• Latest
  • Trending
  • All
  • Movie Review
  • Box Office
  • Trailer
  • Action
  • Romantic
  • Comedy
  • Horror
  • Serial Movie
  • Genre
MISTERI DI BALIK LAYAR CERMIN

MISTERI DI BALIK LAYAR CERMIN

January 28, 2025
DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025
JEJAK DI PINTU TERLARANG

JEJAK DI PINTU TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

KETIKA WAKTU MENYENTUH HATI

May 17, 2025
TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

TERPERANGKAP DALAM JEBAKAN TAK TERDUGA

May 17, 2025
PELARIAN DALAM KEJARAN

PELARIAN DALAM KEJARAN

May 12, 2025
HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

HIDUP YANG TAK PERNAH BERAKHIR

May 12, 2025
JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

JEJAK – JEJAK DI JALANAN KOTA

May 10, 2025
PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

PERANG DI BALIK KOTA TERKURUNG

May 10, 2025
LUKISAN YANG MENANGIS

LUKISAN YANG MENANGIS

May 10, 2025
  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
No Result
View All Result
Novel Story
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah
Novel Story
MISTERI DI BALIK LAYAR CERMIN

MISTERI DI BALIK LAYAR CERMIN

Perjalanan mengungkap kegelapan yang tersembunyi

by SAME KADE
January 28, 2025
in Misteri & Thriller
Reading Time: 19 mins read

BAB 1: BAYANGAN DI BALIK CERMIN

Malam itu, hujan turun dengan deras. Petir sesekali menyambar, menerangi ruangan kecil di galeri seni milik Amanda. Di tengah suara gemuruh yang memecah keheningan, Amanda menatap sebuah cermin besar yang baru saja tiba. Cermin itu diletakkan di sudut ruang kerjanya, bersandar pada dinding bata yang penuh dengan karya seni kaca hasil tangannya sendiri.

Cermin itu terlihat megah sekaligus menyeramkan. Bingkai kayunya yang berwarna cokelat tua dihiasi ukiran rumit berbentuk bunga mawar dan dedaunan yang hampir menyerupai pahatan tangan manusia. Ada retakan halus di beberapa tempat, memberi kesan bahwa cermin itu sudah berusia puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun.

“Luar biasa indah,” gumam Amanda sambil menyentuh bingkai cermin dengan hati-hati. Sentuhannya terasa dingin, hampir menusuk, seperti memegang es di tengah malam. Ia menarik tangannya sejenak, merasa ada yang aneh.

Cermin itu adalah hadiah dari seorang kolektor seni terkenal, Mr. Arman, yang selama ini menjadi klien tetap galeri Amanda. Saat ia mengirimkan cermin itu pagi tadi, ia hanya berkata, “Cermin ini memiliki sejarah panjang. Aku pikir tempat ini lebih cocok untuknya.”

Awalnya, Amanda tidak terlalu memikirkan kata-kata itu. Namun, saat ia menatap pantulan dirinya di permukaan cermin malam itu, ada perasaan ganjil yang tiba-tiba menyelimutinya.

Cermin itu tampak seperti cermin biasa, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Kilatan di permukaannya terasa hidup, seperti ada yang mengintip dari balik kaca. Amanda memaksa dirinya untuk mengabaikan pikiran itu.

Dia kembali ke meja kerjanya, melanjutkan memahat kaca untuk koleksi berikutnya. Namun, semakin larut malam, suasana di galeri menjadi semakin aneh.

Sekitar pukul dua dini hari, Amanda mendengar suara seperti langkah kaki di lantai kayu. Ia menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah pintu, tetapi tidak ada siapa pun.

“Angin, mungkin,” pikirnya, meski semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat.

Ia mencoba kembali bekerja, tetapi perasaan tidak nyaman itu semakin menjadi-jadi. Amanda merasa seperti diawasi. Ia mengangkat kepalanya perlahan, dan matanya tanpa sadar tertuju pada cermin di sudut ruangan.

Bayangannya sendiri ada di sana, seperti biasa. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di belakang pantulannya, samar-samar, terlihat bayangan seorang wanita.

Amanda terkesiap dan berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekati cermin dengan langkah ragu. Jantungnya berdetak kencang. Ketika ia berdiri tepat di depan cermin, bayangan itu menghilang. Hanya ada pantulannya sendiri yang terlihat.

Namun, perasaan ganjil itu tidak hilang. Ia menatap lebih dalam ke dalam cermin, seolah-olah mencoba mencari sesuatu di balik permukaannya. Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat bayangan itu lagi. Kali ini, lebih jelas.

Itu adalah seorang wanita muda dengan rambut panjang yang terurai dan tatapan tajam yang langsung menusuk hati Amanda. Wanita itu mengenakan gaun putih panjang, tetapi ada noda merah gelap di bagian bawahnya.

“Siapa… siapa kamu?” bisik Amanda, suaranya hampir tidak terdengar.

Tidak ada jawaban. Wanita itu hanya menatapnya, matanya penuh dengan amarah, tetapi juga seolah-olah memohon sesuatu. Tiba-tiba, bibir wanita itu bergerak. Amanda tidak bisa mendengar apa pun, tetapi ia bisa membaca gerakan bibir itu:

“Temukan aku…”

Amanda mundur selangkah, tubuhnya bergetar. Ia menutup matanya dan menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi akibat kelelahan.

Namun, ketika ia membuka matanya kembali, cermin itu berbeda. Di sudut bingkainya, ukiran bunga mawar itu berubah warna menjadi merah pekat, seperti darah yang baru saja mengalir.

Amanda terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi suara aneh mulai terdengar. Suara bisikan lirih yang berasal dari dalam cermin.

“Pergi dari sini… sebelum terlambat…”

Suara itu begitu jelas, seperti berbisik langsung ke telinganya. Amanda menjerit dan bangkit, lalu berlari keluar dari ruangan itu. Ia tidak berani kembali sampai pagi.

