Bab 1: Alarm yang Salah
Pagi itu, matahari mulai masuk ke dalam kamar melalui tirai yang sedikit terbuka. Aku merasakan kehangatannya, dan entah kenapa, itu membuat aku merasa nyaman sekali. Sebagai seseorang yang sangat disiplin dalam mengatur waktu, aku selalu bangun tepat waktu, tepat pada jam 6:30 pagi. Setiap hari, aku merasa bangga dengan rutinitas pagi yang sudah aku atur sedemikian rupa. Alarm yang nyaring, secangkir kopi, dan tentunya, sarapan yang selalu menanti. Namun, entah kenapa, pagi itu semua terasa berbeda.
Aku membuka mata perlahan, merasakan tidur yang cukup panjang, tapi ada satu hal yang aneh—suasana kamar yang sangat tenang. Biasanya, alarm sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu, memberi sinyal bahwa hari baru telah dimulai. Namun, pagi itu, tidak ada suara alarm sama sekali.
Aku mengerutkan kening dan meraih ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ketika melihat layar, wajahku langsung berubah pucat. Jam menunjukkan pukul 7:45 pagi. Lima belas menit lagi untuk tiba di kantor! Aku baru sadar, aku sudah terlambat hampir satu jam!
Dengan secepat kilat, aku melompat dari tempat tidur. Tubuhku terasa kaku, seolah-olah ada beban berat yang menghimpit. Mataku mulai merasa berat, dan pikiranku yang belum sepenuhnya sadar berusaha untuk mencerna situasi ini. Aku mencoba untuk mengingat-ingat, apakah ada yang salah dengan alarmku. Aku menatap ponsel dan menyadari bahwa ternyata aku telah mengatur alarm pada jam yang salah, tepatnya pada malam sebelumnya aku malah mengatur alarm di jam 6:30 sore, bukan pagi. Otakku baru bisa mencerna hal itu dan aku hampir tidak percaya dengan kesalahan sepele yang telah aku buat.
“Gila!” aku berteriak pelan sambil meraih pakaian yang ada di gantungan. Aku harus berpakaian secepat mungkin, meskipun ada sedikit kebingungannya. Tak ada waktu untuk berpikir panjang. Aku mengenakan celana kerja tanpa memperhatikan apakah itu pas atau tidak, dan kemeja yang belum disetrika pun kusambar dengan cepat. Berlari ke kamar mandi, aku mencoba untuk melakukan segalanya dalam waktu yang sangat terbatas.
Tentu saja, seperti kebiasaan di pagi hari, segala sesuatu tidak berjalan lancar. Aku memutar kran shower dengan cepat, namun ternyata airnya sangat panas. Aku cepat-cepat memutar kembali krannya, namun airnya berubah menjadi sangat dingin. Aku melompat ke samping, hampir tergelincir di lantai basah, dan akhirnya memilih untuk menggunakan air dingin yang lebih bisa ditoleransi. Waktu semakin sempit, namun aku masih harus menyikat gigi, mencuci muka, dan tentunya, merapikan rambut yang sudah seperti sarang burung.
Suara adikku, Rina, terdengar dari luar kamar mandi, memekakkan telinga. “Aduh, kamu ini nggak pernah kapok! Kenapa sih selalu telat?!”
Aku menahan amarah, tetapi tetap saja bibirku mengerucut, frustasi. Mengapa dia selalu ada di saat-saat seperti ini? Tentu saja, Rina sangat senang jika ada kesempatan untuk menertawakan kekacauan yang aku hadapi. Aku berusaha tidak memperhatikannya, terus sibuk dengan rutinitas pagi yang terpaksa dilakukan dengan terburu-buru.
Setelah akhirnya aku selesai dengan rutinitas mandi yang tergesa-gesa, aku melihat ke cermin. Wajahku terlihat seperti orang yang baru bangun tidur dari dalam gua. Rambut acak-acakan, mata setengah terbuka, dan wajah yang belum mendapat kesempatan untuk segar. Sepertinya aku sudah kehilangan sebagian besar waktu pagiku hanya untuk mencoba keluar dari kebingunganku. Namun, tidak ada pilihan lain. Aku harus segera pergi!
Aku menelusuri rumah, mencari sepatu yang tepat, dan tentu saja, aku harus memilih yang paling cepat dipakai—sepatu sneakers tua yang selalu aku pakai ke kantor. Aku dengan cepat mengenakan sepatu itu dan berlari menuju pintu depan. Waktu terus berjalan, detik demi detik, dan setiap langkahku terasa semakin terburu-buru.
“Rina, aku harus pergi!” aku teriak ke arah adikku yang tampaknya sudah siap dengan sarapan dan segelas susu, menunggu saat yang tepat untuk menggodaku lagi. Namun, kali ini aku tidak bisa berhenti untuk mendengarnya. Aku hanya melambaikan tangan, mencoba mengabaikan semua gangguan. Aku langsung berlari keluar rumah, berharap semoga saja ada kendaraan yang masih tersedia di depan.
Ketika aku tiba di luar rumah, aku melihat bus yang biasa aku tumpangi sudah mulai berjalan menjauh. Aku berdiri di sana, sedikit terengah-engah, dan mulai merasa panik. “Tidak, tidak, tidak! Harus ada cara lain!” teriakku dalam hati. Aku berlari mengejar bus, tetapi tentu saja, usaha itu sia-sia. Bus itu sudah jauh di depan, meninggalkan aku dengan hanya segenggam harapan.
