BAB 1: Lowongan Misterius
Arya duduk termenung di ruang tamu apartemennya yang kecil namun nyaman. Di hadapannya, layar laptop menampilkan laman lowongan kerja yang sudah berkali-kali dia telusuri dalam seminggu terakhir. Beberapa lamaran telah dia kirim, namun belum ada kabar baik. Rasa frustasi mulai menyelinap, apalagi uang tabungannya mulai menipis.
“Kalau terus begini, bisa-bisa aku jadi terapis gratisan untuk diriku sendiri,” gumam Arya sembari mengusap wajahnya. Dia adalah seorang terapis lulusan baru yang belum punya banyak pengalaman, kecuali sesi magang selama setahun yang penuh drama dengan pasangan-pasangan bermasalah. Meski sering memusingkan, Arya sebenarnya menyukai pekerjaannya. Mendengarkan masalah orang lain memberinya perspektif baru, meskipun kadang ia merasa seperti tempat sampah emosi.
Sembari menggulir halaman terakhir di situs lowongan kerja, sebuah iklan aneh tiba-tiba menarik perhatiannya. Judulnya saja sudah cukup mencurigakan: “Dicari Terapis untuk Pasangan Spesial – Gaji Tinggi, Tantangan Besar!”
Arya mengklik iklan tersebut tanpa pikir panjang. Deskripsi pekerjaannya tidak kalah aneh:
- Terapis untuk pasangan yang membutuhkan bantuan intensif dalam hubungan.
- Lokasi: Rahasia, akan diberitahukan setelah diterima.
- Gaji: “Setimpal dengan tantangan.”
- Syarat: Kesabaran tingkat dewa dan tidak mudah kaget dengan situasi tidak biasa.
“Kesabaran tingkat dewa? Apa ini lowongan serius atau cuma lelucon?” Arya merenung, tapi entah kenapa rasa penasarannya terusik. Meski deskripsinya samar dan terkesan konyol, ia memutuskan untuk mencoba melamar. Toh, apa salahnya mencoba?
Setelah mengirim lamaran, Arya tak terlalu berharap. Dia menganggap itu hanya salah satu dari ratusan lamaran kerja yang mungkin tak akan ada balasan. Namun, keanehan terjadi ketika beberapa jam kemudian, sebuah email masuk ke kotaknya.
“Selamat! Anda diterima sebagai Terapis Pasangan Spesial. Silakan datang ke lokasi berikut besok pagi.”
Arya memandangi layar dengan mata melotot. Tidak ada wawancara? Tidak ada proses seleksi? Bahkan alamat yang diberikan juga tidak jelas. “Bukankah ini agak… mencurigakan?” pikirnya. Tetapi rasa penasaran kembali menguasai. Dia mencatat alamat tersebut—yang anehnya tidak ada di peta mana pun—dan memutuskan untuk pergi ke sana esok hari.
Malamnya, Arya mencoba untuk tidur lebih awal, tapi pikirannya dipenuhi spekulasi. “Siapa sih pasangan spesial ini? Jangan-jangan mereka selebriti atau pejabat terkenal? Atau jangan-jangan mereka pasangan yang benar-benar gila sampai tidak ada terapis lain yang mau menangani mereka?”
Saat akhirnya ia terlelap, mimpi aneh menghampirinya. Dalam mimpi itu, Arya berada di puncak gunung yang dikelilingi awan. Di hadapannya, ada dua sosok yang bercahaya. Seorang wanita anggun dengan mahkota emas yang penuh wibawa, tetapi sorot matanya tajam seperti elang. Di sebelahnya, seorang pria berotot dengan janggut lebat dan petir di tangannya, tersenyum seperti anak kecil yang baru saja mencuri kue.
“Selamat datang, manusia,” ujar wanita itu dengan nada dingin. “Aku Hera, dan ini suamiku, Zeus. Kami membutuhkan jasamu.”
Arya terkejut. “Tunggu, tunggu! Hera? Zeus? Maksud kalian… dewa-dewi Yunani dari mitologi itu?”
Zeus tertawa keras. “Ya, benar sekali! Dan kau, manusia pintar, akan menjadi terapis kami. Mulai besok pagi!”
Arya mencoba memprotes, tapi tubuhnya seperti terperangkap di tempat. “Tunggu dulu! Ini pasti hanya mimpi—”
Sebelum dia selesai bicara, suara petir menyambar keras, dan Arya terbangun dengan keringat dingin. Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul tiga pagi. Dia mengusap wajahnya, mencoba mengusir sisa mimpi aneh itu. “Mungkin ini hanya sugesti gara-gara aku membaca deskripsi pekerjaan itu,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Pagi harinya, Arya menempuh perjalanan menuju alamat yang diberikan. Setelah berganti tiga angkutan umum dan berjalan melewati gang-gang sempit, dia tiba di tempat yang tampak seperti… kuil kuno? Dia memandang bangunan itu dengan dahi berkerut. Bangunan itu benar-benar seperti diambil dari zaman Yunani Kuno, dengan pilar-pilar marmer putih menjulang tinggi. Di depan pintu masuk, ada papan kecil bertuliskan: “Konsultasi Hubungan Spesial. Masuk Tanpa Ketakutan.”
Arya menelan ludah. “Oke, ini pasti semacam prank atau reality show. Kamera di mana, ya?” pikirnya. Namun, tidak ada kamera atau kru televisi di sekitar. Dengan perasaan campur aduk, dia melangkah masuk.
Di dalam, suasana lebih aneh lagi. Lantainya terbuat dari marmer, dan ada ornamen emas di mana-mana. Udara terasa sejuk meski tidak ada AC. Di tengah ruangan, seorang pria berjanggut putih dan seorang wanita dengan gaun berkilau duduk berhadapan, tampak saling diam. Wajah mereka persis seperti sosok dalam mimpinya.
“Selamat datang, Arya,” ujar pria itu dengan suara berat tapi ramah. “Aku Zeus, dan ini istriku, Hera. Kami pasangan yang membutuhkan bantuanmu.”
Arya membeku di tempat. Jantungnya berdebar kencang. “Tunggu dulu,” gumamnya, mencoba mencari logika di balik semua ini. “Jadi kalian benar-benar… Dewa-dewi Olympus?”
Hera memutar bola matanya. “Tentu saja. Apa aku harus mengeluarkan harpy untuk membuktikannya?”
Arya menatap mereka bergantian, antara ingin tertawa atau lari. “Oke… Ini pasti mimpi lagi, kan? Atau aku sedang masuk ke dunia paralel?”
Zeus tertawa. “Ini nyata, anak muda. Dan kau sudah terikat kontrak kerja dengan kami. Selamat bekerja!”
Arya hanya bisa berdiri terpaku. Dalam hati, ia bertanya-tanya: “Apa yang sebenarnya aku masuki ini?”*
BAB 2: Klien dari Olympus
Arya masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Duduk di hadapannya adalah pasangan paling terkenal dalam sejarah mitologi Yunani, Hera dan Zeus. Tidak ada kamera tersembunyi, tidak ada kru televisi, dan tidak ada tanda-tanda ini adalah lelucon besar. Semuanya terasa terlalu nyata.
“Baiklah,” Arya berdehem, mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalian benar-benar Hera dan Zeus?”
“Sudah kubilang, iya,” jawab Hera, nadanya sinis. Dia melipat tangan di dadanya, sementara matanya menatap Arya dengan tajam. “Tapi kalau kau mau bukti tambahan, aku bisa memanggil seekor harpy untuk bernyanyi di sini.”
“Tidak, tidak perlu,” Arya buru-buru menolak, sambil melambaikan tangan. Dia tidak yakin ingin melihat makhluk mitologi lain dalam waktu dekat.
Zeus, di sisi lain, tersenyum lebar dan bersandar santai di kursinya. Dia memegang sebuah cangkir yang entah bagaimana selalu penuh dengan anggur meskipun tidak ada botol di sekitarnya. “Kau harus memaklumi istriku, anak muda. Dia memang suka sedikit dramatis.”
“Dramatis?!” Hera langsung menoleh dengan tajam. “Kau menyebutku dramatis setelah semua yang kau lakukan?!”
Arya melirik keduanya, mencoba membaca situasi. “Oke, ini jelas akan sulit,” pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam. Dia memutuskan untuk memulai dengan profesionalisme.
“Baiklah,” katanya dengan suara tegas. “Sebelum kita mulai, bisa tolong ceritakan apa yang menjadi masalah utama kalian? Apa yang membuat kalian merasa perlu terapi?”
Hera langsung menjawab sebelum Zeus sempat membuka mulut. “Masalahnya adalah dia!” katanya sambil menunjuk suaminya dengan jari telunjuk yang penuh amarah. “Dia tidak bisa setia! Sepanjang milenium, dia terus saja menggoda nymph, manusia, bahkan makhluk lain yang aku tidak bisa sebutkan di sini. Kau tahu betapa memalukannya menjadi istrinya?”
Zeus mengangkat bahu, tampak tak peduli. “Kau terlalu serius, Hera. Semua itu hanya bagian dari… kehidupan abadi. Sedikit kesenangan di sana-sini tidak berarti apa-apa.”
“Tidak berarti apa-apa?!” suara Hera meninggi, dan Arya mulai merasa ada listrik statis di udara. “Kau memunculkan generasi setengah dewa yang tak terhitung jumlahnya! Dan aku yang harus membersihkan kekacauannya!”
