Bab 1: Kedatangan yang Mengusik
Matahari mulai condong ke barat ketika Arya, seorang jurnalis investigasi muda, menjejakkan kakinya di Desa Sungkup, sebuah desa terpencil yang tersembunyi di tengah hutan belantara. Jalan berbatu yang ia lalui terasa sepi, hanya suara burung hutan dan gemerisik dedaunan yang menemaninya sepanjang perjalanan. Meski matahari belum sepenuhnya tenggelam, ada sesuatu dalam udara desa ini yang terasa dingin dan menekan, seolah-olah ada mata tak terlihat yang terus mengawasi.
Tujuan Arya ke desa ini sebenarnya sederhana. Ia ditugaskan oleh kantornya untuk menulis artikel tentang kehidupan desa terpencil yang masih mempertahankan adat istiadat kuno. Namun, sejak ia tiba, Arya merasakan ada sesuatu yang janggal. Penduduk desa tampak menghindarinya. Beberapa menutup pintu rumah mereka begitu melihat Arya berjalan mendekat, sementara yang lain hanya melirik sekilas dengan tatapan penuh curiga.
Arya mencoba mengabaikan keanehan itu. Ia melangkah menuju sebuah warung kecil di dekat balai desa, berharap mendapatkan informasi awal tentang kehidupan di desa ini. Di depan warung, seorang pria tua dengan rambut putih duduk sambil mengunyah tembakau.
“Permisi, Pak,” sapa Arya ramah, sembari membuka buku catatannya. “Saya Arya, jurnalis dari kota. Saya ingin tahu lebih banyak tentang Desa Sungkup. Katanya desa ini memiliki sejarah dan tradisi yang unik.”
Pria tua itu menatap Arya lama, sebelum akhirnya berujar singkat, “Kalau mau tahu, tanya sama kepala desa. Kami orang biasa, nggak tahu apa-apa.”
Arya tersenyum kaku. Nada bicara pria tua itu bukan sekadar enggan, tetapi seperti menyimpan rasa takut yang sulit dijelaskan.
Sore itu, Arya memutuskan mengunjungi rumah kepala desa, seorang pria bernama Pak Surya yang katanya sudah memimpin desa selama 15 tahun. Rumahnya lebih besar dibanding rumah penduduk lain, dengan halaman luas dan pohon beringin tua yang tampak menjulang angker di sudut halaman.
Pak Surya menerima Arya dengan ramah, meski senyumnya terasa dibuat-buat. “Jadi, Anda ingin menulis tentang desa kami? Desa Sungkup memang menarik, meskipun tidak banyak yang mau datang ke sini,” ujarnya, sambil menyajikan secangkir teh hangat.
Arya mencatat kata-kata Pak Surya. “Kenapa tidak banyak yang datang, Pak? Bukankah desa ini punya potensi besar untuk pariwisata budaya?”
Senyum Pak Surya memudar. “Kadang, orang luar tidak mengerti cara hidup kami. Kami hanya ingin hidup tenang, menjaga tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang kami. Kalau terlalu banyak orang luar, takutnya akan membawa masalah.”
Arya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih umum, berharap menemukan celah. Namun, setiap kali Arya mencoba menggali lebih dalam tentang sejarah desa, Pak Surya selalu mengarahkan jawaban ke hal-hal yang dangkal.
Malam harinya, Arya menginap di sebuah rumah sederhana yang disiapkan oleh Pak Surya. Rumah itu letaknya di pinggir desa, berdekatan dengan hutan yang disebut penduduk sebagai Hutan Bayang-Bayang. Menurut Pak Surya, hutan itu adalah kawasan yang dikeramatkan. Arya penasaran, tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu malam ini.
Saat sedang membereskan barang-barangnya, Arya mendengar suara langkah kaki di luar jendela. Ia melongok, tapi tak melihat apa pun. Yang ada hanya kegelapan hutan yang terasa mencekam. Suara itu hilang begitu saja, meninggalkan keheningan yang menusuk. Arya mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya suara hewan malam.
Namun, tengah malam, ia terbangun oleh suara lain—seperti bisikan samar. Suara itu terdengar seperti berasal dari arah hutan. Arya keluar dari kamarnya, membawa senter kecil. Saat ia membuka pintu, angin dingin langsung menyambutnya. Ia melangkah keluar, menyorotkan senter ke arah hutan. Tapi, yang ia lihat hanyalah pohon-pohon tinggi yang bergerak pelan diterpa angin.
Saat ia hendak kembali ke dalam rumah, Arya melihat sesuatu. Di kejauhan, di tepi hutan, ada bayangan yang bergerak cepat. Arya memicingkan mata, mencoba memastikan apa yang ia lihat. Tapi bayangan itu sudah menghilang.
“Siapa itu?” gumamnya pelan.
Ia memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Namun, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. Apa sebenarnya yang terjadi di desa ini? Kenapa penduduknya terlihat takut, dan apa hubungan mereka dengan hutan itu?
Keesokan paginya, Arya berjalan keliling desa, berharap menemukan lebih banyak jawaban. Ia berhenti di sebuah pondok kecil di ujung desa, tempat seorang wanita tua duduk sambil memintal benang. Wanita itu tampak seperti orang yang ramah. Arya mendekatinya.
“Permisi, Nek. Saya Arya. Saya ingin tahu tentang desa ini. Mungkin Nenek bisa membantu saya?”
Wanita itu berhenti memintal. Matanya yang keriput menatap Arya tajam. “Kalau kamu mau selamat, jangan coba-coba masuk ke hutan,” katanya dengan suara bergetar.
Arya tertegun. “Kenapa, Nek? Apa ada sesuatu di sana?”
Wanita itu hanya menggeleng, lalu berbisik, “Bayangan itu akan membawamu. Sama seperti yang lain.”
