• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
NAMAKU TERTULIS DI DAFTAR ARWAH

NAMAKU TERTULIS DI DAFTAR ARWAH

April 11, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
NAMAKU TERTULIS DI DAFTAR ARWAH

NAMAKU TERTULIS DI DAFTAR ARWAH

by SAME KADE
April 11, 2025
in Horror
Reading Time: 37 mins read

Bab 1: Rumah di Ujung Kabut

Kabut menyelimuti desa itu seperti tirai putih yang tak pernah benar-benar terbuka. Sepanjang perjalanan menuju rumah tua warisan keluarganya, Alya hanya bisa melihat beberapa meter ke depan. Pohon-pohon cemara menjulang seperti bayangan makhluk purba, dan jalan tanah berlumpur berderit di bawah roda mobil bak terbuka yang mereka tumpangi.

“Sudah hampir sampai,” kata ibunya dari kursi sebelah. Wajahnya lelah, pucat, seolah ikut terkubur bersama kenangan masa lalu yang hendak mereka datangi kembali.

Alya menatap ponselnya yang kehilangan sinyal sejak setengah jam lalu. Tidak ada internet, tidak ada GPS. Hanya petunjuk lisan dari lelaki tua yang tadi mereka temui di pasar: “Rumah kalian ada di ujung desa, dekat pohon beringin besar. Tak ada tetangga. Yang lain sudah lama pindah atau… ya, begitu.”

“Begitu, bagaimana maksudnya?” tanya Alya saat itu.
“Lebih baik tak banyak tanya, Nona,” jawab si lelaki, lalu menurunkan topi dan berbalik.

Kini rumah itu berdiri di hadapan mereka. Besar, berlantai dua, bercat putih yang sudah mengelupas dan ditumbuhi lumut hijau di beberapa sudut. Halamannya dipenuhi rumput tinggi, pagar kayunya patah di beberapa tempat, dan di sebelah kiri berdiri pohon beringin tua dengan akar yang menjalar ke tanah seperti tangan-tangan kering yang mencengkeram bumi.

Alya menghela napas. “Serius kita mau tinggal di sini?”

Ibunya tidak menjawab. Ia hanya turun, membuka bagasi, dan mulai mengangkat koper. Alya mengikutinya, dengan langkah enggan, hingga mereka masuk ke dalam.

Di dalam, suasana lebih dingin dari luar. Bau kayu lapuk dan debu menyengat hidung. Furnitur lama masih tertata rapi, seolah rumah itu baru ditinggal kemarin. Meja kayu bundar di ruang makan, lukisan keluarga tua di dinding, dan rak buku berisi novel usang yang tertutup sarang laba-laba.

“Ayahmu dulu dibesarkan di sini,” kata sang ibu pelan. “Ini rumah keluarganya. Ia ingin kamu mengenalnya lebih jauh… meski ia sudah tiada.”

Alya menatap ibunya, mencoba membaca emosi di balik wajah tenangnya. Tapi ibunya sudah berjalan ke lantai atas, meninggalkan Alya di tengah rumah yang terasa… mengawasi.

Malam mulai turun. Kabut tidak kunjung menghilang, justru semakin pekat, menyusup ke celah-celah jendela dan membentuk pola aneh di kaca. Saat Alya naik ke kamar tidurnya—ruang kecil dengan jendela menghadap ke pohon beringin—ia merasa seperti ada sesuatu yang menunggu di luar.

Ia menutup tirai.

Pukul 02.13 dini hari.

Alya terbangun oleh suara… sesuatu.

Bukan suara tikus, bukan angin. Ini… bisikan. Halus. Terputus-putus. Seperti seseorang memanggil, tapi tidak menggunakan mulut. Ia duduk di ranjang, mendengarkan.

“Alyaaa…”

Ia terlonjak.

Itu suaranya sendiri. Tapi bagaimana mungkin?

Perlahan, ia turun dari ranjang dan mendekati dinding. Suara itu… berasal dari balik sana. Dengan gemetar, ia menempelkan telinga ke papan kayu.

Hening.

Lalu, ketukan. Tiga kali. Cepat. Lalu hening kembali.

Ketika ia meraba-raba dinding dengan jemarinya, salah satu bagian terasa… aneh. Berbeda. Ia menekan papan itu, dan papan bergeser membuka ruang kosong—semacam kotak kecil di dalam dinding.

Di dalamnya, terlipat rapi, ada secarik kertas tua yang sudah menguning.

Dengan tangan bergetar, Alya membukanya.

Isinya adalah daftar nama—ditulis dengan tinta merah tua. Ada sekitar sepuluh nama, semuanya nama-nama yang tidak ia kenal… sampai ia sampai di bagian paling bawah.

ALYA NADHIRA

Ia mematung.

Tulisannya mirip tulisannya sendiri. Tapi ia tidak pernah menulis ini. Ia bahkan baru tiba hari ini. Lalu mengapa…

Tiba-tiba angin dingin bertiup dari arah jendela, meski tertutup rapat. Lampu kamar berkedip dua kali, lalu padam.

Dalam gelap, Alya mendengar sesuatu menggesek lantai. Sesuatu yang bergerak pelan… dan berhenti di belakangnya.

Ia berbalik.

Tak ada siapa-siapa.

Tapi… di cermin kecil di meja rias, tampak bayangan hitam berdiri di pojok ruangan—padahal pojok itu kosong.

Bayangan itu tak punya wajah, hanya lekuk kepala dan tubuh kurus tinggi. Tangannya terjulur, menunjuk ke kertas di tangan Alya.

Dan dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, ia berkata:

“Satu per satu akan kembali… termasuk kamu.”

Alya menjerit. Tapi tak ada yang menjawab. Bahkan ibunya pun tidak bangun. Rumah itu terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu dalam tenggelam dalam kabut.

Malam pertama belum berakhir.

Dan horor baru saja dimulai.

Bab 2: Suara dari Dinding

Alya duduk di meja makan pagi itu, memandangi semangkuk bubur yang sudah mulai dingin. Ibunya duduk di seberangnya, menyeruput teh tanpa bicara. Suasana rumah tua itu menyesakkan, bukan karena dingin atau debu, melainkan karena rasa… tidak wajar. Alya tahu ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Dan semalam hanya pembuka.

Ia masih menggenggam kertas lusuh yang ditemukannya dari dinding. Ia sudah mencoba menanyakan hal itu pada ibunya pagi tadi, tapi yang ia dapat hanyalah tatapan kosong dan pernyataan klasik, “Itu pasti ulah tikus. Atau kamu bermimpi. Rumah tua selalu berisik.”

Alya ingin membantah, ingin berteriak bahwa dia bukan anak kecil yang mudah ditenangkan dengan alasan malas. Tapi ada sesuatu di dalam diri ibunya yang tampak seperti… ketakutan lama yang dipendam. Sesuatu yang tak ingin diungkit.

Hari itu, kabut tetap menggantung di luar. Seakan-akan desa ini tidak mengenal siang yang cerah. Alya memutuskan untuk menyelidiki rumah lebih dalam. Ia kembali ke kamarnya, menatap dinding tempat ia menemukan daftar itu. Ruang kecil di balik dinding telah kosong kini, tapi bekas lipatan debu menunjukkan bahwa benda itu sudah lama disimpan di sana.

Ia mulai menelusuri dinding lain. Mengetuknya pelan. Beberapa bagian terdengar padat, lainnya berongga. Ketika ia mengetuk tepat di bawah lukisan lama yang tergantung di dinding, sesuatu berbalik dari dalam.

Bukan suara kosong. Tapi seperti… gesekan kuku pada papan kayu.

Ia mundur spontan, jantungnya berdetak liar. Suara itu berhenti. Sunyi menggantung.

Dengan langkah pelan, ia mendekat lagi, memiringkan kepalanya dan menempelkan telinga ke dinding.

Diam.

Kemudian…

“Tolong…”

Suara lirih, nyaris tak terdengar. Suara perempuan, entah tua atau muda. Tapi yang membuat darah Alya membeku bukan hanya suara itu… melainkan fakta bahwa suara itu sangat mirip dengan suaranya sendiri.

Ia terhuyung mundur, tubuhnya membentur meja rias. Botol parfum tua jatuh dan pecah, menyebarkan aroma menyengat bercampur bau jamur. Alya tak peduli. Ia menatap dinding dengan tatapan liar.

“Siapa kamu?” bisiknya. “Apa yang kamu mau?”

Tidak ada jawaban. Tapi di cermin, di belakang dirinya, sosok bayangan samar itu muncul lagi—kali ini lebih jelas. Wujudnya masih gelap, tapi ia kini dapat melihat mata yang memancar redup seperti bara. Tatapannya menembus cermin, langsung menusuk ke dalam pikirannya.

Alya menoleh cepat, tapi sosok itu tidak ada. Ia hanya muncul di pantulan.

“Aku tidak gila,” gumamnya, meski tak sepenuhnya yakin.

Malam kedua datang lebih cepat dari yang ia duga.

Alya berusaha tetap terjaga, duduk berselimut di pojok ruangan dengan senter kecil di tangan. Ibunya sudah tidur sejak magrib, mengeluh sakit kepala hebat. Rumah kembali sunyi, kecuali detakan jam tua di ruang tengah yang terdengar seperti suara palu pengadilan takdir.

Pukul 01.37, suara itu terdengar lagi.

“Alyaa… tolong aku…”

Kali ini suara itu tidak datang dari dinding, melainkan dari bawah lantai. Ia merayap dari celah-celah papan lantai seperti bisikan roh yang tersesat.

Dengan ragu, Alya melangkah pelan, mengarahkan senter ke lantai kayu tua yang retak-retak. Di salah satu sudut ruangan, papan lantai terlihat longgar.

Tangannya gemetar saat mencungkilnya dengan obeng kecil.

Saat papan itu terbuka, sebuah lubang hitam tampak menganga—seperti mulut yang menunggu untuk melahap.

Di dalamnya, ada buku harian. Tua, terbungkus kain putih yang sudah berubah warna seperti darah kering.

Alya membukanya. Halaman pertamanya bertuliskan nama:

Rani Almas

Nama itu… terasa asing tapi juga akrab. Ia mencoba mengingat-ingat, namun kepalanya justru terasa berdenyut keras saat mencoba mengaitkannya.

Ia mulai membaca halaman-halaman awal, yang ditulis dalam tulisan tangan rapat dan terburu-buru:

Hari ke-4 setelah ritual. Aku masih hidup. Tapi mereka bilang aku sudah mati. Aku bisa dengar mereka dari balik dinding. Mereka menyegelku di sini… tubuhku mungkin tak bisa keluar, tapi suaraku harus didengar. Seseorang, tolong aku. Sebelum namaku benar-benar hilang dari dunia ini…

Jika kamu membaca ini, berarti kamu sudah mendengar suara-suara itu. Jangan abaikan mereka. Mereka tidak semua jahat. Beberapa hanya ingin bebas. Seperti aku. Tapi hati-hati dengan DIA. Penjaga daftar. Dia tidak suka namamu ada di sana…

Alya menutup buku itu dengan tangan gemetar.

