Bab 1: Awal yang Kelam
Kota ini tak pernah tidur. Setiap detik, kehidupan berlalu dengan kecepatan yang memukau, seolah-olah tak ada waktu untuk berhenti sejenak, bernafas, atau merenung. Begitu pun dengan Nadia, yang setiap harinya tenggelam dalam rutinitas yang sama. Pagi hari, dia terbangun dengan mata yang masih berat, lalu bergegas ke kantor, bertemu orang-orang yang hampir semuanya tampak sibuk dengan urusan masing-masing, dan kembali ke rumah dengan langkah lesu. Tapi ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya: sebuah rasa kosong yang terus menggerogoti hati dan pikirannya.
Hari itu, seperti kebanyakan hari lainnya, Nadia bangun dengan pikiran yang berat. Jam alarm berdenting keras, menyadarkannya dari tidur yang terganggu. Ia tertegun beberapa saat, menatap langit-langit kamar yang kini terasa begitu asing, seakan-akan ruang itu penuh dengan bayangan kebosanan dan kekecewaan.
Nadia menghela napas panjang, menyentuh dadanya, merasakan detakan jantungnya yang seolah mengingatkan akan beban yang ia bawa sejak beberapa bulan terakhir. Hubungan dengan Ardi, kekasihnya yang sudah bertahun-tahun ia jalin, baru saja berakhir. Bukan dengan cara yang tenang atau damai, melainkan dengan kata-kata yang tajam dan air mata yang tak bisa lagi dibendung. Ardi memilih meninggalkan Nadia dengan alasan yang masih terasa kabur di benaknya, meski kata-kata “aku tak mencintaimu lagi” adalah pukulan terakhir yang begitu menyakitkan.
Setiap pagi, ia selalu merasa seperti seseorang yang berjalan tanpa tujuan. Pekerjaannya di perusahaan marketing yang besar tidak lagi memberi kebahagiaan. Nadia dulu sangat bersemangat ketika pertama kali mendapat pekerjaan ini. Di awal, dia merasa seolah hidupnya akan berubah menjadi lebih baik. Namun sekarang, semuanya terasa hampa. Setiap proyek yang diselesaikan hanya membawa kesuksesan sementara yang tidak pernah bisa menutupi kesedihannya yang dalam. Di kantor, ia merasa tidak dihargai. Pemimpin tim yang selalu menuntut kesempurnaan, kolega yang sibuk dengan kepentingan pribadi, dan akhirnya dirinya sendiri yang hanya menjadi bagian dari rutinitas yang monoton.
Setelah berpakaian dan menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, Nadia bergegas keluar dari apartemennya yang kecil, lalu menuju halte bus. Seperti biasa, perjalanan pagi itu penuh dengan hiruk-pikuk orang yang berdesakan untuk menuju tempat kerja mereka masing-masing. Nadia menatap kosong ke arah jalan, mendengarkan suara bising kendaraan yang lalu-lalang, namun pikirannya justru melayang ke kenangan-kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kenangan tentang Ardi yang dulu begitu penuh cinta. Mereka berdua dulu punya banyak rencana untuk masa depan—rumah, keluarga, perjalanan bersama. Namun kini, semua itu hanyalah mimpi yang hancur berkeping-keping. Setiap detik yang berlalu, rasa kecewa dan kebingungan selalu datang menghampiri, mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya.
Di kantor, hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Nadia memasuki ruangannya, berusaha tetap terlihat profesional meski hatinya sedang patah. Timnya sedang mengerjakan presentasi penting untuk klien besar yang harus diselesaikan hari itu. Namun, setiap kali Nadia mencoba fokus, pikirannya selalu kembali pada kenangan buruk itu. Ardi dan kata-katanya yang menghancurkan hati, “Aku tidak pernah merasa bahagia lagi bersama kamu.”
Presentasi berjalan dengan lancar, tapi Nadia tidak bisa merasakannya. Di ruang rapat, para kolega memberikan apresiasi atas kinerja tim, namun Nadia merasa seolah-olah itu bukan untuk dirinya. Semua pujian itu terasa kosong. Tidak ada yang mengerti betapa ia merasa terperangkap dalam hidupnya, seperti seekor burung yang terkurung dalam sangkar emas. Tidak ada yang tahu betapa beratnya beban yang dia rasakan setiap hari.
Setelah rapat selesai, Nadia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar gedung kantor. Angin malam yang sejuk sedikit memberi ketenangan, namun perasaan terpuruk itu tetap ada, menggantung di dadanya. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti alur jalan yang membawanya lebih jauh dari gedung kantornya. Di sinilah, di tengah kota yang ramai ini, dia merasa sepi. Semua orang berjalan begitu cepat, berbicara, tertawa, sementara dia seolah menjadi bayangan di antara keramaian itu.
Lama kelamaan, Nadia berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku yang sepi. Hanya ada suara-suara alam yang terdengar, angin yang mengusap daun-daun pohon, dan desahan nafas Nadia yang berat. Ia menutup matanya, mencoba meresapi kesunyian yang jarang sekali ia temui di tengah kota yang tak pernah berhenti bergerak.
“Semuanya terasa salah,” gumam Nadia pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ia merasa lelah, tidak hanya fisik, tetapi juga batin. Selama berbulan-bulan, ia berusaha untuk tetap tegar, tapi kini ia merasa rapuh. Dunia seakan menuntutnya untuk terus berjalan tanpa memberikan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan sejati.
Tiba-tiba ponselnya berdering, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Itu pesan dari Lila, sahabatnya yang selalu ada di saat-saat terburuk.
“Nad, gimana kabarmu? Kapan kita ketemu? Aku tahu kamu butuh cerita.”
Nadia menatap pesan itu beberapa lama. Lila adalah orang yang selalu mendukungnya, tidak peduli seberapa berat pun cobaan yang sedang ia hadapi. Tapi Nadia tahu, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Bagaimana ia bisa membuka diri, jika hatinya masih terluka?
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nadia membalas pesan itu.
“Aku… sedang merasa sangat terpuruk, Lil.”
Lila membalasnya dengan cepat.
“Kamu butuh waktu, Nad. Tapi ingat, jangan biarkan dirimu terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu. Ayo, kita pergi ke suatu tempat. Kita harus bicara.”
Nadia menatap pesan itu lama. Sebuah ajakan yang sangat sederhana, tapi entah kenapa, terasa seperti secercah harapan di tengah gelapnya malam yang membelenggu hatinya. Mungkin, ada sesuatu yang bisa membantunya untuk keluar dari kegelapan ini. Mungkin ada pelangi yang bisa ditemukan setelah hujan yang tak kunjung reda.*
Bab 2: Menyusun Kembali Patah Hati
Nadia mengangkat wajahnya, menatap langit yang cerah. Matahari sore bersinar lembut, memberi kehangatan pada udara yang mulai sedikit dingin. Setelah seminggu penuh tenggelam dalam kesibukan kerja dan rutinitas yang monoton, hari ini ia memutuskan untuk bertemu dengan Lila, sahabatnya yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, meskipun hanya untuk sejenak.
Lila sudah menunggunya di kafe kecil yang mereka sering kunjungi. Kafe itu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi mereka untuk berbagi cerita—baik yang membahagiakan maupun yang menguras air mata. Nadia melangkah masuk dengan langkah ragu, namun begitu melihat Lila, ada rasa hangat yang mengalir dalam dirinya. Lila tersenyum lebar, mengundangnya untuk duduk di hadapannya.
“Nad, kamu terlihat lelah,” ujar Lila dengan nada penuh perhatian. Nadia hanya tersenyum tipis dan duduk di kursi seberang. Tiba-tiba, dunia terasa sedikit lebih ringan. Kehadiran Lila seakan mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanan hidup yang penuh gejolak ini.
“Bukan hanya lelah, Lil. Rasanya… aku kehilangan arah,” Nadia menghela napas panjang, menghapus semua rasa cemas yang ada di hatinya. “Hubungan dengan Ardi berakhir begitu saja, dan pekerjaan juga tidak membuatku bahagia lagi. Rasanya seperti aku terjebak dalam rutinitas yang nggak ada ujungnya.”
Lila mengangguk, seolah paham benar dengan apa yang dirasakan sahabatnya. “Aku tahu, Nad. Aku lihat kamu mulai kehilangan semangat sejak perpisahan itu. Tapi kamu harus tahu, kehidupan nggak akan berhenti di situ. Kamu masih punya kesempatan untuk memulai lagi.”
Nadia menundukkan kepala, mengaduk kopi di hadapannya. Kata-kata Lila terasa menusuk, seakan membuka luka yang baru saja ia coba tutupi. Bagaimana bisa ia memulai lagi? Apakah setelah semuanya berakhir, ada lagi jalan yang bisa ia pilih? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, seperti roda yang tak pernah berhenti berputar.
Lila mengulurkan tangan, menggenggam tangan Nadia dengan erat. “Nad, kamu nggak perlu langsung memutuskan semuanya. Tapi, aku tahu kamu butuh perubahan. Kamu butuh ruang untuk meresapi semua yang terjadi, untuk sembuh. Dan aku pikir, kamu perlu pergi, menjauh dari semuanya, mencari ketenangan.”
Nadia mengangkat kepala, menatap sahabatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Pergi ke mana, Lil? Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa… hidup ini nggak ada artinya lagi.”
