Berikut adalah cerita “Mengajari Mendusa untuk Self-Love” yang dibagi menjadi 6 bab, masing-masing sekitar 700 kata.
Bab 1: Si Ular yang Tak Pernah Bisa Tersenyum
Mendusa duduk di tepi tebing yang menghadap lautan biru yang luas, matanya memandang kosong ke arah ombak yang bergulung-gulung. Rambutnya yang penuh ular tampak bergerak-gerak sendiri, seperti hidup, dan membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengubah orang menjadi batu dengan pandangannya, dia tidak pernah merasa diterima di dunia ini.
“Apa aku hanya akan sendiri selamanya?” pikir Mendusa dengan hati yang penuh kesedihan.
Sejak kecil, dia merasa terasing. Orang-orang yang datang ke dekatnya akan lari ketakutan atau ternganga melihat matanya yang tajam. Bahkan burung-burung pun tidak pernah berani mendekat, takut akan kekuatannya. Mendusa sudah terbiasa dengan pandangan orang yang menghindar, dan setiap tatapan mereka membuat hatinya semakin berat.
“Kenapa aku harus jadi begini? Bukankah ada cara lain untuk hidup?” keluh Mendusa.
Suatu hari, saat ia duduk termenung di hutan dekat tebing, seorang pemuda datang mendekat. Pemuda itu tampak sangat berbeda dari orang-orang yang biasa Mendusa temui. Ia mengenakan baju zirah dan membawa sebuah buku besar yang terlihat sangat tebal.
“Kau siapa?” tanya Mendusa, merasa bingung. Dia tidak mengenal pemuda itu, dan saat matanya bertemu mata pemuda itu, Mendusa merasa cemas. Biasanya, orang yang menatapnya langsung berubah menjadi batu.
Namun, yang terjadi sangat berbeda. Pemuda itu hanya tersenyum lebar dan berkata, “Namaku Aran. Aku datang untuk mengajarkanmu sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekadar pedang atau pertempuran.”
Mendusa terkejut. “Mengajarku? Apa itu? Aku ini monster. Tak ada yang ingin belajar dariku.”
Aran menggelengkan kepala. “Aku datang untuk mengajarimu tentang self-love. Cinta diri.”
Mendusa mengerutkan kening. “Self-love? Apa itu?”
Aran duduk di sampingnya dan mulai membuka bukunya. “Self-love adalah tentang menerima diri kita apa adanya. Tanpa merasa malu atau rendah diri. Aku datang untuk mengajarkanmu itu.”
Bab 2: Pemahaman yang Salah
“Self-love?” Mendusa mengulangi kata itu dengan nada bingung. “Bagaimana bisa aku mencintai diriku sendiri? Aku ini… berbeda. Aku memiliki rambut ular yang mengerikan, dan tatapanku bisa membuat orang terbelah jadi batu.”
Aran tersenyum lembut. “Itu semua hanyalah bagian dari dirimu, Mendusa. Self-love bukan berarti kamu harus menjadi sempurna. Itu tentang menghargai dirimu, bahkan dengan segala kekuranganmu.”
Mendusa menggigit bibirnya, berusaha memahami. “Aku tidak pernah bisa tersenyum. Aku selalu dihindari orang. Mereka melihatku, dan langsung ketakutan.”
Aran mengangguk, “Aku mengerti. Tapi, apakah kamu pernah mencoba untuk melihat dirimu sendiri dengan cara yang berbeda? Cobalah lihat dirimu lebih dalam. Lihat apa yang membuatmu unik.”
Mendusa menatap laut yang luas di depannya, matanya penuh keraguan. “Aku tidak tahu caranya, Aran. Aku sudah terbiasa dengan pandangan orang yang selalu menghindar dariku.”
Aran membuka halaman buku dan membacakannya. “Cinta diri itu bukan soal penampilan atau apa yang orang pikirkan tentangmu. Itu tentang kamu menerima dirimu sendiri, tanpa rasa malu, tanpa rasa takut. Mencintai dirimu adalah langkah pertama untuk membuat dunia melihatmu dengan cara yang berbeda.”