Rani. Itu nama yang tertulis di urutan keempat dalam daftar arwah.

Dan Alya, entah bagaimana, kini menjadi bagian dari cerita yang jauh lebih kelam dan berdarah daripada yang pernah ia bayangkan.

Malam belum berakhir. Dan suara-suara itu… tidak akan diam sampai seseorang membalas panggilan mereka.

Bab 3: Daftar Arwah

Alya duduk termenung di kamarnya, dikelilingi keheningan yang makin terasa menakutkan. Buku harian Rani tergeletak di pangkuannya, halaman-halamannya terbuka lebar seolah mengundang lebih banyak rahasia untuk diungkap. Sejak ia menemukannya semalam, seluruh dunianya berubah. Rumah ini bukan sekadar rumah tua warisan. Ini adalah kuburan kenangan yang tidak pernah terkubur dengan tenang.

Ia menatap kembali daftar nama yang ia temukan di celah dinding malam pertama. Kini, setelah membaca pengakuan Rani, ia tahu ini bukan sekadar coretan aneh. Ini adalah daftar kematian. Dan yang lebih buruk—namanya sendiri ada di urutan terakhir.

“Apa maksudnya aku akan mati?” gumamnya. “Apa benar ini takdir?”

Ia mulai mencocokkan nama-nama di daftar dengan informasi dari buku harian Rani. Beberapa nama memiliki catatan singkat—siapa mereka, bagaimana mereka hilang, dan… bagaimana mereka diambil.

Rani menyebut sebuah ritual. Ia menyebut “penjaga daftar.” Sosok itu rupanya bukan sekadar bayangan di cermin, tapi entitas nyata—makhluk yang menjaga agar daftar itu tetap berjalan, agar setiap nama mengarah ke satu hal: kematian.

Alya mulai menyalin nama-nama itu ke buku catatannya:

  1. Arman Putra – guru sekolah di desa
  2. Lela Mardiyah – dukun tua
  3. Budi Santosa – tukang kayu
  4. Rani Almas – korban ritual
  5. …
  6. …
  7. Alya Nadhira

Ia memperhatikan bahwa semua nama di daftar itu adalah penduduk lama desa ini. Tidak ada orang luar. Tidak ada orang baru. Hanya mereka yang punya hubungan dengan rumah ini… atau keluarga ayahnya.

Alya menelan ludah. Ia baru sadar—ia tidak tahu apapun tentang keluarga ayahnya. Ibunya selalu menghindar saat topik itu muncul.

“Kalau ayah pernah tinggal di sini… dan semua ini berhubungan dengan masa lalu, kenapa aku yang jadi targetnya sekarang?” bisiknya, bergulat dengan kecemasan.

Tiba-tiba lampu kamarnya berkedip. Udara menjadi dingin. Aroma bunga kamboja menyebar dari entah di mana. Alya berdiri panik, menoleh ke segala arah.

Lalu terdengar suara dari luar kamarnya. Ketukan lembut. Tiga kali.

Tok. Tok. Tok.

Ia menahan napas. “Bu?”

Tidak ada jawaban.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar. Koridor gelap. Senyap. Cahaya lampu gantung berkedip pelan, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding seperti tangan-tangan tak terlihat.

Di ujung koridor, pintu kamar tamu perlahan terbuka sendiri. Engselnya berderit pelan. Alya menyalakan senter dan mendekat. Ia sudah pernah melihat ruangan ini—hanya berisi lemari kayu tua dan kasur kecil.

Tapi malam ini, lemari itu terbuka.

Dan di dalamnya, tergantung satu lembar foto tua yang tidak ada sebelumnya.

Foto hitam-putih, agak pudar. Tiga anak kecil berdiri berjejer: dua perempuan dan satu laki-laki. Di belakang mereka, berdiri seorang lelaki dewasa dengan mata yang tampak… kosong.

Alya menatap lebih dekat. Wajah anak perempuan di tengah…

Mirip dirinya. Sangat mirip.

Ia memutar foto itu. Di belakangnya tertulis:
“Rani, Anisa, dan Rizky. Rumah Ujung Kabut, 1987.”

Rani?

Nama itu sama dengan penulis buku harian. Lalu… siapa Anisa?

Seketika, kenangan samar mencuat. Sebuah nama yang pernah disebut ibunya waktu Alya kecil. Seorang “kakak” yang katanya meninggal saat masih bayi karena sakit. Tapi Alya selalu merasa ada lebih dari itu—terutama karena tidak ada satu pun foto yang menunjukkan ia sebagai anak sulung.

“Aku bukan anak pertama?” bisiknya.

Gemetar, ia menutup lemari dan berlari kembali ke kamarnya. Di tengah jalan, suara dari dinding terdengar lagi.

“Satu per satu mereka pergi… tapi aku tetap di sini. Kamu harus tahu kebenarannya, Alya. Sebelum namamu disilangkan.”

Alya berhenti di tengah lorong. Perlahan, ia kembali menempelkan telinganya ke dinding. Dari dalam, suara tangisan terdengar. Tangisan anak-anak. Terdengar kesedihan mendalam, seperti jiwa-jiwa yang belum pernah mendapat ketenangan.

Lalu… bisikan itu datang lagi.

“Cari koran tanggal 4 Juli 1990… di bawah lantai ruang makan. Kebenaran dimulai dari sana…”

Alya tertegun. Apakah ini roh Rani yang membantunya? Atau bagian dari permainan si penjaga daftar?

Ia berbalik, menatap bayangan dirinya sendiri di kaca koridor. Tapi kali ini, bayangannya bergerak lebih dulu. Ia—bayangan itu—tersenyum sinis… dan menghilang sebelum Alya sempat menjerit.

Daftar itu bukan hanya peringatan.

Itu adalah pengadilan arwah.

Dan ia—Alya Nadhira—adalah yang berikutnya.

Bab 4: Tiga Nama Pertama

Pagi itu turun hujan. Bukan hujan deras seperti biasa, tapi hujan gerimis yang dingin dan lambat, seolah setiap tetesnya membawa ingatan masa lalu yang tak ingin dilupakan.

Alya duduk termenung di ruang makan, di atas lantai yang kini menjadi obsesi barunya. Ingat betul ia mendengar bisikan itu—mengarahkan pada koran tanggal 4 Juli 1990 yang katanya tersembunyi di bawah lantai ruang ini. Ibunya belum bangun. Atau mungkin sengaja tidak bangun.

Dengan napas tertahan, ia mulai menyelidiki bagian lantai yang paling tua. Ubin keramik bergurat yang terkelupas di beberapa titik. Di pojok ruangan, tepat di bawah meja tua, ubin itu tampak retak. Ia ambil linggis kecil yang ditemukan di gudang semalam dan mulai mencungkil ubin itu perlahan. Suara gesekan logam dengan keramik seperti menggores kesabaran, tapi ia terus bekerja.

Setelah beberapa menit, ubin itu terangkat.

Di bawahnya, ada tumpukan tipis koran tua yang dibungkus plastik bening rapuh. Aroma lembab dan kertas tua langsung menyeruak. Alya membuka bungkusnya perlahan, mengabaikan rasa takut yang mencengkeram dadanya.

“Warta Rakyat — 4 Juli 1990”

Halaman pertama tampak biasa saja: berita ekonomi, kondisi desa, cuaca. Tapi saat ia membalik ke halaman tengah, matanya terpaku pada satu kolom kecil berjudul:

“Tiga Warga Ditemukan Tewas di Rumah Tua, Diduga Ritual Gagal”

Tiga warga. Alya membaca cepat.

“Desa Karangjati dikejutkan oleh penemuan tiga mayat warga yang ditemukan membusuk di ruang bawah tanah rumah tua di ujung dusun. Ketiga korban adalah Arman Putra (guru SD), Lela Mardiyah (dukun lokal), dan Budi Santosa (tukang kayu). Pihak kepolisian menduga kematian mereka berkaitan dengan ritual pemanggilan arwah leluhur yang dilakukan secara diam-diam selama beberapa bulan terakhir.”

Tangannya gemetar.

Itu tiga nama pertama dalam daftar yang ia temukan.

Lebih lanjut, berita menyebut bahwa tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan fisik, namun wajah para korban “menyeringai lebar seolah dalam ketakutan luar biasa.” Polisi desa menyatakan kasus ini sebagai bunuh diri massal, namun warga tidak pernah percaya. Mereka menganggap rumah itu terkutuk. Sejak saat itu, rumah itu dikunci dan tidak pernah dihuni lagi.

Alya meletakkan koran dengan perlahan. Ia merasa mual. Itu rumah yang sekarang ia tinggali. Rumah milik ayahnya yang diwariskan setelah kematiannya. Rumah yang selama ini dikatakan “tempat pulang.” Tapi pulang untuk siapa?

Ia kembali ke buku catatan. Tiga nama pertama telah terverifikasi. Tiga orang tewas di rumah ini, dengan ritual sebagai penyebab. Tapi kenapa mereka melakukan ritual itu? Dan siapa yang memulainya?

Pikiran Alya melayang ke sosok Rani. Rani menyebut dirinya korban, bukan pelaku. Lalu siapa dalangnya?

Saat itulah ia menyadari sesuatu. Nama terakhir di daftar—namanya sendiri—selalu ditulis dengan tinta merah. Sementara nama-nama lain memudar seperti bekas tinta tua. Seolah ia adalah “tanda aktif” dalam daftar yang masih berjalan.

Tiba-tiba, suara pintu kayu berderit memecah pikirannya.

Ibunya berdiri di ambang pintu ruang makan, wajahnya pucat dan mata membelalak melihat ubin yang dibuka dan koran yang tergeletak.

“Kamu… sudah temukan itu?” bisik ibunya.

Alya menatap ibunya penuh tuntutan. “Kamu tahu ini semua? Kamu tahu orang-orang ini mati di rumah ini?”

Ibunya tidak menjawab. Tapi air matanya mulai mengalir.

“Ayahmu terlibat…” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Dia… salah satu dari mereka yang memulai semua ini.”

Alya terpaku. “Memulai apa?”

“Ritual Daftar Arwah,” jawab ibunya dengan suara bergetar. “Mereka ingin menciptakan pelindung desa, dengan mengorbankan sepuluh jiwa. Setiap nama ditulis, satu per satu, dan mereka… dipanggil untuk ‘diberikan’ kepada Penjaga. Konon katanya, dengan sepuluh jiwa, desa ini akan terlindung dari bencana, dari penyakit, dari kelaparan…”

Alya merasa seluruh tubuhnya dingin.