“Ke tempat yang bisa mengingatkan kamu pada hal-hal yang lebih sederhana,” jawab Lila dengan tenang. “Aku dengar ada sebuah desa kecil di pegunungan. Tempat yang sepi, jauh dari keramaian kota. Mungkin itu bisa jadi tempat yang kamu butuhkan untuk merenung. Jauh dari pekerjaan, jauh dari masalah. Kamu hanya butuh waktu untuk menemukan diri kamu sendiri lagi.”
Nadia terdiam beberapa saat, memikirkan kata-kata Lila. Desa di pegunungan? Apa mungkin itu bisa membantunya keluar dari rasa gelap yang selama ini mengurungnya? Namun, entah kenapa ada sebuah rasa ingin tahu yang muncul dalam dirinya. Mungkin ini saatnya untuk mencoba sesuatu yang baru, meninggalkan rutinitas dan memberi dirinya kesempatan untuk sembuh.
Akhirnya, setelah beberapa hari berpikir, Nadia memutuskan untuk mengikuti saran Lila. Ia mengemas barang-barangnya, meninggalkan kota yang selama ini ia kenal, dan menuju desa kecil yang terletak jauh di pegunungan. Lila sudah merencanakan perjalanan itu, dan mereka berdua berangkat bersama-sama.
Sesampainya di desa, udara segar langsung menyambut mereka. Hawa pegunungan yang dingin namun menenangkan membuat Nadia merasa sedikit lebih ringan. Mereka menginap di sebuah penginapan kecil yang dikelola oleh seorang wanita paruh baya yang ramah. Selama beberapa hari, Nadia hanya menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar desa, menikmati pemandangan yang jauh berbeda dari keramaian kota yang biasa ia hadapi.
Pada suatu pagi, setelah sarapan, Lila mengajak Nadia untuk berjalan lebih jauh ke dalam hutan. Mereka melewati jalan setapak yang dipenuhi dengan pepohonan hijau, dan suara alam yang menyegarkan hati. Tiba-tiba, di tengah perjalanan, Lila berhenti dan menunjuk ke sebuah rumah sederhana yang tampak berbeda dengan bangunan lainnya di desa itu. Rumah itu terletak di ujung jalan kecil, dikelilingi oleh kebun sayur yang terawat rapi.
“Itu rumah Raka,” kata Lila dengan suara pelan. “Dia seorang petani muda yang tinggal di sini. Dia orang yang baik dan selalu membantu orang lain. Mungkin kamu akan suka berbicara dengannya.”
Nadia mengangkat alis, merasa penasaran. “Petani muda? Apa yang membuatmu begitu yakin?”
Lila tersenyum. “Dia punya cara pandang yang unik tentang hidup. Mungkin, kamu akan mendapatkan perspektif baru dari dia.”
Nadia mengangguk pelan, kemudian mengikuti Lila menuju rumah Raka. Setibanya di sana, mereka disambut oleh Raka, seorang pria dengan rambut hitam lebat dan tatapan mata yang tajam namun penuh kebaikan. Meskipun ia tampak sederhana, ada sesuatu yang membuat Nadia merasa nyaman berada di dekatnya.
Raka mengajak mereka duduk di teras, sambil menikmati teh yang baru saja diseduh. Percakapan mereka mengalir begitu alami. Raka bercerita tentang kehidupan di desa, tentang bagaimana dia merawat tanah dan tanaman dengan penuh cinta. Ia juga berbagi pandangannya tentang hidup yang sederhana, bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari materi atau pencapaian besar, tetapi dari ketenangan dalam hati dan kesederhanaan dalam menjalani hari-hari.
Nadia mendengarkan dengan seksama, terkesan oleh cara Raka memandang hidup. Di tengah kesulitan yang ia hadapi, Raka tidak pernah merasa tertekan atau terbebani. Sebaliknya, ia menemukan kedamaian dalam setiap langkah kecil yang ia ambil. Nadia merasa, mungkin inilah yang ia butuhkan—untuk melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda, untuk menerima kenyataan bahwa hidup tidak selalu harus sempurna untuk bisa bahagia.
Sejak saat itu, Nadia semakin sering berbincang dengan Raka. Setiap percakapan mereka memberikan pemahaman baru, dan sedikit demi sedikit, hati Nadia mulai terbuka kembali. Ia menyadari bahwa meskipun masa lalunya terasa gelap, ada banyak pelajaran yang bisa ia petik dari pengalaman itu. Kehidupan memang tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi ada banyak cara untuk menemukan kebahagiaan dalam perjalanan yang tak terduga.*
Bab 3: Awan Kelabu
Pagi itu, udara di desa terasa begitu sejuk. Setiap hirupan napas yang diambil Nadia seakan membawa rasa ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pepohonan di sekelilingnya berdesir pelan, menyapa angin yang membawa aroma tanah dan dedaunan. Namun meskipun begitu, ada sesuatu di dalam diri Nadia yang tetap terasa kosong, seperti sebuah ruang yang belum terisi. Ia masih merasa terjaga dalam bayang-bayang kehidupannya yang lama, dan meski pemandangan di sekitar terasa damai, hatinya belum sepenuhnya tenang.
Nadia duduk di beranda rumah penginapan, menatap lembah hijau yang membentang luas di depannya. Lila duduk di sampingnya, menatap langit yang mulai berubah dari biru menjadi kelabu. Sepertinya, hujan akan turun sebentar lagi. Tetapi Nadia tidak peduli tentang cuaca. Pikirannya terlarut pada banyak hal yang ia rasakan sejak kepergian Ardi, pacarnya yang selama ini ia percayai.
“Lil, apa kamu pernah merasa seperti hidupmu berantakan begitu saja?” Tanya Nadia dengan suara yang pelan, seolah takut-takut jika kata-katanya terlalu banyak mengungkapkan luka yang sedang ia sembunyikan.
Lila menoleh, memandang sahabatnya dengan penuh perhatian. “Aku rasa hampir semua orang pernah merasakannya. Hidup ini tidak selalu sempurna, Nad. Terkadang kita merasa semuanya berantakan, tapi itu bukan berarti semuanya sudah berakhir.”
“Begitu mudahkah bagi orang lain untuk menerima kenyataan?” tanya Nadia dengan tatapan kosong. “Aku merasa seperti aku sedang berjalan dalam kabut tebal dan tidak tahu arah yang harus aku ambil.”
Lila menghela napas, menyadari betapa dalam luka yang sedang Nadia rasakan. “Tidak mudah, Nad. Tapi kamu harus percaya, kabut itu akan hilang suatu saat. Kamu hanya perlu memberi waktu pada dirimu sendiri untuk keluar dari kegelapan itu. Mungkin… mungkin ada pelajaran yang harus kamu pelajari dari semua ini.”
Nadia mengangguk pelan, namun hatinya tetap bimbang. Kepergian Ardi bukan hanya tentang berakhirnya sebuah hubungan, tetapi juga tentang rasa kehilangan akan segala hal yang ia impikan bersama orang yang ia cintai. Semua harapan itu tiba-tiba hancur dalam sekejap. Tak ada yang bisa menggantikan rasa kecewa dan kesedihan yang ia rasakan.
Matahari mulai meredup, dan mendung semakin menggantung di langit. Angin yang semula lembut kini mulai bertiup lebih kencang, membawa petanda bahwa hujan akan segera datang. Tak lama kemudian, tetesan pertama mulai jatuh, menyentuh permukaan tanah yang kering. Hujan di desa ini selalu terasa lebih tenang, tidak seperti hujan di kota yang selalu datang dengan kecepatan yang mengerikan. Hujan di sini seakan mengajak siapa saja yang berada di bawahnya untuk berhenti sejenak, merenung, dan meresapi ketenangan yang dibawanya.
Nadia berdiri dan berjalan perlahan ke arah ladang yang terletak di belakang penginapan. Raka, pria yang pernah ia temui sebelumnya, sedang sibuk di kebunnya, memanen beberapa sayuran. Nadia merasa tertarik untuk mengamati cara Raka bekerja, karena ada sesuatu yang begitu damai dalam setiap gerakannya. Ia berjalan mendekat dan berdiri di sebelah Raka.
“Pagi yang tenang, ya?” Nadia memulai percakapan dengan suara pelan. Hujan sudah mulai turun dengan lebih deras, namun tidak ada yang memaksanya untuk berlindung. Ia hanya ingin menikmati ketenangan yang hadir bersama hujan ini.
Raka menoleh, lalu tersenyum sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, hujan selalu membawa kedamaian. Setiap tetesnya seperti menghapus debu yang menempel di hati. Kadang-kadang, hati kita pun perlu dibersihkan.”
Nadia merenung mendengar kata-kata Raka. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Raka tidak berbicara tentang solusi instan atau cara cepat untuk mengatasi kesulitan hidup. Dia hanya mengingatkan Nadia bahwa kadang-kadang, waktu dan proses adalah kunci untuk penyembuhan. Tidak ada yang bisa dipaksakan.
“Raka, bagaimana kamu bisa begitu tenang?” Tanya Nadia, masih dengan kebingungannya yang mendalam. “Aku merasa hidupku begitu kacau, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memulainya kembali. Setiap kali aku berpikir untuk melangkah, aku merasa seperti akan jatuh lagi.”
Raka berhenti sejenak, menatap Nadia dengan tatapan yang begitu dalam. “Ketenangan datang ketika kita menerima kenyataan, bukan berusaha melawannya,” jawabnya perlahan. “Aku tidak pernah berpikir hidup ini mudah. Aku juga pernah melalui masa-masa sulit, tetapi aku belajar untuk tidak melawan kenyataan. Terkadang kita hanya perlu menerima apa yang terjadi dan menemukan pelajaran di baliknya.”