Aku berpikir sejenak. Tentu saja, tak ada pilihan lain selain naik taksi. Dengan cepat aku melambaikan tangan kepada taksi yang lewat dan berteriak, “Taksi! Taksi!” Tak lama kemudian, mobil berhenti di depanku. Aku merasa sedikit lega. Namun, ketika aku memasuki mobil dan memberi tahu alamat kantor, supir taksi malah berkata, “Pagi ini macet, ya, Mbak. Bisa jadi lebih lama dari biasanya.”
Wajahku semakin memucat. Bukan hanya terlambat, tapi juga terjebak dalam macet. Hari ini sepertinya memang tidak berjalan sesuai rencana.
Namun, aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun ada perasaan panik yang terus membayangi. Mungkin, inilah yang disebut dengan pagi yang terlambat—pagi yang penuh kekacauan, namun juga penuh dengan pelajaran. Aku harus belajar untuk menerima bahwa meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, ada hal-hal yang memang tak bisa dikendalikan. Dan yang lebih penting, terkadang, meskipun semuanya berantakan, dunia masih tetap berputar.
Bab 2: Kamar Mandi yang Menyebalkan
Aku menatap cermin dengan tatapan kosong, merenung sejenak setelah merasakan bahwa pagi ini sudah penuh dengan kekacauan. Aku belum selesai membersihkan diri, dan aku tahu waktuku semakin terbatas. Wajahku tampak tidak seperti diri sendiri—mataku yang setengah terpejam dan rambut yang terurai seperti sarang burung. Rasanya, tubuhku seperti bekerja dengan kecepatan yang jauh lebih lambat daripada yang aku harapkan.
Kamar mandi adalah tempat terakhir yang harus aku singgahi sebelum benar-benar berangkat. Aku harus secepatnya. Dengan langkah tergesa, aku membuka pintu kamar mandi dan melangkah masuk. Tapi sebelum aku bisa memulai rutinitas yang biasanya kulakukan dalam lima belas menit, aku sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa hari ini, segala sesuatunya berjalan tidak sesuai rencana.
Pertama-tama, aku membuka kran shower, berharap air hangat mengalir seperti biasa. Namun, alih-alih air yang nyaman, aku merasa kehangatan yang seharusnya aku nikmati malah berubah menjadi ledakan uap yang terlalu panas. Aku melompat mundur, terkejut, dan mulai mengutuk perlahan. “Kenapa, sih, semua hal harus rumit?” gumamku dalam hati.
Aku cepat-cepat memutar keran untuk menurunkan suhu air, tetapi air yang keluar malah dingin sekali. Rasanya seperti melangkah ke dalam kolam es yang dibekukan di Antartika. Aku berdiri terdiam, berusaha menyesuaikan diri dengan suhu air yang sangat tidak bersahabat itu. Sambil menahan gigil, aku memutuskan untuk tetap bertahan. Waktu terus berjalan, dan aku tidak bisa berlama-lama di kamar mandi dengan air yang tak menentu ini.
Sambil berusaha membersihkan diri secepat mungkin, aku mulai berpikir—apa lagi yang akan salah? Seharusnya aku sudah tahu bahwa hari ini memang penuh dengan kejutan-kejutan aneh. Seperti halnya alarm yang tidak berbunyi tadi pagi, sekarang kamar mandi pun memutuskan untuk tidak bekerja sesuai harapan.
Aku membuka sabun cair dan menuangkannya ke tangan. Ternyata, sabun itu sudah hampir habis. Di bawah tekanan waktu yang semakin mendekat, aku hanya bisa mengeluh pelan. Sabun itu pun keluar dengan aliran yang sangat sedikit. “Aduh, betul-betul apes,” kataku dalam hati. Rasanya, segala hal yang bisa gagal, hari ini pasti gagal.
Aku pun mencoba mengabaikan sabun yang menipis dan melanjutkan ritual mandi dengan apa adanya. Selama proses ini, suara dari luar kamar mandi semakin menggema—suara adikku, Rina, yang sepertinya merasa senang bisa menyaksikan segala kekacauan ini.
“Gimana sih, Kak? Kamu gak bisa bangun pagi! Sekarang malah mandi lama banget,” teriak Rina dari luar, seolah-olah dia punya waktu untuk mengomentari segalanya.
Aku memutar kepala dengan kesal, meskipun aku tahu bahwa dia tidak benar-benar bermaksud jahat. Rina selalu punya cara untuk membuat segala sesuatunya terdengar lebih lucu daripada yang sebenarnya. “Gak bisa kamu ngerti, kan? Lagi buru-buru!” jawabku cepat.
Suara tawa Rina dari luar terdengar jelas. Aku menghela napas panjang. Entah kenapa, dia selalu ada di saat-saat seperti ini, memberikan komentar yang justru membuat keadaan semakin memburuk. Aku terus berusaha untuk tetap fokus pada mandi dan tidak membiarkan kebisingan dari luar menggangguku. Aku mulai mencuci rambutku, berharap proses ini cepat selesai.
Namun, bukannya selesai, proses ini malah semakin memakan waktu. Ketika aku merasa sudah cukup membersihkan tubuh, aku mulai melangkah menuju wastafel untuk menggosok gigi. Ini adalah bagian yang juga tidak kalah menyulitkan. Sikat gigi yang biasanya selalu ada di tempatnya, kini entah menghilang ke mana. Aku mencari di mana-mana, bahkan di dalam laci dan di balik rak handuk, namun sikat gigi itu tidak ditemukan.
Setelah mencari-cari selama beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, aku akhirnya menemukan sikat gigi yang tergeletak di sudut kamar mandi, tertutup dengan tumpukan botol sampo. “Luar biasa,” gumamku sambil menggigit sikat gigi yang agak kotor di bagian ujungnya. Rasanya sedikit menjijikkan, tetapi aku tidak punya waktu untuk peduli.