Pagi harinya, sinar matahari yang hangat menyelimuti galeri. Amanda mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi malam sebelumnya hanyalah mimpi buruk. Namun, ketika ia masuk kembali ke ruangan, cermin itu tetap berdiri di sana, dengan ukiran merah di sudutnya.

Ia mendekati cermin itu perlahan. Dengan tangan yang gemetar, ia menyentuh bingkainya lagi. Dingin. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda di dalam kaca. Sebuah angka terukir samar di sudut bawah cermin: “1895.”

“Apa artinya ini?” gumam Amanda, suaranya hampir tak terdengar.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah cermin biasa. Sesuatu yang besar dan gelap tersembunyi di balik permukaan kaca itu.

Dan malam itu, ia sadar, ini baru permulaan dari mimpi buruk yang akan datang.*

BAB 2: JEJAK MASA LALU

Pagi itu, Amanda duduk di meja kecil di kafenya yang terletak tidak jauh dari galeri. Secangkir kopi hitam yang sudah dingin ada di hadapannya, namun pikirannya melayang jauh. Bayangan wanita misterius di dalam cermin terus menghantui pikirannya. Kata-kata yang dibisikkan—“Temukan aku”—terngiang-ngiang dalam benaknya, seolah menjadi perintah yang tak bisa ia abaikan.

Cermin itu jelas bukan benda biasa, dan Amanda tahu ia harus mencari tahu asal-usulnya. Namun, dari mana ia harus memulai?

Dengan ponsel di tangan, ia mulai mencari informasi tentang Mr. Arman, kolektor seni yang memberikan cermin itu padanya. Ia membuka situs berita seni dan beberapa forum kolektor, tetapi tidak menemukan apa pun yang berkaitan dengan cermin tersebut. Amanda lalu memutuskan untuk menelepon Mr. Arman secara langsung.

Suara berat Mr. Arman terdengar dari balik telepon, terdengar lelah tetapi tetap ramah.

“Cermin itu?” jawab Mr. Arman, terdengar terkejut. “Oh, iya, itu adalah salah satu barang antik yang aku dapatkan beberapa tahun lalu dari sebuah lelang di luar negeri. Tepatnya dari Prancis.”

“Prancis?” Amanda mengulang, merasa semakin bingung.

“Ya, cermin itu berasal dari abad ke-19, dibuat oleh seorang seniman terkenal bernama Pierre Duval. Katanya, dia membuat cermin itu untuk seorang wanita bangsawan, tetapi setelah wanita itu meninggal, cermin itu dianggap terkutuk. Banyak rumor aneh tentang benda itu.”

Amanda merasa bulu kuduknya meremang. “Rumor apa maksud Anda?” tanyanya, mencoba untuk tetap tenang.

“Orang-orang mengatakan bahwa siapa pun yang memiliki cermin itu akan mengalami kejadian aneh. Ada yang mendengar suara bisikan, melihat bayangan, atau bahkan merasakan kehadiran seseorang di balik cermin. Aku sendiri tidak pernah mengalaminya, tetapi aku merasa lebih baik jika cermin itu ada di tempatmu, di galeri seni.”

Kata-kata Mr. Arman menggantung di udara. Amanda menelan ludah, mencoba mencerna informasi itu. “Apa ada dokumen atau catatan lain tentang cermin ini?”

Mr. Arman terdiam sejenak. “Ada sebuah buku kecil yang disertakan dalam paketnya. Aku akan mencarinya dan mengirimkan fotonya jika aku menemukannya.”

Setelah telepon berakhir, Amanda merasa ada beban berat di dadanya. Ia menatap layar ponselnya, merasa bahwa pencarian ini baru saja dimulai.

Kembali di galeri, Amanda berdiri di depan cermin itu lagi. Ia menatap pantulannya, mencoba mengamati setiap detail bingkai dan permukaan kacanya. Angka “1895” yang terukir di sudut bawah cermin kini terlihat lebih jelas di bawah sinar matahari.

Ia memutuskan untuk memeriksa internet dan mengetik nama “Pierre Duval” di kolom pencarian. Informasi yang ia temukan cukup banyak, tetapi ada satu artikel yang menarik perhatiannya. Artikel itu membahas karya-karya Pierre Duval yang memiliki unsur mistis.

Disebutkan bahwa salah satu karyanya, yaitu cermin yang kini berada di galeri Amanda, dibuat menggunakan teknik khusus. Pierre diduga mencampurkan abu jenazah wanita bangsawan tersebut ke dalam lapisan kaca. Hal ini dilakukan untuk “mengabadikan” jiwa wanita itu di dalam cermin.

Amanda membaca artikel itu dengan gemetar. Jika ini benar, maka cermin itu bukan hanya sekadar benda antik, tetapi juga tempat di mana sesuatu yang gelap dan mengerikan terperangkap.

Malamnya, Amanda mencoba tidur, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh gambar wanita yang muncul di dalam cermin. Ia memutuskan untuk menyalakan lampu meja dan membaca buku harian lamanya, mencoba mengalihkan pikiran.

Namun, di tengah malam, suara langkah kaki kembali terdengar di galeri. Kali ini lebih jelas, seperti ada seseorang yang berjalan bolak-balik di ruangan.

Dengan hati-hati, Amanda bangkit dari tempat tidurnya dan membawa senter kecil. Ia membuka pintu kamar, berjalan perlahan menuju galeri. Ruangan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar.

Amanda mengarahkan senter ke arah cermin. Sekilas, tidak ada yang aneh. Namun, ketika ia melangkah lebih dekat, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir menjatuhkan senter.

Di permukaan cermin, ada bekas tangan—bekas tangan kecil, seperti tangan seorang wanita—yang tampak menempel dari dalam kaca. Amanda mundur perlahan, napasnya memburu.