Arya mengangkat tangan, mencoba menghentikan pertengkaran sebelum menjadi lebih buruk. “Oke, oke, ayo kita tenang. Ini adalah ruang yang aman. Kita di sini untuk berbicara dan mencari solusi, bukan untuk saling menyalahkan.”
Zeus melirik Arya dengan senyuman geli. “Kau sangat serius, manusia. Aku suka itu. Kau tahu, kau mengingatkanku pada Athena.”
“Jangan coba-coba membandingkan dia dengan putri kesayanganmu!” Hera menyela, nadanya penuh sindiran.
Arya merasa bahwa tugasnya sebagai terapis akan jauh lebih sulit dari yang dia duga. Dia mengambil buku catatan dari tasnya dan mulai mencatat. “Oke, jadi tampaknya masalah utamanya adalah kurangnya kesetiaan, ditambah kurangnya rasa saling percaya. Apakah ada hal lain yang ingin kalian tambahkan?”
Hera membuka mulutnya, tapi Zeus memotongnya. “Tunggu sebentar,” katanya sambil menatap Arya dengan mata biru cerahnya yang berkilauan. “Sebelum kita melanjutkan, aku ingin tahu: mengapa kau setuju mengambil pekerjaan ini? Maksudku, apa kau tahu siapa kami sebelum datang ke sini?”
Arya terdiam sejenak, tidak yakin bagaimana harus menjawab. “Sejujurnya, saya tidak tahu,” katanya jujur. “Tapi sekarang saya di sini, dan saya pikir ini adalah tantangan profesional yang menarik. Jadi, ya… saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu kalian.”
Zeus mengangguk puas. “Aku suka semangatmu. Tapi hati-hati, tugas ini bukan untuk orang yang lemah hati.”
Hera mendengus. “Dia benar. Kau mungkin akan membutuhkan banyak kesabaran—dan mungkin asuransi jiwa.”
Arya mencoba tersenyum, meskipun bagian “asuransi jiwa” itu membuatnya sedikit gugup. Dia kembali fokus pada tugasnya. “Baiklah, mari kita coba latihan sederhana. Saya ingin kalian masing-masing menjawab pertanyaan ini: Apa yang kalian hargai dari pasangan kalian? Tidak perlu berpikir terlalu lama, hanya sebutkan satu hal positif.”
Hera memutar bola matanya. “Apakah ini benar-benar perlu?”
“Ya, sangat perlu,” jawab Arya tegas.
Hera mendesah keras sebelum akhirnya menjawab. “Baiklah, aku menghargai… kekuatannya. Dia memang kuat. Bahkan ketika dia membuat kekacauan, dia selalu berhasil memperbaikinya—entah bagaimana caranya.”
Zeus tersenyum lebar, tampak senang dengan pujian itu. “Terima kasih, istriku tercinta.”
Giliran Zeus, tapi sebelum Arya sempat bertanya, dia sudah menjawab dengan senyuman nakal. “Aku menghargai kecantikannya. Hera adalah wanita tercantik di seluruh Olympus. Tidak ada yang bisa menyainginya.”
Arya mencoba untuk tidak memutar bola matanya. “Tentu saja dia akan mengatakan itu,” pikirnya. Tapi dia memutuskan untuk tidak mengomentarinya. “Bagus. Itu adalah langkah awal yang baik. Sekarang, mari kita coba berbicara tentang bagaimana kalian bisa memperbaiki komunikasi kalian.”
Namun, sebelum Arya sempat melanjutkan, pintu kuil terbuka dengan keras, dan seorang pria berpenampilan muda dengan sayap kecil di sandal dan helmnya masuk. Itu adalah Hermes, dewa pembawa pesan.
“Maaf mengganggu,” katanya dengan nada santai. “Tapi Hera, Zeus, ada masalah di Olympus. Apollo kehilangan lira-nya lagi, dan semua orang menyalahkan aku. Bisa kalian selesaikan ini cepat?”
Hera memijat pelipisnya dengan kesal. “Hermes, kau selalu muncul di saat yang paling tidak tepat.”
Zeus tertawa kecil. “Ah, tenanglah, Hera. Ini hanya sedikit gangguan. Kita bisa kembali ke terapi nanti.”
Arya hanya bisa duduk terdiam, bingung. Sepertinya menjadi terapis pasangan dari Olympus tidak hanya berarti menangani masalah hubungan, tetapi juga menghadapi semua drama dewa-dewi.
“Baiklah,” kata Arya akhirnya, sambil menutup buku catatannya. “Kita lanjutkan sesi ini minggu depan.”
Dia keluar dari kuil dengan kepala penuh pikiran. Satu hal yang pasti: pekerjaan ini jauh lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Namun, di sisi lain, dia tidak bisa menahan rasa penasaran untuk melihat bagaimana cerita ini akan berlanjut.*
BAB 3: Perselisihan yang Abadi
Hari itu, Arya datang lebih awal ke kuil konsultasi yang sekarang menjadi “kantor” barunya. Setelah sesi perkenalan yang kacau minggu lalu, dia sudah mempersiapkan segalanya untuk sesi terapi kedua Hera dan Zeus. Buku catatan, pulpen, diagram komunikasi, bahkan bola stres untuk dirinya sendiri—semua sudah dia susun rapi di atas meja.
“Aku bisa melakukan ini,” gumam Arya sambil menarik napas panjang. “Mereka hanya pasangan dengan masalah… yang kebetulan adalah dewa-dewi.”
Namun, optimisme Arya langsung terkoyak begitu pintu kuil terbuka dengan keras, menandakan kedatangan kliennya. Zeus masuk lebih dulu, mengenakan toga yang memancarkan kilauan seperti emas cair. Senyumnya lebar, seolah tidak ada masalah di dunia ini.
“Halo, Arya! Siap membantu kami lagi?” katanya dengan nada riang.
Di belakangnya, Hera masuk dengan ekspresi dingin seperti es. Gaunnya berkilau indah, tetapi tatapan matanya penuh kemarahan. Dia tidak mengucapkan apa pun saat duduk di sofa, hanya menyilangkan tangan di dada.
Arya menelan ludah. “Selamat datang kembali, Hera, Zeus. Saya senang kalian datang untuk sesi hari ini.”
“Saya tidak datang karena senang,” Hera menyindir, matanya menusuk ke arah Zeus. “Aku di sini karena dia yang memaksaku.”
Zeus mengangkat bahu, tampak tak terganggu. “Aku hanya ingin kita mencoba memperbaiki hubungan, istriku. Bukankah itu hal yang baik?”
Hera mendengus. “Lucu sekali mendengarmu bicara tentang memperbaiki hubungan, mengingat kau adalah penyebab kerusakannya.”
Arya memutuskan untuk segera mengambil alih sebelum suasana semakin panas. “Baiklah, mari kita mulai dengan aturan dasar sesi ini: Tidak ada saling menyalahkan, tidak ada interupsi, dan kita fokus pada solusi, bukan masalah.”
Hera melirik Arya dengan skeptis. “Itu terdengar seperti utopia, tapi baiklah. Aku akan mencoba.”
“Bagus,” Arya berkata dengan lega. Dia mengambil buku catatannya dan memulai. “Jadi, untuk memulai, mari kita bicara tentang satu masalah spesifik yang kalian ingin selesaikan hari ini.”
Hera langsung mengangkat tangan. “Kesetiaannya.”
Zeus mendesah. “Ah, lagi-lagi soal itu. Hera, kita sudah membahas ini ribuan kali.”
“Kita membahasnya, tapi kau tidak pernah berubah!” Hera membalas dengan nada meninggi. “Aku sudah cukup sabar selama berabad-abad, Zeus. Tapi kau terus saja menggoda nymph, manusia, bahkan makhluk yang lebih rendah dari itu. Sampai kapan aku harus mentolerir ini?”
Arya mencoba menengahi. “Zeus, apa pendapat Anda tentang perasaan Hera ini? Apakah Anda mengerti mengapa dia merasa seperti itu?”
Zeus menggosok dagunya dengan ekspresi sok berpikir. “Aku mengerti, tentu saja. Hera merasa cemburu, itu wajar. Tapi aku tidak mengerti kenapa dia selalu membesar-besarkan hal-hal kecil.”
“Hal kecil?!” Hera berdiri dari kursinya, dan ruangan mulai bergetar. “Kau menyebut semua pengkhianatanmu hal kecil?!”
Arya buru-buru melambaikan tangannya, mencoba menghentikan potensi bencana. “Tunggu! Hera, silakan duduk dulu. Mari kita bicara ini dengan tenang.”
Hera akhirnya duduk kembali, meskipun wajahnya masih merah padam. Arya mengalihkan pandangannya ke Zeus.
“Zeus, Anda mengatakan ini adalah hal kecil. Tapi apakah Anda sadar bahwa tindakan Anda memiliki dampak besar pada perasaan Hera? Bisakah Anda mencoba melihat dari perspektifnya?”
Zeus menghela napas. “Aku tidak bermaksud menyakiti Hera, sungguh. Tapi kau tahu, menjadi dewa petir itu penuh tekanan. Kadang aku butuh… hiburan untuk menghilangkan stres.”
Arya memijat pelipisnya. “Oke, mari kita klarifikasi. Apa yang Anda maksud dengan hiburan?”