Nadia menatap Raka, merasa ada kedalaman dalam kata-kata pria itu yang membuatnya tertegun. “Tapi bagaimana jika aku tidak bisa menerima kenyataan itu? Bagaimana jika rasa sakit ini terlalu berat?”
Raka menghela napas, menatap langit yang kini dipenuhi awan kelabu. Hujan semakin lebat, dan udara semakin segar. “Tidak ada yang bisa memaksa hatimu untuk menerima sesuatu yang belum siap untuk diterima. Tapi, percayalah, waktu akan membantumu. Setiap perasaan yang datang—baik itu rasa sakit, kehilangan, atau kesedihan—semuanya adalah bagian dari perjalanan hidup. Hanya ketika kita berhenti melawan dan mulai menerima, kita bisa merasa lebih ringan.”
Tetesan air hujan mulai membasahi wajah Nadia, tetapi ia tidak merasa terganggu. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih tenang. Kata-kata Raka, meskipun sederhana, membuka pikirannya. Mungkin benar, selama ini ia terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia berharap segala sesuatunya bisa sembuh dengan cepat, padahal proses penyembuhan itu memerlukan waktu.
Di saat yang sama, Lila muncul di belakang, menepuk bahu Nadia dengan lembut. “Kamu tidak sendiri, Nad. Kita semua punya cara untuk menyembuhkan diri kita sendiri. Ini mungkin tidak mudah, tapi kita bisa melakukannya bersama.”
Nadia menoleh, tersenyum tipis. Air mata yang sempat menggenang di matanya mulai surut, seiring dengan percakapan yang telah membantunya melepaskan sedikit beban di hati. “Terima kasih, Lil. Terima kasih, Raka,” ujarnya dengan suara pelan. “Aku rasa, aku mulai mengerti.”
Raka hanya mengangguk dengan senyum sederhana. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Nad. Semua akan baik-baik saja.”
Ketika hujan mulai mereda, Nadia merasa sedikit lebih ringan. Awan kelabu yang tadi menutupi langit mulai terbuka sedikit, membiarkan cahaya matahari masuk, meskipun masih samar. Mungkin, hidupnya belum sepenuhnya terang. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nadia merasa ada harapan—sebuah pelangi yang tersembunyi di balik awan kelabu.*
Bab 4: Pertemuan yang Tak Terduga
Hari itu, matahari terbit dengan lembut di balik gunung yang menjulang, menyinari desa kecil di pegunungan dengan cahaya emas yang hangat. Nadia duduk di beranda penginapan, menatap lembah yang luas di hadapannya, sementara udara pagi yang segar mengelus wajahnya. Hujan kemarin meninggalkan rasa damai, dan hari ini, dia merasa sedikit lebih tenang. Rasa sesak di dadanya yang selama ini mengganjal perlahan mulai mereda, meskipun ada banyak pertanyaan yang masih mengisi kepalanya.
Setelah beberapa hari merenung, Nadia mulai merasa bahwa ia perlu melangkah lebih jauh untuk menemukan jawabannya—tentang dirinya, tentang kehidupannya, dan tentang apa yang harus ia lakukan setelah semua yang terjadi.
Lila, yang selalu ada untuknya, mengajaknya untuk kembali menjelajah ke desa lebih dalam lagi. “Ayo, Nad, kita cari sesuatu yang baru di sana. Lupakan sejenak semuanya dan nikmati apa yang ada di sekitar kita,” ujar Lila dengan semangat.
Mereka memulai perjalanan pagi itu, berjalan melintasi jalan setapak yang membentang di antara deretan rumah-rumah kecil dan kebun-kebun yang hijau. Tanah yang basah karena hujan kemarin memberikan aroma tanah yang menyegarkan, dan udara pegunungan yang segar menyentuh kulit mereka. Nadia merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan alam, meskipun masih ada bayang-bayang masa lalu yang terus mengikutinya.
Saat mereka sampai di sebuah warung kecil yang terletak di pinggir jalan, mereka memutuskan untuk berhenti sejenak. Warung itu sederhana, dengan dinding kayu yang sudah usang dan meja-meja kayu yang tampak terbuat dari bahan alami. Di dalam warung, hanya ada beberapa penduduk desa yang sedang menikmati secangkir teh atau kopi.
Nadia duduk di salah satu meja, memesan teh hangat sambil menikmati pemandangan sekitarnya. Tiba-tiba, pintu warung terbuka dan seorang pria muda masuk. Tubuhnya tegap, dengan rambut hitam pekat yang sedikit berantakan dan tatapan mata yang tampak serius. Dia mengenakan jaket kulit dan celana jeans yang tampak sederhana, namun ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya terlihat berbeda—seperti orang yang membawa cerita yang tidak ingin dibagikan.
Pria itu menatap sekitar warung, dan matanya bertemu dengan mata Nadia. Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Nadia merasakan ada yang aneh dalam pandangan itu—pandangan yang seolah mengenalinya, namun dia yakin bahwa mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Ada sesuatu yang begitu akrab dalam tatapan itu, meskipun dia tidak bisa memahaminya.
Pria itu berjalan mendekat ke meja yang mereka duduki, lalu dengan sopan meminta izin untuk duduk. “Apakah tempat ini masih kosong?” tanyanya, suaranya rendah dan tenang.
Nadia terdiam beberapa detik, kemudian mengangguk pelan. “Tentu,” jawabnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih sedikit terkejut dengan pertemuan yang tidak terduga ini.
Lila yang duduk di sebelah Nadia tampaknya sudah memperhatikan pria itu sejak awal. “Kamu datang ke sini sering?” Lila bertanya dengan nada penasaran, namun tidak terdengar terlalu mengganggu.
Pria itu mengangguk, “Saya baru beberapa kali datang ke sini. Punya beberapa urusan di desa ini.” Lalu, ia memandang Nadia lagi dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan namun ragu untuk mengungkapkannya.
Nadia merasa agak canggung, namun dia mencoba berusaha tetap tenang. “Aku… rasa aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” ujarnya, lebih sebagai pertanyaan daripada pernyataan.
Pria itu tersenyum tipis, “Memang, kita belum pernah bertemu. Nama saya Dika. Saya baru saja kembali ke desa setelah beberapa tahun tinggal di luar kota.”
Dika? Nadia memutar-mutar nama itu dalam pikirannya, namun tidak ada kenangan yang mengaitkan nama itu dengan siapapun dalam hidupnya. Meskipun begitu, ada perasaan aneh yang menggelitik di hatinya. Sesuatu yang tak terjelaskan, namun cukup kuat untuk membuatnya merasa seperti mereka sudah saling mengenal lama.
“Apa yang membawamu ke desa ini?” tanya Nadia setelah beberapa detik hening.
Dika menghela napas, seperti sedang memikirkan jawabannya. “Hanya ingin kembali ke tempat yang pernah saya tinggali. Kadang, kita butuh waktu untuk menemukan diri kita lagi di tempat yang familiar. Banyak hal yang berubah, tapi kadang-kadang, kita hanya perlu kembali ke awal untuk mengerti siapa diri kita sebenarnya.”
Nadia mendengarkan kata-kata Dika dengan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Kembali ke awal, menemukan diri di tempat yang familiar. Bukankah itu yang sedang ia coba lakukan? Meninggalkan hiruk-pikuk kota, pergi ke tempat yang jauh dan sepi, untuk mencari jawabannya?
Setelah beberapa saat, suasana di meja menjadi lebih nyaman, meskipun masih ada rasa penasaran yang mengendap di hati Nadia. Percakapan mereka mengalir dengan santai, dan Dika tampaknya cukup terbuka, meskipun tetap ada aura misterius di sekitar dirinya. Ia menceritakan tentang hidupnya yang penuh dengan perjalanan dan pencarian akan sesuatu yang lebih bermakna, namun tidak pernah benar-benar menyebutkan detail apa pun yang mendalam tentang dirinya.
Lila yang selama ini mengamati dengan cermat, akhirnya berkata, “Kamu berasal dari sini, Dika?”
Dika mengangguk. “Ya, saya besar di desa ini. Tapi setelah beranjak dewasa, saya pergi untuk mencari kesempatan di luar. Sekarang, saya kembali. Mungkin untuk menetap, mungkin hanya untuk sementara.”
Nadia merasa bingung, ada banyak hal yang ingin ia ketahui lebih banyak tentang Dika, namun ia juga merasa seperti ada sesuatu yang harus ia jaga. Pertemuan ini terasa begitu tidak terduga, dan meskipun Dika terlihat biasa saja, ada kesan bahwa dia menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang lebih dalam.
“Dika, apakah kamu tinggal di desa ini sekarang?” Nadia bertanya, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa ingin tahunya yang semakin besar.
Dika mengangguk pelan. “Untuk sementara, ya. Saya tinggal di rumah keluarga. Mungkin saja saya akan membantu beberapa proyek kecil di sini, tapi yang pasti, saya hanya ingin menemukan ketenangan.”
Nadia tersenyum, meskipun masih ada perasaan aneh di dalam hatinya. “Saya berharap kamu menemukan ketenangan itu, Dika,” ujar Nadia.
Mereka berbincang lebih lama, namun perasaan Nadia tetap bercampur aduk. Ada kedamaian yang datang bersama hujan pagi ini, namun ada juga rasa penasaran yang semakin menguat. Mengapa pertemuan ini terasa begitu berpengaruh pada dirinya? Apa yang akan terjadi selanjutnya antara dirinya dan Dika?
