Bab 1: Suara yang Menghilang
Arka duduk di depan piano tua yang terletak di sudut ruang kerjanya, tempat yang selalu ia sebut sebagai “oasis” dalam hidupnya. Ruang itu dipenuhi dengan tumpukan buku, partituran musik, dan beberapa kenangan masa lalu yang tak pernah ia buang. Setiap benda di ruangan itu terasa penuh dengan cerita, tetapi satu benda yang paling penting baginya adalah piano itu. Piano itu bukan hanya alat musik, tetapi sahabat, guru, dan pengingat dari perjalanan panjang yang telah ia jalani.
Dengan tangan yang terbiasa menari di atas tuts piano, Arka mulai memainkan sebuah komposisi yang ia ciptakan bertahun-tahun lalu. Lagu itu sederhana, namun selalu membuat hatinya tenang. Ia menekan tuts pertama, diikuti dengan tuts-tuts lainnya, namun kali ini—sesuatu terasa aneh.
Nada pertama yang keluar terdengar berbeda. Terlalu berat, seperti tuts yang ditekan dengan kekuatan yang salah. Arka mengernyitkan dahi, menilai dengan seksama. Ia terus melanjutkan permainan, tetapi semakin lama semakin jelas bahwa ada yang tidak beres. Suara yang keluar dari piano itu terasa hampa. Bukan hampa dalam arti kesunyian, tetapi hampa dalam arti yang lebih dalam—seakan ada bagian dari nada yang hilang. Arka memutar tuts lagi, mencoba menyesuaikan, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang tidak pas.
Dengan kesal, Arka berhenti sejenak dan menatap piano itu, mencoba memahaminya. Apa yang sedang terjadi? Bagaimana bisa? Ia sudah mengenal setiap sudut piano ini—setiap tuts, setiap suara yang keluar dari sana. Namun hari ini, seolah-olah semuanya berubah. Seperti ada celah dalam setiap melodi yang ia mainkan, seolah-olah musik itu tidak lagi bisa menjangkau hatinya seperti dulu.
Ia menarik napas panjang dan meraih secangkir kopi yang telah dingin di meja. Pikirannya mulai melayang, merenung tentang apa yang telah terjadi pada dirinya beberapa bulan terakhir. Kejadian-kejadian aneh seperti ini sering muncul sejak kematian ibunya. Ibunya yang selama ini selalu mendampinginya, yang selalu menjadi pendengar setia dalam setiap komposisi yang ia buat. Ibunya adalah pengingat bagi Arka bahwa musik bukan hanya sekadar suara, tetapi sebuah bahasa yang menghubungkan hati manusia.
Namun kini, tanpa kehadiran ibunya, dunia musik Arka terasa seperti kegelapan yang tak terperikan. Ibunya tidak lagi ada untuk mendengarkan, untuk memberi umpan balik atau sekadar mengusap kepalanya dengan lembut seperti dulu. Apa yang terjadi pada Arka bukan hanya perasaan kehilangan seseorang yang ia cintai, tetapi kehilangan dari dalam dirinya—sebuah bagian dari dirinya yang terhubung dengan musik itu sendiri.
Setelah beberapa menit diam, Arka memutuskan untuk mencoba lagi. Ia meraih kembali penutup piano dan membuka tuts dengan pelan, berusaha untuk tidak terlalu keras menekan. Namun tetap saja, suara itu terasa asing. Ada sesuatu yang hilang, dan Arka tidak tahu apa yang hilang itu.
Ia menutup piano dengan kesal dan bangkit dari kursinya. Perasaan frustasi semakin membanjiri dirinya, dan ia mulai merasa gelisah. Ke mana perginya suara itu? Ke mana perginya melodi yang selama ini ada di dalam dirinya? Ia merasa seakan dirinya sedang berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti, seolah dunia ini membisu terhadap dirinya.
Arka menyadari bahwa hari sudah mulai sore, dan udara di luar terlihat mendung, seolah langit mencerminkan perasaan hatinya yang terhimpit. Ia memutuskan untuk meninggalkan ruang kerjanya, keluar dari rumah, dan pergi ke tempat yang selama ini selalu memberinya ketenangan: taman kota. Tempat itu, dengan pepohonan rindangnya, selalu memberinya ruang untuk berpikir tanpa gangguan.