“Dan ayahmu… percaya itu?”

“Awalnya tidak,” bisik ibunya, kini terduduk lemas. “Tapi setelah melihat bagaimana desa sekitar dilanda gagal panen dan wabah… dia mulai percaya. Tapi saat korban mulai diambil, dia ingin menghentikannya. Sudah terlambat. Penjaga daftar tidak bisa dihentikan. Hanya bisa ditunda.”

Alya menatap ibunya. “Kenapa aku?”

Ibunya menunduk. “Kamu… darah keturunan. Darah yang terakhir. Namamu akan menyempurnakan daftarnya.”

Alya berdiri, tangannya mengepal.

“Kalau begitu… aku akan membakar daftar itu. Menghentikan semua ini!”

Ibunya menggeleng lemah. “Kalau kamu bakar… arwah yang terperangkap tidak akan pernah bebas. Mereka akan membalas dendam. Semua akan hancur.”

Suara di dinding tiba-tiba terdengar lagi.

“Kamu harus menyelesaikannya, Alya. Satu per satu. Temukan mereka. Biarkan mereka bicara. Hanya itu caranya kami bisa bebas…”

Alya menatap tembok itu.

Mungkin jawabannya bukan dengan melarikan diri, bukan dengan menghancurkan.

Tapi dengan mendengarkan.

Bab 5: Cermin di Loteng

Langit senja mulai berubah kelabu ketika Alya memutuskan untuk naik ke loteng. Sejak percakapan paginya dengan sang ibu, pikirannya tidak pernah berhenti berputar. Ia mencoba tidur siang, tapi suara-suara dari dinding, bisikan-bisikan yang dulu hanya terdengar samar, kini menjadi lebih jelas. Arwah-arwah itu ingin ia melanjutkan. Mereka menuntut didengar.

Dan loteng… selalu menjadi tempat yang dihindari ibunya sejak mereka pindah ke rumah ini. Ia ingat jelas, bahkan ketika tukang listrik ingin memeriksa sambungan di atas, ibunya menyuruh mereka untuk tidak mengutak-atik loteng. “Tidak ada apa-apa di sana,” katanya. Tapi kini, Alya tidak yakin.

Ia menyalakan senter dan menaiki tangga kayu tua yang berderit tiap diinjak. Udara di loteng terasa lebih dingin dari bagian rumah lain. Bau debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan menyambutnya.

Begitu sampai di atas, ia mendapati ruangan itu gelap dan dipenuhi sarang laba-laba. Kardus tua bertumpuk di sudut, ada koper-koper berdebu, bingkai foto rusak, dan perabotan yang tak terpakai lagi. Tapi sesuatu langsung menarik perhatiannya.

Di dinding paling jauh, tertutup setengah oleh kain putih kotor, ada sebuah cermin besar.

Cermin tua dengan bingkai kayu berukir motif sulur-sulur dan wajah-wajah kecil di sisinya—wajah yang tampak seolah sedang berteriak membisu. Ukurannya hampir setinggi manusia dewasa. Kain yang menutupi setengahnya tampak seperti baru disentuh. Seolah ada yang membuka dan menutupnya.

Alya mendekat perlahan.

Cermin itu tidak memantulkan cahaya seperti seharusnya. Pantulannya buram, seakan tertutup kabut tipis. Tapi ia bisa melihat bayangannya… dan seseorang berdiri di belakangnya.

Ia berbalik cepat. Kosong.

Nafasnya memburu. Ia kembali menatap cermin. Sosok itu masih ada. Seorang gadis muda berambut panjang mengenakan gaun putih kusam. Wajahnya tidak tampak jelas, tapi matanya… merah, seperti habis menangis semalaman.

“Rani?” Alya berbisik.

Gadis dalam cermin mengangguk.

Lalu perlahan, kabut dalam pantulan cermin seperti tersibak, memperlihatkan sebuah ruangan lain—ruangan yang tidak ada di loteng ini. Sebuah kamar dengan dinding kayu gelap, tempat tidur lusuh, dan meja kecil di sampingnya. Di atas meja itu… tergeletak sebuah buku.

Buku harian yang sama seperti milik Rani.

Alya menyentuh permukaan cermin, dan saat itu juga, udara di loteng berubah drastis. Dingin menyengat seperti es. Bayangan Rani di dalam cermin mendekat hingga wajahnya hanya beberapa inci dari permukaan kaca. Mulutnya bergerak, membisikkan sesuatu yang tak terdengar.

Lalu… sebuah suara mendesing masuk ke telinga Alya.

“Lihat apa yang kulihat. Rasakan apa yang kurasakan.”

Cahaya senter bergetar dan padam. Loteng tenggelam dalam kegelapan. Tapi cermin… justru mulai bersinar samar dari dalam.

Alya tersedot dalam penglihatan itu.

Ia kini berada dalam kamar Rani—kamar yang ia lihat di dalam cermin. Tapi ini bukan sekadar penglihatan. Ia merasakan lantai kayu di bawah kakinya, mencium bau darah dan dupa. Di luar jendela, malam turun dengan langit memerah ganjil.

Suara-suara dari bawah rumah terdengar—bisikan doa, mantra, dan jeritan tertahan.

Rani kecil duduk meringkuk di sudut kamar. Air matanya mengalir. Di luar pintu, bayangan sosok dewasa bergerak. Seseorang masuk—seorang pria dengan wajah keras. Matanya kosong, dan tangannya memegang segulung kain berisi tali dan pisau.

“Ayah…” gumam Alya tanpa sadar.

Penglihatan itu bergoyang, lalu kembali menampilkan ritual di ruang bawah tanah. Tiga orang dewasa berdiri melingkar. Di tengah lingkaran itu, sebuah peti kayu tua dibuka—dan suara jeritan keluar darinya, suara yang tidak berasal dari manusia.

Salah satu dari mereka mulai membacakan nama.

“Arman Putra… Lela Mardiyah… Budi Santosa…”

Saat nama ketiga disebut, nyala lilin padam seketika. Gelap. Hening. Lalu, ketiganya langsung roboh, seolah nyawa mereka disedot dalam sekejap.

Rani berteriak. Tapi tak ada yang mendengar.

Alya terhempas keluar dari penglihatan. Ia terjatuh mundur, tubuhnya dingin, napasnya tersengal. Cermin itu kini tenang. Tak ada cahaya. Tak ada bayangan.

Hanya refleksinya sendiri yang kembali terlihat—kali ini, dengan tanda merah samar di lehernya. Seperti bekas cekikan halus.

Ia menyentuh lehernya, menggigil.

“Rani… kau masih di sana?” tanyanya pelan.

Tak ada jawaban.

Tapi di permukaan cermin, dengan embun dari dalam, terbentuk tulisan perlahan:

“Kamar bawah tanah… sebelum semuanya terlambat…”

Alya berdiri perlahan. Loteng ini menyimpan kunci masa lalu. Tapi kamar bawah tanah menyimpan akar dari segalanya.

Dan ia tahu, tak akan ada jalan kembali setelah itu.

Bab 6: Jejak Masa Lalu Ayah

Pagi itu, kabut menggantung lebih tebal dari biasanya. Seolah-olah rumah tua itu diselimuti oleh sesuatu yang enggan melepaskan cengkeramannya. Alya menatap jendela dari kamar atas, jantungnya masih berdebar sejak pengalaman di loteng semalam. Cermin itu, penglihatan itu, dan pesan Rani—semuanya menunjuk pada satu tempat: kamar bawah tanah.

Namun sebelum ia berani menyentuh masa lalu yang terkunci di ruang gelap itu, ia tahu satu hal: ia harus memahami siapa ayahnya sebenarnya. Pria yang selama ini dikaguminya sebagai sosok tenang, penuh kasih, namun ternyata menyimpan rahasia besar… bahkan hingga kematiannya.

Ibunya tidak lagi bisa banyak bicara. Setelah kejadian semalam, ibunya seperti kembali ke dalam cangkang diam yang penuh penyesalan. Hanya satu petunjuk yang Alya dapat darinya: “Periksa laci paling bawah di ruang kerja ayahmu. Kuncinya ada di belakang lukisan kita bertiga.”

Dengan langkah hati-hati, Alya turun ke ruang kerja yang jarang dimasuki sejak kematian ayahnya. Ruangan itu penuh dengan buku tua, aroma tembakau dan kayu lawas masih terasa kuat. Di sudut, tergantung sebuah lukisan usang keluarga mereka saat Alya masih kecil. Ia mengangkatnya perlahan, dan di balik pigura, benar saja—sebuah kunci kecil tersembunyi dengan selotip kusam.

Ia menuju meja tua, membuka laci paling bawah dengan gemetar. Di dalamnya, ada tumpukan surat, beberapa foto, dan sebuah jurnal kulit berwarna gelap dengan inisial R.S. di pojoknya—Raka Surya, nama ayahnya.

Alya membuka jurnal itu perlahan. Tulisan tangan ayahnya tampak rapi di halaman pertama, namun dengan setiap halaman yang ia baca, tulisan itu semakin tergesa, penuh coretan dan bercak tinta yang tampak seperti ditulis dalam ketakutan.

“20 Mei 1990 – Mereka mengundangku malam ini ke rumah tua di ujung dusun. Lela bilang, kami bisa menyelamatkan desa. Ritual lama, katanya. Aku tak percaya, tapi aku ingin tahu lebih.”

“5 Juni 1990 – Arman membawa buku tua. Bahasa kuno, tapi mereka percaya isinya bisa membuka jalan menuju ‘penjaga’. Aku hanya mencatat, tidak ikut mempraktikkan. Tapi… aku merasa pengawasan.”

“12 Juni 1990 – Budi mengusulkan nama. Nama orang-orang yang ‘lemah’, katanya. Mudah dikorbankan. Aku marah. Tapi mereka sudah mulai.”

“4 Juli 1990 – Mereka semua mati. Bukan oleh tangan manusia. Tapi oleh sesuatu yang tak bisa kulihat. Aku berlari. Aku menyembunyikan daftar itu. Mereka bilang aku harus melanjutkan. Aku menolak. Lalu Rani menghilang. Aku tak tahu dia ikut mereka. Tuhan, ampuni aku.”

Tangan Alya gemetar saat membaca entri terakhir. Ia terhuyung mundur, terjatuh duduk di lantai. Seluruh dunia seolah berputar. Ayahnya tidak memulai ritual itu, tapi ia ikut menyaksikan. Ia adalah penjaga rahasia. Dan saat semuanya menjadi liar, ia lari.