Saat aku mulai menyikat gigi, aku merasa bahwa seluruh proses pagi ini benar-benar membuat aku merasa terjebak dalam sebuah komedi kelam. Waktu terus berdetak, dan aku terus berusaha untuk menyelesaikan segala sesuatunya dengan secepat mungkin, tetapi semakin aku terburu-buru, semakin banyak hal yang salah.
Kemudian, aku mendengar suara pintu depan terbuka—Rina keluar dari rumah, mungkin untuk pergi ke sekolah. Aku merasa sedikit lega, karena setidaknya, tidak ada lagi suara teriakan atau godaan dari luar. Aku bisa lebih tenang, meskipun kenyataan bahwa aku sudah sangat terlambat membuat tubuhku semakin tegang.
Setelah akhirnya selesai mencuci muka dan memakai sedikit bedak (meski dengan hasil yang jauh dari sempurna), aku menatap diri di cermin sekali lagi. Aku mencoba tersenyum, tetapi wajahku malah terlihat seperti orang yang baru saja terbangun dari tidur panjang yang tidak sehat. Rambutku masih acak-acakan, dan aku tahu pasti akan ada komentar dari rekan-rekanku di kantor. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlambat, dan hanya ada satu jalan keluar: cepat berangkat dan berharap untuk tidak terlambat lebih jauh lagi.
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, aku meninggalkan kamar mandi dan menuju ke luar, siap untuk menghadapi hari yang penuh dengan kekacauan yang lebih banyak. Namun, meskipun segala sesuatunya berantakan, aku tahu satu hal: hari ini akan menjadi cerita lucu yang akan aku ingat sepanjang hidupku.
Bab 3: Sarapan yang Terlupakan
Setelah berhasil menyelesaikan misi mandi yang penuh perjuangan, aku melangkah keluar dari kamar mandi, merasa sedikit lega meskipun masih dengan wajah kusam dan rambut yang belum teratur. Waktu kini semakin mendesak. Masih ada satu hal yang harus aku selesaikan sebelum benar-benar keluar dari rumah—sarapan. Rasanya, sarapan selalu menjadi bagian paling penting dari rutinitas pagi, tetapi pagi ini, sarapan terasa seperti tugas terakhir yang harus kuselesaikan dalam keadaan terdesak.
Aku melangkah cepat menuju dapur. Di dalam rumah, suasana terasa sepi. Rina sudah keluar untuk sekolah, dan ibu serta ayahku sudah pergi bekerja. Ini memberi kesempatan bagi diriku untuk mengejar waktu tanpa gangguan. Dapur yang biasanya penuh dengan suara belimbing di blender dan percakapan santai, pagi ini terasa sunyi, hanya ada aku dan dapur yang tampak terlalu besar untuk aku hadapi sendirian.
Namun, di saat-saat seperti ini, ada satu hal yang selalu menjadi andalanku—makanan cepat saji. Aku berlari ke rak dapur dan membuka kotak cereal. Itu adalah pilihan terbaikku, atau lebih tepatnya, satu-satunya pilihan yang tersedia. Aku membuka kotak itu, tetapi saat aku melihat ke dalam, ekspresi wajahku langsung berubah. Kotak cereal itu hampir kosong, hanya tersisa sedikit sekali yang mungkin cukup untuk satu mangkuk kecil.
“Tentu saja,” gumamku. Aku memang merasa beruntung, ya? Mangkuk cereal itu yang biasanya bisa mengenyangkan hanya menjadi secuil harapan.
Aku melangkah mundur, berpikir sejenak. Aku bisa saja memasak sesuatu yang lebih mengenyangkan, seperti telur orak-arik atau roti panggang, tetapi saat melihat jam, aku langsung merasa bahwa itu adalah ide yang sangat buruk. Waktu semakin menipis, dan aku tahu bahwa aku tidak punya cukup waktu untuk menunggu telur matang atau roti panggang yang renyah. Akhirnya, aku memutuskan untuk beralih ke pilihan yang lebih cepat—mie instan.
Kembali ke meja dapur, aku membuka laci untuk mencari bungkus mie instan favoritku. Mie instan adalah penyelamatku di hari-hari yang penuh dengan kekacauan seperti ini. Rasanya mungkin tidak sebaik masakan ibu, tetapi setidaknya bisa membuat perutku terisi. Aku mengambil satu bungkus mie dan mulai memasukkannya ke dalam panci, berharap semuanya bisa berjalan lancar.
Namun, keajaiban sepertinya tidak berpihak padaku pagi ini. Ketika aku membuka kotak mie instan, aku menyadari sesuatu yang sangat mengecewakan—tanggal kedaluwarsa tertera dengan jelas di bungkus mie itu. Hari ini, mie instan itu sudah melewati batas waktu yang aman untuk dikonsumsi. Aku menatap bungkus itu dengan tatapan kosong, seolah-olah mie itu sedang menertawakanku.
“Ya ampun,” aku bergumam sambil meletakkan bungkus mie instan itu kembali ke rak. “Mau makan apa, ya?”
Aku merasa seolah-olah sudah berada di titik nadir dari segalanya. Tentu saja, aku bisa saja menekan rasa lapar dan langsung pergi tanpa sarapan sama sekali. Tetapi, aku tahu itu bukan pilihan terbaik, terutama jika aku harus menghadapi rapat penting yang menunggu di kantor. Makanan adalah bahan bakar untuk menjalani hari, dan aku tidak bisa menjalani hari tanpa sedikit energi.
Dengan sedikit keputusasaan, aku kembali melihat ke sekeliling dapur, mencari alternatif lainnya. Di atas meja makan, ada beberapa potong roti yang tersisa dari semalam. Roti yang biasanya menjadi sarapan cepat dan praktis, tetapi tampaknya sudah agak kering dan sedikit keras di bagian pinggirannya. Meski begitu, aku tidak punya pilihan lain. Aku mengambil dua potong roti itu, mencoba memotong pinggirannya yang keras dengan pisau, lalu melemparkannya ke pemanggang roti.
