• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

April 9, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

PANJI TERAKHIR DARI TIMUR

by SAME KADE
April 9, 2025
in Sejarah
Reading Time: 27 mins read

Bab 1: Saat Api Menyala di Timur

Angin dari pegunungan Karsana berhembus kencang, membawa aroma terbakar yang asing ke dataran Desa Akarwangi. Langit jingga memerah seperti luka terbuka, menandai akhir dari kedamaian yang telah dinikmati selama bertahun-tahun. Di tengah hamparan ladang dan hutan bambu, terdengar teriakan—bukan panggilan panen, melainkan jeritan.

Elang berlari menuruni lereng dengan nafas memburu. Tubuhnya penuh luka gores dari semak duri, tapi ia tak peduli. Di tangannya tergenggam sebilah pisau kecil, hadiah dari ayahnya, seorang bekas prajurit yang kini bekerja sebagai pandai besi desa. Pisau itu tak cukup untuk menghadapi pasukan berkuda yang membakar rumah demi rumah, tapi cukup untuk membela diri—atau mati dengan terhormat.

Dari balik pohon aren, Elang melihat kobaran api melalap bagian barat desa. Asap hitam mengaburkan langit. Para penyerang tak mengenakan panji kerajaan. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, tanpa lambang, dan beraksi dalam formasi yang terlatih. Bukan perampok biasa.

“Ayah!” serunya, berlari ke arah bengkel besi tua yang kini sudah menjadi puing.

Tak ada jawaban.

Hanya suara kayu runtuh dan denting logam yang meleleh terkena panas.

Elang menahan napas saat melihat sepasang sepatu kulit milik ayahnya tergeletak di ambang pintu. Tapi tubuhnya tak ditemukan. Hanya jejak kaki berat yang menyeret ke arah utara.

Dengan mata berkaca, Elang masuk ke bengkel itu. Api masih menyala di salah satu sudut. Di balik dinding yang runtuh, ia menemukan sesuatu yang aneh: sebuah kain tua terlipat rapi dalam tabung perunggu yang disembunyikan di bawah lantai kayu. Ketika dibuka, kain itu terbakar dengan cahaya merah samar—seperti bara yang tak pernah padam.

Panji.

Namun berbeda dari panji kerajaan manapun yang pernah ia lihat. Warnanya merah darah dengan simbol matahari berkepala dua, dan teks kuno berbaris di tepinya. Tak ia pahami maknanya, tapi kain itu terasa hidup… berdenyut di tangannya seperti nadi.

Tiba-tiba, suara langkah mendekat.

“Elang!” terdengar suara perempuan. “Cepat keluar! Mereka datang lagi!”

Itu Suri, anak kepala desa. Nafasnya terengah, wajahnya berlumur debu, dan tangannya menggenggam busur yang bahkan tak lengkap anak panahnya.

“Kita harus pergi ke hutan. Semuanya sudah habis.”

Elang mengangguk. Ia menggulung panji itu dan menyelipkannya ke dalam tas kulit milik ayahnya. Ia tak tahu kenapa ia melakukannya, hanya naluri yang mengatakan bahwa kain itu penting—lebih dari nyawanya sendiri.

Mereka menyelinap keluar, menyusuri jalan tikus menuju arah sungai kecil. Di sepanjang jalan, mereka melihat bayangan desa yang dicintai kini tinggal bara. Tak ada rumah yang selamat. Tak ada ternak. Hanya tangis dan api.

Di tepi sungai, mereka bertemu empat penyintas lain—ibu tua, seorang anak lelaki kecil, dan dua pemuda yang wajahnya asing. Salah satunya, tinggi dan kurus, memperhatikan tas kulit Elang dengan penuh minat.

“Kalian dari mana?” tanya Elang waspada.

“Dari hutan barat. Kami melihat desa ini dibakar dari kejauhan,” jawab si kurus. “Namaku Rantai. Ini adikku, Juru.”

Suri mengerutkan alis. “Kenapa kalian kemari kalau tahu ada bahaya?”

Rantai tersenyum tipis. “Kami mencari sesuatu. Atau seseorang. Mungkin kami menemukan keduanya sekarang.”

Elang menatap Rantai, merasa ada sesuatu yang tak beres. Tapi sebelum bisa bertanya lebih lanjut, suara terompet terdengar dari kejauhan—panjang, nyaring, dan asing. Itu bukan terompet kerajaan. Itu pertanda perburuan belum selesai.

“Kita harus terus bergerak,” kata Suri tegas.

Malam itu, mereka bersembunyi di gua batu, jauh dari desa yang telah menjadi arang. Elang duduk paling belakang, menggenggam kain merah itu erat. Ia tak bisa tidur. Saat semua mulai terlelap, ia membuka panji itu lagi.

Saat disentuh dalam kegelapan, simbol matahari berkepala dua bersinar lembut, dan dari dalam kain itu terdengar bisikan halus:

“Jika kau membawaku, maka kau harus berdiri di akhir perang.”
“Dan tak semua yang kau cintai akan selamat.”

Elang menahan napas.

Ia tak tahu apa yang telah ia temukan.

Tapi satu hal pasti—hidupnya takkan pernah sama.

Dan api dari timur baru saja dinyalakan.

Bab 2: Darah di Atas Pasir Merah

Matahari baru saja muncul dari balik perbukitan, menciptakan semburat merah menyala di atas hamparan pasir tandus yang membentang ke arah barat. Pasir ini dulu disebut Pasir Kehidupan oleh para pedagang, karena jalur inilah satu-satunya rute yang menghubungkan desa-desa timur dengan pusat kerajaan. Tapi pagi itu, pasir itu lebih mirip ladang kematian—berwarna merah karena darah yang tertumpah malam sebelumnya.

Elang melangkah pelan, mengikuti jejak Suri yang berjalan paling depan. Di belakang mereka, Rantai dan adiknya Juru membawa si kecil Gama dan ibu tua yang hanya mereka panggil “Inang.” Mereka semua sunyi. Bahkan angin pun seperti menahan napas.

“Satu hari lagi, kita akan sampai di Benteng Batu Miring,” ujar Suri perlahan. “Kalau masih ada penjaga di sana, kita bisa minta perlindungan.”

“Elang,” bisik Rantai, menyusul ke sampingnya, “apa yang kau simpan di tas kulit itu?”

Elang menoleh cepat, curiga.

“Tak ada.”

“Pisau?”

Elang menggeleng.

“Kalau bukan senjata, pasti sesuatu yang lebih berharga,” ujar Rantai sambil menyeringai tipis.

Elang menatap lurus ke depan. Ia tidak bisa mempercayai siapa pun, terlebih orang asing seperti Rantai. Tapi ia juga tahu, cepat atau lambat, rahasia panji merah itu akan terungkap—dan mungkin saat itu, ia tak lagi bisa memilih kepada siapa ia berpihak.

Menjelang siang, rombongan kecil itu mencapai oasis kecil di tengah padang. Airnya keruh, tapi cukup untuk menghilangkan dahaga. Suri mengeluarkan ransum terakhir: dua potong roti kering dan segenggam kacang pahit.

“Kita harus bagi rata,” katanya.

Namun saat roti baru dibagi, suara peluit tajam terdengar dari kejauhan.

“Tiarap!” seru Rantai.

Beberapa anak panah menancap tak jauh dari mereka. Dari balik batu besar, muncul tiga orang bertudung merah, bersenjatakan belati dan cambuk logam. Mereka tak membawa panji, tapi simbol tengkorak kecil tergantung di dada mereka.

“Penyamun pasir,” gumam Inang. “Bukan tentara. Tapi lebih kejam.”

Pertarungan pun terjadi.

Suri memanah satu penyerang dengan cepat, tapi dua lainnya berhasil mendekat. Elang, tanpa sempat berpikir, menarik panji dari tasnya—tak tahu kenapa ia melakukannya. Ia menggenggam kain itu di tangan kanan, dan tiba-tiba tubuhnya terasa hangat. Nyala merah lembut menyelimuti kain, dan sesaat, musuh yang melihatnya tertegun.

Mata mereka melebar.

Salah satu dari mereka berteriak, “Itu… panji Arunika!”

Namun sebelum bisa berbuat lebih, Suri sudah menghantamnya dengan batu. Penyamun itu roboh. Yang terakhir melarikan diri.

Elang terengah, memandang panji yang kini redup kembali. Semua mata tertuju padanya.

Rantai mendekat, pandangannya tajam. “Kau tahu apa yang kau bawa itu?”

Elang menggeleng.

