• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MISTERI HILANGNYA AILA

MISTERI HILANGNYA AILA

January 27, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MISTERI HILANGNYA AILA

MISTERI HILANGNYA AILA

by SAME KADE
January 27, 2025
in Horor, Misteri & Thriller
Reading Time: 26 mins read

Bab 1: Kehilangan yang Tidak Terduga

Alya duduk di pinggir ranjang, memandangi ponselnya yang tergeletak diam di atas meja kecil. Sudah lebih dari lima belas menit sejak ia mencoba menghubungi Aila, sahabatnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun ia kenal. Tapi tidak ada jawaban. Suara dering telepon yang kosong hanya mengisi ruang sepi di kamar. Aila yang selalu aktif, yang tidak pernah absen memberi kabar, kini tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Pikiran Alya berkecamuk. Hal ini sangat tidak biasa. Biasanya, Aila selalu memberi kabar jika sedang sibuk, atau memberitahukan alasan di balik ketidakhadirannya. Namun, kali ini semuanya berbeda. Aila tidak memberi pesan apa pun, bahkan tidak ada catatan apapun di meja atau di mana pun. Semalam, mereka sempat berbicara lewat pesan singkat, merencanakan pertemuan hari ini. Namun, sejak pagi, Aila tidak memberi kabar apapun.

Alya memutuskan untuk pergi ke rumah Aila. Ia ingin memastikan apakah sahabatnya hanya sibuk atau mungkin ada yang terjadi padanya. Rumah Aila yang terletak di pinggir kota bukanlah tempat yang jauh, namun saat itu, jalanan tampak lebih sepi dari biasanya, seakan ada sesuatu yang mengekang suasana. Mobil Alya meluncur perlahan di sepanjang jalan berdebu yang menuju kawasan perumahan. Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di sepanjang jalan, kecuali perasaan yang semakin aneh menguasai dirinya.

Sesampainya di rumah Aila, Alya mengetuk pintu dengan harapan mendengar suara sahabatnya yang ceria dari dalam. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras kali ini, namun tetap tidak ada respons. Ketegangan mulai melingkupi Alya, membuatnya merinding. Ia mencoba memutar gagang pintu, dan dengan heran, pintu itu terbuka dengan mudah. Pintu rumah Aila tidak terkunci. Ini semakin membuatnya merasa cemas.

Alya melangkah masuk perlahan-lahan, menyusuri ruang tamu yang sepi. Rumah itu tampak sama seperti biasa, tidak ada yang berubah. Sofa besar yang selalu digunakan Aila untuk bersantai, meja makan yang selalu penuh dengan catatan-catatan kecil, dan rak buku yang berantakan oleh berbagai novel dan jurnal. Tapi satu hal yang tidak biasa adalah suasana hening yang melingkupi rumah itu. Biasanya, rumah Aila selalu terasa hangat dengan tawa dan percakapan mereka, namun kini hanya ada kesunyian yang mencekam.

Ia memanggil nama Aila dengan suara pelan, berharap sahabatnya muncul dari ruang lain dengan senyum khasnya. “Aila? Kamu di mana?” panggilnya, namun tidak ada jawaban. Lalu, Alya melangkah lebih dalam, menuju kamar Aila yang terletak di lantai atas.

Di depan kamar Aila, Alya berdiri sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu dengan hati-hati. Pemandangan yang menyambutnya adalah hal yang paling tidak terduga. Kamar Aila tampak rapi, namun ada beberapa hal yang tidak biasa. Buku-buku yang biasanya berserakan di meja belajar kini tertata rapi, hampir terlalu rapi. Tidak ada barang yang tersisa sembarangan. Bahkan, gorden yang biasanya sedikit terlipat kini tertutup dengan rapat. Aila selalu membiarkan sedikit cahaya matahari masuk melalui celah itu.

Alya melangkah masuk dan menatap sekitar kamar itu dengan cermat. Ada sesuatu yang terasa janggal, tetapi ia tidak bisa langsung menempatkannya. Pandangannya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidur, di mana sebuah surat tergeletak. Itu adalah surat yang tidak dikenali oleh Alya. Tidak seperti biasanya, Aila selalu menulis catatan kecil di kertas atau di ponselnya. Namun kali ini, surat itu terlipat dengan rapi, seolah sengaja diletakkan di tempat itu.

Alya mengambil surat tersebut dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya tertulis pesan singkat, namun mengandung banyak hal yang tidak ia mengerti.

“Maafkan aku, Alya. Ada sesuatu yang harus kulakukan, sesuatu yang tidak bisa kuhindari. Aku harus pergi. Jangan cari aku, karena itu hanya akan membahayakanmu. Semua ini sudah terlambat. Aku… aku akan baik-baik saja.”

Pesan itu terasa asing. Kata-kata itu seperti sebuah peringatan yang tidak dapat ia pahami sepenuhnya. Mengapa Aila harus pergi? Apa yang terjadi padanya? Alya merasa seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Dengan tangan gemetar, Alya meletakkan surat itu kembali di meja dan berjalan ke seluruh sudut kamar, mencari lebih banyak petunjuk. Di balik meja belajar, ia menemukan sebuah peta kecil yang tampaknya telah dipelintir dan disembunyikan dengan ceroboh. Peta itu tampak kuno, dengan garis-garis yang tampaknya menunjuk ke tempat yang sangat jauh dari kota mereka. Ada tanda-tanda tertentu yang dicoret dengan pena, mengarah ke titik yang sangat terpencil di luar kota. Alya merasa peta itu adalah kunci untuk menemukan Aila.

Namun, tidak hanya itu. Alya juga menemukan sebuah benda kecil yang tergeletak di lantai, terjatuh dari dalam lemari. Itu adalah cincin kecil yang sangat familiar. Cincin yang selalu dipakai Aila di jari manisnya. Alya mengambil cincin itu dengan hati-hati, perasaan cemas semakin menyelimuti dirinya. Cincin itu bukan hanya sebuah perhiasan biasa, melainkan simbol yang sangat berarti. Aila sering bercerita bahwa cincin itu diwariskan oleh ibunya, dan menjadi bagian dari kenangan terpenting dalam hidupnya.

Alya memegang cincin itu erat, mencoba mencerna semua petunjuk yang ada. Sementara itu, pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Apakah Aila terlibat dalam sesuatu yang berbahaya? Mengapa ia tidak memberitahunya apapun? Dan mengapa ia pergi begitu tiba-tiba tanpa memberi penjelasan?

Dengan cincin di tangan dan peta yang menunjukkan arah yang jelas, Alya tahu bahwa ia harus mengikuti jejak ini, tak peduli betapa berbahayanya. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Segalanya terasa begitu misterius, dan meskipun ketakutan menyelip di dalam hatinya, tekadnya untuk menemukan Aila lebih kuat dari rasa takut yang menguasainya. Ini adalah awal dari pencarian yang akan membawa Alya ke dalam misteri yang lebih dalam dan gelap, yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Sambil meninggalkan kamar Aila, Alya memutuskan satu hal pasti: ia tidak akan berhenti sampai ia menemukan jawaban tentang hilangnya sahabatnya yang sangat ia cintai.*

Bab 2: Jejak yang Tertinggal

Alya menatap peta yang ada di tangannya, perasaan gelisah semakin mendalam. Titik yang dicoret pada peta itu mengarah ke sebuah tempat yang sangat terpencil, jauh dari kota mereka. Tempat itu, menurut legenda yang pernah didengarnya, adalah Hutan Gelap, sebuah hutan yang tidak pernah dijamah oleh orang-orang desa sekitar karena reputasinya yang menyeramkan. Banyak cerita tentang orang-orang yang hilang atau bertemu dengan kejadian aneh ketika mencoba memasuki hutan itu, dan Alya tidak pernah menyangka Aila akan terlibat dalam hal yang seperti itu.