“Ini sudah lebih baik daripada tidak sama sekali,” aku berkata pada diri sendiri, meskipun aku merasa agak terpaksa.
Waktu terus berjalan, dan aku bisa merasakan detik-detik berlalu begitu cepat. Ketika roti sudah mulai dipanggang dan aroma khas roti panggang menguar ke udara, aku mulai merasa sedikit lega. Setidaknya aku bisa makan sesuatu sebelum pergi. Sambil menunggu roti matang, aku membuka kulkas dan mengambil sedikit selai kacang. Tidak ada yang lebih sederhana dari roti panggang dengan selai kacang, dan itu adalah sarapan yang cukup untuk memberi energi.
Akhirnya, roti panggang itu selesai, meskipun warnanya sedikit lebih cokelat dari biasanya. Aku mengoleskan selai kacang di atasnya, berharap ini bisa sedikit mengurangi rasa frustasi yang mulai menguasai pikiranku. Sambil makan roti panggang yang agak keras dan sedikit gosong di pinggirannya, aku terus memeriksa jam. Waktu semakin sempit, dan aku tahu bahwa aku harus segera berangkat.
Sambil melahap roti panggang itu, pikiranku mulai mengembara. “Kenapa sih hari ini harus seperti ini?” aku bertanya dalam hati. Semua hal yang biasa berjalan lancar malah menjadi berantakan. Mulai dari alarm yang tidak berbunyi, kamar mandi yang menjadi tantangan, hingga sarapan yang terasa seperti cobaan hidup.
Namun, meskipun begitu, aku mulai tertawa kecil. Hari ini memang kacau, tetapi setidaknya aku masih bisa makan sesuatu, dan meskipun terlambat, aku masih punya kesempatan untuk mencapai kantor. Mungkin semua yang terjadi ini adalah bagian dari cara dunia untuk menunjukkan padaku bahwa terkadang, meskipun hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, kita tetap bisa menemukan cara untuk melanjutkan. Bahkan jika itu hanya dengan secangkir kopi dan roti panggang yang agak gosong.
Dengan semangat baru, meskipun sedikit terlambat, aku akhirnya selesai dengan sarapanku yang sederhana dan bersiap untuk melanjutkan perjuangan hari ini.
Bab 4: Kejar-kejaran dengan Taksi
Setelah berhasil menghabiskan sarapan yang sangat sederhana dan sedikit gosong, aku menatap jam dengan tatapan cemas. Waktu terus berjalan, dan aku tahu aku sudah sangat terlambat. Pagi ini, rasanya seperti sebuah skenario film komedi yang terlalu dramatis. Tidak ada yang berjalan seperti yang seharusnya, dan sekarang, aku harus berpacu dengan waktu untuk tiba di kantor tepat waktu. Aku pun langsung memutuskan untuk meninggalkan rumah, meskipun dengan kondisi yang belum ideal.
Langkahku cepat menuju pintu depan. Aku sudah mengenakan jas, meskipun masih berantakan di beberapa bagian, dan sepasang sepatu yang terasa agak sempit. Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, dan melangkah keluar menuju jalan. Di luar, udara pagi yang segar seakan-akan menertawakan ketergesaan yang aku rasakan. Semuanya berjalan terlalu lambat, sementara aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengejarku.
Aku memandang sekeliling dan berharap melihat taksi yang lewat. Di saat-saat seperti ini, taksi adalah pilihan terbaik yang bisa aku ambil. Tidak ada waktu untuk menunggu bus atau berjalan kaki menuju stasiun kereta. Aku melambaikan tangan dan berharap ada taksi yang cukup cepat untuk menghantarku ke kantor.
Taksi pertama yang lewat melaju terlalu cepat, seakan sengaja menghindariku. Aku menggigit bibir dan terus berlari ke tengah jalan, melambaikan tangan ke taksi berikutnya yang tampaknya melaju pelan. Tak lama kemudian, taksi itu berhenti di depan aku.
“Ke kantor, cepat!” kataku dengan sedikit terburu-buru, membuka pintu taksi dan langsung duduk di dalamnya. Taksi ini adalah satu-satunya harapan terakhirku. Supir taksi itu menatapku melalui kaca spion, seakan memperhatikan ekspresi frustasi yang terpancar jelas di wajahku.
“Tentu, Mbak. Tapi, pagi ini macet banget, ya. Semua jalanan penuh,” ujar supir taksi dengan santai. Aku ingin berteriak karena sudah tahu bahwa segala sesuatu di pagi hari ini terasa salah, tetapi aku hanya mengangguk dan menghela napas.
Taksi mulai melaju pelan, dan aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya seperti berlomba dengan waktu. Di luar jendela, aku bisa melihat kendaraan yang terjebak dalam kemacetan parah. Semua orang tampak berjalan dengan langkah lambat, seperti mengikuti irama hidup yang lebih pelan dari yang seharusnya. Ini adalah pandangan yang membuatku semakin gelisah.
Tak lama kemudian, aku menyadari bahwa harapanku untuk tiba tepat waktu semakin tipis. Aku sudah terlambat hampir satu jam, dan sekarang, dengan taksi yang terjebak macet, rasanya seperti tak ada jalan keluar. Wajahku semakin cemas, tetapi aku mencoba menenangkan diri. Aku menatap keluar jendela, berusaha meredakan kegelisahan yang semakin membesar.