“Itu bukan kain biasa,” lanjut Rantai. “Itu lambang dari raja pertama timur. Panji itu… sudah hilang sejak ratusan tahun.”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Elang curiga.

“Ayahku… dulu pengawal rahasia kerajaan. Ia dibunuh karena tahu tentang panji itu.”

Suri menatap Elang, suaranya tegas. “Kalau benar ini panji Arunika, maka orang-orang akan memburumu, Elang. Bangsawan, pemberontak, bahkan orang-orang sepertiku.”

Elang menggenggam kain itu erat.

“Aku tidak ingin kekuasaan.”

“Kekuasaan tak peduli apa kau menginginkannya atau tidak,” ujar Rantai pelan. “Yang penting, kau memilikinya.”

Menjelang senja, mereka tiba di tepi tebing tinggi, tempat Benteng Batu Miring seharusnya berdiri.

Namun yang mereka temukan hanyalah reruntuhan.

Bendera kerajaan tergeletak sobek di tanah. Mayat-mayat tua membusuk di sisi gerbang. Tak ada suara. Tak ada kehidupan.

“Kita terlambat,” gumam Suri.

Tapi di antara puing-puing, Elang melihat sesuatu. Di sebuah batu besar, terukir simbol yang sama dengan yang ada di panji merahnya—dua matahari, saling menghadap.

Rantai membaca ukiran itu keras-keras:

“Jika darah masih mengalir di timur, maka panji ini belum selesai bertugas.”

Elang menatap langit.

Ia tahu bahwa hidupnya kini tak akan pernah sederhana. Ia tidak lagi hanya anak pandai besi. Ia adalah pembawa lambang yang bisa menyatukan, atau menghancurkan, kerajaan.

Dan di bawah langit merah, di atas pasir yang basah oleh darah, ia bersumpah satu hal:

Ia akan mencari kebenaran.
Dan menjaga panji ini—hingga akhir.

Berikut adalah perkembangan cerita dari Bab 3: Angin dari Selatan dari novel Panji Terakhir dari Timur. Di bab ini, cerita memperkenalkan ancaman baru dari wilayah selatan dan karakter penting yang akan mengubah arah perjalanan Elang. Cerita memiliki nuansa ketegangan dan pengungkapan lebih dalam tentang masa lalu panji.

Bab 3: Angin dari Selatan

Malam telah menutup langit ketika angin dari arah selatan berembus pelan, membawa aroma yang berbeda—bukan aroma darah dan debu seperti biasanya, melainkan wangi daun cendana dan bara dupa. Elang tak bisa tidur. Di balik reruntuhan Benteng Batu Miring, ia duduk memandangi panji merah yang tergeletak di pangkuannya, lembut berkilau meski tak ada cahaya.

Rantai sedang berjaga di atas menara tua, sementara Suri dan yang lain tertidur dalam pelukan gelap yang rapuh. Hanya Elang yang masih terjaga, pikirannya berputar. Sejak ia menggenggam panji itu, ia merasa tak pernah sendiri. Ada bisikan halus di balik tiap helaian kain. Sebuah desakan, bukan sekadar perlindungan—tetapi tujuan.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah ringan mendekat.

“Susah tidur?”

Seorang perempuan muda berdiri di hadapannya. Wajahnya setengah tertutup kerudung tipis berwarna coklat tanah. Tatapannya tajam, penuh kehati-hatian. Tapi anehnya, ada sesuatu yang menenangkan dalam suaranya.

“Aku belum melihatmu sebelumnya,” kata Elang sambil berdiri waspada.

“Aku baru datang.”

“Dari mana?”

“Selatan,” jawab perempuan itu, mengangkat alis. “Namaku Mata.”

Elang mencengkeram kain panji, setengah bersiap, setengah penasaran.

“Tenang saja. Kalau aku ingin merebut itu darimu, kau pasti sudah terikat sekarang,” katanya tenang.

Mata duduk, menyandarkan tubuhnya di batu. “Panji itu telah membangunkan sesuatu. Sesuatu yang telah lama tertidur di negeri ini. Kau pikir hanya kau yang menyadari kekuatannya?”

“Kenapa kau mencarinya?”

“Aku tidak mencarinya,” jawabnya. “Aku mencarimu.”

Elang membisu.

“Ayahku adalah penjaga panji selatan. Kami menyebutnya Panji Rahwana, panji bayangan. Panji yang menyimpan kekuatan diam, kekuatan menyusup, menunggu, dan menghancurkan dari dalam.”

“Dan panji yang kubawa?”

“Itu Panji Arunika—panji terang. Yang memimpin di medan perang dan membakar semangat. Jika dua panji bersatu… maka jalan menuju panji ketiga akan terbuka.”

“Panji ketiga?”

“Panji Purnama. Yang hanya bisa dibangkitkan jika terang dan bayangan saling memahami,” ujar Mata lirih. “Tapi kau belum siap.”

“Aku tidak ingin semua ini,” desah Elang. “Aku hanya ingin menemukan ayahku. Ia hilang malam saat desaku diserang.”

Mata menatapnya dalam. “Kau akan menemukan ayahmu… jika kau berjalan ke arah selatan.”

Keesokan paginya, rombongan kecil itu memutuskan untuk meninggalkan reruntuhan benteng. Rantai keberatan dengan kehadiran Mata, tapi Suri justru menyambutnya dengan hormat. Ternyata, mereka pernah bertemu di pelatihan prajurit rahasia beberapa tahun lalu.

“Mata adalah bayangan istana,” kata Suri saat mereka berjalan. “Pengintai tingkat tinggi. Dia tidak pernah muncul jika tidak penting.”

Rantai hanya mendengus. “Terlalu banyak bayangan di antara kita sekarang.”

Perjalanan ke selatan membawa mereka menyusuri jurang, melintasi sungai berbatu, dan masuk ke hutan berkabut. Elang semakin sering bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah medan perang yang asing, memegang panji dengan tubuh berlumur darah, sementara dua matahari bersinar di langit kelam.

Di sebuah pemukiman terlantar, mereka menemukan tanda mengerikan: seluruh penduduk hilang, tapi makanan masih hangat, dan api masih menyala di perapian. Di dinding rumah utama, tergambar simbol yang asing bagi Elang—namun dikenal oleh Mata.

“Tanda pemburu dari Selatan Dalam,” gumam Mata. “Mereka bukan manusia biasa. Mereka penjaga panji bayangan yang kehilangan tuannya. Sekarang mereka hanya mengikuti bau kekuatan.”

Rantai menyela, “Kau bilang panji ketiga bisa dibangkitkan. Apa maksudmu?”

“Panji ketiga tersembunyi dalam Kuil Tiga Jiwa. Tapi hanya mereka yang membawa terang dan bayangan yang bisa masuk.”

“Elang belum siap,” ujar Suri hati-hati. “Kita bahkan belum tahu siapa sebenarnya dia.”

Mata tersenyum samar. “Kalian tidak tahu, atau kalian takut tahu?”

Semua terdiam.

Malam itu, saat api unggun nyaris padam, Elang berdiri sendirian di tepi hutan. Panji di tangannya bergetar ringan. Ia mendengar bisikan samar lagi, tapi kali ini bukan suara lama.

Itu suara ayahnya.

“Elang… pergilah ke bukit hitam. Di sana aku menunggumu… sebelum semuanya terlambat.”

Elang menoleh. Tak ada siapa-siapa.

Tapi ia tahu arah perjalanannya kini berubah.

Bukan lagi hanya membawa panji. Ia membawa warisan. Dan dari selatan, angin baru sedang bertiup—angin yang membawa bayangan dan masa lalu yang belum selesai.

Bab 4: Istana yang Membeku

Udara semakin dingin seiring mereka mendaki lereng menuju Utama Karsa, istana musim dingin yang berdiri angkuh di puncak dataran tinggi Kirnawa. Kabut tebal menyelimuti hutan pinus dan pilar-pilar batu tua yang menandai wilayah perbatasan kekuasaan kerajaan. Elang merapatkan jubah bulu pemberian Suri. Embusan angin menusuk tulang.

Istana itu dijuluki “Yang Membeku” bukan hanya karena cuacanya, tapi juga karena suasananya. Di dalam temboknya, segalanya tampak beku—wajah-wajah penjaga yang dingin, tatapan bangsawan yang tak bersahabat, dan lorong-lorong batu yang seolah tidak pernah melihat cahaya hangat. Setiap langkah menggema seolah tempat itu menolak kehidupan.

“Dulu tempat ini pusat peradaban utara,” bisik Mata kepada Elang. “Sekarang hanya tempat singgasana kosong dan ingatan yang terkurung.”