Saat mereka berpisah di warung kecil itu, Dika mengucapkan salam dengan senyum yang tidak terlalu lebar namun tulus. “Senang bertemu denganmu, Nadia. Semoga kita bisa berbicara lagi.”
Nadia hanya mengangguk, sedikit terperangah oleh pertemuan yang tidak terduga itu. Ketika Dika berjalan pergi, pandangannya masih terpaku pada sosok pria itu, merasa bahwa pertemuan ini adalah titik awal dari sesuatu yang akan mengubah perjalanan hidupnya.*
Bab 5: Keputusan Berat
Sejak pertemuannya dengan Dika, Nadia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Setiap kali dia menutup mata, bayangan Dika muncul, seolah menggoda pikirannya untuk mencari tahu lebih jauh tentang pria itu. Namun, meskipun ada rasa penasaran yang mendalam, ada juga suara dalam dirinya yang mengingatkan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk terjerat dalam hubungan baru. Bagaimana mungkin ia bisa membuka hati lagi, setelah luka yang masih membekas dari perpisahannya dengan Ardi?
Hari-hari di desa semakin berlalu dengan keheningan yang menenangkan. Udara pegunungan yang segar dan pemandangan alam yang indah memberi Nadia ruang untuk merenung. Meski begitu, perasaan kebingungannya belum juga hilang. Dalam dirinya, ada dua dunia yang berperang—dunia yang ingin ia biarkan pergi, dan dunia yang penuh dengan ketidakpastian tentang masa depan.
Pagi itu, seperti biasa, Nadia duduk di beranda penginapan, menikmati secangkir teh hangat. Lila duduk di sampingnya, menyadari bahwa sahabatnya tampak berbeda. Raut wajah Nadia lebih serius, dan matanya terlihat jauh, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Kamu terlihat jauh, Nad,” kata Lila pelan, menatap sahabatnya dengan cemas. “Ada apa?”
Nadia menghela napas panjang, meletakkan cangkir teh di atas meja. “Aku merasa bingung, Lil. Setiap hari aku berusaha mencari ketenangan, tapi aku juga merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai dalam hidupku. Pertemuan dengan Dika… itu membuat aku semakin bingung. Aku merasa seperti ada peluang baru, tapi aku nggak tahu apakah aku siap untuk itu.”
Lila menatap Nadia dengan bijak. “Aku paham, Nad. Kamu sudah cukup terluka dengan perpisahanmu dengan Ardi, dan sekarang ada Dika yang datang seperti badai. Kamu merasa terombang-ambing, kan?”
Nadia mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak ingin terburu-buru. Dika bukan Ardi, dan aku nggak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Aku harus hati-hati, Lil. Tapi di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan aku dengan dia, meskipun aku nggak tahu apa itu.”
Lila menyentuh tangan Nadia dengan lembut. “Aku tahu kamu masih sakit, Nad. Tapi ingat, itu tidak berarti kamu harus menutup hatimu selamanya. Terkadang, kita harus memberi diri kita kesempatan untuk merasa lagi. Jika Dika benar-benar orang yang tepat, dia akan sabar dan mengerti kamu. Jangan biarkan rasa takut menghalangi kesempatan itu.”
Nadia terdiam, mencerna kata-kata Lila. Memang, selama ini dia terlalu takut untuk membuka hati. Setiap kali dia mulai merasa ada secercah harapan, bayangan Ardi akan datang menghantui pikirannya. Rasa sakit yang ditinggalkan Ardi begitu mendalam, hingga terkadang Nadia merasa seperti dirinya tidak pantas untuk bahagia lagi.
Namun, di sisi lain, ada Dika. Sosok yang datang dengan cara yang tidak terduga, dengan kehangatan yang membuat Nadia merasa nyaman meski dia hanya mengenalnya sebentar. Ada daya tarik yang kuat, sesuatu yang membuat Nadia ingin mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Tetapi, apakah ini adalah keputusan yang benar?
Beberapa hari setelah percakapan itu, Nadia memutuskan untuk mengunjungi Dika. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun ada perasaan yang mendorongnya untuk melangkah. Dika sudah beberapa kali ia temui, meskipun percakapan mereka tidak pernah terlalu dalam. Nadia ingin melihat apakah perasaan itu hanya ilusi ataukah ada sesuatu yang nyata.
Dia berjalan menuju rumah Dika yang terletak tidak jauh dari penginapan. Pagi itu, udara cerah dan hangat, dan Nadia merasa sedikit cemas. Tiba di depan pintu rumah Dika, dia ragu sejenak, lalu mengetuk pintu. Tak lama, Dika membuka pintu dengan senyuman yang tulus.
“Nadia,” katanya, suaranya terdengar hangat. “Ada yang bisa saya bantu?”
Nadia mengangguk perlahan, sedikit canggung. “Aku hanya ingin bicara sebentar. Kalau kamu ada waktu.”
Dika mengangguk, kemudian membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Nadia masuk. “Tentu, ayo masuk.”
Rumah Dika sederhana, dengan perabotan kayu yang memberi kesan hangat dan alami. Ada suasana damai di dalamnya, yang membuat Nadia merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk di ruang tamu, dan Dika menyuguhkan secangkir teh untuknya.
Nadia terdiam sejenak, memandangi cangkir teh yang ada di tangannya. Suasana hening beberapa saat sebelum akhirnya Dika membuka pembicaraan.
“Ada yang ingin kamu bicarakan, Nad?” tanya Dika dengan nada lembut.
Nadia mengangkat wajahnya, menatap mata Dika yang penuh perhatian. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Dika,” ujarnya, suaranya terdengar ragu. “Aku merasa bingung tentang perasaan ini. Aku baru saja mengakhiri hubungan yang panjang, dan tiba-tiba ada kamu. Aku nggak tahu apakah aku siap untuk membuka hati lagi, atau apakah ini hanya perasaan sementara.”
Dika mendengarkan dengan seksama, tidak menginterupsi kata-kata Nadia. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku tidak ingin memaksamu untuk merasakan sesuatu yang belum kamu rasakan. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini. Tidak ada tekanan. Kita bisa berteman, dan kalau ada sesuatu yang lebih dari itu di masa depan, kita akan lihat bersama.”
Nadia merasa ada sesuatu yang menenangkan dalam kata-kata Dika. Sepertinya dia tidak terburu-buru untuk mencari jawaban, tidak seperti yang pernah dilakukan Ardi dulu. Dika memberi ruang bagi Nadia untuk merasakan, untuk menyembuhkan, tanpa ada tuntutan.
Namun, meskipun ada kenyamanan dalam pertemuan ini, Nadia merasa ada pertarungan di dalam dirinya. Dia ingin membuka hati, tetapi apakah dia sudah cukup sembuh untuk itu? Apakah dia siap untuk membuka babak baru dalam hidupnya, atau justru akan mengulang kesalahan yang sama?
Sebelum meninggalkan rumah Dika, Nadia menatapnya dengan serius. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Dika. Aku hanya perlu waktu untuk memikirkan semuanya.”
Dika tersenyum, kali ini dengan senyuman yang penuh pengertian. “Aku akan menunggu, Nadia. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan.”
Setelah keluar dari rumah Dika, Nadia merasa seperti berada di persimpangan jalan. Setiap keputusan yang dia ambil terasa begitu berat. Di satu sisi, ada rasa takut untuk membuka hati lagi, tetapi di sisi lain, ada harapan yang perlahan mulai tumbuh. Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk memberi dirinya kesempatan kedua—bukan hanya untuk cinta, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Nadia kembali ke penginapan, memikirkan setiap kata yang diucapkan Dika. Mungkin ini adalah langkah pertama yang benar dalam perjalanan hidupnya. Keputusan ini tidak mudah, namun Nadia tahu bahwa kadang-kadang, untuk menemukan kebahagiaan, kita harus berani mengambil risiko.
Dengan hati yang masih penuh keraguan, Nadia memutuskan untuk memberikan dirinya waktu, dan mungkin, membuka hati untuk sesuatu yang baru. Keputusan ini berat, tapi mungkin, inilah langkah pertama menuju masa depan yang lebih cerah.*
Bab 6: Langit yang Mulai Cerah
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Dika terasa berbeda bagi Nadia. Meskipun kebingungannya belum sepenuhnya hilang, ada sesuatu yang mulai mengubah cara dia melihat dunia. Setiap kali ia melangkah keluar dari penginapan dan menghirup udara segar pegunungan, ia merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang perlahan mulai pulih. Keputusan untuk memberi dirinya waktu, untuk tidak terburu-buru dalam menghadapi perasaan, seolah membawa ketenangan yang baru. Nadia tahu, ia sedang melalui proses yang panjang, tetapi kali ini ia merasa lebih kuat daripada sebelumnya.
Meskipun hati Nadia masih penuh keraguan, ia mulai merasakan bahwa pertemuan dengan Dika tidak hanya sekadar kebetulan. Setiap kali Dika hadir, suasana menjadi lebih hangat. Tanpa ada paksaan, tanpa ada tekanan, Dika memberi ruang bagi Nadia untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada keinginan untuk memaksakan sesuatu, tidak ada tuntutan atau ekspektasi. Semua terasa begitu alami, seolah-olah mereka sudah saling mengenal sejak lama, meskipun kenyataannya baru beberapa minggu mereka saling bertemu.