Zeus tersenyum lebar, dan sebelum dia bisa menjawab, Hera menyela. “Hiburan baginya berarti menyamar menjadi banteng untuk menggoda gadis, atau berubah menjadi angsa untuk menarik perhatian perempuan malang. Itu hiburan baginya!”
Arya terdiam sejenak, mencoba memproses informasi itu. “Zeus, apakah itu benar?”
Zeus mengangkat bahu. “Yah, aku pikir itu kreatif.”
Hera meledak lagi. “Kreatif?! Itu menjijikkan!”
Ruangan mulai dipenuhi oleh listrik statis, dan Arya merasa rambutnya berdiri. Dia tahu ini akan menjadi momen yang berbahaya jika tidak segera dikendalikan.
“Oke, tunggu sebentar!” Arya berkata dengan suara tegas. “Saya mengerti bahwa kalian memiliki banyak emosi yang terpendam. Tapi ingat, tujuan kita di sini adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan membuatnya semakin rumit.”
Hera menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Baiklah, Arya. Katakan, apa yang harus aku lakukan?”
Arya mengangguk, merasa sedikit lega. “Pertama, mari kita coba latihan komunikasi. Saya ingin kalian bergantian berbicara selama dua menit tanpa interupsi. Hera, Anda bisa mulai dengan mengatakan apa yang Anda rasakan tanpa menyalahkan Zeus.”
Hera berpikir sejenak sebelum berbicara. “Aku merasa dikhianati. Aku merasa tidak dihargai, meskipun aku sudah mendukung Zeus sebagai raja Olympus selama berabad-abad. Aku adalah istrimu, Zeus. Tapi kau terus membuatku merasa seperti aku tidak cukup baik untukmu.”
Arya mencatat sambil mengangguk, lalu menoleh ke Zeus. “Sekarang giliran Anda. Dengarkan baik-baik dan coba jawab tanpa defensif.”
Zeus mengangguk pelan. “Aku mendengar apa yang kau katakan, Hera. Dan aku minta maaf jika tindakanku membuatmu merasa seperti itu. Aku tidak bermaksud melukai perasaanmu.”
Arya sedikit terkejut melihat respons Zeus yang cukup tenang. Hera juga tampak agak terkejut, meskipun dia tidak menunjukkan sepenuhnya.
“Baik,” Arya berkata, mencoba mempertahankan momentum positif. “Sekarang mari kita coba mencari solusi. Zeus, apa langkah konkret yang bisa Anda lakukan untuk mengurangi rasa tidak aman Hera?”
Zeus berpikir sejenak. “Mungkin aku bisa… berhenti berubah menjadi binatang untuk sementara waktu?”
Hera mengangkat alis. “Untuk sementara waktu?”
Arya buru-buru menyela. “Itu awal yang baik. Tapi bagaimana kalau kita buat komitmen yang lebih jelas? Misalnya, Anda berjanji untuk lebih transparan dalam tindakan Anda.”
Zeus mengangguk, meskipun ragu-ragu. “Baiklah, aku akan mencoba.”
Hera tampak belum sepenuhnya puas, tetapi setidaknya emosinya mulai mereda. Arya merasa bahwa ini adalah kemajuan kecil, meskipun tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang.
Sesi berakhir dengan Hera dan Zeus meninggalkan kuil tanpa melempar petir atau merusak ruangan, yang bagi Arya sudah termasuk sukses besar. Namun, dia tahu bahwa ini baru awal dari perselisihan yang tampaknya abadi.*
BAB 4: Metode Terapi “Modern”
Pagi itu, Arya bangun dengan semangat yang bercampur dengan sedikit rasa was-was. Hari ini adalah sesi ketiga dengan Hera dan Zeus, dan dia sudah menyiapkan sesuatu yang berbeda. Sebagai lulusan psikologi modern, Arya merasa perlu membawa pendekatan baru yang lebih segar ke meja terapi—bahkan jika kliennya adalah pasangan dewa yang hidup selama ribuan tahun.
Dia menghabiskan malam sebelumnya mencari metode terapi yang dapat membantu pasangan dengan dinamika serumit ini. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencoba beberapa teknik terapi modern yang melibatkan permainan peran, komunikasi terbuka, dan sedikit pendekatan mindfulness.
Sampai di kuil, Arya menata ruangannya dengan hati-hati. Dia membawa kartu aktivitas, papan tulis kecil, bahkan beberapa properti sederhana seperti balon warna-warni dan kertas lipat. Ia tahu ini terdengar seperti terapi anak-anak, tapi mungkin ini adalah cara terbaik untuk memecahkan kebuntuan antara Hera dan Zeus.
“Baiklah,” gumam Arya sambil menarik napas panjang, “kalau ini berhasil, aku bisa jadi pelopor terapi dewa-dewi.”
Beberapa menit kemudian, pintu kuil terbuka, dan seperti biasa, Zeus dan Hera masuk. Kali ini, mereka tampak lebih diam dari biasanya. Hera duduk dengan ekspresi waspada, sedangkan Zeus tampak santai seperti biasa, bahkan membawa mangkuk kecil berisi buah anggur.
“Apa rencana hari ini, Arya?” tanya Zeus sambil menyantap anggur. “Harapanku, sesuatu yang lebih menyenangkan daripada hanya berbicara tentang perasaanku.”
Hera memutar bola matanya. “Ya, tentu saja. Karena ‘perasaanmu’ adalah hal terakhir yang kau pikirkan.”
Arya langsung menyela sebelum mereka mulai berdebat. “Tenang, tenang. Hari ini, kita akan mencoba sesuatu yang berbeda. Kita akan menggunakan metode terapi modern untuk membantu kalian memahami satu sama lain lebih baik.”
Zeus menatapnya dengan alis terangkat. “Terapi modern? Seperti apa itu?”
Arya tersenyum percaya diri. “Kalian akan lihat. Percayalah, ini akan seru.”
Arya mengambil dua kartu yang sudah dia siapkan. “Oke, aktivitas pertama adalah permainan peran. Kalian akan bertukar peran dan mencoba melihat dari sudut pandang pasangan kalian.”
Hera langsung terlihat skeptis. “Aku harus jadi Zeus? Ini pasti lelucon.”
“Bukan lelucon,” Arya menjelaskan. “Ini adalah cara untuk memahami bagaimana pasangan kalian berpikir dan merasakan. Hera, Anda akan menjadi Zeus, dan Zeus akan menjadi Hera. Kalian harus meniru satu sama lain selama lima menit.”
Zeus tertawa keras. “Aku harus jadi Hera? Ini menarik!”
Namun, Hera tampak tidak terhibur. “Aku tidak yakin ini ide yang bagus.”
“Tolong coba dulu,” kata Arya dengan suara lembut. “Anggap ini sebagai eksperimen.”
Setelah beberapa protes dari Hera, mereka akhirnya setuju. Zeus berdiri, meniru postur elegan Hera, dan berbicara dengan nada tinggi yang dibuat-buat. “Aku Hera, ratu Olympus, dan tugasku adalah mengeluh sepanjang waktu tentang suamiku!”
Hera mendengus. “Itu bukan aku!”
Arya tersenyum sopan, lalu memberi isyarat pada Hera. “Baiklah, Hera, giliran Anda.”
Hera berdiri, melipat tangan di dada, dan menirukan suara berat Zeus. “Aku Zeus, raja Olympus, dan aku tidak peduli dengan apa pun kecuali makan, minum, dan menggoda semua makhluk yang bisa berjalan!”
Arya menahan tawa, meskipun dia merasa ada sedikit kebenaran dalam ejekan Hera. “Bagus, kalian sudah cukup memahami cara melihat dari perspektif pasangan kalian. Sekarang, mari kita diskusikan bagaimana perasaan kalian saat memainkan peran itu.”
Zeus mengangkat bahu. “Jujur saja, aku merasa Hera terlalu banyak khawatir. Hidup ini singkat—bahkan untuk dewa. Kenapa harus selalu serius?”
Hera balas menatap Zeus. “Dan aku merasa kau tidak pernah benar-benar memikirkan konsekuensi dari tindakanmu. Itu membuatku merasa seperti aku harus menjadi orang tua bagimu, bukan pasangan.”
Arya mencatat. “Lihat? Dengan permainan ini, kalian mulai melihat hal-hal yang sebelumnya mungkin tidak kalian sadari. Itu langkah besar.”
Arya mengambil beberapa balon warna-warni dan spidol. “Oke, sekarang kita akan mencoba aktivitas yang disebut Balon Emosi. Kalian masing-masing akan menuliskan hal-hal yang membuat kalian frustrasi tentang pasangan kalian di balon ini. Tapi jangan khawatir, kita akan ‘meledakkannya’ di akhir.”
Zeus tertawa kecil. “Aku suka bagian ‘meledakkan’-nya.”
Hera melirik Arya. “Kau yakin ini tidak kekanak-kanakan?”
Arya tersenyum. “Percayalah, ini akan membantu.”
Keduanya mulai menulis. Hera menulis dengan cepat, wajahnya penuh konsentrasi. Zeus, di sisi lain, menulis dengan santai, sesekali tersenyum sendiri.