Arya merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mencoba bertanya lebih lanjut, tapi wanita itu hanya kembali memintal, seolah tak ingin bicara lagi. Arya tahu, jawaban dari semua misteri ini ada di hutan. Tapi, apakah ia cukup berani untuk menghadapinya?*
Bab 2: Jejak yang Hilang
Pagi yang dingin menyelimuti Desa Sungkup. Kabut tebal menyelimuti jalan setapak yang membelah desa, membuat suasana terasa semakin mencekam. Arya memutuskan untuk melanjutkan penelitiannya. Namun, apa yang ia temukan pagi itu bukan hanya keanehan, melainkan sebuah misteri yang mulai terasa terlalu nyata.
Setelah percakapan singkatnya dengan wanita tua yang memintal benang, Arya tak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. “Bayangan itu akan membawamu. Sama seperti yang lain.” Siapa yang dimaksud “yang lain”? Apakah ada orang-orang yang menghilang di desa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arya sepanjang malam, membuat tidurnya gelisah.
Pagi itu, ia memutuskan untuk mencari lebih banyak informasi. Langkah pertamanya adalah kembali ke balai desa, tempat Pak Surya biasanya berada. Namun, saat ia tiba, balai desa tampak kosong. Bahkan pintunya terkunci rapat.
Arya berdiri di depan pintu, mencoba mengintip ke dalam, ketika seorang anak kecil mendekatinya. Bocah itu tampak lusuh, dengan rambut acak-acakan dan wajah yang penuh rasa ingin tahu.
“Mas, lagi cari siapa?” tanya anak itu polos.
Arya tersenyum, berusaha terlihat ramah. “Saya sedang mencari Pak Surya. Kamu tahu di mana dia?”
Bocah itu menggeleng. “Pak Surya sering ke hutan pagi-pagi. Katanya ada urusan penting.”
Hutan. Lagi-lagi hutan itu muncul dalam percakapan. Arya mencoba menahan rasa penasaran yang terus memuncak. Ia memutuskan untuk bertanya lebih jauh. “Apa kamu pernah dengar tentang orang-orang yang hilang di desa ini?”
Mendengar pertanyaan itu, bocah tersebut tiba-tiba tampak gelisah. Ia melirik ke kanan dan kiri sebelum berbisik, “Nggak boleh ngomong soal itu, Mas. Nanti Bayangan dengar.”
Arya merasa bulu kuduknya berdiri lagi. Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, bocah itu berlari pergi, meninggalkan Arya dengan lebih banyak pertanyaan.
Merasa buntu, Arya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya. Saat ia melewati deretan rumah penduduk, ia memperhatikan bahwa hampir semua jendela rumah tertutup rapat. Bahkan beberapa rumah terlihat seperti tak berpenghuni, meskipun jelas ada aktivitas di dalamnya.
Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah tua yang hampir roboh. Di pintu rumah itu, tertempel poster-poster yang sudah pudar. Arya mendekat, mencoba membaca tulisan yang tersisa. Salah satu poster itu berisi nama-nama yang pernah menjadi bagian dari desa ini. Di bagian bawah poster, terdapat tulisan kecil: “Dicari: Warga yang hilang.”
Arya merasakan dorongan untuk mengetahui lebih banyak. Ia mengetuk pintu rumah, berharap ada seseorang yang bisa memberinya penjelasan. Setelah beberapa saat, seorang pria setengah baya dengan wajah lelah membukakan pintu.
“Ada apa?” tanyanya singkat.
“Saya Arya, jurnalis dari kota. Saya sedang menulis artikel tentang desa ini. Apakah Bapak bisa membantu saya?”
Pria itu terdiam sejenak, lalu membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuklah. Tapi jangan terlalu lama. Orang-orang di sini nggak suka kalau ada yang terlalu banyak bertanya.”
Arya masuk ke dalam rumah yang penuh debu dan aroma lembap. Di salah satu sudut, ia melihat beberapa bingkai foto yang sudah kusam. Di dalam foto itu, pria yang sekarang ada di depannya terlihat lebih muda, bersama seorang wanita dan seorang anak perempuan kecil.
“Anak saya,” kata pria itu pelan, seolah membaca pikiran Arya. “Namanya Lila. Dia hilang dua tahun lalu.”
Arya terkejut. “Hilang? Maksud Bapak, bagaimana bisa?”
Pria itu duduk di kursi tua yang berderit, lalu menghela napas panjang. “Lila suka bermain di pinggir hutan. Saya selalu melarangnya, tapi anak kecil, kan, suka penasaran. Suatu hari, dia nggak pulang. Saya dan beberapa warga mencarinya selama berminggu-minggu, tapi tidak ada jejak. Sejak saat itu, banyak anak-anak lain juga hilang, selalu di sekitar hutan.”
Kata-kata pria itu membuat Arya merasakan sesuatu yang dingin menjalar di tubuhnya. “Apa ada yang pernah melihat sesuatu? Mungkin orang asing, atau… sesuatu di hutan?”
Pria itu menatap Arya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Beberapa orang bilang mereka melihat bayangan, bergerak cepat di antara pepohonan. Ada yang bilang itu roh penjaga hutan, ada juga yang bilang itu lebih dari sekadar bayangan. Tapi satu hal yang pasti, semua orang yang hilang tidak pernah ditemukan lagi.”
Arya mencatat setiap kata pria itu di buku catatannya. Ia merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang sangat salah di desa ini, sesuatu yang sengaja disembunyikan oleh penduduknya.
Malam harinya, Arya memutuskan untuk mengunjungi hutan yang disebut-sebut oleh banyak orang. Meski ia tahu itu berbahaya, rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan. Ia membawa senter dan ponselnya, bersiap jika terjadi sesuatu.
