Bab 1: “Profil yang Menarik”
Maya duduk di depan layar laptopnya, matanya tertuju pada profil Tinder yang sedang ia buat. Baru saja satu minggu yang lalu, hubungan lima tahun dengan Daniel berakhir. Keputusan Daniel untuk mengakhiri hubungan mereka karena “perbedaan arah” masih terasa pahit, meskipun Maya mencoba untuk terlihat tenang. Teman-temannya bilang dia butuh waktu untuk move on, tapi Maya merasa, mungkin, apa yang dia butuhkan justru adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak terlalu serius, tetapi cukup untuk mengalihkan pikirannya.
“Okay, Maya. Ini hanya sebuah aplikasi,” bisik Maya pada dirinya sendiri, menekan tombol ‘Create New Account’. Ada rasa cemas yang menyelimuti. Tinder, aplikasi kencan yang sering ia dengar dari teman-temannya, terasa asing. Ada ketakutan kecil yang ia rasakan, takut dijauhi karena “gagal move on,” takut terlihat desperate, takut… takut tidak cukup baik.
Namun, apa salahnya mencoba? Banyak orang yang bertemu pasangan hidup mereka di sana, mungkin ini bisa jadi kesempatan baginya. Maya mulai mengisi kolom-kolom yang ada dengan hati-hati. Nama, umur, foto, dan yang paling sulit: bio. Bio, bagian terkecil tapi seolah paling menentukan. Bagaimana menulisnya? Terlalu banyak informasi? Atau terlalu sedikit? Maya tahu, ini seperti sebuah resume, namun untuk cinta.
“Aku suka jalan-jalan, nonton film horor, dan…,” Maya terhenti. Apa lagi yang perlu ditulis? “Serius, apa yang orang lain tulis di sini?” pikirnya. Ia membuka beberapa profil lain untuk mencari inspirasi. Ada yang menulis tentang hobi ekstrem mereka, ada yang hanya mencantumkan kutipan-kutipan lucu, dan ada juga yang hanya menulis, “Tidak mencari drama.” Maya tersenyum sendiri, merasa bingung. Apa yang tepat untuknya?
Ia akhirnya memilih untuk menulis sesuatu yang sederhana namun cukup menggambarkan dirinya: “Penyuka kopi dan diskusi panjang tentang kehidupan. Lagi cari orang yang bisa ngajak aku tertawa (atau setidaknya bisa bikin aku nggak bosen).” Maya merasa cukup puas dengan bio-nya, meskipun tetap ada rasa ragu. Tapi, ini adalah dirinya yang paling autentik. Tersenyum kecil, ia melanjutkan untuk memilih foto. Maya memilih foto pertama, yang diambil saat liburan ke Bali. Wajahnya tersenyum, tampak santai dan bahagia meskipun ia tahu, itu adalah foto yang diambil saat perasaan hatinya jauh lebih cerah—sebelum hubungannya dengan Daniel berakhir.
“Okay, siap. Ayo mulai,” Maya berkata pada dirinya sendiri, dan mulai menggeser layar ke kiri dan kanan, mencoba beradaptasi dengan kecepatan aplikasi. Proses ini terasa aneh, bahkan sedikit lucu. Saat pertama kali melihat wajah-wajah di layar, ada sensasi campur aduk—antara rasa tidak sabar dan cemas. Berbagai pilihan muncul: pria dengan senyum lebar, pria dengan anjing di foto, pria yang tampak seperti baru keluar dari gym, pria yang jelas-jelas sedang memamerkan keahlian memasaknya. Maya berhenti sejenak, memperhatikan salah satu profil. Wajah pria itu tampak serius, dengan kacamata hitam dan jaket kulit. Bio-nya singkat: “Penyuka buku dan perjalanan.” Maya agak tertarik, tapi ragu. Apa ini hanya cangkang? Bagaimana bisa mengetahui orang lewat sebuah foto dan beberapa kalimat?
Maya menekan tombol ‘swipe right’. Hanya sedikit ketegangan yang terasa di dalam dirinya. Tak ada yang perlu dirayakan, hanya sebuah keputusan yang lebih didorong oleh rasa penasaran. “Apakah aku benar-benar siap untuk ini?” pikirnya. Layar terus bergulir dengan cepat, tampaknya hampir tanpa henti. Maya terus menggeser, kadang menemukan seseorang yang tampak menarik, kadang merasa bingung dengan berbagai jenis profil yang ia lihat. Beberapa orang menulis kalimat-kalimat lucu, sementara yang lain tampak lebih serius, seolah-olah mereka datang dari dunia yang sama sekali berbeda.
Selama beberapa hari berikutnya, Maya semakin terbiasa dengan aplikasi ini. Ada kesenangan tersendiri yang ia rasakan setiap kali menemukan seseorang yang menarik—entah itu hanya karena senyumnya yang manis atau karena mereka berbicara tentang hobi yang serupa dengan miliknya. Namun, di sisi lain, ada rasa cemas yang terus menggantung. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang seharusnya lebih dari sekadar swiping kiri atau kanan.