“Temukan aku…” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.

Amanda berbalik dan berlari keluar dari galeri, pintu tertutup di belakangnya dengan suara keras. Di luar, hujan kembali turun, seolah-olah mencoba menutupi apa yang baru saja terjadi di dalam.

Keesokan harinya, Amanda menerima pesan dari Mr. Arman. Ia mengirimkan foto beberapa halaman dari buku kecil yang ia temukan. Di salah satu halaman, tertulis:

“Cermin ini adalah penjaga rahasia masa lalu. Hanya yang berani menyelami kisah di baliknya yang akan menemukan kebenaran. Tetapi berhati-hatilah, karena kebenaran terkadang lebih menakutkan daripada kebohongan.”

Amanda membaca kalimat itu berulang kali. Ia merasa seperti sedang memecahkan teka-teki yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dan ia tahu, untuk menemukan jawabannya, ia harus menggali lebih dalam ke masa lalu cermin itu.

Namun, apa yang menantinya di balik layar cermin itu?*

BAB 3: RUMAH TERLANTAR

Pagi itu, kabut masih tebal menyelimuti jalanan saat Amanda memutuskan untuk menyusuri petunjuk terakhir yang ia dapatkan dari buku kecil milik Mr. Arman. Buku itu menyebutkan bahwa cermin tersebut pernah berada di sebuah rumah tua di pinggiran kota, tempat wanita bangsawan yang disebut Pierre Duval pernah tinggal. Rumah itu, yang kini tak terurus, konon menyimpan banyak misteri kelam.

Amanda membawa tas kecil berisi buku catatan, senter, dan ponselnya. Ia merasa gugup tetapi tekadnya sudah bulat. Informasi tentang rumah itu ia dapatkan melalui forum kolektor seni setelah melakukan pencarian intensif semalaman. Rumah itu berada di kawasan Sunter Lama, daerah yang kini dipenuhi gudang-gudang kosong dan jalanan sepi.

Ketika Amanda tiba di lokasi, pemandangan rumah itu membuat bulu kuduknya berdiri. Bangunan besar bergaya Eropa dengan dinding kusam yang terkelupas oleh waktu berdiri dengan megah di tengah-tengah pekarangan yang ditumbuhi semak belukar. Jendela-jendela rumah itu pecah, dan pintu kayunya terlihat seperti hampir roboh.

Amanda melangkah mendekat. Setiap langkah di atas kerikil pekarangan terdengar nyaring di keheningan pagi. Ia menatap ke arah pintu, dan sejenak merasa seperti ada yang mengawasinya dari balik jendela di lantai dua. Ia menggeleng, mencoba mengabaikan pikirannya sendiri.

“Ini hanya rumah tua,” bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya.

Ketika ia mencapai pintu, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, meskipun matahari pagi sudah mulai muncul. Amanda menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu itu, yang terbuka dengan suara decit panjang yang menggema.

Di dalam, bau lembap bercampur debu menyergapnya. Ruangan pertama yang ia masuki adalah ruang tamu, yang penuh dengan furnitur tua yang diselimuti kain putih berdebu. Di sudut ruangan, ada sebuah piano besar yang kayunya sudah retak, dan di dinding sebelah kanan, sebuah lukisan besar tergantung miring, gambaran seorang wanita berpakaian bangsawan dengan wajah yang terlihat terlalu familiar bagi Amanda.

“Wanita di cermin itu…” bisiknya.

Amanda mendekati lukisan itu, jantungnya berdetak kencang. Matanya menelusuri detail lukisan, mencari sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk. Di bawah lukisan itu, terdapat plakat kecil yang bertuliskan: “Madame Eloise Beaumont, 1895.” Nama itu terdengar asing tetapi terasa penting.

Amanda melanjutkan langkahnya ke ruangan lain. Ia menemukan sebuah tangga besar yang mengarah ke lantai dua, tetapi suara kecil yang bergema dari arah dapur menarik perhatiannya. Ia berhenti sejenak, mencoba mendengar lebih jelas. Suara itu terdengar seperti langkah kaki kecil, diikuti oleh suara tawa samar.

“Siapa di sana?” tanya Amanda, suaranya bergetar.

Tidak ada jawaban, tetapi suara itu berhenti. Dengan senter di tangannya, Amanda melangkah ke arah dapur. Ruangan itu kosong, dengan meja kayu besar di tengahnya yang penuh dengan bekas goresan. Di salah satu sudut, ada lemari kecil yang pintunya sedikit terbuka.

Penasaran, Amanda mendekati lemari itu. Ia membuka pintunya perlahan dan menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku. Di dalamnya, ada beberapa buku tua yang sebagian besar sudah lapuk, tetapi di antara buku-buku itu, ada sebuah kotak kecil yang dihiasi dengan ukiran bunga.

Amanda mengambil kotak itu dan membukanya. Di dalamnya, ada beberapa lembar surat kuno yang ditulis tangan. Tulisan itu hampir sulit dibaca, tetapi Amanda bisa mengenali beberapa kata: “Pierre,” “cermin,” dan “Eloise.”

Salah satu surat itu membuatnya terdiam. Surat itu ditulis oleh seseorang bernama Pierre Duval, yang ditujukan kepada Madame Eloise. Dalam surat itu, Pierre menyebutkan bahwa cermin yang ia buat adalah hadiah untuk Madame Eloise, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Namun, di akhir surat, ada kalimat yang membuat Amanda merasakan dingin merayap di punggungnya:

“Cermin ini akan menjadi penjara bagi siapa pun yang mengkhianati cinta kita. Mereka akan terperangkap dalam pantulan abadi.”

Amanda menelan ludah, mencoba mencerna maksud dari surat itu.