Tapi larinya tidak benar-benar membebaskan siapa pun. Tidak Rani. Tidak para arwah. Tidak bahkan dirinya sendiri.

Ia menutup jurnal itu perlahan dan memandangi foto kecil yang terjatuh dari tumpukan surat—foto Rani, masih kecil, duduk di pangkuan ayahnya. Senyum gadis itu terasa getir kini. Ada hubungan di antara mereka yang belum dipahami sepenuhnya.

Di bawah foto itu, Alya menemukan satu lembar kertas lagi. Bukan tulisan ayahnya, tapi seperti catatan dari tangan orang lain—kemungkinan Lela, sang dukun yang disebut dalam berita. Tulisan itu berbunyi:

“Yang menuliskan nama, menyegel nasib. Tapi hanya keturunan darah yang bisa membuka kembali pintu pengampunan. Harus kembali ke titik awal. Harus menyelesaikan sepuluh. Atau sepuluh akan mengambil sendiri. Penjaga tidak lupa. Tidak tidur. Tidak puas.”

Sepuluh nama. Alya belum menghitung semuanya, tapi jika nama-nama itu masih terus muncul, berarti ritual belum selesai. Dan ia… adalah titik akhir dari semuanya.

Ia memandangi cermin kecil di meja kerja. Wajahnya sendiri tampak seperti asing—pucat, lelah, namun mulai mengeras dalam tekad. Ia tidak bisa melarikan diri seperti ayahnya. Ia harus menghadapi semuanya.

Sebelum meninggalkan ruangan, Alya menyalakan lampu baca dan menyalin daftar nama dari buku catatan ke sebuah kertas baru. Di sana, nama-nama mulai membentuk pola aneh. Tiga sudah mati. Beberapa lainnya… masih hidup. Apakah mereka tahu? Atau mereka juga sedang diburu?

Langkah berikutnya jelas: temui orang-orang yang namanya masih ada dalam daftar.

Dan setelah itu…

Masuk ke ruang bawah tanah.

Bab 7: Malam Berdarah

Langit malam mendung menggantung di atas rumah tua itu, seperti pertanda bahwa sesuatu yang mengerikan akan datang. Petir menyambar jauh di kejauhan, disusul rintik hujan yang turun satu per satu, seolah menandai awal dari sesuatu yang tak bisa dihindari.

Alya berdiri di depan ruang bawah tanah. Di tangannya, kunci tua yang ia temukan tersembunyi di balik papan lantai ruang kerja ayahnya. Ia telah membaca semua jurnal ayahnya. Ia telah mencatat semua nama yang tersisa dalam daftar arwah. Dan kini, ia berdiri di ambang pintu yang telah dikunci selama puluhan tahun.

Tangannya bergetar saat ia memasukkan kunci ke dalam lubang tua yang sudah berkarat. Dentingan logam terdengar keras di tengah kesunyian. Kunci berputar… dan klik. Pintu kayu itu terbuka perlahan, berderit panjang, mengungkapkan tangga batu menurun ke dalam gelap.

Udara di bawah sana dingin dan berbau tanah basah yang lama terkubur. Cahaya dari senter Alya hanya mampu menyinari beberapa meter ke depan, tapi itu cukup untuk membuatnya melihat simbol-simbol aneh di dinding batu. Lingkaran dengan garis menyilang, tangan yang terbakar, dan mata yang terbelah.

Langkah demi langkah, ia menuruni tangga hingga mencapai dasar ruang bawah tanah. Ruangan itu luas dan kosong… atau setidaknya tampak begitu. Di tengahnya, ada lingkaran ritual—tersusun dari batu hitam, dipenuhi abu dan sisa darah kering.

Di dinding sebelah kiri, terdapat lima cermin kecil yang membentuk setengah lingkaran. Cermin-cermin itu tertutup kain putih yang tampak baru. Alya mendekat dan menyibakkan satu per satu. Refleksi yang muncul bukan pantulan dirinya… melainkan wajah-wajah orang lain. Orang-orang yang tampak berteriak tanpa suara, dengan mata memohon.

Wajah Rani ada di salah satu cermin.

Alya mundur selangkah, tubuhnya gemetar. Dari sudut ruang, terdengar suara—seperti sesuatu menggerogoti tanah, disusul bisikan kecil yang menjalar ke telinganya.

“Kau pembuka. Kau yang terakhir.”

Tiba-tiba, lampu senter mati. Kegelapan menyelimuti seluruh ruangan. Nafas Alya terengah. Ia berusaha menyalakan senter lagi, namun gagal. Dalam gelap, suara langkah mulai terdengar… bukan hanya satu, tapi banyak. Puluhan langkah, bergerak mendekat dari segala arah.

Kilatan petir dari celah kecil di atas memberikan secercah cahaya—cukup untuk menunjukkan bayangan-bayangan berdiri di tepi ruangan. Sosok-sosok manusia, namun wajah mereka hitam, kabur, seperti kabut yang membentuk rupa.

Salah satu sosok maju. Suaranya seperti berasal dari dasar sumur.

“Kau belum menyelesaikan daftarnya. Kami lapar.”

Alya mundur hingga punggungnya menabrak tembok. Tangannya meraih jurnal ayahnya yang masih ia bawa. Ia membuka halaman terakhir, halaman yang belum sempat ditulis. Ia mengambil pena. Mereka menginginkan nama.

Tapi siapa?

Bayangan-bayangan itu semakin mendekat. Di cermin-cermin, wajah-wajah itu mulai berdarah. Darah mengalir di permukaan kaca, menetes ke tanah, lalu merambat membentuk pola. Lingkaran batu di tengah ruangan menyala merah, dan jeritan mulai terdengar. Jeritan nyata.

Alya menatap satu nama di jurnal yang belum ia coret: dirinya sendiri.

Jika ia menuliskan namanya… mungkinkah ia mengakhiri semuanya? Tapi jika tidak—apakah mereka akan mengambilnya dengan paksa?

Tiba-tiba, suara Rani terdengar dari cermin.

“Jangan beri mereka apa yang mereka mau. Temukan yang menulis pertama kali. Dialah kuncinya.”

Alya teringat: Bukan ayahnya yang memulai. Tapi Lela.

Tangannya bergerak cepat. Ia merobek halaman terakhir jurnal itu, lalu menulis satu nama besar di tengah:

LELA MARDIYAH

Begitu tinta terakhir tercoret, ruangan bergetar keras. Cahaya merah menyala dari lingkaran batu, kemudian meledak ke atas membentuk pusaran api. Bayangan-bayangan berteriak—jeritan mereka bukan lagi ancaman, tapi rasa sakit.

Cermin-cermin pecah satu per satu. Wajah-wajah di dalamnya memudar, seperti asap yang tertiup angin. Sosok-sosok itu berusaha menjangkau Alya, namun tangan mereka menguap sebelum menyentuh kulitnya.

Lalu, hening.

Hanya suara hujan di atas tanah yang terdengar.

Alya terduduk di tanah, napasnya berat, tubuhnya berlumuran debu dan darah dari cermin yang pecah. Tapi ia masih hidup. Ia masih utuh.

Di kakinya, potongan jurnal terbuka oleh angin. Di sana, di balik halaman tempat ia menulis nama Lela, ada tulisan tangan berbeda. Tulisan itu seperti ukiran arang di kertas tua.

“Satu darah telah menulis ulang. Tapi bayangan tidak akan padam. Mereka hanya tertidur. Untuk sementara.”

Alya menatap ke arah tangga keluar. Cahaya dari atas mulai masuk perlahan. Ia tahu—ini belum akhir. Tapi malam berdarah ini telah melewati titik baliknya.

Dan ia… bukan gadis yang sama seperti kemarin.

Bab 8: Kamar Terlarang

Setelah malam berdarah yang menghancurkan cermin-cermin arwah dan mengguncang fondasi rumah tua itu, Alya mengira badai telah berlalu. Namun ternyata, itu hanyalah awal dari bab baru yang lebih dalam, lebih gelap. Ada satu bagian rumah yang selalu dilarang keras untuk dimasuki sejak ia kecil—kamar di sebelah timur, yang pintunya selalu terkunci dan tirainya selalu tertutup rapat. Ayahnya menyebutnya “ruang penyimpanan.” Ibunya menyebutnya kamar terlarang.

Kini, setelah semua yang terjadi, Alya tahu bahwa tidak ada lagi ruang untuk larangan. Ia harus masuk ke ruangan itu. Harus mengungkap sisa-sisa masa lalu yang terkubur. Karena mimpi-mimpi yang menghantuinya sejak malam itu selalu berujung di pintu kamar itu—pintu dengan ukiran motif ular dan burung hantu, simbol kuno yang ia temukan juga di jurnal ayahnya.

Pagi itu, ia berdiri di depan pintu tersebut. Kunci tua yang tergantung di kalung ibunya, kini berada di tangannya. Tanpa kata, ibunya telah memberikannya, bersama tatapan nanar yang tak sanggup menjelaskan apa pun. Alya memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya.

Klik.

Pintu terbuka perlahan, dan aroma lembap langsung menerpa wajahnya. Cahaya tipis dari jendela kecil menembus debu yang menari di udara. Ruangan itu seperti membeku dalam waktu. Rak-rak penuh buku tua, meja dengan peta-peta desa yang digambar tangan, dan di tengahnya—sebuah tempat tidur kecil dengan kanopi putih, kini sudah kusam.

Alya melangkah masuk. Ruangan itu terasa seperti museum rahasia. Di dinding, ada foto-foto yang sudah menguning. Di salah satunya, ia melihat gambar seorang gadis kecil berambut pendek, duduk di pangkuan seorang wanita tua.

Gadis itu adalah Rani.

Dan wanita tua itu—Lela Mardiyah.

Alya mendekati meja tua dan membuka laci-lacinya satu per satu. Ia menemukan surat-surat, buku mantra dengan bahasa Jawa Kuno, dan sebuah kotak kayu berukir. Di dalamnya ada guci tanah liat kecil, bertuliskan nama-nama: Arman, Budi, Rani… dan nama-nama lainnya yang juga tertulis di daftar arwah.

Setiap guci tampaknya adalah tempat penyimpanan roh. Di bawah guci-guci itu, ada selembar kertas bergambar sebuah lingkaran dengan sepuluh titik. Lima di antaranya sudah dicoret dengan tinta merah. Di tengah gambar itu, tertulis:

“Hanya setelah kesepuluh guci terbakar, roh mereka bebas. Tapi jika satu pun disimpan, mereka akan kembali dengan darah.”

Alya menarik napas dalam. Guci-guci ini adalah bagian dari ritual yang belum selesai. Dan jika satu saja tetap utuh, semuanya akan sia-sia.