Suatu malam, setelah beberapa minggu menggunakan Tinder tanpa banyak hasil, Maya merasa agak lelah dengan permainan ini. Ia sudah mendapat beberapa match, tapi percakapan yang dihasilkan lebih sering berakhir datar. Mereka hanya berbicara tentang hal-hal sepele: pekerjaan, cuaca, dan beberapa topik umum lainnya yang terasa tidak berarti. Bahkan setelah bertukar beberapa pesan, tidak ada yang benar-benar terasa seperti koneksi. Maya mulai bertanya-tanya apakah ini semua hanya permainan—apakah cinta benar-benar bisa ditemukan lewat aplikasi ini?
Namun, saat sedang menggulir aplikasi malam itu, sebuah profil muncul yang cukup menarik perhatian. Seorang pria dengan senyum yang tulus dan bio yang lucu: “Cuma mau cari teman ngobrol yang nggak ngambek kalau aku bawa pizza ke kencan pertama.” Maya tersenyum kecil. Itu sesuatu yang berbeda. Ia menekan tombol ‘swipe right’ lagi, berharap kali ini percakapan akan
lebih menyenangkan.
Bab 2: “Match dan Percakapan Pertama”
Hari itu terasa seperti hari biasa, tetapi ada sesuatu yang berbeda saat Maya membuka aplikasi Tinder untuk mengecek pesan-pesan baru. Ketika dia menggeser layar ke bawah, matanya tertuju pada sebuah notifikasi yang baru muncul: “You matched with Dimas.” Maya sedikit terkejut. Dimas? Nama itu terasa asing, tetapi ada sesuatu yang menarik dalam profil pria ini. Foto dirinya dengan senyum lebar, mengenakan kacamata hitam, dan latar belakang sebuah pantai, membuat Maya merasa hangat, seolah ada sedikit kehangatan yang terpancar meskipun hanya lewat layar ponsel.
Maya tidak menunggu terlalu lama untuk membuka percakapan. Sejujurnya, dia merasa sedikit gugup. Sudah lama sejak terakhir kali dia berbicara dengan seseorang yang baru, terutama setelah perpisahannya dengan Daniel. Tapi, Dimas terlihat cukup santai, dan itu membuat Maya merasa sedikit lega. Dia memutuskan untuk mengawali percakapan dengan sesuatu ringan, seperti yang dia lakukan dengan orang-orang lain sebelumnya.
“Pizza ke kencan pertama? Saya rasa itu ide yang brilian,” tulis Maya, mengacu pada bio Dimas yang sempat membuatnya tertawa.
Beberapa detik kemudian, layar ponselnya berkedip, menandakan balasan masuk. “Haha, iya, kan? Siapa yang bisa menolak pizza? Kalau kamu mau coba, kita bisa cari tempat yang punya pizza terbaik di kota.”
Maya tersenyum membaca pesan itu. Ada sesuatu yang sederhana namun menyenangkan tentang cara Dimas berkomunikasi. Tidak ada kata-kata rumit atau terasa seperti obrolan formal. Maya merasa nyaman, lebih dari yang dia harapkan. Setelah beberapa pesan berbalas, mereka mulai berbicara tentang hobi masing-masing. Ternyata, Dimas juga menyukai film—terutama genre komedi, sama seperti Maya. Mereka mulai berbicara tentang film favorit mereka, saling memberi rekomendasi. Percakapan mengalir begitu saja, tanpa ada kekakuan yang biasanya Maya rasakan saat berkenalan dengan orang baru.
“Jadi, kamu lebih suka nonton film komedi atau horor?” tanya Dimas.
Maya berpikir sejenak sebelum membalas, “Saya lebih suka komedi, tapi horor juga oke, asal nggak terlalu serem. Saya bisa tidur nyenyak setelahnya.”
Dimas langsung membalas dengan emoji tertawa. “Haha, saya rasa kita cocok. Saya lebih suka horor, tapi kalau ada komedi di dalamnya, itu lebih baik. Jadi, kamu lebih sering nonton film di bioskop atau di rumah?”
Maya memikirkan jawabannya. Biasanya, dia lebih suka menonton film di rumah sambil bersantai. Tidak perlu antre atau duduk di kursi yang sempit. Tetapi, ada sesuatu yang menyenangkan dalam berbicara tentang pengalaman menonton di bioskop—terutama dengan seseorang yang mungkin bisa menjadi teman menonton yang menyenangkan.
“Lebih sering di rumah, sih,” tulis Maya. “Tapi, kalau ada film yang bener-bener seru, nggak masalah juga ke bioskop. Gimana dengan kamu?”
“Aku suka bioskop, tapi kadang lebih suka menonton di rumah juga. Lebih nyaman dan bisa nonton maraton film,” balas Dimas. “Tapi kalau kamu mau, kita bisa nonton film bareng suatu saat nanti. Gimana?”