Setelah selesai, mereka menunjukkan balonnya kepada Arya. Hera menulis hal-hal seperti: Tidak bisa dipercaya, selalu bercanda di saat serius, dan terlalu santai menghadapi masalah. Sementara Zeus menulis hal-hal seperti: Terlalu serius, terlalu mengontrol, dan suka marah-marah.
Arya mengangguk sambil tersenyum. “Lihat? Sekarang kita tahu apa yang mengganggu kalian. Dan seperti yang saya bilang, sekarang kita akan meledakkannya—tapi secara simbolis.”
Dia memberi mereka jarum kecil dan menyuruh mereka menusuk balon satu per satu. Saat balon-balon itu meledak, Arya berkata, “Anggap ini sebagai cara untuk melepaskan beban emosional kalian.”
Zeus tampak menikmati aktivitas itu, sementara Hera terlihat sedikit skeptis, meskipun akhirnya tersenyum tipis.
Aktivitas terakhir adalah latihan mindfulness. Arya meminta mereka duduk berhadapan, menutup mata, dan mencoba mendengarkan suara satu sama lain.
“Fokus pada napas pasangan kalian,” kata Arya dengan suara lembut. “Bayangkan bahwa kalian adalah satu tim, bukan dua individu yang berbeda. Rasakan hubungan yang mengikat kalian.”
Untuk pertama kalinya sejak mereka datang, Hera dan Zeus tampak benar-benar tenang. Napas mereka perlahan menjadi sinkron, dan atmosfer di ruangan itu terasa lebih damai.
Setelah beberapa menit, Arya berkata, “Bagaimana perasaan kalian?”
Zeus membuka mata dan tersenyum lembut. “Anehnya, aku merasa lebih santai.”
Hera mengangguk pelan. “Aku merasa sedikit lebih… terhubung. Ini aneh, tapi dalam cara yang baik.”
Arya merasa lega. “Itu karena kalian memberi diri kalian waktu untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain. Itu kunci dalam setiap hubungan.”
Sesi itu berakhir dengan suasana yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hera dan Zeus bahkan saling bertukar senyuman kecil saat mereka meninggalkan ruangan, meskipun Arya tahu perjalanan mereka masih panjang.
Saat Arya membereskan ruangannya, dia tersenyum sendiri. “Terapis modern untuk klien abadi. Aku bisa terbiasa dengan ini.”*
BAB 5: Liburan yang Gagal
Setelah beberapa sesi yang penuh emosi, Arya memutuskan untuk mengusulkan sesuatu yang berbeda kepada Hera dan Zeus. Ia percaya bahwa terapi tidak harus selalu terjadi di ruangan formal. Kadang, perubahan lingkungan dapat membantu klien merasa lebih santai dan terbuka. Maka, Arya pun mengusulkan ide yang cukup nekat: liburan bersama.
“Ide ini terdengar gila,” Arya mengakui kepada dirinya sendiri saat menyiapkan rencana perjalanan. “Tapi siapa tahu? Mungkin suasana baru bisa membantu mereka memperbaiki hubungan.”
Dia mengusulkan sebuah destinasi yang dianggap netral dan damai: sebuah vila kecil di tepi pantai yang terpencil. Tempat itu dijanjikan penuh ketenangan, tanpa gangguan dari dunia fana maupun dunia ilahi. Hera, meskipun awalnya skeptis, akhirnya setuju dengan syarat bahwa Zeus harus benar-benar menjaga sikap. Zeus, di sisi lain, tampak antusias dengan ide ini.
“Aku suka pantai,” katanya sambil tersenyum lebar. “Dan jangan khawatir, Hera. Aku akan menjadi suami yang paling teladan selama liburan ini.”
Arya merasa optimis saat mereka semua berangkat ke vila. Tapi, tentu saja, dia lupa bahwa ini bukan liburan biasa—ini adalah liburan bersama Hera dan Zeus.
Liburan dimulai dengan cukup tenang. Vila itu indah, dengan pemandangan laut biru yang membentang sejauh mata memandang. Ada teras kayu tempat mereka bisa duduk menikmati matahari terbenam, dan pantai kecil yang hanya bisa diakses dari vila tersebut. Arya bahkan merasa sedikit lega, berpikir bahwa mungkin kali ini dia tidak perlu menjadi mediator konflik.
Namun, ilusi kedamaian itu langsung pecah saat mereka mulai memutuskan aktivitas pertama: makan malam.
“Aku ingin makan sesuatu yang segar, mungkin salad dan buah-buahan,” kata Hera dengan nada santai.
Zeus langsung memprotes. “Salad? Kita sedang liburan! Kita harus makan sesuatu yang lebih istimewa, seperti steak besar atau ikan panggang!”
Hera melotot. “Tidak semua hal harus sesuai dengan keinginanmu, Zeus. Aku tidak mau makan makanan berat malam ini.”
Zeus mengangkat bahu. “Lalu apa masalahnya? Kau makan saladmu, aku makan steakku.”
Hera mendesah frustrasi. “Masalahnya adalah kau selalu membuat semuanya tentang dirimu! Bahkan hal kecil seperti makan malam.”
Arya yang sedang berdiri di dapur kecil mencoba menahan diri untuk tidak menyandarkan kepala di meja. Ini bahkan belum hari pertama penuh, dan mereka sudah mulai bertengkar.
“Baiklah, baiklah!” Arya mencoba melerai. “Bagaimana kalau kita kompromi? Kita buat makanan yang ada dua pilihan—salad untuk Hera, dan steak untuk Zeus.”
Meskipun tidak sepenuhnya puas, mereka akhirnya setuju. Arya, di sisi lain, merasa seperti koki sekaligus mediator.
Keesokan paginya, Arya mengusulkan permainan pantai sederhana sebagai cara untuk mencairkan suasana. Ia membawa bola voli dan peralatan untuk membangun istana pasir.
“Kita bisa bersenang-senang hari ini tanpa memikirkan masalah,” katanya dengan penuh harap.
Namun, Arya lupa bahwa Hera dan Zeus adalah makhluk kompetitif. Sangat kompetitif.
Saat bermain voli, Zeus mengambil setiap kesempatan untuk memamerkan kekuatannya. Dia memukul bola begitu keras sehingga hampir mengenai kepala Arya. Hera, tidak mau kalah, mulai menggunakan sedikit kekuatan ilahinya untuk mengarahkan bola dengan presisi yang menakjubkan.
“Itu curang!” protes Zeus.
“Curang?!” Hera membalas. “Kau hampir membunuh Arya dengan pukulanmu tadi!”
Arya terpaksa menghentikan permainan sebelum salah satu dari mereka memutuskan untuk melempar petir atau melemparkan pasir ke muka pasangannya.
“Baiklah,” katanya sambil menghela napas, “mungkin kita harus mencoba sesuatu yang lebih santai.”
Mereka beralih ke membangun istana pasir. Awalnya, semuanya tampak berjalan lancar. Hera dan Zeus bahkan bekerja sama untuk membangun struktur besar yang menyerupai kuil Olympus. Tapi masalah muncul saat Zeus memutuskan untuk menambahkan patung dirinya di depan kuil pasir.
“Itu tidak perlu,” kata Hera dengan tajam.
“Tentu saja perlu,” jawab Zeus santai. “Ini adalah istana dewa, dan aku adalah raja para dewa.”
Hera mendengus, lalu menghancurkan patung itu dengan tangan kosong. “Istana ini adalah simbol kami berdua, bukan hanya kau!”
Zeus membalas dengan membangun patung dirinya yang lebih besar di sebelah istana. Hera yang marah menghancurkan patung itu lagi, dan akhirnya seluruh istana pasir runtuh karena pertengkaran mereka. Arya hanya bisa menyaksikan, merasa seperti guru taman kanak-kanak yang berusaha mencegah dua anak nakal berkelahi.
Saat malam tiba, Arya mencoba menyelamatkan liburan dengan mengadakan sesi diskusi ringan di teras. Ia meminta Hera dan Zeus untuk saling berbagi kenangan indah selama mereka bersama.
“Pikirkan saat-saat di mana kalian merasa benar-benar bahagia sebagai pasangan,” katanya, mencoba menciptakan suasana positif.
Hera tampak berpikir sejenak sebelum berkata, “Aku ingat saat Zeus memberiku taman bunga sebagai hadiah. Itu adalah momen yang indah.”
Zeus tersenyum. “Dan aku ingat saat kita pertama kali bekerja sama untuk menghukum Prometheus. Itu menyenangkan.”
Arya mengerutkan kening. “Oke, mungkin contoh itu agak… ekstrem. Tapi bagus, kalian mengingat momen-momen kebersamaan.”
Untuk sesaat, suasana menjadi lebih damai. Mereka bahkan mulai tertawa bersama saat mengenang kenangan lama. Arya merasa lega, berpikir bahwa mungkin liburan ini tidak sepenuhnya gagal.
Namun, saat mereka sedang menikmati momen itu, Zeus tanpa sadar melontarkan komentar yang merusak semuanya.
“Kau tahu, Hera, kau sebenarnya terlihat lebih cantik saat tidak marah-marah seperti biasanya.”
Arya langsung menutup matanya, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Tapi tentu saja, Hera sudah berdiri dengan ekspresi marah, dan awan gelap mulai berkumpul di langit.
“Zeus!” teriak Hera. “Kenapa kau selalu merusak segalanya dengan mulut besarmu?”