Ketika Arka berjalan keluar dari rumah, ia merasakan angin sore yang berhembus pelan. Udara yang sejuk sedikit mengurangi kepenatan yang ia rasakan, namun hatinya tetap gelisah. Di sepanjang jalan, ia melihat orang-orang yang berjalan dengan langkah santai, beberapa di antaranya tampak berbicara dengan teman atau keluarga. Namun, Arka merasa terasing di tengah keramaian itu. Seakan ia berada di dunia yang terpisah, seolah musik dan perasaan yang ia miliki kini semakin jauh dari jangkauan.
Sesampainya di taman, Arka duduk di bangku tua yang terletak di bawah pohon besar. Ia menatap langit yang kelabu, mencoba menenangkan pikirannya. Taman itu sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan-jalan santai, dan suara burung yang sesekali terdengar. Seiring dengan hembusan angin yang merayap pelan di wajahnya, Arka mulai meresapi kenyataan yang sedang ia hadapi. Dunia musik yang dulu begitu dekat, kini terasa begitu jauh, seperti ia sedang berusaha menggapai sesuatu yang terus menghindar.
Arka memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak di taman, mencoba untuk melupakan sejenak kegelisahan yang melanda. Namun semakin ia melangkah, semakin ia merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Apa yang sedang ia rasakan bukan hanya kebingungan, tetapi juga sebuah keputusasaan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya. Musik, yang seharusnya menjadi pelampiasan bagi perasaan, kini malah menjadi sumber kegelisahan.
Ia teringat pada ibunya, yang dulu selalu mengajarinya untuk tidak takut pada ketidaksempurnaan. “Musik itu tidak pernah sempurna, Arka,” kata ibunya suatu kali, “Musik adalah tentang bagaimana kita menerima ketidaksempurnaan itu dan menjadikannya sebagai bagian dari cerita kita.” Tapi kini, nasihat itu terasa seperti kata-kata kosong. Bagaimana bisa ia menerima ketidaksempurnaan jika ia merasa kehilangan segalanya?
Arka berhenti sejenak dan duduk di sebuah bangku kecil, menatap wajah langit yang semakin mendung. Ia tahu, jika ia tidak segera menemukan kembali apa yang hilang dalam dirinya, ia mungkin tidak akan pernah bisa bermain musik dengan sepenuh hati lagi. Nada yang hilang—bukan hanya pada piano, tetapi juga pada dirinya sendiri—telah menjadi jurang yang semakin lebar.
Dengan perasaan penuh pertanyaan, Arka memutuskan untuk pulang. Di sepanjang jalan, pikirannya terus berputar-putar. Ia harus menemukan jawaban atas kegelisahan ini. Jika musik itu tidak lagi bisa mengalir seperti dulu, apakah ia masih bisa menjadi dirinya yang sejati?
Namun, satu hal yang pasti: Arka tidak bisa membiarkan dirinya terus terperangkap dalam kebingungannya. Suatu saat nanti, ia harus menemukan jalan kembali ke musik yang selama ini telah menjadi bagian dari jiwanya.***
Bab 2: Melodi yang Hilang
Langit sore itu terlihat semakin kelabu. Arka berjalan keluar dari rumahnya, meninggalkan pintu yang tertutup rapat di belakangnya, dengan perasaan yang lebih berat daripada sebelumnya. Di tangannya masih tergenggam secangkir kopi yang sudah lama dingin, namun tak ada rasa nikmat di dalamnya. Pikirannya jauh melayang, terperangkap dalam kebingungannya yang semakin mendalam. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang menuju taman kota, tempat yang selalu memberinya ketenangan. Namun, hari itu, taman itu terasa asing baginya, seperti tempat yang sudah terlalu lama ia tinggalkan.
Sesampainya di taman, Arka berhenti sejenak di bawah pohon besar yang ada di dekat gerbang. Pohon itu sudah sangat tua, dengan ranting-ranting yang hampir tak lagi mampu menyangga daun-daunnya. Meski demikian, pohon itu masih berdiri kokoh, seperti sebuah simbol kekuatan yang tak tergoyahkan. Arka tersenyum pahit. Ia merasa seperti pohon itu—terlihat kuat dari luar, tetapi di dalamnya ada sesuatu yang rapuh.