Ia menggenggam erat peta tersebut dan memasukkannya ke dalam tas, lalu bergegas keluar dari rumah Aila. Sejenak, ia berdiri di halaman rumah yang tenang. Semua tampak normal, tetapi ada perasaan tidak wajar yang mengendap di hatinya. Perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggunya di luar sana, sesuatu yang bahkan tidak dapat dijelaskan oleh akalnya. Namun, keinginannya untuk menemukan Aila dan mengungkap misteri yang menyelimutinya jauh lebih besar daripada rasa takut yang muncul.

Alya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota terlebih dahulu. Jika ia ingin mengetahui lebih banyak tentang Hutan Gelap, ia harus memulai dengan informasi yang lebih jelas dan pasti. Beberapa orang mungkin tahu lebih banyak tentang tempat itu, dan mungkin saja ada sesuatu yang terlewatkan. Di perpustakaan, Alya menemukan beberapa buku tua tentang sejarah desa dan hutan tersebut. Buku-buku itu tidak banyak memberikan informasi konkret, tetapi cukup mengerikan. Banyak yang menuliskan bahwa hutan tersebut adalah tempat yang dipenuhi oleh misteri dan kegelapan, dengan banyak cerita tentang hilangnya orang-orang yang berani memasuki hutan tersebut, terutama pada malam hari.

Namun, ada satu hal yang mencuri perhatian Alya. Dalam salah satu buku tua, ia menemukan sebuah catatan kecil yang diselipkan di antara halaman yang sudah usang. Catatan itu bertuliskan:

“Siapa yang menjejakkan kaki di Hutan Gelap, akan mendengar suara yang tak dapat dijelaskan. Itu bukan hanya suara angin, bukan hanya bisikan semata. Mereka yang pergi akan dibimbing oleh sesuatu yang tak terlihat, menuju tempat yang tak bisa mereka kembali dari.”

Alya merasa darahnya berdesir. Catatan itu tampaknya adalah peringatan yang nyata. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang terjadi di dalam hutan itu. Namun, catatan tersebut juga memberi petunjuk penting: ada sesuatu yang mengarahkan orang-orang yang hilang, sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Malam mulai menjelang, dan Alya merasa waktu semakin sempit. Ia memutuskan untuk melanjutkan pencariannya ke arah yang lebih jauh, mengikuti petunjuk yang ada di peta. Ia keluar dari perpustakaan dan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh peta itu, menuju gerbang yang mengarah ke Hutan Gelap. Jalan menuju hutan itu sepi, dengan pepohonan besar yang menghalangi cahaya matahari. Meski saat itu masih siang, bayangan dari pepohonan yang lebat memberikan kesan bahwa malam telah datang lebih cepat.

Alya berjalan perlahan, matanya tertuju pada jalan setapak yang semakin sempit dan berkelok-kelok. Semua yang ada di sekitar hutan ini tampaknya terabaikan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara burung dan daun-daun yang berdesir ditiup angin. Alya merasakan hawa yang semakin dingin seiring mendekatnya ia pada perbatasan hutan yang lebih dalam. Hatinya semakin berdebar, namun ia tidak bisa mundur. Aila membutuhkan pertolongannya.

Ia memeriksa peta lagi, memastikan bahwa ia tidak salah arah. Titik yang ditandai dengan lingkaran itu semakin jelas menunjukkan bahwa ia berada di jalur yang benar. Namun, semakin dalam ia masuk, semakin terasa ada sesuatu yang aneh. Sesekali, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya, tetapi ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa. Hanya hutan yang sunyi, dan kabut tipis yang mulai turun.

Tanpa disadari, Alya sudah semakin jauh dari jalan setapak. Semakin dalam ia berjalan, semakin terasa ada sesuatu yang mengikutinya. Sesuatu yang tidak terlihat, namun memberikan perasaan terperangkap. Sesuatu yang seolah-olah memanggilnya, membawa langkahnya semakin jauh ke dalam hutan. Ia terus melangkah, tidak dapat menahan dorongan untuk mengikuti suara yang mengusiknya.

Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang mengerikan. Di depan, ada sebuah patung batu besar yang terletak di tengah-tengah jalan setapak. Patung itu menggambarkan sosok yang aneh, dengan mata kosong yang terukir dalam batu hitam. Raut wajahnya tampak menyeramkan, seolah-olah memandang langsung ke arah Alya. Meskipun patung itu tidak bergerak, Alya merasakan hawa dingin yang begitu kuat, seolah patung itu hidup dan mengawasinya.

Di sekitar patung, terdapat banyak bunga hitam yang tumbuh liar, seolah-olah tumbuhan itu tidak pernah dilihat sebelumnya. Alya berhenti sejenak, menatap patung tersebut dengan penuh rasa penasaran. Tanpa ia sadari, ponselnya berbunyi. Alya dengan cepat mengeluarkannya, berharap itu adalah kabar dari Aila. Namun, yang ia temui hanyalah pesan yang sangat singkat, yang dikirim oleh seseorang yang tidak dikenal. Pesan itu bertuliskan:

“Jangan lanjutkan perjalananmu, Alya. Aila sudah tidak ada di sana lagi.”

Pesan itu seolah datang dari dunia lain, begitu menakutkan. Alya merasa tubuhnya membeku seketika. Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah itu hanya lelucon? Ataukah itu benar-benar peringatan? Namun, seberapapun takutnya, Alya merasa bahwa ia harus melanjutkan perjalanan ini. Aila masih ada di suatu tempat, dan ia harus menemukan jejaknya.

Dengan tekad yang semakin kuat, Alya melangkah melewati patung tersebut. Tetapi setiap langkah yang diambil terasa semakin berat. Seperti ada tangan tak terlihat yang menariknya ke dalam kegelapan, seolah ia telah melewati batas yang tidak seharusnya ia lewati.

Alya mengingat kembali semua hal yang pernah diceritakan Aila tentang hutan ini. Hutan yang tak pernah dijamah oleh orang-orang, yang penuh dengan rahasia dan kutukan. Semua cerita yang dulu terdengar seperti dongeng, kini terasa nyata dan menakutkan. Ia tidak tahu apakah ia sedang melangkah menuju ajalnya sendiri, atau apakah ia benar-benar akan menemukan Aila di balik kegelapan ini.

Namun, satu hal yang pasti: Jejak yang tertinggal oleh Aila membawanya semakin jauh ke dalam misteri yang mengerikan.*

 

Bab 3: Rumah Tua yang Ditinggalkan

Alya berjalan dengan hati-hati menyusuri jalan setapak yang semakin sempit, diterangi hanya oleh sinar rembulan yang terhalang oleh pepohonan tinggi di sekitarnya. Hawa dingin semakin menusuk kulitnya, namun ia tak bisa mundur. Jejak Aila semakin memudar, namun peta yang ada di tangannya mengarahkannya pada sebuah titik yang lebih jauh. Titik yang tampaknya merupakan tujuan terakhir yang harus ia tuju. Setelah beberapa jam berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya Alya sampai di sebuah tempat yang sangat berbeda. Sebuah rumah tua berdiri di tengah hutan, tertutup oleh tanaman liar yang hampir menutupi seluruh bangunannya.