Maya terkejut. Mereka baru beberapa menit berbicara, dan Dimas sudah mengajak untuk bertemu langsung? Sebuah ajakan yang terasa ringan, namun juga agak mengejutkan. Maya merasa sedikit bingung. Apakah ini terlalu cepat? Ataukah ini memang bagian dari percakapan yang mengalir alami? Tetapi, ada sesuatu dalam cara Dimas berbicara yang membuatnya merasa lebih santai. Tidak ada tekanan, hanya sebuah ajakan yang terasa menyenangkan.
Maya memutuskan untuk tidak terlalu banyak berpikir dan membalas dengan hati-hati, “Hmm, aku sih oke-oke aja, tapi aku butuh waktu sedikit untuk mikir. Kayaknya seru kalau kita nonton bareng.”
Dimas langsung membalas, “Tentu, ambil waktu kamu. Aku cuma nggak mau melewatkan kesempatan untuk nonton film bareng sama seseorang yang bisa bikin aku ketawa. Kalau kamu setuju, kita atur waktu nanti.”
Percakapan mereka berlanjut dengan santai, semakin dalam seiring waktu. Mereka mulai bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari mereka. Maya belajar bahwa Dimas bekerja di bidang desain grafis, dan dia sangat tertarik dengan seni serta travelling. Dia bahkan menceritakan tentang perjalanannya ke luar negeri yang sempat ia lakukan beberapa waktu lalu, berkunjung ke Eropa untuk beberapa bulan. Maya merasa takjub mendengarnya. Sementara itu, dia sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di kota dan jarang bepergian jauh.
Ketika Dimas mulai bercerita tentang pengalaman lucu saat berlibur, Maya merasa semakin nyaman. Dia juga mulai berbagi cerita-cerita ringan tentang kehidupannya—tentang teman-temannya, pekerjaan, dan hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum. Percakapan mereka tak terasa seperti obrolan biasa. Mereka sudah mulai berbicara seolah sudah lama saling mengenal. Tidak ada lagi kecanggungan yang dirasakan Maya di awal percakapan.
Di akhir malam, Dimas mengirim pesan terakhir. “Senang bisa ngobrol dengan kamu, Maya. Semoga kita bisa nonton film bareng dan lanjut ngobrol lebih banyak.”
Maya tersenyum, merasa lega dan bahagia. “Aku juga senang bisa ngobrol, Dimas. Nanti kita atur waktu ya.”
Ketika Maya menutup ponselnya, dia merasa ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya—harapan kecil tentang sesuatu yang lebih. Sesuatu yang mungkin saja dimulai dari sebuah aplikasi kencan yang awalnya hanya dianggap sebagai cara untuk mengalihkan pikiran. Tapi mungkin, justru dari sana dia bisa menemukan kembali rasa percaya dirinya. Atau bahkan lebih dari itu.
Bab 3: “Pertemuan Pertama”
Maya merasa gugup pagi itu, meskipun dia mencoba untuk tidak menunjukkan kegugupannya. Sudah beberapa hari sejak dia dan Dimas mulai berbicara di Tinder, dan setelah beberapa kali berbalas pesan, mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu langsung. Kafe di pusat kota dipilih sebagai tempat pertemuan mereka—tempat yang tidak terlalu ramai, namun cukup nyaman untuk berbicara tanpa merasa terganggu. Maya memutuskan untuk mengenakan pakaian kasual yang cukup nyaman, tapi tetap terlihat rapi. Sebuah gaun simpel berwarna biru dan sepatu sneakers yang membuatnya merasa lebih santai, meskipun hatinya berdebar-debar.
Saat Maya keluar dari mobil dan melangkah menuju kafe, ia merasakan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Kafe yang mereka pilih berada di sudut jalan, dengan desain interior yang cozy dan modern. Maya melihat beberapa orang duduk di meja-meja sekitar, tertawa, dan menikmati minuman mereka. Meski begitu, Maya hanya bisa fokus pada satu hal—bagaimana rasanya bertemu dengan Dimas untuk pertama kalinya.
Maya tiba lebih dulu, lalu duduk di meja yang sudah mereka pilih sebelumnya. Sekarang, saat duduk sendiri di meja itu, kegugupan mulai terasa lebih nyata. Setiap orang yang masuk ke kafe tampaknya membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Apakah itu Dimas? Maya memeriksa ponselnya sekali lagi untuk memastikan detail terakhir dari pertemuan mereka—kapan tepatnya Dimas akan tiba. Tidak ada pesan masuk. Mungkin dia masih dalam perjalanan.
Lima menit berlalu, sepuluh menit, lima belas menit, dan akhirnya, ketika Maya sudah mulai merasa cemas, dia melihat seorang pria yang berjalan masuk ke kafe, mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans yang sedikit longgar. Pria itu melirik sekeliling dan akhirnya matanya bertemu dengan mata Maya. Maya terkejut, sejenak terpaku, lalu buru-buru berdiri. Pria itu tersenyum, dan Maya bisa melihat senyum itu sangat akrab—sama persis seperti di foto profilnya.
“Hei, Maya?” tanya Dimas, suaranya terdengar sedikit ragu.