Di sudut ruangan, ia melihat pintu kecil lain. Pintu setinggi pinggang anak-anak, tersembunyi di balik tirai. Ia membukanya perlahan dan menemukan sebuah tangga spiral menurun, seperti yang ada di ruang bawah tanah, tapi jauh lebih sempit dan gelap.

Ia menyalakan senter dan mulai turun. Di bawah, ia menemukan ruangan sempit penuh dengan lukisan wajah-wajah orang mati, termasuk ayahnya. Di dinding belakang, sebuah mural besar menggambarkan pohon besar dengan buah berupa wajah manusia, menggeliat seperti dalam kesakitan.

Di bawah mural itu, ada tulisan tangan:

“Ia yang menanam, tak akan memetik. Tapi yang menebas akar, akan menanggung kutukan.”

Alya menyadari: ayahnya mungkin tidak bersalah, tapi ia mewarisi benih dari ritual itu. Dan pohon itu—mungkin bukan hanya lambang. Mungkin ia nyata. Mungkin masih hidup.

Saat ia hendak kembali naik, terdengar suara dari atas tangga.

Tok… tok… tok…

Langkah seseorang. Tapi bukan manusia. Irama langkah itu tidak natural. Seperti sesuatu yang menyeret tubuhnya sambil berjalan. Lampu senter Alya bergetar saat ia menyorot ke atas, dan di sana, bayangan mulai muncul. Wajah tanpa kulit. Mata putih melotot. Tubuh terbalut pakaian lusuh.

Alya berlari ke atas, menutup pintu kecil itu dan mengganjalnya dengan rak buku. Jantungnya berdebar tak karuan. Ruangan mulai bergetar. Guci-guci di meja bergoyang. Buku-buku terjatuh. Cermin kecil di atas meja retak sendiri.

Ia tahu sekarang, kamar ini bukan hanya tempat penyimpanan—ini adalah titik pusat dari semua energi yang terikat dalam rumah itu.

Dan satu hal paling mengerikan: salah satu guci—guci bertuliskan Alya Surya—terselip di sudut kotak kayu. Belum terbakar. Belum disentuh.

Ia menatapnya dalam diam. Apakah ini berarti… dirinya telah ditandai sejak lama?

Langit di luar mendadak gelap, seolah hari berubah menjadi malam tanpa peringatan. Rumah tua itu mengerang, kayu-kayunya menjerit seperti merasakan luka masa lalu dibuka kembali.

Alya tahu: ia tidak bisa lari. Tidak bisa menunggu pertolongan. Ia harus memusnahkan semua guci, membakar semuanya.

Dan menghadapi kutukan terakhir yang tersisa.

Bab 9: Pengakuan Sang Ibu

Setelah menemukan guci bertuliskan namanya sendiri di dalam kamar terlarang, Alya merasakan beban tak terlihat menindih dadanya. Kamar itu masih bergetar saat ia keluar, seperti roh-roh di dalamnya menjerit karena diganggu. Angin menderu dari jendela-jendela tua, dan hujan deras jatuh seolah langit sedang menangisi sesuatu yang terlambat ditebus.

Ia turun dengan tergesa, guci kecil di genggamannya. Tanpa sadar, ia menuju dapur—tempat ibunya duduk di kursi reyot, menatap api kompor kecil yang menyala lemah. Wajah ibunya tampak pucat, seperti sudah tahu bahwa waktunya untuk bicara akhirnya datang.

Alya meletakkan guci itu di meja.

“Ibu tahu tentang ini, kan?”

Ibunya tidak langsung menjawab. Tangannya meremas ujung rok, matanya tetap tertuju pada nyala api.

“Itu guci roh,” katanya akhirnya, lirih. “Peti kecil untuk jiwa yang tak sempat kembali.”

“Kenapa ada namaku?” suara Alya meninggi. “Kenapa aku?”

Ibunya menarik napas panjang, lalu memalingkan wajah. “Karena kau… seharusnya tidak lahir.”

Dunia seolah berhenti berputar. Alya menatap ibunya tanpa berkedip. Perkataan itu, sesederhana dan setajam itu, menoreh luka yang tak pernah ia duga.

“Maksud Ibu apa?”

Ibunya menatap putrinya dengan mata sembab, namun tenang. “Kau adalah bagian dari perjanjian yang tak pernah aku pahami sepenuhnya. Saat kau masih dalam kandungan, ayahmu… dan aku… kami sudah tahu, salah satu dari kita harus menyerahkan sesuatu. Nyawa, jiwa, atau darah.”

“Dan kalian memilih aku?”

Ibunya menggeleng cepat. “Bukan kami… bukan kami yang memilih. Lela.” Nama itu lagi. Nama yang kini menjelma sebagai pusat semua kegelapan dalam hidup Alya. “Dia bilang, agar kutukan tak memakan semua generasi, harus ada satu yang ditandai sejak lahir. Yang lahir dalam malam gerhana darah. Dan itu kamu, Alya.”

Alya terdiam. Ia ingat. Ia pernah membaca koran lama tentang tanggal lahirnya. Malam ketika bulan berwarna merah, dan seekor burung mati mendadak di halaman rumah mereka.

“Kami tak pernah ingin ikut dalam ritual itu,” lanjut ibunya. “Tapi desa… tempat ini… sudah terlalu lama tunduk pada kepercayaan lama. Lela meyakinkan ayahmu bahwa hanya dengan mengikuti ritual, kita bisa terbebas. Tapi mereka salah.”

“Jadi kalian membiarkan semua ini terjadi? Membiarkan aku tumbuh dengan kutukan di atas kepalaku?”

Ibunya menggenggam tangan Alya, erat dan gemetar. “Kami mencoba menyembunyikanmu. Menjauhkanmu dari rumah ini. Tapi saat ayahmu meninggal… rumah ini memanggilmu kembali.”

Alya menarik tangannya. “Terlambat, Bu. Aku sudah terlalu jauh masuk.”

Ibunya menatap guci di meja. “Tapi kau masih bisa keluar. Guci itu… belum digunakan. Belum diisi. Kau belum sepenuhnya menjadi milik mereka.”

“Tapi kenapa ada namaku?”

Ibunya berdiri, berjalan ke rak tua, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, ada selembar kain dengan simbol yang sama seperti di kamar terlarang. Ia mengeluarkan satu benda lain: sebuah pisau kecil berkarat.

“Ini milik Lela,” katanya. “Digunakan untuk ‘menandai’ roh dalam darah.”

Alya melihat pisau itu dengan jijik. Di ujungnya masih tampak bercak hitam pekat—darah yang tak pernah bisa dibersihkan.

“Saat kau masih bayi… Lela mencoba menandaimu. Tapi aku hentikan dia. Aku menebusnya dengan sesuatu lain. Itu sebabnya tubuhku melemah sejak saat itu. Jiwa Lela menggerogotiku perlahan.”

Alya memejamkan mata. Selama ini, ia mengira ibunya hanya murung karena duka. Tapi ternyata, ada kegelapan yang bersarang dalam tubuh wanita itu.

“Aku harus menghentikannya,” ucap Alya. “Aku harus membakar semua guci.”

“Kalau kau lakukan itu,” bisik ibunya, “Lela akan datang sendiri. Tak ada lagi perantara. Tak ada lagi wadah. Hanya satu pilihan: penghabisan.”

“Lalu biar dia datang,” kata Alya mantap. “Sudah cukup aku hidup dalam ketakutan.”

Ibunya meneteskan air mata. Ia tahu, keputusan Alya sudah tak bisa diubah.

Sebelum Alya beranjak, ibunya memeluknya erat, seperti tahu pelukan itu mungkin yang terakhir. “Maafkan kami,” bisiknya. “Kami mencintaimu, hanya saja kami… terlalu lemah.”

Alya membalas pelukan itu, lalu mengambil guci dan kotak kayu itu. Langkahnya menuju kamar terlarang kembali, kali ini lebih mantap.

Karena ia tahu, penghabisan akan segera datang.

Dan malam berikutnya, bukan hanya milik arwah—tapi milik sang penebus.

Bab 10: Lelaki Tanpa Wajah

Malam itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Pekat seperti kabus teater, seolah dunia ini hanyalah panggung untuk tragedi yang telah ditulis sejak lama. Alya berdiri di depan kamar terlarang sekali lagi, guci-guci roh dalam karung di tangannya, dan kotak kayu peninggalan Lela tergenggam erat di dada.

Ia tahu ini bukan sekadar pembakaran. Ini pemanggilan. Penghabisan. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tenang dalam ketegangan. Tak ada lagi tanya. Tak ada lagi mundur.

Satu per satu, ia menata guci-guci itu di lingkaran yang ia gambar dengan kapur merah darah ayam, sesuai dengan catatan dari buku mantra ayahnya. Di tengah lingkaran itu, ia letakkan guci bertuliskan namanya sendiri. Belum terisi, tapi sangat siap menjadi umpan.

Saat api dari lilin terakhir dinyalakan, udara berubah. Suhu turun drastis. Lampu-lampu rumah meredup. Dan dari sudut ruangan, terdengar suara—bukan langkah, bukan napas—tapi seret kain dan desir udara, seperti sesuatu tanpa berat tapi penuh beban.

Alya menatap bayangan itu. Perlahan, dari balik kabut yang muncul entah dari mana, sosok itu muncul.

Lelaki Tanpa Wajah.

Tinggi, tubuhnya kurus kering terbungkus jubah hitam yang menyeret lantai. Tangannya panjang dan tulangnya menonjol. Tapi yang paling mengerikan adalah wajahnya—tidak ada. Bukan terbakar, bukan ditutupi—melainkan kosong. Seperti kulit halus tak pernah mengenal mata, hidung, atau mulut. Hanya datar, pucat, tak berujung ekspresi.

Alya nyaris ingin lari, tapi kakinya terkunci oleh ketakutan dan tekad yang sama kuatnya.

“Kau… pemanggilnya?” suara itu terdengar bukan dari mulut, melainkan dari dalam pikirannya sendiri. Serak, seolah diucapkan dari mulut yang tak punya bentuk.

“Aku penebusnya,” jawab Alya, mencoba menahan getar di suaranya. “Aku datang untuk mengakhiri ini semua.”

Sosok itu melangkah maju, tak menyentuh tanah, hanya melayang perlahan. Di sekitarnya, guci-guci mulai bergetar. Api lilin menari liar.

“Tapi satu nama masih kosong…” bisiknya. “Namamu.”

“Dan itu akan tetap kosong,” tegas Alya.

Tiba-tiba ruangan bergetar. Dinding seakan merintih. Bayangan-bayangan mulai muncul di belakang lelaki itu—bayangan wajah-wajah yang pernah Alya lihat di cermin-cermin, kini berkumpul, bersuara, menangis, menjerit.