Hutan itu terasa berbeda saat malam. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah-olah menutup langit, membuat suasana semakin gelap dan sunyi. Arya melangkah hati-hati, mendengar setiap suara di sekitarnya.
Tiba-tiba, ia melihat sesuatu di tanah. Sebuah pita merah kecil yang tergeletak di antara dedaunan. Arya memungutnya, merasa ada sesuatu yang familiar. Pita itu terlihat usang, tetapi ada bekas tulisan di bagian ujungnya: “Lila.”
Arya merasakan jantungnya berdegup kencang. Apakah ini milik anak yang hilang itu? Ia mencoba melihat ke sekeliling, tetapi yang ia temukan hanyalah kegelapan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
“Ada siapa di sana?” serunya, berusaha tetap tenang.
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah kaki yang semakin mendekat. Arya menyorotkan senter ke arah suara itu, tetapi yang ia lihat hanya bayangan gelap yang bergerak cepat, menghilang di balik pepohonan.
Arya berdiri kaku, tidak tahu apakah ia harus mengejar bayangan itu atau segera kembali ke desa. Namun, satu hal yang pasti—misteri ini baru saja dimulai.*
Bab 3: Bayangan di Hutan
Malam di Desa Sungkup selalu terasa lebih pekat dari biasanya. Tidak ada suara jangkrik atau burung malam, hanya kesunyian yang menggantung berat di udara. Arya tidak bisa melupakan apa yang terjadi di hutan kemarin malam. Bayangan gelap yang melesat cepat itu terus terngiang dalam pikirannya. Apakah itu hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang nyata dan berbahaya di sana?
Pagi itu, Arya memutuskan untuk kembali ke hutan. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia ungkap. Namun, kali ini ia lebih mempersiapkan diri. Ia membawa kamera, buku catatan, dan sebuah pisau kecil sebagai tindakan berjaga-jaga. Ketika ia berjalan menuju hutan, beberapa penduduk desa memandangnya dengan tatapan aneh, seolah tahu apa yang akan ia lakukan tetapi enggan memperingatkannya.
“Mas Arya,” suara seorang wanita tua memanggilnya dari teras rumah. Itu adalah nenek yang kemarin sempat ia temui. Wanita tua itu tampak lebih serius daripada sebelumnya. “Jangan pergi ke sana. Bayangan itu tidak suka diganggu.”
Arya berhenti sejenak. “Saya harus tahu, Bu. Kalau semua orang takut, tidak akan ada yang mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di desa ini.”
Wanita tua itu menggeleng dengan napas berat, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Arya melanjutkan langkahnya, meski ada rasa gelisah yang mulai menyelinap ke dalam dirinya.
Ketika Arya tiba di pinggir hutan, suasananya terasa sangat berbeda dari siang hari biasa. Pepohonan yang menjulang tinggi tampak seperti dinding yang mengurung rahasia gelap di dalamnya. Ia mengambil napas panjang dan melangkah masuk, berusaha tetap tenang.
Hutan itu dipenuhi dengan aroma daun basah dan tanah lembap. Di beberapa tempat, ia melihat jejak-jejak kaki kecil yang tampak usang, seolah jejak itu telah lama ditinggalkan. Apakah itu milik anak-anak yang hilang? Arya berjongkok untuk memotret jejak itu dan mencatatnya di buku. Namun, ia juga menyadari sesuatu yang aneh—jejak itu tidak mengarah ke luar, melainkan semakin jauh ke dalam hutan.
Setelah berjalan sekitar satu jam, Arya tiba di sebuah tempat yang terasa berbeda. Sebuah lapangan kecil terbuka, dikelilingi oleh pohon-pohon besar dengan akar-akar yang mencuat ke atas. Di tengah-tengah lapangan itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Sebuah tumpukan batu kecil, tersusun rapi seperti monumen, dengan sebuah boneka kayu kecil yang diletakkan di atasnya. Boneka itu tampak kasar, seperti diukir dengan tergesa-gesa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terasa menakutkan. Arya mendekat, mencoba memeriksa lebih jauh.
Di dekat boneka itu, ia melihat sebuah ukiran di batu yang bertuliskan sesuatu dalam aksara yang tidak ia kenali. Arya mengambil foto ukiran itu, berharap bisa menganalisisnya nanti. Namun, sebelum ia sempat mempelajari lebih lanjut, suara gemerisik terdengar dari balik pepohonan.
Arya langsung berdiri dan mengarahkan kameranya ke arah suara. “Siapa di sana?” tanyanya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban. Tetapi suara itu semakin dekat, seperti langkah kaki yang sengaja diseret. Arya mundur perlahan, mencoba mencari tempat untuk bersembunyi. Ia berjongkok di balik salah satu akar pohon besar, berharap bisa melihat lebih jelas.
Dari balik pepohonan, muncul sosok yang membuat Arya hampir menjatuhkan kameranya. Seorang pria tua dengan pakaian compang-camping, wajahnya kotor dengan mata yang tampak kosong. Pria itu berjalan perlahan ke arah tumpukan batu, seolah tidak menyadari kehadiran Arya.
Arya mencoba mengamati lebih jelas. Pria itu membawa sesuatu di tangannya—sebuah karung kecil yang tampak berat. Ia meletakkan karung itu di dekat tumpukan batu, lalu membungkuk, seperti sedang berdoa atau merapal sesuatu. Arya tidak bisa mendengar apa yang ia katakan, tetapi suaranya terdengar seperti gumaman yang tidak wajar, campuran antara doa dan bisikan menyeramkan.
Setelah beberapa menit, pria itu bangkit dan berjalan kembali ke dalam hutan, meninggalkan karung kecil itu di tempat tersebut. Arya menunggu sampai pria itu benar-benar menghilang sebelum ia keluar dari persembunyiannya.