Maya tersenyum dan mengangguk, “Iya, Dimas, kan? Senang akhirnya bertemu langsung.”
Mereka saling berjabat tangan, dan Dimas duduk di kursi yang sudah disediakan. Maya merasa sedikit lega, meskipun ketegangan tetap ada di udara. Namun, ada yang membuatnya merasa nyaman—sikap Dimas yang santai, senyumnya yang ramah, dan cara dia berbicara yang tidak terkesan terlalu formal. Setelah beberapa detik, suasana menjadi lebih cair. Dimas mulai membuka percakapan, mengajaknya untuk memesan minuman.
“Jadi, kamu mau pesan apa? Saya sih, biasanya nggak bisa jauh dari kopi hitam,” kata Dimas dengan gaya bicara yang tenang.
Maya tersenyum, merasa lebih santai. “Kopi juga, deh. Tapi saya suka cappuccino. Coba deh, kalau di sini ada yang enak.”
Mereka memesan minuman, dan Dimas membuka topik tentang film—sesuatu yang sudah mereka bahas panjang lebar di Tinder. Mereka mulai berbicara tentang film favorit mereka, berbagi rekomendasi, dan tanpa disadari, mereka sudah berbicara selama hampir setengah jam tanpa merasa canggung. Maya merasa seolah-olah pertemuan ini lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan. Percakapan mereka mengalir dengan alami, penuh tawa dan sesekali saling memberi pendapat tentang film atau buku yang mereka sukai.
Namun, di balik rasa nyaman yang Maya rasakan, ada sedikit ketegangan yang tidak bisa disembunyikan sepenuhnya. Dimas terlihat seperti orang yang sangat percaya diri, tetapi Maya bisa merasakan sedikit kecanggungan dalam cara dia bertanya tentang kehidupan Maya. Seperti ada upaya untuk mengenal lebih dalam, yang meskipun menyenangkan, juga membuat Maya sedikit waspada.
“Jadi, apa yang kamu cari di sini, Maya?” tanya Dimas setelah beberapa saat. Suaranya terdengar tenang, meskipun pertanyaannya cukup langsung.
Maya sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia mengangguk dan meminum cappuccinonya, merenung sejenak sebelum menjawab, “Aku… jujur aja, cuma pengen coba sesuatu yang baru. Setelah putus dari Daniel, aku merasa kayaknya aku perlu keluar dari zona nyaman. Jadi ya, coba-coba kencan lewat Tinder ini.”
Dimas mengangguk, wajahnya serius. “Saya paham. Itu pasti nggak gampang. Tapi, kayaknya kamu sudah mulai merasa lebih baik, kan?”
Maya tersenyum, merasa dihargai atas kejujurannya. “Iya, sedikit demi sedikit. Masih banyak yang harus aku pelajari sih, tapi ini awal yang baik.”
Setelah percakapan itu, Maya merasa sedikit lebih lega. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal lain yang lebih ringan—perjalanan yang mereka impikan, makanan favorit, dan pengalaman lucu yang mereka alami selama beberapa tahun terakhir. Maya menyadari, seiring berjalannya waktu, mereka semakin merasa akrab. Terkadang, percakapan itu terasa lebih seperti berbicara dengan teman lama daripada seseorang yang baru dikenalnya.
Namun, meskipun suasananya menyenangkan, ada sesuatu dalam diri Maya yang tidak bisa disangkal—suatu keraguan yang mulai tumbuh. Apa ini memang pertemuan yang ditunggu-tunggu, atau hanya kebetulan semata? Apakah Dimas benar-benar seperti yang dia perlihatkan di aplikasi? Apa yang akan terjadi setelah mereka berpisah nanti?
Ketika waktu sudah menunjukkan hampir dua jam, mereka memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. Maya merasa cukup senang, meskipun ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Mereka berjanji untuk bertemu lagi, tetapi Maya tidak bisa menahan diri untuk berpikir tentang masa depan hubungan ini. Apakah ini awal dari sesuatu yang lebih? Ataukah ini hanya sebuah pertemuan yang menyenangkan tanpa banyak arti?
Dimas menyarankan untuk jalan-jalan sebentar setelah makan, dan Maya dengan senang hati setuju. Saat mereka berjalan keluar kafe, Maya merasa ada yang berbeda dalam dirinya—ada sedikit harapan, meskipun dia tahu perjalanan mereka baru saja dimulai.
Bab 4: “Langkah Selanjutnya”
Maya berjalan bersama Dimas menyusuri trotoar, di bawah cahaya matahari sore yang mulai redup. Angin sepoi-sepoi membuat suasana terasa lebih nyaman, meskipun di dalam hati Maya ada banyak perasaan yang berputar. Pertemuan tadi lebih menyenangkan daripada yang dia bayangkan, namun entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya bisa dia pahami tentang Dimas. Sesuatu yang membuatnya ingin lebih mengenal pria ini, tetapi juga membuatnya sedikit ragu. Mungkin karena perasaan yang masih belum sepenuhnya sembuh setelah putus dengan Daniel, atau mungkin memang karena baru pertama kali bertemu dengan seseorang lewat aplikasi.