“Jiwa-jiwa ini tak bisa pergi sebelum kau ikut bersama mereka.”

“Itu sebabnya aku harus membakar semuanya.”

Alya mengangkat kotak kayu, menumpahkan minyak tanah ke lingkaran guci. Tapi sebelum ia sempat menyalakan api, tangan panjang lelaki itu menjulur cepat, mencengkeram udara tepat di atas jantung Alya. Ia tak menyentuh, tapi rasa dinginnya menembus kulit, masuk ke tulang.

“Kau akan melihat wajahku… di dalam dirimu sendiri.”

Tiba-tiba, dunia terbalik. Alya tidak lagi berdiri di kamar terlarang. Ia berada di sebuah hutan gelap, dengan pohon-pohon menjulang yang menggantung wajah-wajah seperti buah. Di depan pohon itu, berdiri seorang lelaki—ayahnya.

“Alya…” panggil ayahnya, suaranya teredam. “Maafkan aku… Aku menanam akar kutukan itu. Tapi kau bisa jadi penebasnya.”

“Caranya?” tanya Alya, menahan air mata.

“Bakar guci milikmu sendiri terlebih dahulu. Buat roh-roh lain kehilangan jangkar. Hanya dengan begitu kutukan Lela bisa dilepaskan dari semua nama.”

Alya terbangun kembali di kamar, tubuhnya menggigil. Lelaki tanpa wajah masih berdiri di depannya. Nafasnya tercekat. Tapi ia tahu, ini saatnya.

Dengan tangan gemetar, ia nyalakan korek api. Ia arahkan ke guci bertuliskan namanya sendiri.

Api menyala.

Guci itu meledak kecil, mengeluarkan asap hitam yang naik ke langit-langit. Seperti membuka lubang di antara dunia. Bayangan-bayangan di belakang lelaki tanpa wajah mulai memudar, menjerit ketakutan, terhisap ke dalam pusaran yang muncul di atas.

Lelaki itu berteriak—bukan suara, tapi gema pikiran yang memekakkan. Wajahnya mulai terbelah, menunjukkan wajah-wajah orang yang Alya kenal—ayahnya, Rani, bahkan ibunya.

“Mereka semua… ada padaku!” pekiknya. “Jika aku pergi, mereka ikut binasa!”

“Tidak,” kata Alya tegas. “Mereka akan bebas!”

Ia jatuhkan korek ke lingkaran minyak. Api menjalar cepat, membakar guci-guci lain. Ledakan kecil terjadi satu per satu. Ruangan penuh cahaya oranye dan asap hitam. Bayangan lelaki tanpa wajah mencair seperti lilin, lalu lenyap dalam jeritan yang menggema hingga ke langit.

Saat api mulai padam, semua menjadi sunyi. Tak ada lagi desiran bayangan. Tak ada lagi guci. Hanya debu dan arang.

Dan di tengah lingkaran itu, berdiri Alya. Lututnya lemas. Tapi jiwanya utuh.

Ia menoleh. Di ambang pintu, berdiri ibunya—tersenyum lemah, menitikkan air mata bahagia.

“Kau sudah menebus semuanya,” bisiknya.

Dan di luar jendela, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, kabut perlahan-lahan menghilang.

Bab 11: Satu Nama Tersisa

Pagi datang seperti keajaiban. Matahari menyusup perlahan melalui jendela rumah yang semalaman diselimuti kabut tebal. Udara terasa lebih ringan, langit lebih biru dari yang pernah Alya lihat sejak tinggal di sana. Seolah malam itu benar-benar menjadi akhir dari segala kegelapan yang menggerogoti tempat itu selama bertahun-tahun.

Alya duduk di tangga depan rumah, tubuhnya lelah, namun hatinya terasa lapang. Guci-guci itu sudah tak ada. Lelaki tanpa wajah telah menghilang bersama bayangannya. Ibunya masih di dalam, tertidur setelah semalaman menangis, mungkin dalam damai untuk pertama kalinya.

Namun jauh di dalam hati Alya, ada yang masih mengusik.

Ia membuka kembali kotak kayu peninggalan Lela yang semalam dibawanya keluar dari kamar terlarang. Di dalamnya, tersisa satu benda yang belum ia lihat sebelumnya: selembar kertas kusam, bertuliskan satu nama.

Satu nama…
Yang belum ia kenal.
Tapi terasa begitu akrab.

“MIRA.”

Alya membaca nama itu berulang kali. Bukan nama yang pernah disebut ibunya, bukan pula satu dari lima nama yang ia lihat di dinding loteng. Tapi kenapa ada di sini, dan kenapa menjadi satu-satunya yang tersisa?

Ia bangkit, masuk ke dalam rumah, dan mengambil buku tua milik ayahnya yang dulu ia gunakan untuk memahami simbol-simbol dan catatan kuno. Ia menyusuri halaman demi halaman, mencari apakah ada keterkaitan nama itu dengan semua yang telah terjadi.

Di bagian akhir buku, ia menemukan halaman yang ditulis tergesa, dengan tinta yang hampir pudar:

“Jika semua nama telah terbakar, dan bayangan punah, masih ada satu yang harus dikenang. Ia adalah kunci. Ia bukan roh, tapi pintu. Tanpanya, yang lainnya tak bisa benar-benar bebas. Namanya tersembunyi… disembunyikan demi cinta, tapi juga menjadi akar dari kutukan yang lebih dalam.”

Alya mematung. MIRA bukan korban. MIRA adalah pengikat. Dan jika ia tak tahu siapa Mira sebenarnya, apakah semua yang sudah dilakukan benar-benar mengakhiri semuanya?

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.

Perlahan Alya membukanya. Seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Rambutnya sebagian sudah memutih, wajahnya ramah namun menyimpan kesedihan dalam mata cokelat tuanya.

“Kau pasti Alya,” katanya pelan.

Alya mengangguk. “Maaf… Anda siapa?”

Wanita itu menghela napas. “Namaku Mira.”

Segalanya berhenti.

“Masuklah,” bisik Alya dengan suara nyaris tak terdengar.

Di ruang tamu, Mira duduk seperti orang yang sudah lama merindukan tempat itu. Tangannya menyentuh kayu-kayu dinding, matanya menatap lukisan-lukisan lama seakan mengingat sesuatu yang telah terkubur lama.

“Aku pernah tinggal di sini,” katanya. “Puluhan tahun lalu.”

Alya menatapnya dalam diam.

“Aku… adik ayahmu.”

Alya terperangah.

“Tapi… Ibu tak pernah menyebutmu.”

“Karena dia tak boleh. Aku adalah bagian dari perjanjian pertama.” Mata Mira berkaca-kaca. “Dulu, akulah anak yang dipilih untuk jadi korban. Tapi kakakku—ayahmu—tak sanggup. Ia menyembunyikanku. Menghapus namaku dari catatan resmi desa. Tapi Lela tahu. Dia tahu aku adalah pintu antara dunia dan bayang-bayang.”

Alya menggenggam kertas yang tadi ia temukan. “Jadi namamu disimpan… bukan untuk diselamatkan, tapi karena…”

“Karena jika aku mati… maka semua roh yang sudah dibebaskan bisa kembali.” Mira mengangguk. “Aku adalah sumbat. Jika aku pergi, portal itu akan terbuka kembali.”

Suasana menjadi hening. Bahkan suara angin pun seolah enggan bersuara.

“Tapi kalau kau tetap hidup… mereka tak bisa tenang.”

“Ya.”

Alya menggigit bibir. “Apa ini berarti aku harus…?”

“Tidak, Alya.” Mira tersenyum lembut. “Kau telah cukup menderita. Kau tidak perlu melakukan apa pun. Aku datang untuk menyerahkan diri.”

“Tapi… kau masih hidup. Kau keluarga kami.”

Mira menatap Alya dengan mata yang tenang. “Dan keluarga yang benar akan mengakhiri penderitaan, bukan memperpanjangnya.”

Ia mengambil kotak kayu dari tangan Alya, membuka isinya, lalu mengambil pisau kecil berkarat itu. “Ini yang Lela gunakan pada roh-roh pertama. Tapi hanya aku yang bisa menggunakan ini untuk mengakhiri semuanya… dengan damai.”

Alya menahan air mata. “Tidak ada cara lain?”

Mira tersenyum. “Tidak untuk generasi kami. Tapi karena keberanianmu, generasimu bisa bebas.”

Ia berdiri, melangkah ke tengah ruangan, lalu duduk di lantai. Ia letakkan pisau di dada, lalu mulai membisikkan doa kuno yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah menjadi bagian dari ritual terdalam.

Cahaya oranye muncul dari bawah lantai. Api yang tak menyakitkan, melainkan hangat. Mengelilingi Mira seperti pelukan dari dunia roh.

Dan saat terakhir sebelum tubuhnya larut dalam cahaya, Mira menatap Alya dan berkata:

“Terima kasih karena kau menuliskan ulang takdir kita.”

Lalu ia menghilang.

Dan untuk pertama kalinya, nama MIRA tidak lagi menjadi beban.

Bab 12: Ritual Pembatalan

Rumah itu kini sunyi.

Setelah kepergian Mira, Alya merasa seperti berada di tempat yang sepenuhnya asing—meski dindingnya masih sama, lantainya masih berderit dengan langkahnya, dan angin sore masih menelusup dari celah jendela. Tapi udara yang dulunya pekat oleh rahasia dan dendam kini terasa… kosong.

Namun kosong bukan berarti tenang.

Sejak Mira melakukan pengorbanan terakhir, Alya mulai mengalami mimpi-mimpi aneh. Dalam tidurnya, ia melihat dirinya berada di tengah lingkaran roh yang mengelilingi api biru. Mereka menatapnya, bukan dengan amarah, tapi dengan tatapan menunggu.

Dan di tengah api itu, ada sesuatu—buku hitam dengan simbol merah darah di sampulnya.

Pagi harinya, Alya memberanikan diri membuka kembali gudang kecil di belakang rumah, tempat ayahnya dulu sering menghabiskan waktu sendirian sebelum akhirnya menghilang.

Tumpukan barang-barang tua masih berserakan. Kotak besi berkarat, mainan rusak, bingkai foto pecah. Tapi di sudut gudang, tersembunyi di bawah karpet tipis yang nyaris menyatu dengan lantai kayu, Alya menemukan sebuah peti kecil yang dikunci rantai.

Rantai itu sudah rapuh. Dengan sedikit tenaga dan palu tua, ia berhasil membukanya.

Di dalamnya, ada buku itu. Persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya.

Judulnya hanya satu kata:
“REVERSA.”