Dengan hati-hati, Arya mendekati karung kecil itu. Bau busuk langsung menyengat hidungnya, membuatnya hampir muntah. Ia membuka karung itu dengan tangan gemetar dan menemukan sesuatu yang membuat tubuhnya lemas.
Di dalam karung itu, terdapat potongan-potongan kain yang berlumuran darah kering, bersama dengan beberapa mainan kecil yang tampak usang. Arya merasa mual, tetapi ia tahu ia harus tetap tenang. Ia memotret isi karung itu, lalu menutupnya kembali.
Ketika Arya kembali ke desa, matahari sudah hampir terbenam. Ia merasa tubuhnya lelah, tetapi pikirannya terus bekerja. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini? Siapa pria tua itu, dan apa yang ia lakukan di hutan?
Arya memutuskan untuk mencari Pak Surya malam itu. Ketika ia tiba di rumah Pak Surya, ia mengetuk pintu dengan keras, merasa tidak sabar untuk mendapatkan jawaban. Pak Surya membuka pintu dengan wajah yang tampak kaget melihat Arya.
“Pak, saya perlu bicara. Saya menemukan sesuatu di hutan.”
Mendengar itu, wajah Pak Surya berubah serius. Ia mempersilakan Arya masuk, tetapi sebelum mereka sempat berbicara, suara keras terdengar dari luar. Suara gong besar yang dipukul berulang kali, membuat seluruh desa gempar.
“Ada apa lagi ini?” tanya Arya dengan bingung.
Pak Surya tampak pucat. “Itu tanda bahaya. Sepertinya sesuatu telah terjadi lagi.”
Arya merasa darahnya membeku. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh misteri yang semakin dalam.*
Bab 4: Rahasia Penduduk Desa
Kegemparan malam itu membuat seluruh Desa Sungkup berkumpul di balai desa. Gong besar yang dipukul berulang kali menjadi tanda bahaya yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun. Arya mengikuti kerumunan dengan langkah cepat, masih membawa kamera dan catatan yang ia gunakan di hutan tadi siang. Pak Surya berjalan di sampingnya, wajahnya penuh kecemasan.
Di balai desa, suasana riuh rendah. Wajah penduduk desa tampak tegang, sebagian besar berbisik satu sama lain, sementara beberapa anak-anak memeluk erat orang tua mereka. Di tengah kerumunan, Arya melihat kepala desa, Pak Wiryo, berdiri dengan ekspresi serius. Ketika gong berhenti berbunyi, suara Pak Wiryo yang berat memenuhi ruangan.
“Kita harus waspada,” ucapnya. “Ada sesuatu yang tidak beres di hutan. Salah satu dari kita, Pak Karta, tidak kembali setelah pergi ke sana sore tadi. Apakah ada yang melihatnya?”
Suasana menjadi hening. Beberapa penduduk saling pandang, tapi tidak ada yang menjawab. Arya mengingat pria tua yang ia lihat di hutan. Apakah itu Pak Karta? Tetapi ia ragu untuk langsung mengungkapkan apa yang ia lihat.
Setelah beberapa saat, seorang wanita paruh baya, Bu Sri, maju dengan wajah pucat. “Pak Karta memang sempat bilang mau mencari kayu bakar di hutan. Tapi… saya sudah memperingatkannya untuk tidak pergi terlalu jauh,” katanya dengan suara gemetar.
Pak Wiryo mengangguk pelan, lalu menatap semua orang. “Saya tahu beberapa dari kalian mungkin merasa bahwa ini hanya kebetulan. Tapi saya percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Kita harus menemukan Pak Karta sebelum terlambat.”
Setelah pertemuan selesai, Arya kembali ke rumah Pak Surya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan reaksi para penduduk desa. Seolah mereka menyembunyikan sesuatu. Ketika mereka duduk di ruang tamu, Arya tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Pak Surya, sebenarnya apa yang terjadi di desa ini? Kenapa penduduk terlihat takut setiap kali membahas tentang hutan?”
Pak Surya menghela napas panjang. Ia menatap Arya dengan sorot mata penuh beban, seolah berjuang untuk memutuskan apakah ia harus bercerita atau tidak. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara.
“Ada legenda lama di desa ini,” kata Pak Surya pelan. “Tentang makhluk yang disebut Bayang. Konon, makhluk itu hidup di dalam hutan dan hanya muncul ketika seseorang melanggar batas-batas tertentu.”
“Batas-batas tertentu? Maksudnya apa, Pak?” tanya Arya dengan penasaran.
“Setiap malam bulan purnama, penduduk desa dilarang masuk ke hutan. Itu adalah malam ketika Bayang dipercaya sedang berkeliaran,” jelas Pak Surya. “Dulu, ada beberapa orang yang mengabaikan peringatan ini. Mereka masuk ke hutan dan tidak pernah kembali.”
Arya mencoba mencerna cerita itu. Ia tidak sepenuhnya percaya pada hal-hal mistis, tetapi beberapa hal yang ia lihat di hutan memang sulit dijelaskan dengan logika. “Pak, saya melihat seseorang di hutan tadi. Pria tua yang membawa karung kecil. Apakah itu Pak Karta?”
Pak Surya tampak terkejut. “Apa yang dilakukan pria itu?”
Arya menceritakan semua yang ia lihat, termasuk tumpukan batu, boneka kayu, dan isi karung yang ia temukan. Wajah Pak Surya semakin pucat mendengar cerita itu. “Kalau benar itu Pak Karta… berarti dia mungkin sedang melakukan sesuatu yang berbahaya. Ritual untuk memanggil Bayang.”
Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang legenda Bayang. Ia pergi ke rumah Pak Wiryo untuk bertanya langsung. Kepala desa itu awalnya terlihat enggan untuk berbicara, tetapi setelah Arya meyakinkannya bahwa ia hanya ingin membantu, Pak Wiryo akhirnya buka suara.