Rumah itu tampak seperti peninggalan dari masa lalu yang terlupakan. Dindingnya yang retak dan kusam seakan menceritakan kisah tentang keheningan yang telah lama melingkupi tempat ini. Pintu kayu yang sudah tua tampak terkatup rapat, namun ada celah kecil yang menunjukkan bahwa rumah itu pernah dihuni oleh seseorang, atau mungkin masih ada yang tinggal di sana. Alya merasa ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat, meskipun perasaan takut mulai merayap.

Di sekitar rumah, tidak ada suara apapun, hanya angin yang berbisik lembut di antara pepohonan. Begitu Alya melangkah lebih dekat, ia bisa melihat bahwa rumah itu memang sudah lama tidak dihuni. Beberapa jendela pecah dan ditutupi oleh debu tebal, sementara tanaman liar merambat ke mana-mana, menciptakan suasana yang semakin suram. Sesuatu dalam dirinya memberontak, menyarankan untuk berhenti dan pergi, namun rasa penasaran dan dorongan untuk menemukan Aila lebih kuat.

Alya menghampiri pintu depan yang terbuat dari kayu tua dan mulai mendorongnya dengan hati-hati. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, seolah-olah mengeluarkan keluhan panjang setelah bertahun-tahun terkunci. Di dalam, hanya ada kegelapan yang menyelimuti, tidak ada cahaya yang masuk selain dari cahaya bulan yang menerobos melalui celah-celah dinding. Alya mengeluarkan senter dari tasnya dan menyalakannya, sinarnya menerangi ruang yang tampak seperti ruangan yang telah lama ditinggalkan.

Dinding rumah itu dipenuhi dengan cat yang sudah mengelupas, dan lantainya penuh dengan debu yang tebal. Beberapa perabotan tua masih ada di tempatnya, namun terlihat usang dan rusak. Meja makan kayu yang terletak di tengah ruang utama tampaknya menjadi satu-satunya barang yang masih tampak kokoh, meskipun tergores dan kotor. Di sudut ruangan, sebuah rak buku tua tampak hampir ambruk, buku-buku yang ada di dalamnya tampak berdebu dan kusam.

Namun, di balik semua ketuaan itu, Alya merasakan sesuatu yang ganjil. Ada perasaan tidak nyaman yang menyelimuti dirinya, seperti ada mata yang terus mengawasi. Ada aura yang aneh, yang mengingatkan pada cerita-cerita gelap yang selalu dibicarakan orang tua tentang tempat-tempat terkutuk di sekitar hutan. Tapi ia tak bisa berhenti. Aila harus ada di sini, atau setidaknya ada petunjuk yang mengarahkannya ke tempat yang lebih jelas.

Alya mulai melangkah lebih dalam, menelusuri ruangan demi ruangan dengan hati-hati. Tak lama, ia sampai pada sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik tirai usang yang sudah robek. Pintu itu tidak tampak seperti pintu biasa, lebih mirip pintu masuk ke ruang bawah tanah atau ruang tersembunyi yang telah lama tidak terjamah. Tanpa berpikir panjang, Alya membuka pintu tersebut. Suara kayu yang berderit memecah kesunyian, dan Alya pun turun ke bawah dengan perlahan.

Di ruang bawah tanah itu, suasananya jauh lebih gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah kecil di dinding batu. Saat Alya menyalakan senter, ia menemukan sebuah ruang besar yang dipenuhi dengan berbagai benda tua, sepertinya peninggalan dari zaman yang sangat jauh. Beberapa meja kayu tergeletak di sekitar, penuh dengan kertas-kertas kuno yang tampaknya sudah tidak terbaca lagi. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Di sudut ruangan, sebuah kotak kayu yang tampaknya terkunci menarik perhatian Alya.

Kotak itu tampak sangat kuno, dengan ukiran yang rumit di sekelilingnya. Pintu kotak itu tertutup rapat, dan Alya merasa ada sesuatu yang sangat penting tersembunyi di dalamnya. Tanpa ragu, ia membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Di dalam kotak, terdapat sebuah cincin batu yang tampaknya sangat tua. Batu cincin itu berkilau samar di bawah sinar senter, dan Alya merasa ada daya tarik yang kuat dari benda itu. Cincin itu sama persis dengan cincin yang selalu dipakai oleh Aila.

Alya tertegun sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ditemukan. Cincin itu adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa Aila pernah berada di sini, dan kemungkinan besar, cincin itu adalah petunjuk yang Aila tinggalkan untuknya. Tetapi mengapa cincin itu ada di sini, dalam kotak yang terkunci di ruang bawah tanah yang tertutup rapat? Ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar sebuah pencarian hilangnya sahabatnya.

Sambil memegang cincin itu, Alya mencoba untuk mencari petunjuk lain di sekitar ruangan. Matanya tertuju pada sebuah peta kuno yang tergulung rapi di atas meja. Peta itu menunjukkan lokasi yang berbeda, dan ada beberapa titik yang dicoret, salah satunya mengarah pada rumah ini, sementara yang lainnya mengarah ke tempat yang lebih dalam di dalam hutan. Alya mengernyit, peta ini jelas berkaitan dengan apa yang sedang terjadi. Semua petunjuk ini seolah-olah disusun untuk mengarahkannya pada suatu kebenaran yang lebih gelap, yang tidak ingin diketahui oleh siapapun.

Tiba-tiba, Alya merasakan hawa yang semakin berat. Ada angin dingin yang berhembus, meskipun tidak ada sumber angin yang jelas. Dinding rumah itu seolah bergetar perlahan, dan Alya merasa seolah ia tidak sendirian di dalam rumah itu. Ia menoleh ke belakang, merasa seperti ada mata yang memandanginya. Setiap suara yang datang, meskipun hanya bisikan halus, terasa begitu nyata dan memekakkan telinga.

Alya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, membawa cincin dan peta yang baru saja ia temukan. Namun, saat ia hendak keluar, sebuah suara teriakan perempuan terdengar dari lantai atas rumah itu, suara yang begitu mengenalnya. Suara itu adalah suara Aila.

Dengan jantung yang berdebar kencang, Alya berlari menuju tangga dan menaiki setiap anak tangga dengan cepat. Teriakan itu semakin jelas, semakin mendekat. Tetapi ketika ia sampai di atas, tidak ada siapa-siapa. Semua pintu terkunci rapat, dan tidak ada jejak Aila yang bisa ditemukan. Yang ada hanya kesunyian yang semakin mencekam.

Alya merasakan kekuatan yang tak terlihat menariknya, seolah ia telah memasuki sebuah dunia lain yang penuh dengan rahasia dan ancaman yang mengerikan. Rumah ini, dengan segala misterinya, tampaknya lebih dari sekadar tempat yang ditinggalkan. Ini adalah rumah yang menyimpan lebih banyak rahasia dari yang bisa ia bayangkan.*

Bab 4: Kutukan yang Terungkap

Alya berdiri di tengah-tengah ruang yang sepi, perasaan tidak nyaman merayapi setiap inci tubuhnya. Walaupun ia sudah memeriksa setiap sudut ruangan, tak ada jejak Aila. Suara teriakan yang baru saja ia dengar pun tiba-tiba menghilang, seakan-akan itu hanyalah ilusi dari ketakutannya sendiri. Tetapi, perasaan cemasnya terus mengganjal, dan kini ia tahu dengan pasti bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan rumah ini.