Pagi itu, Nadia berjalan sendirian di tepi danau yang terletak tak jauh dari penginapan. Suara desiran angin dan kicauan burung di pepohonan menciptakan melodi yang menenangkan. Langit pagi itu cerah, dengan warna biru yang begitu jernih. Matahari bersinar hangat, menciptakan pantulan cahaya yang berkilau di permukaan air danau. Nadia duduk di atas batu besar di tepi danau, menikmati keheningan yang memberikan ruang bagi pikirannya untuk meresap.
Tak jauh darinya, Lila sedang berjalan perlahan, mendekati tempat duduk Nadia. Lila tersenyum saat melihat sahabatnya, seolah tahu bahwa Nadia sedang merenung.
“Apa yang kamu pikirkan, Nad?” tanya Lila sambil duduk di sampingnya.
Nadia menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke horizon. “Aku rasa aku mulai merasa sedikit lebih baik, Lil. Tidak sepenuhnya, tapi sedikit demi sedikit, aku merasa ada perubahan dalam diriku. Ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa seperti… seperti ada langit yang mulai cerah setelah awan kelabu.”
Lila tersenyum bijak, mendengarkan dengan seksama. “Aku tahu, Nad. Aku bisa merasakannya. Kamu mulai menemukan bagian dari dirimu yang hilang. Itu adalah langkah pertama, dan aku bangga padamu.”
Nadia mengangguk, merasa lega mendengar kata-kata Lila. Sejak awal, Lila selalu ada untuknya, selalu menjadi penopang saat ia merasa terjatuh. Tetapi kali ini, Nadia merasa seperti ia bisa berdiri sendiri. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai, namun ada harapan yang mulai tumbuh di hatinya.
“Aku merasa seolah-olah aku sedang belajar untuk merasakan lagi,” lanjut Nadia dengan suara yang lebih ringan. “Aku mulai mengerti bahwa tidak ada yang salah dengan membuka hati. Tidak ada yang salah dengan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk bahagia, bahkan setelah rasa sakit yang mendalam.”
Lila menatap Nadia dengan penuh perhatian. “Aku tahu kamu takut, Nad. Takut terluka lagi. Tapi ingat, kamu tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi jika kamu tidak memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk merasa bahagia lagi.”
Perkataan Lila itu menggema dalam hati Nadia. Selama ini, ia selalu merasa takut untuk jatuh lagi. Rasa sakit yang ditinggalkan Ardi begitu mendalam, begitu menghancurkan, sehingga Nadia merasa seolah-olah ia tidak pantas merasakan kebahagiaan. Namun kini, setelah berhari-hari merenung, ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak datang dengan cara yang sempurna. Kebahagiaan datang dari menerima diri, dari memberi ruang untuk perasaan itu tumbuh tanpa rasa takut.
Matahari semakin tinggi, dan udara semakin hangat. Lila dan Nadia berbicara lebih banyak tentang masa depan, tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan mereka. Terkadang, mereka tertawa bersama, terkadang ada keheningan yang hanya diisi dengan suara alam. Semua itu terasa begitu damai, dan Nadia merasakan kebahagiaan yang sederhana.
Siang harinya, Nadia memutuskan untuk mengunjungi Dika. Ia merasa bahwa ada banyak hal yang ingin ia bicarakan, tetapi kali ini, bukan tentang keraguannya atau kebingungannya. Ia ingin berbicara tentang dirinya, tentang bagaimana ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Sejak pertama kali bertemu, Dika telah memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri tanpa rasa terburu-buru. Itu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi Nadia, dan ia ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Ketika tiba di rumah Dika, ia disambut dengan senyuman hangat seperti biasa. Dika tampak lebih santai dari biasanya, duduk di depan rumah sambil memandang ke arah taman kecil yang ada di halaman.
“Dika,” Nadia menyapa dengan suara pelan namun penuh makna.
Dika menoleh dan tersenyum. “Nadia, ada yang bisa saya bantu?”
Nadia duduk di sebelah Dika, memandang ke arah taman yang tertata rapi. “Aku ingin berbicara sedikit. Aku merasa ada banyak hal yang harus aku ungkapkan.”
Dika mengangguk, memberi perhatian penuh pada Nadia. “Tentu, Nad. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Nadia menatap Dika dengan serius. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena kamu memberi ruang untuk aku merasa. Terima kasih karena kamu tidak terburu-buru, dan karena kamu tidak menekan aku untuk menjadi sesuatu yang aku bukan. Aku sadar, itu bukan hal yang mudah. Tapi kamu sudah memberi aku kesempatan untuk membuka hati tanpa rasa takut.”
Dika menatap Nadia, matanya tampak lembut dan penuh pengertian. “Nadia, aku hanya ingin kamu merasa nyaman dengan dirimu sendiri. Aku tahu perjalananmu tidak mudah, dan aku tidak ingin menjadi bagian yang membuat itu semakin sulit. Jika ada kesempatan untuk lebih, kita akan melihatnya bersama-sama.”
Kata-kata Dika membuat hati Nadia terasa lebih hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ini bukan hanya tentang perasaan atau hubungan, tetapi tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk tumbuh. Mungkin inilah yang disebut dengan kedamaian yang sejati—menerima diri, tidak terburu-buru, dan membiarkan semuanya mengalir dengan alami.
Setelah berbicara lebih banyak, waktu berlalu begitu cepat. Dika mengantarkan Nadia keluar dan mengucapkan selamat tinggal dengan senyuman hangat. Nadia merasa lebih ringan. Seolah langit yang semula gelap dan penuh awan, kini mulai cerah. Ia merasa bahwa dirinya sedang melalui perjalanan yang lebih baik, lebih damai.
Beberapa hari kemudian, Nadia kembali ke danau itu, tempat ia sering merenung. Kali ini, ia datang sendirian, tanpa rasa cemas atau bingung. Di sana, ia merasa bebas, seolah ia bisa melepaskan segala keraguan yang dulu mengikatnya. Langit biru yang cerah dan angin sepoi-sepoi memberikan kedamaian dalam hatinya.
Nadia menatap ke horizon dengan senyum yang tulus. Ia tahu, perjalanannya belum selesai. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia sedang menuju ke arah yang benar. Mungkin masa depannya tidak akan selalu mudah, tetapi ia siap menghadapinya. Karena sekarang, Nadia tahu bahwa langit yang gelap akan selalu diikuti dengan langit yang cerah—dan pelangi itu, meskipun tersembunyi, akan selalu ada di balik awan.*
Bab 7: Hujan Baru
Malam itu, langit tiba-tiba berubah gelap. Awan-awan tebal berkumpul dengan cepat di atas kepala, menutupi cahaya bulan yang semula tampak begitu terang. Angin malam yang biasanya sejuk kini terasa lebih dingin, berbisik melalui celah-celah pepohonan yang mengelilingi penginapan Nadia. Dia berdiri di beranda, memandang langit yang mulai mendung. Suasana yang tadinya begitu tenang kini berubah menjadi penuh dengan ketegangan, seperti menunggu sesuatu yang besar terjadi.
Hujan akan datang.
Nadia menghela napas panjang, menyentuh wajahnya yang terasa sedikit lelah. Beberapa hari terakhir, perasaan dalam dirinya semakin rumit. Ada saat-saat ketika ia merasa begitu damai, seolah segala hal yang mengganggu pikirannya sudah mulai teratasi. Namun ada kalanya, seperti malam ini, badai perasaan kembali datang, menghampiri tanpa diduga.
Sejak pertemuannya dengan Dika, Nadia merasa seperti dua dunia bertabrakan. Dunia yang penuh dengan kenangan akan Ardi, dan dunia baru yang kini ia coba bangun bersama Dika. Dika telah memberinya ruang untuk bernapas, untuk merasakan kembali hal-hal yang mungkin pernah terlupakan. Namun, meskipun begitu, perasaan takut akan kehilangan, takut akan membuka hati, masih terus mengganggu. Bagaimana jika dia salah lagi? Bagaimana jika kali ini, rasa sakit yang datang lebih besar daripada sebelumnya?
Tiba-tiba, suara hujan mulai terdengar di kejauhan, perlahan semakin keras, hingga akhirnya rintikannya jatuh membasahi tanah dan atap rumah. Nadia berdiri di sana, membiarkan air hujan membasahi kulitnya, merasakan setiap tetes yang jatuh. Ada sesuatu yang menenangkan dari hujan, seperti menghapuskan segala kegelisahan yang bersarang di hati. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Hujan, meskipun datang dengan kegelapan dan kesedihan, juga membawa kedamaian. Mungkin, sama seperti perasaannya—kesedihan dan kegelisahan yang ia rasakan, namun membawa perubahan yang mendalam dalam dirinya.
Lila keluar dari kamar dan mendekat ke beranda, melihat sahabatnya yang berdiri diam di tengah hujan. “Nad, kamu baik-baik saja?” tanya Lila dengan khawatir, sambil memegang payung besar untuk melindungi mereka berdua.
Nadia menoleh, sedikit terkejut, tetapi tetap tersenyum. “Aku hanya… merasa aneh, Lil. Seperti ada sesuatu yang datang, tetapi aku tidak tahu apa itu.”
Lila mendekat, menyarankan Nadia untuk berlindung di dalam rumah. “Mungkin kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Tidak perlu terburu-buru, Nad. Hujan ini seperti simbol bagi perasaanmu—sesuatu yang datang untuk membersihkan segala keraguan dan kebingungannya.”