Beberapa detik kemudian, hujan deras turun, dan Arya basah kuyup bersama dengan pasangan abadi yang masih bertengkar di bawah petir.
Saat mereka akhirnya kembali ke vila, Arya merasa kelelahan fisik dan mental. Liburan ini tidak berjalan sesuai rencana, tapi setidaknya, ia berhasil membuat Hera dan Zeus menghabiskan waktu bersama—meskipun penuh konflik.
Arya merebahkan diri di sofa sambil berkata pelan pada dirinya sendiri, “Kalau mereka bisa bertahan ribuan tahun dengan semua ini, mungkin aku juga bisa bertahan sebagai terapis mereka.”
BAB 6: Curhat Para Dewa
Setelah “liburan” yang jauh dari kata sukses, Arya mulai mempertanyakan efektivitas terapinya. Apakah mungkin memperbaiki hubungan dua makhluk yang sudah ribuan tahun bertikai? Tapi dia tidak menyerah. Ia tahu, di balik semua konflik dan pertengkaran, Hera dan Zeus menyimpan perasaan yang lebih dalam. Hanya saja, mungkin keduanya butuh ruang untuk benar-benar didengar.
Maka, Arya mengubah pendekatan untuk sesi berikutnya. Ia memutuskan untuk memberikan sesi individu kepada Hera dan Zeus. Ia yakin bahwa terkadang, berbicara secara terpisah dapat membantu menggali emosi yang tersembunyi tanpa tekanan dari pasangan mereka.
“Ini akan seperti sesi curhat,” jelas Arya kepada mereka. “Kalian bisa mengatakan apa saja yang kalian rasakan tanpa takut dihakimi. Tidak ada interupsi, tidak ada pertengkaran.”
Hera dan Zeus, meskipun awalnya skeptis, setuju. Hera akan menjadi yang pertama menjalani sesi, sementara Zeus menunggu giliran di luar kuil.
Hera duduk di sofa terapi dengan anggun, tetapi raut wajahnya menunjukkan ketegangan. Ia melipat tangannya di pangkuan, mengambil napas panjang, dan mulai berbicara.
“Zeus selalu menjadi masalah utama,” katanya tanpa basa-basi. “Dia tidak pernah benar-benar memahami beratnya tanggung jawab yang ada di pundakku.”
Arya mengangguk, mendorong Hera untuk melanjutkan.
“Aku adalah ratu Olympus,” Hera melanjutkan. “Tanggung jawabku jauh lebih besar daripada sekadar menjadi istrinya. Aku harus memastikan bahwa dunia para dewa tetap berjalan dengan baik, bahwa manusia tetap menghormati kami, dan bahwa keseimbangan kosmis tidak terganggu. Tapi apa yang dilakukan Zeus? Dia malah sibuk mengejar petualangan dan membuat masalah yang harus aku selesaikan.”
Arya menulis beberapa catatan. “Apa yang Anda rasakan ketika Zeus bertindak seperti itu?”
Hera menghela napas. “Aku merasa tidak dihargai. Rasanya seperti semua yang aku lakukan untuk menjaga Olympus tidak pernah cukup. Dan dia—dia malah membuatku terlihat seperti wanita yang terlalu keras dan penuh amarah.”
Ada jeda sejenak sebelum Hera melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. “Padahal, Arya, aku tidak selalu seperti ini. Dulu, aku adalah dewi yang lembut, penuh kasih. Tapi bertahun-tahun berurusan dengan pengkhianatan dan kelalaian Zeus… itu mengubahku. Aku tidak punya pilihan selain menjadi keras.”
Arya menatap Hera dengan empati. “Apakah Anda pernah mencoba membicarakan perasaan ini kepada Zeus?”
Hera tertawa kecil, tapi terdengar pahit. “Membicarakan perasaan kepada Zeus seperti berbicara kepada angin. Dia mendengarkan, tapi hanya untuk beberapa saat. Setelah itu, dia kembali melakukan apa pun yang dia mau.”
Arya mencatat dengan hati-hati. “Jadi, menurut Anda, apa yang sebenarnya Anda butuhkan dari Zeus?”
Hera menatap keluar jendela, tampak berpikir. “Aku ingin dia menghormati aku, menghormati peranku, dan berhenti bertindak seperti anak kecil yang hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Aku ingin dia menjadi mitra, bukan beban.”
Setelah Hera selesai, giliran Zeus masuk ke ruangan. Seperti biasa, ia membawa energi santai dan penuh percaya diri. Namun, Arya bisa melihat bahwa di balik senyum santainya, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya ia tunjukkan.
“Oke, Arya,” kata Zeus sambil duduk. “Apa yang ingin kau tanyakan?”
Arya tersenyum kecil. “Ini sesi Anda. Anda bisa membicarakan apa saja yang ada di pikiran Anda.”
Zeus mengangkat bahu. “Baiklah. Aku rasa kau sudah tahu apa masalahnya: Hera selalu marah padaku. Tidak peduli apa yang aku lakukan, dia selalu menemukan alasan untuk mengkritikku.”
Arya mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Mengapa menurut Anda Hera sering marah?”
Zeus menghela napas, lalu bersandar di sofa. “Karena dia merasa harus mengontrol segalanya. Hera adalah tipe orang yang selalu ingin memastikan segalanya berjalan sempurna. Tapi aku bukan orang seperti itu. Aku percaya pada kebebasan. Hidup ini harus dinikmati, bukan dipenuhi dengan aturan dan tekanan.”
Arya mengangguk. “Apakah Anda pernah berpikir bahwa mungkin Hera merasa terbebani dengan tanggung jawab yang ia miliki?”
Zeus terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu dia punya banyak tanggung jawab. Tapi aku juga punya, Arya. Aku adalah raja Olympus. Semua orang mengharapkan aku untuk menjadi pemimpin yang sempurna. Tapi mereka lupa bahwa aku juga punya keinginan sendiri. Kadang, aku hanya ingin melupakan semua tekanan itu, meskipun hanya sebentar.”
Arya menulis catatan singkat. “Jadi, menurut Anda, tindakan Anda adalah cara untuk melepaskan diri dari tekanan?”
Zeus menatap Arya dengan serius untuk pertama kalinya. “Mungkin, ya. Aku tahu aku sering membuat keputusan yang tidak bijaksana, tapi itu caraku untuk merasa bebas. Dan… mungkin itu caraku untuk melupakan bahwa aku tidak bisa selalu menjadi dewa yang diharapkan semua orang.”
Ada jeda panjang sebelum Zeus melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. “Aku mencintai Hera, Arya. Tapi kadang, aku merasa dia tidak mencintaiku sebagai Zeus yang sebenarnya. Dia mencintai gambaran raja Olympus yang sempurna—bukan aku.”
Arya tersentak mendengar kalimat itu. Itu adalah momen yang langka, di mana Zeus menunjukkan sisi rentannya.
Setelah sesi individu selesai, Arya duduk sendirian di ruangannya, merenungkan apa yang baru saja ia dengar. Hera dan Zeus, meskipun terlihat seperti pasangan yang tidak mungkin bersatu, sebenarnya memiliki kesamaan. Keduanya merasa tidak dipahami dan tidak dihargai oleh satu sama lain.
Namun, di balik semua itu, Arya juga melihat harapan. Ada cinta di antara mereka—cinta yang terbungkus oleh lapisan tebal kekecewaan dan kesalahpahaman.
Arya mengambil napas dalam-dalam. “Tantanganku bukan hanya membantu mereka berkomunikasi,” katanya kepada dirinya sendiri. “Aku harus membantu mereka melihat bahwa mereka sebenarnya masih saling peduli. Itu kunci untuk memperbaiki hubungan ini.”
BAB 7: Misi Kerjasama
Setelah sesi curhat yang intens di bab sebelumnya, Arya memutuskan untuk melakukan langkah yang lebih konkret. Berdasarkan apa yang ia pelajari, masalah terbesar Hera dan Zeus adalah kurangnya rasa saling menghargai. Mereka terlalu sibuk mempertahankan ego masing-masing sehingga melupakan apa artinya bekerja sama sebagai pasangan. Maka, Arya merancang sebuah aktivitas yang memaksa mereka untuk bekerja sama: sebuah misi kerjasama.
“Tapi ini bukan sekadar aktivitas biasa,” Arya berkata kepada dirinya sendiri sambil menyusun rencana. “Mereka dewa. Aku harus membuat sesuatu yang cukup menantang tetapi tetap aman… dan kalau bisa, tidak berakhir dengan petir atau ledakan.”
Setelah beberapa jam memutar otak, Arya akhirnya punya ide: sebuah teka-teki yang hanya bisa diselesaikan dengan kolaborasi.
Arya mengumpulkan Hera dan Zeus di ruangan terapinya, yang kini diubah menjadi semacam arena teka-teki. Di tengah ruangan terdapat sebuah kotak besar yang terbuat dari bahan logam yang tampak kokoh, dihiasi ukiran rumit dan simbol-simbol mitologi Yunani.
“Kotak ini terkunci dengan mekanisme rumit,” Arya menjelaskan dengan nada serius. “Di dalamnya, ada sesuatu yang berharga bagi kalian berdua.”
Zeus memandang kotak itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Berharga? Seberapa berharga?”
Arya tersenyum kecil. “Itu rahasia. Tapi untuk membukanya, kalian harus menyelesaikan serangkaian tugas bersama. Tidak ada yang bisa melakukannya sendirian. Kuncinya adalah kerjasama.”