Ia melangkah lebih dalam ke dalam taman. Anak-anak bermain dengan riang di sekelilingnya, berlari-lari di bawah sinar matahari yang semakin redup. Sebagian pasangan muda berjalan bergandengan tangan, berbicara dalam bisikan lembut. Ada juga seorang wanita tua yang sedang memberi makan burung merpati. Semua hal itu terlihat biasa saja, tetapi bagi Arka, semuanya terasa jauh. Ia merasa terasing di tengah keramaian ini, seolah ia sedang berada di dunia yang berbeda—sebuah dunia di mana ia tidak bisa berhubungan dengan siapa pun, bahkan dirinya sendiri.
Setelah beberapa lama berjalan, Arka akhirnya memilih sebuah bangku yang tersembunyi di ujung taman, jauh dari keramaian. Ia duduk, merasakan angin sore yang perlahan menyentuh wajahnya. Matanya menatap kosong ke arah hamparan rumput yang terhampar luas, sementara pikirannya terus berputar, mencari jawaban atas kebingungannya.
Mengapa musiknya terasa hilang? Mengapa ia merasa seperti tidak bisa lagi merasakan apa pun saat jari-jarinya menekan tuts piano? Suara itu yang dulu begitu akrab, kini terasa asing. Arka tahu, ia tidak hanya kehilangan kemampuan untuk bermain musik, tetapi juga kehilangan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang telah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil.
Kenangan tentang ibunya datang begitu saja, seakan membanjiri pikirannya. Ibunya adalah orang pertama yang mengenalkannya pada dunia musik. Sejak usia sangat muda, Arka sudah terbiasa mendengar suara piano mengalun lembut di rumah mereka. Ibunya, seorang pianis handal yang mengajarkan Arka untuk melihat dunia lewat nada-nada yang melodius. Setiap kali Arka merasa tertekan atau bingung, ibunya selalu mengatakan satu hal yang tidak pernah ia lupakan: “Musik adalah bahasa hati, Arka. Jika kamu merasa kehilangan, coba dengarkan dengan lebih dalam. Musik akan mengingatkanmu siapa dirimu.”
Ibunya selalu berbicara tentang musik dengan cara yang hampir magis, seolah setiap nada memiliki jiwa, dan Arka percaya padanya. Namun, sekarang, saat ia merasa kehilangan semuanya, bagaimana bisa ia menemukan musik kembali? Bagaimana bisa ia mendengarkan hati yang telah lama tertutup? Terkadang, ia merasa seolah dunia musik itu sendiri telah berubah menjadi bisu, seakan tidak ada lagi suara yang bisa ia dengar dengan jelas.
Arka menghela napas panjang dan menatap langit yang mulai gelap. Ia mencoba meredakan kecemasan yang menggelayuti dirinya, namun tak bisa. Ia tahu ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayangan kenangan. Ia perlu mencari jawaban, dan ia tahu satu-satunya tempat yang bisa memberinya sedikit kedamaian adalah rumah ibunya.
Dengan langkah pelan, Arka meninggalkan bangku itu dan berjalan menuju rumah ibunya. Rumah yang penuh dengan kenangan—kenangan tentang masa kecil yang bahagia, tentang belajar piano bersama, tentang tawa dan pelukan ibunya yang selalu memberinya rasa aman. Namun, kini rumah itu terasa kosong. Semua benda di dalamnya tetap sama, tetapi kehangatannya sudah hilang.
Arka membuka pintu dan melangkah masuk. Rumah itu sepi, hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar jauh di belakangnya. Di ruang tamu, piano tua milik ibunya masih berada di tempat yang sama, seperti menunggu untuk dimainkan. Arka berjalan mendekat, menatap piano itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasakan sebuah dorongan kuat untuk kembali bermain, tetapi ia tahu, musik itu—musik yang dulu mengalun dengan begitu mudah—terasa hilang sekarang.
Tanpa sadar, Arka duduk di depan piano itu dan mulai memainkannya. Tangan kanannya bergerak pertama, mencari-cari nada yang familiar. Ia mencoba memainkan sebuah lagu sederhana, sebuah lagu yang sering ia mainkan bersama ibunya dulu. Tetapi saat jarinya menekan tuts pertama, suara itu tetap terdengar asing. Ada sesuatu yang hilang. Seperti sebuah ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apa pun.