Setelah menyimpan kotak itu ke dalam tasnya, Amanda memutuskan untuk melanjutkan pencariannya ke lantai dua. Tangga kayu itu berderit di setiap langkahnya, membuatnya semakin waspada. Ketika ia mencapai lantai atas, ia menemukan lorong panjang dengan beberapa pintu di kedua sisinya.

Ia membuka satu per satu pintu, menemukan kamar-kamar yang kosong, hingga akhirnya ia sampai di sebuah ruangan besar di ujung lorong. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, dan Amanda mendorongnya perlahan.

Ruangan itu adalah kamar tidur utama, dengan tempat tidur besar yang tirainya sudah robek dan berdebu. Di sudut ruangan, ada meja rias dengan cermin besar—cermin yang sangat mirip dengan yang ada di galeri Amanda.

Amanda mendekat, menatap cermin itu dengan hati-hati. Ia tidak melihat pantulan apa pun yang aneh, tetapi tiba-tiba suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih keras, seperti seseorang sedang berjalan mendekatinya.

Amanda membalikkan badan, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia merasa seperti akan pingsan. Saat ia kembali menatap cermin, ia melihat sesuatu yang membuatnya mundur dengan cepat.

Di dalam cermin itu, terlihat bayangan wanita yang sama, tetapi kali ini, wajahnya terlihat penuh amarah. Wanita itu mengulurkan tangan dari dalam cermin, seolah ingin menarik Amanda masuk.

Amanda berteriak dan berlari keluar dari kamar itu, menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Ketika ia mencapai pintu depan, ia mendengar suara tawa pelan yang bergema di seluruh rumah, mengiringi kepergiannya.

Di luar, Amanda terengah-engah, mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap rumah tua itu sekali lagi sebelum berjalan menjauh. Meski ia berhasil keluar dengan selamat, ia tahu satu hal: misteri ini jauh lebih besar dan berbahaya daripada yang ia duga sebelumnya.

Namun, ia tidak akan berhenti di sini. Apa pun yang terjadi, Amanda bertekad untuk mengungkap kebenaran di balik cermin itu, bahkan jika itu berarti harus kembali ke rumah terkutuk ini.*

BAB 4: BERTEMU DENGAN BAHAYA

Setelah kunjungannya ke rumah tua yang penuh dengan misteri dan ketegangan, Amanda kembali ke apartemennya dengan perasaan yang bercampur aduk. Bayangan wajah wanita dalam cermin itu terus menghantui pikirannya. Malam itu, ia hampir tidak bisa tidur, terjaga sambil menatap cermin kecil di kamarnya, takut kalau-kalau bayangan itu muncul kembali.

Namun, rasa takut itu segera tergantikan oleh rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia tahu bahwa cermin di galeri seni miliknya, buku harian Mr. Arman, dan surat-surat yang ia temukan di rumah tua itu memiliki keterkaitan. Ia tidak bisa menyerah begitu saja.

Pagi harinya, Amanda memutuskan untuk mencari bantuan. Ia menghubungi sahabat lamanya, Daniel, seorang wartawan investigasi yang sering menangani kasus-kasus aneh dan misterius. Daniel memiliki akses ke banyak sumber informasi yang mungkin bisa membantunya mengungkap misteri ini.

“Amanda, kau yakin ini bukan hanya perasaanmu saja?” tanya Daniel, menyesap kopi di hadapannya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di dekat apartemen Amanda.

“Daniel, aku melihatnya sendiri. Ada sesuatu yang sangat salah dengan cermin itu,” jawab Amanda tegas. “Dan aku yakin ada hubungan antara cermin itu, rumah tua itu, dan wanita bernama Eloise.”

Daniel terdiam sejenak, memikirkan cerita Amanda. “Baiklah, aku akan membantumu. Tapi ini berbahaya, Amanda. Kalau ada kutukan atau energi negatif yang melibatkan benda seperti ini, kau bisa saja terseret ke dalamnya.”

“Aku tahu risikonya. Tapi aku tidak punya pilihan lain,” kata Amanda mantap.

Daniel mengangguk. “Kita mulai dengan mencari lebih banyak informasi tentang Madame Eloise dan Pierre Duval. Aku akan mencoba mengakses arsip lama di perpustakaan kota. Mungkin ada catatan tentang mereka.”

Setelah percakapan itu, Amanda kembali ke galerinya. Ia merasa sedikit lebih tenang dengan bantuan Daniel, tetapi ketegangan itu tidak benar-benar hilang. Ia menatap cermin besar itu yang berdiri di sudut galeri, terpajang di antara barang-barang antik lainnya.

Malam itu, saat ia sedang menutup galeri, Amanda merasakan sesuatu yang aneh. Suara gemerisik samar terdengar dari arah cermin. Ia berhenti dan menajamkan pendengarannya. Suara itu semakin jelas, seperti bisikan.

Dengan hati-hati, Amanda mendekati cermin itu. Sekali lagi, ia melihat bayangan samar di dalamnya, tetapi kali ini bukan hanya bayangan wanita itu. Ia melihat sebuah adegan: seorang pria berjas gelap, berdiri di tengah ruangan dengan wajah tegang.

“Amanda…” sebuah suara pelan memanggil namanya.

Amanda tersentak mundur, tetapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara keras memecah kesunyian. Pintu galeri tiba-tiba terbuka dengan kasar, seolah didorong oleh angin kencang.

“Ada siapa di sana?” teriak Amanda, tubuhnya gemetar.

Namun, yang masuk bukan angin—melainkan seorang pria bertubuh besar dengan wajah yang tak dikenalinya. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan membawa sesuatu di tangannya—sebuah pisau panjang yang berkilau di bawah cahaya lampu galeri.

“Jangan bergerak!” pria itu berkata dengan suara kasar.

Amanda membeku. Jantungnya berdegup kencang, tetapi otaknya bekerja cepat. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya, mencoba mengulur waktu.