Suri memimpin mereka masuk dengan surat perintah dari ayahnya—mantan penasihat kerajaan. Tapi bahkan surat itu pun tidak menjamin keamanan.

“Mereka akan membiarkan kita masuk. Tapi bukan berarti mereka akan membiarkan kita keluar,” gumam Rantai sambil melirik penjaga bersenjata yang mengikuti langkah mereka.

Di aula utama, mereka disambut oleh Adipati Durna, pemimpin sementara wilayah utara. Pria tinggi berambut putih, wajahnya keras dan tidak menunjukkan sedikit pun emosi. Di balik jubah peraknya, terlihat lambang bintang jatuh—lambang keluarga Durna, yang dulunya dikenal sebagai pelindung panji-panji kerajaan.

“Apa yang kalian bawa ke sini?” tanyanya dingin, menatap Elang.

Suri menjawab, “Kami mencari perlindungan dan petunjuk tentang serangan di timur. Desa Akarwangi hancur. Kami punya bukti bahwa pelaku bukan pemberontak biasa.”

Durna menatap Elang tajam. “Siapa anak ini?”

“Dia… pemilik Panji Arunika.”

Aula langsung senyap.

Mata menunduk. Rantai mencengkeram gagang pedangnya.

“Bawa ke menara timur. Sendirian,” perintah Durna.

Di dalam menara yang lembab, Elang duduk seorang diri. Dinding batu dingin memantulkan pikirannya sendiri—pertanyaan yang tak berjawab dan rasa cemas yang perlahan membeku jadi kemarahan. Ia mencoba mengingat wajah ayahnya, tapi kabur. Yang tersisa hanya suara, samar, seperti desir angin di telinganya.

Pintu terbuka. Bukan penjaga. Tapi Putri Sekar Wulan—putri Adipati Durna.

Ia membawa seberkas lilin dan sehelai kain biru.

“Kau menggenggam panji itu?”

Elang mengangguk.

“Ayahku ingin panji itu. Bukan untuk kerajaan. Tapi untuk dirinya sendiri.”

Elang mengernyit.

“Dulu, sebelum panji menghilang, keluargaku adalah pemegang keempat panji. Tapi setelah pengkhianatan besar dua generasi lalu, panji Arunika lenyap. Ayahku yakin… panji itu bisa memanggil ‘kunci ketiga’—yang bisa membuka gerbang rahasia di bawah istana ini.”

“Gerbang rahasia?”

Sekar mengangguk. “Ada ruangan tersembunyi di bawah istana. Konon, di sana disimpan dokumen yang bisa membongkar siapa sebenarnya pendiri kerajaan. Kebenaran yang bisa menghancurkan seluruh tatanan saat ini.”

Ia mendekatkan kain biru ke arah Elang. “Ini milik ibuku. Ia percaya pada kebenaran. Dan ia dibunuh karena itu.”

Kain itu ternyata bagian dari panji juga—panji kecil bertuliskan aksara tua, dengan simbol matahari dan bintang berdampingan.

“Panji itu punya saudara,” kata Sekar pelan. “Dan kau harus menyatukannya.”

Di luar menara, kekacauan mulai terasa. Penjaga berkumpul. Pasukan dari selatan dikabarkan mendekat, membakar desa-desa penyangga. Rantai dan Mata saling curiga. Suri berusaha menenangkan mereka, tapi ketegangan semakin tajam.

Di dalam lorong bawah tanah istana, Sekar membawa Elang ke gerbang besi yang tersembunyi di balik altar tua. Dengan dua panji—merah dan biru—di tangan, Elang mendekat.

Saat keduanya menyentuh permukaan gerbang, simbol-simbol di dinding menyala.

Suara seperti desir angin berbisik:
“Darah terang dan darah bayangan telah bersatu. Maka kebenaran akan terbuka.”

Gerbang perlahan bergeser.

Di dalamnya, tumpukan gulungan naskah, peta kuno, dan… lukisan dinding yang telah lama tertutup debu.

Elang melihat sosok dalam lukisan itu—seorang pemuda berpakaian sederhana, menggenggam panji merah dengan simbol matahari berkepala dua.

Di bawah lukisan, tertulis:
“Arunika, sang penentang raja.”

“Dia bukan raja pertama,” gumam Elang.

“Dia musuh kerajaan,” kata Sekar. “Dan panji ini… adalah tanda perlawanan.”

Langkah kaki berat terdengar dari atas.

Pasukan Durna turun, lengkap dengan pedang dan obor.

Sekar menarik tangan Elang. “Lari. Bawa naskah ini. Jangan biarkan mereka menutup mulut sejarah lagi.”

Saat mereka melarikan diri lewat lorong rahasia yang mengarah ke hutan salju, Elang membawa lebih dari sekadar panji.

Ia kini membawa rahasia besar yang bisa mengguncang seluruh tatanan kerajaan.

Istana telah membeku.
Tapi kebenaran mulai mencair.

Dan perang, baru saja berawal.

Bab 5: Bayang-Bayang di Balik Tembok Kota

Senja mulai turun saat Elang, Mata, dan Suri tiba di depan gerbang Kota Taruma—sebuah kota dagang besar yang dikelilingi tembok batu setinggi sepuluh hasta. Kota ini selama ini dikenal netral dalam konflik kerajaan, menjadi tempat persinggahan para pedagang, pengembara, dan orang-orang yang ingin melupakan masa lalu.

Tapi Elang tahu, tak ada tempat yang benar-benar netral ketika panji mulai menunjukkan sinarnya.

“Kita harus berhati-hati,” bisik Mata. “Taruma punya dua wajah. Yang pertama, kota yang bersinar. Yang kedua, kota bayangan.”

“Dan kita akan masuk ke yang mana?” tanya Elang.

“Kalau kita tidak cukup cepat, kita akan terjebak di keduanya.”

Di dalam kota, suasana tampak biasa—pasar masih ramai, aroma rempah dan asap panggangan memenuhi udara. Tapi Suri, yang pernah tinggal di sini saat kecil, langsung menyadari ada yang berbeda.

“Terlalu… tertib,” katanya sambil menatap para penjaga yang mondar-mandir dengan seragam hitam yang tak dikenalnya.

Mereka bertemu dengan Bapak Tuha, seorang pengrajin topeng tua yang dikenal sebagai simpatisan pemberontak diam-diam. Ia menyambut mereka di toko kecilnya yang penuh ukiran kayu dan aroma damar.

“Kalian membawa angin dari utara,” gumamnya sambil mengunci pintu. “Dan angin itu membuat bayangan bergeser.”

Ia memimpin mereka ke ruang bawah tanah di balik lemari ukir. Di sanalah ternyata jaringan rahasia berkumpul—para mantan prajurit, guru yang dibungkam, dan anak-anak muda yang menyimpan dendam terhadap kerajaan.

“Kami menyebut diri kami Bayang-Bayang Tembok,” kata Tuha. “Kami menyusup, mendengar, dan menunggu saat yang tepat.”

Mata bertanya, “Apa kalian tahu tentang Panji Ketiga?”

Semua terdiam. Lalu seorang perempuan bertopi tudung berdiri dari sudut ruangan. “Aku tahu.”

Ia memperkenalkan diri sebagai Indra, mantan pengawal pribadi Raja sebelum istana dibersihkan dari mereka yang dianggap ‘berpikir terlalu banyak’. Ia membawa peta tua yang konon menunjukkan letak Taman Batu, situs kuno di luar kota yang diduga sebagai tempat terakhir Panji Purnama muncul.

“Tapi untuk ke sana, kalian harus keluar dari kota ini dulu,” kata Indra. “Dan kota ini tidak semudah itu membiarkan kalian keluar.”

Malam itu, saat Elang dan Suri menyamar sebagai penjaga pasar untuk mengumpulkan informasi, mereka menyaksikan sendiri bagaimana Taruma tidak lagi bebas. Seorang pemuda dipukuli di alun-alun karena kedapatan membawa lembaran puisi berjudul Matahari Jatuh di Timur—puisi lama yang menyiratkan kebangkitan Panji Arunika.

“Semua yang berkaitan dengan panji sedang diburu,” bisik Suri. “Bahkan kata-katanya.”

Elang mengepalkan tangan.

Di balik tembok kota, bukan hanya batu yang berdiri. Tapi juga ketakutan yang membatu di wajah orang-orang.

Sementara itu, Mata bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalunya—Aksara, sahabat yang dulu melatihnya dalam seni bayangan. Kini Aksara adalah pemimpin sel jaringan Taruma, tetapi ia berubah.