“Bagaimana sih jalanan pagi ini?” aku bertanya pada supir taksi, berusaha menyemangati diriku sendiri dengan berbicara. Supir itu hanya menggelengkan kepala dan menyeringai.
“Ya, Mbak, macet banget. Banyak orang telat kayak Mbak,” jawabnya dengan nada santai. Aku menatapnya dengan tatapan setengah bingung, setengah frustasi. Tentu saja, dia tidak tahu bahwa aku sedang dalam keadaan yang sangat kritis, dengan banyak pekerjaan yang menunggu di kantor.
Aku mulai melihat tanda-tanda kantor yang semakin dekat, namun macet membuat taksi berjalan sangat pelan. Setiap detik terasa begitu lama. Aku memeriksa jam di ponselku, dan saat melihat angka yang terus bergerak, hatiku semakin panik. Tiba-tiba, supir taksi mulai berbicara lagi.
“Mbak, mungkin kita bisa lewat jalan belakang. Tadi saya lihat, ada jalan alternatif yang lebih cepat,” katanya, mencoba memberi solusi.
Aku merasa sedikit lega mendengar saran itu. “Coba, Pak. Terserah, yang penting sampai dengan cepat!” jawabku dengan harapan. Taksi itu kemudian berbelok, mengarah ke jalan alternatif yang sepi. Meskipun sempat merasakan jalan yang lebih lancar, aku tahu masih ada risiko bahwa kemacetan bisa saja menghampiri lagi. Aku melirik ke sekeliling, berharap agar taksi ini membawa aku ke kantor tanpa hambatan lebih lanjut.
Dalam perjalanan singkat itu, aku mulai merasakan ketegangan yang menurun. Memang, taksi ini cukup cepat dan jalan alternatif yang dipilih oleh supir membawa hasil. Kami mulai melaju lebih cepat dan menyusuri jalan-jalan yang biasanya kurang padat. Aku mulai merasa sedikit optimis, meskipun masih ada sedikit rasa khawatir yang terus mengganggu pikiran.
Namun, ketika aku mulai merasa yakin, tiba-tiba kami terjebak di lampu merah. Aku menatap jam dengan gelisah, menyaksikan detik-detik berlalu begitu cepat. Hanya beberapa meter lagi menuju kantor, dan rasanya seperti sudah di ujung jalan, tapi lampu merah itu bagaikan menghalangi semua harapanku.
“Kenapa sih semuanya seperti ini?” bisikku pada diri sendiri. Sambil menunggu lampu merah, aku kembali menatap ke luar. Kali ini, aku memutuskan untuk mencoba memanfaatkan waktu yang ada dengan menenangkan diri. Meskipun pagi ini terasa penuh dengan kejutan, aku berusaha mengingatkan diri bahwa mungkin ini semua bagian dari perjalanan hidup. Tak semuanya bisa berjalan mulus.
Ketika lampu hijau akhirnya menyala, taksi melaju dengan cepat, dan beberapa menit kemudian, kami tiba di depan kantor. Aku menatap jam lagi, merasa sedikit lega. Masih ada waktu untuk masuk, meskipun telat. Taksi berhenti di depan pintu utama, dan aku membayar supir dengan cepat, tanpa banyak bicara.
Dengan langkah cepat dan sedikit terburu-buru, aku masuk ke dalam gedung kantor. Ketika aku melangkah ke dalam, aku sudah bisa mendengar suara kolega yang sedang berdiskusi tentang rapat yang akan segera dimulai. Aku mencoba berjalan dengan tenang, meskipun hatiku masih berdegup kencang. Aku baru saja berhasil menghindari kegagalan total di hari yang sudah penuh dengan kekacauan.
Hari ini memang penuh dengan hambatan, namun aku tahu satu hal—mungkin meskipun semua hal yang terjadi tidak sesuai rencana, aku masih bisa menghadapinya dengan cara yang paling sederhana: dengan tertawa kecil dan melangkah maju.
Bab 5: Rapat yang Tidak Pernah Terjadi
Setelah akhirnya berhasil sampai di kantor dengan taksi yang penuh perjuangan, aku melangkah masuk dengan cepat, berharap agar tidak ada yang memperhatikan keterlambatanku. Aku merapikan jas dan mengambil napas dalam-dalam, mencoba menyembunyikan rasa panik yang masih tersisa dari perjalanan yang kacau. Suasana kantor yang sibuk dan berisik di pagi hari seakan membingungkan otakku, namun aku tahu bahwa aku harus segera menghadap ke ruang rapat.
Setibanya di meja kerjaku, aku membuka laptop dan dengan cepat memeriksa email dan kalender hari ini. Aku tahu ada rapat penting yang sudah dijadwalkan sejak minggu lalu—rapat yang akan menentukan proyek besar yang sedang kami kerjakan. Aku melihat jadwal rapat di kalender yang ada di layar. “09:30 AM – Rapat Proyek,” tertulis jelas di sana. Aku melirik jam di ponselku—waktu menunjukkan pukul 09:45 AM. Aku baru saja sadar bahwa aku terlambat 15 menit. Aku merasa hatiku sedikit sesak.
Aku berdiri dengan buru-buru, membuang rasa cemas dan langsung berjalan menuju ruang rapat. Kaki-kakiku terasa sedikit kaku karena terburu-buru, tetapi aku berusaha terlihat seakan-akan aku tidak terlambat. Sesampainya di depan pintu ruang rapat, aku menarik napas panjang dan mengetuk pintu.
“Masuk!” terdengar suara dari dalam. Aku membuka pintu dan melangkah masuk ke ruangan. Semua orang sudah duduk di meja besar, dengan wajah-wajah serius. Aku bisa merasakan pandangan mereka yang langsung tertuju padaku. Aku tahu, semua orang sudah tahu bahwa aku terlambat. Tak ada yang perlu dikatakan.