Peta yang ia temukan di ruang bawah tanah tadi masih terbungkus rapat di tas, namun cincin yang ia pegang erat-erat semakin terasa berat, seolah mengingatkannya bahwa ia sudah terjerat dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pencarian sahabat yang hilang. Perasaan seperti ada mata yang mengawasinya semakin menyesakkan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kehati-hatian, seolah bumi ini bisa saja menghisapnya kapan saja.

Alya mencoba menenangkan dirinya, menarik napas panjang, dan memutuskan untuk kembali ke ruang bawah tanah. Mungkin di sana, ada petunjuk lebih lanjut tentang apa yang sedang terjadi. Sebelum pergi, ia melirik sekelilingnya sekali lagi, memastikan tidak ada hal yang terlupakan. Namun begitu, langkahnya terhenti di pintu depan. Sesuatu yang aneh terjadi—pintu itu kini terlihat terkunci, meskipun sebelumnya ia meninggalkannya terbuka. Alya mendekat dengan ragu, meletakkan tangan di gagang pintu, dan mencoba membukanya. Pintu itu tidak bergerak. Perasaan semakin mencekam.

“Sesuatu yang salah sedang terjadi,” gumamnya, hampir tanpa suara. Ia tahu bahwa rumah ini tidak hanya kosong, tetapi kini seolah-olah ia ditahan di dalamnya.

Tanpa banyak pilihan, Alya memutuskan untuk turun kembali ke ruang bawah tanah. Ia menyusuri lorong gelap yang semakin sempit. Suasana semakin aneh, dan hawa dingin yang menusuk tubuh terasa semakin kuat. Setiap langkah yang ia ambil diiringi oleh suara gemerisik daun kering, meskipun di luar tak ada angin sedikit pun.

Begitu sampai di ruang bawah tanah, Alya mengatur napas. Mata senter yang dipegangnya menyinari ruangan yang dipenuhi benda-benda kuno. Di atas meja, peta yang ditemukan sebelumnya kini tampak lebih jelas. Alya menyebarkan peta itu dengan hati-hati di atas meja, mencoba untuk memahaminya lebih jauh. Setiap detail pada peta itu mulai membuatnya merinding. Ada satu titik yang tampaknya lebih menonjol dibandingkan titik lainnya—titik yang berada tepat di pusat hutan, di sebuah tempat yang tidak pernah disebutkan dalam legenda atau cerita desa.

Tiba-tiba, saat Alya memindahkan peta ke sisi lain meja, sesuatu yang mencurigakan menarik perhatiannya. Sebuah lukisan tua yang tergantung di dinding sebelah kiri ruang bawah tanah, yang sebelumnya tak ia perhatikan. Lukisan itu menggambarkan sebuah ritual kuno yang sangat menyeramkan, dengan banyak manusia yang berbaris dalam lingkaran, menghadap sebuah patung batu besar yang menyerupai sosok dewa dengan wajah menakutkan. Di bawah patung tersebut, terlihat ada sungai yang mengalir deras, dengan bayangan tubuh seseorang yang tenggelam di dalamnya.

Lukisan itu memancarkan aura yang begitu gelap, seperti mengundang Alya untuk lebih mendalaminya. Ada sesuatu yang familiar dalam lukisan itu—sesuatu yang ia kenali, meskipun ia tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Lalu, tiba-tiba, ia menyadari sebuah detail kecil di sisi bawah lukisan: sebuah simbol yang tampaknya identik dengan cincin yang ia temukan tadi. Cincin yang sekarang melingkar di jarinya.

Alya merasa kakinya lemas, seolah ada sesuatu yang menariknya lebih dekat ke lukisan itu. Ia berjalan perlahan, merasa seakan-akan ada suara yang memanggilnya. Begitu ia mendekat, dunia seolah berputar. Di sekitar lukisan, Alya merasa ada perubahan yang sangat halus, sebuah getaran yang datang dari bawah tanah, seakan rumah itu mulai hidup. Suara gemerisik terdengar semakin keras, semakin jelas, hingga akhirnya Alya mendengar suara berat seperti suara langkah besar yang berasal dari kedalaman tanah.

“Apakah ini yang disebut dengan kutukan?” Alya bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah tidak tahu lagi apakah ia sedang berhadapan dengan kenyataan atau ilusi yang diciptakan oleh kekuatan gelap. Namun satu hal yang pasti, ia kini berada di tempat yang sangat salah, di waktu yang sangat salah.

Mata Alya tertuju pada sebuah buku tua yang terletak di atas meja, terbungkus kain lusuh. Buku itu tampak usang dan hampir hancur. Dengan hati-hati, ia membuka halaman pertama, dan tulisan yang ada di dalamnya langsung membuat darahnya membeku. Buku itu berisi catatan yang menceritakan tentang kutukan kuno yang menghantui daerah ini selama berabad-abad. Kutukan itu bermula dari sebuah ritual pemujaan yang dilakukan oleh penduduk setempat pada zaman dahulu. Ritual tersebut bertujuan untuk memanggil kekuatan gelap yang dapat memberi mereka kekuasaan dan kemakmuran. Namun, sebagai imbalannya, mereka harus mengorbankan satu jiwa setiap seratus tahun—sebuah jiwa murni yang akan dibawa ke dalam sungai hitam di pusat hutan dan tenggelam di sana, dikubur dalam kegelapan selamanya.

Alya merasa mual membaca setiap kata yang tercetak di halaman buku itu. Dalam beberapa kalimat berikutnya, ia membaca tentang patung batu besar yang ada di lukisan itu. Ternyata, patung tersebut adalah penghubung antara dunia manusia dan dunia gelap yang terperangkap dalam kutukan. Setiap orang yang mencoba menghentikan ritual tersebut akan menghadapi kekuatan gelap yang tidak bisa dilawan.

Hati Alya berdegup kencang. Semuanya mulai terhubung—Aila, cincin itu, dan hutan. Semua ini tidak bisa lagi dianggap sebagai kebetulan. Aila pasti telah menemukan kutukan itu. Dan kini, Aila terjebak dalam kegelapan yang tak dapat dihindari.

Sambil menggenggam buku itu dengan gemetar, Alya memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia harus tahu lebih banyak tentang kutukan ini jika ia ingin menyelamatkan Aila. Ia harus menemukan cara untuk menghentikan ritual yang mengerikan ini sebelum semuanya terlambat. Namun, saat ia hendak melangkah keluar dari ruang bawah tanah, tiba-tiba sebuah suara bergema di sekelilingnya, membuat seluruh tubuhnya membeku.

“Alya,” suara itu terdengar begitu familiar, namun juga sangat asing, “Kau sudah terlalu jauh…”

Alya terbelalak, berbalik secepatnya, tetapi yang ia lihat hanya bayangan gelap yang menghilang begitu cepat. Suara itu kembali terdengar, lebih dekat, lebih mengancam. Dalam kegelapan yang semakin pekat, Alya menyadari satu hal yang mengerikan—bahwa kutukan itu tidak hanya melibatkan Aila. Tetapi kini, dirinya pun terjerat di dalamnya.*

Bab 5: Penghuni Bayangan

Alya berdiri kaku di tengah ruang bawah tanah yang gelap, merasakan udara dingin yang semakin tebal mengelilinginya. Suara langkah kaki yang terdengar tadi seperti menggema di seluruh ruangan, namun ketika ia berbalik, tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada bayangan gelap yang berpendar samar, seakan mengintai dari balik dinding batu yang retak. Nafasnya tercekat, dan ia merasa jantungnya berdegup begitu kencang hingga hampir terasa di tenggorokan. Ketakutan yang tidak bisa dijelaskan menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Siapa itu?” suara Alya bergema rendah, hampir terbungkus ketakutan. Suara itu seakan menjawab dengan sebuah bisikan lembut yang datang dari dalam kegelapan, semakin lama semakin jelas, meski kata-katanya tak bisa ia pahami dengan pasti.