“Kau membawa panji terang. Aku membawa panji gelap,” kata Aksara sambil mengangkat belati berhulu obsidian. “Dulu kita percaya terang dan bayangan bisa berdampingan. Tapi kau lihat sendiri, terang malah membuat bayangan diburu.”

“Aku tidak mencari perang. Aku mencari kebenaran.”

“Dan kau pikir itu akan bertahan tanpa darah?”

Mata terdiam.

Rencana pelarian dari kota pun dirancang. Elang, Suri, Mata, dan dua anggota jaringan bayangan menyusup lewat saluran air yang mengarah ke luar tembok. Tapi sebelum mereka sempat keluar, pengkhianatan terjadi.

Salah satu anggota jaringan—Tegar, yang ternyata agen ganda kerajaan—membuka pintu air lebih awal dan memberi isyarat pada penjaga.

Pertempuran kecil meledak dalam gelap dan basahnya lorong air. Mata bertarung melawan Tegar, keduanya mengenal gerakan satu sama lain. Elang melindungi Suri yang terluka oleh panah nyasar.

Dalam kepanikan, Elang memegang panjinya dan tiba-tiba… panji itu bersinar samar. Cahaya hangat muncul, mengalir lewat dinding batu, dan membuka celah tersembunyi yang tak tercatat di peta manapun.

Jalan rahasia.

“Ini… bukan hanya panji. Ini adalah kunci,” kata Elang lirih, terengah.

Mereka melarikan diri lewat jalur yang baru terbuka itu, meninggalkan Taruma di belakang. Tapi sebelum pergi, Elang menatap ke atas tembok kota sekali lagi.

Di atasnya, terlihat seseorang berdiri dalam gelap. Bukan penjaga. Tapi Aksara, diam-diam mengangguk, seolah berkata:

“Bayangan akan selalu menyertai terang.”

Dan Elang tahu, perjuangannya belum selesai.

Ia membawa panji.

Tapi bayangan juga mulai memilih sisi.

Bab 6: Pertemuan Tiga Panji

Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan Elang, Suri, Mata, dan Indra akhirnya tiba di Lembah Saptarawa, sebuah celah lembah yang diapit oleh dua bukit berkabut. Menurut peta kuno yang diberikan oleh Aksara sebelum mereka meninggalkan Taruma, di lembah inilah ketiga panji besar—Timur, Barat, dan Tengah—pernah disatukan. Kini, mereka berharap bisa bertemu dengan para pembawa panji lain… jika mereka benar-benar ada.

Namun Elang belum bisa melupakan apa yang ia lihat di Taman Batu. Sejak saat itu, panji yang ia bawa—Panji Arunika dari Timur—tak pernah benar-benar diam. Ia berdenyut, hangat, seperti nadi yang bergetar, seolah tahu pertemuan besar akan segera terjadi.

“Menurutmu… kita akan bertemu siapa di sini?” tanya Suri pelan.

“Bukan siapa,” sahut Mata. “Tapi apa.”

“Panji?” gumam Indra.

Mata mengangguk. “Tiga panji membawa tiga takdir. Dan hari ini, mereka akan saling menguji.”

Saat siang menjelang, mereka melihat dua kelompok kecil mendekat dari sisi lembah yang berbeda.

Dari arah utara, muncul sekelompok penunggang kuda berlapis kain keemasan. Di depan mereka adalah Daru, pembawa Panji Barat, sosok kharismatik dengan sorot mata yang tajam. Ia membawa panjinya dalam sarung panjang, dan meskipun tidak berkibar, aura kekuatannya terasa.

Dari arah selatan datang seorang perempuan dengan jubah hitam sederhana, diikuti empat pengikut berjubah serupa. Dialah Laras, pembawa Panji Tengah. Tak seperti Daru yang mencolok, Laras berjalan tenang, tapi langit tampak lebih kelabu saat ia mendekat.

Mereka bertemu di tengah lembah, tepat di depan batu datar besar yang dipercaya sebagai Meja Janji, tempat para leluhur mengikat sumpah terakhir saat kerajaan masih satu.

Elang menatap dua sosok itu dengan campuran takjub dan kewaspadaan.

“Akhirnya, Warna Ketiga muncul,” kata Daru sambil tersenyum pada Elang. “Panji Arunika. Banyak yang tak percaya kau akan bangkit lagi.”

“Dan banyak yang berharap dia tak pernah bangkit,” sela Laras dingin.

Suri melangkah maju. “Kami tak datang untuk perang.”

“Tapi kau membawa panji, gadis Timur,” balas Laras. “Dan panji selalu berarti perang—atau akhirnya.”

Pertemuan itu dimulai dalam ketegangan. Daru, yang percaya bahwa dunia harus kembali bersatu di bawah kepemimpinan kuat, menawarkan aliansi.

“Kita bertiga. Tiga panji. Tiga kekuatan. Jika kita bersatu, dunia akan tunduk. Tak ada lagi perpecahan. Aku tahu caranya.”

“Tunduk pada satu panji?” potong Mata. “Itu bukan kesatuan. Itu penindasan dengan nama yang lebih indah.”

Laras menimpali, “Dan jika kita membiarkan panji bertarung, kita akan kembali pada era darah. Aku tidak ingin kesatuan. Aku ingin batas. Keseimbangan. Dunia harus dibatasi dari kekuatan seperti ini.”

Elang menatap panjinya. Ia merasa seperti anak kecil di tengah para raksasa. Tapi suara di dalam dirinya—suara yang muncul sejak Taman Batu—kembali berbisik.

Kau bukan hanya pewaris. Kau adalah penentu arah. Jangan hanya mendengar. Lihatlah lebih dalam.

Elang menarik napas dan berkata, “Mungkin panji bukan dibuat untuk memimpin. Tapi untuk mengingatkan. Bahwa kita pernah satu… dan pernah hancur.”

Semua terdiam.

Daru menatap Elang. “Kau masih muda. Tapi kata-katamu… terdengar seperti sejarah.”

“Saya bukan sejarah,” sahut Elang. “Saya masa depan yang belum dipilih.”

Tiba-tiba, teriakan terdengar dari sisi bukit. Anak panah menghujam tanah di dekat mereka.

Seseorang menyerang.

Dari balik pepohonan, pasukan bersenjata lengkap muncul—Pasukan Bayang Raja, kelompok ekstremis yang ingin menghapus semua panji dan membangun tatanan baru tanpa sejarah.

Mereka dipimpin oleh Senapati Murka, sosok yang mengenakan topeng baja dan mantel dari kulit serigala. “Tiga panji dalam satu tempat. Hari ini, kita musnahkan masa lalu!”

Pertempuran pun pecah.

Elang dan Daru bertempur bahu-membahu, meski baru saja berbeda pendapat. Laras menggunakan kemampuan bayangan dari Panji Tengah untuk menciptakan kabut ilusi, menyembunyikan luka dan menutup serangan.

Dalam kekacauan, panji Elang tiba-tiba menyala terang, lebih terang dari sebelumnya. Cahaya itu menyilaukan, menghalau anak panah dan memecah serangan gelombang pertama.

Panji Timur, Barat, dan Tengah—untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun—berdiri di sisi yang sama, melawan kehancuran bersama.

Dan ketika pertempuran selesai, pasukan Bayang Raja melarikan diri. Tapi tidak tanpa pesan: “Kami akan kembali. Dunia tak lagi membutuhkan panji.”

Di akhir hari, tiga pembawa panji kembali berdiri di Meja Janji.

“Kita belum sepakat,” kata Daru. “Tapi hari ini, kita setidaknya berdiri bersama.”

Laras menatap langit. “Itu… awal yang cukup.”

Elang menatap panjinya. “Ini bukan akhir. Tapi… hari ini, kita menyelamatkan lebih dari sejarah. Kita menyelamatkan kemungkinan.”

Dan jauh di cakrawala, awan mulai membuka. Matahari Timur, untuk pertama kalinya sejak lama, bersinar penuh.

Bab 7: Benteng Tak Bernama

Setelah pertempuran di Lembah Saptarawa, langit Timur tampak lebih jernih. Namun ketenangan itu hanya bayang-bayang dari badai yang akan datang.

Elang, Suri, Mata, dan Indra kini mengikuti petunjuk dari Laras menuju sebuah lokasi terpencil yang tidak tercantum di peta manapun: Benteng Tak Bernama. Menurut legenda, benteng itu dibangun oleh para pengungsi dari kerajaan-kerajaan lama yang menolak tunduk pada kekuasaan manapun. Konon, di sana tersimpan salah satu artefak kuno yang bisa menghubungkan ketiga panji.