Nadia mengangguk, tetapi tetap merasa berat di dadanya. “Aku tahu aku harus melangkah, Lil. Tapi setiap kali aku mencoba untuk benar-benar membuka hati lagi, ada rasa takut yang menyelimuti. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu. Hujan ini, mungkin seperti perasaan itu—datang begitu mendalam, membasahi seluruh diriku.”
Lila menarik napas panjang, merasakan kedalaman perasaan sahabatnya. “Kamu nggak sendirian, Nad. Aku tahu ini sulit, tapi kamu tidak perlu takut untuk merasakan sesuatu lagi. Jangan biarkan masa lalu menghalangi masa depanmu. Dika… dia tidak sama dengan Ardi. Kamu tidak perlu membandingkan mereka berdua.”
Kata-kata Lila menggema dalam hati Nadia. Benar, Dika bukan Ardi. Dia datang dengan cara yang berbeda. Dika tidak pernah mencoba untuk mengontrol atau menekan perasaan Nadia. Ia datang tanpa ekspektasi, tanpa tuntutan. Semua terasa lebih ringan, meskipun tetap ada keraguan yang mengganjal.
Namun, pada saat yang sama, Nadia tahu bahwa ia harus membuat pilihan. Tidak hanya tentang Dika, tetapi tentang dirinya sendiri. Apakah ia siap untuk mengizinkan kebahagiaan itu masuk kembali ke dalam hidupnya? Apakah ia siap untuk membuka lembaran baru dan mengakhiri babak lama yang penuh dengan kesedihan?
Esok paginya, hujan masih belum berhenti. Langit tetap mendung, dan udara terasa lembap. Nadia merasa seolah hujan ini adalah gambaran dari perasaannya—semakin deras, semakin sulit untuk dipahami. Namun, ada satu hal yang berbeda kali ini. Meskipun hujan terus turun, ia tidak merasa sesedih sebelumnya. Mungkin hujan itu adalah bagian dari prosesnya. Mungkin hujan itu mengajarkan Nadia untuk melepaskan semua yang mengikatnya, untuk memberi kesempatan pada sesuatu yang baru.
Setelah sarapan, Nadia memutuskan untuk pergi ke hutan kecil di pinggiran desa, tempat ia sering menghabiskan waktu ketika ingin merenung. Lila, seperti biasa, mengikutinya. Mereka berjalan bersama, menapaki jalan setapak yang masih basah oleh hujan. Suasana di sekitar mereka begitu tenang, hanya suara tetesan air hujan yang jatuh dari pepohonan yang terdengar. Udara yang segar, ditambah dengan pemandangan alam yang hijau dan subur, membuat Nadia merasa sedikit lebih tenang.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti di sebuah jembatan kecil yang membentang di atas sungai. Di bawahnya, air mengalir deras, membawa segala sesuatu yang dilaluinya. Nadia berdiri di sana, menatap aliran air yang begitu deras, membiarkan pikirannya melayang.
“Terkadang, kita merasa seperti air yang mengalir deras itu, Lil,” kata Nadia, suaranya penuh dengan refleksi. “Kita terus bergerak maju, membawa segala kenangan dan luka, seolah tidak ada akhir untuk itu. Tapi, pada akhirnya, kita juga harus belajar untuk melepaskan dan membiarkan air itu mengalir begitu saja.”
Lila menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mendekat dan berdiri di sampingnya. “Itu benar, Nad. Tapi ingat, setiap aliran air juga membawa kehidupan. Mungkin, perasaanmu yang sedang mengalir ini akan membawa sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih baik untukmu.”
Nadia memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang membawa aroma tanah basah. Hujan yang terus turun itu seolah memberikan jawaban yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Ia bisa merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Hujan itu tidak hanya membersihkan tanah, tetapi juga hatinya.
Beberapa saat kemudian, mereka melanjutkan perjalanan mereka. Nadia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin perasaannya tidak akan langsung berubah dalam sekejap. Namun, dia tahu bahwa hujan itu adalah awal dari proses penyembuhan. Seperti air yang mengalir, ia harus memberi waktu pada dirinya untuk mengalir dengan bebas, tanpa ada rasa takut atau penyesalan.
Hari itu, saat hujan mulai reda, Nadia duduk di tepi jendela kamarnya, memandang luar. Langit yang sebelumnya kelabu kini mulai menunjukkan sedikit sinar matahari. Awan-awan yang berat mulai terbuka, memberi ruang pada langit biru yang cerah.
Perasaan Nadia, seperti langit itu, perlahan mulai cerah. Ia merasa sedikit lebih kuat. Keputusan untuk memberi waktu pada dirinya sendiri, untuk merasakan kembali tanpa terburu-buru, kini terasa seperti pilihan yang tepat. Tidak ada lagi keraguan yang mengikatnya begitu erat. Ia tahu bahwa masa depannya masih terbuka lebar, penuh dengan kemungkinan.
Malam itu, saat hujan benar-benar berhenti, Nadia menatap langit dengan senyum tipis. Langit itu cerah, dan pelangi kecil mulai muncul di antara awan yang tersisa. Mungkin, kebahagiaan itu benar-benar ada, menunggu untuk ditemukan di balik hujan yang baru saja datang.*
Bab 8: Pelangi yang Mulai Tampak
Beberapa hari setelah hujan yang deras, desa tempat Nadia tinggal kembali diselimuti udara yang segar. Langit biru yang jernih menggantikan mendung yang sempat menyelimuti hari-hari sebelumnya. Suasana di luar terasa penuh harapan, seolah alam pun merayakan perubahan yang sedang terjadi dalam hidup Nadia. Hujan memang membawa kesedihan dan ketidakpastian, namun seperti yang ia rasakan, hujan itu juga membersihkan, memberi ruang bagi sesuatu yang baru untuk tumbuh.
Nadia kini merasa seperti seseorang yang telah lama terjebak dalam awan kelabu, tapi akhirnya menemukan secercah cahaya yang menembus kegelapan itu. Ia merasa lebih ringan, lebih bebas, dan lebih siap untuk melangkah maju, meskipun tetap ada bagian dari dirinya yang masih diliputi keraguan. Namun, keraguan itu tidak lagi menghalanginya. Kini, Nadia merasa lebih percaya diri dalam menghadapi masa depan—sebuah masa depan yang mulai tampak lebih cerah.
Pagi itu, ia duduk di beranda penginapan, memandang ke arah pegunungan yang membentang di kejauhan. Semilir angin pegunungan membawa aroma tanah yang segar, menyegarkan pikiran dan hatinya yang mulai lebih tenang. Tidak jauh dari sana, Lila datang menghampirinya dengan senyum cerah di wajahnya.
“Nad, kamu terlihat lebih baik. Apa yang kamu pikirkan?” tanya Lila, duduk di sampingnya sambil menikmati secangkir teh hangat.
Nadia tersenyum, menatap sahabatnya dengan rasa terima kasih yang mendalam. “Aku merasa… lebih baik, Lil. Aku tahu perjalananku belum selesai, tapi aku sudah mulai merasa seperti pelangi yang mulai tampak di balik awan gelap.”
Lila tersenyum lebar, menyentuh tangan Nadia dengan lembut. “Aku senang mendengarnya. Kamu sudah melewati banyak hal, Nad. Wajar kalau sekarang kamu merasa lebih ringan. Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tapi kamu sudah berhasil melalui banyak hal.”
Nadia mengangguk, meresapi kata-kata Lila. Meskipun perasaan itu datang perlahan, Nadia merasa bahwa hidupnya kini mulai memasuki fase yang lebih baik. Tidak hanya karena dirinya mulai bisa menerima kenyataan yang ada, tetapi juga karena ia mulai memahami makna dari setiap langkah yang ia ambil.
Hari itu, setelah berbicara panjang lebar dengan Lila, Nadia memutuskan untuk pergi menemui Dika. Selama ini, meskipun banyak waktu yang dihabiskan bersama, Nadia merasa ada hal yang belum sepenuhnya ia ungkapkan. Ada perasaan yang mengganjal, dan ia merasa perlu untuk berbicara lebih dalam tentang perasaannya, tentang apa yang ia harapkan, dan tentang masa depan mereka berdua.
Ketika Nadia tiba di rumah Dika, ia mendapati Dika sedang duduk di depan rumah, seperti biasa, memandangi taman kecil di halaman yang penuh dengan bunga-bunga warna-warni. Dika menoleh, dan senyum hangatnya langsung menyambut Nadia.
“Nadia, datang lagi?” tanya Dika, berdiri dan menyambut Nadia dengan pelukan ringan.
Nadia tersenyum dan mengangguk, sedikit canggung. “Ya, aku ingin bicara sedikit, Dika. Ada beberapa hal yang ingin aku ungkapkan.”
Dika mengangguk, mengundang Nadia untuk duduk di dekatnya. “Tentu, kita bisa bicara. Apa yang ada di pikiranmu?”
Nadia duduk dengan tenang, memandang ke taman yang hijau dan sejuk. Suara angin yang berhembus lembut dan kicauan burung menciptakan suasana yang damai. Nadia merasa lebih tenang, meskipun hatinya berdebar. Ini adalah pembicaraan yang penting bagi dirinya.
“Aku hanya ingin mengatakan terima kasih,” kata Nadia, suaranya lembut. “Terima kasih karena sudah memberiku ruang untuk merasa, untuk menjadi diriku sendiri, tanpa ada tekanan atau ekspektasi. Kamu memberi aku kesempatan untuk melihat hidup dengan cara yang berbeda, dan itu sangat berarti bagi aku.”