Hera menyilangkan tangan di dadanya, tampak skeptis. “Ini terdengar seperti permainan anak-anak.”
Arya menatapnya dengan tegas. “Kadang, permainan sederhana bisa mengajarkan hal besar. Percayalah, ini penting untuk terapi kalian.”
Setelah beberapa protes kecil dari Hera dan komentar santai dari Zeus, keduanya akhirnya setuju.
Tugas pertama adalah memecahkan teka-teki simbol. Di atas kotak terdapat lima simbol mitologi Yunani, tetapi salah satunya hilang. Mereka harus menemukan simbol yang tepat dan memasangnya di tempat yang benar agar mekanisme kotak terbuka ke tahap berikutnya.
Hera langsung mengambil peran sebagai pemikir utama. Ia mulai menganalisis simbol-simbol yang ada, membandingkannya dengan ingatannya tentang mitologi Yunani. Sementara itu, Zeus hanya berdiri di sampingnya, tampak santai.
“Zeus, setidaknya bantulah aku mencarikan petunjuk,” kata Hera dengan nada tegas.
Zeus mengangkat bahu. “Kau sudah ahli dalam hal ini. Aku tidak ingin mengganggu.”
Arya yang mengamati dari kejauhan segera angkat bicara. “Zeus, ini adalah tugas tim. Ingat, tidak ada yang bisa menyelesaikan ini sendirian.”
Zeus akhirnya mendekat dan mulai memperhatikan simbol-simbol itu. Setelah beberapa saat, ia menunjuk salah satu simbol. “Tunggu, aku pernah melihat ini di salah satu kuil. Itu ada hubungannya dengan Poseidon, kan?”
Hera terkejut. “Ya, benar. Dan kalau itu terkait Poseidon, maka simbol yang hilang harusnya adalah triton.”
Keduanya akhirnya menemukan triton kecil di sudut ruangan, lalu memasangnya di tempat yang benar. Sebuah bunyi klik terdengar, dan mereka berhasil menyelesaikan tugas pertama.
“Lihat?” kata Arya dengan senyum puas. “Kalian bisa bekerja sama kalau mau.”
Tugas kedua lebih menantang. Mereka harus menjaga sebuah api kecil tetap menyala di tengah ruangan, sambil memindahkan air dari satu bejana ke bejana lain untuk memecahkan kunci mekanis berikutnya. Masalahnya? Api itu sangat mudah padam jika terkena percikan air, dan bejana air harus dipindahkan dengan hati-hati.
“Baiklah, kita butuh strategi,” kata Hera sambil memandang api kecil itu.
Zeus, yang tampaknya mulai menikmati tantangan ini, tersenyum. “Aku akan menjaga apinya. Kau fokus pada airnya.”
Hera mengangguk, lalu mulai memindahkan air dari satu bejana ke bejana lain menggunakan sebuah sendok kecil. Zeus, sementara itu, meniup api pelan-pelan untuk menjaganya tetap menyala.
Namun, seperti yang bisa diduga, masalah segera muncul. Saat Hera tak sengaja memercikkan air ke arah api, Zeus langsung berseru. “Hati-hati! Kau hampir memadamkan apinya!”
“Kalau kau tidak terlalu dekat dengan api itu, mungkin ini tidak akan terjadi,” balas Hera, mulai kesal.
Arya langsung melerai. “Ingat, ini bukan tentang siapa yang salah. Kalian harus saling mendukung.”
Hera dan Zeus akhirnya mengambil napas dalam-dalam, mencoba bekerja lebih sinkron. Hera memperlambat gerakannya, sementara Zeus lebih berhati-hati dengan posisinya. Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, mereka berhasil menyelesaikan tugas kedua.
Tugas terakhir adalah tugas sederhana tapi membutuhkan koordinasi sempurna. Ada dua kunci di sisi yang berbeda dari kotak, dan keduanya harus diputar secara bersamaan agar kunci terakhir terbuka.
“Ini mudah,” kata Zeus sambil mengambil posisi di sisi kanan kotak.
“Tunggu,” kata Hera. “Kita harus menghitung waktu agar memutarnya bersamaan.”
Zeus mendengus. “Aku tahu itu.”
Namun, seperti yang bisa diduga, mereka tetap gagal pada percobaan pertama karena Zeus memutar kuncinya terlalu cepat.
“Hera, kau terlalu lambat,” protes Zeus.
“Dan kau terlalu cepat!” balas Hera.
Arya menghela napas panjang. “Kalian mau mencoba lagi atau tidak?”
Setelah beberapa argumen singkat, mereka akhirnya mencoba lagi. Kali ini, mereka menghitung bersama-sama: “Satu, dua, tiga!”
Kunci diputar bersamaan, dan suara mekanisme berbunyi. Kotak itu terbuka, memperlihatkan isinya: sebuah gulungan perkamen dengan pesan sederhana yang ditulis oleh Arya.
Pesannya berbunyi: “Kerjasama adalah kunci. Bersama, kalian bisa menghadapi apa pun.”
Hera dan Zeus membaca pesan itu bersama, lalu saling bertukar pandang. Ada jeda sejenak, sebelum Hera akhirnya tersenyum kecil.
“Mungkin kau tidak sepenuhnya tidak berguna,” katanya kepada Zeus dengan nada menggoda.
Zeus tertawa. “Dan mungkin kau tidak selalu menyebalkan.”
Arya tersenyum dari sudut ruangan, merasa bahwa misi ini setidaknya membawa sedikit kemajuan dalam hubungan mereka.
BAB 8: Episode Keluarga
Setelah beberapa sesi yang menantang, Arya merasa bahwa terapi Hera dan Zeus membutuhkan sesuatu yang lebih personal. Hubungan mereka tidak hanya tentang keduanya sebagai pasangan, tetapi juga tentang peran mereka sebagai orang tua. Seperti kebanyakan keluarga besar, masalah antaranggota keluarga bisa memperburuk hubungan inti. Hera dan Zeus memiliki banyak anak—baik yang lahir dari hubungan mereka maupun hasil petualangan Zeus yang “terlalu kreatif.”
Arya memutuskan untuk mengundang beberapa anak dewa mereka untuk sesi terapi khusus. Ia berharap dinamika keluarga ini akan membuka perspektif baru tentang hubungan mereka, baik sebagai pasangan maupun orang tua.
Arya tidak main-main. Ia mengatur ruangan terapi seperti ruang tamu keluarga besar, lengkap dengan sofa besar, makanan ringan, dan bahkan bantal untuk dilempar jika suasana mulai memanas.
“Kalau mereka mulai bertengkar, aku sudah siap mental,” gumam Arya sambil menyiapkan teh.
Dewa-dewi yang datang termasuk Athena, Ares, Hermes, dan Hephaestus—semua dengan kepribadian unik yang menjanjikan kekacauan. Sebagai tambahan kejutan, Arya juga berhasil mengundang Persephone, istri Hades, yang datang sebagai “penengah” karena ia memiliki hubungan baik dengan sebagian besar anggota keluarga.
Hera dan Zeus awalnya keberatan. “Mereka datang hanya untuk membuatku terlihat buruk!” protes Hera.
“Dan aku yakin mereka hanya akan memihak Hera,” tambah Zeus dengan ekspresi malas.
Namun, Arya meyakinkan mereka. “Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Ini tentang memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi hubungan kalian.”
Begitu semua dewa dan dewi berkumpul, suasana segera berubah canggung. Athena, seperti biasa, duduk dengan anggun tetapi memasang ekspresi serius. Hermes terlihat santai sambil memakan buah anggur yang ia bawa sendiri, sementara Ares dan Hephaestus hanya bertukar pandangan dingin.
Arya memulai dengan senyuman profesional. “Terima kasih sudah datang. Hari ini, kita akan berbicara tentang hubungan keluarga kalian, khususnya antara Hera, Zeus, dan kalian semua sebagai anak-anak mereka. Anggap saja ini sesi curhat bersama.”
Hermes langsung mengangkat tangan. “Aku curiga ini jebakan untuk membuatku mengaku tentang sesuatu yang tidak aku lakukan.”
Arya menahan tawa. “Tidak ada jebakan, Hermes. Ini tempat yang aman. Silakan berbicara dengan jujur.”
Athena adalah yang pertama angkat bicara. “Sebagai anak, aku merasa frustrasi dengan cara ayah dan ibu sering membawa pertengkaran mereka ke ranah publik. Ini memberi kesan bahwa Olympus tidak stabil, dan itu menciptakan masalah bagi kami, anak-anak mereka, yang sering harus menanggung beban politiknya.”
Zeus mengangkat alis. “Aku tidak pernah membawa masalah ke ranah publik!”
Athena hanya menatap ayahnya dengan tajam. “Benarkah? Bagaimana dengan waktu kau melempar petir di tengah rapat para dewa hanya karena Ibu tidak setuju dengan pendapatmu?”
Zeus terlihat sedikit malu, sementara Hera hanya tersenyum sinis.
Hephaestus, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. “Aku merasa seperti sering diabaikan. Ayah jarang mempedulikanku kecuali ada sesuatu yang rusak dan butuh diperbaiki. Dan Ibu… yah, kau tahu betapa Ibu tidak menyukaiku karena aku tidak sempurna secara fisik.”