“Ada yang terlambat, ya?” ujar salah seorang rekan kerjaku, Andi, sambil melempar senyum tipis ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum kaku, mencoba untuk tertawa meskipun canggung.
“Maaf, semuanya. Pagi ini sedikit kacau,” jawabku, berusaha menjelaskan tanpa terkesan terlalu banyak alasan. Andi hanya mengangguk dengan raut wajah yang seakan mengatakan “pasti saja.”
Aku mengambil kursi di sudut meja dan duduk dengan hati-hati. Semua mata tertuju padaku, dan aku bisa merasakan betapa berat atmosfer rapat itu. Rasanya seperti semua orang sudah siap dengan presentasi penting mereka, sementara aku hanya bisa duduk dan berharap agar rapat ini segera dimulai dan aku tidak perlu memberikan penjelasan lebih lanjut tentang mengapa aku terlambat.
Ketua rapat, Pak Arman, yang duduk di ujung meja, akhirnya membuka pembicaraan. “Baiklah, mari kita mulai rapat kita pagi ini. Sepertinya kita sudah lengkap. Hari ini kita akan membahas perkembangan proyek yang kita jalankan bersama, dan juga beberapa hal yang perlu kita selesaikan sebelum deadline mendekat.”
Aku mengangguk cepat, berusaha mendengarkan dengan seksama. Namun, meskipun rapat dimulai dengan serius, aku merasa ada yang aneh. Semua orang tampak cemas dan khawatir, seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam proyek ini. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi sepanjang minggu ini—apakah ada hal yang sudah dibicarakan sebelumnya? Aku tidak ingin terlihat bingung, jadi aku mulai membuka laptop dan menatap layar seakan-akan aku sedang sangat fokus.
Pak Arman mulai menyampaikan laporan tentang kemajuan proyek. Aku mencatat beberapa poin penting, tetapi pikiranku mulai melayang. Aku masih merasa kesal karena sudah terlambat, dan aku khawatir aku tidak akan bisa mengejar ketinggalanku dalam rapat ini. Begitu banyak hal yang perlu dibahas, dan aku merasa semakin tertinggal.
Ketika Pak Arman selesai berbicara, dia memberi kesempatan untuk setiap anggota tim memberikan update. Ketika namaku dipanggil, aku merasakan detakan jantung yang semakin cepat. Aku menyadari bahwa aku tidak siap untuk memberikan presentasi atau update tentang proyek. Aku bahkan belum sempat membaca materi yang disiapkan dengan matang. Aku hanya bisa tersenyum canggung dan mulai berbicara.
“Maaf, Pak Arman. Saya baru saja sampai, jadi belum sempat mempersiapkan apa-apa,” kataku dengan suara sedikit bergetar. Beberapa rekan lainnya hanya mengangguk, dan beberapa tampak tidak terlalu terkejut. Aku merasa semakin kecil.
Namun, suasana yang aneh itu tiba-tiba berubah. Andi, yang duduk di sebelahku, tiba-tiba melemparkan secarik kertas ke arahku. Aku menatapnya, bingung. Andi hanya memberi isyarat dengan tangannya untuk melihat kertas itu. Aku membuka kertas tersebut dengan cepat dan menemukan catatan singkat yang ditulis dengan tangan. “Pak Arman punya rencana untuk presentasi ini, kamu tidak perlu khawatir.”
Aku menatap Andi dengan tatapan bingung, namun dia hanya tersenyum santai. “Tenang saja, nanti aku bantu jelaskan. Kamu tinggal ikut saja.”
Dengan sedikit rasa lega, aku mulai mengikuti alur rapat. Ternyata, Pak Arman telah memutuskan untuk tidak meminta masing-masing dari kami memberi laporan pribadi, melainkan dia sendiri yang akan memimpin rapat dengan menjelaskan segala hal yang sudah dibahas sejauh ini. Aku merasa sangat bersyukur karena Pak Arman tampaknya memahami kesulitan yang aku hadapi. Semua tekanan yang kupikirkan akhirnya mulai mereda.
Rapat berjalan dengan lancar, dan meskipun aku merasa sedikit tidak berkontribusi banyak, aku merasa lebih tenang. Andi, yang duduk di sebelahku, sesekali memberiku isyarat untuk ikut mencatat beberapa hal yang penting. Aku mulai menuliskan beberapa ide yang muncul dalam benakku, meskipun aku tidak yakin apakah ini akan cukup untuk mengembalikan kepercayaan diriku.
Ketika rapat hampir berakhir, Pak Arman mengajak kami semua untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum proyek selesai. Aku akhirnya ikut berbicara, meskipun dengan rasa canggung. Aku memberikan beberapa saran yang menurutku bisa membantu, dan sedikit demi sedikit aku merasa kembali mendapatkan pijakan.
Begitu rapat berakhir, aku menghela napas lega. Rasanya, rapat yang seharusnya menjadi bencana itu bisa berjalan dengan cukup baik. Meskipun aku terlambat dan sempat merasa terpinggirkan, ternyata semua berjalan lebih lancar dari yang aku bayangkan.
Setelah rapat selesai, aku duduk sebentar di meja, mencoba meresapi semuanya. Mungkin pagi ini penuh kekacauan, tetapi aku mulai merasa bahwa meskipun segala sesuatunya tidak selalu sesuai rencana, aku tetap bisa menghadapi apapun dengan sedikit bantuan teman-teman dan sedikit keberuntungan.
Bab 6: Kabar Tak Terduga
Hari itu terasa seperti roller coaster. Pagi yang penuh dengan kekacauan, ditambah rapat yang penuh kejutan, akhirnya membuat aku merasa sedikit lega. Namun, saat aku kembali ke mejaku untuk mengejar tumpukan pekerjaan yang sudah menunggu, sebuah email yang baru masuk di inboxku menarik perhatian.