Arka berhenti sejenak, menatap piano itu dengan mata yang mulai basah. Ia merasa tak mampu lagi menyentuh musik yang telah begitu lama mengisi hidupnya. “Apa yang salah dengan aku?” bisiknya pelan. Ia tidak tahu apakah ia mencari jawaban untuk pertanyaan itu atau hanya mengungkapkan keputusasaannya.
Namun, saat ia hendak menutup piano, sesuatu yang aneh terjadi. Tanpa sadar, jari-jarinya bergerak ke tuts lainnya. Perlahan, melodi itu mulai terbentuk. Bukan lagu lama yang ia harapkan, tetapi sesuatu yang baru—sesuatu yang sepertinya terhubung langsung dengan perasaannya. Arka terkejut. Ia berhenti sejenak, menatap jari-jarinya yang masih menari di atas tuts piano.
Melodi itu mengalun lembut, seolah mengalir dari dalam hatinya. Ada rasa sepi, ada rasa kehilangan, namun juga ada kehangatan yang datang bersama suara itu. Arka merasakan, meskipun ia merasa hilang, musiknya masih ada—hanya dalam bentuk yang berbeda. Ia menyadari bahwa meskipun ibunya telah tiada, musik itu tetap hidup di dalam dirinya, meskipun ia harus mencari cara untuk menghubungkan dirinya kembali dengan melodi itu.
Ia terus memainkan lagu itu, pelan namun pasti. Dalam setiap nada yang keluar, Arka merasa seolah-olah sebuah beban yang selama ini menekan dadanya sedikit demi sedikit terangkat. Ini bukan lagu lama, bukan komposisi yang pernah ia ciptakan. Tetapi ini adalah sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang datang dari hati yang penuh dengan kesedihan, namun juga harapan. Ia tahu bahwa meskipun ibunya tidak lagi ada, musik itu tetap hidup dalam dirinya, dan ia masih bisa mendengarkannya.
Saat lagu itu selesai, Arka merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Musik itu tidak lagi terasa hilang. Ia mungkin belum sepenuhnya bisa mengatasi rasa kehilangan yang ia rasakan, tetapi setidaknya, ia mulai menemukan kembali apa yang telah lama ia cari—melodi yang hilang. Dan dalam proses itu, ia menyadari bahwa tidak semua hal yang hilang harus ditemukan dalam bentuk yang sama seperti sebelumnya.***
Bab 3: Kenangan yang Menyakitkan
Arka duduk di ruang kerjanya, memandang piano tua yang terletak di sudut ruangan, seakan menunggu untuk dimainkan kembali. Setelah beberapa minggu merasa kehilangan arah, akhirnya ia menemukan sebuah melodi baru yang mengalir dari hatinya. Namun, meskipun ia merasa sedikit lega, ada sesuatu dalam dirinya yang belum sepenuhnya bisa pulih. Kenangan tentang ibunya, tentang saat-saat mereka bersama, terus menghantui setiap langkahnya.
Hari itu, setelah beberapa waktu berlalu sejak ia terakhir kali menemukan kembali melodi yang hilang, Arka memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Ia merasa bahwa untuk bisa melanjutkan perjalanan ini, ia harus menghadapi masa lalunya yang penuh dengan kenangan yang menyakitkan. Rumah itu selalu penuh dengan suara piano yang mengalun lembut, namun kini sepi. Di sanalah segalanya dimulai, dan di sana juga ia harus menyelesaikan apa yang telah lama terpendam.
Ia berjalan memasuki rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kehidupan. Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada ibunya, pada setiap detik yang mereka habiskan bersama di sini. Di ruang tamu, ada sofa yang masih tampak sama seperti dulu, tempat mereka sering duduk berdua setelah makan malam, berbincang tentang musik dan impian-impian mereka. Piano ibunya yang dulu selalu mengeluarkan suara merdu kini hanya menjadi benda mati yang terabaikan di sudut ruang tamu.