“Sudah terlambat,” suara itu terdengar begitu dalam, serak, seperti suara yang datang dari kedalaman bumi yang gelap. “Kamu sudah terperangkap di sini, seperti kami.”

Alya berbalik dengan cepat, mencari sumber suara itu, tetapi tidak ada siapa pun. Keheningan semakin mencekam, namun suara itu terus menggema di pikirannya, membuat bulu kuduknya berdiri. Ketegangan yang ada di ruang itu begitu nyata, menyesakkan dada.

“Siapa kami?” tanya Alya dengan suara terbata, mencoba menenangkan dirinya, meskipun seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi di balik ini semua. Sesuatu yang melibatkan Aila, dirinya, dan kutukan yang tak terungkapkan itu.

Tiba-tiba, dari balik bayangan di sudut ruangan, sebuah sosok muncul, perlahan-lahan keluar dari kegelapan. Sosok itu tinggi, namun tubuhnya hampir tak terlihat jelas karena bayangannya yang begitu pekat. Hanya matanya yang bersinar terang, menyala dengan warna merah menyala, seperti api yang tak dapat dipadamkan. Matanya tajam, menembus langsung ke dalam diri Alya, seolah membaca setiap ketakutan dan keraguannya.

“Aku adalah penghuni bayangan,” suara sosok itu terdengar seperti gema dari masa lalu, bergetar di udara yang tebal dengan energi gelap. “Kami adalah jiwa-jiwa yang terjebak dalam kutukan ini. Tidak ada yang bisa keluar dari sini.”

Alya merasakan tubuhnya terhuyung, hampir terjatuh. Rasa takut yang begitu mendalam menyelimuti hatinya. Ia tahu bahwa sosok di hadapannya bukan manusia, atau mungkin juga pernah menjadi manusia, tetapi kini ia bukan lagi makhluk hidup. Itu adalah penghuni bayangan, makhluk yang terperangkap dalam kutukan yang tak terlepas, terjebak di antara dunia manusia dan dunia gelap yang terlarang.

“Kami adalah yang pertama kali terperangkap,” lanjut sosok itu, suaranya semakin dalam dan menggetarkan. “Dulu, kami juga mencoba untuk menghentikan ritual itu, namun… kami tidak tahu bahwa kami akan menjadi bagian dari kutukan yang tak termaafkan ini.”

Alya merasakan tubuhnya dingin seperti es. Ia ingin berlari, tetapi kakinya terasa seperti tertanam di lantai. Setiap kata dari penghuni bayangan itu seperti jarum yang menusuk jantungnya, membuatnya semakin ketakutan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi makhluk ini, bagaimana cara keluar dari tempat yang begitu menakutkan.

“Kenapa Aila? Mengapa dia?” tanya Alya dengan suara bergetar, meskipun ia tahu jawabannya mungkin akan lebih menakutkan dari apa pun yang bisa ia bayangkan.

Sosok itu mengangkat tangannya, dan saat ia melakukannya, bayangan di sekelilingnya semakin menyatu, membentuk bentuk gelap yang menakutkan. “Aila… dia adalah jiwa yang dipilih,” kata penghuni bayangan itu dengan suara yang semakin serak. “Seperti kami dulu, ia adalah pilihan untuk menjadi korban berikutnya dari ritual itu. Hanya satu jiwa yang dapat bebas—jiwa yang terpilih.”

Alya merasa dunianya seakan runtuh. Aila, sahabatnya yang hilang, ternyata terjerat dalam kutukan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia merasa ada yang aneh dalam penjelasan itu. “Tapi… bukankah kamu semua terjebak? Bagaimana Aila bisa keluar dari sini jika dia sudah dipilih?”

Penghuni bayangan itu diam sejenak, seakan berpikir, sebelum kemudian ia menjawab, “Kami tidak tahu. Tidak ada yang tahu bagaimana kutukan ini dimulai, dan bagaimana cara menghentikannya. Tetapi ada satu cara untuk melakukannya—mengorbankan jiwa yang terpilih untuk membebaskan yang lain.”

Alya terpaku. “Kamu… maksudmu, Aila harus… mengorbankan dirinya?”

Sosok itu mengangguk perlahan. “Bukan hanya Aila. Semua yang terperangkap di sini harus memilih. Seorang jiwa akan bebas, dan yang lain harus terperangkap untuk selamanya.”

Hati Alya semakin terhimpit. Ia tidak bisa membayangkan keadaan Aila yang terperangkap dalam pilihan yang begitu sulit. Dan kini, Alya tahu bahwa ia juga menjadi bagian dari permainan yang jauh lebih besar dari yang ia duga. Rumah ini, hutan itu, bahkan cincin yang ia temukan—semuanya adalah bagian dari kutukan ini. Dan ia, bersama dengan Aila, terjerat di dalamnya tanpa bisa keluar.

“Lalu, bagaimana cara menghentikan ini?” Alya bertanya, hampir tidak percaya bahwa ia mencari cara untuk melawan kekuatan yang begitu besar.

Penghuni bayangan itu hanya menggelengkan kepala, senyum gelap mengembang di wajahnya. “Itu tidak bisa dihentikan. Ritual itu sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Dan sekarang, sudah waktunya untuk melanjutkan takdirnya.”

Alya merasa dirinya mulai kehilangan harapan. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan Aila dan menghentikan kutukan ini. Bahkan jika itu berarti ia harus melawan kekuatan yang lebih kuat dari dirinya.

Alya berbalik, bersiap untuk pergi, namun tiba-tiba penghuni bayangan itu berbicara lagi, suaranya seperti bisikan di telinga. “Jangan terlalu berharap. Hanya ada satu cara untuk menghentikan kutukan ini, dan itu bukan sesuatu yang kau inginkan.”

Alya menahan napas, tubuhnya bergetar, namun ia memutuskan untuk tidak mendengarkan kata-kata itu. Ia tahu bahwa ini adalah pertarungan yang harus ia hadapi—pertarungan untuk kehidupan sahabatnya, untuk kebebasannya, dan untuk menghentikan kutukan yang telah menguasai dunia ini selama berabad-abad.

Dengan tekad yang bulat, Alya melangkah keluar dari ruang bawah tanah, siap menghadapi apa pun yang menunggunya. Bayangan-bayangan itu mengikutinya, namun ia tidak peduli. Ia akan menemukan cara untuk menghentikan semua ini, apa pun risikonya.*

Bab 6: Ritual yang Terlarang

Alya merasa ketegangan yang mencekam semakin menguasai setiap langkahnya saat ia melangkah lebih dalam ke dalam rumah tua itu. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan bayangan yang bergerak-gerak, seakan ada mata yang mengawasinya dari segala arah. Ia merasakan jantungnya berdegup cepat, namun tekadnya semakin kuat. Aila berada di luar jangkauan tangannya, terperangkap dalam kutukan yang gelap, dan hanya satu cara untuk membebaskannya.