Setelah beberapa langkah, Dimas memecah keheningan dengan nada santai, “Jadi, kamu biasanya suka jalan-jalan ke tempat-tempat seperti ini, atau cuma kali ini aja?”
Maya tersenyum, merasa sedikit lega. Pertanyaan itu terasa ringan, dan membuatnya merasa lebih nyaman. “Biasanya sih nggak juga. Tapi aku pikir, kenapa nggak? Kota ini punya banyak tempat seru buat dikunjungi. Terutama yang nggak terlalu ramai, jadi bisa lebih santai.”
Dimas mengangguk, tampaknya setuju. “Paham banget. Kadang kota ini bisa jadi tempat yang hectic banget, ya. Makanya, aku juga suka ke tempat yang agak sepi, bisa lebih fokus sama hal-hal kecil.”
Maya menyadari, dia mulai merasa lebih santai dalam percakapan ini. Mereka berjalan lebih jauh, menghindari keramaian jalan utama, menuju taman kecil yang agak tersembunyi. Suasana di taman itu terasa sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk di bangku atau berjalan-jalan. Langit mulai berwarna oranye keemasan, memberi suasana yang tenang dan romantis.
“Ini tempat yang bagus,” kata Maya sambil melihat sekitar.
“Ya, aku suka tempat kayak gini. Bikin kita bisa ngobrol lebih enak,” jawab Dimas. “Tapi, aku rasa kita bisa ngobrol lebih banyak tentang hal lain, selain film dan makanan. Aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu, Maya. Apa yang biasanya kamu lakukan di waktu senggang?”
Maya merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Biasanya, dalam pertemuan pertama, orang-orang cenderung tidak langsung bertanya tentang hal-hal pribadi. Namun, di sisi lain, ada sesuatu dalam cara Dimas berbicara yang membuatnya merasa tidak tertekan. Maya berhenti sejenak, merenung, lalu menjawab, “Aku suka baca buku, nonton serial, atau kadang-kadang, pergi ke tempat-tempat baru buat mencoba makanan. Aku nggak terlalu suka yang ribet, sih. Lebih suka yang santai aja.”
Dimas tersenyum mendengarnya. “Kayaknya kita punya banyak kesamaan, ya. Aku juga suka coba-coba tempat baru. Mungkin nanti kamu bisa ajarin aku tempat makan enak yang belum pernah aku coba.”
Maya tertawa kecil. “Tentu. Tapi kamu harus siap kalau makanannya bisa agak aneh. Aku suka yang agak unik, seperti makanan pedas atau yang jarang ada.”
Percakapan mereka semakin mengalir, tidak ada lagi kecanggungan yang terasa. Mereka berbicara tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, tentang impian kecil yang mereka miliki, dan tentang apa yang membuat mereka bahagia. Maya mulai merasa semakin nyaman dengan Dimas, meskipun hatinya masih mempertanyakan arah hubungan ini. Tapi, untuk saat ini, Maya memutuskan untuk menikmati momen ini, tanpa terburu-buru memikirkan terlalu banyak hal.
Setelah beberapa waktu, Dimas mengajak Maya duduk di bangku taman yang menghadap ke danau kecil di tengah taman. Mereka duduk bersebelahan, tidak ada kata-kata canggung yang muncul. Hanya ada keheningan yang nyaman, diiringi dengan suara angin dan riak air di danau. Maya merasa sedikit lebih tenang, meskipun entah kenapa hatinya tetap tidak bisa sepenuhnya tenang. Dia ingin sekali merasa lebih yakin, tetapi entah kenapa, pikirannya selalu berputar ke masa lalu. Daniel masih terbayang dalam pikirannya.
Dimas menoleh padanya dan tersenyum. “Aku tahu kita baru kenal, tapi… aku merasa senang banget bisa ngobrol sama kamu. Kamu kayaknya orang yang asyik, Maya.”
Maya menatap Dimas, merasa sedikit tersentuh. “Terima kasih, Dimas. Aku juga senang bisa kenal sama kamu. Rasanya nggak canggung kayak yang aku kira.”
Dimas tertawa kecil. “Aku pikir kamu lebih dari sekadar orang yang asyik. Kamu kayaknya punya banyak cerita menarik, ya. Mungkin suatu saat, kita bisa duduk-duduk kayak gini lagi, sambil ngobrol lebih banyak tentang hidup masing-masing.”
Maya merasa senang dengan kata-kata Dimas. Terkadang, ia merasa bahwa Dimas bukan hanya sekadar pria yang ia temui lewat aplikasi, tapi seseorang yang bisa membuatnya merasa lebih ringan. Tidak ada yang terlalu mendalam atau penuh tekanan, tapi ada koneksi yang terasa—meskipun masih cukup samar.