“Mereka menyebutnya Jantung Batu,” kata Indra saat mereka melintasi padang kering dan berkelok.

“Mengapa batu?” tanya Elang.

“Karena dari situ aliran kekuatan panji pertama kali muncul. Atau begitu katanya.”

Benteng itu sendiri muncul seperti bayangan dari tanah—dibangun dari batu hitam, nyaris menyatu dengan bukit di belakangnya. Tak ada bendera, tak ada lambang. Bahkan pintu gerbangnya hanya berupa celah di dinding batu, nyaris tersembunyi di balik rerimbunan pohon yang mengering.

“Ini bukan benteng biasa,” bisik Mata. “Ini tempat yang menyimpan luka. Aku bisa merasakannya.”

Mereka diterima oleh Raga, seorang penjaga tua bertubuh tegap dengan mata tajam. Ia tidak menyambut, tapi juga tidak menolak.

“Kalian membawa panji. Tempat ini… tidak dibangun untuk itu,” katanya datar.

“Kami tidak mencari pujian,” jawab Elang. “Kami hanya mencari perlindungan. Dan… kebenaran.”

Raga mengangguk pelan. “Kebenaran tak tumbuh di tanah yang keras, Anak Timur. Tapi… masuklah.”

Di dalam, benteng tampak seperti kota batu kecil—dinding berlapis-lapis, lorong sempit, ruang bawah tanah yang dalam. Dihuni oleh segelintir orang dari berbagai usia, sebagian besar tampak seperti pelarian. Tak ada hiruk-pikuk, hanya sunyi dan kewaspadaan.

Malam pertama mereka di sana terasa tegang. Meskipun diberi tempat beristirahat, Elang merasa mata selalu mengawasi. Bahkan Suri yang biasanya tenang, tidur dengan tangan menggenggam belati.

“Ada sesuatu yang tidak beres,” gumamnya. “Mereka terlalu diam.”

Keesokan harinya, mereka dibawa ke sebuah ruang pertemuan bawah tanah oleh Raga. Di sana terdapat altar batu melingkar dengan ukiran yang nyaris terhapus waktu. Di tengahnya, tertanam sebuah batu berwarna keperakan, sebesar kepala manusia—berdenyut halus seperti jantung yang hidup.

“Ini Jantung Batu,” kata Raga. “Dahulu, ketiga panji pernah disentuhkan di sini. Tapi setelah itu, tempat ini menghilang dari sejarah.”

Indra mendekat. “Apa yang terjadi saat panji menyatu?”

Raga menatap mereka satu per satu. “Tidak semua orang ingin mengetahui jawabannya. Karena saat tiga panji menyatu, dunia akan kembali seperti semula. Tapi tidak semua akan bertahan dalam prosesnya.”

Malam kedua, Mata menemukan sesuatu yang mengejutkan—dalam salah satu ruang penyimpanan lama, ia menemukan bendera lama dari Panji Barat, lengkap dengan cap keluarga bangsawan Daru. Tapi yang mengejutkan bukan itu.

Yang mengejutkan adalah lembaran strategi pertempuran. Dan nama-nama. Termasuk nama Elang.

“Ini daftar buruan,” bisik Mata saat menunjukkan pada Elang. “Dan ini ditulis di sini. Di benteng ini.”

Mereka mulai curiga: apakah benteng ini netral? Ataukah diam-diam menyusun rencana dengan pihak tertentu?

Di tengah malam, alarm berbunyi.

Penyerang datang—bukan dari luar, tapi dari dalam.

Sekelompok penghuni benteng yang mengenakan jubah hitam menyerang Elang dan rombongannya saat mereka mencoba melarikan diri. Raga tidak terlihat. Semua terasa seperti jebakan yang telah lama dirancang.

Indra melawan dengan pisau bayangannya, Suri melemparkan serbuk tidur dari rempah-rempahnya, dan Elang… kembali memanggil panji. Kali ini, ia tidak hanya meminta perlindungan. Ia meminta jalan keluar.

Panji Arunika menyala terang. Namun berbeda dari sebelumnya, kali ini cahaya itu memantul dari Jantung Batu dan mengalir ke dinding batu, seolah membangunkan sesuatu yang tertidur.

Dinding-dinding mulai retak—bukan karena kehancuran, tapi karena gerbang rahasia yang lama tersegel kini terbuka.

Jalan pelarian muncul.

“Kita harus keluar. Sekarang!” teriak Mata.

Sambil bertarung melawan para penghuni yang kini mengaku sebagai “Penjaga Sejarah Lama”, mereka berhasil melarikan diri lewat lorong bawah tanah yang menuju keluar lembah.

Namun saat mereka keluar, Elang menoleh sekali lagi.

Benteng Tak Bernama—tempat yang katanya netral dan terlupakan—ternyata bukan pelindung. Tapi penjaga rahasia yang siap mengubur siapapun yang mencari kebenaran terlalu dalam.

Di atas bukit, mereka beristirahat. Luka-luka terasa, tapi mata Elang menatap jauh.

“Kita kehilangan tempat aman,” gumam Suri.

“Kita tak pernah punya tempat aman,” balas Elang.

“Tapi kita punya panji,” kata Mata. “Dan… kita punya arah sekarang.”

Indra memandangi langit malam. “Pertanyaan selanjutnya… siapa yang sebenarnya menginginkan panji disatukan?”

Dan saat api unggun kecil menyala di tengah dinginnya malam, Elang tahu: setelah ini, jalan akan lebih gelap. Tapi ia juga tahu, mereka sudah terlalu jauh untuk kembali.

Bab 8: Suara Para Leluhur

Langit Timur disaput mendung saat Elang, Mata, Suri, dan Indra melangkah menuju puncak Gunung Karangnira—tempat yang disebut dalam gulungan tua sebagai Hening Leluhur. Konon, di sanalah para pemilik panji pertama kali mendengar suara yang bukan berasal dari dunia ini, melainkan dari jiwa para penjaga zaman.

“Dengar… bahkan burung pun tak berkicau di sini,” bisik Suri.

Gunung Karangnira tidak tinggi, tapi angker. Jalurnya berbatu, diapit hutan bambu yang konon tak pernah tumbuh lebih panjang dari tubuh manusia. Angin yang bertiup tak membawa dingin, melainkan rasa nyeri yang menyusup ke tulang.

Mereka tiba di sebuah dataran datar di puncak, tempat berdirinya Lingkar Batu Tujuh, formasi megalit besar berbentuk lingkaran yang tertata seperti kursi perundingan kuno. Di tengahnya, sebuah batu persembahan yang sudah pecah sebagian—konon tempat para pewaris panji bersumpah di hadapan leluhur.

“Ini tempatnya,” gumam Indra. “Di sinilah panji diuji oleh suara-suara yang tak bisa didengar dengan telinga.”

Begitu mereka melangkah ke dalam lingkaran, suasana berubah.

Udara menjadi berat. Suara alam lenyap. Bahkan nafas mereka terasa lebih pelan, lebih dalam, seolah tubuh mereka sedang mengingat sesuatu yang dilupakan.

Lalu… suara itu datang.

Tidak serentak. Tapi perlahan, seperti bisikan yang muncul dari dalam dada.

“Elang…” suara yang menyerupai ayahnya, meski Elang tahu itu tidak mungkin.

“Kau telah memikul panji… tapi belum mengerti apa yang kau bawa.”

Elang terhuyung, lututnya jatuh ke tanah. Panjinya bergetar di tangan, namun tidak bersinar.

Suri pun mulai mendengar. Suara ibunya yang sudah lama tiada—wanita yang dahulu dituduh penyihir karena mencoba menyembuhkan orang dengan tanaman langka. Mata mendengar nama-nama orang yang ia bunuh dalam pertempuran, semuanya memanggilnya kembali.

Indra berdiri membatu. Ia tidak mendengar suara, tapi melihat bayangan—istana lama, raja yang ia lindungi, dan darah yang menodai lantai marmer.

Kemudian batu persembahan bersinar. Cahaya keemasan muncul dari rekahannya. Dari situ, muncul sosok-sosok cahaya samar, seperti nyala pelita di dalam kabut. Tujuh sosok.

Mereka mengenakan jubah-jubah tua, tanpa wajah, namun masing-masing memancarkan aura kuat. Salah satunya maju—tinggi, bersenjatakan tombak, dengan lambang matahari purnama di dadanya.

“Apa kalian datang membawa kehendak? Atau hanya dendam?”