Kata-kata itu membuat suasana menjadi lebih tegang. Hera terkejut, tetapi tidak menyangkal. “Aku tidak pernah bermaksud mengabaikanmu, Hephaestus. Aku hanya… sulit menerima keadaan waktu itu.”
Arya melihat kesedihan di mata Hera, tetapi ia juga tahu ini adalah momen penting. “Mungkin inilah saatnya untuk berbicara jujur, tapi juga saling memahami,” katanya dengan suara lembut.
Hermes mencoba meredakan suasana. “Aku sih tidak ada masalah besar. Ayah selalu memberiku tugas keren, dan aku menikmati kebebasan yang aku dapat. Tapi aku bisa mengerti kenapa orang lain merasa berbeda.”
Ares, dewa perang, hanya mendengus. “Aku tidak peduli dengan pertengkaran mereka. Tapi aku muak dengan bagaimana Ibu selalu membandingkan aku dengan Athena. Dia selalu lebih ‘sempurna.’”
“Karena aku memang lebih cerdas darimu,” balas Athena dengan tenang, membuat Ares langsung mendelik.
Arya dengan cepat melerai. “Oke, oke, kita fokus pada hubungan keluarga, bukan saling menyerang. Ada hal lain yang ingin kalian sampaikan?”
Persephone akhirnya angkat bicara. “Aku merasa kalian berdua, sebagai orang tua, terlalu sibuk dengan konflik kalian sendiri sehingga melupakan bagaimana anak-anak kalian melihat dan merasakan itu. Apa kalian sadar betapa mereka semua harus tumbuh dengan perasaan terabaikan?”
Hera dan Zeus terdiam. Kata-kata Persephone tampaknya menohok.
“Aku tahu menjadi dewa berarti memiliki tanggung jawab besar,” lanjut Persephone. “Tapi keluarga kalian juga adalah tanggung jawab kalian. Dan hubungan kalian, sebagai pasangan, adalah fondasinya.”
Zeus menghela napas panjang. “Aku tidak pernah berpikir bahwa pertengkaranku dengan Hera akan berdampak sejauh ini.”
Hera menunduk. “Aku juga tidak menyadari bahwa sikapku melukai kalian.”
Arya tersenyum kecil. “Kesadaran adalah langkah pertama. Mungkin sekarang, kalian bisa mulai membangun hubungan yang lebih baik, baik sebagai pasangan maupun sebagai orang tua.”
Meski tidak semua masalah selesai dalam satu sesi, Hera dan Zeus terlihat lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari anak-anak mereka. Arya merasa bahwa meskipun hubungan ini masih jauh dari sempurna, ada kemajuan kecil yang sangat berarti.
Sesi diakhiri dengan Hera yang mencoba berbicara langsung dengan Hephaestus, sementara Zeus bercanda dengan Hermes untuk mencairkan suasana. Athena, meskipun tetap tegas, tampak sedikit lebih lega. Ares? Yah, setidaknya dia tidak marah lagi (untuk saat ini).*
BAB 9: Kesepakatan Ajaib
Setelah sesi keluarga yang mengguncang, Arya merasa bahwa ada satu hal lagi yang perlu dia lakukan untuk menyelesaikan terapi antara Hera dan Zeus: menciptakan sebuah kesepakatan. Meskipun mereka mulai lebih terbuka dan sadar akan dinamika hubungan mereka, itu semua masih terasa rapuh. Mereka perlu sesuatu yang lebih konkret, semacam komitmen untuk saling menghormati dan bekerja sama, bukan hanya saat berada di ruang terapi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, Arya tahu bahwa kesepakatan ini tidak bisa dibuat dengan kata-kata biasa. Hera dan Zeus adalah dewa yang telah menguasai segala aspek kehidupan selama ribuan tahun. Mereka membutuhkan sesuatu yang lebih kuat, lebih magis. Dan itulah saatnya untuk menggunakan sedikit “sihir.”
Setelah berjam-jam berpikir dan merancang, Arya akhirnya memiliki ide. Ia memutuskan untuk mengundang Hera dan Zeus dalam sebuah sesi yang lebih spesial, lebih pribadi, di tempat yang memiliki energi magis: kuil kecil yang tersembunyi di pedalaman Olympus.
“Tempat ini penuh dengan kekuatan purba,” kata Arya kepada mereka saat ia mengajak Hera dan Zeus ke sana. “Tempat ini bisa membantu kita mengikat sebuah kesepakatan yang tidak bisa dilanggar.”
Zeus, yang tampaknya mulai percaya dengan pendekatan yang lebih mistik ini, mengangguk. “Aku rasa kita sudah mencoba segalanya. Mengapa tidak?”
Hera masih tampak ragu. “Kau yakin ini akan berhasil? Aku tidak percaya pada hal-hal seperti itu.”
Arya tersenyum. “Percayalah, ini bukan hanya soal sihir. Ini tentang komitmen yang kuat, dan kuil ini membantu memperkuatnya. Jika kalian benar-benar siap untuk berubah, tempat ini akan membantu kalian.”
Dengan keraguan, namun juga rasa ingin tahu, Hera dan Zeus mengikuti Arya masuk ke dalam kuil tersebut. Di dalamnya, terdapat altar yang terbuat dari batu berlumur cahaya lembut, dengan simbol-simbol kuno yang bersinar.
Arya mengarahkan mereka untuk duduk di hadapan altar, sementara dia berdiri di tengah ruangan, mempersiapkan sebuah mantra kuno yang hanya bisa diucapkan oleh dewa-dewa yang sudah sangat berpengalaman.
Dengan suara lembut namun penuh kekuatan, Arya mulai melafalkan mantra tersebut. Sambil mengucapkan kata-kata kuno, udara di sekitar mereka mulai terasa lebih tebal, seperti ada energi yang mengalir melalui dinding-dinding kuil. Hera dan Zeus saling memandang, tetapi keduanya merasa sebuah aura yang aneh, namun menyentuh hati mereka.
“Apa yang sedang terjadi?” tanya Zeus, sedikit gugup.
“Ini adalah kesepakatan yang akan mengikat hati kalian,” jawab Arya. “Kalian harus mengucapkan janji untuk saling menghargai dan bekerja sama, tanpa syarat. Jika kalian melanggar kesepakatan ini, kekuatan yang mengikatnya akan mempengaruhi hubungan kalian selamanya.”
Hera tampak semakin ragu. “Kekuatan seperti apa yang akan mengikat kita?”
Arya menatap mereka berdua dengan serius. “Kekuatan cinta dan kepercayaan. Jika kalian saling melanggar, itu akan menciptakan keretakan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. Tetapi jika kalian berhasil menjaga janji, ikatan kalian akan menjadi lebih kuat dari apapun yang pernah kalian alami.”
Hera menghela napas, lalu menatap Zeus. “Baiklah, Zeus. Aku akan mencoba ini. Tapi hanya jika kau berjanji untuk bekerja sama.”
Zeus mengangguk. “Aku berjanji.”
Arya tersenyum dan melanjutkan mantra. Beberapa detik kemudian, di atas altar, muncul cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu membentuk simbol yang familiar—sebuah jalinan dua cincin yang saling terhubung. Itu adalah simbol dari ikatan yang tak terputus, yang hanya bisa dibentuk oleh kekuatan hati yang tulus.
“Sekarang, kalian memiliki kesepakatan yang tak terpecahkan,” kata Arya, matanya bersinar dengan kebanggaan. “Tugas kalian sekarang adalah menjaga janji ini.”
Kesepakatan yang diikat dengan cara ajaib itu membawa perubahan nyata pada hubungan Hera dan Zeus. Mereka mulai lebih sering berbicara dengan jujur tentang perasaan mereka, dan meskipun masih ada ketegangan di antara mereka, ada usaha nyata untuk bekerja sama. Namun, seperti halnya segala sesuatu yang baru, ujian pertama datang dengan cepat.
Beberapa minggu setelah kesepakatan tersebut, Hera dan Zeus dihadapkan pada masalah besar. Ada ancaman dari luar Olympus yang menguji kekuatan kerajaan mereka, dan dewa-dewi lain mulai mengadu domba mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ares, misalnya, mulai merencanakan pemberontakan kecil dengan memanfaatkan ketegangan antara orang tua mereka.
Zeus, yang biasanya berang dan ingin bertindak segera, ingin menghancurkan semua yang mengancam mereka. Namun, Hera yang lebih sabar dan strategis menyarankan untuk mencari jalan damai terlebih dahulu.
“Apa kau yakin ini saat yang tepat untuk berdamai dengan mereka?” tanya Zeus, merasa frustrasi.
Hera menatapnya dengan tenang. “Aku tahu kamu ingin bertindak cepat, Zeus, tetapi kita harus berpikir jangka panjang. Kita tidak bisa menang dengan cara seperti ini.”
Zeus terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Hera. Tiba-tiba, kilatan cahaya di tangan mereka berdua mengingatkan mereka pada kesepakatan yang baru mereka buat. Mereka saling menatap, dan di dalam diri mereka berdua, kesadaran itu muncul—mereka harus memilih untuk saling menghargai dan mendengarkan satu sama lain, seperti yang mereka janjikan.
“Aku setuju,” kata Zeus, meskipun masih dengan nada kesal. “Mari kita cari jalan damai.”
