik bayangan.
“Aku sudah menunggu kalian.”
Lampu menyala. Di ujung ruangan, berdiri Jendra Ardian—masih gagah, berpakaian setelan hitam, memegang tongkat yang ujungnya tersembunyi pelatuk kecil.
“Kalian datang… dengan wajah kecewa,” katanya sinis.
“Genta mengorbankan dirinya untuk mengungkapmu,” kata Dira tajam. “Tapi kau… masih bisa berdiri dan tertawa?”
Jendra mendesah. “Genta adalah pion. Kalian semua adalah pion. Bahkan aku pun pion dalam permainan ini. Tapi bedanya… aku yang memegang papan.”
Raka maju selangkah. “Tidak lagi.”
Jendra mengangkat tongkat, menekan tombol kecil. Tiba-tiba, dinding bergetar. Dua pria bertubuh besar muncul dari balik panel, bersenjata lengkap. Tapi sebelum mereka sempat menembak, Dira sudah menjatuhkan satu dengan tembakan presisi. Rivan melumpuhkan yang satu lagi dengan alat kejut.
Kini hanya Jendra dan Raka.
Dua pria yang mewakili dua jalan berbeda—pengkhianat dan yang dikhianati.
“Kau pikir kau bisa mengakhiri ini hanya dengan satu peluru?” tanya Jendra sambil tersenyum miring.
Raka mengangkat senjatanya, membidik langsung ke dada pria itu. “Tidak satu peluru. Tapi peluru yang cukup untuk menutup semua luka.”
Jendra mengangkat tangan. “Kalau aku mati, kebenaran ikut mati.”
“Kau salah,” sahut Dira. “Semua datamu sudah kami unggah ke jaringan bebas. Kejaksaan, media, organisasi HAM. Dunia akan tahu. Kau hanya simbol, Jendra. Dan waktumu sudah habis.”
Wajah Jendra menegang. Untuk pertama kalinya, dia terlihat takut.
Raka mendekat, menurunkan senjata perlahan. “Peluru ini bukan untuk membalas. Tapi untuk mengakhiri.”
Dan dia menembakkan peluru—bukan ke Jendra, tapi ke konsol di belakang pria itu. Layar meledak, menghancurkan satu-satunya jalan keluar digital milik Jendra.
“Kau akan diadili. Di pengadilan. Di depan dunia,” kata Raka.
Dira dan Rivan mengikat Jendra yang kini tak berdaya.
Di luar, sirene polisi mulai terdengar—Rivan sudah mengirim sinyal begitu mereka masuk. Dunia kini tahu, dan kebenaran yang selama ini terpendam dalam bayangan… akhirnya menyembul ke permukaan.
Saat mereka meninggalkan gedung, langit mulai memucat. Senja telah berlalu. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… tidak ada peluru, tidak ada darah.
Hanya keheningan.
Dan di dalam keheningan itu, Raka memandang ke langit.
“Genta… sudah selesai.”
Bab 9 — Peluru di Ujung Senja
Senja kembali menyapa langit Seruni dengan semburat merah keemasan. Tapi kali ini, bukan sebagai pertanda pertumpahan darah, melainkan sebagai saksi bisu atas sebuah akhir dan awal yang baru. Gedung tinggi tempat Jendra ditangkap kini dipenuhi oleh garis polisi dan kamera media. Dunia akhirnya melihat wajah pria yang selama ini bersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan.
Raka berdiri di pinggir atap gedung tua, memandangi lalu lintas kota yang kembali bergerak seperti biasa. Tangan kanannya menggenggam sesuatu yang kecil, dingin, dan berat—peluru terakhir. Bukan untuk dibidikkan, tapi untuk dikenang.
Di belakangnya, langkah ringan mendekat. Dira, mengenakan hoodie abu-abu dan ransel kecil di punggung, bergabung di sisinya. “Kau masih menyimpan itu?” tanyanya pelan, menunjuk peluru di tangan Raka.
Raka menatapnya, lalu mengangguk. “Peluru ini dulu kupikir akan kupakai untuk balas dendam. Tapi sekarang… aku tidak yakin itu masih tujuannya.”
Dira mengangguk pelan. “Mungkin memang tidak. Mungkin dari awal, peluru itu cuma simbol. Bukan senjata. Tapi beban.”