Dengan cepat, aku membuka email tersebut. Judulnya cukup singkat namun mengejutkan: Pemberitahuan Penting tentang Proyek Baru. Nama pengirimnya adalah Atasan Senior, Pak Budi, yang biasanya tidak banyak berkomunikasi langsung dengan staf junior seperti aku. Aku merasa sedikit cemas ketika mulai membaca isi emailnya.
“Dear Tim,
Kami ingin memberi tahu kalian semua bahwa perusahaan telah memutuskan untuk memulai sebuah proyek baru yang cukup besar. Proyek ini akan melibatkan seluruh tim dalam jangka panjang, dan semua pihak diharapkan bisa segera memberikan komitmen penuh terhadap pengembangan proyek ini.
Mohon untuk menyiapkan diri, karena kami akan segera mengadakan rapat besar untuk membahas lebih lanjut.
Salam, Pak Budi.”
Aku menatap layar, berusaha mencerna apa yang baru saja kubaca. Proyek baru? Rapat besar? Aku merasa sedikit bingung, karena aku baru saja selesai mengikuti rapat proyek lama, dan tiba-tiba ada proyek baru yang harus segera dipersiapkan. Semua ini datang begitu mendalam dan mendalam tanpa peringatan, dan rasanya seperti beban baru yang harus aku tanggung.
Sambil merenung, aku menatap layar ponsel. Pikiranku mulai mengembara, bertanya-tanya tentang proyek baru ini. Aku merasa terjebak dalam rentetan perubahan yang datang begitu cepat dan tidak terduga. Hari yang sudah kacau ini semakin terasa lebih menantang.
Saat aku masih sibuk memikirkan pesan tersebut, tiba-tiba rekan kerjaku, Sarah, datang menghampiriku. Wajahnya terlihat sedikit khawatir, seperti seseorang yang membawa kabar penting.
“Ada apa, Sarah?” tanyaku, mencoba tersenyum meskipun masih merasa sedikit cemas.
“Hei, kamu dapat email dari Pak Budi juga, kan?” tanyanya, dan aku mengangguk. “Aku baru saja dengar kabar yang… agak mengejutkan.”
Aku mengangkat alis, penasaran. “Apa itu?”
“Katanya, perusahaan akan mengadakan proyek besar, tapi ada satu hal yang lebih menghebohkan—proyek itu akan melibatkan hampir semua orang di divisi kita. Tidak hanya itu, tetapi kami semua juga harus berkomitmen penuh. Artinya, kami tidak bisa lagi mengerjakan proyek lain di luar proyek itu,” kata Sarah dengan sedikit terkejut. “Kita bakal jadi satu tim besar.”
Aku mengangguk, berusaha mencerna kabar itu. Proyek besar yang melibatkan semua orang tentu saja akan menjadi tantangan besar. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk menghadapi proyek sebesar itu, apalagi dengan beban yang sudah ada di pundakku.
Sarah melanjutkan, “Kamu tahu, aku rasa ini akan cukup menguras tenaga, apalagi dengan deadline yang sudah semakin dekat. Kalau aku boleh bilang, rasanya kita akan sangat sibuk.”
Aku mengangguk lagi. Tidak ada yang bisa kupikirkan selain proyek besar yang akan datang. Aku berusaha menenangkan diri, tetapi semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Proyek baru ini akan mengubah segalanya. Aku bahkan belum siap menghadapi proyek yang sudah ada, apalagi kalau proyek baru ini membutuhkan komitmen penuh dari semua orang.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanyaku pada Sarah, mencoba mencari sedikit kejelasan dalam kebingunganku. “Kita harus persiapkan sesuatu?”
Sarah tampak ragu sejenak, kemudian menjawab, “Kita belum tahu banyak detailnya. Yang pasti, kita harus siap mental. Pokoknya, siapin dirimu untuk rapat besar minggu depan. Mereka akan memulai semuanya di sana.”
Aku kembali menatap layar laptopku, berpikir tentang rapat besar yang akan datang. Waktu sepertinya berjalan sangat cepat, dan aku merasa sedikit terjebak dalam rutinitas yang semakin rumit. Apa yang harus aku lakukan? Akankah aku mampu menghadapi proyek besar itu? Aku merasa sangat tertekan, tetapi aku mencoba mengingat bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Sementara itu, Sarah sudah kembali ke mejanya, tetapi aku tetap terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja didengarnya. Sepertinya, proyek besar itu akan mengubah arah hidup kami di kantor. Kami akan menjadi bagian dari tim yang lebih besar, lebih terorganisir, dan lebih ambisius. Itu adalah tantangan besar, tetapi juga peluang besar untuk berkembang.
Namun, di saat yang sama, aku merasa sedikit khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Aku sudah merasa terjebak dalam kesibukan yang tidak berujung, dan proyek baru ini sepertinya akan semakin menambah beban yang harus aku pikul. Tapi, bukankah inilah tujuan dari bekerja di perusahaan besar? Menghadapi tantangan besar dan berkembang?
Beberapa jam berlalu, dan meskipun aku masih merasa sedikit cemas, aku berusaha tetap fokus pada pekerjaan yang ada. Saat waktu makan siang tiba, aku melangkah ke kantin dengan pikiran yang penuh. Aku duduk sendirian, memesan makanan cepat saji yang cukup sederhana, berusaha menenangkan pikiran yang masih dipenuhi banyak pertanyaan.