Arka melangkah menuju piano itu, mengusap permukaannya dengan lembut. Ia merasa seolah ibunya ada di dekatnya, mengawasinya dengan penuh kasih. Namun, seiring dengan kenangan itu datang pula rasa sakit yang mendalam. Arka merasa seperti ada jurang besar antara dirinya dan musik yang selama ini menjadi bagian dari jiwanya. Musik yang dulu begitu mengalir lancar kini terasa seperti sesuatu yang harus ia raih dengan paksa.
Tak lama setelah duduk di depan piano, Arka meraih tutsnya dengan perlahan, mencoba memainkan lagu yang biasa mereka mainkan bersama. Sebuah lagu yang sederhana, namun penuh makna. Lagu itu adalah lagu pertama yang ibunya ajarkan padanya, dan setiap kali Arka memainkannya, ia merasakan ikatan yang kuat dengan ibunya. Namun, kali ini, saat jari-jarinya menekan tuts, suara itu terasa hampa. Tidak ada kehangatan, tidak ada kedamaian. Arka merasa terperangkap dalam sebuah kenangan yang hanya bisa ia sentuh, tetapi tak bisa ia rasakan sepenuhnya.
Perasaan hampa itu semakin menguasai dirinya. Ia menutup matanya, berusaha untuk kembali merasa seperti dulu, saat ia dan ibunya bermain bersama, saat mereka berbicara tentang masa depan, tentang musik yang akan mengisi hari-hari mereka. Tetapi kenangan itu semakin kabur, semakin jauh. Ia merasa.***
Bab 4: Menemukan Kembali
Malam itu, Arka duduk di meja kerjanya, menatap sekilas partitur yang tergeletak di depannya. Meja itu terlihat rapi, hanya dihiasi beberapa kertas dan buku musik yang tidak sempat ia baca. Udara malam yang sejuk mengalir pelan melalui jendela yang terbuka sedikit, dan suara deru kendaraan dari jalanan di luar terdengar samar-samar. Tapi baginya, semuanya terasa kosong. Seperti biasanya, ia merasa terjebak dalam hampa, sebuah kekosongan yang semakin menggerogoti dirinya. Meskipun ia baru saja menemukan melodi yang sempat hilang beberapa minggu lalu, perasaan itu masih mengendap. Melodi itu memberi rasa lega sementara, namun tetap saja, sesuatu dalam dirinya terasa belum lengkap.
Arka mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan piano di rumah ibunya. Melodi yang ia ciptakan—yang keluar begitu alami—memberinya sedikit kelegaan, tetapi itu belum cukup. Ia masih merasa seperti ada sesuatu yang terlewatkan, dan ia tidak tahu apa itu. Ada kerinduan yang terpendam dalam dirinya, bukan hanya untuk musik yang hilang, tetapi juga untuk sebuah kedamaian yang tak kunjung datang. Ia menginginkan lebih dari sekadar melodi, ia menginginkan kembali hubungan yang ia miliki dengan musik, hubungan yang telah lama terputus oleh kepergian ibunya.
Pikiran Arka kembali terhenti pada kata-kata ibunya yang selalu ia ingat, “Musik adalah bahasa hati, Arka. Kamu tidak bisa memaksakan diri untuk menemukan melodi. Ketika hati kamu siap, musik akan datang sendiri.” Saat itu, Arka tak pernah benar-benar memahami apa maksud kata-kata ibunya. Namun sekarang, kata-kata itu semakin bergema dalam pikirannya. Ia merasa seolah-olah hatinya belum siap untuk menerima musik itu kembali sepenuhnya.
Pagi berikutnya, Arka memutuskan untuk pergi ke taman lagi. Tempat itu, meskipun kadang terasa penuh dengan keramaian, selalu memberinya ketenangan. Di sana, ia merasa seolah bisa sedikit melepaskan diri dari beban yang selama ini ia rasakan. Langkahnya terasa lebih ringan saat ia keluar dari rumah, menuju taman yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Di sepanjang jalan, udara pagi yang segar menyapa wajahnya, dan aroma bunga yang sedang mekar menambah kedamaian dalam dirinya. Sesampainya di taman, Arka memilih untuk duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, di bawah pohon besar yang hampir tandus.