Halaman-halamannya ditulis dalam bahasa campuran Latin dan simbol-simbol kuno yang telah ia pelajari dari buku ayahnya. Di bab terakhir, tertulis sebuah ritual pembatalan—ritual yang bisa membalikkan semua efek dari kutukan, menghapus seluruh catatan nama-nama dalam daftar arwah, dan menutup celah antara dunia hidup dan mati… untuk selamanya.

Tapi dengan satu syarat:

“Pengikat darah terakhir harus menjadi saksi dan pelaksana. Jika tidak, ritual akan gagal. Dan roh-roh yang dibebaskan akan kembali lebih kuat, tanpa batas.”

Alya menelan ludah. Mira sudah pergi. Ayahnya pun telah lama lenyap. Hanya tinggal satu orang yang masih memiliki darah yang sama… dirinya sendiri.

Malam itu, di halaman belakang, Alya menggambar ulang lingkaran ritual dengan kapur tulang yang ia temukan di dalam kotak tua. Di sekeliling lingkaran, ia meletakkan benda-benda peninggalan dari mereka yang telah terlibat: potongan foto ayahnya, sisir ibunya, cermin dari loteng, dan terakhir, sehelai saputangan milik Mira yang masih berbau kayu manis dan darah kering.

Ia membuka buku Reversa pada halaman terakhir, dan mulai membaca mantra dengan suara pelan. Lidahnya terbata menyesuaikan dengan bahasa yang tak pernah diucapkan manusia biasa. Angin mulai berhembus kencang meski tak ada badai. Langit yang tadi cerah berubah kelabu.

Tiba-tiba, api biru menyala di tengah lingkaran, seperti dalam mimpi. Di dalamnya, sosok-sosok roh yang dulu telah dibebaskan muncul satu per satu—bayangan wajah yang pernah menghantui, kini berdiri diam, memandangi Alya.

Tak ada amarah, hanya… harapan.

Tapi saat mantra mencapai akhir, bumi bergetar.

Tanah di bawah lingkaran retak. Suara jeritan terdengar dari dalam celah. Lalu muncul sosok lain—tinggi, kurus, berjubah hitam—Lelaki Tanpa Wajah, kembali bangkit dari celah neraka yang belum benar-benar tertutup.

“Kau pikir bisa menutup pintu yang belum sepenuhnya terbuka?” suaranya kembali muncul dalam pikiran Alya, seperti ribuan bisikan berlapis-lapis.

“Mira sudah pergi! Tak ada pengikat darah lain!”

Alya menatapnya, lalu menatap tangannya—darah dari luka kecil di telapak tangan menetes ke tanah. Dan ia mengerti sesuatu yang tertulis di bagian bawah mantra:

“Darah dari pengikat terakhir dapat menggantikan saksi jika diberikan secara utuh.”

Dengan kata lain… dirinya sendiri.

Api di sekelilingnya membesar. Roh-roh mulai mundur, terhisap oleh tarikan dari balik dunia. Tapi gerbang belum tertutup. Dan lelaki itu mulai mendekat.

Alya menggenggam pisau kecil peninggalan Mira. Ia berdiri, melangkah masuk ke dalam lingkaran api, dan memejamkan mata.

“Jika aku harus menjadi kunci terakhir… maka aku akan menjadi kunci yang menutup, bukan membuka.”

Dengan satu gerakan cepat, ia menggores lengannya dalam, dan darahnya menetes langsung ke tengah lingkaran, tepat di atas simbol utama.

Ledakan cahaya terjadi.

Langit seolah terbelah. Lelaki Tanpa Wajah berteriak tanpa suara, tubuhnya terurai jadi asap hitam yang tersedot ke tanah.

Roh-roh itu memandang Alya terakhir kalinya, dan satu per satu mereka tersenyum… lalu menghilang.

Lingkaran api padam. Malam kembali tenang.

Dan di tengah lingkaran itu, Alya masih berdiri.

Ia masih hidup.

Tapi tubuhnya tak sepenuhnya sama.

Matanya kini memancarkan warna perak samar. Suaranya… bergema aneh saat ia bicara sendiri.

“Kutukan telah dibatalkan. Tapi sebagian darinya tetap padaku.”

Ia adalah saksi.
Ia adalah penjaga gerbang.
Dan kini, tak ada lagi daftar arwah. Hanya sejarah.

Bab 13: Kebenaran di Balik Kematian

Tiga hari telah berlalu sejak Alya menyelesaikan Ritual Pembatalan. Rumah di ujung kabut kini benar-benar sunyi. Tidak ada lagi bisikan dari balik dinding, tidak ada lagi langkah di loteng, dan cermin-cermin yang dulu menyimpan pantulan dunia roh kini hanya menampilkan bayangan nyata.

Tapi Alya tahu—meski semua roh telah pergi, belum semuanya selesai.

Ia masih merasakan sesuatu mengendap di balik pikirannya, seperti teka-teki yang belum selesai dirangkai. Setiap malam, dalam mimpinya, ia melihat ulang momen-momen penting: ibunya menangis di bawah loteng, Mira menghilang dalam api, dan suara ayahnya yang dulu samar, kini mulai terdengar lebih jelas.

Satu pertanyaan terus bergema di kepalanya:

“Mengapa ayahnya benar-benar menghilang tanpa jejak?”

Ibu Alya masih hidup, kini jauh lebih tenang setelah semua gangguan roh lenyap. Tapi saat Alya menanyakannya lagi soal ayah, ibu tetap menggeleng. “Dia bukan menghilang… dia bersembunyi. Dari dirinya sendiri.”

Jawaban itu membuat Alya yakin—ayahnya masih menyimpan rahasia terakhir dari semua tragedi ini.

Alya memutuskan untuk menelusuri tempat yang terakhir diketahui sebagai tempat tinggal ayahnya setelah meninggalkan mereka: sebuah pondok tua di pinggiran hutan di luar desa. Tempat itu sudah lama dianggap terlarang oleh warga. Katanya, siapa pun yang mendekat akan tersesat dan kembali dengan pikiran kacau.

Namun, Alya tak takut. Ia sudah melihat neraka. Dan jika ayahnya masih ada—atau setidaknya jejaknya—tempat itu pasti menyimpannya.

Perjalanan melalui hutan membawa Alya ke sebuah jalur tersembunyi yang ditutupi semak belukar. Ia mendorong dedaunan, menyingkap dahan, dan akhirnya menemukan pondok kayu kecil, separuh runtuh, dengan jendela-jendela pecah. Atapnya penuh lumut, dan bau tanah basah bercampur dengan sisa kayu terbakar.

Di dalamnya gelap dan pengap. Tapi di dinding, ada satu lukisan tua yang menggambarkan keluarga kecil: seorang pria, wanita, dan bayi perempuan.

Alya memandangi wajah pria dalam lukisan itu. Ia mengenalnya. Itu ayahnya. Tapi wanita di sampingnya…

Itu bukan ibunya.

Di balik lukisan itu, Alya menemukan catatan tangan yang ditulis dengan tinta pudar. Beberapa lembar kertas yang disusun seperti jurnal pribadi. Ia duduk di lantai, menyinari lembaran itu dengan senter kecil, lalu mulai membaca.

“Hari ke-17: Aku tak bisa lagi melihat wajah anak itu tanpa merasa bersalah. Mereka bilang kutukan datang dari masa lalu keluarga kami, tapi aku tahu kutukannya dimulai dari aku.”

“Hari ke-34: Dia, perempuan itu… bukan hanya istriku. Dia adalah roh yang menyamar. Aku jatuh cinta padanya, dan dari situ semuanya runtuh.”

Alya menggigil. Ia membaca lebih cepat.

“Hari ke-70: Alya bukan hanya anakku. Dia adalah penghubung dunia ini dan yang di baliknya. Karena ibunya bukan manusia seutuhnya. Itulah kenapa mereka mengejarnya. Kenapa nama-nama itu muncul. Karena darahnya… adalah kunci dari semua pintu.”

Air mata Alya menetes perlahan. Seluruh kehidupannya selama ini berdiri di atas kebohongan dan rahasia yang terlalu gelap untuk diucapkan.

Ibunya… bukan satu-satunya ibu.
Ayahnya jatuh cinta pada roh.
Dan ia sendiri adalah hasil dari dua dunia yang seharusnya tak pernah bersatu.

Tapi Alya terus membaca hingga halaman terakhir, di mana ayahnya menulis:

“Aku tak bisa melindunginya. Karena itulah aku melakukan ritual terlarang dan menyegel diriku di antara dunia. Tak hidup, tak mati. Di tempat yang disebut Bayang-Ranah, aku tinggal. Sampai ia cukup kuat untuk menemukan kebenaran. Jika kau membaca ini, Alya… bukalah cermin besar di ruang keluarga. Itu adalah gerbang terakhir.”

Dengan tubuh gemetar, Alya kembali ke rumah. Langit malam sudah mulai menurunkan embun, dan kabut tipis muncul, bukan karena kutukan, tapi karena fajar yang perlahan menyapa.

Ia berdiri di depan cermin besar di ruang keluarga—cermin yang selama ini hanya dianggap sebagai pajangan tua.

Dengan hati-hati, ia menyentuh permukaannya.

Dan cermin itu bergerak.

Seperti air, permukaannya beriak, dan di baliknya muncul cahaya lembut berwarna keperakan. Tanpa ragu, Alya melangkah masuk.

Ia menemukan dirinya di tempat yang tak bisa dijelaskan: hutan kabut yang sunyi, dengan pohon-pohon tinggi menjulang tanpa suara. Di tengahnya, duduk seorang pria, mengenakan jubah tua dan membawa buku catatan.

Ayahnya.

Saat ia menoleh, mata pria itu berkaca-kaca.

“Kau datang…”

“Aku tahu segalanya,” jawab Alya. “Dan aku tak datang untuk menyalahkan. Aku datang untuk menutup semua ini. Bersama.”

Mereka duduk berhadapan. Tak ada roh, tak ada api, tak ada kutukan. Hanya dua jiwa—ayah dan anak—yang akhirnya menyatukan potongan-potongan kebenaran di balik kematian, kehilangan, dan pengorbanan.

Dan malam itu, di tengah ranah bayangan, akhir dari segala misteri pun dimulai.

Bab 14: Pengorbanan

Langit di Bayang-Ranah tampak aneh. Tak ada matahari, tapi ada cahaya samar yang menerangi tanpa sumber. Daun-daun pepohonan berwarna perak pucat, dan udara terasa hampa—seolah dunia itu hanya sebuah gema dari kenyataan.

Alya dan ayahnya duduk berdampingan di tengah hutan sunyi itu. Setelah percakapan panjang tentang masa lalu dan asal-usul sebenarnya, Alya tahu satu hal: kehadirannya di dunia bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah titik temu antara dua dunia, dan karena itulah, ia menjadi sasaran kutukan selama ini.