“Cermin itu,” jawab pria itu singkat. “Aku tahu kau memilikinya. Berikan padaku!”

Amanda menatap cermin di sudut ruangan, lalu kembali menatap pria itu. “Kenapa kau menginginkan cermin itu? Apa yang kau tahu tentangnya?”

“Jangan banyak tanya!” bentak pria itu. “Cermin itu berbahaya. Kalau kau tidak memberikannya sekarang, kau tidak akan selamat!”

Amanda mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk melindungi diri. Saat pria itu mendekat, ia mengambil potongan keramik kecil dari meja pajangan di dekatnya dan melemparkannya ke arah pria itu.

Pria itu terkejut, memberi Amanda cukup waktu untuk lari ke arah pintu keluar. Namun, sebelum ia bisa membuka pintu, pria itu sudah berada di belakangnya. Ia meraih lengan Amanda dan menariknya dengan kasar.

Amanda berteriak, mencoba melawan. Dalam kepanikan, ia meraih barang pertama yang bisa dijangkau—sebuah vas keramik berat. Dengan sekuat tenaga, ia memukul kepala pria itu. Pria itu terhuyung dan jatuh ke lantai.

Amanda tidak membuang waktu. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi polisi. Sambil menunggu mereka datang, ia berdiri jauh dari pria itu, yang masih tergeletak di lantai.

Ketika polisi tiba, Amanda menceritakan semuanya. Namun, saat mereka mencoba membangunkan pria itu untuk diinterogasi, mereka menemukan sesuatu yang aneh.

Pria itu mengigau, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti siapa pun. Matanya terbuka, tetapi pandangannya kosong, seolah-olah ia sedang berada di dunia lain.

“Sepertinya dia tidak sadar penuh,” kata salah satu petugas.

Amanda merasa ketakutan sekaligus bingung. Siapa pria ini, dan apa hubungannya dengan cermin itu? Dan kenapa cermin itu terus menarik bahaya ke arahnya?

Ketika polisi membawa pria itu pergi, Amanda tahu bahwa ini baru permulaan. Ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap di balik cermin itu, dan ia harus menemukan jawabannya sebelum bahaya lain datang menghampirinya.*

BAB 5: PENGKHIANATAN DAN KEHANCURAN

Pagi itu, suasana di galeri Amanda masih terasa mencekam setelah insiden dengan pria misterius malam sebelumnya. Polisi telah pergi membawa pria itu, tetapi rasa tidak aman tetap menyelimuti hati Amanda. Bahkan, ketika matahari pagi mulai menyinari ruang galerinya, bayangan gelap dari cermin besar itu masih terasa hadir.

Daniel tiba dengan tergesa-gesa setelah menerima kabar dari Amanda tentang apa yang terjadi. Wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya. Ia membawa beberapa dokumen dari arsip kota, yang menurutnya bisa menjadi petunjuk penting tentang cermin itu.

“Amanda, kau harus melihat ini,” kata Daniel, menyodorkan dokumen yang terlihat rapuh karena usia.

Amanda membolak-balik dokumen itu dengan cepat. Ada catatan tentang Madame Eloise dan Pierre Duval—pasangan yang ternyata terlibat dalam skandal besar di masanya.

“Madame Eloise adalah istri Pierre Duval, seorang kolektor seni terkenal yang dikenal kejam. Eloise diduga berselingkuh dengan salah satu pekerja Pierre,” jelas Daniel sambil menunjuk pada salah satu catatan. “Dan ini lebih parah—ada desas-desus bahwa Pierre membunuh Eloise karena pengkhianatannya, tetapi tidak pernah ada bukti konkret.”

Amanda tertegun. “Jadi cermin ini… bisa jadi menjadi saksi bisu dari kejahatan itu?”

Daniel mengangguk. “Kemungkinan besar. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik—beberapa sumber mengatakan bahwa cermin ini mungkin mengandung jiwa Eloise yang terperangkap.”

Amanda menggeleng pelan, mencoba mencerna informasi itu. Namun, sebelum mereka bisa membahas lebih jauh, pintu galeri tiba-tiba terbuka.

Seorang wanita masuk, wajahnya terlihat tegang. Amanda mengenalinya sebagai salah satu kolektor seni yang sering datang ke galerinya, bernama Sofia. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari kehadirannya kali ini.

“Amanda, aku butuh bicara,” kata Sofia, suaranya terdengar mendesak.

Amanda mempersilakannya duduk. “Ada apa, Sofia? Kau terlihat gelisah.”

Sofia menatap Amanda dengan tajam. “Aku tahu tentang cermin itu.”

Kalimat itu membuat suasana ruangan menjadi sunyi. Daniel yang sedang memeriksa dokumen langsung mengangkat wajahnya.

“Apa maksudmu?” tanya Amanda hati-hati.

Sofia menghela napas panjang sebelum berbicara. “Aku bekerja untuk seseorang. Seseorang yang sangat menginginkan cermin itu. Dia adalah kolektor seni, seperti Pierre Duval, tetapi lebih berbahaya. Dan aku diperintahkan untuk memastikan bahwa cermin itu sampai di tangannya.”

Amanda membeku. “Kau bekerja untuk siapa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini, Sofia?”

Namun, Sofia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia berdiri dengan gelisah, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. “Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Amanda. Tapi cermin itu berbahaya. Jika kau terus menyimpannya, kau akan hancur. Serahkan cermin itu kepadaku, dan aku akan memastikan kau aman.”

Daniel segera menyela, “Apa kau pikir kami akan begitu saja menyerahkan cermin itu? Amanda hampir dibunuh tadi malam karena benda ini!”

Wajah Sofia tampak pias. “Aku tahu. Dan itu baru permulaan. Orang-orang ini tidak main-main. Mereka akan menghancurkan apa pun dan siapa pun yang menghalangi jalan mereka.”