Taman itu terlihat sedikit lebih sepi pagi ini. Hanya ada beberapa orang yang sedang berolahraga atau berjalan santai. Suasana yang tenang memberi Arka ruang untuk berpikir dengan lebih jernih. Di tengah ketenangan itu, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang sebenarnya ia cari dalam musik? Ia sudah lama terjebak dalam pencarian yang berputar-putar, mencari melodi, mencari suara, tetapi apakah ia benar-benar tahu apa yang ia inginkan?
Ia memandangi langit biru yang cerah, mencoba untuk merasakan kedamaian yang dulu sering ia temui di dalam musik. Musik bukan hanya tentang tuts dan notasi, tetapi tentang perasaan yang mengalir, tentang bagaimana hati bisa berbicara tanpa kata-kata. Arka sadar bahwa selama ini ia terlalu fokus pada pencarian suara yang hilang, tanpa menyadari bahwa mungkin, jawabannya sudah ada di dalam dirinya. Selama ini, ia hanya perlu untuk mendengarkan lebih dalam, untuk membuka hatinya.
Dengan perlahan, Arka menutup matanya dan membiarkan pikirannya mengalir. Bayangan ibunya muncul dalam pikirannya, seperti gambaran seorang guru yang sabar, selalu mengingatkan bahwa musik adalah perjalanan yang harus dinikmati, bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Ingatan itu membuka sebuah pintu dalam dirinya—pintu yang telah lama terkunci. Sejak ibunya meninggal, Arka selalu merasa terjebak dalam rasa kehilangan. Ia takut tidak bisa melanjutkan hidup tanpa sosok ibunya, tetapi mungkin, musik yang ia cari selama ini bukanlah musik yang harus mengingatkan pada kehilangan, melainkan musik yang harus menyambut perubahan dalam dirinya.
Dengan perlahan, ia membuka matanya dan menatap sekeliling. Ia merasa seperti baru saja menemukan sebuah jawaban. Selama ini, ia telah terlalu terfokus pada kesedihan dan kehilangan. Tetapi musik, seperti kata ibunya, bukan hanya tentang melodi yang sempurna. Musik itu adalah tentang bagaimana kita menerima perasaan kita—baik itu kesedihan, kegembiraan, atau keraguan—dan mengekspresikannya melalui suara. Arka merasa sebuah rasa tenang mulai merasukinya. Mungkin inilah yang ia butuhkan: untuk merasakan kembali kebebasan dalam bermain musik, tanpa beban, tanpa tekanan.
Kembali ke rumah, Arka merasa terinspirasi. Ia memasuki ruang kerjanya dan duduk di depan piano. Ketika jari-jarinya menyentuh tuts pertama, ia tidak merasa terburu-buru untuk menciptakan sebuah melodi. Ia hanya membiarkan dirinya mengikuti aliran perasaannya, tanpa memikirkan apakah musik itu akan terdengar sempurna atau tidak. Dan tiba-tiba, seperti sebuah keajaiban, sebuah melodi muncul dengan sendirinya. Tidak ada kata-kata untuk menggambarkan betapa indahnya perasaan yang datang bersamaan dengan nada-nada itu.
Musik itu bukanlah komposisi yang rumit. Itu hanya alunan sederhana, namun mengalir begitu alami, seperti sungai yang menemukan jalannya sendiri. Arka merasa seperti ia tidak sedang memainkannya, tetapi sebaliknya—musik itu yang sedang memainkannya. Seolah-olah, seluruh dunia yang ia kenal telah menyatu dalam setiap nada yang keluar dari piano itu. Ia tidak lagi merasa terpisah dari musik, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa utuh kembali.