Dika tersenyum mendengar kata-kata Nadia. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar, Nadia. Aku tahu kamu sedang melalui proses yang sulit, dan aku tidak ingin memaksamu untuk merasa lebih cepat atau lebih kuat. Semua itu butuh waktu, dan aku menghargai setiap langkah yang kamu ambil.”
Nadia menatap Dika, matanya penuh dengan rasa syukur. “Tapi sekarang, aku mulai merasa bahwa aku bisa melihat lebih jelas. Aku mulai bisa melihat masa depan tanpa rasa takut yang berlebihan. Aku merasa seperti pelangi yang mulai tampak setelah hujan.”
Dika mengangguk dengan penuh pengertian, menatap Nadia dengan lembut. “Nadia, aku senang mendengar itu. Aku tidak pernah ingin memaksamu atau memberi tekanan. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman. Kalau kamu siap untuk lebih, kita akan melakukannya bersama-sama, pelan-pelan.”
Kata-kata Dika membuat hati Nadia terasa lebih lega. Ia merasa bahwa ini bukan sekadar percakapan biasa. Ini adalah titik balik dalam hidupnya, di mana ia mulai menyadari bahwa ia tidak harus terburu-buru dalam menghadapinya. Ia bisa memberi ruang pada dirinya sendiri untuk tumbuh, untuk merasakan, dan untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, setelah berbicara dengan Dika, Nadia merasa lebih jelas mengenai apa yang ia inginkan. Ia tidak ingin terburu-buru dalam segala hal. Ia ingin menjalani hidup dengan lebih penuh kesadaran, tidak hanya mengandalkan perasaan atau nafsu sesaat. Kali ini, ia ingin melangkah dengan lebih bijaksana, dengan hati yang lebih terbuka namun tetap menjaga kewaspadaan.
Pada suatu sore yang cerah, ketika langit benar-benar biru dan matahari mulai terbenam, Nadia berdiri di depan penginapan, memandangi pemandangan alam yang begitu memukau. Wajahnya diterpa angin yang lembut, dan ia merasa ada kedamaian yang begitu dalam. Hujan yang datang beberapa waktu lalu seolah membawa makna baru dalam hidupnya—sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran.
Tiba-tiba, Dika muncul dari kejauhan, berjalan mendekati Nadia dengan senyuman yang khas. Matanya memancarkan ketulusan, dan Nadia merasa bahwa ia telah siap. Ia sudah siap untuk melangkah lebih jauh, meskipun perlahan dan dengan hati yang lebih hati-hati.
Dika berhenti tepat di sampingnya, menatap langit yang mulai dihiasi warna oranye dan merah dari matahari yang tenggelam. “Pemandangan yang indah,” katanya, suaranya lembut dan penuh makna.
Nadia mengangguk, memandang Dika dengan mata yang penuh harapan. “Ya, aku merasa seperti ini—seperti langit yang sedang dihiasi pelangi. Meskipun perjalanan ini belum selesai, aku bisa melihat cahaya yang datang setelah badai.”
Dika tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Nadia dengan lembut. “Aku senang bisa berada di sini bersama kamu, Nadia. Aku tahu ini baru awal dari perjalanan panjang kita. Tetapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada di sini, menunggumu untuk terus melangkah bersama.”
Nadia menggenggam tangan Dika dengan penuh rasa percaya diri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia siap untuk menghadapi apa pun yang datang. Mungkin, seperti pelangi yang tampak setelah hujan, kebahagiaan itu akan datang dengan cara yang tidak terduga. Namun, yang terpenting, ia tahu bahwa ia tidak akan menghadapi perjalanan ini sendirian.
Dengan tangan yang saling menggenggam, mereka berdua berdiri di sana, memandang langit yang semakin cerah. Pelangi itu kini mulai tampak di balik awan, membawa janji-janji baru yang penuh dengan harapan.*
Bab 9: Kembali ke Rumah
Sudah hampir seminggu sejak Nadia dan Lila kembali ke kota setelah menghabiskan waktu di desa pegunungan yang damai. Meskipun awalnya Nadia merasa berat untuk meninggalkan suasana tenang di sana, kenyataannya, pulang ke rumahnya sendiri membawa perasaan yang berbeda. Rumah yang dulu terasa penuh kenangan pahit kini mulai terasa lebih kosong, lebih sunyi. Namun, di sisi lain, ada kedamaian yang aneh, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang akhirnya bisa kembali pulih.
Pulang ke rumah berarti kembali ke kenyataan. Selama di desa, Nadia merasa dirinya bisa menjalani kehidupan tanpa banyak gangguan. Ia bisa merenung, berpikir, dan meresapi setiap perubahan yang terjadi dalam dirinya. Namun, sekarang, di tengah kesibukan kota, dia harus menghadapi kenyataan lagi—dan salah satu kenyataan itu adalah menghadapi rasa sakit yang masih ada, yang belum sepenuhnya hilang.
Namun, Nadia tahu bahwa dia tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan. Selama ini, ia telah berlari, mencoba untuk melupakan masa lalu yang kelam. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus-terusan menghindarinya. Masa lalu, meskipun penuh luka, adalah bagian dari dirinya yang membentuk siapa dia sekarang. Mungkin, saat ini, ia harus belajar untuk menerima dan berdamai dengan segala yang pernah terjadi.
Pada suatu pagi yang cerah, Nadia duduk di meja makan, menghadap pemandangan kota yang tampak sibuk seperti biasanya. Lila sedang sibuk mempersiapkan beberapa hal di dapur, sementara Nadia sibuk menyusun pikirannya. Tiba-tiba, telepon di meja berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Dia melihat layar ponselnya, dan nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar.
Dika.
Nadia menatap sejenak, merasakan keraguan dalam dirinya. Meskipun beberapa kali mereka saling menghubungi selama di desa, kali ini terasa berbeda. Ini bukan lagi tentang perasaan yang terombang-ambing, atau tentang masa lalu yang terus membayanginya. Ini adalah tentang melangkah maju, tentang kemungkinan yang ada di depan. Nadia mengangkat telepon dengan napas yang agak berat.
“Halo, Dika,” suaranya terdengar tenang, meskipun ada rasa gugup yang mengalir di dalamnya.
“Halo, Nadia. Apa kabar?” Dika menjawab dengan nada lembut. Suaranya yang hangat langsung membawa kenyamanan bagi Nadia.
“Aku baik-baik saja. Cuma sedikit sibuk dengan urusan di rumah.” Nadia tersenyum, meskipun di dalam hatinya masih terasa ada ketegangan.
“Aku paham,” Dika menjawab dengan santai. “Aku cuma ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah kembali ke rumah. Aku harap semuanya baik-baik saja.”
“Sejujurnya, Dika, ini agak sulit. Kembali ke rumah membuatku merasa seolah-olah harus menghadapi banyak hal yang belum selesai,” kata Nadia, jujur. “Tapi, aku mulai merasa lebih siap untuk itu.”
Dika diam sejenak, seolah mencerna kata-kata Nadia. “Aku mengerti, Nadia. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku percaya, kamu bisa melewatinya. Kamu sudah melangkah jauh, dan kamu akan lebih kuat setelah ini.”
Nadia tersenyum mendengar kata-kata Dika. Ada rasa lega yang mengalir, seolah ia mendapat dukungan tanpa harus mengatakannya. “Terima kasih, Dika. Aku rasa aku memang perlu waktu untuk benar-benar menerima semuanya. Tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang diriku sendiri.”
“Dan itu adalah langkah yang besar, Nadia. Jangan terburu-buru. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kamu membutuhkan.” Dika menjawab dengan nada penuh perhatian.
Percakapan itu berakhir dengan perasaan hangat yang mengalir dalam diri Nadia. Dia tahu, Dika bukan hanya memberi dukungan, tetapi juga memberinya ruang untuk tumbuh. Nadia merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang yang memahami apa yang ia rasakan, tanpa memaksakan kehendaknya.
Hari-hari setelah percakapan itu, Nadia mulai merasakan ada perubahan dalam dirinya. Kembali ke rutinitas kota, bertemu dengan teman-teman lama, dan menjalani pekerjaan yang sempat ia tinggalkan, membuatnya merasa seperti kembali ke kehidupan yang sebenarnya. Namun, meskipun begitu, ada satu hal yang berbeda—Nadia mulai merasa lebih kuat, lebih mampu menghadapinya.
Di tengah kesibukan itu, Nadia juga mulai lebih sering berbicara dengan Dika. Meskipun jarak antara mereka kembali memisahkan, komunikasi mereka tetap terjalin dengan baik. Tidak ada tekanan, tidak ada rasa terburu-buru. Mereka berdua saling memberi ruang untuk melangkah sesuai dengan waktu dan perasaan masing-masing.
Pada suatu sore, setelah seharian bekerja, Nadia duduk di balkon apartemennya, menikmati secangkir teh hangat. Pemandangan kota yang sibuk terlihat jauh di bawah, tetapi untuk pertama kalinya, Nadia merasa tidak terlalu terbebani. Suasana malam itu terasa damai. Langit yang semula cerah kini dihiasi dengan warna oranye keemasan saat matahari mulai terbenam.
Lila datang dan duduk di samping Nadia. “Nad, aku lihat kamu lebih tenang sekarang. Apakah kamu merasa sudah siap untuk semua ini?”