Amanda berdiri, menatap Sofia dengan tajam. “Kau mengkhianatiku. Kau berpura-pura menjadi kolektor seni yang netral, tetapi ternyata kau hanya menjadi kaki tangan orang lain.”

Sofia menundukkan kepalanya. “Aku tidak punya pilihan, Amanda. Orang itu mengancam keluargaku. Jika aku gagal mendapatkan cermin ini, mereka akan membunuhku.”

Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, suara kaca pecah terdengar dari arah belakang galeri. Amanda, Daniel, dan Sofia serentak menoleh.

“Mereka datang,” desis Sofia dengan panik.

Amanda segera menarik Daniel dan Sofia ke ruangan belakang, mencoba mencari tempat aman. Namun, sebelum mereka bisa melarikan diri, dua pria bertubuh besar dengan senjata masuk ke galeri.

“Serahkan cermin itu, dan kami tidak akan menyakiti kalian,” salah satu pria itu berkata dengan nada dingin.

Amanda tahu mereka tidak bisa mempercayai kata-kata itu. Ia melirik Daniel, yang tampaknya sudah bersiap untuk melawan jika diperlukan.

“Sofia, kau harus memilih sekarang,” bisik Amanda dengan tegas. “Apakah kau di pihak kami, atau mereka?”

Sofia terdiam sejenak, lalu dengan suara gemetar ia menjawab, “Aku akan membantumu. Mereka harus dihentikan.”

Dengan cepat, Sofia menunjukkan jalan keluar rahasia yang tidak diketahui banyak orang di galeri itu. Mereka bertiga melarikan diri melalui pintu kecil di belakang gudang, sementara para pria itu sibuk mencari cermin di ruang depan.

Saat mereka berhasil keluar ke jalan belakang, Amanda merasakan dadanya terasa sesak. Ia tidak hanya merasa terkhianati oleh Sofia, tetapi juga dihantui oleh kenyataan bahwa cermin itu membawa kehancuran bagi siapa saja yang terlibat dengannya.

“Amanda, kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Daniel, napasnya tersengal. “Kita harus memikirkan rencana untuk menghentikan ini semua. Tapi untuk sekarang, kita harus bersembunyi.”

Amanda mengangguk, tetapi pikirannya dipenuhi dengan rasa khawatir. Cermin itu lebih dari sekadar benda antik. Ia menyadari bahwa di balik misterinya, ada kekuatan gelap yang terus menarik orang-orang ke dalam lingkaran bahaya dan kehancuran.

Dan ia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjuangan mereka.*

BAB 6: KEBENARAN TERUNGKAP

Malam itu, suasana di tempat persembunyian Amanda, Daniel, dan Sofia terasa tegang. Mereka berlindung di sebuah rumah tua di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Rumah itu adalah salah satu peninggalan keluarga Daniel yang jarang dikunjungi, sehingga cukup aman untuk sementara waktu.

Amanda duduk di kursi reyot di ruang tamu, memandangi cermin kecil yang ia bawa dari galerinya. Cermin besar yang menjadi pusat dari semua kekacauan ini telah ia tinggalkan sementara di ruang tersembunyi galeri, dengan harapan para pengejar mereka tidak akan menemukannya. Namun, ia tahu bahwa cermin itu masih menjadi ancaman besar.

“Amanda, kau baik-baik saja?” tanya Daniel, membawakan segelas air untuknya.

Amanda mengangguk lemah. “Aku hanya merasa… cermin itu seperti mengontrol semuanya. Seolah-olah ia memiliki kehendak sendiri.”

Daniel duduk di sampingnya, menatap Amanda dengan prihatin. “Kita akan menemukan jalan keluar. Tapi kita harus mulai dari memahami apa sebenarnya cermin itu.”

Sofia, yang selama ini diam di sudut ruangan, akhirnya angkat bicara. “Aku tahu lebih banyak tentang cermin itu daripada yang sudah kuberitahukan.”

Amanda dan Daniel menoleh bersamaan, ekspresi mereka penuh perhatian.

“Aku tidak hanya bekerja untuk kolektor seni itu,” Sofia memulai dengan suara pelan. “Aku juga pernah menjadi bagian dari tim riset sejarah tentang benda-benda antik terkutuk. Cermin itu salah satunya. Aku tahu cerita tentang Eloise dan Pierre Duval, tapi ada sesuatu yang lebih besar dari itu.”

Amanda mendesaknya, “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Sofia menghela napas panjang. “Cermin itu bukan hanya saksi bisu dari pembunuhan Eloise. Ia menyimpan energi yang berasal dari ritual kuno. Pierre Duval bukan hanya seorang kolektor seni, ia juga seorang penganut okultisme. Ia menggunakan cermin itu sebagai media untuk menjerat jiwa istrinya setelah ia membunuhnya. Tapi ritual itu tidak berjalan sempurna. Jiwa Eloise memang terperangkap, tapi ia tidak sepenuhnya tak berdaya. Ia mulai menggunakan cermin itu untuk balas dendam.”

Daniel terlihat bingung. “Balas dendam? Kepada siapa?”

“Siapa pun yang serakah,” jawab Sofia dengan tegas. “Siapa pun yang mencoba memiliki cermin itu hanya untuk keuntungan pribadi. Itulah mengapa banyak kolektor seni yang mencoba mendapatkannya akhirnya hancur. Eloise menghukum mereka.”

Amanda merasakan bulu kuduknya meremang mendengar cerita Sofia. “Tapi mengapa aku? Aku tidak mencoba memanfaatkan cermin itu. Aku bahkan tidak tahu tentang semua ini sebelumnya.”

Sofia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu pasti, Amanda. Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang menarik perhatian Eloise. Atau mungkin dia hanya ingin memastikan kau tidak menjadi korban berikutnya.”