Elang berusaha bangkit. “Kami… datang mencari jawaban. Dan… arah.”

Sosok itu mengangkat tangan. Tiba-tiba, panji di tangan Elang terangkat dengan sendirinya. Begitu pula milik Indra dan Mata. Ketiganya melayang ke tengah lingkaran, saling berputar, saling menyilaukan.

“Panji bukan alat. Ia adalah cermin. Dan kalian—penjaganya—adalah bayangan yang saling pantul.”

Tiba-tiba, dari dalam tanah, muncul cahaya merah gelap. Bukan dari panji, tapi dari sesuatu yang terkubur di bawah batu. Tanah bergetar. Satu suara—berbeda dari para leluhur—muncul dari bawah.

“Jangan dengarkan mereka…” suara itu berat, penuh kemarahan. “Para leluhur hanya ingin menutup luka. Tapi luka tidak hilang. Luka harus dibalas.”

Batu persembahan retak lebih besar. Dan dari celahnya, muncul bayangan berwujud manusia, matanya kosong, tapi menyala merah.

“Dia… roh perang lama,” gumam Indra. “Yang ditolak saat panji pertama kali dicipta. Roh dendam… yang tak diberi suara.”

Sosok bayangan itu mencoba merebut panji dari tengah lingkaran. Tapi para leluhur menahan, menciptakan pelindung cahaya.

Satu suara leluhur berkata pada Elang:

“Pilih sekarang. Apakah kau hanya pembawa panji… atau kau adalah ia yang akan mengakhirinya.”

Elang maju. Panjinya kembali ke tangannya, menyala dengan nyala keemasan yang kali ini tidak membakar, tapi menenangkan.

Ia menancapkan panji itu ke tengah lingkaran.

Seketika, cahaya dari ketiga panji menyatu. Suara para leluhur bergema serentak:

“Pewarislah yang memilih masa depan. Bukan masa lalu.”

Bayangan perang itu meraung, lalu meledak dalam kabut hitam yang menghilang ditiup angin.

Saat semuanya berakhir, batu persembahan pecah sepenuhnya. Namun dari dalamnya, muncul piringan logam emas berukir tiga lambang panji dan satu simbol baru—simbol penyatu.

“Elang,” kata Mata pelan, “ini bukan akhir.”

“Ini awalnya,” balas Elang.

Mereka menatap ke langit. Cahaya mentari menembus awan.

Dan untuk pertama kalinya, mereka tidak hanya membawa panji. Tapi juga kehendak untuk menggunakannya.

Bab 9: Darah untuk Panji

Kabut tipis menyelimuti jalanan bebatuan ketika Elang dan kelompoknya meninggalkan Gunung Karangnira. Mereka tidak mengatakan banyak hal. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya setelah mendengar suara-suara para leluhur. Tapi di dalam dada mereka, ada sesuatu yang menyala—bukan hanya harapan, melainkan kesadaran bahwa segala yang mereka bawa kini memiliki harga yang lebih berat dari sebelumnya.

Indra berjalan paling depan, menggenggam piringan logam berukir lambang penyatu panji. Simbol itu, menurut para leluhur, hanya akan bekerja bila diikat oleh persembahan sejati. Tidak ada yang menjelaskan maksudnya secara pasti, tapi semua bisa merasakan: sesuatu harus dikorbankan.

“Kita menuju ke mana sekarang?” tanya Suri pelan.

“Ke Kota Tanpa Bayangan,” jawab Mata. “Tempat yang telah menghapus sejarahnya sendiri. Di sanalah pusat dari segala yang membuat panji dicari… dan ditakuti.”

Kota itu dikenal sebagai Maja Asih, dulunya ibukota dari Dinasti Awal, tempat pertama kali panji dikibarkan ratusan tahun lalu. Kini kota itu seperti tidak pernah ada dalam catatan. Seolah lenyap dari peta, dari cerita, bahkan dari ingatan.

Mereka menemukan kota itu tersembunyi di balik celah gunung, ditutupi ilalang tinggi dan dinding batu yang tertutup akar.

Begitu memasuki kota, sesuatu terasa aneh. Tidak ada bayangan.

Matahari bersinar, tetapi tidak ada bayangan yang jatuh ke tanah, tak peduli seberapa besar benda atau tubuh yang menghalanginya.

“Ini… seperti sihir,” bisik Suri, wajahnya pucat.

Batu-batu kota itu dingin. Jalanan berliku, dengan reruntuhan pilar dan ukiran panji tua yang seakan mengintai dari balik dinding. Di tengah kota, mereka menemukan Balairung Cahaya, sebuah aula melingkar dengan kubah terbuka.

Di sanalah mereka mendapati Kitab Niskala—gulungan kuno yang mengungkap satu rahasia mengerikan:

“Tiga panji akan menyatu hanya bila darah penjaganya membasuh dasar penyatu. Dalam tiap terang, satu jiwa harus kembali ke asal.”

Mereka terdiam.

“Apa artinya… salah satu dari kita harus—” Elang tidak bisa melanjutkan.

“Bukan salah satu,” suara berat muncul dari balik tiang balairung. Sosok berjubah merah marun melangkah keluar. “Melainkan… semuanya.”

Itu Senapati Bayu Seta, salah satu jenderal tertinggi kerajaan. Dahulu dia pembela panji. Kini ia pemburu panji, karena percaya panji tak lagi pantas berada di tangan manusia.

“Kalian mengira bisa menyelamatkan negeri ini dengan harapan?” suaranya tajam. “Dunia tidak butuh penyatu. Dunia butuh kehancuran… agar bisa mulai dari awal.”

Ia menyerang.

Pertarungan pecah di tengah Balairung Cahaya. Indra menahan serangan Bayu Seta dengan pedang peraknya, tapi kalah cepat. Mata bertarung bayangan dengan bayangan, menciptakan tiruan dari tiang-tiang untuk mengelabui lawan. Suri melemparkan bom asap dari tanaman pembius.

Elang, menggenggam panjinya, mencoba menyatukan piringan logam pada dasar altar di tengah balairung. Tapi cahaya tidak muncul. Panji menolak bersatu.

“Masih belum cukup…” gumam Elang, gemetar.

Bayu Seta berhasil menembus pertahanan Indra. Dengan satu tebasan, ia melukai dada Indra, membuat perempuan itu jatuh berlutut.

“Panji bukanlah masa depan. Kalian hanya anak-anak yang bermain dengan api para dewa,” kata Bayu.

Indra menatap Elang dan tersenyum pahit.

“Aku sudah kehilangan segalanya… izinkan aku jadi harga dari panji.”

Lalu, dengan sisa tenaga, Indra menancapkan piringan ke dasar altar dan menekankan tangannya yang berdarah di atas ukiran penyatu.

Seketika, cahaya meledak dari pusat balairung.

Bayu Seta terlempar mundur. Bayangan-bayangan di kota muncul kembali, seolah dikembalikan oleh terang. Ketiga panji melayang dan menyatu di atas kepala Elang, membentuk Panji Cahaya Abadi, panji keempat yang tidak tercatat dalam legenda mana pun.

Indra tersenyum lemah. Darahnya meresap ke batu, menjadi pengikat takdir baru.

“Elang…” bisiknya. “Bawa panji ini ke tempat yang tak bisa dibakar oleh kekuasaan.”

Dan ia jatuh, tenang, di atas altar yang kini bercahaya.

Bayu Seta melarikan diri, terluka dan kehilangan pengaruh atas bayangan.

Elang berdiri, memegang panji yang kini bersinar lembut, tak menyilaukan tapi menenangkan.

Suri menangis diam-diam. Mata menunduk, untuk pertama kalinya tampak gentar.

“Kita kehilangan seorang penjaga,” kata Mata.

“Dan mendapatkan cahaya yang baru,” bisik Elang.

Panji telah menuntut darah.

Dan mereka tahu… itu baru awal dari pengorbanan.

Bab 10: Perjamuan Terakhir

Hujan gerimis jatuh saat Elang, Suri, dan Mata melintasi Lembah Pitu, lembah curam yang dikatakan menyimpan jalan menuju Istana Hitam—tempat terakhir para pemegang kekuasaan berkumpul setelah runtuhnya banyak kerajaan. Di tangan Elang, Panji Cahaya Abadi kini terasa berbeda—tidak lagi hanya simbol, tapi beban.

Mereka diundang. Undangan itu datang dari Ratu Ratri, penguasa Istana Hitam yang konon tidak pernah terlihat di siang hari, dan memerintah lewat bayangan. Anehnya, bukan pasukan yang dikirim untuk mengepung atau memburu mereka, tapi utusan berbaju putih yang membawa gulungan sutra bertuliskan:

“Datanglah. Cahaya telah menyatu. Kini giliran kebenaran.”