“Legenda itu berasal dari zaman nenek moyang kami,” kata Pak Wiryo sambil menuangkan teh untuk Arya. “Dulu, ada seorang dukun bernama Ki Guntur yang tinggal di desa ini. Ia memiliki kekuatan besar, tetapi ia juga dikenal kejam. Ia mengutuk desa ini sebelum ia mati, mengatakan bahwa rohnya akan menjelma menjadi bayangan yang tidak pernah bisa mati.”
Arya menatap Pak Wiryo dengan serius. “Dan menurut Bapak, apakah ini hanya cerita untuk menakut-nakuti, atau benar-benar terjadi?”
Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan, “Saya tidak tahu. Tapi sejak kecil, saya sering mendengar cerita tentang orang-orang yang hilang di hutan. Dan setiap kali itu terjadi, selalu ada tanda-tanda aneh, seperti suara-suara di malam hari atau bayangan yang terlihat dari kejauhan.”
Arya mencatat semua informasi ini, meskipun pikirannya masih penuh dengan kebingungan. Ada terlalu banyak potongan teka-teki yang belum ia pahami. Namun, satu hal yang ia tahu pasti—ia harus kembali ke hutan untuk menemukan jawabannya.
Malam itu, Arya duduk di kamarnya, memeriksa foto-foto dan catatan yang ia kumpulkan. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang menghubungkan semua ini, tetapi ia belum bisa melihat gambaran besarnya. Ketika ia hendak tidur, ia mendengar suara ketukan pelan di pintu.
Ia membuka pintu dan melihat seorang anak kecil berdiri di sana dengan wajah ketakutan. “Mas Arya, saya dengar Bapak saya hilang di hutan. Apakah Mas bisa membantu menemukannya?”
Arya mengenali anak itu sebagai anak Pak Karta. Ia merasa iba sekaligus bersalah karena belum mengungkapkan apa yang ia lihat di hutan. “Saya akan melakukan yang terbaik,” jawabnya sambil mengusap kepala anak itu.
Anak itu menyerahkan sebuah benda kecil kepada Arya—sebuah mainan kayu yang tampak mirip dengan boneka yang ia temukan di hutan. “Ini ada di rumah tadi malam. Saya tidak tahu dari mana datangnya,” kata anak itu sebelum pergi.
Arya memegang boneka kayu itu dengan tangan gemetar. Ini bukan lagi hanya tentang legenda atau cerita rakyat. Ada sesuatu yang nyata dan menyeramkan sedang terjadi di Desa Sungkup, dan ia tahu bahwa rahasia penduduk desa adalah kunci untuk mengungkap semuanya.*
Bab 5: Malam Purnama
Malam itu, langit Desa Sungkup bersih tanpa awan. Bulan purnama menggantung di atas hutan dengan sinar keemasan yang memancar terang. Namun, suasana di desa terasa jauh dari tenang. Penduduk desa menutup rapat pintu dan jendela mereka, seolah ingin melindungi diri dari sesuatu yang tak kasatmata.
Arya berdiri di depan jendela kamar, menatap hutan yang gelap dan berlapis bayangan. Boneka kayu yang diberikan anak Pak Karta siang tadi tergeletak di atas meja, seperti sebuah teka-teki yang menantangnya untuk dipecahkan. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk pergi ke hutan malam ini, meskipun ia tahu risikonya besar.
Pak Surya yang duduk di ruang tamu tampak gelisah. Ketika Arya keluar dari kamar dengan membawa tas dan kamera, Pak Surya langsung berdiri.
“Arya, kamu mau ke mana?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Arya menatapnya dengan tegas. “Saya harus ke hutan, Pak. Saya rasa ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan semua kejadian ini.”
Pak Surya menggeleng kuat. “Jangan, Arya. Ini malam purnama. Tidak ada yang berani masuk ke hutan malam ini. Bahkan saya sendiri tidak pernah melanggar aturan itu.”
Namun, Arya tidak menyerah. “Pak, kalau kita terus menunggu tanpa bertindak, misteri ini tidak akan pernah terpecahkan. Saya harus tahu apa yang terjadi, terutama setelah saya melihat pria tua di sana kemarin.”
Setelah beberapa detik terdiam, Pak Surya akhirnya menyerah. “Kalau kamu benar-benar ingin pergi, hati-hati, Arya. Jangan terlalu jauh ke dalam hutan. Dan kalau kamu melihat sesuatu yang aneh, segera kembali.”
Arya berjalan menyusuri jalan setapak menuju hutan. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin yang berbisik melalui dedaunan. Cahaya bulan purnama menembus celah-celah pohon, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak seperti sosok hidup.
Di tengah perjalanan, Arya mendengar suara aneh—seperti langkah kaki di dedaunan kering. Ia berhenti sejenak, menajamkan pendengarannya. Suara itu terhenti, tetapi rasa dingin menjalar di punggungnya. Dengan keberanian yang tersisa, ia melanjutkan langkah.
Ketika ia tiba di area yang ia kunjungi kemarin, ia terkejut. Tumpukan batu yang kemarin ia lihat sekarang lebih tinggi, seperti baru saja ditambah. Di atas tumpukan itu, ada lilin kecil yang menyala, menciptakan cahaya redup. Namun, yang paling menarik perhatian Arya adalah boneka kayu serupa dengan yang diberikan anak Pak Karta tadi siang. Boneka itu ditancapkan di puncak tumpukan batu.
Arya mendekat perlahan, jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kamera dari tas dan memotret tumpukan batu itu. Saat ia memeriksa gambar di layar kamera, suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Arya berbalik cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
“Siapa di sana?” Arya berteriak, mencoba menguasai rasa takutnya. Namun, tidak ada jawaban. Hanya desiran angin yang menjawab.