Mereka pun bekerja sama untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang lebih diplomatis, mengesampingkan ego masing-masing untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Mereka berhasil menghindari peperangan dan menjaga stabilitas Olympus.
Kesepakatan ajaib ini tidak hanya memberikan kedamaian sesaat, tetapi juga memberikan kedalaman yang lebih besar pada hubungan mereka. Hera dan Zeus belajar bahwa cinta dan keharmonisan tidak datang begitu saja. Mereka harus bekerja keras untuk menjaga kepercayaan satu sama lain dan mengutamakan kerja sama lebih dari sebelumnya.
Arya, yang menyaksikan perubahan ini dari kejauhan, merasa bangga dengan kemajuan yang telah mereka buat. Tugasnya belum selesai, tetapi ia tahu bahwa dengan adanya kesepakatan ini, hubungan Hera dan Zeus telah memasuki babak baru yang lebih sehat dan penuh potensi.
“Begitulah,” pikir Arya sambil tersenyum, “kadang, sedikit sihir—dan banyak kerja keras—dapat menciptakan perubahan yang ajaib.”*
BAB 10: Kehidupan Setelah Olympus
Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, pertarungan emosional, dan sihir yang menakjubkan, Arya merasa bahwa misinya dengan Hera dan Zeus akhirnya mencapai titik di mana perubahan nyata dapat dilihat. Mereka berdua, meskipun bukan pasangan sempurna, kini berusaha lebih keras untuk bekerja sama, saling mendukung, dan menjaga keharmonisan dalam keluarga mereka. Namun, perubahan yang telah terjadi di dalam hubungan mereka juga membawa mereka pada pertanyaan baru: Bagaimana kehidupan mereka setelah Olympus?
Sudah terlalu lama mereka hidup dalam bayang-bayang takhta Olympus, terjebak dalam peran sebagai penguasa dewa dan dewi, tanpa pernah benar-benar memikirkan apa yang terjadi setelah semua itu berakhir. Kini, dengan perasaan yang lebih damai dan komitmen yang lebih kuat terhadap satu sama lain, mereka mulai merenungkan masa depan mereka yang jauh dari tempat yang telah lama menjadi rumah mereka.
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan yang lebih tenang di Olympus, Hera dan Zeus mulai merasa kelelahan dengan rutinitas takhta mereka. Ada saat-saat ketika mereka berdua berdiri di puncak gunung Olympus, memandang dunia di bawah mereka, dan bertanya-tanya apakah ada kehidupan di luar sana yang lebih dari sekadar kekuasaan dan pertarungan.
Zeus, yang dulu dikenal dengan amarahnya dan keinginannya untuk mengendalikan segalanya, mulai merasa bahwa kekuasaan itu bukanlah segalanya. Ia ingin menjalani kehidupan yang lebih sederhana, berfokus pada kebahagiaan pribadi dan hubungan dengan keluarga. “Aku rasa, mungkin kita harus pergi dari Olympus, Hera,” kata Zeus suatu pagi ketika mereka duduk berdua di ruang taman yang tenang. “Cobalah sesuatu yang baru. Hidup di tempat lain, jauh dari dunia ini.”
Hera, yang selalu lebih berhati-hati, merenung sejenak. “Kita memang sudah terlalu lama hidup seperti ini,” jawabnya. “Tapi apakah kita siap untuk meninggalkan semuanya? Tanpa semua ini, siapa kita sebenarnya?”
“Yang pasti, kita masih orang yang sama,” kata Zeus, menggenggam tangan Hera. “Kita masih memiliki keluarga, dan itu lebih penting daripada segala kekuasaan.”
Hera melihat ke mata Zeus, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa yakin. Mereka telah menjalani begitu banyak cobaan bersama, dan kini mereka berdua siap untuk mengarungi kehidupan yang lebih tenang. “Baiklah,” katanya perlahan. “Jika itu yang kau inginkan, aku siap untuk mencoba.”
Keputusan untuk meninggalkan Olympus bukanlah hal yang mudah. Sebagai penguasa dewa dan dewi, mereka telah terbiasa dengan kekuasaan dan kontrol. Tetapi ada sesuatu yang terasa sangat benar ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan dunia yang telah lama mereka kuasai. Mereka mulai merencanakan kehidupan yang baru, jauh dari keramaian dan drama Olympus.
Hera dan Zeus, bersama dengan beberapa anak mereka yang memutuskan untuk ikut, memutuskan untuk pindah ke sebuah pulau terpencil di Laut Aegea. Di sana, mereka dapat hidup dengan lebih sederhana, menghindari keruwetan kehidupan di Olympus, dan merasakan kedamaian yang mereka impikan selama ini. Namun, meskipun mereka jauh dari kekuasaan, kehidupan baru ini juga menghadirkan tantangan-tantangan yang tak terduga.
“Apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Ares, yang merasa sedikit cemas dengan keputusan ini. “Tidak ada perang untuk diperjuangkan, tidak ada peperangan yang bisa kita menangkan. Kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan biasa.”
Athena, yang lebih bijaksana, mengangkat bahu. “Kehidupan ini bukan tentang peperangan atau dominasi. Ini tentang menemukan keseimbangan. Dan itu adalah pelajaran yang kita semua perlu pelajari.”
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Hera mulai terlibat dalam berkebun, menikmati kesederhanaan dari merawat tanah, sementara Zeus sering berkeliling pulau, menikmati pemandangan alam dan berbicara dengan penduduk setempat. Anak-anak mereka pun menemukan cara untuk beradaptasi, meskipun beberapa dari mereka merasa sedikit canggung dengan kehidupan yang jauh lebih tenang ini.
Namun, dalam setiap momen sederhana, mereka merasa lebih hidup. Mereka bisa berbicara tanpa merasa ada tuntutan untuk selalu memimpin atau mengatur. Mereka bisa makan bersama, berbicara tentang hal-hal yang lebih manusiawi, tanpa harus berpikir tentang keputusan besar yang akan mempengaruhi seluruh dunia. Kehidupan mereka di pulau itu, meskipun sederhana, penuh dengan kehangatan dan kedamaian yang baru ditemukan.
Kehidupan mereka di pulau itu memberi Hera dan Zeus kesempatan untuk menemukan kembali diri mereka. Mereka bukan lagi raja dan ratu Olympus yang dihormati dan ditakuti oleh seluruh dunia. Mereka adalah suami dan istri, orang tua, dan, lebih dari itu, manusia yang sedang belajar bagaimana hidup tanpa beban besar di pundak mereka.
Hera, yang selama ini selalu merasa terjebak dalam peranannya sebagai dewi pernikahan dan keluarga, mulai menemukan kembali sisi dirinya yang telah lama hilang. Ia mulai mengejar hobinya, seperti melukis dan menulis, hal-hal yang selama ini ia abaikan karena kewajibannya yang berat. “Aku lupa betapa aku menyukai seni,” katanya pada suatu malam saat ia menunjukkan salah satu lukisannya kepada Zeus.
Zeus, yang selalu terobsesi dengan kekuasaan dan pertarungan, menemukan kedamaian dalam perjalanan-jalanan panjang di sekitar pulau. Ia mulai berlatih meditasi dan mencari cara untuk menenangkan pikirannya. “Aku kira ini yang disebut ketenangan batin,” ujarnya dengan senyum santai, duduk di tepi pantai sambil menatap matahari terbenam.
Anak-anak mereka, yang awalnya merasa terasing, mulai menikmati kehidupan baru ini. Athena memutuskan untuk mengajar penduduk pulau tentang kebijaksanaan dan strategi, sementara Hermes, dengan gaya santainya, mulai berdagang barang-barang kecil di pasar lokal. Ares, meskipun agak enggan, mulai membantu dengan pertanian dan membangun infrastruktur kecil di pulau itu.
Namun, meskipun mereka merasakan kedamaian yang baru, kehidupan di luar Olympus juga membawa tantangan tersendiri. Mereka tidak bisa sepenuhnya melupakan masa lalu mereka sebagai dewa-dewi yang terkenal dan berkuasa. Ada saat-saat ketika mereka merindukan kejayaan dan pengaruh yang mereka miliki. Ada saat-saat ketika mereka merasakan perasaan hampa karena tidak ada lagi pertempuran besar yang perlu mereka hadapi.
Tapi mereka belajar untuk menerima itu. Mereka menemukan bahwa meskipun mereka pernah menjadi raja dan ratu para dewa, mereka masih bisa menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan dan saling mendukung satu sama lain. Kehidupan mereka yang baru bukanlah kehidupan tanpa tantangan, tetapi mereka kini memiliki cara yang lebih sehat untuk menghadapinya.
Dengan waktu yang terus berlalu, Hera dan Zeus menyadari bahwa kehidupan setelah Olympus bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah babak baru. Mereka menemukan makna dalam setiap momen bersama keluarga, dalam setiap tawa, dan dalam setiap langkah kecil menuju kedamaian. Mereka tidak lagi memandang dunia dengan mata kekuasaan, tetapi dengan mata yang penuh rasa syukur dan pemahaman.
Kehidupan mereka di luar Olympus membuktikan bahwa bahkan bagi dewa sekalipun, perubahan adalah bagian dari perjalanan. Dan meskipun mereka mungkin tidak lagi duduk di takhta Olympus, mereka menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebahagiaan yang sejati dalam kehidupan bersama.***
————————–THE END———————