Mereka tahu ini bisa jebakan. Tapi mereka juga tahu bahwa waktu mereka terbatas. Panji bersinar semakin terang, dan banyak kekuatan—baik maupun gelap—mulai mengusik keberadaannya.

Istana Hitam berdiri megah di tebing batu, dengan kubah perak dan pilar obsidian menjulang. Begitu mereka memasuki aula utama, suasana langsung berubah. Tidak ada pasukan. Tidak ada senjata. Yang ada hanyalah meja panjang yang penuh makanan: buah-buah langka, anggur tua, roti hangat, dan hidangan dari lima negeri.

“Selamat datang, para Penjaga Panji,” suara perempuan menggema, tenang, dalam namun penuh kendali.

Ratu Ratri turun dari singgasananya, mengenakan gaun hitam pekat dengan untaian permata yang membentuk pola bintang. Rambutnya panjang, berkilau seperti malam, dan matanya… mata yang tampaknya telah melihat terlalu banyak hidup.

“Duduklah. Sebelum kita saling menghancurkan, mari kita saling mengenal.”

Mereka bertiga ragu, namun akhirnya duduk. Suasana aneh menggantung di udara. Seperti makan malam sebelum badai.

“Panji Cahaya Abadi ada pada kalian,” kata Ratu Ratri. “Kalian tahu, itu adalah tanda akhir.”

“Tidak ada akhir,” kata Elang. “Panji ini bukan untuk menghancurkan. Tapi menyatukan.”

“Dan kamu pikir penyatuan tidak membutuhkan kehancuran?” balas Ratri tajam. “Kamu pikir damai lahir dari keinginan baik? Tidak, anak muda. Damai lahir dari ketakutan. Dari kelelahan. Dari darah.”

Suri mengepalkan tangannya. “Jadi kamu undang kami untuk apa? Untuk mengancam? Atau untuk memohon?”

Ratri tersenyum samar.

“Untuk membuat pilihan.”

Ia lalu memanggil pelayan-pelayan berpakaian abu-abu membawa tiga benda ke tengah meja: Pedang Kristal, Cawan Batu, dan Buku Tertutup.

“Setiap panji akan dihadapkan pada tiga jalan,” katanya. “Pedang adalah perang. Cawan adalah pengorbanan. Buku adalah penundaan.”

“Elang, kau pemegang panji. Pilih jalanmu.”

Mata berdiri. “Ini jebakan. Jangan percaya.”

Tapi Elang memandangi ketiga benda itu dengan mata kosong. Ia tahu ini bukan sekadar teater politik. Ini ujian dari panji itu sendiri.

Ratri menatapnya penuh minat. “Jika kau memilih pedang, kau akan menaklukkan kerajaan terakhir dengan darah. Jika kau memilih cawan, seseorang yang kau cintai harus mati agar panji melindungi negeri. Jika kau memilih buku… panji akan tertidur kembali selama seratus tahun.”

Suri menatap Elang dengan mata berkaca. “Jangan pilih cawan,” bisiknya.

Mata menggertakkan gigi. “Kalau kau pilih buku, semua yang sudah mati akan sia-sia.”

Elang menutup matanya.

Dalam heningnya hati, ia mendengar suara Panji. Tidak dalam kata, tapi dalam ingatan. Tentang Indra. Tentang Aksara. Tentang pemuda di Taruma yang dipukuli hanya karena puisi. Tentang ayahnya yang gugur dalam perang pertama.

Ia membuka mata, lalu menunjuk…

… cawan batu.

Suri terkejut. Mata berdiri marah. Ratu Ratri hanya mengangguk.

“Siapa yang akan kau korbankan?”

Elang menatap sekeliling. “Aku tidak akan menyerahkan siapa pun. Jika panji butuh darah… biar darahku.”

Ia mengambil pisau upacara di meja dan menusukkan ke telapak tangannya, meneteskan darah ke dalam cawan.

Panji bersinar terang—lebih terang dari sebelumnya—dan dari atas aula, cahaya memancar menembus atap, menghentikan hujan, dan memperlihatkan langit berbintang meski hari belum malam.

Tiba-tiba, Ratri terdiam. Matanya melebar. Dari belakang, salah satu pelayannya menancapkan belati ke punggungnya.

“Ratu Ratri sudah terlalu lama menunda kedamaian,” kata pelayan itu. Ia membuka tudungnya, memperlihatkan wajah… Purnama, adik Ratri yang dianggap telah mati.

“Panji telah memilih. Sekarang biarkan cahaya benar-benar menyinari semuanya.”

Perjamuan terakhir itu tidak berakhir dengan racun atau pedang, tapi dengan pilihan.

Elang berdiri, darah masih mengalir dari tangannya, menatap dua perempuan yang kini berdiri di sisi berlawanan dari istana.

Satu membawa bayangan yang ingin dikendalikan.

Satu membawa cahaya yang ingin dibebaskan.

Panji bersinar, bergetar… seolah menunggu.

Bab ini ditutup dengan suara gaib bergema dari dinding istana:

“Penerus Cahaya, langkahmu berikutnya akan menentukan apakah dunia ini akan menjadi kerajaan… atau rumah.”

Dan semua tahu…

Perjamuan sudah selesai.

Tapi perhitungan baru saja dimulai.

Bab 11: Pagi Sebelum Langit Robek

Fajar menyingsing, namun cahaya pagi tidak membawa kehangatan seperti biasanya. Langit di atas Timur tampak membeku dalam warna kelabu keperakan, seolah-olah menahan nafas untuk peristiwa besar yang akan datang. Kabut menggantung di dataran luas Lembah Aruna, tempat semua kekuatan akan berkumpul hari itu.

Elang duduk sendirian di batu datar di ujung bukit kecil, menghadap ke arah matahari yang belum juga muncul. Di tangannya, Panji Cahaya Abadi kini berdenyut pelan, seperti nadi hidup yang semakin menyatu dengan dirinya.

Ia mengingat malam sebelumnya—ketika darahnya diteteskan ke Cawan Batu di hadapan Ratu Ratri dan Purnama, lalu istana gemetar, dan cahaya menyembuhkan luka di tubuh Suri. Tapi lebih dari itu, ia tahu… ia telah memulai sesuatu yang tak bisa dihentikan.

“Ini pagi terakhir,” suara lembut menyentuhnya dari belakang.

Suri duduk di sampingnya, mengenakan jubah pelindung yang dirajut oleh jaringan rahasia Bayang-Bayang Tembok. Matanya menatap langit seperti mencari celah bagi harapan.

“Elang,” katanya, “apa kau yakin? Setelah ini, kau tak bisa kembali jadi orang biasa.”

Elang mengangguk pelan. “Panji ini memilih. Tapi aku yang melangkah.”

Suri menatap tangannya yang telah diikat dengan kain. Luka dari pengorbanan semalam masih segar.

“Darahmu membuka jalan,” katanya. “Tapi darah juga bisa menutup segalanya.”

Di sisi lain lembah, Mata mempersiapkan kelompok kecil dari jaringan Bayang-Bayang Tembok dan sisa prajurit dari utara. Mereka tidak banyak—hanya puluhan, bukan ribuan. Tapi mereka membawa tekad yang sulit dipatahkan.

Mata berbicara pada pasukan dengan suara rendah dan padat. “Jangan pikir kalian akan dikenang karena menang. Kalian akan dikenang karena berani memilih berdiri.”

Di belakangnya, Aksara—yang diam-diam mengikuti dari Taruma—muncul membawa bendera kelabu tanpa lambang. “Bayangan tak butuh simbol,” katanya. “Tapi hari ini, kita akan melindungi cahaya. Ironis, bukan?”

Mata tersenyum kecil. “Mungkin ini takdir kita sejak awal. Untuk jadi jembatan, bukan ujung.”

Pukul ketujuh pagi, suara sangkakala dari arah selatan menggema. Pasukan Ratu Ratri, yang kini dipimpin oleh para bangsawan pendukung dominasi, mulai mendekat. Mereka berbaris dengan rapi, dengan perisai hitam dan helm berlapis emas. Tapi di antara mereka, ada wajah-wajah ragu. Tidak semua ingin perang.

Dari barisan itu, Purnama keluar—berjubah putih, rambutnya dikepang dengan benang perak. Ia membawa Kitab Cahaya Kuno, peninggalan yang hanya bisa dibuka setelah panji bersinar.