Saat lagu itu selesai, Arka menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum dengan tulus, merasakan perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Musik itu tidak hanya mengalir melalui jarinya, tetapi juga mengalir dalam jiwanya. Ia telah menemukan kembali apa yang hilang—bukan dalam bentuk yang ia harapkan, tetapi dalam bentuk yang lebih besar. Ia tidak hanya menemukan melodi, tetapi ia juga menemukan dirinya kembali. Dalam setiap nada, ia merasakan kehadiran ibunya yang selalu mengingatkannya bahwa musik adalah bahasa hati yang tak pernah berhenti berbicara, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Arka tahu bahwa perjalanannya belum berakhir. Masih banyak yang harus ia pelajari dan hadapi. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia sudah berada di jalur yang benar. Musik tidak akan pernah berhenti mengalun, selama ada hati yang siap mendengarkannya.***
Bab 5: Harmoni yang Terbentuk
Setelah beberapa minggu berlalu sejak Arka menemukan kembali melodi yang telah lama hilang, perasaannya mulai berubah. Musikalitas yang dulu ia rasakan sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya kini terasa lebih hidup, lebih bermakna. Seperti sebuah benih yang akhirnya tumbuh, musik kembali mengalir dalam dirinya. Namun, meskipun ia merasa lebih damai, ada satu hal yang masih mengusik pikirannya: apakah ia sudah siap untuk berbagi musik ini dengan dunia? Musik yang telah kembali itu seolah menjadi sebuah rahasia pribadi, sesuatu yang hanya ia nikmati di dalam ruangan yang sunyi, jauh dari sorotan orang lain.
Hari itu, Arka memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia menatap piano tua di sudut ruang kerjanya, mengingat kembali bagaimana dulu, ketika ia dan ibunya duduk bersama di sana, menciptakan musik yang mengisi hari-hari mereka. Ibunya selalu mengatakan, “Musik bukan hanya untuk dirimu, Arka. Musik adalah bahasa yang bisa menyentuh hati banyak orang. Jangan pernah takut untuk membagikannya.” Kata-kata itu terus bergaung dalam pikirannya. Selama ini, ia telah menutup dirinya dari dunia luar, takut bahwa musik yang ia ciptakan tidak cukup baik, takut bahwa ia tidak bisa memenuhi harapan yang ada di dalam dirinya.
Namun, seiring dengan perjalanan emosional yang telah ia jalani, Arka mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayangan ketakutannya. Musik yang ia temukan kembali bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk dunia. Mungkin, jika ia membagikan musik itu, ia juga bisa berbagi perasaan yang selama ini ia pendam. Dengan tekad yang mulai menguat, Arka memutuskan untuk mengambil langkah pertama: ia akan mengadakan sebuah pertunjukan kecil di kafe tempat ia sering menghabiskan waktu beberapa tahun terakhir. Kafe itu sudah lama menjadi tempat yang nyaman bagi Arka, tempat ia sering bermain piano dengan santai dan berbincang dengan beberapa teman musiknya. Tapi kali ini, ia akan menghadapinya sebagai seorang musisi, bukan hanya sebagai seseorang yang bermain untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Arka tiba di kafe yang terletak di sudut kota. Kafe itu penuh dengan kenangan, mulai dari percakapan-percakapan ringan dengan teman-teman lama hingga penonton yang duduk mendengarkan dengan penuh perhatian saat ia memainkan beberapa lagu. Suasana di dalam kafe itu sangat nyaman—nyala lilin yang redup, meja kayu yang sederhana, dan aroma kopi yang begitu khas. Musik yang lembut selalu mengisi ruang itu, menambah kehangatan setiap pertemuan. Namun, kali ini Arka datang dengan perasaan yang berbeda. Ia merasa seperti seseorang yang akan memulai perjalanan baru.
Saat ia masuk, pemilik kafe, seorang pria paruh baya bernama Rudi, menyambutnya dengan senyum lebar. Rudi sudah lama mengenal Arka dan tahu bahwa pemuda itu memiliki bakat yang luar biasa dalam bermain piano. Namun, ia juga tahu bahwa Arka belum pernah tampil di hadapan banyak orang sejak ibunya meninggal.
“Arka, kamu datang! Aku sudah menyiapkan tempat untukmu. Kamu pasti sudah siap, kan?” tanya Rudi sambil menunjukkan panggung kecil yang ada di sudut kafe.
Arka tersenyum canggung. “Entahlah, Rudi. Aku belum yakin. Tapi aku pikir ini sudah waktunya,” jawabnya, suara Arka sedikit bergetar.
Rudi menepuk bahu Arka dengan penuh pengertian. “Tak perlu khawatir. Musikmu akan berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Jangan terlalu khawatirkan kesempurnaan, Arka. Cukup mainkan apa yang kamu rasakan.”