Kata-kata itu membuat Amanda semakin gelisah. Ia memandangi cermin kecil di tangannya, seolah-olah mencari jawaban di dalamnya.

Daniel, yang biasanya tenang, tampak tidak sabar. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghancurkan cermin itu atau menghilangkannya selamanya.”

Sofia tampak ragu. “Menghancurkan cermin itu tidak semudah yang kau pikirkan. Ritual Pierre membuatnya hampir mustahil dihancurkan dengan cara biasa. Ada satu cara, tapi berisiko.”

“Cara apa?” tanya Amanda cepat.

“Cermin itu harus dikembalikan ke tempat asal ritual pertama dilakukan—rumah Pierre Duval di Prancis. Di sana, ada altar ritual yang masih berdiri. Jika kita bisa memecahkan cermin di altar itu, energi yang terikat padanya akan lenyap.”

Suasana hening sejenak saat mereka merenungkan rencana itu. Daniel akhirnya berbicara, “Tapi Sofia, kau tahu mereka yang mengejar kita tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Mereka juga tahu tentang ritual ini, bukan?”

Sofia mengangguk. “Mereka ingin cermin itu untuk alasan yang sama, tetapi tujuan mereka bukan untuk menghancurkannya. Mereka ingin memanfaatkan kekuatan cermin itu untuk kepentingan mereka sendiri.”

Amanda merasa semakin terbebani. Ia sadar bahwa mempertahankan cermin itu hanya akan menarik lebih banyak bahaya. Namun, ia juga tidak bisa begitu saja menyerah. “Kita harus melakukannya,” katanya akhirnya. “Kita harus membawa cermin itu ke Prancis dan menghancurkannya. Jika kita tidak melakukannya, siklus ini akan terus berlanjut.”

Daniel menatap Amanda dengan kagum. “Kalau begitu, kita harus segera merencanakan langkah berikutnya. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan cermin itu masih aman di galeri.”

Pagi berikutnya, mereka memutuskan untuk kembali ke galeri. Dengan hati-hati, mereka memasuki gedung melalui pintu belakang. Semuanya tampak normal, tetapi Amanda merasakan sesuatu yang tidak beres.

Ketika mereka sampai di ruang tersembunyi tempat cermin itu disimpan, pintunya terbuka lebar.

“Tidak mungkin…” bisik Amanda, matanya membelalak.

Cermin besar itu sudah tidak ada.

Sofia terlihat panik. “Mereka sudah lebih dulu ke sini. Kita terlambat.”

Daniel memukul dinding dengan frustrasi. “Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus menemukan mereka sebelum mereka menggunakan cermin itu untuk hal-hal yang lebih buruk.”

Amanda, meskipun merasa hancur, mencoba tetap tenang. “Kita masih punya petunjuk. Mereka tidak tahu bahwa kita tahu tentang altar di rumah Pierre Duval. Itu tujuan mereka berikutnya. Kita harus ke sana lebih dulu.”

Di tengah kekacauan itu, Amanda menyadari bahwa ia tidak hanya menghadapi ancaman fisik dari orang-orang yang mengejarnya. Ia juga harus menghadapi kekuatan gelap yang tersembunyi di balik cermin itu, kekuatan yang perlahan-lahan menarik semua orang ke dalam kehancuran.*

BAB 7: MISTERI YANG BERAKHIR

Perjalanan menuju rumah Pierre Duval di Prancis terasa lebih berat dari yang Amanda, Daniel, dan Sofia bayangkan. Mereka telah menghadapi begitu banyak ancaman, namun kali ini adalah yang terberat. Cermin itu telah hilang dari tempat persembunyiannya di galeri, dan mereka tahu bahwa para pengejar mereka tidak akan berhenti sampai cermin itu kembali berada di tangan mereka. Namun, mereka juga tahu satu hal yang lebih penting: penghancuran cermin adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri teror yang telah mengikat mereka semua dalam lingkaran tak berujung.

Saat pesawat mereka mendarat di Prancis, ketegangan semakin terasa. Udara dingin menyambut mereka, tetapi jauh di dalam hati, Amanda merasa kedinginan yang lebih mendalam. Mereka menuju rumah besar yang telah lama terbengkalai, di mana altar ritual yang menjadi kunci dari akhir cerita ini menunggu. Rumah itu terletak di daerah terpencil, dikelilingi hutan lebat yang seolah-olah menjaga rahasia-rahasia kelam dari masa lalu.

“Ini dia,” kata Sofia sambil menunjuk ke arah bangunan tua yang tampak rapuh di kejauhan. “Rumah ini adalah tempat segalanya dimulai. Dan di sini juga kita akan mengakhiri semuanya.”

Amanda hanya mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi perasaan tidak pasti. Ia tahu bahwa begitu mereka memasuki rumah itu, tidak ada jalan mundur. Kekuatan yang telah mengikat mereka akan mencapai titik klimaks, dan hanya ada satu kemungkinan: apakah mereka berhasil memusnahkan cermin itu, ataukah mereka akan terjebak dalam kutukan yang lebih dahsyat?

Rumah itu tampak sunyi, dengan jendela-jendela pecah yang tampak telah lama dibiarkan rusak. Gerbang besar yang terbuat dari besi berkarat mengerang ketika mereka membukanya. Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, seolah tanah di bawah kaki mereka sendiri menahan mereka untuk tidak melangkah lebih jauh.

“Altar itu ada di lantai atas,” Sofia berkata pelan, memecah keheningan yang mencekam. “Pierre Duval membuatnya di ruang pribadi. Itu adalah tempat di mana ritual-ritualnya terjadi.”

Mereka menaiki tangga yang tua dan berderit, dan setiap langkah terasa mengingatkan mereka pada waktu yang telah hilang. Begitu mereka sampai di lantai atas, pintu besar dengan ukiran rumit di atasnya menyambut mereka. Di balik pintu itu, mereka tahu, terdapat rahasia yang telah lama terpendam.