Ia bertemu dengan Elang di tengah lembah, hanya beberapa langkah dari garis pertempuran.

“Langit akan robek hari ini, Elang,” katanya. “Entah oleh perang… atau oleh pengampunan.”

Elang menatap Purnama. “Apa kau pikir pengampunan bisa membangun kembali dunia?”

“Tidak,” jawab Purnama. “Tapi dendam hanya akan meruntuhkannya lebih cepat.”

Ia membuka kitab itu. Di dalamnya tertulis puisi-puisi kuno, ramalan tentang kebangkitan panji, tentang tiga pengorbanan besar—darah, bayangan, dan suara.

“Satu sudah kau berikan,” kata Purnama. “Darah. Kini tinggal dua.”

Mata dan Aksara berdiri di samping Elang. Di belakang mereka, Suri membawa gulungan lagu kuno yang dulu dilarang—Nyanyian Matahari Jatuh. Lagu itu konon adalah kunci untuk membangkitkan kekuatan sejati Panji, namun harus dinyanyikan pada momen sebelum “langit robek”.

“Ini… suara,” kata Suri. “Suara untuk dunia yang belum menyerah.”

Mereka tahu, untuk menghindari perang total, mereka harus membuat musuh mendengar. Bukan hanya menyerang. Tapi menyentuh hati mereka yang masih bisa diyakinkan.

Saat pasukan mulai mendekat, Suri berdiri di atas batu tinggi, membuka gulungan, dan menyanyikan bait pertama. Suaranya lembut, tapi penuh kekuatan. Kabut perlahan menipis. Pasukan yang berjalan mulai melambat. Beberapa bahkan menurunkan senjata.

Mata mengangkat panji ke udara. Cahaya menyebar, membentuk jalinan di langit—bukan cahaya menyerang, tapi seperti anyaman bintang-bintang.

Tapi dari barisan belakang musuh, seorang jenderal tua, Senapati Ardra, tak tahan melihat pasukan goyah. Ia berteriak dan melemparkan tombak ke arah Suri.

Waktu seakan melambat.

Elang melompat.

Tombak itu menusuk pundaknya, tapi tak mencapai Suri.

Panji bersinar keras. Langit retak. Tapi bukan karena perang… melainkan karena cahaya menolak membunuh.

Semua terdiam.

Langit benar-benar tampak “robek”—bukan secara harfiah, tapi seperti waktu itu sendiri berhenti untuk memberi dunia pilihan.

Dan pagi itu… sebelum dunia terbakar oleh perang besar…

… dunia memilih mendengar.

Bab 12: Panji Terakhir dari Timur

Langit di atas Lembah Aruna perlahan berubah warna. Setelah retak cahaya yang menggema dari panji, kabut mulai pecah dan pagi benar-benar datang—bukan sebagai rutinitas harian, tapi sebagai sesuatu yang terasa baru. Seperti dunia dilahirkan kembali setelah semalaman menahan napas.

Elang masih terbaring dengan luka tombak di bahu kirinya. Panji Cahaya Abadi kini bergetar di sampingnya, seperti hidup dan merespons denyut jiwanya yang semakin lemah.

Suri menekuk lutut di sisinya, membalut luka dengan tenunan ramuan yang dia pelajari dari para tabib hutan. Tapi matanya tak bisa menahan air yang jatuh. Elang, sang pembawa panji terakhir, telah melakukan lebih dari cukup.

“Jangan menyerah,” bisik Suri. “Belum sekarang. Kau masih harus menyalakan satu cahaya lagi.”

Elang mengerang pelan, tangannya meraih panji yang nyaris jatuh. “Belum… selesai…”

Di sisi lain lembah, pasukan kerajaan telah mundur, tidak karena kalah, tapi karena goyah. Puisi-puisi dan lagu yang dinyanyikan Suri telah menyentuh lebih banyak hati daripada seribu panah. Bahkan Senapati Ardra, meski keras kepala, tampak gemetar saat melihat nyanyian membentuk cahaya langit yang menyerupai lambang kuno Panji Arunika.

“Panji itu… bukan hanya kain,” bisiknya. “Ia adalah cermin hati.”

Purnama melangkah maju, kitab kunonya kini terbuka di halaman terakhir. Ia menghadap ke barisan pasukan yang masih tersisa.

“Panji Ketiga,” katanya lantang, “bukan tentang siapa yang berkuasa. Tapi tentang siapa yang memilih untuk tidak membunuh ketika bisa melakukannya.”

Di tengah lembah, Elang berdiri dengan bantuan Mata dan Aksara. Panji di tangannya kini tak hanya berpendar. Ia menyala—dengan nyala hangat yang memancar seperti matahari timur yang tak pernah padam.

“Ini… bukan milikku,” kata Elang pelan. “Ini milik semua yang memilih harapan.”

Ia menancapkan panji itu ke tanah, di titik yang disebut Pusar Dunia dalam legenda kuno. Tanah bergetar. Bunga liar bermekaran dalam sekejap, dan kabut lenyap sepenuhnya. Seberkas sinar lurus ke langit.

Panji itu kini menjadi monumen, bukan senjata.

Simbol yang hidup.

Beberapa saat kemudian, utusan dari kota-kota besar, bahkan dari kerajaan-kerajaan yang sebelumnya tidak peduli, datang ke Lembah Aruna. Mereka semua ingin melihat panji yang dikabarkan menolak berperang, panji yang membuat langit robek dan dunia diam sejenak.

Sebuah dewan baru dibentuk. Tidak dari bangsawan. Tapi dari orang-orang yang menyaksikan hari itu: para guru, pengembara, pengrajin, dan bahkan penyair.

Di antara mereka, nama Elang disebut, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai Penjaga Cahaya.

Suri mendampinginya, menjadi suara yang menyampaikan kisah mereka ke penjuru lain. Mata dan Aksara, meski berbeda jalan, sepakat untuk membentuk Jaringan Cahaya Bayangan—sebuah sistem komunikasi antar kota, untuk memastikan tak ada lagi tirani yang tumbuh dalam sunyi.

Hari berganti bulan.

Panji itu tetap berdiri.

Namun, Elang tahu waktunya hampir habis. Luka dari tombak itu memang sembuh secara luar, tapi ada nyeri yang tak bisa diobati. Mungkin karena ia telah memberi seluruh jiwanya ke dalam panji.

Suatu malam, saat semua orang tertidur, ia mendaki ke bukit kecil yang dulu menjadi tempatnya menatap matahari. Panji kecil dibawanya—yang dulu ia dapat dari ayahnya, lusuh dan pudar.

Ia menancapkan panji itu di samping pohon, lalu duduk diam.

“Kalau dunia ingin cahaya… semoga tak lagi bergantung pada satu orang.”

Di pagi hari, yang ditemukan hanyalah panji dan sebuah kalimat terukir di batu:

“Aku hanya membawa cahaya. Tapi kalianlah yang menyalakannya.”

Epilog

Bertahun-tahun kemudian, anak-anak di kota Taruma, Istana Beku, dan bahkan tanah selatan yang dulu keras, tumbuh mendengar cerita tentang Panji Terakhir dari Timur. Bukan sebagai mitos, tapi sebagai pelajaran: bahwa keberanian bukan hanya di medan perang, tapi juga dalam memilih untuk tidak melawan dengan kebencian.

Suri menjadi pengajar di Akademi Cahaya, tempat di mana anak-anak belajar menulis puisi, bernyanyi, menyembuhkan, dan mencipta. Di setiap kelas, selalu ada satu panji kecil tergantung di dinding.

Mata dan Aksara? Mereka tak pernah ditemukan. Tapi beberapa laporan menyebutkan mereka masih bergerak di perbatasan, menyusup ke tempat-tempat yang gelap untuk menyalakan obor kecil.

Dan panji besar itu?

Masih berdiri.

Di bawahnya, setiap tahun, orang-orang berkumpul. Tidak untuk mengenang perang, tapi untuk merayakan pagi saat dunia memilih hidup.***

—————THE END—————

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Pengorbanan#PersahabatanFantasiNusantaraFiksiEpikharapanKonflikKerajaanNovelSejarahPerjalananPahlawanRahasiaLama
Previous Post

JEJAK SANG MERDEKA

Next Post

PELURU DI UJUNG SENJA

Next Post
PELURU DI UJUNG SENJA

PELURU DI UJUNG SENJA

TERTUTUP MATA, TERBUKA LUKA

TERTUTUP MATA, TERBUKA LUKA

SATU HARI SETELAH HUJAN

SATU HARI SETELAH HUJAN

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In