Langkah Alya semakin cepat ketika ia melewati lorong yang gelap. Di depan, sebuah pintu kayu yang berat terpasang, hampir tersembunyi di balik lapisan debu tebal. Seperti magnet yang tak tampak, Alya merasa seolah pintu itu menarik dirinya, membimbingnya menuju tempat yang sudah lama terlupakan. Ia tahu ini adalah tempat di mana segala sesuatu dimulai, tempat di mana ritual itu berlangsung.

Pintu itu terbuka dengan suara berderit pelan, dan Alya melangkah masuk ke ruang yang luas. Di tengah-tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri megah, dihiasi dengan simbol-simbol aneh yang hampir tidak terlihat oleh mata biasa. Udara di dalam ruangan terasa berat, penuh dengan energi yang terperangkap—energi yang menunggu untuk dilepaskan. Alya menelan ludah, merasakan ketakutan yang menyelubungi tubuhnya, namun ia tidak mundur. Ini adalah langkah terakhir. Jika ia ingin menyelamatkan Aila, ia harus menghadapinya.

Di sekitar altar, terdapat lingkaran batu yang tertata dengan sangat rapi. Setiap batu seolah dipahat dengan tangan yang sangat hati-hati, membentuk pola yang aneh namun teratur. Alya memperhatikan dengan seksama. Di dalam lingkaran itu, ada banyak benda aneh—kerangka manusia yang telah lama membusuk, tulisan kuno yang tidak bisa dibaca, dan benda-benda yang tampaknya berkaitan dengan masa lalu yang terlupakan.

Di sudut ruangan, sebuah sosok gelap berdiri memandangi Alya. Itu adalah penghuni bayangan yang ditemuinya di ruang bawah tanah sebelumnya. Wajah sosok itu tidak bisa dilihat dengan jelas, hanya mata merah yang bersinar terang, seperti api yang menari dalam kegelapan.

“Ini adalah tempatnya,” suara penghuni bayangan itu bergema, mengisi seluruh ruangan dengan ketakutan. “Tempat di mana segalanya dimulai. Di sinilah ritual itu dilakukan. Ritual yang akan memilih jiwa yang terpilih—jiwa yang akan membawa kebebasan atau kesengsaraan bagi yang lain.”

Alya mengerutkan kening, menatap altar dengan serius. “Ritual apa yang kamu maksud? Bagaimana Aila bisa terlibat dalam semua ini?”

Penghuni bayangan itu menghela napas panjang, dan saat ia berbicara, suaranya semakin serak dan penuh keputusasaan. “Ritual ini sudah berlangsung selama berabad-abad. Setiap generasi, seseorang akan terpilih untuk menjadi bagian dari ritual ini. Seseorang yang bisa menghentikan kutukan ini atau membiarkannya terus berlangsung. Aila adalah bagian dari itu. Dia adalah jiwa yang terpilih—seperti kita dulu.”

Alya menatap penghuni bayangan itu dengan penuh kebingungan dan ketakutan. “Tapi… bagaimana Aila bisa menghentikan semuanya? Bagaimana dia bisa bebas?”

“Ritual ini adalah cermin dari pilihan,” jawab penghuni bayangan itu. “Jika jiwa terpilih memilih untuk mengorbankan dirinya untuk membebaskan yang lain, kutukan ini akan berakhir. Namun, jika jiwa terpilih menolak untuk mengorbankan dirinya, maka dia akan terperangkap di sini selamanya, menjadi bagian dari kami.”

Alya terdiam, pikirannya berkecamuk. Aila harus membuat pilihan yang paling sulit dalam hidupnya, antara mengorbankan dirinya atau mengorbankan yang lain. Itu adalah pilihan yang tidak bisa dimengerti, namun Alya tahu bahwa Aila tidak akan bisa keluar dari sini tanpa melakukan sesuatu yang besar. “Tapi kenapa kamu tidak bisa keluar? Kenapa kalian terjebak di sini selamanya?” tanyanya dengan suara bergetar.

Sosok itu menundukkan kepala, seolah merasakan beban yang tak terucapkan. “Kami adalah korban pertama dari ritual ini. Kami mencoba untuk menghentikan ritual ini, namun kami tidak tahu betapa kuatnya kutukan itu. Kini, kami terperangkap di sini. Kami tidak bisa keluar, dan kami tidak bisa membebaskan diri kami sendiri. Tetapi jika Aila memilih untuk mengorbankan dirinya, dia akan membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap di sini, termasuk kami.”

Alya merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Ini adalah keputusan yang lebih sulit dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Aila tidak hanya harus memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terperangkap dalam kutukan ini. Namun, dalam hatinya, Alya tahu bahwa Aila tidak akan bisa melakukannya sendirian. Ia harus melakukan sesuatu, apa pun yang diperlukan.

“Jika Aila terperangkap di sini, apa yang akan terjadi pada dunia luar?” tanya Alya, suaranya hampir teredam oleh ketakutan.

Penghuni bayangan itu menjawab dengan suara serak yang penuh misteri. “Jika Aila memilih untuk tetap terjebak di sini, kutukan ini akan terus berlangsung, dan semakin banyak jiwa yang akan terperangkap. Dunia luar akan terpengaruh, karena kekuatan gelap yang mengalir dari sini akan menyebar ke seluruh dunia. Kejadian-kejadian aneh akan semakin sering terjadi, dan semakin banyak orang yang akan merasakan penderitaan yang kami alami.”

Alya merasa tubuhnya semakin berat. Ia tahu bahwa jika ia tidak segera bertindak, Aila akan terperangkap dalam kutukan ini selamanya. Ia harus mencari cara untuk menghentikan ritual ini, mengungkap rahasia yang tersembunyi, dan membebaskan Aila dari takdir yang mengerikan ini.

Dengan langkah tegap, Alya maju ke altar, bertekad untuk mengakhiri semua ini. “Aku akan mencari cara untuk menghentikan ritual ini,” katanya dengan suara penuh tekad. “Aku akan menyelamatkan Aila.”

Sosok penghuni bayangan itu hanya mengangguk pelan. “Jika kamu bisa menemukan cara untuk menghentikannya, maka dunia akan selamat. Tapi ingatlah, tidak ada yang bisa membalikkan waktu. Jika kamu salah langkah, maka semua yang ada di sini—semua yang terperangkap—akan tetap terperangkap, dan kutukan ini akan terus berlanjut.”

Alya tidak menghiraukan kata-kata itu. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur. Aila membutuhkan bantuannya, dan ia akan melakukannya, meskipun jalan di depannya penuh dengan bahaya dan kegelapan yang tak terbayangkan.

Dengan tekad yang bulat, Alya melangkah maju, siap untuk menghadapi segala sesuatu yang menunggu di depan—dan mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di balik ritual yang terlarang ini.*

Bab 7: Kebenaran yang Menghantui

Langit malam di luar rumah tua itu tampak sangat gelap, seolah-olah dunia di luar sana mengabaikan apa yang terjadi di dalam tembok batu yang sudah lapuk. Alya berdiri di hadapan altar yang sudah lama terlupakan, tubuhnya lelah, namun pikirannya tetap terjaga. Di balik bayangan yang mengintai, kebenaran yang mengerikan semakin terbuka. Setiap langkahnya menuju ruangan ini, setiap detik yang ia habiskan di dalamnya, semakin membawanya mendekat pada akhir yang tak terhindarkan—sebuah akhir yang tidak hanya akan menentukan nasib Aila, tetapi juga seluruh dunia.