Namun, meskipun Maya merasa lebih nyaman, ada satu hal yang mulai mengganggunya. Seiring berjalannya waktu, ia mulai berpikir apakah dia benar-benar siap untuk membuka hati lagi setelah Daniel. Apakah ini benar-benar langkah yang tepat untuknya? Ataukah dia hanya mencari pelarian, berharap menemukan sesuatu yang mengalihkan rasa kesepian yang masih ada?
Dimas sepertinya bisa merasakan kebingungannya. “Kamu terlihat berpikir keras, Maya. Apa yang ada di pikiranmu?”
Maya tersenyum tipis, berusaha menenangkan pikirannya. “Aku cuma lagi mikir tentang banyak hal. Ini… agak baru buat aku. Cuma butuh waktu buat benar-benar paham apa yang aku mau.”
Dimas menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku paham. Semua butuh waktu. Nggak perlu buru-buru.”
Maya merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dimas. Mungkin, dia benar. Mungkin ini bukan saatnya untuk terburu-buru atau mencari jawaban yang pasti. Untuk saat ini, Maya merasa cukup untuk menikmati perjalanan ini sedikit demi sedikit. Langkah-langkah kecil, tanpa harus terburu-buru mencapai tujuan akhir.
Setelah beberapa saat, Dimas mengajak Maya kembali ke mobil, namun sebelum berpisah, mereka saling bertukar kontak untuk melanjutkan percakapan. Maya merasa ada sedikit rasa harapan yang tumbuh dalam dirinya, meskipun masih ada keraguan. Untuk pertama kalinya, ia merasa, mungkin ini bisa menjadi sesuatu yang lebih, tapi hanya waktu yang akan memberi jawabannya.
Bab 5: “Mengenal Lebih Dalam”
Maya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel dengan hati yang sedikit ragu. Sudah beberapa hari sejak pertemuan terakhir dengan Dimas, dan meskipun mereka terus saling mengirim pesan, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa belum selesai. Maya merasa hubungan ini berjalan dengan lancar—mereka mengobrol tentang banyak hal, mulai dari hobi, film, hingga perjalanan hidup masing-masing. Namun, entah kenapa, dia merasa belum benar-benar mengenal siapa Dimas sebenarnya. Ada banyak hal yang belum terungkap, dan itu membuat Maya merasa sedikit gelisah.
Di sisi lain, Dimas selalu tampak santai dan terbuka dalam setiap percakapan mereka. Setiap kali Maya bertanya tentang dirinya, Dimas selalu memberikan jawaban yang jujur dan tidak pernah menghindar. Namun, di balik sikap terbukanya, Maya merasa ada sesuatu yang masih disembunyikan. Entah itu karena perasaan ragu yang belum sepenuhnya hilang setelah hubungannya dengan Daniel, atau karena dirinya yang merasa masih terlalu cepat untuk percaya pada seseorang yang baru dikenalnya.
Maya memutuskan untuk menghubungi Dimas. Ia merasa ada kebutuhan untuk lebih mengenalnya, untuk memastikan apakah ini hanya sekadar ketertarikan atau ada sesuatu yang lebih dalam. Sebuah pesan sederhana dia kirimkan.
“Dimas, gimana kabarnya? Ada waktu buat ngobrol?”
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas masuk.
“Hei Maya! Kabarku baik, kamu gimana? Tentu, ayo ngobrol. Kapan pun kamu mau!”
Maya tersenyum membaca pesan itu. Tidak ada beban atau kecanggungan dalam cara Dimas berbicara. Mereka sudah cukup dekat untuk saling berbicara dengan santai, tetapi Maya masih merasa ada jarak yang belum bisa dia jembatani sepenuhnya.
Maya membalas dengan cepat. “Aku lagi ada waktu, sih. Tapi, aku cuma mau ngobrol lebih serius dikit, kalau kamu nggak keberatan.”
Pesan itu terkirim, dan Maya menunggu balasan dari Dimas. Jantungnya berdebar-debar. Apakah Dimas akan merasa terkejut atau malah terbuka dengan pembicaraan ini? Tidak lama, Dimas akhirnya membalas.
“Tentu, nggak masalah. Aku senang kalau kita bisa ngobrol lebih dalam. Apa yang kamu ingin bicarakan?”
Maya merasa lega. Dia sudah siap untuk lebih terbuka, berharap Dimas juga akan melakukan hal yang sama. Setelah beberapa detik berpikir, Maya mengetikkan pesan berikut.
“Sebenarnya aku cuma ingin tahu lebih banyak tentang kamu, Dimas. Maksudku, selama ini kita ngobrol tentang banyak hal, tapi aku merasa ada yang masih kurang. Kamu udah cerita tentang kerjaan, hobi, dan hal-hal kecil. Tapi, aku penasaran, apa yang sebenarnya kamu cari di sini? Di Tinder, maksudnya.”
Maya duduk kembali, mencoba menenangkan diri, tetapi tetap merasa sedikit gugup. Ini bukan percakapan biasa. Kali ini, dia ingin tahu lebih dalam tentang Dimas—tentang niatnya, tentang apa yang sebenarnya dia inginkan dari hubungan ini. Sebuah pertanyaan besar, yang sudah lama ingin dia ajukan, namun dia belum cukup berani untuk melakukannya.