Rivan menyusul dari tangga, membawa tiga botol soda kaleng. “Kupikir kita pantas rayakan ini. Meskipun… aneh rasanya merayakan akhir dari pertarungan yang penuh kematian.”
“Kita tidak rayakan kematian,” kata Dira sambil membuka kalengnya. “Kita rayakan bahwa akhirnya… kita bisa berhenti berlari.”
Raka menatap dua temannya, lalu duduk di pinggir atap. “Kau akan ke mana setelah ini, Rivan?”
“Ke selatan. Ada proyek teknologi untuk membongkar arsip digital gelap di sana. Mereka butuh orang yang tahu bagaimana sistem-sistem busuk itu bekerja.”
Dira menyela, “Aku dengar Jendra akan disidang secara terbuka. Livestream. Dunia akan menyaksikan bagaimana ia menciptakan sistem pembunuh dengan legalitas semu.”
Raka menatap matahari yang semakin rendah. “Lalu… setelah dia divonis? Apa dunia akan berubah?”
Dira menunduk, menghela napas. “Mungkin tidak langsung. Tapi setidaknya, sekarang orang-orang tahu siapa yang harus mereka lawan. Bayangan itu sudah tak lagi tak terlihat.”
Hari berganti malam. Mereka bertiga berjalan menyusuri gang kecil menuju sebuah rumah makan tua di sudut kota. Tempat itu dulunya jadi markas awal mereka saat masih bersama Genta. Meja di pojok kanan, dekat jendela, masih ada. Tidak berubah.
Pemilik rumah makan, seorang pria tua, tersenyum menyambut mereka. “Sudah lama. Aku pikir kalian tak akan kembali.”
“Kami pikir juga begitu,” jawab Raka.
Mereka duduk, memesan makanan, dan berbincang seperti dulu. Tidak ada sandi, tidak ada strategi. Hanya cerita-cerita masa lalu, tawa kecil, dan keheningan yang tak lagi menyakitkan.
Saat malam semakin larut, Raka berdiri dan menuju papan pengumuman di dinding. Di sana masih tertempel foto lama: Raka, Genta, Dira, dan Rivan—berdiri di depan kendaraan tua dengan senyum muda dan penuh harapan.
Ia menempelkan peluru terakhir di bawah foto itu, dengan seutas benang kecil.
Dira mendekat. “Kau yakin ingin meninggalkannya di sini?”
“Ya,” jawab Raka. “Karena aku tak mau peluru ini terus menemaniku. Aku sudah cukup hidup di bawah bayangannya.”
Rivan menambahkan pelan, “Dan karena peluru ini… sudah mencapai ujung senja-nya.”
Keesokan harinya, berita di televisi menampilkan sidang pertama Jendra Ardian. Raka menyaksikannya dari rumah kecil di pinggir kota. Kamera menangkap wajah Jendra yang untuk pertama kalinya terlihat rapuh, lelah, dan terpojok.
Raka menatap layar tanpa emosi, lalu mematikan televisi.
Di luar, matahari kembali tenggelam. Senja yang sama, tapi berbeda rasa.
Ia keluar rumah, berjalan menyusuri padang ilalang. Tempat Genta pernah bercerita tentang impiannya: membangun dunia di mana tidak ada lagi yang dibunuh karena informasi. Tidak ada yang dikubur karena rahasia.
Di tengah padang, Raka berhenti, menatap langit.
“Sudah selesai, Genta,” gumamnya. “Kau bisa tenang sekarang.”
Dan angin senja berhembus pelan. Tidak membawa bau darah, tidak membawa suara ledakan. Hanya sejuk. Hanya damai.
Epilog
Dua tahun kemudian, museum kecil dibuka di pusat kota Seruni. Bernama “Rumah Bayang-Bayang”, tempat mengenang para korban dari sistem rahasia Bayangan, dan menghormati mereka yang melawannya.
Di satu sudut ruangan, terdapat kotak kaca kecil. Di dalamnya: sebutir peluru berukir, tergantung di seutas benang.
Di bawahnya, tertulis:
“Bukan peluru yang menentukan akhir, tapi keputusan untuk tak lagi menembak.”
— Peluru di Ujung Senja***
———–THE END————–