Nadia menatap Lila dengan senyum tipis. “Aku rasa aku sudah siap, Lil. Kembali ke rumah bukan berarti aku harus meninggalkan semua yang telah aku pelajari. Ini justru memberi aku kesempatan untuk melangkah lebih jauh, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi apa pun yang datang.”
Lila tersenyum, menatap sahabatnya dengan bangga. “Aku selalu tahu kamu akan sampai pada titik ini, Nad. Aku bangga padamu.”
Nadia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang segar. “Aku juga bangga dengan diriku sendiri, Lil. Mungkin aku belum sepenuhnya pulih, tapi aku bisa merasakannya—aku lebih siap dari sebelumnya. Aku mulai melihat segala sesuatunya dengan lebih jelas.”
Tiba-tiba, telepon Nadia berbunyi lagi. Nama Dika kembali muncul di layar. Tanpa ragu, Nadia mengangkat telepon itu. “Halo, Dika.”
“Halo, Nadia. Aku cuma ingin mengingatkanmu bahwa aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi,” suara Dika terdengar begitu hangat.
Nadia tersenyum. “Aku tahu, Dika. Terima kasih, karena telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Aku tidak akan bisa sampai di titik ini tanpa kamu.”
Malam itu, saat percakapan dengan Dika berakhir, Nadia merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk kembali ke rumah—bukan hanya rumah fisiknya, tetapi rumah dalam dirinya sendiri. Tempat di mana ia bisa merasa damai, menerima dirinya, dan melangkah maju tanpa rasa takut. Kini, Nadia tahu bahwa pelangi yang ia cari selama ini sudah mulai tampak, membawa janji baru untuk masa depannya.*
Bab 10: Pelangi di Balik Awan
Sudah beberapa bulan sejak Nadia kembali ke kehidupannya yang sibuk di kota. Keputusan untuk kembali ke rumah dan menghadapi kenyataan bukanlah hal yang mudah, tetapi seiring berjalannya waktu, Nadia mulai menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil membawanya lebih dekat pada kebahagiaan yang ia cari. Hujan yang dulu datang begitu deras kini terasa seperti kenangan yang jauh, meninggalkan pelajaran berharga tentang kesabaran, pengampunan, dan kemampuan untuk menerima diri sendiri.
Nadia duduk di balkon apartemennya, memandang langit yang tampak cerah. Pagi itu, awan-awan tipis menghiasi langit biru yang jernih. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Nadia. Ia merasa seperti seseorang yang telah lama mencari arah hidup dan akhirnya menemukannya. Hatinya kini lebih ringan, meskipun perjalanan hidupnya belum sepenuhnya selesai. Namun, Nadia tahu bahwa ia telah banyak berkembang.
Hari-hari yang penuh rutinitas kini terasa lebih menyenangkan. Pekerjaan yang dulu terasa membebani kini terasa lebih ringan, berkat perspektif baru yang Nadia miliki. Setiap kali ia merasa lelah, ia akan mengingat kembali perjalanan panjang yang ia tempuh—dari perasaan patah hati yang mendalam hingga akhirnya menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Setiap langkah, setiap momen penuh kebingungan, akhirnya membawanya pada titik ini—sebuah titik di mana ia merasa siap untuk menghadapi masa depan dengan penuh harapan.
Lila datang mengunjungi Nadia di apartemennya, membawa secangkir kopi hangat. Mereka duduk di balkon, menikmati pagi yang tenang, sambil berbicara tentang kehidupan yang mereka jalani. Lila bisa melihat perubahan besar dalam diri sahabatnya. Nadia kini tampak lebih tenang, lebih percaya diri, dan lebih siap menghadapi apapun yang datang.
“Nad, aku lihat kamu sudah banyak berubah. Kamu terlihat lebih bahagia,” kata Lila sambil menyeruput kopi.
Nadia tersenyum, menatap sahabatnya dengan penuh rasa syukur. “Aku merasa lebih baik, Lil. Aku rasa semua yang aku lalui selama ini—dari yang menyakitkan sampai yang penuh kebingungan—itu semua membentuk diriku yang sekarang. Aku belajar untuk menerima diriku, menerima kenyataan, dan belajar bahwa kebahagiaan itu datang dari dalam diri kita sendiri.”
Lila mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku sangat bangga padamu, Nad. Aku tahu perjalananmu tidak mudah, tetapi aku bisa merasakan perubahan besar dalam dirimu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Nadia menghela napas, menikmati angin pagi yang sejuk. “Aku merasa sekarang aku lebih tahu apa yang aku inginkan. Aku tidak perlu lagi berlarian atau menghindari perasaan-perasaan yang dulu selalu menggangguku. Aku tahu aku harus tetap melangkah, bahkan ketika masa lalu terus menghantui.”
Lila tersenyum. “Itulah yang membuat kamu luar biasa, Nad. Kamu bisa menghadapinya dengan keberanian. Aku yakin, masa depanmu akan semakin cerah.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang ada. Pagi itu, Nadia merasa segala sesuatu terasa begitu pas. Ia merasa tidak terburu-buru, tidak lagi terjebak dalam masa lalu atau keraguan tentang masa depan. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hidup di saat ini—di sini dan sekarang.
Beberapa hari kemudian, Dika menghubungi Nadia, mengajaknya untuk bertemu. Ini adalah pertemuan yang sudah lama mereka nantikan, setelah sekian lama menjalani hubungan yang lebih santai dan tanpa tekanan. Nadia merasa sedikit gugup, meskipun ia sudah cukup yakin dengan perasaannya. Dika bukan hanya seseorang yang memberinya kenyamanan, tetapi juga seseorang yang bisa membuatnya merasa diterima apa adanya.
Mereka bertemu di sebuah kafe yang nyaman di pusat kota, tempat yang sering mereka kunjungi ketika pertama kali bertemu. Ketika Nadia melihat Dika duduk di meja yang sudah mereka pilih sebelumnya, hatinya terasa berdebar. Dika tersenyum saat melihat Nadia mendekat, dan Nadia membalas senyumannya.
“Kamu datang lebih cepat,” kata Dika, mempersilakan Nadia duduk di hadapannya.
Nadia tersenyum, sedikit canggung. “Aku hanya ingin memastikan aku tepat waktu.”
Mereka berbicara dengan santai, seperti biasa. Tidak ada pembicaraan berat atau pembahasan tentang masa depan. Hanya obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari, tentang pekerjaan, dan tentang hal-hal kecil yang mereka nikmati. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Nadia merasa lebih terbuka, lebih nyaman dalam berbicara dengan Dika. Tidak ada lagi perasaan takut akan kehilangan atau rasa cemas yang dulu sering menghantui hatinya.
Akhirnya, setelah beberapa saat berbincang, Dika memecah keheningan. “Nadia, aku tahu ini mungkin terdengar sedikit tiba-tiba, tapi aku ingin bertanya sesuatu.”
Nadia menatap Dika dengan penasaran, menunggu apa yang akan dikatakan. “Apa itu?”
Dika menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. “Aku ingin tahu, apakah kamu siap untuk melangkah lebih jauh bersama aku? Aku ingin kita menjalani masa depan ini bersama-sama, Nadia. Tanpa terburu-buru, tanpa ada tekanan, tapi aku merasa aku siap untuk itu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin ada di hidupmu, bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai pasangan.”
Nadia terdiam, hatinya berdebar lebih kencang. Perasaan yang selama ini ia rasakan mulai mengalir begitu saja. Ia tahu jawabannya. Ia tahu bahwa ia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Dika adalah seseorang yang bisa membuatnya merasa diterima dan dicintai tanpa ada syarat atau ekspektasi yang berlebihan. Mungkin, ini adalah pelangi yang ia cari selama ini—sesuatu yang datang setelah badai, membawa kedamaian dan harapan baru.
Nadia mengangguk, tersenyum lebar. “Aku siap, Dika. Aku sudah siap untuk melangkah bersama kamu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku yakin kita bisa menjalani ini bersama.”
Dika tersenyum bahagia, meraih tangan Nadia dengan lembut. “Terima kasih, Nadia. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan melakukannya bersama.”
Mereka duduk bersama, menikmati momen itu dalam keheningan, seolah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak. Di luar, hujan mulai turun, tetapi kali ini Nadia tidak merasa takut atau cemas. Hujan itu, seperti pelangi, membawa janji baru, membawa kebahagiaan yang selama ini ia cari.
Pada malam itu, setelah pertemuan mereka di kafe, Nadia berjalan pulang dengan langkah yang ringan. Hujan yang turun deras di luar seolah memberi kehangatan dalam dirinya. Ia merasa seperti pelangi yang muncul setelah badai, penuh warna dan harapan. Semua yang pernah ia alami—kesedihan, kehilangan, dan kekecewaan—sekarang terasa seperti bagian dari perjalanan yang membawanya ke tempat ini.
Nadia menatap langit yang gelap, di balik awan yang perlahan terbuka, ia bisa melihat sedikit cahaya. Pelangi itu mulai tampak, memberikan warna-warni yang indah di langit malam. Ia tahu bahwa hidupnya, seperti pelangi itu, penuh dengan perubahan dan kemungkinan yang tak terduga. Tetapi yang terpenting, Nadia kini merasa siap untuk menjalani semua itu, tanpa rasa takut atau keraguan.
Dengan langkah yang pasti, Nadia melangkah pulang, menuju rumah yang kini terasa lebih hangat. Masa depannya mungkin masih penuh misteri, tetapi ia tahu bahwa di balik setiap awan kelabu, selalu ada pelangi yang menunggu untuk muncul.***
——-THE END——-