Tak lama kemudian, pesan dari Dimas muncul.
“Hmm, itu pertanyaan yang cukup berat. Tapi aku rasa, aku datang ke sini dengan niat yang cukup sederhana. Aku nggak mau buru-buru, cuma ingin kenal lebih dekat sama seseorang yang menarik. Aku tahu hubungan nggak harus selalu langsung serius, tapi aku berharap bisa menemukan seseorang yang bisa berbicara jujur dan terbuka. Kamu tahu, kayak kita sekarang ini.”
Maya membaca pesan itu dengan seksama. Ada ketulusan dalam jawaban Dimas yang membuat hatinya sedikit lebih tenang. Dimas tidak terburu-buru atau memberi jawaban yang ambigu. Dia jelas menyatakan bahwa dia tidak mencari sesuatu yang langsung serius, tapi dia ingin mengenal seseorang lebih dalam, tanpa tekanan.
Maya merasa lega, tapi masih ada satu pertanyaan yang ingin dia ajukan, satu hal yang masih mengganjal di benaknya. Dia menatap ponselnya, menulis dengan hati-hati.
“Aku juga merasa kita bisa ngobrol dengan cukup terbuka. Tapi, apa kamu pernah merasa ragu, Dimas? Maksudku, kamu nggak takut kalau hal ini cuma sementara aja? Aku sendiri kadang merasa ragu, karena aku nggak mau lagi terjebak dalam hubungan yang nggak jelas.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Dimas membalas.
“Aku paham perasaan kamu. Aku juga kadang merasa ragu, tapi aku percaya kalau kita saling terbuka dan memberi waktu, semuanya bisa lebih jelas. Jadi, nggak ada yang perlu dipaksakan. Kita ambil langkah satu per satu. Aku nggak mau hal ini jadi beban buat kamu.”
Maya tersenyum, merasa dihargai dengan jawaban Dimas. Terkadang, perasaan ragu memang datang begitu saja, terutama setelah sebuah hubungan yang kandas. Namun, ada hal yang berbeda kali ini. Dimas tidak berusaha meyakinkannya dengan kata-kata manis atau harapan palsu. Dia berbicara dengan jujur, dengan sikap yang tidak terburu-buru.
Setelah beberapa menit hening, Maya memutuskan untuk membalas.
“Aku merasa lega bisa dengar jawaban kamu. Aku juga nggak ingin terburu-buru, Dimas. Aku cuma butuh waktu untuk percaya lagi. Tapi, aku senang kita bisa ngobrol seperti ini.”
“Aku juga senang, Maya. Kapan pun kamu siap, kita bisa melangkah lebih lanjut. Yang penting, kita nyaman satu sama lain.”
Maya menghela napas panjang setelah membaca pesan itu. Ada rasa lega yang tidak bisa ia ungkapkan. Mungkin ini memang langkah yang tepat. Tidak ada paksaan, hanya proses yang berjalan dengan alami. Mereka tidak perlu terburu-buru, karena mereka masih dalam proses mengenal satu sama lain.
Maya memutuskan untuk menikmati setiap momen, tanpa terbebani dengan ekspektasi. Untuk pertama kalinya setelah lama, dia merasa ada harapan yang tumbuh—harapan untuk mengenal seseorang dengan cara yang lebih dalam, tanpa terburu-buru. Sambil menatap layar ponsel, dia tersenyum. Mungkin, ini bukan hanya tentang menemukan cinta, tetapi juga tentang menemukan kembali dirinya sendiri dalam proses ini.
Bab 6: “Keputusan yang Dihadapi”
Maya terjaga lebih pagi dari biasanya. Cahaya matahari yang menyusup lewat jendela kamar menyinari wajahnya, namun hatinya tetap terasa berat. Semalam, setelah percakapan panjang dengan Dimas, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merenung. Walaupun Dimas telah menunjukkan keseriusannya, dan meskipun percakapan mereka terasa nyaman dan penuh kejujuran, masih ada banyak hal yang belum bisa dia pahami sepenuhnya. Maya merasa seolah-olah ia berdiri di persimpangan jalan, dan dia harus memilih arahnya—apakah akan melangkah maju atau mundur.
Kehidupan pasca-putus dengan Daniel memang penuh dengan pertanyaan. Banyak hal yang hilang dari hidupnya setelah hubungan itu berakhir, dan meskipun waktu sudah berlalu, kesedihan itu masih mengendap. Kini, perasaan itu muncul kembali saat dirinya mulai mengenal Dimas lebih jauh. Di satu sisi, Maya ingin membuka hati untuk kemungkinan baru, tetapi di sisi lain, dia merasa takut. Takut jika dia melangkah terlalu cepat, atau lebih buruk lagi, jika Dimas hanya akan menjadi sosok sementara dalam hidupnya.