Sambil menyantap makananku, aku mendengar percakapan dari meja sebelah. Beberapa rekan kerjaku sedang membicarakan hal yang sama—proyek besar yang akan segera dimulai. Mereka tampaknya lebih siap menghadapi perubahan itu, berbicara tentang bagaimana mereka akan menghadapi tantangan besar bersama-sama. Aku mendengarkan dengan seksama, merasa sedikit terinspirasi oleh semangat mereka, meskipun masih merasa cemas tentang apa yang akan datang.
Setelah makan, aku kembali ke mejaku dan melanjutkan pekerjaanku, tetapi kali ini, pikiranku sedikit lebih tenang. Mungkin, semua ini adalah bagian dari perjalanan. Proyek besar ini akan datang, dan aku harus siap menyambutnya. Aku tahu, walaupun kabar ini terasa mengejutkan dan membingungkan, aku tidak bisa mundur. Semua orang di tim ini pasti akan menghadapi tantangan yang sama, dan mungkin, bersama-sama kami akan mampu menghadapinya dengan lebih baik.
Bab 7: Rapat yang Tak Terduga
Minggu ini terasa sangat berbeda. Pagi-pagi, aku sudah mendengar desas-desus dari rekan-rekanku tentang rapat besar yang akan segera berlangsung. Rapat yang katanya akan mengubah banyak hal dan menentukan arah proyek besar yang baru saja diumumkan. Aku merasa sedikit tertekan, tapi juga penasaran. Proyek ini mulai menjadi topik yang dibicarakan di setiap sudut kantor, dan aku merasa semakin terlibat, meskipun masih merasa belum siap.
Aku duduk di meja kerja, menatap kalender di layar laptop. Rapat besar itu dijadwalkan dalam dua hari lagi. Aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Beberapa rekan seperti Sarah sudah terlihat sangat sibuk menyiapkan bahan presentasi, sementara aku masih mencari-cari cara untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan. Rasanya, dunia ini terus bergerak begitu cepat, dan aku hanya bisa mengikuti tanpa sempat mengatur langkah.
Hari itu, aku memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi tentang proyek tersebut. Aku tahu ini akan menjadi kesempatan besar, tetapi aku juga khawatir tentang bagaimana aku akan tampil di rapat besar yang melibatkan atasan senior. Aku melangkah ke ruang istirahat untuk minum kopi, berharap bisa sedikit menenangkan pikiran. Saat aku duduk, Andi datang dan bergabung.
“Lagi pusing mempersiapkan rapat, ya?” tanya Andi sambil duduk di seberang meja. Aku mengangguk, sedikit terkejut melihat Andi yang tampak begitu santai. “Santai saja, kok. Ini memang tantangan besar, tapi kita semua akan melalui ini bersama.”
Aku tersenyum tipis. “Mudah untukmu bilang santai. Aku merasa seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa aku raih.”
Andi tertawa kecil. “Ya, saya tahu. Tetapi begini, kalau kamu mau bertahan, kita harus bisa menikmati prosesnya. Proyek ini bisa memberi banyak peluang, tapi kamu harus siap menghadapi setiap langkahnya. Jangan terburu-buru.”
Aku mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Andi. Rasanya, meskipun dia tampak santai, ada kebijaksanaan dalam apa yang dia katakan. Memang benar, jika aku terus merasa tertekan, aku tak akan bisa mengerjakan apapun dengan baik. Tetapi, apakah aku siap untuk menghadapi proyek besar ini dengan sikap yang lebih santai?
Seusai percakapan singkat dengan Andi, aku kembali ke meja dan mulai memeriksa dokumen-dokumen yang ada. Aku membaca beberapa materi yang sudah disiapkan oleh tim, mencoba mencatat poin-poin penting. Namun, saat aku melanjutkan pekerjaanku, ada sesuatu yang terasa janggal. Aku merasa seolah-olah ada yang hilang dari persiapanku. Aku belum memiliki gambaran yang jelas tentang bagaimana kami semua akan bekerja bersama dalam proyek besar ini.
Pada sore hari, ketika aku hampir selesai dengan tugas yang ada, Pak Budi, atasan senior kami, memanggilku ke ruangannya. Aku merasakan degupan jantung yang cepat. Biasanya, ketika Pak Budi memanggil, itu berarti ada sesuatu yang penting.
Aku mengetuk pintu ruangannya dan masuk dengan sedikit ragu. Pak Budi, dengan wajah serius seperti biasanya, menatapku dan menunjuk kursi di depannya. “Duduklah,” katanya dengan suara yang agak berat.
Aku duduk dengan hati-hati, menunggu Pak Budi berbicara. Setelah beberapa detik hening, dia membuka pembicaraan.
“Kamu tahu tentang proyek besar yang akan datang, kan?” tanyanya, memulai percakapan dengan pertanyaan yang tidak terlalu mengejutkan, mengingat apa yang sudah aku dengar sepanjang minggu.
“Tentu, Pak. Saya sudah mendengarnya. Semua orang sedang sibuk mempersiapkan,” jawabku, berusaha tetap tenang meskipun aku merasa sedikit gugup.
Pak Budi mengangguk pelan, lalu melanjutkan, “Kamu adalah salah satu orang yang akan sangat berperan dalam proyek ini. Saya tahu kamu baru saja bergabung di tim ini, tapi saya percaya kamu memiliki potensi besar. Jadi, saya ingin kamu lebih terlibat, terutama dalam rapat besar yang akan datang.”
Aku terkejut mendengar kata-kata itu. “Pak Budi, saya… saya masih merasa kurang siap. Saya belum sepenuhnya mengerti bagaimana proyek ini akan berjalan,” jawabku, sedikit ragu.
Pak Budi tersenyum tipis, seolah memahami kecemasanku. “Itu hal yang normal. Setiap orang merasa seperti itu pada awalnya