Bab 3: Latihan Pertama – Mencintai Penampilan
Mendusa masih merasa ragu, tetapi ia tahu bahwa Aran benar. Jika ia ingin hidup dengan damai, ia harus belajar mencintai dirinya terlebih dahulu. Aran kemudian memberikan sebuah cermin kecil kepada Mendusa.
“Cobalah lihat dirimu di cermin ini,” kata Aran sambil tersenyum.
Mendusa mengambil cermin itu dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya, dia memandang wajahnya tanpa rasa jijik atau marah. Rambut ular yang seharusnya menakutkan kini terlihat seperti bagian dari dirinya yang unik. Tatapan matanya yang tajam bukan lagi sebuah kutukan, melainkan kekuatan.
“Ini… ini bukan hal yang buruk, kan?” kata Mendusa dengan sedikit kebingungan.
Aran mengangguk. “Tidak sama sekali. Kamu sangat kuat, Mendusa. Itu yang harus kamu banggakan.”
Mendusa memandang rambut ular yang bergerak-gerak sendiri. “Aku bahkan bisa berbicara dengan mereka, bukan?” pikirnya, merasa sedikit bangga dengan kekuatannya yang luar biasa.
Dia tersenyum. “Aku mungkin berbeda, tapi aku tetap aku. Tidak ada yang salah dengan itu.”
Bab 4: Menghadapi Ketakutan
Namun, perjalanan Mendusa dalam mencintai diri sendiri tidaklah mudah. Suatu hari, saat sedang berjalan di hutan, seorang petualang dari desa terdekat tanpa sengaja melihatnya. Tanpa sadar, pria itu menatap langsung ke mata Mendusa, dan seketika, tubuhnya berubah menjadi batu.
Mendusa merasa sangat kecewa. “Lihat? Mereka tetap takut padaku,” kata Mendusa, merasa patah hati.
Aran datang dan menepuk bahunya. “Ingat, Mendusa, mereka yang takut padamu belum siap menerima perbedaanmu. Itu bukan kesalahanmu. Kamu hanya harus terus menghargai diri sendiri, meski orang lain tidak selalu mengerti.”
Mendusa menatap batu yang dulunya seorang pria itu, lalu menghela napas. “Mungkin kamu benar, Aran. Aku tidak bisa memaksakan mereka untuk menerima aku. Aku hanya harus lebih kuat.”
Aran tersenyum. “Itu dia. Jangan biarkan pandangan orang lain menghalangi kamu untuk mencintai diri sendiri.”
Bab 5: Cinta Diri yang Menguatkan
Seiring berjalannya waktu, Mendusa mulai merasa lebih baik tentang dirinya. Setiap kali seseorang melihatnya dan membeku, ia tidak lagi merasa malu atau marah. Ia tahu bahwa kekuatan yang dimilikinya bukanlah kutukan, tetapi sesuatu yang luar biasa.
Suatu hari, Aran datang lagi menemui Mendusa. “Bagaimana perasaanmu sekarang, Mendusa?”
Mendusa tersenyum lebar. “Aku merasa lebih kuat. Aku tahu siapa diriku, dan itu membuatku bahagia.”
Aran memuji, “Itulah yang aku suka dengar. Kamu sudah berhasil, Mendusa. Kamu sudah belajar untuk mencintai dirimu.”
Mendusa merasa bangga, tapi juga lega. “Aku tidak lagi merasa seperti monster. Aku tahu bahwa yang paling penting adalah bagaimana aku melihat diriku, bukan bagaimana orang lain melihatku.”
Bab 6: Menerima Diri, Menginspirasi Dunia
Beberapa waktu kemudian, Mendusa merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Suatu hari, seorang pemuda datang ke hutan, dan kali ini, ia tidak lari ketakutan. Pemuda itu tersenyum dan berkata, “Aku mendengar tentang perjalananmu, Mendusa. Aku ingin belajar darimu tentang bagaimana mencintai diri sendiri.”
Mendusa tersenyum, merasa terharu. “Itu karena aku belajar untuk mencintai diriku sendiri. Jika kamu mau, aku bisa membantumu juga.”
Dengan penuh kebanggaan, Mendusa akhirnya sadar bahwa mencintai diri sendiri bukanlah tentang penampilan atau pandangan orang lain. Ini adalah tentang menerima diri apa adanya, bahkan dengan semua keunikan yang dimilikinya.