Alya mendekatkan dirinya ke altar batu, memperhatikan dengan cermat simbol-simbol kuno yang terukir di atasnya. Ia mencoba memahami apa yang tersembunyi di balik semua ini, mencari tahu bagaimana cara menghentikan ritual ini dan menyelamatkan Aila. Semua informasi yang ia dapatkan sebelumnya mulai saling menyambung, namun masih ada satu bagian yang belum ia mengerti sepenuhnya. Sesuatu yang lebih besar dan lebih jahat daripada yang ia duga.

Sosok penghuni bayangan yang ia temui di ruang bawah tanah muncul lagi di hadapannya, matanya yang merah menyala memancarkan cahaya yang menakutkan. Kali ini, ia tampak berbeda—lebih tenang, namun ada keputusasaan yang jelas terlihat di wajahnya yang tak terlihat dengan jelas. Ia tahu Alya sedang mencari jawaban yang lebih dalam, dan dia tidak akan memberikannya begitu saja.

“Jangan berpikir kamu bisa menghindari takdir ini,” kata sosok itu dengan suara yang lebih serak dari sebelumnya. “Ini bukan sesuatu yang bisa dihentikan dengan kemauan manusia. Ini adalah kebenaran yang sudah tertanam dalam darah kita, dalam tanah ini. Kebenaran yang mengikat semua jiwa yang terperangkap di dalam kutukan ini.”

Alya merasakan dadanya sesak, jantungnya berdebar semakin cepat. “Apa maksudmu? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Aila terpilih? Kenapa harus ada pengorbanan?”

Sosok itu melangkah lebih dekat, dan suara bisikan itu mengisi seluruh ruangan. “Kebenaran yang paling gelap, yang tidak ingin kau ketahui, adalah bahwa ritual ini dimulai jauh sebelum kalian dilahirkan. Keluarga Aila, seperti keluarga kami, adalah bagian dari darah yang terkutuk. Mereka adalah keturunan dari mereka yang pertama kali melakukan kesalahan—kesalahan yang membuka pintu bagi kekuatan yang lebih gelap dari dunia ini.”

Alya terdiam. “Apa maksudmu, kekuatan gelap? Apakah ini ada hubungannya dengan artefak yang kalian sebutkan?”

“Ya,” jawab penghuni bayangan itu, “itu adalah artefak yang pertama kali ditemukan oleh leluhurmu—sebuah benda yang memberi kekuatan pada mereka untuk mengendalikan waktu dan jiwa. Namun, dengan kekuatan besar itu datanglah harga yang harus dibayar. Setiap jiwa yang terlibat dalam ritual ini harus memberikan pengorbanan. Dan Aila, seperti kami, adalah bagian dari nasib yang tak terelakkan.”

Alya merasa seolah seluruh dunia berputar di sekelilingnya. Semua yang ia ketahui, semua yang ia pelajari selama ini, tampak seperti sebuah kebohongan besar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Aila, sahabat yang selalu ceria dan penuh semangat, bisa terlibat dalam sesuatu yang begitu kelam dan mengerikan.

“Keluarga Aila,” lanjut sosok itu dengan suara penuh keputusasaan, “adalah keturunan dari para penjaga artefak. Mereka adalah garis keturunan yang dibentuk untuk menjaga kekuatan itu. Namun, takdir mereka juga sudah ditentukan—mereka adalah penjaga sekaligus korban. Setiap generasi, salah satu dari mereka harus mengorbankan diri untuk menghentikan kutukan ini, dan Aila adalah yang terpilih kali ini.”

Alya menggelengkan kepala, berusaha mengerti, namun hatinya semakin berat. “Jadi, Aila harus mati untuk menghentikan semua ini? Dia tidak punya pilihan lain?”

“Sungguh, dia punya pilihan,” jawab penghuni bayangan itu. “Namun, pilihan itu bukanlah pilihan yang bisa dimengerti oleh manusia biasa. Setiap jiwa yang terpilih memiliki dua jalan. Salah satunya adalah mengorbankan diri mereka untuk menghentikan kutukan ini. Yang lain adalah tetap terperangkap di sini selamanya, bersama kami—jiwa yang terjebak dalam kegelapan.”

Alya merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Tapi… jika Aila memilih mengorbankan dirinya, apa yang terjadi pada dunia luar?”

“Kutukan ini akan terhapus, dan semua jiwa yang terperangkap akan bebas. Dunia luar akan aman, dan semua yang terikat oleh kutukan ini akan dibebaskan,” jawab sosok itu, dengan nada yang hampir terdengar seperti sebuah doa.

Alya merasa ada beban yang sangat berat menghimpit hatinya. Aila, sahabatnya yang penuh kehidupan, kini terperangkap dalam keputusan yang tidak manusiawi. Namun, ada satu hal yang terus berputar di pikirannya—mungkin, hanya mungkin, ada jalan lain. Sebuah jalan yang belum ia temukan, jalan yang bisa membebaskan Aila tanpa harus mengorbankan nyawa.

“Apakah benar tidak ada cara lain?” tanya Alya, matanya penuh harapan. “Apakah ritual ini tidak bisa dihentikan tanpa pengorbanan?”

Penghuni bayangan itu terdiam sejenak. Sepertinya, pertanyaan itu menggoyahkan prinsip yang telah dia yakini begitu lama. “Tidak ada yang tahu,” jawabnya pelan. “Kami terperangkap dalam kutukan ini begitu lama, sampai kami lupa bahwa ada jalan keluar. Namun, kamu bisa mencoba. Mungkin ada cara untuk menghentikan ritual ini… tapi, itu tidak akan mudah.”

Alya menatap penghuni bayangan itu dengan penuh tekad. “Aku akan menemukannya,” katanya dengan suara yang mantap. “Aku akan menemukan jalan keluar untuk Aila, dan menghentikan kutukan ini. Aku tidak akan membiarkan dia mengorbankan dirinya.”

Sosok itu hanya mengangguk, tatapannya penuh penyesalan. “Jika kamu gagal, kutukan ini akan semakin kuat, dan tidak hanya Aila yang akan terperangkap. Dunia luar pun akan merasakannya. Pilihan ada di tanganmu.”

Dengan kata-kata itu, penghuni bayangan itu menghilang ke dalam bayangan yang semakin dalam, meninggalkan Alya dengan rasa takut dan harapan yang saling beradu. Di dalam hatinya, Alya tahu bahwa waktu semakin menipis. Aila berada di ujung pilihan yang tak terelakkan, dan hanya Alya yang bisa menemukannya jalan keluar.

Namun, saat ia berdiri di tengah ruangan itu, merasa lebih terhubung dengan kutukan yang mengikat rumah ini, Alya tahu satu hal—kebenaran yang mengerikan ini akan menghantui mereka berdua, tidak peduli apa pun yang terjadi.*

Bab 8: Kegelapan yang Menghilang

Alya berdiri di depan altar kuno, tubuhnya gemetar, bukan karena rasa takut, tetapi karena kekuatan yang mengalir begitu deras dalam dirinya. Dalam kegelapan malam yang tebal, cahaya dari lilin-lilin yang terbakar di sekitar ruangan tampak seperti titik-titik kecil yang sangat rapuh, seakan tak mampu menahan kelam yang semakin mendalam. Waktu seolah berhenti sejenak, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.