Tiba-tiba, Arya melihat sesuatu di kejauhan. Sosok bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Sosok itu terlalu besar untuk manusia, tetapi juga tidak berbentuk hewan. Arya merasa tubuhnya membeku. Bayangan itu berhenti, lalu menghilang ke dalam kegelapan.
Arya menarik napas panjang dan mencoba tetap tenang. Ia mendekati tumpukan batu dan memperhatikan boneka kayu itu lebih dekat. Ada ukiran simbol-simbol aneh di tubuh boneka tersebut, yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia memotret boneka itu dari dekat, berharap dapat menganalisisnya nanti.
Saat Arya hendak meninggalkan tempat itu, ia mendengar suara yang lebih menyeramkan—seperti rintihan panjang, samar-samar datang dari dalam hutan. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang kesakitan, tetapi tidak sepenuhnya manusia. Arya merasa bulu kuduknya meremang.
“Apa ini…?” gumamnya pelan, merasa dirinya berada di ambang sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.
Arya memutuskan untuk mengikuti suara itu, meskipun akalnya mengatakan bahwa ia seharusnya kembali ke desa. Langkah-langkahnya membawa ia semakin jauh ke dalam hutan, melewati pepohonan tinggi yang menjulang seperti penjaga gelap.
Setelah beberapa menit berjalan, Arya tiba di sebuah area terbuka. Di sana, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Sebuah lingkaran besar yang terbentuk dari batu-batu kecil, dengan lilin yang menyala di setiap sisinya. Di tengah lingkaran, terdapat boneka kayu lain, tetapi kali ini ukurannya lebih besar dan memiliki ukiran wajah yang menyeramkan.
Di dekat lingkaran itu, Arya melihat jejak kaki yang tampaknya baru. Jejak itu menuju ke arah yang lebih gelap dari hutan. Ia merasa bahwa jejak itu adalah milik seseorang yang sedang ia cari, mungkin Pak Karta. Tetapi sebelum ia sempat memutuskan untuk mengikuti jejak itu, suara rintihan tadi terdengar lagi, kali ini lebih keras dan lebih dekat.
Arya menoleh ke belakang dan terkejut melihat bayangan besar itu muncul lagi, kali ini lebih dekat. Bayangan itu bergerak perlahan, seolah-olah mengintainya. Arya merasa tenggorokannya kering, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa berdiri diam. Dengan cepat, ia mengambil kamera dan mencoba memotret bayangan itu. Namun, ketika ia menekan tombol kamera, bayangan itu menghilang begitu saja.
Suara rintihan itu berhenti, digantikan oleh keheningan yang mencekam. Arya merasa bahwa ia harus segera keluar dari hutan sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi. Ia berlari sekuat tenaga, meninggalkan lingkaran batu dan semua tanda-tanda aneh itu di belakangnya.
Ketika ia akhirnya keluar dari hutan dan mencapai jalan desa, ia hampir tidak percaya bahwa ia berhasil selamat. Namun, ia tahu bahwa apa pun yang ia temukan malam ini hanyalah permukaan dari misteri yang lebih dalam. Desa Sungkup menyimpan rahasia yang jauh lebih gelap daripada yang ia bayangkan.*
Bab 6: Pelarian dan Pengungkapan
Setelah peristiwa malam itu, Arya merasa seperti diliputi oleh bayangan yang tak pernah meninggalkannya. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat, setiap sudut Desa Sungkup penuh dengan misteri yang mengintainya. Matahari terbit keesokan harinya dengan sinar yang tampak lebih redup, seakan merasakan ketegangan yang terpendam di dalam hati penduduk desa.
Di rumah Pak Surya, Arya duduk terdiam, matanya terpaku pada potret desa yang tergantung di dinding ruang tamu. Di bawah potret itu, meja kayu terlihat begitu sunyi, seolah tidak ada tempat bagi cerita yang sedang dibawa Arya. Pak Surya duduk di hadapannya, wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam.
“Ini sudah terlalu jauh, Arya. Kamu harus berhenti mencari tahu lebih banyak,” kata Pak Surya, suaranya berat, seperti mencoba menahan sesuatu yang lebih besar.
Arya memandang Pak Surya dengan tajam. “Pak, saya tahu ada sesuatu yang besar yang disembunyikan di desa ini. Malam tadi saya melihatnya—sesuatu yang mengerikan di dalam hutan. Saya tidak bisa hanya diam dan menunggu. Jika tidak sekarang, mungkin sudah terlalu terlambat.”
Pak Surya menghela napas panjang, seolah bergumul dengan keputusan besar yang harus ia ambil. “Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi, Arya. Desa ini terikat oleh sejarah yang sudah lama terkubur. Mencari tahu lebih jauh tidak akan membawa kebaikan. Banyak orang sudah mencoba, dan mereka tidak pernah kembali.”
“Tapi saya harus tahu, Pak,” jawab Arya, keras dan tegas. “Jika saya tidak mencari tahu, orang-orang yang hilang itu akan tetap menjadi bayangan yang menghantui kita semua. Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan terus-menerus.”
Pak Surya terdiam sejenak, matanya berpaling ke jendela yang menghadap ke luar rumah. Di luar, langit tampak semakin mendung, seakan menandakan bahwa pertempuran besar akan segera dimulai. Lalu, ia berkata dengan suara pelan, “Baiklah, jika kamu bersikeras, kamu harus tahu semua yang aku tahu. Aku tidak bisa membiarkanmu berjalan tanpa petunjuk.”
Arya menatapnya, tidak sabar.