Kata-kata itu menenangkan Arka sedikit. Rudi memang selalu menjadi pendukungnya, meskipun Arka tidak pernah terlalu terbuka tentang perasaannya. Ia duduk di salah satu meja dekat panggung, mencoba menenangkan diri, sementara Rudi menyiapkan mikrofon dan mengatur kursi di sekitar panggung kecil itu. Beberapa orang mulai berdatangan, pelanggan yang sudah biasa datang ke kafe itu. Namun, bagi Arka, mereka semua seolah menjadi penonton pertama yang akan menyaksikan bagian terdalam dari dirinya. Ketakutannya mulai datang kembali. Bagaimana jika mereka tidak suka dengan musiknya? Apa yang akan mereka pikirkan tentangnya?
Namun, saat Arka melangkah ke panggung dan duduk di depan piano, segala keraguan itu perlahan menguap. Ia menyentuh tuts pertama dengan hati-hati, merasakan kehangatan yang datang dari tuts piano itu. Perlahan-lahan, ia mulai memainkan melodi yang telah lama ia simpan dalam hatinya. Suara piano yang lembut itu mengalun perlahan, membentuk sebuah lagu yang sederhana namun penuh makna. Ia tidak berpikir tentang penonton, tidak berpikir tentang apakah mereka akan menyukainya atau tidak. Ia hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik, mengikuti perasaan yang mengalir.
Suara piano Arka menggema di seluruh kafe, dan orang-orang yang semula sibuk dengan percakapan mereka mulai terdiam. Mereka mulai mendengarkan, merasakan setiap nada yang keluar dari Arka. Setiap melodi, setiap chord yang dimainkan, bercerita tentang perjalanan Arka—tentang kehilangan, tentang pencarian, dan tentang penerimaan. Itu bukan hanya sebuah lagu, itu adalah kisah hidupnya yang terungkap melalui musik.
Ketika lagu itu selesai, suasana di dalam kafe sepi sejenak. Arka menunduk, merasa gugup. Tetapi kemudian, terdengar tepuk tangan pelan yang semakin lama semakin keras. Arka mengangkat kepala dan melihat sekeliling. Semua orang di kafe itu tersenyum, beberapa di antaranya bahkan terharu. Ada yang menatapnya dengan penuh kekaguman, ada yang duduk diam, merenung, seperti mereka terhubung dengan musiknya. Arka merasakan aliran energi positif yang datang dari mereka. Ia tidak lagi merasa takut. Musiknya telah sampai ke hati mereka.
Rudi berdiri di sisi panggung dan memberi isyarat padanya untuk melanjutkan. “Lanjutkan, Arka. Ini baru permulaan,” katanya dengan senyuman yang penuh arti.
Arka mengangguk dan melanjutkan permainan, kali ini memainkan lagu lain yang lebih riang. Musik yang keluar lebih ringan, lebih penuh dengan harapan. Ia merasa seolah-olah sedang berbicara dengan penonton tanpa kata-kata. Setiap nada yang dimainkan membangun jembatan antara dirinya dan mereka. Ia tidak lagi merasa terasing. Musiknya, yang semula hanya untuk dirinya, kini bisa menghubungkannya dengan dunia.
Setelah beberapa lagu, pertunjukan itu pun berakhir. Arka merasa seperti baru saja menginjakkan kaki di dunia baru—dunia di mana musik bukan lagi sekadar pelarian, tetapi sebuah bentuk ekspresi yang bisa berbicara langsung ke hati orang lain. Ketika ia menundukkan kepala untuk mengakhiri penampilannya, tepuk tangan yang hangat kembali menggema di seluruh kafe. Arka tersenyum, merasa damai dalam hatinya. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan musiknya, tetapi sebuah awal yang baru.
Ketika ia turun dari panggung, Rudi mendekatinya dengan ekspresi bangga. “Itu luar biasa, Arka. Kamu telah menghubungkan dirimu dengan musik dan dengan orang-orang di sekitarmu. Aku tahu, ini baru permulaan.”
Arka hanya tersenyum, menatap Rudi dengan penuh rasa syukur. Ia merasa seperti beban besar yang selama ini ia bawa akhirnya terangkat. Ia tidak lagi merasa terasing dalam dunianya sendiri. Musik, akhirnya, telah menemukan jalan kembali ke dalam hidupnya.***
—————–THE END—————