Sofia mengeluarkan kunci tua dari saku jaketnya dan membuka pintu itu. Begitu pintu terbuka, mereka disambut oleh ruangan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya yang merembes melalui celah-celah dinding yang lapuk. Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar batu besar yang dikelilingi oleh lambang-lambang okultisme yang memancarkan aura misterius.

“Ini tempatnya,” bisik Sofia. “Cermin itu harus dihancurkan di sini, di depan altar.”

Amanda melangkah maju, matanya fokus pada altar itu. Ia tahu bahwa cermin itu bisa saja ada di sekitar mereka, atau bahkan ada di dalam ruangan ini. Namun, dia juga tahu bahwa ia harus menghadapi ketakutannya. Sebab, ketika cermin itu dihancurkan, segala kekuatan yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun akan hilang.

“Cermin itu harus berada di sini,” ujar Daniel, menatap sekeliling dengan cemas. “Jika tidak, kita tidak bisa menghancurkannya.”

Sofia tiba-tiba berhenti dan memandangi mereka. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah cermin itu dihancurkan. Energi dari cermin ini sangat kuat. Ada kemungkinan kita tidak bisa kembali ke kehidupan yang normal.”

Amanda menatapnya tajam. “Kita tidak punya pilihan, Sofia. Semua ini harus berakhir di sini.”

Sofia mengangguk pelan dan melangkah maju untuk membuka sebuah lemari kayu tua yang berada di sudut ruangan. Di dalamnya, ada sebuah kotak kayu yang terkunci. Ia membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya ada sebuah benda yang mengerikan: cermin kecil yang telah mereka cari-cari selama ini.

“Ini dia,” Sofia berbisik. “Cermin yang telah mengikat semuanya.”

Amanda mendekat, menyentuh permukaan cermin itu dengan hati-hati. Begitu tangannya menyentuh permukaan cermin, ia merasakan getaran yang sangat kuat, seolah ada energi yang keluar dari dalamnya. Semua kenangan tentang peristiwa-peristiwa yang menakutkan, ketakutan yang ia alami, semuanya kembali menghantui pikirannya. Namun, ia tahu, ini adalah saat yang tepat.

Dengan tangan gemetar, Amanda meletakkan cermin itu di atas altar batu. Semua suara di sekitar mereka menghilang, dan hanya ada kesunyian yang mengerikan. “Sekarang,” kata Sofia dengan suara berat. “Kita harus memecahkannya.”

Daniel meraih sebuah batu besar yang tergeletak di dekat altar dan dengan sekuat tenaga melemparkan batu itu ke arah cermin. Dalam sekejap, cermin itu pecah berkeping-keping, mengeluarkan cahaya yang begitu terang hingga membuat mereka terpejam.

Setelah cahaya itu meredup, suasana berubah. Semua rasa takut yang semula membayangi Amanda dan Daniel perlahan menghilang. Mereka membuka mata mereka, hanya untuk melihat bahwa altar itu telah hancur, dan rumah itu tampak lebih sunyi daripada sebelumnya. Cermin yang telah menjadi pusat segala teror kini tinggal serpihan-serpihan kaca yang berserakan di lantai.

Namun, meskipun cermin itu telah hancur, Amanda tahu bahwa ia dan teman-temannya tidak akan kembali ke kehidupan yang sama. Misteri yang selama ini menghantui mereka telah berakhir, namun bekasnya akan tetap ada dalam ingatan mereka. Dan meskipun mereka telah mengalahkan kekuatan gelap yang ada di balik cermin itu, mereka tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.

“Selamat, semuanya,” kata Sofia dengan suara lirih. “Kita berhasil mengakhiri semuanya.”

Amanda mengangguk pelan. Mereka telah menempuh perjalanan panjang, dan meskipun misteri ini telah terpecahkan, Amanda tahu bahwa ada banyak hal yang harus mereka hadapi di masa depan. Namun, satu hal yang pasti: mereka telah menaklukkan kegelapan yang pernah menguasai hidup mereka.****

————-THE END——–

 

Source: agustina ramadhani
Tags: #Kegelapan yang Menanti#Perjalanan MistisKehidupan Setelah KematianMisteri Pembunuhan
Previous Post

CINTA BEDA PULAU

Next Post

RAHASIA DI BALIK LEMBAH TERSEMBUNYI

Next Post
RAHASIA DI BALIK LEMBAH TERSEMBUNYI

RAHASIA DI BALIK LEMBAH TERSEMBUNYI

MISTERI DESA DI TENGAH BAYANG BAYANG KEGELAPAN

MISTERI DESA DI TENGAH BAYANG BAYANG KEGELAPAN

PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

PERJANJIAN GELAP DAN ALTAR TERLARANG

MOVIE REVIEW

No Content Available

RECENT MOVIE

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025
GERBANG DUNIA TERLARANG

GERBANG DUNIA TERLARANG

May 17, 2025
KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KETIKA MALAM MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

May 17, 2025

Tentang Kami

NovelStory.id adalah platform media online yang menghadirkan beragam cerita menarik seperti dalam novel dan drama, dirancang untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan hiburan yang berkualitas dan penuh imajinasi. Kami percaya bahwa setiap cerita memiliki kekuatan untuk menyentuh hati, menginspirasi, dan membawa pembaca ke dunia yang penuh keajaiban.

Recent News

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

DI BAWAH BAYANG KERAJAAN

May 17, 2025
SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

SAAT HUJAN JATUH DI HATIMU

May 17, 2025

Follow Us

  • Tentang Kami
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 https://novelstory.id

No Result
View All Result
  • Romansa
  • Fantasi
  • Drama Kehidupan
  • Misteri & Thriller
  • Fiksi Ilmiah
  • Komedi
  • Horor
  • Sejarah

© 2025 https://novelstory.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In