Pak Surya melanjutkan, “Dahulu kala, desa ini memiliki sebuah tradisi yang sangat erat dengan kekuatan alam dan ritual kuno. Konon, ada entitas yang dikenal sebagai ‘Bayangan Gelap’ yang melindungi desa, menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia yang tak tampak. Mereka yang ingin keluar dari tradisi itu akan hilang begitu saja, menghilang ke dalam hutan, dan tidak pernah ditemukan lagi.”
Arya mendengarkan dengan seksama, mencoba memproses setiap kata yang diucapkan Pak Surya. “Jadi… itu yang terjadi dengan orang-orang yang hilang? Mereka mengingkari tradisi ini?”
Pak Surya mengangguk perlahan. “Betul. Tapi, masalahnya, entitas itu tidak hanya menghilangkan mereka. Itu lebih dari itu. Sesuatu yang lebih jahat sedang bangkit, sesuatu yang jauh lebih tua dari apapun yang kita tahu.”
Sambil berbicara, Pak Surya membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah buku tua yang sudah usang. Buku itu tampak seperti buku catatan yang sangat lama, hampir tidak terbaca lagi karena usia dan kerusakan. Ia membuka halaman pertama dan menunjukkannya pada Arya.
“Apa ini?” tanya Arya, penasaran.
“Ini adalah catatan tentang Bayangan Gelap,” jawab Pak Surya. “Dan ini adalah peringatan untuk mereka yang berani mencapainya.”
Arya memandang catatan itu dengan hati-hati. Halaman pertama penuh dengan gambar-gambar aneh, simbol-simbol yang tampaknya tidak beraturan, namun ada pola yang bisa dikenali jika dilihat dengan seksama. Ia menyentuh sebuah simbol berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh garis-garis melengkung.
“Itu adalah simbol pemanggilan,” kata Pak Surya, suaranya terdengar seperti berbisik, “Jika seseorang mencoba memanggil Bayangan Gelap, mereka harus siap untuk membayar harga yang sangat tinggi. Harga yang tidak bisa dibayar oleh jiwa manusia.”
Arya merasa kengerian merayapi dirinya. “Apakah ini yang dilakukan orang-orang yang hilang? Mereka memanggilnya?”
“Ya,” jawab Pak Surya. “Dan kita harus menghentikan mereka sebelum semuanya terlambat.”
Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari luar, mengganggu percakapan mereka. Arya segera berdiri dan berlari ke luar, diikuti Pak Surya yang cemas. Di depan rumah, beberapa orang dari desa berdiri, wajah mereka tegang, beberapa di antaranya memegang obor. Mereka tampak seperti sedang menunggu sesuatu.
“Pak Surya, ada yang terjadi di hutan,” seorang pria desa berteriak. “Ada orang yang hilang lagi. Seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu.”
Wajah Pak Surya menjadi pucat. “Tidak… itu tidak mungkin.”
Arya menatap pria desa tersebut dengan cemas. “Apa maksudmu dengan hilang? Apakah ini ada hubungannya dengan… Bayangan Gelap?”
Pria desa itu mengangguk dengan ragu, kemudian menjelaskan, “Kami tidak tahu pasti, tapi kami menemukan jejak kaki yang menuju ke dalam hutan. Jejaknya… sangat aneh. Seperti seseorang yang berjalan dengan berat.”
Pak Surya menatap Arya, lalu menghela napas berat. “Ini saatnya kita menghadapi semuanya. Kamu sudah terlibat, Arya. Tidak ada jalan mundur.”
Arya menatap hutan yang gelap, sebuah tempat yang penuh dengan misteri. Waktu yang tepat untuk lari sudah lama lewat, dan kini hanya ada satu pilihan: menghadapi apa yang ada di depan, meski tahu konsekuensinya bisa sangat mengerikan.
“Baiklah,” kata Arya dengan suara yang penuh tekad. “Mari kita pergi ke hutan.”
Malam itu, dengan cahaya obor yang hanya cukup untuk menerangi langkah mereka, Arya, Pak Surya, dan beberapa penduduk desa berangkat ke hutan. Masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka sedang menuju ke sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang bisa mereka bayangkan.
Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri yang mengerikan, dan setiap jejak yang mereka temukan semakin menguatkan dugaan mereka bahwa Bayangan Gelap tidak hanya nyata, tetapi siap untuk mengambil kembali apa yang seharusnya tidak pernah terlepas dari genggamannya.*
Bab 7: Cahaya di Tengah Kegelapan
Langit malam menutup rapat dengan awan gelap yang menutupi sinar bulan. Keheningan yang mencekam menyelimuti hutan, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar, beradu dengan dedaunan yang bergesekan. Arya, Pak Surya, dan beberapa penduduk desa berjalan beriringan, membawa obor sebagai penerang jalan yang hampir tidak terlihat dalam gelap. Meskipun cahaya api itu tampak seperti harapan kecil di tengah kegelapan, namun aura misterius dari hutan yang teramat sunyi membuat mereka merasa seperti dikejar sesuatu yang tidak tampak.
Mereka telah berjalan lebih dari satu jam, jejak kaki yang mereka temukan semakin sulit diikuti. Tanpa kata, mereka semua tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya sekedar mencari orang yang hilang, tetapi mencari jawaban untuk misteri yang telah lama membungkam mulut desa. Pak Surya memimpin di depan, wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, matanya sesekali melirik ke sekeliling dengan waspada.
Arya merasakan ketegangan yang menekan dada. Hatinya berdegup kencang, seakan merasakan bahwa sesuatu yang mengerikan sedang menunggu mereka. Ia memandang ke arah hutan yang semakin dalam dan gelap, seperti labirin yang tidak memiliki ujung. Desakan untuk mengungkap kebenaran semakin kuat, namun semakin mereka melangkah, semakin besar rasa takut yang menguasai dirinya.