Ayahnya, Raka, menjelaskan bahwa ritual pembatalan yang telah dilakukan Alya memang berhasil menghentikan kutukan dan menutup pintu-pintu arwah, namun belum menghapus sepenuhnya energi penghubung antar dimensi. Sebagian darinya masih aktif. Dan kini, karena Alya telah melewati gerbang cermin dan masuk ke Bayang-Ranah, keseimbangan kedua dunia mulai terganggu kembali.

“Keberadaanmu di sini, meskipun singkat, sudah mulai mengoyak batas realitas. Kita tidak punya banyak waktu, Alya,” ujar Raka, menatap kabut yang mulai menebal di kejauhan.

Alya merasa tubuhnya lebih berat di tempat itu. Ia juga menyadari bahwa jantungnya berdetak lebih lambat, seakan waktu di Bayang-Ranah berjalan dengan ritme yang berbeda. Tapi ia tidak gentar. Ia sudah datang sejauh ini, dan jika dunia benar-benar terancam, ia tidak akan membiarkannya hancur karena dirinya.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyanya.

Raka menunduk, suara gemetar, “Harus ada pengorbanan terakhir. Untuk menutup gerbang antar dimensi secara permanen, harus ada penjaga yang tinggal di sini. Seseorang dengan darah penghubung. Itu hanya bisa kau… atau aku.”

Alya terdiam.

Ia baru saja bertemu kembali dengan ayah yang selama ini ia kira telah mati. Ia tak ingin kehilangan lagi. Tapi jika ayahnya tinggal di sini, maka ia tak akan pernah kembali ke dunia nyata. Sebaliknya, jika ia yang tinggal, maka semua yang ia kenal dan cintai akan lenyap dari jangkauannya… untuk selamanya.

“Kita bisa cari cara lain,” katanya. Tapi kata-katanya lebih terdengar seperti harapan kosong ketimbang rencana nyata.

Raka menggenggam tangan putrinya. Tangan yang dulu kecil dalam pelukannya, kini kuat dan penuh luka.

“Alya, aku sudah terlalu lama di antara hidup dan mati. Duniaku sudah berakhir sejak kutinggalkan kalian. Tapi kau masih punya masa depan.”

Air mata Alya mengalir. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia merasa seperti anak kecil lagi. Ingin melawan takdir. Ingin memilih yang lebih mudah.

Tapi dunia tak memberi kemudahan. Hanya pilihan.

“Tapi kalau kau yang tinggal… bukankah jiwamu akan lenyap sepenuhnya?” tanyanya pelan.

Ayahnya mengangguk.

“Dan jika kau yang tinggal, jiwamu akan terjebak. Abadi. Tapi aku sudah separuh lenyap. Aku hanya tinggal sisa. Kau, Alya… kau masih utuh.”

Tiba-tiba, kabut di kejauhan bergetar. Dari baliknya muncul siluet—sosok-sosok tak berbentuk. Bayangan dunia roh yang tertinggal, mencoba masuk kembali. Mereka tahu pengorbanan itu harus terjadi sekarang, atau celah akan terbuka kembali dan kutukan akan mulai dari awal.

“Waktunya habis,” bisik Raka.

Alya berdiri. Napasnya berat.

“Biar aku yang lakukan, Ayah. Dunia masih butuhmu. Ibu butuhmu.” Tapi sebelum ia melangkah, Raka memeluknya—erat, penuh rindu.

“Kau sudah cukup berkorban, Nak. Sekarang giliran Ayah.”

Dan sebelum Alya sempat menolak, Raka mendorongnya perlahan keluar dari lingkaran roh yang mulai terbentuk di tengah Bayang-Ranah. Ia berbisik, “Kau hidup, itu sudah cukup untuk menebus semuanya.”

Dengan satu mantra terakhir—dalam bahasa yang bahkan roh pun segani—Raka menutup gerbang dengan dirinya sebagai kunci.

Cahaya meledak dari tanah, seperti semburan cahaya putih keperakan. Bayangan-bayangan itu lenyap dalam sekejap, terseret kembali ke kegelapan yang dikurung.

Dan Alya terhempas keluar dari cermin besar di rumah.

Ia terbangun di lantai ruang keluarga dengan darah mengalir dari hidung dan telinga. Tapi cermin itu kini retak besar, permukaannya kusam seperti kaca mati.

Gerbang sudah tertutup.

Ia menatap cermin itu lama… lalu menangis.

Beberapa hari kemudian, Alya menanam sebuah pohon kecil di halaman belakang, di tempat dulu ia melakukan ritual. Di bawah akar pohon itu, ia kuburkan buku Reversa, kunci dari semua bencana ini. Tak akan ada yang membacanya lagi.

“Ayah memilih menjadi pengorbanan terakhir,” katanya dalam hati.
“Dan aku akan jadi penjaga dunia yang ia selamatkan.”

Malam itu, langit bersih. Tak ada kabut. Tak ada suara dari dinding.

Tapi di cermin yang retak, kadang-kadang, jika cahaya malam menyentuhnya dengan tepat, Alya bisa melihat bayangan seorang pria tersenyum lembut dari baliknya.

Dan itu sudah cukup untuk menenangkan hatinya.

Bab 15: Nama Terakhir

Dua bulan telah berlalu sejak malam ketika Alya menyaksikan ayahnya mengorbankan diri di Bayang-Ranah demi menutup celah antar dimensi untuk selamanya. Hidup perlahan mulai kembali ke jalurnya. Rumah tua di ujung kabut kini sunyi, dan tak ada lagi bisikan roh di malam hari. Cermin besar itu masih retak, menjadi saksi sunyi pengorbanan yang tidak diketahui siapa pun… kecuali Alya.

Namun meski segalanya tampak tenang, Alya tahu cerita ini belum sepenuhnya usai.

Satu pertanyaan masih mengganggunya:
Jika seluruh nama telah terhapus dari Daftar Arwah, kenapa masih ada satu nama yang tertulis dengan tinta merah?

Malam itu, Alya duduk di kamar dengan buku Reversa terbuka di depannya. Ia memang telah menguburkannya di bawah pohon belakang, tapi rasa tak tenang membuatnya menggali kembali buku itu, seolah ada sesuatu yang belum selesai disampaikan.

Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman terakhir. Di sana, dengan tulisan kuno yang meresap seperti darah ke kertas, masih tertulis satu nama:

Alya Raka Santika

Namanya sendiri.

“Bagaimana bisa?” gumamnya pelan. “Ritual pembatalan sudah dilakukan. Ayah sudah menjadi pengorbanan terakhir. Seharusnya aku… bebas.”

Tiba-tiba, udara di kamar berubah. Lampu berkedip, dan cermin kecil di meja rias berembun meski tidak ada uap. Di permukaannya, muncul tulisan samar:

“Masih ada satu pintu yang belum tertutup.”

Alya menatap tulisan itu, jantungnya berdegup keras. Ia menyadari bahwa pengorbanan ayahnya, sebesar apa pun, tidak menutup semua. Ada pintu terakhir—bukan gerbang antar dimensi, tapi pintu dalam dirinya sendiri. Sebuah bagian yang selama ini ia hindari: kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.

Keesokan harinya, Alya kembali mengunjungi ruang loteng, tempat banyak hal dimulai. Ia membuka kembali kotak kayu tua berisi dokumen dan foto-foto lama. Kali ini, ia memeriksa setiap lembar dengan teliti—dan di bawah tumpukan foto keluarga, ia menemukan sebuah amplop berwarna hitam, tanpa nama pengirim.

Di dalamnya, hanya satu lembar surat.

“Anakku, jika kau membaca ini, maka aku gagal menjaga rahasia terakhir. Tapi kau sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa kutukan tidak berasal dari roh, dari buku, atau dari kesalahan ritual. Kutukan itu berasal dari dalam kita sendiri—dari pilihan, dari warisan darah.”

“Nama kita bukan hanya tertulis di daftar arwah. Nama kita adalah daftar itu sendiri. Kau adalah penjaga dan penghapus. Dan saat semua telah hilang, hanya kau yang akan menentukan apakah nama terakhir itu akan lenyap… atau hidup selamanya.”

Tanda tangan di bawah surat itu membuat napas Alya tercekat. Bukan milik ayahnya. Bukan ibunya.

Mira.

Sahabat yang hilang dalam kobaran api. Yang nama dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Sahabat yang ternyata tahu lebih banyak dari yang selama ini Alya kira.

Dengan surat itu di genggaman, Alya memutuskan untuk melakukan satu hal terakhir. Ia kembali ke tempat ritual, di bawah pohon yang ia tanam di halaman belakang.

Ia membuka kembali Reversa pada halaman namanya. Lalu, ia menulis satu kalimat di bawahnya:

“Aku memilih untuk hidup bukan sebagai penghubung, tapi sebagai penjaga gerbang yang terkunci.”

Saat tinta menyentuh kertas, sebuah cahaya muncul dari dalam halaman. Buku itu bergetar dan terbakar perlahan—bukan dengan api biasa, tapi dengan cahaya putih murni. Saat terakhir halaman itu lenyap, nama Alya Raka Santika ikut hilang darinya.

Buku itu berubah menjadi abu, lalu diterbangkan oleh angin malam.

Dan pada saat itu, cermin-cermin di rumah tak lagi memantulkan apa pun selain kenyataan. Tidak ada bayangan, tidak ada bisikan. Hanya keheningan.

Tiga hari kemudian, Alya meninggalkan rumah itu. Ia menyerahkannya kepada lembaga sejarah setempat, dengan pesan bahwa rumah tersebut adalah bagian dari warisan budaya—tanpa menyebut tentang roh, kutukan, atau daftar arwah.

Ia berjalan menjauh tanpa menoleh, dengan satu keyakinan: bahwa semua yang perlu ditinggalkan sudah tertinggal.

Namun, sebelum benar-benar meninggalkan halaman, ia memandang ke arah pohon kecil yang kini mulai tumbuh lebih tinggi. Di antara rantingnya, seekor burung kecil bertengger—memandangnya sejenak sebelum terbang, seolah menyampaikan salam dari seseorang yang sudah pergi jauh.

Alya tersenyum tipis.

“Nama terakhir sudah terhapus. Dan aku siap menulis namaku sendiri di dunia ini—bukan di daftar arwah.”***

Source: Shifa Yuhananda
Tags: #Pengorbanan#RahasiaMasaLaluCerminTerlarangDuniaArwahHororPsikologisKutukanKeluargaMisteriRumahTuaRitualGelap
Previous Post

LANGKAH DI ATAS BARA

Next Post

DELTA HORIZON

Next Post
DELTA HORIZON

DELTA HORIZON

PANGGILAN DARI SUMUR TUA

BAYANGAN DIBALIK JENDELA

BAYANGAN DIBALIK JENDELA

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In