Maya menarik napas dalam-dalam dan melihat ke luar jendela. Dunia sepertinya tetap berjalan dengan ritmenya, meskipun di dalam hatinya ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Setelah beberapa lama berpikir, dia memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan-jalan, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin berjalan kaki di taman akan membantunya menemukan jawabannya.
Pagi itu, taman kota terlihat tenang, dengan beberapa orang yang sedang berolahraga dan beberapa ibu yang sedang membawa anak-anak mereka. Maya berjalan dengan langkah pelan, menikmati udara pagi yang segar. Setiap langkah seolah membawa dia lebih jauh dari keraguan yang menghantui pikiran. Dalam keheningan itu, Maya mulai merenung. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apakah dia benar-benar siap untuk membuka hati lagi?
Saat sedang duduk di bangku taman, Maya melihat ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas masuk, dan dia merasa sedikit gugup membukanya. Apa yang akan Dimas katakan kali ini? Mereka sudah cukup sering berbicara, namun kali ini terasa berbeda. Maya membuka pesan itu.
“Maya, aku cuma ingin bilang kalau aku senang banget bisa kenal sama kamu. Aku tahu, kita belum lama kenal, tapi entah kenapa aku merasa nyaman sama kamu. Aku nggak mau kamu merasa terburu-buru, tapi aku juga nggak mau kita cuma saling menyembunyikan perasaan. Aku tahu kamu butuh waktu, dan aku siap memberi itu. Tapi aku juga ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu cari?”
Maya terdiam membaca pesan itu. Ada ketulusan dalam kata-kata Dimas yang membuat hatinya sedikit tergerak. Namun, ada juga rasa takut yang datang kembali. Apakah ini saat yang tepat untuk mulai serius? Maya berpikir sejenak sebelum membalas.
“Dimas, aku juga senang kenal sama kamu. Tapi, jujur aja, aku lagi agak bingung. Aku baru selesai dari hubungan yang cukup lama, dan masih banyak hal yang harus aku proses. Aku nggak mau membuat keputusan yang salah, apalagi kalau itu bikin aku atau kamu kecewa.”
Maya menunggu balasan, dan beberapa menit kemudian, Dimas membalas.
“Aku paham banget. Aku nggak akan memaksa kamu untuk terburu-buru. Semua butuh waktu. Aku cuma pengen kita bisa tetap saling terbuka, dan lihat ke mana ini akan berjalan. Nggak ada tekanan dari aku, Maya.”
Maya merasa sedikit lega membaca balasan itu. Dimas tidak memaksanya, dan itu memberi sedikit ketenangan. Namun, dia juga tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah. Dia harus benar-benar yakin sebelum melangkah lebih jauh.
Setelah beberapa saat, Maya memutuskan untuk membalas.
“Aku butuh waktu, Dimas. Aku nggak tahu seberapa lama, tapi aku janji, aku akan berusaha terbuka. Aku cuma nggak mau ada yang merasa terluka di akhir nanti.”
Maya menatap layar ponselnya, merasa lega dan cemas sekaligus. Percakapan itu memang membantu, tetapi di dalam hatinya, masih ada ketidakpastian. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Perasaan ingin melangkah maju, tetapi ketakutan untuk kembali terluka begitu besar.
Pagi itu, Maya kembali ke rumah dengan pikiran yang sedikit lebih ringan, meskipun masih banyak pertanyaan yang menggantung. Keputusan untuk memberi waktu pada dirinya sendiri terasa bijak, tetapi ia juga tahu, ia harus bergerak cepat. Waktu tidak akan menunggu, dan perasaan tidak akan selamanya bertahan dalam ketidakjelasan. Maya menyadari, ada saatnya dia harus memilih—berani melangkah maju atau tetap terjebak dalam masa lalu.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan campur aduk. Maya terus berbicara dengan Dimas, dan meskipun mereka tidak terburu-buru, ada rasa semakin dekat yang mulai tumbuh di antara mereka. Dimas tidak hanya sabar menunggu, tetapi juga selalu mendukung apapun keputusan Maya. Ini membuat Maya semakin merasa dihargai dan diterima. Tidak ada lagi ketegangan yang menyelimuti setiap percakapan mereka.
Namun, saat malam tiba dan Maya bersantai di sofa dengan secangkir teh hangat, dia mulai merenung lebih dalam. Apakah dia hanya terjebak dalam rasa nyaman yang diberikan oleh Dimas? Ataukah dia benar-benar siap untuk menjalani sesuatu yang baru? Perasaan ini semakin kuat, tetapi tetap ada keraguan. Terkadang, jawabannya datang dalam keheningan, dalam waktu yang tepat, dan mungkin, waktu yang tepat itu sudah dekat.
Dengan berat hati, Maya tahu bahwa keputusan harus segera dibuat. Dan meskipun ragu, ia merasa ini adalah langkah yang harus diambil. Dimas sudah cukup sabar, dan kini giliran Maya untuk memutuskan—apakah ia siap membuka lembaran baru dalam hidupnya, ataukah ia akan terus terjebak dalam kenangan lama? Semua tergantung pada apa yang dia pilih untuk percaya dan jalani.
————————–THE END———————