Tiba-tiba, sebuah suara gemerisik terdengar di dekat mereka. Semua orang berhenti seketika, mendengarkan dengan cermat. Suara itu semakin keras, seolah ada sesuatu yang bergerak di antara pepohonan. Arya merapatkan tubuhnya ke Pak Surya, matanya melintas ke arah bayangan yang bergerak di kejauhan.
“Apa itu?” bisik Arya, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam yang berdesir.
Pak Surya menatap ke depan dengan cemas. “Kita tidak sendirian di sini. Awas!”
Sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, bayangan besar melintas dengan cepat di antara pohon-pohon. Sesuatu yang sangat cepat, tapi tidak terlihat jelas. Suasana semakin mencekam, dan Arya merasa tubuhnya kaku. Desakan untuk melangkah maju semakin kuat, namun rasa takut yang menggerogoti membuat setiap langkah terasa lebih sulit.
“Pak Surya… Apa yang sebenarnya terjadi di desa ini?” tanya Arya, suaranya gemetar. “Apa yang sebenarnya sedang kita hadapi?”
Pak Surya menatapnya dengan serius, matanya penuh dengan ketakutan dan penyesalan. “Bayangan Gelap itu bukan hanya mitos, Arya. Mereka yang hilang… mereka tidak pergi begitu saja. Mereka menjadi bagian dari kekuatan itu. Jika kita tidak berhati-hati, kita semua bisa menjadi bagian dari mereka.”
Sebelum Arya sempat merespons, salah satu penduduk desa yang berjalan di belakang mereka berteriak, “Lihat! Ada cahaya!”
Semua mata tertuju pada cahaya kecil yang berkedip-kedip di kejauhan, lebih jauh ke dalam hutan. Obor yang terpasang pada batang pohon itu terlihat seperti titik terang di tengah kegelapan. Tanpa pikir panjang, mereka bergegas menuju cahaya tersebut, melangkah lebih cepat, meski jantung mereka semakin berdetak kencang. Arya merasa ada sesuatu yang menariknya untuk terus maju, meskipun logikanya mengatakan bahwa mereka harus berhati-hati.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah clearing, dan cahaya obor itu berasal dari sebuah altar batu besar yang terletak di tengah area tersebut. Altar itu tampak kuno, tertutup lumut dan akar-akar pohon, dengan simbol-simbol aneh yang terukir di permukaannya. Di sekitar altar, ada beberapa benda ritual yang diletakkan dengan sangat hati-hati: lilin yang sudah hampir habis terbakar, beberapa bunga yang layu, dan benda-benda lain yang tampaknya telah lama digunakan.
Di sekitar altar itu, ada sesosok tubuh yang tergeletak. Seorang pria, tampak pucat dan tak bergerak. Arya berlari ke arahnya, bersama dengan beberapa penduduk desa. Pak Surya mengikutinya, wajahnya semakin tegang.
“Dia… dia masih hidup,” kata Arya, memeriksa denyut nadi pria itu. “Apa yang terjadi padanya?”
Pak Surya mendekat, menatap tubuh pria itu dengan tatapan cemas. “Ini adalah korban yang keempat,” ujarnya pelan. “Mereka yang tersesat di dalam ritual ini, mereka akan dibawa ke sini, ke tempat ini… dan mereka akan menjadi bagian dari Bayangan Gelap.”
Arya merasa tubuhnya terhuyung. “Bagaimana bisa? Apa yang terjadi jika dia tidak segera diselamatkan?”
“Jika kita tidak membawanya keluar dari sini segera, dia akan hilang selamanya, menjadi bagian dari mereka. Kita harus menghentikan ini sebelum terlambat,” jawab Pak Surya, matanya terbuka lebar, penuh dengan rasa takut dan penyesalan.
Sambil berusaha membangunkan pria itu, Arya merasakan sesuatu yang sangat ganjil. Ada kekuatan yang mengalir melalui udara, semacam energi gelap yang mulai menekan dada. Cahaya obor yang mereka bawa seakan melemah, dan bayangan dari sekitar altar itu tampak semakin gelap, bergerak seperti kehidupan yang tak terduga.
Tiba-tiba, suara gemuruh keras terdengar dari dalam hutan, dan cahaya dari altar batu itu mulai menyala dengan intensitas yang sangat terang. Semua orang terperanjat, langkah mereka terhenti. Sesuatu yang besar, yang lebih besar dari apapun yang bisa mereka bayangkan, mulai bergerak di tengah hutan.
Pak Surya memegang bahu Arya dengan erat. “Kita harus segera pergi dari sini. Ini saatnya untuk menghentikan semuanya. Tidak ada waktu lagi.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara tawa mengerikan terdengar, mengisi udara di sekitar mereka. Sebuah bayangan besar muncul dari kegelapan hutan, membentuk sosok yang mengerikan. Itu bukan manusia. Itu adalah entitas yang telah lama terpendam, Bayangan Gelap.
“Arya… waktumu sudah tiba,” suara itu bergema di seluruh hutan, seakan berasal dari segala penjuru. “Kamu yang terakhir dari mereka yang berani melawan. Sekarang, kamu akan menjadi bagian dari kami.”
Arya merasa seolah seluruh tubuhnya terikat oleh kekuatan yang sangat kuat. Di hadapannya, Bayangan Gelap berdiri, menatapnya dengan mata yang kosong dan penuh kegelapan.
Namun, di dalam kegelapan itu, ada satu hal yang ia sadari: meskipun ia merasa takut, ia juga merasa sebuah kekuatan yang lebih besar. Cahaya di tengah kegelapan adalah pilihan, dan ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menyerah begitu saja.
“Ini belum berakhir,” kata Arya, dengan suara yang lebih yakin dari sebelumnya.
Dengan tekad yang baru, Arya berdiri menghadapi Bayangan Gelap, siap untuk mengungkap kebenaran yang telah lama tersembunyi.***
————-THE END———-