Alya menatap batu altar di depannya, simbol-simbol kuno yang terukir dengan rapi dan penuh misteri itu mengingatkannya pada peringatan yang diberikan penghuni bayangan sebelumnya—bahwa ritual ini tidak hanya akan mengorbankan Aila, tetapi juga bisa membebaskan atau menghancurkan dunia. Namun, di dalam hati Alya, ada sebuah keyakinan yang tumbuh semakin kuat: bahwa masih ada cara untuk menyelamatkan Aila tanpa harus mengikuti takdir kelam yang telah digariskan oleh sejarah.

Tapi bagaimana? Bagaimana dia bisa menghentikan kutukan ini tanpa menyebabkan lebih banyak penderitaan? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam benaknya, membuat setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Rasa cemas semakin menekan dadanya, tetapi di dalam kegelisahan itu, ada sesuatu yang lain—sebuah rasa tekad yang menguatkan hatinya. Jika dunia ini harus selamat, jika Aila harus dibebaskan, maka Alya adalah satu-satunya orang yang bisa menghentikan semuanya.

Tiba-tiba, dari arah belakangnya, terdengar suara lembut yang dikenalinya dengan baik. “Alya… kamu datang tepat waktu.”

Alya berbalik dengan cepat, dan di sana, di pintu masuk ruang yang gelap ini, berdiri Aila—namun bukan seperti yang terakhir kali ia lihat. Mata Aila terlihat lebih dalam, lebih kosong, dan tubuhnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mengerikan di dalam dirinya.

“Aila…” Alya berlari mendekat, namun Aila mengangkat tangannya, menghentikan langkah Alya dengan gerakan yang tidak biasa.

“Jangan dekati aku, Alya. Ini sudah terlambat,” kata Aila dengan suara yang terdengar jauh lebih dalam dan lebih dingin dari biasanya. “Aku sudah terikat oleh kekuatan ini, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Ini takdirku.”

Alya merasa hatinya terbelah mendengar kata-kata itu. “Tidak, Aila! Ada cara untuk menghentikan semua ini! Kita bisa keluar dari sini bersama-sama, kita bisa menemukan jalan keluar!”

Aila tersenyum tipis, namun senyum itu tidak membawa kebahagiaan. Justru, itu membawa lebih banyak kesedihan. “Kamu tidak mengerti, Alya. Kutukan ini lebih kuat dari yang kamu kira. Aku bukan lagi Aila yang kamu kenal. Aku sudah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap. Bahkan jika kamu berusaha mengubah takdir ini, itu hanya akan membawamu ke jalan yang sama.”

Alya merasa air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. Ia tidak ingin kehilangan Aila—teman terbaiknya, sahabatnya yang selalu berada di sisi Alya. Tidak peduli seberapa besar kekuatan gelap yang menguasai Aila, ia tidak akan menyerah begitu saja. Alya tahu ada sesuatu yang bisa dilakukan, ada cara untuk mematahkan kutukan ini.

“Aila, dengarkan aku. Kita tidak bisa menyerah begitu saja! Ingatkah kamu semua kenangan kita? Ingatkah kamu semua yang telah kita lalui bersama?” Alya berkata dengan suara penuh harapan. “Kita masih bisa melawan. Aku akan berjuang untukmu. Kita akan keluar dari sini bersama-sama, aku janji.”

Aila menatap Alya dalam diam, matanya yang kosong perlahan berubah. Untuk pertama kalinya, ada keraguan yang muncul dalam dirinya. Namun, kekuatan gelap yang menguasai dirinya terlalu kuat untuk dilepaskan begitu saja. “Kekuatan ini sudah terlalu kuat, Alya. Aku tidak bisa keluar.”

Namun, Alya tidak mundur. Ia mengingat kembali semua yang telah dipelajarinya selama pencariannya—sebuah pengetahuan tentang simbol-simbol kuno yang terkubur di altar ini. Mungkin, ada cara untuk memutuskan kutukan ini, untuk membebaskan Aila tanpa harus mengorbankannya.

Dengan penuh keyakinan, Alya berjalan ke arah altar. Dengan hati-hati, ia menyentuh batu yang terukir dengan simbol-simbol yang telah ditunjukkan kepadanya oleh penghuni bayangan. Seiring ia menyentuh batu itu, sebuah suara bergema di dalam dirinya, sebuah suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Itu adalah suara Aila, tetapi suara itu datang dari dalam kegelapan yang mengelilingi mereka.

“Alya… kamu tahu apa yang harus dilakukan, bukan?” suara Aila terdengar begitu dekat, namun sangat jauh pada saat yang bersamaan. “Kamu tidak perlu takut. Ini adalah cara kita untuk mengakhiri semua ini.”

Tiba-tiba, Alya merasakan sebuah kekuatan yang sangat kuat mengalir dari dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia menutup matanya dan mulai mengucapkan kata-kata yang ia tidak tahu datang darimana—kata-kata yang memiliki kekuatan untuk menghentikan kutukan yang mengikat Aila. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti sebuah mantra, mengalir dalam darahnya, menembus ke dalam hati dan jiwa Aila yang terperangkap.

Di sekeliling mereka, cahaya lilin di altar mulai menyala dengan terang, mengusir kegelapan yang sebelumnya menguasai ruang itu. Perlahan, tubuh Aila terangkat dari tanah, seolah-olah kutukan itu mulai terpecah.

Namun, dalam sekejap, sebuah gelombang energi yang luar biasa mengguncang ruangan. Alya merasa tubuhnya terhempas mundur, dan pandangannya menjadi kabur. Sebuah cahaya putih menyilaukan muncul di hadapannya, menutupi semua yang ada di sekitar mereka. Ketika cahaya itu mereda, Alya melihat sesuatu yang mengejutkan.

Aila berdiri di depannya, namun tidak ada tanda-tanda kekuatan gelap di dalam dirinya. Matanya yang sebelumnya kosong kini penuh dengan kehidupan, dan tubuhnya kembali normal, seolah-olah kutukan itu tidak pernah ada.

“Alya…” Aila berbisik, suaranya lembut dan penuh rasa syukur. “Kamu berhasil. Kita bebas.”

Alya menghela napas panjang, merasa seolah beban yang sangat berat baru saja terangkat dari pundaknya. Kegelapan yang menguasai Aila telah menghilang, dan dengan itu, kutukan yang menghantui mereka juga sirna. Mereka berdua berdiri di tengah ruangan yang kini penuh dengan cahaya, dan untuk pertama kalinya, mereka bisa merasakan kedamaian.

Namun, Alya tahu bahwa ini bukan akhir dari semuanya. Meski kegelapan telah menghilang, rahasia-rahasia yang terungkap masih akan membayangi mereka. Tetapi setidaknya, untuk saat ini, mereka berhasil mengalahkan kegelapan yang pernah mengancam dunia mereka.***

————-THE END———–

Source: Agustina Ramadhani
Tags: #DesaTerkutuk#HutanBerselimutMisteri #MitologiLokal#MisteriHilangnyaAlia #HororTradisional
Previous Post

BISIKAN DARI HUTAN TERKUTUK

Next Post

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

Next Post
MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

MENGUNGKAP RAHASIA TERSEMBUNYI

PENJAGA ARTEFAK KUNO

PENJAGA ARTEFAK KUNO

RAHASIA ARTEFAK KUNO DI LEMBAH GELAP

RAHASIA ARTEFAK KUNO DI LEMBAH GELAP

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In